Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Lanjut usia (lansia) merupakan tahap akhir dari kehidupan manusia yang dianggap

sebagai seseorang yang mengalami berbagai penurunan fungsi kehidupannya. Proses

menua didalam perjalanan hidup manusia merupakan suatu peristiwa yang akan dialami

oleh semua orang yang dikaruniai umur panjang dan berlangsung secara terus menerus

(Nugroho dalam Della 2009).

Secara fisiologis lansia akan mengalami penurunan kondisi fisik/ biologis, kondisi

psikologis, serta perubahan kondisi sosial. Salah satu ciri fase ini, biasanya usia lanjut

merenungkan hakikat hidupnya dengan lebih intensif serta mencoba mendekatkan dirinya

pada Tuhan. Selain itu, secara umum telah diindentifikasi bahwa usia lanjut pada

umumnya mengalami berbagai gejala akibat terjadinya penurunan fungsi biologis,

psikologis, sosial, dan ekonomi. Perubahan ini akan memberikan pengaruh pada seluruh

aspek kehidupan, termasuk kecemasan dalam menghadapi persiapan kematian.

Kematian merupakan hal yang niscaya dan tidak bisa dihindari dalam kehidupan

manusia. Eksistensi manusia bersifat nyata, konkrit, dan absolut tapi kematian juga nyata

dan tidak terelakkan. Kematian adalah salah satu dari perjalanan hidup manusia sebagai

makhluk yang diciptakan Allah Swt. Menurut Islam, kematian merupakan terlepasnya roh

dari tubuh manusia dan tidak kembali lagi (Gladys, dkk 2013).

Ketika seseorang membicarakan kematian maka akan timbul suatu pemberontakan

dalam dirinya, serta kepedihan dan ketakutan. Hal ini disebabkan anggapan mereka bahwa

1
mati adalah akhir dari segala kesenangan dan kenikmatan yang dirasakannya di dunia. Jika

dilihat secara psikologis, sesungguhnya setiap manusia itu menolak kematian. Sakit dan

celaka adalah jembatan menuju kematian oleh karena itulah setiap orang akan dibayangi

rasa takut pada situasi yang tidak nyaman, semua orang akan berusaha menghindari jalan

kearah gerbang kematian. Terlebih lagi manusia yang menjalani usia lanjut, karena

manusia usia lanjut merupakan manusia yang sudah tidak produktif lagi sehingga mereka

berpikir bahwa sekarang mereka pada sisa-sisa umur menunggu kematian atau kehidupan

baru selanjutnya.

B. Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah yang berkaitan dengan tahapan- tahapan perkembangan

psikologis manusia dan psikologi kematian yaitu sebagai berikut:

1. Apa yang dimaksud dengan psikologi kematian?

2. Bagaimana cara mengurangi ketakutan terhadap kematian?

3. Bagaimana ciri- ciri perubahan fisik menjelang kematian?

4. Apa saja sebab- sebab ketakutan terhadap kematian?

C. Batasan Masalah

Sesuai dengan judul makalah ini maka penulis membuat batasan masalah seputar

“Psikologi kematian ” yang akan membahas beberapa poin pada bab selanjutnya antara

lain yaitu pengertian psikologi kematian, perspektif mengenai kematian, terapi ketakutan

terhadap kematian, ciri- ciri fisik menjelang kematian, sebab- sebab ketakutan terhadap

kematian, dan solusi menghadapi kematian.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Psikologi Kematian

Mega (2013) mengatakan bahwa secara medis kematian dapat dideteksi yaitu

ditandai dengan berhentinya detak jantung seseorang. Namun pengetahuan tentang

kematian sampai abad moderen ini masih sangat terbatas. Tidak ada seorangpun yang tahu

kapan dia akan mati. Karena itu tidak sedikit pula yang merasa gelisah dan stress akibat

sesuatu hal yang misterius ini. Dimensi psikologis dari kematian menekankan pada

dinamika psikologi individu yang akan mati maupun orang- orang di sekitar si mati baik

sebelum dan sesudah kematian

Sedangkan, pamungkas (2014) mengatakan bahwa kematian pemutusan segala

kelezatan duniawi, dia adalah pemisah antara manusia dan pengaruh kenyamanan hidup

orangorang yang lalai. Hal ini sejalan dengan firman Allah dalam Al- Qur’an “Dimana

saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendatipun kamu di dalam benteng

yang tinggi dan kokoh” (Annisa:4:78). Maut juga disebut sebagai pengancam hidup bagi

manusia, sehingga kebanyakan dari individu takut akan kematian itu sendiri.

Selanjutnya, Della (2009) menambahkan bahwa secara medis kematian dapat

dideteksi yaitu ditandai dengan berhentinya detak jantung seseorang. Namun pengetahuan

tentang kematian sampai abad moderen ini masih sangat terbatas. Tidak ada seorangpun

yang tahu kapan dia akan mati. Karena itu tidak sedikit pula yang merasa gelisah dan stress

akibat sesuatu hal yang misterius ini. Dimensi psikologis dari kematian menekankan pada

3
dinamika psikologi individu yang akan mati maupun orang- orang di sekitar si mati baik

sebelum dan sesudah kematian.

Berdasarkan ketiga pendapat ahli diatas mengenai psikologi kematian, maka dapat

disimpulkan bahwa secara medis kematian dapat dideteksi yaitu ditandai dengan

berhentinya detak jantung seseorang, dan kematian juga sebagai pemutusan segala

kelezatan duniawi, dia adalah pemisah antara manusia dan pengaruh kenyamanan hidup

orang- orang yang lalai sehingga dimensi psikologis dari kematian menekankan pada

dinamika psikologi individu yang akan mati maupun orang- orang di sekitar si mati baik

sebelum dan sesudah kematian.

B. Perspektif Mengenai kematian

Ada beberapa perspektif mengenai kematian diantaranya yaitu sebagai berikut:

1. Kematian dalam Persfektif Agama Islam

Menurut persfektif Islam kematian dianggap sebagai peralihan kehidupan, dari

dunia menuju kehidupan di alam lain. Kematian didefinisikan sebagai kehilangan

permanen dari fungsi integratif manusia secara keseluruhan (Hasan dalam Della 2009).

Al- qur’an merupakan media terbaik yang paling representatif dalam mengungkapkan

perspektif Islam mengenai kematian dan pasca kematian. Al- qur’an memberikan

perhatian yang cukup berpengaruh pada masalah ini dalam kehidupan individu dan

masyarakat (bangsa). Bahkan al- qur’an sering menyandingkan antara keimanan pada

Allah dalam keimanan pada hari akhir, sehingga sekali lagi, mengesankan bahwa

keimanan pada Allah saja belum cukup bagi individu dalam mewujudkan

kesempurnaan mental, ketenangan jiwa, dan kesalehan moral serta perilaku tanpa

disertai keimanan pada hari akhir.

4
2. Kematian dalam Persfektif Psikologi

Psikologi sebagai sebuah ilmu yang mengkaji pikiran, perasaan, dan perilaku

seseorang melihat kematian sebagai suatu peristiwa dahsyat yang sesungguhnya sangat

berpengaruh dalam kehidupan seseorang. Ada segolongan orang yang memandang

kematian sebagai sebuah malapetaka. Namun ada pandangan yang sebaliknya bahwa

hidup di dunia hanya sementara, dan ada kehidupan lain yang lebih mulia kelak, yaitu

kehidupan di akhirat. Maut merupakan luka paling parah untuk narsisisme insani.

Untuk menghadapi frustrasi terbesar ini, manusiusnya sehar bertindak religius.

Kekosongan batin akan semakin terasa ketika individu dihadapkan pada

peristiwa- peristiwa kematian. Terutama jika dihadapkan pada kematian orangorang

terdekat dan yang paling dicintai. Rasa kehilangan bersifat individual, karena setiap

individu tidak akan merasakan hal yang sama tentang kehilangan. Sebagian individu

akan merasa kehilangan hal yang biasa dalam hidupnya dan dapat menerimanya

dengan sabar. Individu yang tidak dapat menerima kehilangan orang yang disayang

dalam hidupnya akan merasa sendiri dan berada dalam keterpurukan.

Kematian juga disikapi manusia mengenai dirinya. Sadar bahwa suatu saat

dirinya juga akan mengalami kematian. Masing- masing mulai menakar diri.

Menginvetarisasi semua aktivitas dan lakon hidup. Mengingat kebaikan dan keburukan

yang sudah pernah dilakukan. Khawatir akan balasan yang akan diterima dihari

kebangkitan. Perasaan seperti ini sering dirasakan dan menghantui manusia yang

terjadi semacam kecemasan batin. Sebagai suatu ilmu pengetahuan empiris psikologi

terikat pada pengalaman dunia. Psikologi tidak melihat kehidupan manusia setelah

mati, melainkan mempelajari bagaimana sikap dan pandangan manusia terhadap

5
masalah kematian dan apa makna kematian bagi manusia itu sendiri (Boharudin dalam

Pamungkas 2014).

3. Kematian dalam Perspektif Remaja

Salah satu peristiwa hidup yang dihadapi remaja adalah kematian anggota

keluarga dicintai atau kematian sendiri yang akan datang kepada mereka yang

mengancam jiwa. Kematian bukan masalah yang biasa bagi remaja. Koocher dan

Gudas (1992) dengan tepat menyatakan bahwa asumsi remaja tentang kematian yakni

tidak nyamannya remaja dengan kematian, bukan realitas kemampuan remaja untuk

memahami dan mengatasi kematian. Sebagai akibatnya, remaja memiliki kekhawatiran

ketika berpikir tentang kematian, dan kekhawatiran terhadap pertanyaan tentang

kematian.

Dampak negatif dari pengalaman remaja tentang kematian akan membuat

mereka takut untuk mengenang kematian dan merasa bahwa kematian itu sebagai hal

yang menakutkan. Tapi jika melihat dari sisi positif pengalaman remaja tentang

kematian maka remaja mampu memahami kematian dan lebih mengakui kebesaran

Allah sebagai pemilik semesta alam dan lebih mendekatkan diri pada sang Khalik.

C. Terapi Ketakutan Terhadap Kematian

Wicaksono 2015 menyatakan bahwa ada beberapa terapi yang bisa dilakukan oleh

manusia agar dapat mengurangi kecemasan dalam menghadapi kematian, diantaranya

yaitu sebagai berikut:

1. Mendekatkan diri kepada Allah

Cara pertama untuk mengubah rasa takut yang destruktif adalah mendekatkan diri

kepada Allah, dengan cara ini mampu memberikan ketenangan pada seseorang.

Mendekatkan diri kepada Allah juga bermakna memperbanyak ibadah dan kebaikan

6
yang dilakukan. Mendekatkan diri kepada Allah juga bisa ditempuh melalui ilmu

tasawuf. Ilmu tasawuf memiliki inti yang terletak pada wilayah bathin atau berada

pada dimensi spiritualitas. Lalu bagaimana paham tasawuf dalam mendekati Tuhan?

Komaruddin Hidayat menjelaskan, “Mereka lebih senang menatap Tuhan sebagai

yang maha kasih. Cinta merupakan tema dan jalan pendekatan pada Tuhan yang

paling disenangi oleh para sufi. Banyak puisi-puisi cinta yang menggelorakan cintanya

pada Tuhan...” Untuk mampu mendekati Allah, maka langkah pertama yang harus kita

ambil adalah mencintai Allah yang maha indah. Dengan kecintaan inilah timbul

keinginan untuk selalu dekat dan menaati perintahnya.

2. Menambah wawasan tentang kematian

Pada pembahasan sebelumnya telah dijelaskan adanya beberapa alasan seseorang takut

akan kematian, salah satunya adalah mereka belum atau tidak tahu apa yang akan

terjadi setelah datangnya kematian. Namun hal itu bisa dimaklumi, karena informasi

yang didengar memang sering menjelaskan kematian hanya dari sisi yang

menyakitkannya saja, tidak dijelaskan definisi kematian dari sisi yang menyenangkan.

Dengan mengetahui secara spesifik mengenai kematian, diharapkan seseorang bisa

memahami bahwa kematian bukanlah sesuatu yang harus ditakuti, karena mau atau

tidak mau ia merupakan sesuatu yang tak terelakkan dan pasti. Bahkan jika kita mau

menengok, bagi kaum sufi kematian merupakan sesuatu yang dinanti-nantikan karena

kematian merupakan jalan untuk bisa bertemu Tuhan.

3. Mampu melepaskan diri dari kepemilikan duniawi.

Dari sudut pandang agama semua yang kita miliki hanyalah berfungsi sebagai fasilitas

instrumental untuk sesuatu yang lebih maknawi. Dalam terminologi agama, yaitu

kualitas iman yang kemudian teraktualisasikan ke dalam amal shaleh. Jadi ketika kita

7
memiliki semua fasilitas instrumental, sejak dari harta, jabatan dan bahkan ilmu, kalau

tidak membuahkan amal kebajikan bagi sesama manusia sebagai aktualisasi rasa

syukur dan pengabdian pada Tuhan, maka sesungguhnya kita telah tertipu oleh

pandangan hidup yang berskala pendek atau duniawi. Dengan melepaskan diri dari

jeratan tali dunia, maka seseorang akan lebih enteng dalam menjalani hidup. Kematian

yang menghadang pun akan santai saja menghadapinya karena tidak adanya yang

membelenggu diri.

4. Pencarian makna

Pemaknaan hidup seseorang erat kaitannya dengan penghayatan agama yang ia miliki.

Semakin dalam penghayatan tersebut, maka semakin dalam pula penghayatannya.

Komaruddin Hidayat menegaskan bahwa hidup menjadi bermakna selama kita beri

makna, namun hanya sebatas kehidupan dunia ini. Kebanyakan masalah masyarakat

modern muncul, salah satu penyebabnya adalah keringnya makna dalam kehidupan.

Dalam pandangan hedonisme, hidup dikatakan bermakna selama memberikan

kenyamanan dan kenikmatan. Pandangan kaum hedonis ini hanya memberikan harga

dan makna hidup sebatas pada capaian nikmat fisik yang jelas tidak sejalan dengan

ajaran agama. Berdekatan dengan pandangan hedonisme adalah paham nihilisme yang

menyatakan bahwa manusia tak ubahnya seperti hewan ataupun benda lain yang

kesemuanya berakhir ketika seorang meninggal. Dengan memaknai kehidupan,

seseorang akan merasa enteng dalam menjalani kehidupan. Selain itu semangat hidup

juga akan bertambah karena merasa bahwa hidupnya benar-benar bernilai. Ada

beberapa hal yang perlu dimaknai untuk memberikan terapi terhadap ketakutan akan

kematian dalam perspektif Komaruddin Hidayat diantaranya:

a. Memaknai kelahiran

8
b. Memaknai kepemilikan

c. Memaknai panjang umur

d. Memaknai keabadian

e. Memaknai kematian (Puspita, dkk 2013)

D. Ciri- ciri Perubahan Fisik Menjelang Kematian

Sebelum kematian datang terdapat ciri- ciri fisik yang ada pada seseorang menurut

medis, ciri- ciri tersebut diantaranya yaitu sebagai berikut:

1. Aliran darah melambat

Karena aliran darah bermasalah, kulit akan terlihat seperti berbintik-bintik dan

mengalami perubahan warna. Bintik dan warna kebiruan pada kulit yang terlihat di

bagian atas tubuh, yaitu dari pinggul hingga kepala, mencirikan tanda kematian yang

lebih dekat dibandingkan dengan perubahan yang terlihat di bagian bawah tubuh. Jika

Anda melihat ciri ini, usahakan untuk memberikan perawatan pada kulit yang terkena,

misalnya dengan memberikan pelembap. Selain itu, Anda juga bisa menanyakan

apakah orang terkasih Anda mengalami ketidaknyamanan tertentu sehingga Anda bisa

melakukan perawatan yang tepat sesuai keluhan.

2. Menurunnya aliran darah diseberal otak

Kondisi ini mengakibatkan seseorang mengalami penurunan tingkat kesadaran. Selain

itu, kondisi ini juga membuat seseorang merasa mengantuk terus menerus dan

terkadang mengalami disorientasi (linglung). Jika orang terkasih Anda mengalami hal

ini, maka biarkan ia beristirahat. Namun, tetap pantau kondisinya, siapa tahu ia

membutuhkan pertolongan.

3. Penurunan outfut jantung dalam volume cairan dalam pembuluh darah

9
Dalam kondisi ini seseorang terkadang mengalami takikardia, atau detak jantung di

atas normal saat beristirahat. Jika orang normal berdetak 60-100 kali per menit, maka

orang yang mengalami takikardia umumnya lebih dari 100 detak per menit. Selain itu,

kondisi ini juga mengakibatkan seseorang mengalami hipotensi atau tekanan darah

rendah yang bisa mengakibatkan kegagalan organ.

4. Penurunan fungsi pada sistem kemih

Pada kondisi ini, seseorang mungkin akan mengalami inkontinensia urine

(mengompol). Anda perlu menjaga orang terkasih Anda agar tetap bersih dan kering.

Pakaikan popok untuk menghindari penggantian celana yang terlalu sering yang

mungkin membuatnya tidak nyaman.

5. Perubahan selera makan seperti:

a. Tidak mau makan

Pada kondisi ini, biasanya orang yang sakit keras akan mengalami penurunan

selera makan dan minum. Hal ini akan berakibat pada penurunan berat badan dan

dehidrasi. Jika seseorang mengalami hal ini, jangan memaksanya untuk makan

atau minum. Akan tetapi, tetap pantau asupan makanan dan cairan agar tetap

tercukupi.

b. Mengalami kesulitan makan

Biasanya seseorang di situasi ini akan mengalami beberapa kesulitan saat makan

seperti makanan tidak ditelan, tersedak, dan batuk-batuk setelah makan. Solusinya,

Anda bisa memberi orang terkasih Anda makan makanan lunak atau makanan

yang telah dihaluskan agar makanan lebih mudah dicerna.

c. Perubahan pada kulit

10
Biasanya, muncul bercak kehijauan atau merah gelap yang terdapat di belakang

lengan atau kaki. Anda perlu menjaga sprei tetap bersih dan kering untuk menjaga

kebersihan kulitnya. Selain itu, Anda juga bisa mengoleskan lotion yang

dianjurkan dokter untuk meringankan gejala ini. Luka dekubitus yaitu titik nyeri

yang muncul pada tubuh akibat tekanan yang terlalu besar yang terjadi pada satu

area tertentu.

d. Gangguan sistim pernapasan

Biasanya ditandai dengan suara napas yang berisik walaupun tidak sedang

mengalami batuk. Tidur dengan posisi memiringkan kepala bisa menjadi salah satu

solusi. Anda juga bisa menaruh bantal kecil yang empuk di belakang leher untuk

mengganjal kepalanya (Puspita, dkk: 2014).

E. Sebab- sebab Ketakutan Terhadap Kematian

Miskawaih dalam Wicaksono (2015) menganalisis sebab-sebab ketakutan manusia

terhadap kematian, dan ia menyebutkan sebab-sebab itu sebagai berikut:

1. Tidak mengetahui hakikat dari kematian.

2. Tidak mengetahui nasib jiwa setelah kematian.

3. Dugaan bahwa jika badan rusak dan susunannya hancur maka zatnya akan hancur dan

jiwanya akan rusak, serta dugaan bahwa alam akan selalu abadi, sedangkan ia tidak

berada di dalamnya.

4. Dugaan bahwa kematian adalah penderitaan besar yang berbeda dengan penderitaan

sebelumnya dan yang menimbulkan kematian.

5. Kepercayaan bahwa ia akan mendapatkan siksaan setelah kematian.

6. Kebingungan dan ketidaktahuan atas apa yang akan ia berikan setelah kematian.

11
7. Menyesali uang dan simpanan yang ia tinggalkan. Ini biasanya dikarenakan seseorang

terlalu mencintai apa yang ia miliki tanpa menyadari semua itu hanyalah titipan

semata.

Dari beberapa sebab diatas maka dapat disimpulkan bahwa kematian itu pasti akan

datang, dan datangnya kematian seseorang tidak ada satu orangpun yang mengetahuinya

karena kematian merupakan rahasia Allah yang telah dituliskan di lauhil mahfudz.

Manusia hanya bias berusaha, beramal dan berbuat baik dalam menjemput kematiannya

agar menjadi kematian yang husnul khotimah. Sebab- sebab ketakukan dalam

menghadapi kematian secara garis besar alasannya adalah belum siap dengan amal yang

dipersiapkannya didunia sehingga membuat ia menjadi takut dan menyesali segala apa

yang telah di kumpulkannya selama hidupnya.

F. Solusi Menghadapi Kematian

Ciri-ciri orang yang memiliki kecerdasan ruhaniah menurut Tasmara dalam Gladys (2013)

antara lain adalah:

1. Memiliki visi.

Visi adalah cara pandang ke masa deoan yaitu bagaimana kita melihat gambaran diri

kita di masa depan. Visi merupakan komitmen yang kemudian yang kemudian

diwjudkan dalam bentuk perilaku sehari-hari. Seseorang dengan keerdasan ruhaniah

menjadikan pertemuan dengan Sang Pencipta sebagai visi dan tujuan hidupnya.

2. Merasakan kehadiran Tuhan

Keyakinan dan perasaan akan kemahahadiran Tuhan memberikan kekuatan,

pengendalian, sekaligus kedamaian hati seseorang, sehingga ia merasa berasa dalam

pengawasan Nya, dan menjadi pribadi yang senantiasa ingat akan keberadaan Allah

dalam setiap nafas dan langkah dalam kehidupannya.

12
3. Mengingat Tuhan dan berdoa

Dengan selalu mengingat Tuhan, kita selalu ingat tujuan hidup kita dan kemana kita

akan kembali. Pada hakikatnya dia adalah harapan yang dimiliki seorang hamba

kepada Tuhan-Nya. Memiliki kualitas sabar

4. Sabar

Sabar adalah memegang teguh harapan dan tidak keluar dari jalur yang ditempuh

untuk menuju cita-cita dan apabila menemui hambatan, akan mencari jalan dan

metode lain dengan cara yang kreatif.

5. Cenderung pada kebaikan

Orang-orang yang bertaqwa akan selalu menunjukkan sikap yang cendering mengarah

pada kebaikan dan kebenaran. Mereka merasa bahwa setiap hari bahkan setiap detik

terlalu berharga untuk dilewatkan tanpa melakukan suatu kebaikan.

6. Berjiwa besar

Orang yang berjiwa besar memiliki keberanian untuk memaafkan dan melupakan

kesalahan yang telah dilakukan oleh orang lain dengan tulus dari hati nuraninya.

Orang yang cerdas secara ruhaniah memiliki sikap pemaaf sehingga dirinya selalu

berhati-hati untuk tidak mengeluarkan kata yang menunjukkan sikap benci, dendam,

dan caci maki.

7. Bahagia melayani Individu

Menya daribahwa keberadaannya tidak terlepas dari tanggungjawabnya terhadap

lingkungan. Sehingga hatinya terbuka untuk menerima kehadiran orang lain dan

merasa terpanggi untuk melayani. Dengan melayani orang lain, berarti ia mengasah

kualitas akhlaknya menjadi lebih luhur dan bermakna.

13
G. Faktor Penyebab Kematian

Kematian dapat terjadi kapan saja disepanjang kehidupan manusia antara lain

sebagai berikut:

1. Kanak kanak

Pada usia kanak kanak kematian dapat disebabkan karena beberapa hal seperti karena

kecelakaan atau mengidap berbagai macam penyakit

2. Remaja

Pada usia ini kematian dapat terjadi disebabkan karena beberapa faktor diantaranya

adalah kecelakaan, bunuh diri, dibunuh, dan mengalami sakit

3. Dewasa

Pada usia ini kematian juga dapat terjadi disebabkan karena beberapa faktor

diantaranya adalah kecelakaan, bunuh diri, serangan berbagai penyakit seperti kanker,

jantung dan paru- paru.

4. Usia lanjut

Pada usia ini, seseorang pasti mengalami kecemasan akan datangnya kematian. Diusia

ini juga kematian dapat terjadi disebabkan karena beberapa faktor seperti serangan

berbagai penyakit seperti kanker, hipertensi, diabetes dan penyakit jantung.

Dari kelima faktor penyebab kematian diatas, maka secara garis besar dapat

disimpulkan bahwa terkadang disetiap fase memiliki faktor penyebab kematian yang sama

dan kadang berbeda. Hal ini dikarenakan kita sebagai manusia tidak bisa memilih akan

meninggal dengan faktor tertentu, melainkan semuanya telah ditentukan oleh Allah yang

maha mengetahui apa yang terbaik untuk setiap hambanya. Terkadang ketika manusia

berada pada fase kanak- kanak, remaja dan dewasa memiliki faktor penyebab meninggal

dengan cara yang berbeda- beda seperti kecelakaan, sakit, bunuh diri dan lain sebagainya.

14
H. Sikap Terhadap Kematian Dalam Beberapa Fase Dalam Hidup

Ada beberapa sikap berdasarkan fase- fase perkembangan dalam menghadapi

kematian, sikap- sikap tersebut diantaranya yaitu sebagai berikut:

1. Bayi : belum memiliki konsep mengenai kematian

2. Anak-anak prasekolah: belum memiliki konsep yang baik mengenai kematian,

kadang-kadang menyalahkan diri sendiri atas kematian seseorang.

3. Di awal masa sekolah: mulai mengembangkan orientasi yang realistis mengenai

kematian.

4. Remaja: memiliki pandangan yang lebih abstrak dan filosofis mengenai kematian

dibandingkan anak-anak dan dapat mengabaikan kematian. Sikap kematian dapat

bervariasi di antara orangorang dewasa di segala usia.

5. Dewasa awal: belum ada bukti seseorang mengembangkan orientasi yang khusus

mengenai kematian

6. Dewasa menengah: lebih sadar mengenai kematian dan kecemasan karena kematian

7. Lanjut usia: memperlihatkan kecemasan kematian yang lebih rendah dibandingkan

dewasa menengah, lebih sering mengalami dan bercakapcakap mengenai kematian.

Berdasarkan ketujuh sikap pada beberapa fase perkembangan dalam menghadapi

kematian, maka dapat disimpulkan bahwa setiap fase memiliki konsep atau sikap yang

berbeda- beda seperti pada tahap fase bayi, pada tahap ini bayi akan dengan suka rela

menerima apa yang telah ditentukan oleh Allah swt tanpa bisa bersikap apa –apa,

sedangkan berbeda dengan sikap pada fase perkembangan anak-anak tentunya walaupun

belum memiliki konsep mengenai kematian tetapi cenderung menyalahkan diri sendiri.

Sedangkan akan berbeda dengan fase dewasa dan usia lanjut, pada usia ini seseorang

tentunya memperlihatkan kecemasannya terhadap kematian.

15
I. Sikap Remaja Terhadap Kematian

Nurhidayati (2014) menjelaskan bahwa kematian salah satu atau ke dua orangtua

membuat remaja merasa kehilangan. Adapun kehilangan yang dirasakan adalah

kehilangan perhatian dan kasih sayang, kehilangan model, kehilangan rasa aman,

kehilangan teman berbagi, kehilangan keutuhan keluarga, dan kehilangan arah. Pasca

kematian orangtua remaja membutuhkan fgur pengganti. Adapun fgur pengganti orangtua

yang diperoleh remaja adalah pengasuhan dari keluarga terdekat, ayah tiri atau ibu tiri.

Figur pengganti yang berfungsi dengan baik, akan memperoleh perilaku sosial yang

bertanggung jawab dan kemandirian secara emosional.

Sedangkan, Dody (2014) menambahkan dengan menyadari kesedihan sebagai

pembelajaran diri termasuk juga kebutuhan akan hubungan interpersonal dan

transendental lebih banyak dialami daripada kesedihan sebagai pengalaman negatif saja.

Namun demikian, penelitian selanjutnya dapat lebih mempertimbangkan jumlah

responden yang lebih besar dan memperhatikan latar belakang budaya baik jawa, melayu,

minang, dan batak untuk lebih mendekati kontekstual kondisi remaja di Pekanbaru yang

memiliki budaya heterogen.

Dari pemaparan diatas didapatkan kesimpulan bahwa tidak semua remaja yang

meninggal orangtuanya mendapatkan fgur pengganti. Sebagian remaja yang memiliki

orangtua tunggal tidak mendapatkan fgur pengganti, akan tetapi mereka mendapatkan

dukungan langsung dari keluarga. Dukungan langsung dari keluarga akan sangat

membantu remaja dalam mengatasi rasa kehilangan pasca kematian orangtua. Adapun

dukungan langsung yang diberikan keluarga seperti, perhatian yang lebih dari pada

sebelumnya, motivasi serta nasehat-nasehat yang akan dapat membantu remaja dalam

mengatasi rasa kehilangan pasca kematian orangtua.

16
J. Sikap Lansia Terhadap Kematian

Rini (2017) menjelaskan bahwa kualitas hidup pada lanjut usia menggambarkan

fase kehidupan yang dimasuki lanjut usia. Kualitas hidup individu yang satu dengan yang

lain akan berbeda, hal itu tergantung pada defnisi atau interpretasi masing-masing

individu tentang kualitas hidup yang baik. Kualitas hidup yang tinggi menggambarkan

bahwa individu memasuki fase integritas dalam tahap akhir hidupnya, begitu juga dengan

kualitas hidup yang rendah berdampak pada keputusasaan yang dialami oleh lanjut usia.

kualitas hidup juga berkaitan erat dengan kebahagiaan, kepuasan hidup dan kesejahteraan

subjektif yang saling berhubungan satu dan lainnya.

Sedangkan Alma (2017) berpendapat bahwa lanjut usia harus bisa menyesuikan

diri dan menerima segala perubahan yang terjadi dalam tubuhnya, baik itu perubahan fsik

dan perubahan psikologis. penerimaan ini bisa dilakukan oleh lanjut usia dengan

menyadari dan lebih peka dengan segala perubahan tersebut, seperti kesadaran akan udara

yang masuk dan mengalir dalam tubuh, kesadaran akan indra dan organ yang ada dalam

tubuh, inilah yang disebut dengan mindfulness.

Berdasarkan pemaparan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa lansia rentan

mengalami bermacam-macam masalah kesehatan. Hal ini disebabkan oleh fungsi organik

dan sistemik lansia yang menurun seiring dengan pertambahan usia yang dialami. Salah

satu hal yang sering dialami lansia adalah penyakit kronis. Penyakit kronis adalah

pengalaman sakit yang dialami secara terusmenerus selama enam bulan atau lebih

(Sarafino & Smith, 2011). Durasi penyakit kronis yang relatif lama membuat penyakit

kronis rentan mempengaruhi berbagai aspek kehidupan penderitanya, baik aspek fisik,

psikologis, maupun sosial. Hal ini menyebabkan penderita penyakit kronis biasanya juga

mengalami hambatan untuk menjalankan aktivitas hariannya

17
K. Tahap- Tahap Menjelang Kematian

Kubler Rose dalam Wicaksono 2015 menyatakan bahwa ada beberapa tahap

menjelang kamantian diantaranya yaitu:

1. Penolakan dan isolasi: Menyangkal akan meninggal, merupakan mekanisme

pertahanan diri dan bersifat sementara.

2. Marah: Penyangkalan memunculkan kemarahan, kebencian, kegusaran dan iri hati.

Sasaran kemarahan, yaitu dokter, perawat, anggota keluarga, dan Tuhan.

3. Menawar: Berharap kematiannya ditunda, berjanji mendedikasikan hidupnya pada

Tuhan atau melayani orang lain.

4. Depresi: Mulai menerima kepastian atas kematiannya, menjadi pendiam, menolak

dikunjungi, menangis dan berduka

5. Menerima: Akhir perjuangan menjelang kematian, mengembangkan rasa damai,

menerima nasibnya, perasaan dan rasa sakit pada fisik mulai hilang perlahan karena

sudah ada rasa ikhlas.

Berdasarkan pemaparan diatas mengenai tahap- tahap menjelang kematian, maka

dapat disimpulkan bahwa seseorang akan melakukan berbagai upaya atau penolakan

sesuai dengan apa yang ia kehendaki, walaupun mereka tau bahwa kematian merupkan

suatu hal yang sudah pasti tetapi sebagai manusia biasa terkadang kita tidak menyadari

akan sikap kita dalam menghadapi kematian seperti terkadang sebagai manusia tidak

menyadari dirinya melakukan penolakan dan isolasi, marah, menawar, defresi, menerima.

Sebelum seseorang berada pada tahap menerima segala upaya atau penolakan sering

terjadi tanpa disadari atau tidak. Sebenarnya hal inilah yang akan membuat seseorang

tersebut mudah mengalami frustasi dan defresi karena tidak bisa menerima ketentuan

Allah swt secara iklas.

18
L. Kesadaran Menjelang Kematian

Keuntungan dari kesadaran yang terbuka bagi individu menjelang kematiannya

antara lain sebagai berikut:

1. Dapat menyesuaikan hidupnya dengan cara meninggal sesuai keinginannya

2. Dapat menyelesaikan beberapa recana dan proyek, melakukan pengaturan bagi orang

yang masih hidup, dan berpartisipasi dalam membuat keputusan mengenai

pemakamannya

3. Berkesempatan meninjau kembali hidupnya, bercakap- cakap dengan orang yang

penting dalam hidupnya, dan mengakhiri kehidupannya dengan kesadaran mengenai

bagaimana kehidupannya selama ini

4. Paham apa yang terjadi dengan tubuhnya dan apa yang dilakukan oleh para staf medis

terhadap tubuhnya.

5. Sebagian besar psikolog merekomendasikan system komunikasi terbuka dengan orang

yang menjelang ajalnya.

6. Komunikasi sebaiknya tidak membahas mengenai patologi atau persiapan kematian

namun sebaiknya menekankan pada kekuatan orang tersebut.

Dari beberapa pemaparan di atas terkait dengan kesadaran menjelang kematian,

maka dapat disimpulkan bahwa seseorang yang dengan sadar menyadari bahwa dirinya

akan meninggal maka akan memanfaatkan sisa waktu yang ia miliki dengan

menggunakannya untuk berbuat amal sholih. Dengan seperti itu ia bisa mempersiapkan

dirinya meninggal sesuai dengan keinginannya dalam arti tetap sesuai dengan kehendak

Allah tetapi ia telah berusaha untuk berbuat sebaik- baiknya agar akhir dari kehidupannya

juga bisa dengan cara yang baik sesuai dengan apa yang telah dikehendakinya sesuai

dengan amal perbuatannya.

19
M. Jenis Duka Cita

Duka cita adalah ketumpulan emosional, ketidakyakinan, kecemasan karena

keterpisahan (separation anxiety), putus asa, kesedihan, dan kesepian, yang menyertai

kehilangan sesorang yang kita cintai. Ada beberapa jenis duka cita diantaranya yaitu

sebagai berikut:

1. Duka cita berkepanjangan (prolonged grief)

Jenis dukacita dengan keputusasaan berkepanjangan dan tidak terselesaikan selama

beberapa waktu tertentu.

2. Duka cita disenfranchised

Dukacita terhadap orang yang meninggal, yang secara sosial merupakan kehilangan

yang tidak dapat diungkapkan atau didukung secara terbuka.

Berdasarkan kedua jenis duka cita yaitu dukacita yang berkepanjangan dan duka cita

disenfranchised maka dapat disimpulkan bahwa duka cita bersifat multidimensional dan

dapat berlangsung selama bertahun-tahun. Proses duka cita itu naik-turun, bukan tahapan

yang teratur dan jelas, melibatkan perubahan emosi yang berlangsung cepat, menghadapi

tantangan untuk mempelajari keterampilan baru, mendeteksi kelemahan dan keterbatasan

pribadi, menciptakan pola-pola perilaku yang baru, dan membentuk persahabatan dan

relasi-relasi yang baru.

20
BAB III

KESIMPULAN

A. Kesimpulan

Pada bagian ini, penulis akan menyimpulkan beberapa hal terkait dengan judul makalah

yaitu “Psikologi Kematian” sekaligus sebagai jawaban terhadap rumusan masalah yang telah

ditentukan. Adapun kesimpulannya yaitu sebagai berikut:

a. Psikologi kematian yaitu dapat dideteksi yaitu ditandai dengan berhentinya detak

jantung seseorang, dan kematian juga sebagai pemutusan segala kelezatan duniawi,

dia adalah pemisah antara manusia dan pengaruh kenyamanan hidup orang- orang

yang lalai sehingga dimensi psikologis dari kematian menekankan pada dinamika

psikologi individu yang akan mati maupun orang- orang di sekitar si mati baik

sebelum dan sesudah kematian.

b. Cara mengurangi ketakutan terhadap kematian yaitu dengan cara mendekatkan diri

kepada Allah, menambah wawasan tentang kematian, mampu melepaskan diri dari

kepemilikan duniawi, dan pencarian makna hidup.

c. Ciri- ciri perubahan fisik menjelang kematian yaitu aliran darah melambat,

menurunnya aliran darah seberal otak, penurunan outfut jantung dalam volume cairan

pembuluh darah, penurunan fungsi pada sistim kemih, perubahan selera makan.

d. Sebab- sebab ketakutan terhadap kematian yaitu tidak mengetahui hakikat dari

kematian, tidak mengetahui nasib jiwa setelah kematian, dugaan bahwa jika badan

rusak dan susunannya hancur maka zatnya akan hancur dan jiwanya akan rusak, serta

dugaan bahwa alam akan selalu abadi, sedangkan ia tidak berada di dalamnya, dugaan

bahwa kematian adalah penderitaan besar yang berbeda dengan penderitaan


21
sebelumnya dan yang menimbulkan kematian, kepercayaan bahwa ia akan

mendapatkan siksaan setelah kematian, kebingungan dan ketidaktahuan atas apa yang

akan ia berikan setelah kematian, dan menyesali uang dan simpanan yang ia

tinggalkan. Ini biasanya dikarenakan seseorang terlalu mencintai apa yang ia miliki

tanpa menyadari semua itu hanyalah titipan semata.

B. Penutup

Alhamdullillahirobbil’alamin, demikianlah makalah ini disusun semoga bermanfaat

dan menambah khasanah keilmuan kita semua. Penulis menyadari bahwa makalah ini jauh

dari kesempurnaan seperti yang diharapkan oleh pembaca. Sebagai mana pepatah

mengatakan “No Body Perpect in This World”, begitu juga dengan makalah ini. Untuk itu

penulis sangat mengharapkan saran yang membangun untuk perbaikan makalah ini agar

menjadi lebih sempurna dari saat ini sebagai bahan pelajaran yang bisa bermanfaat untuk

pembaca dan kita semua. Atas perhatian dan dukungannya penulis selaku penyusun

makalah ini mengucapkan banyak terima kasih.

22
DAFTAR PUSTAKA

Della, Agustina. 2009. The Relationship of Spiritual Intelligence with Readiness in Facing
Death in the Elderly. International Journal of Psycology. ISSN 2009 – 8884, NO. 1,
57 – 70.

Gladys, Djemi, at all. 2013. Medicolegal Aspects of Management of Death In the city of
Manado. International Journal e-Biomedik (eBM), Volume 1, Nomor 1, Maret 2013,
hlm. 111-117.

Mega, Herdina. 2013. Komarudin's Concept of Strength Therapy for Death. International
Journal of Islamic Psychology. Oktober 2013. ISSN 2088-6306 Vol. 1, No. 2.

Nada, shobah. 2015. Preparation for Facing Death: A Psychological Phenomenology Study
in Middle Adult Mothers. International Journal of Development. ISSN: 2104-1994
Volume: 7, Nomor 1, Mei 2013: 1-6.Accredited : 97/DIkti/Kep/ 2004.

Nurhidayati. 2014. The factor of happiness in the Reality Job. International journal of
psycology. JOM PSIK VOL.1 NO.2 OKTOBER 2014. Vol 4

Pamungkas, dkk. 2014. The Relationship Between Religiosity and Social Support with Anxiety
Facing Close to Older Age In the elderly, Jebres Surakarta. International Journal of
Psychology Religion. Universitas Sebelas Maret. . ISSN 2085-8307 Vol. 1, No. 5.

Puspita, Harapani, at all. 2014. Phenomenology Study of Elderly Perception in preparing


yourself for death. International Journal JOM PSIK VOL.1 NO.2 OKTOBER 2014.
Vol 4 (1999-2013)

Wicaksono, Wahyu. 2015. Fear of death in terms of wisdom and religious orientation in the
late adolescence period with a student status. International Journal of Psycology.
ISSN 0215 – 8884 2003, NO. 1, 57 – 65.

23

Anda mungkin juga menyukai