PENDAHULUAN
Pendidikan merupakan salah satu aspek yang sangat penting dalam kehidupan,
dimana aspek yang menjadi subjek sekaligus objek yang penting dalam hal ini adalah
peserta didik. Pendidikan yang diberikan tidak hanya dalam lingkup akademik namun
mendidik disini dimaksudkan untuk membentuk kepribadian yang sesuai dengan
norma hukum dan agama. Setiap peserta didik bersifat khas dan unik karena setiap
peserta didik berbeda-beda.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan perkembangan moral?
2. Apa yang dimaksud dengan perkembangan tingkah laku?
3. Apa yang dimaksud dengan perkembangan spiritual?
4. Apa yang dimaksud dengan perkembangan agama?
C. Tujuan Pembahasan
1. Untuk mengetahui pengertian perkembangan moral.
2. Untuk mengetahui pengertian perkembangan tingkah laku.
3. Untuk mengetahui pengertian perkembangan spiritual.
4. Untuk mengetahui pengertian perkembangan agama.
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
Dalam mengembangkan moral anak, peranan orangtua sangatlah penting, terutama
pada waktu anak masih kecil (Yusuf LN, 2004).
4
seseorang (kognitif, afektif, psikomotorik) dengan sesamanya atau dengan
lingkungannya, maka seseorang dapat berkembang menjadi semakin dewasa baik
secara fisik, spiritual dan moral (Sjakarwi, 2006). Dengan interaksi maka kesejajaran
perkembanagan moral, kognitif dan inteligensi akan terjadi secara harmonis. Hal itu
sejalan dengan dengan pandangan Piaget bahwa intelegensi berkembang sebagai
akibat hubungan timbal balik antara unsur keturunan dan lingkungan, hubungan itu
begitu menentukan sama halnya dalam perkembangan moral seseorang.
5
B. Tahap-tahap perkembangan moral
1. Tahap-tahap perkembangan moral menurut John Dewey, yaitu :
a. Tahap pramoral, ditandai bahwa anak belum menyadari keterikatannya pada
aturan.
b. Tahap konvensional, ditandai dengan berkembangnya kesadaran akan ketaatan
pada kekuasaan.
c. Tahap otonom, ditandai dengan berkembangnya keterikatan pada aturan yang
didasarkan pada resiprositas.
2. Adapun tahap-tahap perkembangan moral yang sangat terkenal adalah yang
dikemukakan oleh Lawrence E Kohlberg. Kohlberg menjelaskan tiga tingkat
perkembangan moral (Christian Jacobs Ardines dkk, 2018: 90-98 ). Tahap-tahap
berkembangan moral tersebut, yaitu :
a. Tingkat Prakonvensional
Tingkat pertama adalah "pra-konvensional", di mana subjek tidak
memiliki aturan sosial atau otoritas yang jelas. Itu perilaku individu pada
tingkat ini tetap diatur oleh konsekuensi langsung dari mereka tindakan
(dengan kata lain: “Sebagai pelayan publik, saya tidak akan menerima hadiah
sebagai imbalan atas bantuan karena saya bisa dikirim ke penjara ”). Ini adalah
posisi klasik dari subjek yang belum sudah 10 tahun, di mana mereka tidak
mengerti mengapa mereka dihukum tetapi mengerti bahwa tindakan mereka
membawa celaan (Christian Jacobs Ardines dkk, 2018: 90).
Tahap perkembangan moral yang aturan-aturan dan ungkapan-
ungkapan moral masih ditafsirkan oleh individu atau anak berdasarkan akibat
fisik yang akan diterimanya, baik itu berupa sesuatu yang menyakitkan atau
kenikmatan. Pada tingkat ini terdapat dua tahap, yaitu tahap orientasi hukuman
dan kepatuhan serta orientasi relativitas instrumental.
b. Tingkat Konvensional
Tingkat berikutnya adalah yang "konvensional", di mana individu
bertindak dengan cara didik di bawah paradigma quid pro quo, lebih memahami
peran mereka dalam sistem sosial, dan apa arti otoritas. Kohlberg
menunjukkan bahwa sebagian besar penduduk menemukan diri dalam posisi
ini, yang berkembang setelah sepuluh tahun (Christian Jacobs Ardines dkk, 2018:
90).
6
Tahap perkembangan moral yang aturan-aturan dan ungkapan-
ungkapan moral dipatuhi atas dasar menuruti harapan keluarga, kelompok atau
masyarakat. Pada tingkat ini terdapat juga dua tahap, yaitu tahap orientasi
kesepakatan antara pribadi atau disebut “orientasi anak manis” serta tahap
orientasi hukum atau ketertiban.
c. Tingkat Pascakonvensional
Terakhir, Kohlberg menggambarkan apa yang disebut "tingkat pasca-
konvensional", yang dikembangkan oleh sangat beberapa orang, biasanya
setelah dua puluh lima tahun. Pada level ini, individu memahami aturan
masyarakat dan mampu melampaui, karena pemikiran mereka dipandu oleh
nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang dibangun sendiri dalam keinginan mereka
untuk mencapai masyarakat yang lebih baik untuk semua. Meskipun mungkin
tampak mengejutkan, pendekatan yang paling umum digunakan untuk studi
perkembangan moral saat ini tetap yang dikembangkan oleh Kohlberg, terkait
dengan moral penilaian individu melalui penyajian dilema moral. (Linde
Navas, 2009; Narvaez dan Gleason, 2007).
Tahap perkembangan moral yang aturan-aturan dan ungkapan-
ungkapan moral dirumuskan secara jelas berdasarkan nilai-nilai dan prinsip
moral yang memiliki keabsahan dan dapat diterapkan, hal ini terlepas dari
otoritas kelompok atau orang yang berpegangan pada prinsip tersebut dan
terlepas pula dari identifikasi diri dengan kelompok tersebut. Pada tingkatan
ini terdapat dua tahap, yaitu tahap orientasi kontrak sosial legalitas dan tahap
orientasi prinsip etika universal.
3. Tahapan Perkembangan Moral Piaget
a) Menurut Piaget perkembangan moral terjadi dalam dua tahapan, yaitu “tahap
realisme moral” dan “tahap moralitas atau hubungan timbal balik” (Daeroso
1989:30-32).
a. Tahap pertama “tahap realisme moral”, perilaku anak cenderung
menganggap kewajiban dan nilai yang melekat padanya sebagai bagian,
yang berdiri sendiri dan bebas dari pengaruh akal manusia, sebagai sesuatu
yang mempengaruhi sendiri tanpa memandang keadaan, dimana individu
menemukan dirinya. Mereka mengganggap orang tua dan orang dewasa
yang berwenang sebagai maha kuasa dan mengikuti peraturan yang
diberikan tanpa mempertanyakan kebenarannya. Dalam tahap ini, pada
7
pertimbangan anak mengenai benar dan salah berdasarkan konsekuensinya
serta bagi anak kecil semua peraturan ini sama.
b. Tahap kedua “tahap moralitas atau hubungan timbal balik”, anak menilai
perilaku atas dasar tujuan yang mendasarinya. Tahap ini dimulai pada anak
usia dua tahun sampai dua belas tahun. Tingkah laku benar dan salah sudah
mulai dimodifikasi. Artinya anak sudah mulai mempertimbangkan keadaan
tertentu yang berkaitan langsung dengan pelanggaran moral.
b) Menurut John Dewey, tahapan perkembangan moral seseorang akan melewati
tiga fase (Hidayat, 2015: 141) yaitu:
(1) Fase premoral atau preconventional: pada level ini sikap dan perilaku
manusia banyak dilandasi oleh impuls biologis dan social.
(2) Tingkat konvensional; perkembangan moral manusia pada tahapan ini
banyak didasari oleh sikap kritis kelompoknya.
(3) Autonomous: pada tahapan ini perkembangan moral manusia banyak
dilandasi pola pikirnya sendiri. Pada tahapan ini seorang anak telah
memiliki kemampuan sendiri dalam menentukan segala keputusan sikap
dan perilaku moralitasnya.
Menurut Imam Ahmad Ibn Hanbal yang dikutip oleh Karim bahwa
sifat ajaran Islam adalah penyempurnaan moral karena nilai moral dalam
Islam tiada lain merupakan penyempurnaan dan pengembangan dari nilai
moral yang sudah ada dalam masyarakat. Sabda Nabi SAW: “Saya diutus
untuk menyempurnakan akhlak yang mulia” (Karim, 2013:24).
Adapun pengertian tingkah laku prososial menurut Sri Utari Pidada (1994)
adalah suatu tingkah laku yang mempunyai satu akibat atau konsekuensi positif bagi
si partner interaksi. Hampir senada dengan pendapat sebelumnya, janusz Reskowski
(dalam Eigsenberg, 1982) juga menjelaskan bahwa istilah tingkah laku prososial
mencakup sejumlah fenomena yang luas.
9
antisipasi reward eksternal, dan tingkah laku tersebut dilakukan tidak untuk dirinya
sendiri, meliputi helping/aiding, sharing, dan donating.
Tingkah laku prososial menyangkut intensi, value, empati, proses internal dan
karakteristik individual yang dapat mengantarai suatu tindakan. Fokus utamanya
adalah tindakan, karena hal ini signifikan untuk individu dan kelompok sosial.
Menurut Staub (1978) tingkah laku prososial adalah tindakan sukarela dengan
mengambil tanggung jawab menyejahterakan orang lain.
Dari beberapa definisi diatas, dapat dipahami bahwa tingkah laku prososial
adalah tingkah laku sosial positif yang menguntungkan atau membuat kondisi fisik
atau psikis orang lain lebih baik, yang dilakukan atas dasar sukarela tanpa
mengharapkan reward eksternal.
Pada awal masa kanak-kanak, anak mulai bertingkah laku sesial dengan
cara yang kasar sebab memang belum mengerti bagaimana caranya bertingkah
laku social yang tepat.
10
Negativism adalah suatu bentuk tingkah laku social dimana anak
menujukan sifat keras kepala dan selalu mengatakan “tidak”. Meski hal ini sukar
dikendalikan, namun karena umum sekali dilakukan anak haruslah dianggap
normal.
Bullying adalah serangan physic tergadap orang yang lebih lemah dengan
tujuan menyakiti. Anak yang terlibat dalam bentuk agresi ini seringkali
mempunyai perasaan rendah diri atau perasaan tidak aman.
11
menjadi nakal, berpura-pura sakit dan takud dengan maksud manarik perhatian
ibunya.
Cemburu muncul antara umur tiga dan empat tahun. Statistik menujukan
bahwa diantara riga orang anak yang cemburu dua orang adalah anak perempuan.
Anak-anak yang kecerdasan tinggi lebih cemburu dari pada anak-anak yang
kecerdasan lebih lemah.
12
c. Internal initiative & Concrete Reward. Pada tahap ini individu menolong
karena tergantung pada penerimaan reward (hadiah) yang diterima. Individu
mampu memutuskan kebutuhannya, orientasi egoistis dan tindakannya
dimotivasi oleh keinginan untuk mendapatkan keuntungan atau hadiah untuk
memuaskan kebutuhan. Contohnya, seorang anak menolong dengan
memberikan mainankepada orang lain dengan harapan akan mendapatkan ice
cream.
d. Normative Behavior. Pada tahap ini individu menolong orang lain untuk
memenuhi tuntutan masyarakat. Individu mengetahui berbagai macam tingkah
laku yang sesuai dengan norma-norma masyarakat yang diikuti sanksi positif,
serta pelanggaran norma yang diikuti sanksi negatif. Tingkah laku menolong
dilakukan karena diharapkan menjadi orang baik di mata orang lain.
Orientasinya mencakup keinginan untuk menerima persetujuan dan
menyenangkan orang lain. Harapan reward untuk menolong tidak kongkrit
namun berarti. Tindakan menolong dilakukan karena adanya norma-norma
sosial yang meliputi; norma memberi dan norma bertanggung jawab
sosial,norm tersebut memberi yaitu merupakan bagian dari pranata sosial.
Seseorang yang menginternalisasi norma-norma tersebut mempunyai suatu
“Kecenderungan diri untuk memberi”.tindakan menolong ini didasari oleh
nilai-nilai memberi kepada yang kekurangan.
e. Generalized Reciprocity. Pada tahap ini, tingkah laku menolong didasari atas
prinsip-prinsip universal dan pertukaran, yakni seseorang memberikan
pertolongan karena dia percaya ketika juga membutuhkan pertolongan maka
akan mendapat pertolongan. Pada tahap ini individu menginternalisasi hukum-
hukum masyarakat tentang pertolongan, yaitu untuk menghindari perpecahan
sistem. Secara umum norma receprociti, meliputi beberapa hal yaitu:
1) Orang yang ditolong dengan orang yang menolongnya, dan
2) Orang yang tidak akan merugikan orang yang ditolongnya.
Norma-norma ini sangat penting dalam menstabilkan hubungan
antara manusia di masyarakat. Norma ini melindungi orang terhadap
statusnya, memotivasi serta mengatur hukum timbal balik sebagai suatu
pola pertukaran, mencegah timbulnya hubunga eksploitasi,sehingga
menimbulkan mekanisme interaksi antar manusia. Norma reciprociti
mengatur pertukaran sosial sehingga menambah stabilitas sosial.
13
f. Altruistic Behavior. Pada tahap ini, individu melakukan tindakan menolong
secara sukarela, tindakan semata-mata hanya bertujuan menolong. Tanpa
mengharapkan hadiah dari luar, menolong orang lain sebenarnya tergantung
pada niat seseorang dalam memberikan pertolongan pada orang lain. Apakah
itu karena permintaan, perintah atau karena mengharapkan balasannya dan
juga sudah kebiasaannya menolong orang lain. Tindakan menolong ini
dilakukan adalah karena pilihannya sendiri dan didasarkan pada prinsip-
prinsip moral, yang menyangkut keselamatan orang lain,individu dapat
menilai kebutuhan orang lain, simpati kepada orang lain yang menderita dan
yang membutuhkan bantuan, dan tidak mengharapkan keuntungan timbal
balik untuk tindakannya.
E. Keputusan Tingkah Laku
Tingkah laku proporsial (proporsial behavior) adalah suatu tindakan menolong
yang menguntungkan orang lain tanpa harus menyediakan suatu keuntungan langsung
pada orang yang melakukan tindakan tersebut, dan mungkin bahkan melibatkan suatu
risiko bagi orang yang menolong. Istilah aultruisme (altruism) kadang-kadang
digunakan secara bergantian dengan tingkah laku prososial, tetapi altruisme yang
yang sejati adalah tingkah laku yang merefleksikan pertimbangan untuk untuk tidak
mementingkan diri sendiri demi kebaikan orang lain.
Dalam membuat keputusan apakah seseorang akan menolong atau tidak sangat
dipengaruhi oleh banyak faktor.Pertama, faktor dalam diri manusia.Misalnya
kepribadian, kemampuan, moral, kognitif, dan empati.Kedua faktor yang ada di luar
diri manusia misalnya kehadiran orang lain, norma-norma dan situasi tempat
kejadian.Hasil studi penulisan empiris bahwa sulit sekali membedakan antara tekanan
eksternal dan internal dalam membuat keputusan tingkah laku proporsial.Peneliti
tidak dapat memverifikasi (menunjukkan dengan sesungguhnya) perasaan dan pikiran
yang dialami oleh subyek.
Maka proporsi yang menyebutkan adanya rewards ekternal atau internal atau
mungkin non rewards bersifat teoritis (bar-tal, 1976).Menurut Bar Tal (1976, hal.4)
Tingkah laku proporsial adalah tingkah lakuyang dilakukan secara sukarela dan
menguntungkan orang lain tanpa antisipasi rewards eksternal, yang meliputi
14
menolong, membantu, membagi dan menyumbang.Ini bisa mulai dari bentuk yang
paling sederhana seperti sekedar memberi perhatian hingga yang paling hebat.
1. Berbagi, yaitu kesediaan untuk berbagi perasaan dengan orang lain dalam suasana
suka maupun duka.
2. Menolong yaitu kesediaan menolong orang lain yang sedang dalam
kesulitan.Menolong meliputi membantu orang lain atau menawarkan sesuatu yang
menunjang berlangsungnya kegiatan orang lain.
3. Berderma, yaitu kesediaan untuk memberikan secara sukarela sebagian barang
miliknya kepada orang yang membutuhkan.
4. Kerja sama, yaitu merupakan kesediaan untuk memberikan kerja sama dengan
orang lain demi terciptanya suatu tujuan.Kerja sama ini biasanya saling
meguntungkan, saling memberi, dan saling menolong.
5. Jujur, yaitu kesediaan untuk berkata jujur dan tidak berbuat curang terhadap orang
lain.
F. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Tingkah Laku
1. Menurut Staub (Daya Kisni & amp; Hudaniah 2006) terdapat beberapa faktor
yang mendasari seseorang untuk bertindak prososial, yaitu:
a) Self-Gain adalah harapan seseorang untuk memperoleh atau menghindari
kehilangan sesuatu, misalnya: ingin mendapatkan pengakuan, pujian atau takut
dikucilkan.
15
b) Personal Values and Norms adanya nilai-nilai dan norma sosial yang
diamalkan atau diterapkan oleh individu selama proses sosialisasi yang
meliputi, norma memberi dan norma tanggung jawab.
c) Emphty adalah kemampuan seseorang untuk ikut merasakan perasaan atau
pengalaman orang lain.
2. Menurut Faturochman (2006) Faktor-faktornya adalah sebagai berikut:
a) Situasi sosial adanya korelasi negative antara pemberian pertolongan dengan
jumlah pemerhati, makin banyak orang yang melihat suatu kejadian yang
memerlukan pertolongan maka makin kecil munculnya dorongan untuk
menolong.
b) Biaya menolong dengan keputusan membrikan pertolongan berarti akan ada
cost tertentu yang dikeluarkan untuk menolong.
c) Karakteristik orang-orang terlihat makibn banyak kesamaan antara si penolong
dengan yang ditolong, maka makin besar pula peluang untuk munculnya
pemberian pertolongan.
d) Mediator internal mood adalah kecenderungan bahwa orang yang baru melihat
atau mengalami kesedihan lebih sedikit memberikan bantuan dari pada orang
yang baru melihat atau mengalami hal-hal yang menyenangkan, tergantung
perasaan (situasi dan kondisi) individu.
e) Latar belakang kepribadian individu-individu yang mempunyai orientasi sosial
yang tinggi cenderung lebih mudah memberi pertolongan, demikian juga
orang yang memiliki tanggung jawab sosial yang tinggi.
G. Pengertian Spiritual
Secara etimologi kata sprit berasal dari kata Latin spiritus, yang diantaranya
berarti roh, jiwa, sukma, kesadaran diri, wujud tak berbadan, nafas hidup, nyawa
hidup. Penggalan kata spiritual adalah spiritual. Spirit mengandung arti semangat,
kehidupan, pengaruh, antusiasme, spiritus itu bahan bakar dari alkohol, dan minuman
anggur itu disebut sebagai spirit atau minuman yang memberi semangat. Spirit sering
diartikan sebagai ruh atau jiwa. Jadi arti kiasannya adalah semangat atau sikap yang
mendasari tindakan manusia.
16
ada dan hidup. Spirit bisa diajak berkomunikasi sama seperti kita bicara dengan
manusia yang lain. Interaksi dengan spirit yang hidup itulah sesungguhnya yang
disebut spiritual.
17
memberikan suatu perasaan yang berhubungan dengan intrapersonal (hubungan antara
diri sendiri), interpersonal (hubungan antara orang lain dengan lingkungan) dan
transpersonal (hubungan yang tidak dapat dilihat yaitu suatu hubungan dengan
ketuhanan yang merupakan kekuatan tertinggi).
Jadi pengembangan spiritual itu riilnya adalah bagaimana mengembangkan
jiwa kita, dari bayi spiritual menjadi dewasa spiritual. Jiwa dari kondisi bayi yang
belum berkembang sampai akhirnya jadi dewasa secara moral dan sifat. Itulah tujuan
dari pengembangan spiritual. Spiritual itu bukan sekedar untuk menggapai
pengalaman ajaib atau manifestasi roh, bukan pula hanya untuk bisikan atau petunjuk
gaib, melainkan hasil akhirnya adalah sesosok jiwa manusia yang matang, yang
seimbang, yang berpengalaman, dan yang bijak.
Spiritual adalah suatu ragam konsep kesadaran individu akan makna hidup,
yang memungkinkan individu berpikir secara kontekstual dan transformatif sehingga
merasa sebagai satu pribadi yang utuh secara intelektual, emosional, dan spiritual.
Kecerdasan spiritual merupakan sumber dari kebijaksanaan dan kesadaran akan nilai
dan makna hidup, serta memungkinkan secara kreatif menemukan dan
mengembangkan nilai-nilai dan makna baru dalam kehidupan individu. Kecerdasan
spiritual juga mampu menumbuhkan kesadaran bahwa manusia memiliki kebebasan
untuk mengembangkan diri secara bertanggung jawab dan mampu memiliki wawasan
mengenai kehidupan serta memungkinkan menciptakan secara kreatif karya-karya
baru.
Menurut Adler, manusia adalah makhluk yang sadar, yang berarti bahwa ia
sadar terhadap semua alasan tingkah lakunya, sadar inferioritasnya, mampu
membimbing tingkah lakunya, dan menyadari sepenuhnya arti dari segala perbuatan
untuk kemudian dapat mengaktualisasikan dirinya. Spiritualitas diarahkan kepada
pengalaman subjektif dari apa yang relevan secara eksistensial untuk manusia.
Spiritualitas tidak hanya memperhatikan apakah hidup itu berharga, namun juga fokus
pada mengapa hidup berharga.
Menjadi spiritual berarti memiliki ikatan yang lebih kepada hal yang bersifat
kerohanian atau kejiwaan dibandingkan hal yang bersifat fisik atau material.
Spiritualitas merupakan kebangkitan atau pencerahan diri dalam mencapai tujuan dan
makna hidup. Spiritualitas merupakan bagian esensial dari keseluruhan kesehatan dan
kesejahteraan seseorang. (Hasan, 2006:288)
18
Menurut Fontana& Davic, definisi spiritual lebih sulit dibandingkan
mendefinisikan agama atau religion, dibanding dengan kata religion, para psikolog
membuat beberapa definisi spiritual, pada dasarnya spiritual mempunyai beberapa
arti, diluar dari konsep agama, kita berbicara masalah orang dengan spirit atau
menunjukan spirittingkah laku . kebanyakan spirit selalu dihubungkan sebagai faktor
kepribadian. Secara pokok spirit merupakan energi baik secara fisik dan psikologi,
(dalam Tamami,2011:19)
Dalam literatur agama dan spiritualitas, istilah spirit memiliki dua makna
substansial, yaitu:Karakter dan inti dari jiwa-jiwa manusia, yang masing-
masing saling berkaitan, serta pengalaman dari keterkaitan jiwa-jiwa tersebut yang
merupakan dasar utama dari keyakinan spiritual. Spiritmerupakan bagian terdalam
dari jiwa, dan sebagai alat komunikasi atau sarana yang memungkinkan manusia
untuk berhubungan dengan Tuhan.
Sedangkan ingersol dalam Desmita (2009:264) menyatakan, spiritualitas
sebagai wujud karakter spiritual, kualitas atau sifat dasar dan upaya dalam
berhubungan atau bersatu dengan tuhan. Sehingga dapat diartikan bahwa, kecerdasan
spiritual sebagai bagian dari psikologi memandang bahwa seseorang yang beragama
belum tentu memiliki kecerdasan spiritual. Namun sebaliknya, bisa jadi seseorang
yang humanis-non-agamis memiliki kecerdasan spiritual yang tinggi, sehingga sikap
hidupnya inklusif, setuju dalam perbedaan (agreeindisagreement), dan penuh toleran.
Hal itu menunjukkan bahwa makna "spirituality" (keruhanian) disini tidak selalu
berarti agama atau bertuhan. Sehingga dari kuti-kutipandiatas penulis memilih judul
proses perkembangan moral dan spiritual peserta didik karena, proses merupakan
suatu hal yang sangat penting, dimana sangat menentukan hasil atau mencapai puncak
dan akhirnya.
Kata spiritual sering digunakan dalam percakapan sehari-hari. Untuk
memahami pengertian spiritual dapat dilihat dari berbagai sumber. Menurut Oxford
English Dictionary, untuk memahami makna kata spiritual dapat diketahui dari arti
kata-kata berikut ini : persembahan, dimensi supranatural, berbeda dengan dimensi
fisik, perasaan atu pernyataan jiwa, kekudusan, sesuatu yang suci, pemikiran yang
intelektual dan berkualitas, adanya perkembanga pemikiran danperasaan, adanya
perasaan humor, ada perubahan hidup, dan berhubngan dengan organisasi keagamaan.
Sedangkan berdasarkan etimologinya, spiritual berarti sesuatu yang mendasar,
19
penting, dan mampu menggerakkan serta memimpin cara berpikir dan bertingkah laku
seseorang.
Dalam perjalanan sejarah peradaban manusia, tercatat bahwa tradisi
keagamaan merupakan sumber ajaran spiritual yang mengakar kuat dan
mempengaruhi pola kehidupan pemeluknya. Untuk memahami fenomena spiritualitas,
agaknya perlu memahami ajaran agama itu sendiri. Masing-masing agama memiliki
ajaran spiritual berbeda walau hakekatnya berkecenderungan tidak jauh berbeda.
Secara garis besar, dilihat dari sumber dan proses terjadinya spiritual atau nilai-nilai
spiritual yang diyakini dan diamalkan, paling tidak terdapat beberapa tipe. The
Encyclopedia of Religion menyebutkan tiga tipe ajaran spiritual (spiritual discipline)
yaitu :
Pertama, spiritual heteronomy. Dalam corak spiritual ini, pencari atau
pengamal spiritual cenderung menerima, memahami, meyakini atau mengamalkan
acuan spiritual (nilai-nilai spiritual) yang bersumber dari otoritas luar (external
authority). Pengamal ajaran spiritual heteronomik bersikap mentaati dan menerima
makna dan keabsahannya dalam wujud tindakan yang submisif dalam arti tinggal
menerima, meyakini dan mengamalkan saja, tanpa harus merefleksikan atau
merasionalisasi makna ajarannya.
Kedua, spiritual otonom, yakni bentuk spiritualitas yang bersumber dari hasil
refleksi diri sendiri. Corak spiritual ini bersifat self-contained and independent of
external authority, yakni dihasilkan dari dalam diri sendiri dan terbebas dari otoritas
luar. Spiritual otonom sesungguhnya merupakan nilai spiritual yang dihasilkan oleh
proses refleksi terhadap kemahabesaran Tuhan dan ciptaannya.
Ketiga, spiritual interaktif, yakni nilai spiritual atau spiritual yang terbentuk
melalui proses interaktif antara dirinya sendiri dengan lingkungannya. Dengan
demikian, corak spiritual ini bukan mutlak karena faktor internal maupun eksternal.
Namun, lebih merupakan hasil dari proses dialektik antara potensi ruhaniah (mental,
perasaan, dan moral) di satu pihak dengan otoritas luar dalam bentuk
tradisi, folkways, dan tatanan dunia yang mengitarinya.
H. Relasi spiritualitas dengan agama
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa spiritualitas memang bukan
agama. Akan tetapi, ia memiliki hubungan dari segi nilai-nilai keagamaaan yang tidak
dapat dipisahkan. Titik singgung antara spiritualitas dan agama tampaknya memang
tak dapat dinafikan sepenuhnnya. Keduanya menyatu dalam nilai-nilai moral. Adapun
20
nilai-nilai moral itu tergolong pada katagori nilai utama (summum bonum) dalam
setiap agama. Dorongan untuk berpegang pada nilai-nilai moral ini sudah ada dalam
diri manusia. Menurut Murthada Muthahhari, dorongan tersembunyi dalam diri
manusia. Dalam konsep ajaran islam, nilai-nilai moral itu disebut akhlak yang baik
atau husn al-akhlaq(Muthada Muthahhari: 55).
spiritualitas adalah potensi batin manusia. Sebagai potensi yang memberikan
dorongan bagi manusia untuk melakukan kebajikan. Dengan demikian, tidak
mengherankan bila, spiritualitas ini senantiasa diposisikan sebagai nilai utama dalam
setiap ajaran agama. Dalam agama Hindu, misalnya spiritualitas itu terlukis dari
pernyataan Swami Vivekananda. Ia mengatakan: jika seorang mengenal Tuhan,
wajahnya, suaranya, dan rupanya berubah. Ia menjadi berkat, kesukaan untuk umat
manusia (Franz Dahler dan Eka budianta, 2000: 303).
Spiritualitas mengacu kepada kepedulian antar sesama. Sisi-sisi spiritualitas
itu digambarkan: “Berusaha untuk menyelasaikan permasalahan orang lain bukan saja
merupakan kewajiban setiap orang itu adalah salah satu kesenangan yang paling baik
dan luhur dalam kehidupan.
Dalam pandangan islam, nilai-nilai yang terkandung dalam spirituallitas tidak
hanya terbatas dalam hubungan antar manusia saja, melainkan mencakup kawasan
yang lebih luas. Meliputi hubungan antar makhluk. Dijelaskan oleh sang Maha
Pencipta: “Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang
terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat-umat juga seperti kamu.” (QS 6:
36). Rasulullah saw. bersabda: “ Kasih-sayangilah segala (apa) yang ada di bumi,
maka yang di langit akan mengasih-sayangimu..”
I. Makna Perkembangan Spiritual Peserta Didik
Echoks dan Shadily dalam Desmiata (2009:264) berpendapat bahwa, kata
spiritual berasal dari bahasa Inggris yaitu ”spirituality”. Kata dasarnya “spirit” yang
berarti roh, jiwa, semangat. Sedangkan Ingersoll dalam Desmiata (2009:264)
berpendapat bahwa, kata spiritual berasal dari kata latin “spiritus” yang berarti, luas
atau dalam (breath), keteguhan hati atau keyakinan (caorage), energy atau semangat
(vigor), dan kehidupan. Kata sifat spiritual berasal dari kata latinspiritualis yang
berarti ”of the spirit” (kerohanian) Menurut Aliah dan purwakaniahasan dalam
Desmita (2009:265) menyatakan spiritualitas memiliki ruang lingkup dan makna
pribadi yang luas, dengan kata kunci sebagai berikut :
21
1. Meaning (makna). Makna merupakan sesuatu yang signifikan dalam kehidupan
manusia, merasakan situasi, memiliki dan mengarah pada suatu tujuan.
2. Values (nilai-nilai). Nilai-nilai adalah kepercayaan, standar dan etika yang
dihargai.
3. Transcendence (transendensensi). Transendensi merupakan pengalaman,
kesadaran dan penghargaan terhadap dimensi transendental bagi kehidupan di atas
diri seseorang.
4. connecting (bersambung). Bersambung adalah meningkatkan kesadaran terhadap
hubungan dengan diri sendiri, orang lain, tuhan dan alam.
5. Becoming (menjadi). Menjadi adalah membuka kehidupan yang menuntut
refleksi dan pengalaman, termasuk siapa seseorang dan bagai mana seseorang
mengetahui.
Tujuan dari pengembangan nilai-nilai agama dan moral salah satunya adalah
untuk mewujudkan generasi yang memiliki kecerdasan spiritual. Kecerdasan spiritual
mempunyai cakupan yang luas. Kecerdasan spiritual tidak hanya terkait hubungan
manusia dan tuhan dalam bentuk ibadah sehari-hari saja, tetapi mencakup hubungan
sosial kemasyarakatan. Beragama, bermoral, beradab dan bermartabat merupakan
bagian dari kecerdasan spiritual.
22
atau berkunjung ke panti asuhan. Kegiatan ini akan mengasah kepekaan hati seorang
anak. Menurut Prof. Komarudin Hidayat yang dikutip oleh Imas, hakekat spiritual
anak-anak tercermin dalam sikap spontan, imajinasi, dan kreativitas yang tak terbatas,
dan semuanya dilakukan secara terbuka dan ceria (Kurniasih, 2010:11).
Hal ini membuktikan bahwa kecerdasan spiritual tidak hanya yang terkait
dengan ritual ibadah saja tetapi mencakup spontanitas dan kreativitas yang tumbuh
dalam proses pembelajaran seorang anak. Misalnya saja ketika anak diajak untuk ke
mushola sekolah, anak dapat diajarkan untuk merapikan sandal atau sepatunya
sebelum masuk ke mushola. Kebiasaan ini akan tertanam dalam diri anak sehingga
ketika anak pergi ke mushola atau masjid yang lain, ia akan terbiasa secara spontan
untuk merapikan sandal atau sepatunya.Selain itu hal ini juga mengajarkan untuk
menghargai orang lain dan menumbuhkan sikap-sikap kepedulian dan kerapian.
Menurut Danah Zohar dan Marshall, yang dikutip oleh Novan bahwa
tandatanda dari kecerdasan spiritual yang telah berkembang dengan baik adalah
sebagai berikut:
Perkembangan berasal dari kata dasar “kembang” mendapat awalan “pe” dan
akhiran “an”. Artinya perbuatan yang menjadikan tambah sempurna (tentang
pribadi, pikiran, dan pengetahuan). Dalam proses pengembangan objek juga ikut
berperan.
Kata keagamaan berasal dari kata dasar Agama dan mendapat awalan ke-
dan akhiran -an; yang artinya adalah kepercayaan kepada Tuhan; hal-hal gaib
23
yang memiliki kekuatan besar; akidah; din(ul). Dalam buku Psikologi Agama
karya Jalaluddin Rahmat, menurut Harun Nasution, Agama mengandung arti
ikatan yang harus dipegang dan di patuhi manusia. Ikatan dimaksud berasal dari
suatu kekuatan yang lebih dari manusia sebagai kekuatan yang gaib yang tak
dapat ditangkap dengan pancaindra, namun mempunyai pengaruh yang besar
sekali terhadap kehidupan manusia sehari-hari.
Inti dari teori harapan pemenuhan adalah premis bahwa religius terkait
dengan perasaan rasa takut dan tidak aman dan bahwa fungsi agama adalah untuk
menenangkan dan menyediakan kerangka keselamatan bagi orang percaya. Bisa
satu berpendapat bahwa kemampuan untuk menghilangkan ketakutan
menyediakan individu dengan keuntungan evolusioner untuk mengeksplorasi dan
menaklukkan, menguasai dan mengulangi.
24
terbentuk. Imajinasi ini membentuk basis representasi Tuhan (Goodwin 1998;
Rizutto, 1979; Wulff 1997). Freud memandang kepercayaan pada Tuhan pribadi
sebagai hal yang lain dari representasi ayah yang ditinggikan, yang tertanam
harapan kekanak-kanakan untuk perlindungan orang tua (Goodwin 1998; Guthrie
1993; Rizutto 1979).
2. Karakteristik Keagamaan
a. Munculnya jiwa keagamaan
Ada beberapa teori keagamaan anak, yakni:
1) Rasa ketergantungan. Manusia dilahirkan kedunia ini memiliki empat
kebutuhan, yakni keinginan untuk perlindungan (security), keinginan akan
pengalamn baru (new experience), keinginan untuk dapat tanggapan
(response), keinginan untuk dikenal (recognition). Berdasarkan kenyataan
dan kerjasama dari keempat keinginan itu, maka bayi sejak dilahirkan
hidup dalam ketergantungan. Melalui pengalaman-pengalamn yang
diterimanya dari lingkungan itu kemudian terbentuklah rasa keagaman
pada diri anak.
2) Instink keagamaan. Bayi yang dilahirkan sudah memiliki beberapa instink.
Diantaranya instink kagamaan. Belum terlihatnya tindak keagamaan pada
diri anak karena beberapa fungsi kejiwaan yang menopang kematangan
berfungsinya instink itu belum sempurna. Dengandemikian pendidikan
agama perlu diperkenalkan kepada anak jauh sebelum usia 7 tahun.
Artinya, jauh sebelum usia tersebut, nilainilai keagamaan perlu
ditanamkan kepada anak sejak usia dini. Nilai keagamaan itu sendiri bisa
berarti perbuatan yang berhubungan antara manusia dengan Tuhan atau
hubungan antar sesama manusia.
3. Perkembangan agama pada anak
Perkembangan religiusitas pada usia anak memiliki kerakteristik tersendiri.
Menurut penelitian ernest harms perkembangan agama pada anak-anak melalui
beberapa 3 fase atau tingkatan:
a. The Fairy Tale Stage (Tingkat Dongeng)
Tingkatan ini dimulai pada anak usia 3-6 tahun. Pada tingkatan ini
konsep mengenai Tuhan lebih banyak dipengaruhi oleh fantasi dan emosi.
Pada tingkat perkembangan ini anak menghayati konsep keTuhanan sesuai
25
dengan tingkat perkembangan inteleknya. Kehidupan masa ini masih banyak
dipengaruhi kehidupan fantasi hingga dalam menanggapi agama pun anak
masih menggunakan konsep fantatis yang diliputi oleh dongeng-dongeng yang
kurang masuk akal.
b. The Realistic Stage (Tingkat Kenyataan)
Tingkat ini dimulai sejak 7-12 tahun. Pada fase ini anak mampu
memahami konsep ketuhanan secara relistik dan kongkrit. Pada masa ini ide
keagamaan pada anak didasarkan atas dorongan emosional, hingga mereka
dapat melahirkan konsep Tuhan yang formalis.
c. The Individual Stage (Tingkat Individu)
Tingkat ini terjadi pada usia remaja. Situasi jiwa yang mendukung
perkembangan rasa ke-Tuhanan pada usia ini adalah kemampuannya untuk
berfikir abstrak dan kesensitifan emosinya. Pemahaman ke-Tuhanan pada
remaja dapat ditekankan pada makna dan keberadaan Tuhan bagi kehidupan
manusia.
Pada tingkat ini anak telah memiliki kepekaan emosi yang paling
tinggi sejalan dengan perkembangan usia mereka. Konsep ini terbagi menjadi
tiga:
1) Konsep ketuhanan yang konvesional dan konservatif dengan dipengaruhi
sebagian kecil fantasi. Hal tersebut dipengaruhi oleh pengaruh luar.
2) Konsep ke-Tuhanan yang murni yang dinyatakan dalam pandangan yang
bersifat personal (perorangan).
3) Konsep ke-Tuhanan yang humanistik. Agama telah menjadi etos
humanistik pada diri mereka dalam menghayati ajaran agama. Perubahan
ini dipengaruhi oleh faktor intern yaitu perkembangan usia dan faktor
ekstern berupa pengaruh luar yang dialaminya
4. Sifat-sifat Keagamaan Anak
26
oleh orangtua atau orangtua pengganti dengan sendirinya akan terekam dan
melekat pada anak. dalam hal ini maka orangtua mempunyai otoritas yang
kuat untuk membentuk religiusitas anak.
b) Unreflective. Anak menerima konsep keagamaan berdasarkan otoritas, maka
jarang terdapat anak yang melakukan perenungan (refleksi) terhadap konsep
keagamaan yang diterima. Pengetahuan yang masuk pada usia awal dianggap
sebagai suatu yang menyenangkan, terutama yang dikemas dalam bentuk
ceritaolehkarena itu konsep tentang nilai-nilai keagaman dapat sebanyak
mungkin diberikan pada usia anak dan sebaiknya disampaikan dalam bentuk
cerita.
c) Egocentric. Mulai usia sekitar satu tahun pada anak terkembang kesadaran
tentang keberadaan diri tumbuh egosentrisme, dimana anak melihat
lingkungannya dengan berpusat pada kepentingan dirinya. Maka pemahaman
religiusitas anak juga didasarkan pada kepentingan diri tentang masalah
keagamaan. Oleh karena itu pendidikan agama sebaiknya lebih dikaitkan pada
kepentingan anak, misalnya ketaatan ibadah dikaitkan dengan kasih sayang
Tuhan terhadap dirinya.
d) Anthropomorphic. Sifat anak yang mengkaitkan keadaan suatu yang abstrak
dengan manusia. Dalam hal keTuhanan mak anak mengkaitkan sifat-sifat
Tuhan dengan sifat manusia. Hal ini terjadi karena lingkungan anak yang
pertama adalah manusia, sehingga manusialah sebagai ukuran bagi suatu yang
lain. Oleh karena itu dalam pengenalan sifat-sifat Tuhan kepada anak
sebaiknya ditekankan tentang perbedaan sifat antara manusia dan Tuhan.
e) Verbalized And Ritualistic. Perilaku keagamaan pada anak, baik yang
menyangkut ibadah maupun moral, baru bersifat lahiriyah, verbal dan ritual,
tanpa keinginan untuk dilakukan dan diajarkan oleh orang dewasa. Akan tetapi
bila perilaku keagamaan itu dilakukan dan diajarkan oleh orang dewasa. Akan
tetapi bila perilaku keagamaan itu dilakukan secara terus menerus dan penuh
minat akan membentuk suatu rutinitas perilaku yang sulit untuk ditinggalkan.
Pada waktu anak memasuki usia remaja baru akan muncul keinginan untuk
mengetahui makna dan fungsi dari apa yang selama ini dilakukan. Oleh karena
itu pendidikan agama perlu menekankan pembiasaan perilaku dan
pembentukan minat untuk melakukan perilaku keagamaan.
27
f) Imitative. Sifat dasar anak dalam melakukan perilaku sehari-hari adalah
menirukan apa yang terserap dari lingkungannya. Demikian juga dalam
perilaku keagamaan. Anak mampu memiliki perilaku keagamaan karena
menyerap secara terus menerus perilaku keagamaan dari orang-orang
terdekatnya, terutama orangtua dan anggota keluarga yang lain. Ditambah
dengan daya sugesti dan sikap positif orangtua terhadap perilaku yang telah
dilakukan akan memperkuat aktivitas anak dalam berperilaku keagamaan.
Oleh karena itu menempatkan anak dalam lingkungan beragama menjadi
prasarat terbukanya religiusitas anak.
g) Spontaneous In Some Respeck. Berbeda dengan sifat imitative anak dalam
melakukan perilaku keagamaan, kadang-kadang muncul perhatian secara
spontan terhadap masalah keagamaan yang abstrak. Misalnya tentang surga,
neraka, tempat Tuhan berada, atau yang lainnya. Keadaan tersebut perlu
mendapat perhatian dari orangtua atau pendidik agama, karena dari pertanyaan
spontan itulah sebenarnya permulaan munculnya tipe primer pengalaman
religiusitas yang dapat berkembang.
h) Wondering. Ini bukan jenis ketakjuban yang mendorong munculnya pemikiran
kreatif dalam arti intelektual, tetapi sejenis takjub yang menimbulkan rasa
gembira dan heran terhadap dunia baru yang terbuka didepanya. Suasana
ketakjuban dan kegembiraan ini masih dapat terbawa pada usia dewasa, ketika
seseorang memproyeksikan ide-idenya mengenai Tuhan dan ciptaan-Nya serta
menemukan rasa ketakjuban disana. Pada anak takjub ini dapat menimbulkan
ketertarikan pada cerita-cerita keagamaan yang bersifat fantastis, misalnya
peristiwa mukjizat pada sejarah Nabi-nabi, serta cerita kehebatan para sahabat
dan pahlawan islam.
5. Teori perkembangan agama menurut james fowler.
Agama merupakan bagian yang cukup penting dalam jiwa remaja. Sebagian orang
berpendapat bahwa agama bisa mengendalikan tingkah laku anak yang beranjak
dewasa sehingga ia tidak melakukan hal-hal yang merugikan atau bertentangan
dengan kehendak atau pandangan masyarakat. Untuk itu akan di bahas tentang
perkembangan keagamaan, menurut fowler ada 6 tahap.
a. Keyakinan proyek intuitif
Menurut kohlberg masa pra operasional yaitu dimana anak terbuka
terhadap berbagai kemungkinan yang baru. Mereka beranggapan bahwa antara
28
fantasi dan keyakinan terjadi secara bersamaan. Sebagai anak-anak, mereka
berusaha memahami kekuatan yang mengontrol kehidupan dunia. Mereka
sering membuat khayalan-khayalan, bentuk-bentuk khayalan yang muncul
yakni bagaimana gambaran tentang neraca, surga dan Tuhan, yang pernah
diceritakan oleh orang tunya. Apabila mereka membicarakan Tuhan dalam
pikiran mereka tergambar adanya keharusan seseorang untuk patuh agar
memperoleh ganjaran dan hukuman bagi yang tidak patuh.
b. Keyakinan terhadap hal-hal mistis
anak-anak sudah mampu berpikir lebih logis dan mulai mengembangkan suatu
pandangan yang bersifat universal, namun masih dipengaruhi keyakinan dari
masyarakat dan keluarga. Meskipun demikian mereka dapat memahami bahwa
Tuhan mempunyai kekuasaan yang dapat mengatasi masalah hidupnya.
Mereka juga yakin bahwa Tuhan bersifat adil, oleh karena itu Tuhan akan
memberi ganjaran yang setimpal terhadap setiap perbuatan.
c. Keyakinan sintesis-konvensional
Keyakinan ini terjadi pada usia 10-13 tahun yang diyakini sebagai masa
transisi dari anak-anak menuju remaja awal. Kohlberg menyatakan bahwa
secara kognitif remaja mulai memasuki tahap perkembangan operasi formal,
mereka tidak lagi menerima apa yang dikatakan atau dipelajari secara mentah-
mentah karena mereka sudah mampu berpikir kritis.Dalam diri remaja tumbuh
keyakinan untuk tunduk dan patuh terhadap yang diyakini dalam hatinya.
Namun, mereka belum mampu menganalisis alternatif ideologi agama secara
tepat. Akibatnya mereka tidak mampu mencapai tahap yang lebih tinggi.
d. keyakinan refleksi ke dalam diri sendiri
masa ini terjadi pada masa transisi antara masa dewasa dan remaja. Menurut
fowler, bahwasanya individu mampu mengambil dan melakukan tanggung
jawab secara penuh terhadap apa yang diyakininya atau kepercayaannya yang
terlepas dari pengaruh orang lain atau kelompok masyarakat. Hal ini dilakukan
karena mereka sadar dan merasa tahu secara sungguh-sungguh bahwa
keyakinan itu sangat berarti dalam hidupnya bahkan harus dipertahankan
sampai akhir hayatnya.
e. Keyakinan Konjungtif
Menurut fowler, sebagian orang dewasa menengah telah memasuki tahap ini,
mereka bersikap kritis yaitu mampu menganalisis pandangan-pandangan
29
dalam ajaran yang dianggap saling bertentangan. Kadang-kadang antara logika
dan ajaran agama saling bertentangan. Meski demikian, individu yang
bersikap positif akan berupaya memenuhi hasrat murni yang paling dalam
dengan makin mendalami imannya. Sehingga ia dapat memahami sesuatu
sebagai rahmat dan melihat peristiwa sebagai kepastian kehendak Tuhan.
f. Keyakinan universal
Tahap ini dianggap sebagai tahap yang paling tinggi. Keyakinan ini berkaitan
dengan sistem keyakinan trasendental yang melampaui seluruh ajaran agama
atau kepercayaan di dunia orang yang telah mencapai tahap ini tidak memiliki
pandangan yang sempit, yaitu hanya terbatas pada ajaran agamanya saja,
dimana segala hal yang bersifat paradoks dan menimbulkan pertentangan telah
dihapuskan yang ada hanyalah kesederajatan, keselarasan, dan kesamaan
antara manusia dihadapan Tuhan.
K. Hambatan Dalam Perkembangan Anak
Di dalam menuju kedewasaan beragaman, maka akan terjadi hal-hal yang
kadang-kadang mengganggu perkembangan pada anak. Perkembangan memerlukan
waktu, karena kedewasaan beragama tidak terjadi secara tiba-tiba. Dan juga
perkembangan tersebut tidaklah monoton, tetapi banyak variasi secara berirama
dijumpai di dalamnya.
30
perubahan tersebut tidaklah melalui prose berpikir sebelumnya, tetapi lebih
bersifat emosional.
Di samping kemampuan rasional, kemampuan emosional juga akan
berpengaruh terhadap perkembangan rasa keagamaan anak, seperti dihinggapi
rasa enggan untuk mengerjakan kelakuan-kelakuan keagamaan atau keengganan
merubah dari sesuatu yang sebenarnya tidak diyakini (ragu) kepada yang tidak
diragukan karena rasa solidaritas yang terlalu besar.
Termasuk juga faktor diri sendiri adalah pengalaman yang dimiliki.
Semakin banyak dan luas pengalaman seseorang dalam bidang keagamaan, maka
akan semakin mantap dan stabil dalam mengerjakan kelakuan-kelakuan religius,
tetapi bagi anak yang mempunyai pengalaman sedikit dan sempit maka dia akan
mengalami berbagai macam kesulitan dan akan selalu dihadapkan kepada
hambatan-hambatan untuk dapat mengerjakan ajaran agama secara mantap dan
stabil. Sehingga perkembangannya akan lebih bersifat statis.
2. Faktor luar (lingkungan)
Faktor luar yaitu beberapa kondisi dan situasi lingkungan yang tidak
banyak memberikan kesempatan untuk berkembang, malah justru menganggap
tidak perlu adanya perkembangan dari apa yang telah ada. Faktor luar antara lain
tradisi agama atau pendidikan yang diterima. Kultur kemasyarakatan yang sudah
dikuasai tradisi tertentu dan berjalan secara turun-temurun dari satu generasi ke
generasi berikutnya, kadang-kadang terasa oleh sebagian orang sebagai suatu
belenggu yang tidak pernah selesai. Kadang-kadang tradisi itu sendiri tidak
ketemu dari mana asal-usul dan sebab musababnya, mulai kapan ada dan
bagaimana ceritanya.
31
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Perkembangan moral sangat berpengaruh terhadap lingkungan sehingga pada
masa anak-anak ini orangtua dan lingkungan sangat berpengaruh terhadap
perkembangan moral anak, moral yang positif akan berdampak baik untuk
kedepannya dan begitu sebaliknya jika si anak sejak kecil hanya menerima moral
yang negatif maka si anak akan berkembang tidak sesuai dengan yang diharapkan
oleh orangtuanya.
Dalam bahasa psikologi, masa kanak-kanak adalah antara masa orok dan masa
remaja. Problem-problem pokok yang dihadapi anak selama masa ini berbeda dengan
yang dihadapinya dimasa orok. Problem orok sebagian besar bersifat interpersonal,
artinya anak harus menyadari bahwa disamping dirinya ada pula orang lain.
Hubungan manusia dengan sesuatu yang dianggap adikodrati (supernatural)
memiliki latar belakang sejarah yang sudah lama dan cukup panjang. Hal ini dapat
dilihat dari berbagai pernyataan para ahli yang memiliki disiplin ilmu yang berbeda.
Begitu juga dengan para agamawan dari berbagai agama yang ada mengemukakan
bahwa berdasarkan informasi kitab suci, hubungan manusia dengan zat yang
adikodrati digambarkan sebagai hubungan antara makhluk ciptaan dengan Sang
Pencipta.
Kemudian para psikolog mencoba melihat hubungan tersebut dari sudut
pandang psikologi. Menurut mereka hubungan manusia dengan kepercayaannya ikut
dipengaruhi dan juga mempengaruhi faktor kejiwaan. Proses dan sistem hubungan ini
menurut mereka dapat dikaji secara empiris dengan menggunakan pendekatan
psikologi. Menurut agamawan selanjutnya, bahwa memang pada batas-batas tertentu,
barangkali permasalahan agama dapat dilihat sebagai fenomena yang secara empiris
dapat dipelajari dan diteliti. Tetapi di balik itu semua ada wilayah-wilayah khusus
yang sama sekali tak mungkin atau bahkan terlarang untuk dikaji secara empiris.
32
DAFTAR PUSTAKA
Hartati,Netti Dkk. 2004. Islam dan Psikologi. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Inawati, Asti. 2017. Strategi Pengembangan Moral dan Agama untuk Anak Usia Dini.
Yogyakarta: Al-Athfal, Jurnal Pendidikan Anak. Vol. 3 (1).
Merwe, Karen Van Der. 2010. A Psychological Repspective On The Source And Funtion Of
Religion. Original Research, Vol. 66. South Africa.
Mohammad Ali dan Mohammad Asrori, 2010. Judul :Psikologi Remaja (Perkembangan
Peserta Didik). Penerbit PT Bumi Aksara : Jakarta.
Ratnawati. 2016. Memahami Perkembangan Jiwa Keagamaan pada Anak dan Remaja.
Fokus: Jurnal Kajian Keislaman dan Kemasyarakatan. Vol. 1, No. 01.
33
Samsunuwiyati. 2012. Psikologi Perkembangan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Tohirin. 2006. Psikologi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam. Jakarta: Raja Grafindo
Persada.
Yusuf, Syamsu. 2004. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.
34