Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


kehidupan manusia dimulai sejak manusia itu lahir dan akan
berakhir saat manusia kembali ke pangkuan sang pencipta. Dalam
kehidupan,manusia pasti menemukan masalah-masalah dalam
kesehariannya dan membutuhkan media untuk menyelesaikannya.
Salah satu masalah kehidupan manusia adalah tentang
aliran. Aliran yang dianut ada yang merupakan warisan dari orang
tua dan ada juga yang memang ia cari sendiri. Banyak orang yang
mencoba berbagai macam aliran dan mempelajarinya untuk
menetahui aliran yang tepat untuk dianutnya. Terdapat berbagai
macam aliran dan mempelajarinya untuk mengetahui aliran yang
tepat untuk dianutnya. Terdapat berbagai macam aliran di dunia ini,
ada yang liberal, radikal, dan netral. Bahkan antara aliran satu
dengan yang lainnyasaling bertentangan, tapi ada pula yang
memiliki konsep dasar atau pemikiran yang sama. Akan tetapi,
dengan adanya perbedaan antara banyak aliran tersebut kita dapat
memilih aliran mana yang tepat untuk kita ikuti dan kita terapkan
dalam kehidupan kita.
Aliran filsafat berkembang berdasarkan pemikiran para tokoh
filsafat atau ajaran seseorang. Sebagai seorang penganut kita
hanya tinggal mengikuti ajaran-ajaran aliran filsafat yang kita anut
tanpa harus berpikir terkebih dahulu mencari sumber dalil-dalilnya.
Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas kelompok mata
kuliah Filsafat Umum . selain itujuga untuk mempelajari aliran-aliran
filsafat lebih dalam, yakni aliran monoisme, dualisme, dan
pluralisme.

1
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang, maka dapat kami rumuskan
masalah seperti berikut ini.
1. Apa pengertian filsafat, monoisme,dualisme, dan
pluralisme?
2. Siapa sajakah tokoh-tokoh yang berperan dalam aliran-
aliran tersebut?
3. Apa saja pembagian jenis-jenis dari masing-masing
aliran filsafat tersebut?

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Makna Filsafat

Pengertian filsafat secara etimologi dalam bahasa Arab dikenal


dengan istilah Falsafah dan dalam bahasa Inggris dikeal dengan istilah
Philosophy adalah berasal dari bahasa Yunani Philosiphia. Kata
Philosophia terdiri terdiri atas kata Philein yang berarti cinta (love) dan
Sophia yang berarti kebijaksanaan (wisdom). Sehingga pengertian
estimologis dari istilah filsafat berarti cinta kebijaksanaan atau love of
wisdom dalam arti yang sedalam-dalamnya.2

Pengertian filsafat secara terminologi adalah (i) upaya spekulatif


untuk menyajikan suatu pandangan sistematik dan lengkap tentang
seluruh realitas, (ii) upaya untuk mlukiskan hakikat realitas akhir dan dasar
secara nyata, (iii) upaya untuk menentukan batas-batas dan jangkauan
pengetahuannya : sumbernya, hakikatnya, keabsahannya, dan nilainya,
(iv) penyelidikan kritis atas pengandaian-pengandaian dan pernyataan-
pernyataan yang diajukan oleh berbagai bidang ilmu pengetahuan, (v)
disiplin lmu yang berupaya untuk membantu kita melihat apa yang kita
katakan dan untuk mengatakan apa yang kita lihat.

Adapun pengertian terminologis filsafat yang diuraikan lebih lanjut


adalah definisi filsafat menurut Plato, Aristoteles, Renedescartes,
Immanuel Kant, Ali Mudhofir, dan Notonagoro, Harold H. Titus, Ibnu Sina,
dan Driyarkara.

Plato berpendapat bahwa filsafat adalah pengetahuan yang


mencoba untuk mencapai pengetahuan tentang kebenaran yang asli.

2
Putra Suharto Taat, Filsafat Umum (Yogyakarta : Pustaka Pelajar 2010) hlm. 36

3
Menurut Aristoteles, filsafat adalah ilmu (pengetahuan) yang meliputi
kebenaran yang di dalamnya terkandung ilmu-ilmu metafisika, logika,
retorika, etika, ekonomi, politik, dan estetika (filsafat keindahan Menurut
Rene Descartes, filsafat adalah kumpulan semua pengetahuan di mana
Tuhan, alam, dan manusia menjadi pokok penyelidikan. Menurut Imanuel
Kant, filsafat adalah ilmu atau pengetahuan yang menjadi pangkal dari
semua pengetahuan yang di dalamnya tercakup masalah epistemologi
(filsafat pengetahuan) yang menjawab persoalan apa yang dapat kita
ketahui. Menurut Notonagoro, Guru Besar UGM, filsafat menelaah hal-
hal yang menjadi objeknya dari sudut intinya yang mutlak dan yang
terdalam, yang tetap, dan yang tidak berubah yang disebut hakikat.
Sedangkan menurut Ali Mudhofir, filsafat diartikan sebagai satu sikap,
suatu metode, kelompok persoalan, kelompok teori atau sistem pemikiran,
analis logis tentang bahasa dan penjelasan makna istilah \, dan usaha
untuk mendapatkan pandangan yang menyeluruh. Harold H. Titus,
mengemukakan pengertian filsafat dalam arti sempit dan dalam arti luas.
Dalam arti sempit, filsafat diartikan sebagai ilmu yang berhubungan
dengan metode logis atau analisis logika bahasa dan makna-makna.
Dalam arti luas, filsafat mencoba mengintegrasikan pengetahuan manusia
dari berbagai pengalaman manusia yang berbeda-beda dan menjadikan
suatu pandangan yang komprehensif tentang alam semesta, hidup, dan
makna hidup.Ibnu Sina, mengemukakan bahwa filsafat adalah
pengetahuan otonom yang perlu ditimba ooleh manusia sebab ia
dikaruniai akal oleh Allah.Driyarkara, mengemukakan bahwa filsafat
adalah pikiran manusia yang radikal, artinya dengan mengesampingkan
pendirian dan pendapat “yang diterima saja” mencoba memperlihatkan
pandangan yang merupakan akar dari lain-lain pandangan dan sikap
praktis.3

3
Putra Suharto Taat, Filsafat Umum (Yogyakarta : Pustaka Pelajar 2010) hlm. 37-39

4
2.2 Monoisme

Monoisme (monism) berasal dari kataYunani yaitu monos (sendiri,


tunggal) secara istilah minisme adalah suatu paham yang berpandapat
bahwa unsur pokok dari segala sesuatu adalah unsur yang bersifat
tunggal/Esa. Unsur dasar ini bisa berupa materi, pikiran, Allah, energi dll.
Bagi kaum materialis unsur itu adalah materi, sedang bagi kaum idealis
unsur itu roh atau ide. Orang yang mula-mula menggunakan terminologi
monisme adalah Christian Wolff (1679-1754). Dalam aliran ini tidak
dibedakan antara pikiran dan zat. Mereka hanya berbeda dalam gejala
disebabkan proses yang berlainan namun mempunyai substansi yang
sama. Ibarat zat dan energi dalam teori relativitas Enstein, energi hanya
merupakan bentuk lain dari zat. Atau dengan kata lain bahwa aliran
monoisme menyatakan bahwa hanya ada satu kenyataan yang
fundamental.

Adapun para filsuf yang menjadi tokoh dalam aliran ini antara lain :
Thales (625-545 SM), yang menyatakan bahwa kenyataan yang terdalam
adalah satu substansi yaitu air. Pendapa ini yang disimpulkan oleh
Aristoteles (384-322 SM), yang mengatakan bahwa semuanya itu air. Air
yang cair itu merupakan pangkal, pokok dan dasar (prinsiple) segala-
galanya. Semua barang terjadi dari air dan semuanya kembali kepada air
pula. Bahkan bumi yang menjadi tempa tinggal manusia di dunia,
sebagian besar terdiri dari air yang terbentang luas di lautan dan di
sungai-sungai. Bahkan dalam diri manusia pun, menurut dr. Sagiran,
unsur penyusunya sebagann besar berasal dari air. Tidak heran jika
Thales, berkonklusi bahwa segala sesuatu adalah air, karena memang
semua makhluk hidup membutuhkan air dan jika tidak ada air maka tidak
ada kehidupan.

Sementara itu Anaximandros (610-547 SM) menyatakan bahwa


prinsip dasar haruslah dari jenis yang tak terhitung dan tak terbatas yang

5
disebutnya sebagai Apeiron yaitu suatu zat yang tak terhingga dan tak
terbatas dan tidak dapat dirupakan dan tidak ada persamaannya dengan
suatu apapun. Berbeda dengan gurunya Thales, Anaximandros,
menyatakan bahwa dasar alam memang satu akan tetapi prinsip dasar
tersebut bukanlah dari jenis benda alam seperti air. Arena menurutnya
segala yang tampak (benda) terasa dibatasi oleh lawannya seperti panas
dibatasi oleh yang dingin. Aperion yang dimaksud Anaximandros, oleh
orang islam disebutnya sebagai Allah. Jadi bisa dikatakan bahwa
pendapat Anaximandros yang mengatakan bahwa terbentuknya alam dari
jenis yang tak terbatas dan tak terhitung, dibentuk oleh Tuhan Yang Maha
Esa. Hal ini pula yang dkatakan Ahmad Syadali dan Mudzakir (1997)
bahwa yang dimaksud Aperion adalah Tuhan.

Anaximenes (585-494 SM) menyatakan bahwa barang yang asal


itu mestilah satu yang ada dan tampak (yang dapat diindera). Barang
yang asal itu yaitu udara. Udara itu adalah yang satu dan tidak terhingga
karena udara menjadi sebab segala yang hidup. Jika tidak ada udara
maka tidak ada yang hidup. Pikiran ke arah itu barang kali dipengaruhi
oleh gurunya Anaximandros yang pernah menyatakan bahwa jiwa itu
serupa dengan udara, menyatukan tubuh kita. Demikian udara mengikat
dunia ini menjadi satu.sedang filsuf modern yang menganut aliran ini
adalah B. Spinoza yang berpendapat bahwa hanya ada satu substansi
yaitu Tuhan. Dalam hal ini Tuhan diidentikan dengan alam (Naturans
Naturata).

2.3 Dualisme

Dualisme (dualism) berasal dari kata latin yaitu duo (dua). Dualisme
adalah ajaran yang menyatakan realias itu sendiri dari dua substansi yang
berlainan dan bertolak belakang. Masing-masing substansi bersifat unik
dan tidak dapat direduksi. Misalnya substansi adi kodrati dengan kodrati,
Tuhan dengan alam semesta, roh dengan materi, jiwa dengan badan dll.

6
Ada pula yang mengatakan bahwa dualisme adalah ajaran yang
menggabungkan antara idealisme dan materialisme, dengan mengatakan
bahwa alam wujud ini terdiri dari dua hakikat sebagai sumber yaitu hakikat
materi dan rohani.

Dapat dikatakan pula bahwa dualisme adalah paham yang memiliki


ajaran bahwa segala sesuatu yang ada, bersumber dari dua hakikat atau
substansi yang berdiri sendiri-sendiri. Orang yang pertama kali
menggunakan konsep dualisme adalah Thomas Hyde (1700), yang
mengungkapkan bahwa antara zat dan kesadaran (pikiran) yang berbeda
secara subtantif. Jadi adanya segala sesuatu terdiri dari dua hal yaitu zat
dan pikiran. Yang termasuk dalam alran ini adalah Plato (427-347 SM),
yang mengatakan bahwa dunia lahir adalah dunia kemalaman yang selalu
berubah-ubah dan berwarna-warni. Demua itu adalah bayangan dari
dunia ide. Sebagai bayangan, hakikatnya hanya tiruan dari yang asli yaitu
ide. Karenanya maka dunia ini berubah-ubah dan bermacam-macam
sebab hanyalah merupakan tiruan yang tidak sempurna dari ide yang
sifatnya bagi dunia pengalaman. Barang-barang yang ada di dunia ini
semua ada contohnya yang ideal di dunia ide sana (dunia ide).

Lebih lanjut Plato mengakui adanya dua substansi yang masing-


masing mandiri dan tidak saling bergantung yakni dunia yang dapat
diindera dan dunia yang dapat dimengerti, dunia tipe kedua adalah dunia
ide yang bersifat kekal dan hanya ada satu. Sedang dunia tipe pertama
adalah duia nyata yang selalu berubah dan tak sempurna. Apa yang
dikataan Plato dapat dimengerti seperti yang dibahasakan oleh Surajiwo
(2005), bahwa dia membedakan antara dunia indera (dunia bayang-
bayang) dan dunia ide (dunia yang terbuka bagi rasio manusia). Rene
Descartes (1596-1650 M) seorang filsuf Prancis, mengatakan bahwa
pembeda antara dua substansi yaitu substansi pikiran dan substansi
keluasan (badan). Jiwa dan badan merupakan dua substansi terpisah
meskipun di dlam diri manusia mereka berhubungan sangat erat.

7
Dapat dimengerti bahwa dia membedakan antara substansi pikiran
dan substansi keluasan (badan). Maka menurutnya yang bersifat nyata
adalah pikiran. Sebab dengan berpikirlah sesuatu lantas ada, Cogito Ergo
Stom! (saya berpirik maka saya ada). Leibniz (1646-1716) yang
membedakan antara dunia yang sesungguhnya dan dunia yang mungkin.
Immanuel Kant (1724-1804) yang membedakan antara dunia gejala
(fenomina) dan dunia hakiki (noumena).

2.4 Pluralisme

Pluralisme yaitu aliran yang tidak mengakui adanya satu substansi


atau dua substansi melainkan banyak substansi. Dagobert D. Runes
(1979 : 221) menyatakan bahwa pluralisme merupakan suatu teori yang
menganggap bahwa kenyataan itu tidak terdiri dari suatu substansi. Teori-
teori yang dapat dimasukan dalam pluralisme diantaranya teori para filsuf
Yunani Kuno yang menganggap kenyataan terdiri dari udara, tanah, api,
dan air dalam upaya mencari Arkhe atau asal-usul alam semesta
tingkatan monado dalam filsafat Leibniz ; pandangan Herbart tentang
banyak benda dalam dirinya sendiri, teori pragmatisme Wiliam James
tentang “yang banyak yang dapat dikerjakan”.

Pluarisme ini pada umumnya dianut oleh empirisme, realisme, dan


pragmatisme, karena senantiasa memberikan tekanan pada sifat dasar
yang bermacam-macam dari pengalaman. Pluralisme memiliki
keunggulan dalam hal-hal yang bersifat praktis_pragmatis, dekat dengan
problem konkret, karena memang diangkat dari pengalaman konkret.
Pluralisme lebih menekankan pada perbedaan-perbedaan daripada
kesamaan. Seorang penganut pluralis cenderung menjadi seorang
indeterminis. Seorang penganut pluralis menganggap bahwa alam ini
terbentuk dari sejumlah entitas yang tidak saling berhubungan
(disconnected) dan tidak terikat satu sama lain, sehingga masing-masing

8
entitas itu dipandang eksis (Ewing, 1962 : 221). Para filsuf yang termasuk
pluralisme diantaranya : Empedokles (490-430 SM) yang menyatakan
bahwa hakikat kenyataan erdiri dari empat unsur yaitu : udara, api, air,
dan tanah. Anaxagoras (500-428 SM) yang menyatakan bahwa hakikat
kenyataan terdiri dari unsur-unsur yang tak terhitung banyaknya,
sebanyak jumlah sifat benda dan semuanya itu dikuasai oleh suatutenaga
yang dinamakan nous. Dikatakannya bahwa nous adalah suatu zat yang
paling halus yang memiliki sifat pandai bergerak dan mengatur. Tokoh
pluralisme yang akan dibicarakan secara rinci dalam makalah ini adalah
Leibniz dan filsuf Postmodernisme, J. F. Lyotard.4

a. Leibniz (1646-1716).
Ia menyatakan bahwahakikat kenyataan terdiri dari monade-
monade yang tidak terhingga banyaknya. Monade adalah substansi yang
tidak berluas, selalu bergerak, tidak terbagi dan tidak dapat rusak. Setiap
monade saling berhubungan dalam suatu sistem yang sebelumnya telah
diselaraskan harmonia prestabilia. Leibniz mendasarkan pandangan
filsafatnya pada monade-monade. Leibniz memandang bahwa kenyataan
pada dasarnya terdiri dari pusat-pusat berdaya dan titik-titik kesadaran
(monadisme ; monas berarti pusat tertutup). Monade-monade itu tidak
berkeluasan ; mereka tidak terbagikan ; tidak termusnakan atau abadi.
Mereka tidak saling mempengaruhi, melainkan merupakan pusat-pusat
tertutup dengan daya berkembang sendiri. Setiap monade mencerminkan
alam semesta, masing-masingmenurut caranya pribadi. Semua substansi
terbentuk oleh penggabungan monade-monade itu. Kesan hubungan
antara substansi-substansi muncul dari suatu kesesuaian dan kecocokan
(harmonie prestablie) yang diberikan oleh Tuhan (bakker, 1992 : 32).
Pemikiran Leibniz mengenai monade ini sedikit banyak
dipengaruhi oleh doktrin atau mistik, yang biasanya dinamakan juga
filsafat mekanistik (Whait, 1987 : 63). Sistem metafisika Leibniz berpusat
pada atom-atom materi yang nyata, yang merupakan komponen-
4
Mustansyir Rizal, Aliran-aliran Metafisika Studi Kritis Filsafat Ilmu (Juli 1997 ) hlm. 10

9
komponen sesuatu. Atom-atom itu sederhana dan tanpa bagian-bagian.
Mereka tidak mempunya bagian, tidak dapat musnah, melainkan hanya
ciptaan seketika. Monade-monade itu tidak memiliki jendela-jendela, temat
datang dan perginya segala sesuatu. Kualtas setiap monade berbeda satu
sama lain dan abadi. Setiap monade adalah cermin kehidupan atau
sebuah cermin yang diberkati dengan aktivitas batiniah, mewakili alam
semesta sesuai dengan petunjuk yang telah digariskan (White, 1987 ; 65-
66).
Sistem metafisika Leibniz bersumber pada dua prinsip logis,
yaitu Identity of Indiscernibles dan Law of Continuity. Menurut prinsip
Identity of Indiscernibles, tidak ada dua pengada mutlak riel yang tak
dapat dibedakan, atau tidak ada dua substansi yang persis sama atau
berbeda (solo numero). Leibniz menyebut hal ini sebagai keniscayaan
metafisika (necessary metaphysically). Ia mengajukan empat alasan, dua
alasan pertama bersifat kebetulan sedangkan dua berikutnya bersifat
niscaya. Pertama, mengandaikan dua hal yang tak dapat dibedakan
dalam hal mengada adalah bertentangan dengan prinsip alasan yang
memadai (Reason Sufficiet), karena itu sama halnya dengan mengakui
adanya sesuatu tanpa alasan. Jika ada hal yang tidak dapat dibedaan,
maka Tuhan tidak punya alasan untu memilih yang satu lebih dahulu
daripada yang lain. Kedua, terdapat dalam suatu pertimbangan untuk
mengalami, apakah tidak mungkin seseorang menemukan secara nyata,
misalnya: dua lembar daun yang identik atau seorang yang ahli mikroskop
menemukan dua tetes air hujan yang tampak identik kalau dilihat dengan
mata telanjang menjadi berbeda manakala dilihat dengan mikroskop.
Ketiga, predikat itu terkandung di dalam subjek keempat, jika A lain
daripada A, kemudian A yang menurut dugaan yang tidak dapat
dibedakan dari A, juga harus menjadi lain daripada A, yaitu lain daripada
A itu sendiri, jelas ini hal yang tidak masuk akal (absurd) berdasarkan
principles of indiscernibles ini Leibniz menyimpulkan bahwa dunia akan
tersusun dari serangkaian substansi, setiap substansi berbeda satu sama

10
lain, dan penampakan dunia satu sama lain, dan penampakan dunia dari
suatu sudut yang berbeda, karena itu mengandung persepsi yang
berbeda (Whait, 1987: 67).
Asumsi Leibniz mengenai Law of Continuity didasarkan atas
minatnya pada bidang matematik dan kalkulus. Di dalam matematik
misalnya, rangkaian fraksi antara bilangan nol dan satu, bentuk-bentuk
item merupakan suatu kontinuum. Leibniz menyimpulkan bahwa hukum
keberlangsungan itu didasarkan pada ketidakterbatasan, yakni
keniscayaan mutlak dalam bidang Geometri, yang juga berhasil
diterapkan dalam bidang Fisika, sebab kebijaksanaan itu bersumber dari
segala sesuatu, tindakan-tindakan yang merupakan suatu geometer
sempurna. Sebanyak variasi yang mungkin, sepanjang ketertiban yang
tinggi. Berdasarkan penggabungan kedua prinsip itu, maka kita akan
mendapat sebuah gambaran alam semesta, dimana setiap monade
merefleksikan keseluruhan dari setiap sudut yang monade pada setiap
bentuk terkecil dari kehadiran yang diberikan oleh monade yang lain,
sehingga keseluruhan alam merupakan sistem monade-monade yang
tidak terbatas yang menghadirkan alam semesta dari setiap sudut
5
pandang yang mungkin (White, 1987: 67).
b. Jean-Francois Lyotards

Lyotard termasuk yang paling keras menyuarakan gaung pluralitas.


Lyotard ini pula yang memperkenalkan postmodernisme dalam bidang
filsafat sekitar tahun 70-an. Ia mengadopsi konsep language-games
wittgenstein untuk menjelaskan fenomena masyarakat pascamodernisme.
Pluralitas merupakan isu sentral yang dikumandangkan oleh Lyotard. Ia
mengakui bahwa bukunya yang berjudul The Postmodernism Condition
merupakan teks sambilan (occaional text),karena karyanya itu merupakan
titik persilangan perdebatan berbagai macam bidang yang berbeda-beda
seperti: politik, ekonomi, estetika, filsafat, arsitektur, film, dan sastra,
saling silang menyilang (Asikin Arif, 1991:10).kaum postmodernist –
5
Mustansyir Rizal, Aliran-aliran Metafisika Studi Kritis Filsafat Ilmu (Juli 1997 ) hlm. 11

11
termasuk lyotard- melihat kenyataan sebagai suatu pluralitas atau
keberagaman yang tidak berkait satu sama lain. Dalam keberagaman
yang irasional itu manusia kehilangan optimismenya untuk menentukan,
merencanakan, dan menegaskan kepribadiannya ( Hardono Hadi, 1993:
3-4).

Lyotard mendefinisikan postmodernisme sebagai suatu bentuk


keraguan bahkan ketidakpercayaan kepada metawacana atau cerita-
cerita besar, khususnya yang timbul sejak zaman pencerahan (Moore,
1990:126). Lyotard melihat bahwa modernisme bertendensi untuk
melegitimasiakan tiap bentuk pengetahuan melali semacam metawacana
atau narasi besar seperti “kemajuan”, “kebebasan akal”, “emansipasi”.
Postmo-dernisme adalah sebaliknya, ketidakpercayaan segala bentuk
cerita besar itu. Lyotard menyarankan untuk kembali ke pragmatika
bahasa ala Wittgenstein, yaitu mengakui language saja bahwa kita
memang hidup dalam berbagai permainan - bahasa (language-games)
yang sulit saling berkomunikasi secara adil dan bebas (Bambang Sugi-
harto,1996:58).

Ciri atau karakteristik sebuah permainan bahasa dirinci lebih jauh


oleh Lyotard sebagai berikut.

Pertama, bahwa aturan-aturan itu tidaklah mempengaruhi dirinya


sendiri, aturan bukan merupakan legitimasi terhadap aturan itu sendiri,
melainkan sebagai objek perjanjian, baik secara eksplisit maupun tidak
diantara para pemain.

Kedua, bahwa jika tidak ada aturan, maka tidak ada


permainan,bahkan modifikasi sekecil apapun terhadap sebuah aturan
akan mengubah kodrat sebuah permainan. Suatu gerak atau ucapan yang
tidak memenuhi syarat aturan-aturan tidak termasuk kedalam permainan
tersebut.

12
Ketiga, ucapan atau kata-kata dianjurkan agar mengikuti ketentuan
yang harus senantiasa dikatakan: “setiap tuturan sebaiknya mengandung
pemikiran sebagaimana halnya gerak dalam sebuah permainan (Lyotard,
1989: 122-123).

Lyotard menekankan pentingnya aspek retorik dan kompetitif dalam


tiap permainan bahasa. Interaksi antar permainanbahasa memang
ditandai kecenderungan untuk saling menaklukan. Tiap ungkapan bisa
dipandang sebagai “tindakan politis” untuk mendominasi permainan
bahasa lain. Berbicara berarti “berkelahi” atau berjuang dalam pergaulatan
agnistik lalu lintas permainan bahasa. Dalam suasana pluralistik yang
demikian itu bagi Lyotard, yang berlaku bukanlah unversalitas akal
ataupun kebutuhan akan kesepakatan, melainkan justru kebutuhan untuk
menggerogoti.6

Kesepakatan-kesepakatan yang telah mapan untuk memberikan


kembali peluang bagi karakter-karakter lokal tiap wacana,
argumentasi,dan legitimasi untuk dihargai. Bentuk intelektual situasi
semacam ini bukan dimaksudkan untuk membentuk suatu mata-wacana
yang mempersatukan dan mendasari segala wacana lainnya, melainkan
keragaman narasi-narasi kecil dan meta-argumen yang saling mencari
peluang untuk tampil dan diakui dalam percaturan bahasa ( Bambang
Sugiharto, 1996:59).

6
Mustansyir Rizal, Aliran-aliran Metafisika Studi Kritis Filsafat Ilmu (Juli 1997 ) hlm. 12

13
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Berdasarkan uraian diatas terlihat bahwa para metafisikus, baik


yang monistik maupun pluralistik, tergolong kedalam empat kelompok
besar, yaitu (1). Monistik-materialisme seperti: Thales,Anaximander. (2)
Monistik – spiritualisme seperti: plotinus, hegel. (3). Pluralistiik-
materialisme seperti: Demokritos,Leibniz, dan lyotard. (4). Pluralisme
(dualistik)-spiritualisme eperti: plato. Variasi perpaduan antara penekanan
pada segi kuantitas dan kualitas dari keberadaan ini mengandung
implikasi bagi pengembangan ilmu pengetahuan. Misalnya seorang
penganut Monistik materialisme tentu lebih concern pada ilmu-ilmu
kealaman (Naturwissenschaft) dann menganggap bidang ilmunya sebagai
induk bagi pengembangan ilmu-ilmu lain. Seorang penganut Monistik-
spiritualisme tentu lebih concern pada ilmu-ilmu
kerohanian(Geistenswissenschaft) dan menganggap bidang ilmunya
sebagai wadah utama bagi titik tolak pengembangan bidang-bidang ilmu
lain.seorang penganut pluralisme-materialisme akan lebih cosern pada
pengembangan beberapa bidang ilmu kealaman dan mengembangkannya
sesuai dengan aturan, hukum,ataupun dalil yan otonom pada masing-
masing bidang. Seorang penganut pluralistik-spiritual-isme akan lebih
menaruh perhatian pada beberapa ilmu kerohanian-kemanusiaan dan
melihatnya dari berbagai perspektif sesuai dengan otonomi dan
karakteristik masing-masing bidang ilmu.

Di samping itu metafisika sebagai suatu bangun enigmatik


membentuk wawasa pikir yang kuat, karena melatih akal kita untuk
senantiasa memahami sesuatu secara sungguh-sungguh dan mau
mengarahkan segenap kemampuan yang kita miliki untuk memecahkan

14
suatu persoalan. Beberapa peran metafisika dalam ilmu pengetahuan
yaitu:

Pertama, metafisika mengajarkan cara berpikir yang


sangatdiperlukan bagi ilmu pengetahuan.

Kedua, metafisika menuntut orisinalitasberfikir yang sangat


diperlukan bagi ilmu pengetahuan.

Ketiga, metafisika memberikan bahan pertimbangan yang matang


bagi pengembangan ilmu pengetahuan , terutama pada wilayah
presuppotion (praanggapan-praanggapan), sehingga persoalan yang
diajukan memiliki landasan berpijak yang kuat. Collingwood menyebutnya
dengan istilah “logical efficacy” (kemujuran logis).

Keempat, metafisika, terutama yang berpijak pada kualitas (entah


material-isme ataupun spiritualisme) akan mewarnai perkembangan ilmu
pengetahuan yang bersifat exact ( ilmu-ilmu pasti), sedangkan penganut
spiritualisme cederung pengembangan ilmu-ilmu kerohanian
( sosial,humaniora, dan keagamaan). Hal yang terbaik tenunya
memadukan kedua ilmu tersebut.

Kelima, metafisika ang berpijak pada segi kuantitas (entah


monoisme, dualisme, maupun pluralisme) akan menjadikan visi ilmu
pengetahuan berkembang menurut ramifikasi (percabangan)yang sangat
kaya dan beraneka ragam (dualis dan pluralis) namun tetap berpijak pada
pola-pola yang standar (monis).

15

Anda mungkin juga menyukai