Anda di halaman 1dari 33

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pendidikan merupakan salah satu aspek yang sangat penting dalam kehidupan,
dimana aspek yang menjadi subjek sekaligus objek yang penting dalam hal ini adalah
peserta didik. Pendidikan yang diberikan tidak hanya dalam lingkup akademik namun
mendidik disini dimaksudkan untuk membentuk kepribadian yang sesuai dengan
norma hukum dan agama. Setiap peserta didik bersifat khas dan unik karena setiap
peserta didik berbeda-beda.

Dalam pendidikan dan pembelajaran diperlukan suatu pengetahuan akan


perkembangan-perkembangan yang terjadi pada peserta didik. Dimana aspek-aspek
perkembangan peserta didik cukup banyak seperti perkembangan fisik, perkembangan
intelektual, perkembangan moral, perkembangan spiritual atau kesadaran beragama
dal lain sebagainya. Setiap aspek-aspek tersebut dapat dikaji berdasarkan fase-fasenya
untuk membantu dalam memahami cara belajar dan tentunya sikap maupun tingkah
laku peserta didik. Selain itu, aspek pembelajaran yang diberikan kepada para peserta
didik juga berupa pendidikan moral dan spiritual untuk membentuk pribadi-pribadi
yang sesuai dengan harapan bangsa yang dituliskan pada tujuan pendidikan bangsa
Indonesia.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan perkembangan moral?
2. Apa yang dimaksud dengan perkembangan tingkah laku?
3. Apa yang dimaksud dengan perkembangan spiritual?
4. Apa yang dimaksud dengan perkembangan agama?
C. Tujuan Pembahasan
1. Untuk mengetahui pengertian perkembangan moral.
2. Untuk mengetahui pengertian perkembangan tingkah laku.
3. Untuk mengetahui pengertian perkembangan spiritual.
4. Untuk mengetahui pengertian perkembangan agama.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Perkembangan Moral

Christian Jacobs-Ardines dkk (2018: 83-98) mengungkapkan bahwa Piaget


adalah salah satu psikolog evolusioner pertama dalam menunjukkan perkembangan
moral dalah hasil dari adaptasi terhadap lingkungan yang dialami oleh seorang
individu: adaptasi datang seiring dengan perkembangan pengetahuan, membuat
pemahamannya lebih kompleks setiap kali. Piaget menetapkan serangkaian tahapan
evolusi di mana individu akan berkembang ide yang lebih kompleks dan abstrak yang
terkait dengan penilaian moral.

Lawrence Kohlberg, seorang murid Jean Piaget, mengembangkan teori


konseptual perkembangan moral, apa yang kita kenal sekarang sebagai "penilaian
moral", mendefinisikan penilaian nilai tentang orang dan tugas (Kohlberg, 1992;
Revenga, 1992). 

Penghakiman moral dipelajari melalui berbagai penelitian, menyajikan dilema


moral di mana subyek harus mengeluarkan putusan moral. Melalui penelitiannya,
Kohlberg berhasil mengidentifikasi sebuah pola pada umumnya populasi yang
menghubungkan penilaian moral dengan usia dan kematangan, menyimpulkan bahwa
di seluruh kehidupan individu, penilaian moral dan, oleh karena itu, perkembangan
moral menjadi semakin kompleks (Hersh, Reimer dan Paolitto, 1984; Quintana,
1995).

Perkembangan moral adalah perubahan penalaran, perasaan, dan perilaku


tentang standar mengenai benar dan salah. Perkembangan moral memiliki dimensi
intrapersonal, yang mengatur aktivitas seseorang ketika dia tidak terlibat dalam
interaksi social dan dimensi interpersonal yang mengatur interaksi social dan
penyelesaian konflik (Santrock J. W., 2007).

Perkembangan moral seorang anak banyak dipengaruhi oleh lingkungan. Anak


memperoleh nilai-nilai moral dari lingkungannya, terutama dari orangtuanya. Dia
belajar untuk mengenal nilai-nilai dan berperilaku sesuai dengan nilai-nilai tersebut.

3
Dalam mengembangkan moral anak, peranan orangtua sangatlah penting, terutama
pada waktu anak masih kecil (Yusuf LN, 2004).

Perkembangan ini berlangsung sejak masa bayi hingga akhir hayat.


Perkembangan merupakan suatu proses pembentukan social self (pribadi dalam
masyarakat), yakni pembentukan pribadi dalam keluarga, bangsa dan budaya.
Perkembangan sosial hampir dapat dipastikan merupakan perkembangan moral, sebab
perilaku moral pada umumnya merupakan unsur fundamental dalam bertingkah laku
sosial. Seorang siswa hanya akan berperilaku sosial tertentu secara memadahi apabila
menguasai pemikiran norma perilaku moral yang diperlukan untuk menguasai
pemikiran norma perilaku moral yang diperlukan.

Moral merupakan kondisi pikiran, perasaan, ucapan, dan perilaku manusia


yang terkait dengan nilai-nilai baik dan buruk. Moral adalah perbuatan/tingkah
laku/ucapan seseorang dalam berinteraksi dengan manusia. Apabila yang dilakukan
seseorang itu sesuai dengan nilai yang berlaku di masyarakat tersebut dan dapat
diterima serta menyenangkan lingkungan masyarakatnya, maka orang itu dinilai
memiliki moral yang baik. Ketika individu mulai menyadari bahwa ia merupakan
bagian dari lingkungan sosial dimana ia berada, bersamaan itu pula individu mulai
menyadari bahwa dalam lingkungan sosialnya terdapat aturan-aturan,
norma-norma/nilai-nilai sebagai dasar atau patokan dalam berperilaku

Perkembangan moral (moral development) adalah mencakup perkembangan


pikiran, perasaan, dan perilaku menurut aturan atau kebiasaan mengenai hal-hal yang
seharusnya dilakukan seseorang ketika berinteraksi sengan orang lain (Hurlock).
Perkembangan moral sangat berpengaruh terhadap lingkungan sehingga pada masa
anak-anak ini orangtua dan lingkungan sangat berpengaruh terhadap perkembangan
moral anak, moral yang positif akan berdampak baik untuk kedepannya dan begitu
sebaliknya jika si anak sejak kecil hanya menerima moral yang negatif maka si anak
akan berkembang tidak sesuai dengan yang diharapkan oleh orangtuanya.

Perkembangan moral pada dasarnya merupakan interaksi, suatu hubungan


timbal balik antara anak dengan anak, antara anak dengan orang tua, antara peserta
peserta didik dengan pendidik, dan seterusnya. Unsur hubungan timbal balik ini
sedemikian penting karena hanya dengan adanya interaksi berbagai aspek dalam diri

4
seseorang (kognitif, afektif, psikomotorik) dengan sesamanya atau dengan
lingkungannya, maka seseorang dapat berkembang menjadi semakin dewasa baik
secara fisik, spiritual dan moral (Sjakarwi, 2006). Dengan interaksi maka kesejajaran
perkembanagan moral, kognitif dan inteligensi akan terjadi secara harmonis. Hal itu
sejalan dengan dengan pandangan Piaget bahwa intelegensi berkembang sebagai
akibat hubungan timbal balik antara unsur keturunan dan lingkungan, hubungan itu
begitu menentukan sama halnya dalam perkembangan moral seseorang.

Perkembangan merupakan proses dinamis yang umum dalam setiap budaya.


Moral berkembang menurut serangkaian tahap perkembangan psikologis. Kohlberg
telah menunjukkan dengan penelitiannya bahwa tahap-tahap perkembangan moral
berlaku sama bagi setiap orang, tidak memandang lingkup budaya, tempat, kelas
dalam masyarakat, kasta dan agama. Tahap-tahap perkembangan moral menurut
Kohlberg menunjukkan suatu tingkatan sistematis, urutan bertahap, dari tingkat
prakonvensional sampai pascakonvensional. Itu berarti bahwa perkembangan
pengertian dan pertimbangan moral dibatasi oleh perkembangan umur dan tahapan.

Isi pertimbangan moralnya dapat berbeda-beda, namun kerangka berpikir


pertimbangannya sama, begitu juga urutan tahap perkembangannya sama. Memang
jarang ada orang yang perkembangan moralnya mencapai tahap lima atau enam,
karena perkembangan pendewasaan moral itu tidak terjadi dengan sendirinya secara
otomatis. Orang harus mengembangkannya sendiri. Partisipasi dalam peran-peran
sosial serta hubungan antarpribadi yang dialami seseorang amat menentukan proses
perkembangan kedewasaan moralnya. Pengalaman itulah yang akan mengajar mereka
untuk berkembang mencapai tahap terakhir.

Perkembangan moral itu bertahap, artinya kedewasaan moral seseorang hanya


dapat meningkat satu tahap lebih tinggi keatasnya. Kedewasaan moral tahap kedua
hanya dapat memahami pertimbangan moral tahap keempat. Tiap tahap yang lebih
tinggi selalu lebih umum dan kurang berpusat pada diri sendiri serta menghendaki
sedikit saja rasionalisasi. Oleh sebab itu, pendidikan moral tidak banyak artinya jika
materi tentang tahap-tahap tentang kedewasaan moral disampaikan hanya dengan
ceramah, tanpa mengajak peserta didik mengalami sendiri tingkat kedewasaan tiap
tahap dan bagaimana dapat berkembang ke satu tingkat diatasnya (Cheppy, 1988).

5
B. Tahap-tahap perkembangan moral
1. Tahap-tahap perkembangan moral menurut John Dewey, yaitu :
a. Tahap pramoral, ditandai bahwa anak belum menyadari keterikatannya pada
aturan.
b. Tahap konvensional, ditandai dengan berkembangnya kesadaran akan ketaatan
pada kekuasaan.
c. Tahap otonom, ditandai dengan berkembangnya keterikatan pada aturan yang
didasarkan pada resiprositas.
2. Adapun tahap-tahap perkembangan moral yang sangat terkenal adalah yang
dikemukakan oleh Lawrence E Kohlberg. Kohlberg menjelaskan tiga tingkat
perkembangan moral (Christian Jacobs Ardines dkk, 2018: 90-98 ). Tahap-tahap
berkembangan moral tersebut, yaitu :
a. Tingkat Prakonvensional
Tingkat pertama adalah "pra-konvensional", di mana subjek tidak
memiliki aturan sosial atau otoritas yang jelas. Itu perilaku individu pada
tingkat ini tetap diatur oleh konsekuensi langsung dari mereka tindakan
(dengan kata lain: “Sebagai pelayan publik, saya tidak akan menerima hadiah
sebagai imbalan atas bantuan karena saya bisa dikirim ke penjara ”). Ini adalah
posisi klasik dari subjek yang belum sudah 10 tahun, di mana mereka tidak
mengerti mengapa mereka dihukum tetapi mengerti bahwa tindakan mereka
membawa celaan (Christian Jacobs Ardines dkk, 2018: 90).
Tahap perkembangan moral yang aturan-aturan dan ungkapan-
ungkapan moral masih ditafsirkan oleh individu atau anak berdasarkan akibat
fisik yang akan diterimanya, baik itu berupa sesuatu yang menyakitkan atau
kenikmatan. Pada tingkat ini terdapat dua tahap, yaitu tahap orientasi hukuman
dan kepatuhan serta orientasi relativitas instrumental.
b. Tingkat Konvensional
Tingkat berikutnya adalah yang "konvensional", di mana individu
bertindak dengan cara didik di bawah paradigma quid pro quo, lebih memahami
peran mereka dalam sistem sosial, dan apa arti otoritas. Kohlberg
menunjukkan bahwa sebagian besar penduduk menemukan diri dalam posisi
ini, yang berkembang setelah sepuluh tahun (Christian Jacobs Ardines dkk, 2018:
90).

6
Tahap perkembangan moral yang aturan-aturan dan ungkapan-
ungkapan moral dipatuhi atas dasar menuruti harapan keluarga, kelompok atau
masyarakat. Pada tingkat ini terdapat juga dua tahap, yaitu tahap orientasi
kesepakatan antara pribadi atau disebut “orientasi anak manis” serta tahap
orientasi hukum atau ketertiban.
c. Tingkat Pascakonvensional
Terakhir, Kohlberg menggambarkan apa yang disebut "tingkat pasca-
konvensional", yang dikembangkan oleh sangat beberapa orang, biasanya
setelah dua puluh lima tahun. Pada level ini, individu memahami aturan
masyarakat dan mampu melampaui, karena pemikiran mereka dipandu oleh
nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang dibangun sendiri dalam keinginan mereka
untuk mencapai masyarakat yang lebih baik untuk semua. Meskipun mungkin
tampak mengejutkan, pendekatan yang paling umum digunakan untuk studi
perkembangan moral saat ini tetap yang dikembangkan oleh Kohlberg, terkait
dengan moral penilaian individu melalui penyajian dilema moral. (Linde
Navas, 2009; Narvaez dan Gleason, 2007).
Tahap perkembangan moral yang aturan-aturan dan ungkapan-
ungkapan moral dirumuskan secara jelas berdasarkan nilai-nilai dan prinsip
moral yang memiliki keabsahan dan dapat diterapkan, hal ini terlepas dari
otoritas kelompok atau orang yang berpegangan pada prinsip tersebut dan
terlepas pula dari identifikasi diri dengan kelompok tersebut. Pada tingkatan
ini terdapat dua tahap, yaitu tahap orientasi kontrak sosial legalitas dan tahap
orientasi prinsip etika universal.
3. Tahapan Perkembangan Moral Piaget
a) Menurut Piaget perkembangan moral terjadi dalam dua tahapan, yaitu “tahap
realisme moral” dan “tahap moralitas atau hubungan timbal balik” (Daeroso
1989:30-32).
a. Tahap pertama “tahap realisme moral”, perilaku anak cenderung
menganggap kewajiban dan nilai yang melekat padanya sebagai bagian,
yang berdiri sendiri dan bebas dari pengaruh akal manusia, sebagai sesuatu
yang mempengaruhi sendiri tanpa memandang keadaan, dimana individu
menemukan dirinya. Mereka mengganggap orang tua dan orang dewasa
yang berwenang sebagai maha kuasa dan mengikuti peraturan yang
diberikan tanpa mempertanyakan kebenarannya. Dalam tahap ini, pada

7
pertimbangan anak mengenai benar dan salah berdasarkan konsekuensinya
serta bagi anak kecil semua peraturan ini sama.
b. Tahap kedua “tahap moralitas atau hubungan timbal balik”, anak menilai
perilaku atas dasar tujuan yang mendasarinya. Tahap ini dimulai pada anak
usia dua tahun sampai dua belas tahun. Tingkah laku benar dan salah sudah
mulai dimodifikasi. Artinya anak sudah mulai mempertimbangkan keadaan
tertentu yang berkaitan langsung dengan pelanggaran moral.
b) Menurut John Dewey, tahapan perkembangan moral seseorang akan melewati
tiga fase (Hidayat, 2015: 141) yaitu:
(1) Fase premoral atau preconventional: pada level ini sikap dan perilaku
manusia banyak dilandasi oleh impuls biologis dan social.
(2) Tingkat konvensional; perkembangan moral manusia pada tahapan ini
banyak didasari oleh sikap kritis kelompoknya.
(3) Autonomous: pada tahapan ini perkembangan moral manusia banyak
dilandasi pola pikirnya sendiri. Pada tahapan ini seorang anak telah
memiliki kemampuan sendiri dalam menentukan segala keputusan sikap
dan perilaku moralitasnya.

Tahapan perkembangan moral seorang anak sangat terkait dengan


lingkungan sosialnya. Pada usia tertentu seorang anak sangat tergantung
dengan orang-orang disekitarnya, sehingga pola pengasuhan yang baik akan
berpengaruh dalam penyerapan atau penerimaan nilai-nilai positif yang akan
melekat dalam diri seorang anak. Hal ini menyebabkan pentingnya seluruh
elemen masyarakat dalam menciptakan lingkungan sosial yang kondusif bagi
perkembangan anak-anak Indonesia.

Menurut Imam Ahmad Ibn Hanbal yang dikutip oleh Karim bahwa
sifat ajaran Islam adalah penyempurnaan moral karena nilai moral dalam
Islam tiada lain merupakan penyempurnaan dan pengembangan dari nilai
moral yang sudah ada dalam masyarakat. Sabda Nabi SAW: “Saya diutus
untuk menyempurnakan akhlak yang mulia” (Karim, 2013:24).

Penyempurnaan moral menjadi tanggung jawab bersama bagi seluruh


bangsa Indonesia. Penyempurnaan moral atau pendidikan moral tidak hanya
dilakukan di sekolah saja tetapi mencakup seluruh elemen masyarakat.
8
Masyarakat juga berkewajiban menciptakan lingkungan yang kondusif agar
setiap individu terutama anak-anak bisa mendapatkan contoh yang baik.
Karena lingkungan masyaraakt sekitar merupakan salah satu media belajar
bagi seorang anak dalam mengembangkan nilai agama, sosial, dan
moralitasnya.

C. Pengertian Perkembangan Tingkah Laku Anak

Eisenberg dan Fabes (1998) misalnya secara sederhana mendefinisikan


tingkah laku prososial sebagai “voluntary behavior intended to benefit another”.
Menurut Baron Byrnetingkah laku prososial adalah tindakan menolong oranglain. Hal
ini dipertegas pila oleh rushton (dalam seears, dkk. 1992) bahwa tingkah laku
prososial berkisar dari tindakan altruisme yang tidak mementingkan diri sendiri atau
tanpa pamrih sampai tindakan menolong yang sepenuhnya dimotivasi oleh
kepentingan diri sendiri.

Adapun pengertian tingkah laku prososial menurut Sri Utari Pidada (1994)
adalah suatu tingkah laku yang mempunyai satu akibat atau konsekuensi positif bagi
si partner interaksi. Hampir senada dengan pendapat sebelumnya, janusz Reskowski
(dalam Eigsenberg, 1982) juga menjelaskan bahwa istilah tingkah laku prososial
mencakup sejumlah fenomena yang luas.

Brigham, (1991) mengungkapkan bahwa wujud tingkah laku prososial


meliputi:

1. Altruism, Murah Hati (Charity)


2. Persahabatan (Friendship)
3. Kerja Sama (Kooperation)
4. Menolong (Helping)
5. Penyelamatan (Rescuing)
6. Pertolongan Darurat Oleh Orang yang Terdekat (Bystander intervension)
7. Pengorbanan (Sacrifising)
8. Berbagi/Memberi (Sharing)

Demikian juga Bar-Tal (1976) mendefinisikan tingkah laku prososial sebagai


tingkah laku yang dilakukan secara sukarela menguntungkan orang lain tanpa

9
antisipasi reward eksternal, dan tingkah laku tersebut dilakukan tidak untuk dirinya
sendiri, meliputi helping/aiding, sharing, dan donating.

Selanjutnya Lead (dalam Staub, 1978) menyatakan ada 3 kriteria yang


menentukan tingkah laku altruistic, yaitu:

1. Tindakan yang bertujuan khusus menguntungkan orang lain tanpa mengharapkan


reward eksternal.
2. Tindakan yang dilakukan dengan sukarela.
3. Tindakan yang menghasilkan sesuatu yang baik.

Tingkah laku prososial menyangkut intensi, value, empati, proses internal dan
karakteristik individual yang dapat mengantarai suatu tindakan. Fokus utamanya
adalah tindakan, karena hal ini signifikan untuk individu dan kelompok sosial.
Menurut Staub (1978) tingkah laku prososial adalah tindakan sukarela dengan
mengambil tanggung jawab menyejahterakan orang lain.

Dari beberapa definisi diatas, dapat dipahami bahwa tingkah laku prososial
adalah tingkah laku sosial positif yang menguntungkan atau membuat kondisi fisik
atau psikis orang lain lebih baik, yang dilakukan atas dasar sukarela tanpa
mengharapkan reward eksternal.

D. Perkembangan Tingkah Laku Anak


Secara Yuridis, perkataan “anak” dan bahkan “orok” berlaku bagi siapa saja
yang belum mencapai usia dua puluh satu tahun. Sedangkan dalam bahasa sehari-hari,
biasanya dikenakan pada siapa saja yang belum menginjak remaja.
Dalam bahasa psikologi, masa kanak-kanak adalah antara masa orok dan masa
remaja. Problem-problem pokok yang dihadapi anak selama masa ini berbeda dengan
yang dihadapinya dimasa orok. Problem orok sebagian besar bersifat interpersonal,
artinya anak harus menyadari bahwa disamping dirinya ada pula orang lain.
1. Tingkah Laku Sosial yang Muda-muda

Pada awal masa kanak-kanak, anak mulai bertingkah laku sesial dengan
cara yang kasar sebab memang belum mengerti bagaimana caranya bertingkah
laku social yang tepat.

10
Negativism adalah suatu bentuk tingkah laku social dimana anak
menujukan sifat keras kepala dan selalu mengatakan “tidak”. Meski hal ini sukar
dikendalikan, namun karena umum sekali dilakukan  anak haruslah dianggap
normal.

Negativism adalah produk dari tidak tolerannya orang dewasa terhadap


tingkah laku anak yang bersifat kebai-bayian itu. Anak mereaksi sigertu yang
agredif dengan jalan tidak mau mentaati permintan-permintaan orang dewasa.
Negativisme ini menrun setelah anak berumur empat tahun. Pada saat itu, orang-
orang dewasa lalu menghargai individualitasnya dan anak lalu mengerti bahwa
sikap menurut itu akan mendapatkan pujian.

Persaingan, juga merupakan bentuk tingkah laku social yang mula-mula.


Hal ini berkembang sesuai dengan hubungan anak dengan alat permainannya.
Pada umur tiga tahun, anak hanya tertarik pada alat-alat peremainan itu sendiri;
tetapi pada umur empat tahun, anak menjadi cemburu terhadap anak lain yang
sebaya yang berminat pada permainannya, sedangkan pada umur lima tahun anak
menjadi beriri hati terhadap pujia yang dinerikan kepada anak lain yang bisa
menggambar atau menyusun balok-balok dengan baik atau cepat. Pada umur
enam tahun, semanagat bersaingnya sudah berkembang dengan baik.

Teasing dan bullying adalah bentuk-bentuk tingkah laku agresif. Teasing


adalah perbuatan memarahi seseorang dengan jalan memperingatkan kesalahan-
kesalahannya. Hal ini tepat hanya apabila digunakan terhadap para hypokrit dan
pembohong, tetapi anak menggunakannya untuk kepentingan sendiri.

Bullying adalah serangan physic tergadap orang yang lebih lemah dengan
tujuan menyakiti. Anak yang terlibat dalam bentuk agresi ini seringkali
mempunyai perasaan rendah diri atau perasaan tidak aman.

Cemburumerupakan pengalaman emosional yang hamper terdapat pada


semua anak; cemburu adalah suatu sikap tidak senang dan meentang.

Biasanya cemburu itu timbul karena lahirnya seoramh adik dimana


monopoli kasih saying ibu oleh anaknya yang lebih tua berkurang. Cemburu itu
dinyatakan dalam berbagai cara, seperti mencubit/memukul, menganggap sepi,
menolak kenyataan lahirnya adik, ngompol, mengisap ibu cari, tidak mau makan,

11
menjadi nakal, berpura-pura sakit dan takud dengan maksud manarik perhatian
ibunya.

Cemburu muncul antara umur tiga dan empat tahun. Statistik menujukan
bahwa diantara riga orang anak yang cemburu dua orang adalah anak perempuan.
Anak-anak yang kecerdasan tinggi lebih cemburu dari pada anak-anak yang
kecerdasan lebih lemah.

2. Tingkah laku prososial


merupakan suatu tingkah laku sosial postif yang bersifat menolong
maupun direncanakan dengan tujuan memberikan bantuan dan pertolongan pada
orang lain tanpa paksaan dan juga mengharapkan balasan (reward).
Perkembangan tingkah laku prososial ini memiliki enam tahapan yaitu :
a. Compliance & Concrete, Defined Reinsforcement. Pada tahapan ini, individu
melakukan tindakan menolong karenakan permintaan atau jaga karena
perintah yang disertai dahulu dengan Reward atau punishment. Tingkah laku
menolong pada tahap-tahap ini dituntun oleh pengalaman menyedihkan atau
menyenangkan tanpa rasa tanggung jawab,tugas,atau patuh terhadap otoritas.
Pada tahap ini anak-anak mempunyai perspektif egosentris, tidak menyadari
bahwa orang lain mempunyai perasaan dan pikiran yang berbeda dengan
mereka tingkah laku menolong ini terjadi karena ditunjukan oleh rewand dan
punishment secara konkrit. Contohnya, seorang ibu meminta tolong kepada
anak-anaknya untuk menyapu halaman rumah, maka setelah itu sang anak
diberikan kue.
b. Compliance. Pada tingkah ini individu melakukan tingkah laku menolong
karena tunduk pada otoritas. Individu tidak berinisiatif melakukan
pertolongan, tapi tunduk pada permintaan dan perintah dari orang lain yang
berkuasa. Pada tingkatan kedua ini anak menyadari bahwa orang lain
mempunyai perasaan dan pikiran yang berbeda. Tindakan menolong pada
tahap ini dimotivasi oleh kebutuhan yang mendapatkan persetujuan dan
menghindari hukuman, individu tidak memerlukan pengutan yang kongkrit
karena mereka menyadari kekuatan otoritas. Bagaimanapun mengandung
pengertian yaitu : setuju atau tidak setuju. Contohnya, anak-anak mengatakan
bahwa mereka menolong karena ibunya menyuruh melakukan tindakan
tersebut.

12
c. Internal initiative & Concrete Reward. Pada tahap ini individu menolong 
karena tergantung pada penerimaan reward (hadiah) yang diterima. Individu
mampu  memutuskan kebutuhannya, orientasi egoistis dan tindakannya
dimotivasi oleh keinginan untuk mendapatkan keuntungan  atau hadiah untuk
memuaskan kebutuhan. Contohnya, seorang anak menolong dengan
memberikan mainankepada orang lain dengan harapan akan mendapatkan ice
cream.
d. Normative Behavior. Pada tahap ini individu menolong orang lain untuk
memenuhi tuntutan masyarakat. Individu mengetahui berbagai macam tingkah
laku yang sesuai dengan norma-norma masyarakat yang diikuti sanksi positif,
serta pelanggaran norma yang diikuti sanksi negatif. Tingkah laku menolong
dilakukan karena diharapkan menjadi orang baik di mata orang lain.
Orientasinya mencakup keinginan untuk menerima persetujuan dan
menyenangkan orang lain. Harapan reward untuk menolong tidak kongkrit
namun berarti. Tindakan menolong dilakukan karena adanya norma-norma
sosial  yang meliputi; norma memberi dan norma bertanggung jawab
sosial,norm tersebut memberi yaitu merupakan bagian dari pranata sosial.
Seseorang yang menginternalisasi norma-norma tersebut mempunyai suatu
“Kecenderungan diri  untuk memberi”.tindakan menolong ini didasari oleh
nilai-nilai memberi kepada yang kekurangan.
e. Generalized Reciprocity. Pada tahap ini, tingkah laku menolong didasari atas
prinsip-prinsip universal dan pertukaran, yakni seseorang memberikan
pertolongan karena dia percaya ketika juga membutuhkan pertolongan maka
akan mendapat pertolongan. Pada tahap ini individu menginternalisasi hukum-
hukum masyarakat tentang pertolongan, yaitu untuk menghindari perpecahan
sistem. Secara umum norma receprociti, meliputi beberapa hal yaitu:
1) Orang yang ditolong dengan orang yang menolongnya, dan
2) Orang yang tidak akan merugikan orang yang ditolongnya.
Norma-norma ini sangat penting dalam menstabilkan hubungan
antara manusia di masyarakat. Norma ini melindungi orang terhadap
statusnya,  memotivasi serta mengatur hukum timbal balik sebagai suatu
pola pertukaran, mencegah timbulnya hubunga eksploitasi,sehingga
menimbulkan mekanisme interaksi antar manusia. Norma reciprociti
mengatur pertukaran sosial sehingga menambah stabilitas sosial.

13
f. Altruistic Behavior. Pada tahap ini, individu melakukan tindakan menolong
secara sukarela, tindakan semata-mata hanya bertujuan menolong. Tanpa
mengharapkan hadiah dari luar, menolong orang lain sebenarnya  tergantung
pada niat seseorang dalam memberikan pertolongan pada orang lain. Apakah
itu karena permintaan, perintah atau karena mengharapkan balasannya dan
juga sudah kebiasaannya menolong orang lain. Tindakan menolong ini
dilakukan adalah karena pilihannya sendiri dan didasarkan pada prinsip-
prinsip moral, yang menyangkut keselamatan orang lain,individu dapat
menilai kebutuhan orang lain, simpati kepada orang lain yang menderita dan
yang membutuhkan bantuan, dan tidak mengharapkan keuntungan timbal
balik untuk tindakannya.
E. Keputusan Tingkah Laku
Tingkah laku proporsial (proporsial behavior) adalah suatu tindakan menolong
yang menguntungkan orang lain tanpa harus menyediakan suatu keuntungan langsung
pada orang yang melakukan tindakan tersebut, dan mungkin bahkan melibatkan suatu
risiko bagi orang yang menolong. Istilah aultruisme (altruism) kadang-kadang
digunakan secara bergantian dengan tingkah laku prososial, tetapi altruisme yang
yang sejati adalah tingkah laku yang merefleksikan pertimbangan untuk untuk tidak
mementingkan diri sendiri demi kebaikan orang lain.

Dalam membuat keputusan apakah seseorang akan menolong atau tidak sangat
dipengaruhi oleh banyak faktor.Pertama, faktor dalam diri manusia.Misalnya
kepribadian, kemampuan, moral, kognitif, dan empati.Kedua faktor yang ada di luar
diri manusia misalnya kehadiran orang lain, norma-norma dan situasi tempat
kejadian.Hasil studi penulisan empiris bahwa sulit sekali membedakan antara tekanan
eksternal dan internal dalam membuat keputusan tingkah laku proporsial.Peneliti
tidak dapat memverifikasi (menunjukkan dengan sesungguhnya) perasaan dan pikiran
yang dialami oleh subyek.

Maka proporsi yang menyebutkan adanya rewards ekternal atau internal atau
mungkin non rewards bersifat teoritis (bar-tal, 1976).Menurut Bar Tal (1976, hal.4)
Tingkah laku proporsial adalah tingkah lakuyang dilakukan secara sukarela dan
menguntungkan orang lain tanpa antisipasi rewards eksternal, yang meliputi

14
menolong, membantu, membagi dan menyumbang.Ini bisa mulai dari bentuk yang
paling sederhana seperti sekedar memberi perhatian hingga yang paling hebat.

Misalnya, mengorbankan diri demi orang lain.Pendapat tersebut menunjukan


bahwa tingkah laku prososial berbeda-beda, ada yang tinggi dan ada yang
rendah.Menurut Bar tal (1976:52) dalam proses pengmbalian keputusan untuk
melakukan tingkah laku prososial, orang harus mengetahui bahwa ada seseorang yang
membutuhkan bantuan.Selanjutnya, penolong mungkin menentukan apakah akan
dibantu atau tidak, dan bagaimana cara memberi bantuan tersebut.Keputusan tersebut
juga bergantung pada dua pertimbangan.Pertama, penolong mungkin menunjukan
rasa tanggung jawab terhadap orang yang memerukan bantuan, yang kedua, penolong
menganalisis seberapa besar reward yang diterima setelah memberikan
pertolongan.Perilaku sosial memiliki beberapa aspek yaitu :

1. Berbagi, yaitu kesediaan untuk berbagi perasaan dengan orang lain dalam suasana
suka maupun duka.
2. Menolong yaitu kesediaan menolong orang lain yang sedang dalam
kesulitan.Menolong meliputi membantu orang lain atau menawarkan sesuatu yang
menunjang berlangsungnya kegiatan orang lain.
3. Berderma, yaitu kesediaan untuk memberikan secara sukarela sebagian barang
miliknya kepada orang yang membutuhkan.
4. Kerja sama, yaitu merupakan kesediaan untuk memberikan kerja sama dengan
orang lain demi terciptanya suatu tujuan.Kerja sama ini biasanya saling
meguntungkan, saling memberi, dan saling menolong.
5. Jujur, yaitu kesediaan untuk berkata jujur dan tidak berbuat curang terhadap orang
lain.
F. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Tingkah Laku

Faktor-faktor yang mempengaruhi prilaku proporsional para ahli, antara lain:

1. Menurut Staub (Daya Kisni & amp; Hudaniah 2006) terdapat beberapa faktor
yang mendasari seseorang untuk bertindak prososial, yaitu:
a) Self-Gain adalah harapan seseorang untuk memperoleh atau menghindari
kehilangan sesuatu, misalnya: ingin mendapatkan pengakuan, pujian atau takut
dikucilkan.

15
b) Personal Values and Norms adanya nilai-nilai dan norma sosial yang
diamalkan atau diterapkan oleh individu selama proses sosialisasi yang
meliputi, norma memberi dan norma tanggung jawab.
c) Emphty adalah kemampuan seseorang untuk ikut merasakan perasaan atau
pengalaman orang lain.
2. Menurut Faturochman (2006) Faktor-faktornya adalah sebagai berikut:
a) Situasi sosial adanya korelasi negative  antara pemberian pertolongan  dengan
jumlah pemerhati, makin banyak orang yang melihat suatu kejadian yang
memerlukan pertolongan maka makin kecil munculnya dorongan untuk
menolong.
b) Biaya menolong dengan keputusan membrikan pertolongan berarti akan ada
cost tertentu yang dikeluarkan untuk menolong.
c) Karakteristik orang-orang terlihat makibn banyak kesamaan antara si penolong
dengan yang ditolong, maka makin besar pula peluang untuk munculnya
pemberian pertolongan.
d) Mediator internal mood adalah kecenderungan bahwa orang yang baru melihat
atau mengalami kesedihan lebih sedikit memberikan bantuan dari pada orang
yang baru melihat atau mengalami hal-hal yang menyenangkan, tergantung
perasaan (situasi dan kondisi) individu.
e) Latar belakang kepribadian individu-individu yang mempunyai orientasi sosial
yang tinggi cenderung lebih mudah memberi pertolongan, demikian juga
orang yang memiliki tanggung jawab sosial yang tinggi.
G. Pengertian Spiritual
Secara etimologi kata sprit berasal dari kata Latin spiritus, yang diantaranya
berarti roh, jiwa, sukma, kesadaran diri, wujud tak berbadan, nafas hidup, nyawa
hidup. Penggalan kata spiritual adalah spiritual. Spirit mengandung arti semangat,
kehidupan, pengaruh, antusiasme, spiritus itu bahan bakar dari alkohol, dan minuman
anggur itu disebut sebagai spirit atau minuman yang memberi semangat. Spirit sering
diartikan sebagai ruh atau jiwa. Jadi arti kiasannya adalah semangat atau sikap yang
mendasari tindakan manusia.

Di masyarakat sering terlupakan bahwa arti sebenarnya spirit itu adalah entitas


atau makhluk atau sesuatu bentuk energi yang hidup dan nyata, meskipun tidak
kelihatan di mata biasa dan tidak punya badan fisik seperti manusia, tetapi spirit itu

16
ada dan hidup. Spirit bisa diajak berkomunikasi sama seperti kita bicara dengan
manusia yang lain. Interaksi dengan spirit yang hidup itulah sesungguhnya yang
disebut spiritual.

Dalam perkembangannya, selanjutnya kata spirit diartikan secara lebih luas


lagi. Para filosuf, mengonotasian spirit dengan:

1. kekuatan yang menganimasi dan memberi energi pada cosmos,


2. kesadaran yang berkaitan dengan kemampuan, keinginan, dan intelegensi,
makhluk immaterial, wujud ideal akal pikiran (intelektualitas, rasionalitas,
moralitas, kesucian atau keilahian).

Sehingga sesungguhnya istilah spiritual artinya berhubungan dengan roh


atau spirit. Religious atau religius/relijius artinya berhubungan dengan religi atau
agama. Pengalaman relijius itu adalah pengalaman batin yang dialami dalam
beragama, antara lain yang terjadi dalam ibadah agama. Pengalaman spiritual artinya
pengalaman dengan roh dan energi yang lebih tinggi, yang kita sebut Tuhan. Sering
dikaitkan dengan istilah mistik, walau sebenarnya kata mistik maknanya ada dua,
yang pertama arti sebenarnya adalah usaha manusia mencari penyatuan dengan Sang
Pencipta. Arti yang kedua adalah arti salah kaprah, yaitu bahwa mistik sering
dianggap pengalaman misterius dan perdukunan.

Spiritualitas adalah hubungannya dengan Yang Maha Kuasa dan Maha


pencipta, tergantung dengan kepercayaan yang dianut oleh individu. Beberapa pakar
telah mendalami secara sistematis, antara lain menurut Burkhardt spiritualitas
meliputi aspek-aspek.

1. Berhubungan dengan sesuatau yang tidak diketahui atau ketidakpastian dalam


kehidupan.
2. Menemukan arti dan tujuan hidup.
3. Menyadari kemampuan untuk menggunakan sumber dan kekuatan dalam diri
sendiri.
4. Mempunyai perasaan keterikatan dengan diri sendiri dan dengan yang maha
tinggi.
Batasan spiritual setiap individu dipengaruhi oleh budaya, perkembangan,
pengalaman hidup, kepercayaan dan ide-ide tentang kehidupan. Spiritualitas juga

17
memberikan suatu perasaan yang berhubungan dengan intrapersonal (hubungan antara
diri sendiri), interpersonal (hubungan antara orang lain dengan lingkungan) dan
transpersonal (hubungan yang tidak dapat dilihat yaitu suatu hubungan dengan
ketuhanan yang merupakan kekuatan tertinggi).
Jadi pengembangan spiritual itu riilnya adalah bagaimana mengembangkan
jiwa kita, dari bayi spiritual menjadi dewasa spiritual. Jiwa dari kondisi bayi yang
belum berkembang sampai akhirnya jadi dewasa secara moral dan sifat. Itulah tujuan
dari pengembangan spiritual. Spiritual itu bukan sekedar untuk menggapai
pengalaman ajaib atau manifestasi roh, bukan pula hanya untuk bisikan atau petunjuk
gaib, melainkan hasil akhirnya adalah sesosok jiwa manusia yang matang, yang
seimbang, yang berpengalaman, dan yang bijak.
Spiritual adalah suatu ragam konsep kesadaran individu akan makna hidup,
yang memungkinkan individu berpikir secara kontekstual dan transformatif sehingga
merasa sebagai satu pribadi yang utuh secara intelektual, emosional, dan spiritual.
Kecerdasan spiritual merupakan sumber dari kebijaksanaan dan kesadaran akan nilai
dan makna hidup, serta memungkinkan secara kreatif menemukan dan
mengembangkan nilai-nilai dan makna baru dalam kehidupan individu. Kecerdasan
spiritual juga mampu menumbuhkan kesadaran bahwa manusia memiliki kebebasan
untuk mengembangkan diri secara bertanggung jawab dan mampu memiliki wawasan
mengenai kehidupan serta memungkinkan menciptakan secara kreatif karya-karya
baru.
Menurut Adler, manusia adalah makhluk yang sadar, yang berarti bahwa ia
sadar terhadap semua alasan tingkah lakunya, sadar inferioritasnya, mampu
membimbing tingkah lakunya, dan menyadari sepenuhnya arti dari segala perbuatan
untuk kemudian dapat mengaktualisasikan dirinya. Spiritualitas diarahkan kepada
pengalaman subjektif dari apa yang relevan secara eksistensial untuk manusia.
Spiritualitas tidak hanya memperhatikan apakah hidup itu berharga, namun juga fokus
pada mengapa hidup berharga.
Menjadi spiritual berarti memiliki ikatan yang lebih kepada hal yang bersifat
kerohanian atau kejiwaan dibandingkan hal yang bersifat fisik atau material.
Spiritualitas merupakan kebangkitan atau pencerahan diri dalam mencapai tujuan dan
makna hidup. Spiritualitas merupakan bagian esensial dari keseluruhan kesehatan dan
kesejahteraan seseorang. (Hasan, 2006:288)

18
Menurut Fontana& Davic, definisi spiritual lebih sulit dibandingkan
mendefinisikan agama atau religion, dibanding dengan kata religion, para psikolog
membuat beberapa definisi spiritual, pada dasarnya spiritual mempunyai beberapa
arti, diluar dari konsep agama, kita berbicara masalah orang dengan spirit atau
menunjukan spirittingkah laku . kebanyakan spirit selalu dihubungkan sebagai faktor
kepribadian. Secara pokok spirit merupakan energi baik secara fisik dan psikologi,
(dalam Tamami,2011:19)
Dalam literatur agama dan spiritualitas, istilah spirit memiliki dua makna
substansial, yaitu:Karakter dan inti dari jiwa-jiwa manusia, yang masing-
masing saling berkaitan, serta pengalaman dari keterkaitan jiwa-jiwa tersebut yang
merupakan dasar utama dari keyakinan spiritual. Spiritmerupakan bagian terdalam
dari jiwa, dan sebagai alat komunikasi atau sarana yang memungkinkan manusia
untuk berhubungan dengan Tuhan. 
Sedangkan ingersol dalam Desmita (2009:264) menyatakan, spiritualitas
sebagai wujud karakter spiritual, kualitas atau sifat dasar dan upaya dalam
berhubungan atau bersatu dengan tuhan. Sehingga dapat diartikan bahwa, kecerdasan
spiritual sebagai bagian dari psikologi memandang bahwa seseorang yang beragama
belum tentu memiliki kecerdasan spiritual. Namun sebaliknya, bisa jadi seseorang
yang humanis-non-agamis memiliki kecerdasan spiritual yang tinggi, sehingga sikap
hidupnya inklusif, setuju dalam perbedaan (agreeindisagreement), dan penuh toleran.
Hal itu menunjukkan bahwa makna "spirituality" (keruhanian) disini tidak selalu
berarti agama atau bertuhan. Sehingga dari kuti-kutipandiatas penulis memilih judul
proses perkembangan moral dan spiritual peserta didik karena, proses merupakan
suatu hal yang sangat penting, dimana sangat menentukan hasil atau mencapai puncak
dan akhirnya.
Kata spiritual sering digunakan dalam percakapan sehari-hari. Untuk
memahami pengertian spiritual dapat dilihat dari berbagai sumber. Menurut Oxford
English Dictionary, untuk memahami makna kata spiritual dapat diketahui dari arti
kata-kata berikut ini : persembahan, dimensi supranatural, berbeda dengan dimensi
fisik, perasaan atu pernyataan jiwa, kekudusan, sesuatu yang suci, pemikiran yang
intelektual dan berkualitas, adanya perkembanga pemikiran danperasaan, adanya
perasaan humor, ada perubahan hidup, dan berhubngan dengan organisasi keagamaan.
Sedangkan berdasarkan etimologinya, spiritual berarti sesuatu yang mendasar,

19
penting, dan mampu menggerakkan serta memimpin cara berpikir dan bertingkah laku
seseorang.
Dalam perjalanan sejarah peradaban manusia, tercatat bahwa tradisi
keagamaan merupakan sumber ajaran spiritual yang mengakar kuat dan
mempengaruhi pola kehidupan pemeluknya. Untuk memahami fenomena spiritualitas,
agaknya perlu memahami ajaran agama itu sendiri. Masing-masing agama memiliki
ajaran spiritual berbeda walau hakekatnya berkecenderungan tidak jauh berbeda.
Secara garis besar, dilihat dari sumber dan proses terjadinya spiritual atau nilai-nilai
spiritual yang diyakini dan diamalkan, paling tidak terdapat beberapa tipe. The
Encyclopedia of Religion menyebutkan tiga tipe ajaran spiritual (spiritual discipline)
yaitu :
Pertama, spiritual heteronomy. Dalam corak spiritual ini, pencari atau
pengamal spiritual cenderung menerima, memahami, meyakini atau mengamalkan
acuan spiritual (nilai-nilai spiritual) yang bersumber dari otoritas luar (external
authority). Pengamal ajaran spiritual heteronomik bersikap mentaati dan menerima
makna dan keabsahannya dalam wujud tindakan yang submisif dalam arti tinggal
menerima, meyakini dan mengamalkan saja, tanpa harus merefleksikan atau
merasionalisasi makna ajarannya.
Kedua, spiritual otonom, yakni bentuk spiritualitas yang bersumber dari hasil
refleksi diri sendiri. Corak spiritual ini bersifat self-contained and independent of
external authority, yakni dihasilkan dari dalam diri sendiri dan terbebas dari otoritas
luar. Spiritual otonom sesungguhnya merupakan nilai spiritual yang dihasilkan oleh
proses refleksi terhadap kemahabesaran Tuhan dan ciptaannya.
Ketiga, spiritual interaktif, yakni nilai spiritual atau spiritual yang terbentuk
melalui proses interaktif antara dirinya sendiri dengan lingkungannya. Dengan
demikian, corak spiritual ini bukan mutlak karena faktor internal maupun eksternal.
Namun, lebih merupakan hasil dari proses dialektik antara potensi ruhaniah (mental,
perasaan, dan moral) di satu pihak dengan otoritas luar dalam bentuk
tradisi, folkways, dan tatanan dunia yang mengitarinya.
H. Relasi spiritualitas dengan agama
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa spiritualitas memang bukan
agama. Akan tetapi, ia memiliki hubungan dari segi nilai-nilai keagamaaan yang tidak
dapat dipisahkan. Titik singgung antara spiritualitas dan agama tampaknya memang
tak dapat dinafikan sepenuhnnya. Keduanya menyatu dalam nilai-nilai moral. Adapun

20
nilai-nilai moral itu tergolong pada katagori nilai utama (summum bonum) dalam
setiap agama. Dorongan untuk berpegang pada nilai-nilai moral ini sudah ada dalam
diri manusia. Menurut Murthada Muthahhari, dorongan tersembunyi dalam diri
manusia. Dalam konsep ajaran islam, nilai-nilai moral itu disebut akhlak yang baik
atau husn al-akhlaq(Muthada Muthahhari: 55).
spiritualitas adalah potensi batin manusia. Sebagai potensi yang memberikan
dorongan bagi manusia untuk melakukan kebajikan. Dengan demikian, tidak
mengherankan bila, spiritualitas ini senantiasa diposisikan sebagai nilai utama dalam
setiap ajaran agama. Dalam agama Hindu, misalnya spiritualitas itu terlukis dari
pernyataan Swami Vivekananda. Ia mengatakan: jika seorang mengenal Tuhan,
wajahnya, suaranya, dan rupanya berubah. Ia menjadi berkat, kesukaan untuk umat
manusia (Franz Dahler dan Eka budianta, 2000: 303).
Spiritualitas mengacu kepada kepedulian antar sesama. Sisi-sisi spiritualitas
itu digambarkan: “Berusaha untuk menyelasaikan permasalahan orang lain bukan saja
merupakan kewajiban setiap orang itu adalah salah satu kesenangan yang paling baik
dan luhur dalam kehidupan.
Dalam pandangan islam, nilai-nilai yang terkandung dalam spirituallitas tidak
hanya terbatas dalam hubungan antar manusia saja, melainkan mencakup kawasan
yang lebih luas. Meliputi hubungan antar makhluk. Dijelaskan oleh sang Maha
Pencipta: “Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang
terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat-umat juga seperti kamu.” (QS 6:
36). Rasulullah saw. bersabda: “ Kasih-sayangilah segala (apa) yang ada di bumi,
maka yang di langit akan mengasih-sayangimu..”
I. Makna Perkembangan Spiritual Peserta Didik
Echoks dan Shadily dalam Desmiata (2009:264) berpendapat bahwa, kata
spiritual berasal dari bahasa Inggris yaitu ”spirituality”. Kata dasarnya “spirit” yang
berarti roh, jiwa, semangat. Sedangkan Ingersoll dalam Desmiata (2009:264)
berpendapat bahwa, kata spiritual berasal dari kata latin “spiritus” yang berarti, luas
atau dalam (breath), keteguhan hati atau keyakinan (caorage), energy atau semangat
(vigor), dan kehidupan. Kata sifat spiritual berasal dari kata latinspiritualis yang
berarti ”of the spirit” (kerohanian) Menurut Aliah dan purwakaniahasan dalam
Desmita (2009:265) menyatakan spiritualitas memiliki ruang lingkup dan makna
pribadi yang luas,  dengan kata kunci sebagai berikut :

21
1. Meaning (makna). Makna merupakan sesuatu yang signifikan dalam kehidupan
manusia, merasakan situasi, memiliki dan mengarah pada suatu tujuan.
2. Values (nilai-nilai). Nilai-nilai adalah kepercayaan, standar dan etika yang
dihargai.
3. Transcendence (transendensensi). Transendensi merupakan pengalaman,
kesadaran dan penghargaan terhadap dimensi transendental bagi kehidupan di atas
diri seseorang.
4. connecting (bersambung). Bersambung adalah meningkatkan kesadaran terhadap
hubungan dengan diri sendiri, orang lain, tuhan dan alam.
5. Becoming (menjadi). Menjadi adalah membuka kehidupan yang menuntut
refleksi dan     pengalaman, termasuk siapa seseorang dan bagai mana seseorang
mengetahui.

Tujuan dari pengembangan nilai-nilai agama dan moral salah satunya adalah
untuk mewujudkan generasi yang memiliki kecerdasan spiritual. Kecerdasan spiritual
mempunyai cakupan yang luas. Kecerdasan spiritual tidak hanya terkait hubungan
manusia dan tuhan dalam bentuk ibadah sehari-hari saja, tetapi mencakup hubungan
sosial kemasyarakatan. Beragama, bermoral, beradab dan bermartabat merupakan
bagian dari kecerdasan spiritual.

Kecerdasan spiritual ini berhubungan dengan hati. Hati mengaktifkan nilai


yang paling dalam, mengubahnya dari sesuatu yang kita pikir menjadi sesuatu yang
kita jalani. Hati dapat megetahui hal-hal yang tidak dapat diketahui oleh pikiran. Hati
adalah sumber keberanian dan semangat, integritas dan komitmen. Hati adalah
sumber energi dan perasaan mendalam yang menuntut kita belajar, menciptakan,
kerjasama, memimpin, dan melayani. Hati nurani akan menjadi pembimbing manusia
terhadap apa yang harus ditempuh dan apa yang harus diperbuat, artinya setiap
manusia sebenarnya telah memiliki sebuah radar hati sebagai pembimbingnya
(Kurniasih, 2010: 530).

Menghidupkan hati nurani anak dapat dilakukan dengan mengasah


kepekaannya. Kepekaan anak dapat dirangsang dengan kegiatan pengamatan terhadap
tumbuhan dan binatang. Dimana kita sebagai manusia harus selalu merawat dan
memberi makan agar tumbuhan dan binatang itu dapat tumbuh dengan baik. Selain itu
dapat melibatkan anak dengan kegiatan sosial seperti menjenguk teman yang sakit,

22
atau berkunjung ke panti asuhan. Kegiatan ini akan mengasah kepekaan hati seorang
anak. Menurut Prof. Komarudin Hidayat yang dikutip oleh Imas, hakekat spiritual
anak-anak tercermin dalam sikap spontan, imajinasi, dan kreativitas yang tak terbatas,
dan semuanya dilakukan secara terbuka dan ceria (Kurniasih, 2010:11).

Hal ini membuktikan bahwa kecerdasan spiritual tidak hanya yang terkait
dengan ritual ibadah saja tetapi mencakup spontanitas dan kreativitas yang tumbuh
dalam proses pembelajaran seorang anak. Misalnya saja ketika anak diajak untuk ke
mushola sekolah, anak dapat diajarkan untuk merapikan sandal atau sepatunya
sebelum masuk ke mushola. Kebiasaan ini akan tertanam dalam diri anak sehingga
ketika anak pergi ke mushola atau masjid yang lain, ia akan terbiasa secara spontan
untuk merapikan sandal atau sepatunya.Selain itu hal ini juga mengajarkan untuk
menghargai orang lain dan menumbuhkan sikap-sikap kepedulian dan kerapian.

Menurut Danah Zohar dan Marshall, yang dikutip oleh Novan bahwa
tandatanda dari kecerdasan spiritual yang telah berkembang dengan baik adalah
sebagai berikut:

(1) Kemampuan bersikap fleksibel (adaptif secara spontan dan aktif).


(2) Kemampuan untuk menghadapi dan memanfaatkan penderitaan untuk
menghadapi.
J. Perkembangan Keagamaan
1. Pengertian Perkembangan Agama

Perkembangan berasal dari kata dasar “kembang” mendapat awalan “pe” dan
akhiran “an”. Artinya perbuatan yang menjadikan tambah sempurna (tentang
pribadi, pikiran, dan pengetahuan). Dalam proses pengembangan objek juga ikut
berperan.

Perkembangan menghasilkan bentuk-bentuk dan ciri-ciri kemampuan baru


yang berlangsung dari tahap aktivitas yang sederhana ketahap yang lebih tinggi.
Perkembangan itu bergeraak secara berangsur angsur tetapi pasti, melalui suatu
bentuk/tahap kebentuk atau tahap/bentuk berikutnya, yang kian hari kian
bertambah maju, mulai dari masa pembuahan dan berakhir dengan kematian

Kata keagamaan berasal dari kata dasar Agama dan mendapat awalan ke-
dan akhiran -an; yang artinya adalah kepercayaan kepada Tuhan; hal-hal gaib

23
yang memiliki kekuatan besar; akidah; din(ul). Dalam buku Psikologi Agama
karya Jalaluddin Rahmat, menurut Harun Nasution, Agama mengandung arti
ikatan yang harus dipegang dan di patuhi manusia. Ikatan dimaksud berasal dari
suatu kekuatan yang lebih dari manusia sebagai kekuatan yang gaib yang tak
dapat ditangkap dengan pancaindra, namun mempunyai pengaruh yang besar
sekali terhadap kehidupan manusia sehari-hari.

Keagamaan merupakan segala sesuatu yang berhubungan dengan agama.


Artinya segala hal baik berupa sikap, ritual maupun kepercayaan yang bersifat
agama masuk kedalam keagamaan.

Freud, bapak psikoanalisis (Karen Van Der Merwe, 2010) terang-terangan


tentang keyakinannya bahwa keyakinan hanyalah harapan pemenuhan (Freud
1961). Meskipun teori seleksi alam Darwin sangat mempengaruhi Freud
pemikiran awal (misalnya naluri mempertahankan kehidupan dan naluri
seksualnya sesuai dengan teori Darwin tentang seleksi alam dan seksual), ia
pindah dari tempat berlabuh Darwin ini di kemudian hari dalam hidupnya
(Guthrie 1993). 

Inti dari teori harapan pemenuhan adalah premis bahwa religius terkait
dengan perasaan rasa takut dan tidak aman dan bahwa fungsi agama adalah untuk
menenangkan dan menyediakan kerangka keselamatan bagi orang percaya. Bisa
satu berpendapat bahwa kemampuan untuk menghilangkan ketakutan
menyediakan individu dengan keuntungan evolusioner untuk mengeksplorasi dan
menaklukkan, menguasai dan mengulangi.

Teori-teori harapan-pemenuhan menyoroti fakta bahwa agama-agama


menyediakan kenyamanan bagi orang percaya, sementara rasa takut dan
kecemasan diringankan oleh percaya pada Makhluk yang kuat, sering disebut
secara metafora sebagai seorang Bapa, yang dengan penuh cinta terlibat dalam
perincian pribadi kehidupan sehari-hari. Karena Tuhan mereka tidak dapat dilihat
atau dialami secara langsung, orang percaya memperoleh konsep Tuhan sesuai
dengan pemahaman tentang agama dan budaya mereka (sosial yang dominan
pembangunan Tuhan). Namun, menurut Freud dan Rizutto, orang percaya
membentuk citra pribadi mereka tentang Tuhan melalui suatu proses identifikasi
dengan kedua orang tua benda) selama masa bayi dari imajinasi orang tua yang

24
terbentuk. Imajinasi ini membentuk basis representasi Tuhan (Goodwin 1998;
Rizutto, 1979; Wulff 1997). Freud memandang kepercayaan pada Tuhan pribadi
sebagai hal yang lain dari representasi ayah yang ditinggikan, yang tertanam
harapan kekanak-kanakan untuk perlindungan orang tua (Goodwin 1998; Guthrie
1993; Rizutto 1979).

2. Karakteristik Keagamaan
a. Munculnya jiwa keagamaan
Ada beberapa teori keagamaan anak, yakni:
1) Rasa ketergantungan. Manusia dilahirkan kedunia ini memiliki empat
kebutuhan, yakni keinginan untuk perlindungan (security), keinginan akan
pengalamn baru (new experience), keinginan untuk dapat tanggapan
(response), keinginan untuk dikenal (recognition). Berdasarkan kenyataan
dan kerjasama dari keempat keinginan itu, maka bayi sejak dilahirkan
hidup dalam ketergantungan. Melalui pengalaman-pengalamn yang
diterimanya dari lingkungan itu kemudian terbentuklah rasa keagaman
pada diri anak.
2) Instink keagamaan. Bayi yang dilahirkan sudah memiliki beberapa instink.
Diantaranya instink kagamaan. Belum terlihatnya tindak keagamaan pada
diri anak karena beberapa fungsi kejiwaan yang menopang kematangan
berfungsinya instink itu belum sempurna. Dengandemikian pendidikan
agama perlu diperkenalkan kepada anak jauh sebelum usia 7 tahun.
Artinya, jauh sebelum usia tersebut, nilainilai keagamaan perlu
ditanamkan kepada anak sejak usia dini. Nilai keagamaan itu sendiri bisa
berarti perbuatan yang berhubungan antara manusia dengan Tuhan atau
hubungan antar sesama manusia.
3. Perkembangan agama pada anak
Perkembangan religiusitas pada usia anak memiliki kerakteristik tersendiri.
Menurut penelitian ernest harms perkembangan agama pada anak-anak melalui
beberapa 3 fase atau tingkatan:
a. The Fairy Tale Stage (Tingkat Dongeng)
Tingkatan ini dimulai pada anak usia 3-6 tahun. Pada tingkatan ini
konsep mengenai Tuhan lebih banyak dipengaruhi oleh fantasi dan emosi.
Pada tingkat perkembangan ini anak menghayati konsep keTuhanan sesuai

25
dengan tingkat perkembangan inteleknya. Kehidupan masa ini masih banyak
dipengaruhi kehidupan fantasi hingga dalam menanggapi agama pun anak
masih menggunakan konsep fantatis yang diliputi oleh dongeng-dongeng yang
kurang masuk akal.
b. The Realistic Stage (Tingkat Kenyataan)
Tingkat ini dimulai sejak 7-12 tahun. Pada fase ini anak mampu
memahami konsep ketuhanan secara relistik dan kongkrit. Pada masa ini ide
keagamaan pada anak didasarkan atas dorongan emosional, hingga mereka
dapat melahirkan konsep Tuhan yang formalis.
c. The Individual Stage (Tingkat Individu)
Tingkat ini terjadi pada usia remaja. Situasi jiwa yang mendukung
perkembangan rasa ke-Tuhanan pada usia ini adalah kemampuannya untuk
berfikir abstrak dan kesensitifan emosinya. Pemahaman ke-Tuhanan pada
remaja dapat ditekankan pada makna dan keberadaan Tuhan bagi kehidupan
manusia.
Pada tingkat ini anak telah memiliki kepekaan emosi yang paling
tinggi sejalan dengan perkembangan usia mereka. Konsep ini terbagi menjadi
tiga:
1) Konsep ketuhanan yang konvesional dan konservatif dengan dipengaruhi
sebagian kecil fantasi. Hal tersebut dipengaruhi oleh pengaruh luar.
2) Konsep ke-Tuhanan yang murni yang dinyatakan dalam pandangan yang
bersifat personal (perorangan).
3) Konsep ke-Tuhanan yang humanistik. Agama telah menjadi etos
humanistik pada diri mereka dalam menghayati ajaran agama. Perubahan
ini dipengaruhi oleh faktor intern  yaitu perkembangan usia dan faktor
ekstern  berupa pengaruh luar yang dialaminya
4. Sifat-sifat Keagamaan Anak

Clark merumuskan delapan karakteristik religiusits pada anak, yaitu:

a) Ideas Accepted On Authority. Semua pengetahuan yang dimiliki anak datang


dari luar dirinya terutama dari orangtuanya. Semenjak lahir anak sudah
terbentuk untuk mau menerima dan terbiasa untuk mentaati apa yang
disampaikan orang tua, karena dengan demikian akan menimbulkan rasa
senang dan rasa aman dalam dirinya. Maka nilai-nilai agama yang diberikan

26
oleh orangtua atau orangtua pengganti dengan sendirinya akan terekam dan
melekat pada anak. dalam hal ini maka orangtua mempunyai otoritas yang
kuat untuk membentuk religiusitas anak.
b) Unreflective. Anak menerima konsep keagamaan berdasarkan otoritas, maka
jarang terdapat anak yang melakukan perenungan (refleksi) terhadap konsep
keagamaan yang diterima. Pengetahuan yang masuk pada usia awal dianggap
sebagai suatu yang menyenangkan, terutama yang dikemas dalam bentuk
ceritaolehkarena itu konsep tentang nilai-nilai keagaman dapat sebanyak
mungkin diberikan pada usia anak dan sebaiknya disampaikan dalam bentuk
cerita.
c) Egocentric. Mulai usia sekitar satu tahun pada anak terkembang kesadaran
tentang keberadaan diri tumbuh egosentrisme, dimana anak melihat
lingkungannya dengan berpusat pada kepentingan dirinya. Maka pemahaman
religiusitas anak juga didasarkan pada kepentingan diri tentang masalah
keagamaan. Oleh karena itu pendidikan agama sebaiknya lebih dikaitkan pada
kepentingan anak, misalnya ketaatan ibadah dikaitkan dengan kasih sayang
Tuhan terhadap dirinya.
d) Anthropomorphic. Sifat anak yang mengkaitkan keadaan suatu yang abstrak
dengan manusia. Dalam hal keTuhanan mak anak mengkaitkan sifat-sifat
Tuhan dengan sifat manusia. Hal ini terjadi karena lingkungan anak yang
pertama adalah manusia, sehingga manusialah sebagai ukuran bagi suatu yang
lain. Oleh karena itu dalam pengenalan sifat-sifat Tuhan kepada anak
sebaiknya ditekankan tentang perbedaan sifat antara manusia dan Tuhan.
e) Verbalized And Ritualistic. Perilaku keagamaan pada anak, baik yang
menyangkut ibadah maupun moral, baru bersifat lahiriyah, verbal dan ritual,
tanpa keinginan untuk dilakukan dan diajarkan oleh orang dewasa. Akan tetapi
bila perilaku keagamaan itu dilakukan dan diajarkan oleh orang dewasa. Akan
tetapi bila perilaku keagamaan itu dilakukan secara terus menerus dan penuh
minat akan membentuk suatu rutinitas perilaku yang sulit untuk ditinggalkan.
Pada waktu anak memasuki usia remaja baru akan muncul keinginan untuk
mengetahui makna dan fungsi dari apa yang selama ini dilakukan. Oleh karena
itu pendidikan agama perlu menekankan pembiasaan perilaku dan
pembentukan minat untuk melakukan perilaku keagamaan.

27
f) Imitative. Sifat dasar anak dalam melakukan perilaku sehari-hari adalah
menirukan apa yang terserap dari lingkungannya. Demikian juga dalam
perilaku keagamaan. Anak mampu memiliki perilaku keagamaan karena
menyerap secara terus menerus perilaku keagamaan dari orang-orang
terdekatnya, terutama orangtua dan anggota keluarga yang lain. Ditambah
dengan daya sugesti dan sikap positif orangtua terhadap perilaku yang telah
dilakukan akan memperkuat aktivitas anak dalam berperilaku keagamaan.
Oleh karena itu menempatkan anak dalam lingkungan beragama menjadi
prasarat terbukanya religiusitas anak.
g) Spontaneous In Some Respeck. Berbeda dengan sifat imitative anak dalam
melakukan perilaku keagamaan, kadang-kadang muncul perhatian secara
spontan terhadap masalah keagamaan yang abstrak. Misalnya tentang surga,
neraka, tempat Tuhan berada, atau yang lainnya. Keadaan tersebut perlu
mendapat perhatian dari orangtua atau pendidik agama, karena dari pertanyaan
spontan itulah sebenarnya permulaan munculnya tipe primer pengalaman
religiusitas yang dapat berkembang.
h) Wondering. Ini bukan jenis ketakjuban yang mendorong munculnya pemikiran
kreatif dalam arti intelektual, tetapi sejenis takjub yang menimbulkan rasa
gembira dan heran terhadap dunia baru yang terbuka didepanya. Suasana
ketakjuban dan kegembiraan ini masih dapat terbawa pada usia dewasa, ketika
seseorang memproyeksikan ide-idenya mengenai Tuhan dan ciptaan-Nya serta
menemukan rasa ketakjuban disana. Pada anak takjub ini dapat menimbulkan
ketertarikan pada cerita-cerita keagamaan yang bersifat fantastis, misalnya
peristiwa mukjizat pada sejarah Nabi-nabi, serta cerita kehebatan para sahabat
dan pahlawan islam.
5. Teori perkembangan agama menurut james fowler.
Agama merupakan bagian yang cukup penting dalam jiwa remaja. Sebagian orang
berpendapat bahwa agama bisa mengendalikan tingkah laku anak yang beranjak
dewasa sehingga ia tidak melakukan hal-hal yang merugikan atau bertentangan
dengan kehendak atau pandangan masyarakat. Untuk itu akan di bahas tentang
perkembangan keagamaan, menurut fowler ada 6 tahap.
a. Keyakinan proyek intuitif
Menurut kohlberg masa pra operasional yaitu dimana anak terbuka
terhadap berbagai kemungkinan yang baru. Mereka beranggapan bahwa antara

28
fantasi dan keyakinan terjadi secara bersamaan. Sebagai anak-anak, mereka
berusaha memahami kekuatan yang mengontrol kehidupan dunia. Mereka
sering membuat khayalan-khayalan, bentuk-bentuk khayalan yang muncul
yakni bagaimana gambaran tentang neraca, surga dan Tuhan, yang pernah
diceritakan oleh orang tunya. Apabila mereka membicarakan Tuhan dalam
pikiran mereka tergambar adanya keharusan seseorang untuk patuh agar
memperoleh ganjaran dan hukuman bagi yang tidak patuh.
b. Keyakinan terhadap hal-hal mistis
anak-anak sudah mampu berpikir lebih logis dan mulai mengembangkan suatu
pandangan yang bersifat universal, namun masih dipengaruhi keyakinan dari
masyarakat dan keluarga. Meskipun demikian mereka dapat memahami bahwa
Tuhan mempunyai kekuasaan yang dapat mengatasi masalah hidupnya.
Mereka juga yakin bahwa Tuhan bersifat adil, oleh karena itu Tuhan akan
memberi ganjaran yang setimpal terhadap setiap perbuatan.
c. Keyakinan sintesis-konvensional
Keyakinan ini terjadi pada usia 10-13 tahun yang diyakini sebagai masa
transisi dari anak-anak menuju remaja awal. Kohlberg menyatakan bahwa
secara kognitif remaja mulai memasuki tahap perkembangan operasi formal,
mereka tidak lagi menerima apa yang dikatakan atau dipelajari secara mentah-
mentah karena mereka sudah mampu berpikir kritis.Dalam diri remaja tumbuh
keyakinan untuk tunduk dan patuh terhadap yang diyakini dalam hatinya.
Namun, mereka belum mampu menganalisis alternatif ideologi agama secara
tepat. Akibatnya mereka tidak mampu mencapai tahap yang lebih tinggi.
d. keyakinan refleksi ke dalam diri sendiri
masa ini terjadi pada masa transisi antara masa dewasa dan remaja. Menurut
fowler, bahwasanya individu mampu mengambil dan melakukan tanggung
jawab secara penuh terhadap apa yang diyakininya atau kepercayaannya yang
terlepas dari pengaruh orang lain atau kelompok masyarakat. Hal ini dilakukan
karena mereka sadar dan merasa tahu secara sungguh-sungguh bahwa
keyakinan itu sangat berarti dalam hidupnya bahkan harus dipertahankan
sampai akhir hayatnya.
e. Keyakinan Konjungtif
Menurut fowler, sebagian orang dewasa menengah telah memasuki tahap ini,
mereka bersikap kritis yaitu mampu menganalisis pandangan-pandangan

29
dalam ajaran yang dianggap saling bertentangan. Kadang-kadang antara logika
dan ajaran agama saling bertentangan. Meski demikian, individu yang
bersikap positif akan berupaya memenuhi hasrat murni yang paling dalam
dengan makin mendalami imannya. Sehingga ia dapat memahami sesuatu
sebagai rahmat dan melihat peristiwa sebagai kepastian kehendak Tuhan.
f. Keyakinan universal
Tahap ini dianggap sebagai tahap yang paling tinggi. Keyakinan ini berkaitan
dengan sistem keyakinan trasendental yang melampaui seluruh ajaran agama
atau kepercayaan di dunia orang yang telah mencapai tahap ini tidak memiliki
pandangan yang sempit, yaitu hanya terbatas pada ajaran agamanya saja,
dimana segala hal yang bersifat paradoks dan menimbulkan pertentangan telah
dihapuskan yang ada hanyalah kesederajatan, keselarasan, dan kesamaan
antara manusia dihadapan Tuhan.
K. Hambatan Dalam Perkembangan Anak
Di dalam menuju kedewasaan beragaman, maka akan terjadi hal-hal yang
kadang-kadang mengganggu perkembangan pada anak. Perkembangan memerlukan
waktu, karena kedewasaan beragama tidak terjadi secara tiba-tiba. Dan juga
perkembangan tersebut tidaklah monoton, tetapi banyak variasi secara berirama
dijumpai di dalamnya.

Menurut M. Hafi Anshari dalam bukunya yang berjudul “Dasar-Dasar Ilmu


Jiwa Agama” menyebutkan dua faktor yang menyebabkan adanya hambatan, yaitu:

1. Faktor diri sendiri


Dalam hal ini ada dua yang menonjol yaitu kapasitas diri dan pengalaman.
Kapasitas diri berupa kemampuan ilmiah (ratio) dalam menerima ajaran-ajaran
agama. Di sini akan terlihat perbedaan antara anak yang mampu dan kurang
mampu dalam menerima agama. Bagi yang mampu menerima dengan rationya,
mereka akan menghayati dan kemudian mengamalkan ajaran-ajaran agama itu
dengan baik.
Namun lain lagi dengan anak yang kurang mampu menerima dengan
rationya, dia akan lebih banyak terganggu kepada kondisi masyarakat yang ada.
Dalam keaktifan berbuat melakukan perbuatan religious sebenarnya mereka penuh
keraguan dan kebimbangan, sehingga apabila terjadi perubahan-perubahan, maka

30
perubahan tersebut tidaklah melalui prose berpikir sebelumnya, tetapi lebih
bersifat emosional.
Di samping kemampuan rasional, kemampuan emosional juga akan
berpengaruh terhadap perkembangan rasa keagamaan anak, seperti dihinggapi
rasa enggan untuk mengerjakan kelakuan-kelakuan keagamaan atau keengganan
merubah dari sesuatu yang sebenarnya tidak diyakini (ragu) kepada yang tidak
diragukan karena rasa solidaritas yang terlalu besar.
Termasuk juga faktor diri sendiri adalah pengalaman yang dimiliki.
Semakin banyak dan luas pengalaman seseorang dalam bidang keagamaan, maka
akan semakin mantap dan stabil dalam mengerjakan kelakuan-kelakuan religius,
tetapi bagi anak yang mempunyai pengalaman sedikit dan sempit maka dia akan
mengalami berbagai macam kesulitan dan akan selalu dihadapkan kepada
hambatan-hambatan untuk dapat mengerjakan ajaran agama secara mantap dan
stabil. Sehingga perkembangannya akan lebih bersifat statis.
2. Faktor luar (lingkungan)
Faktor luar yaitu beberapa kondisi dan situasi lingkungan yang tidak
banyak memberikan kesempatan untuk berkembang, malah justru menganggap
tidak perlu adanya perkembangan dari apa yang telah ada. Faktor luar antara lain
tradisi agama atau pendidikan yang diterima. Kultur kemasyarakatan yang sudah
dikuasai tradisi tertentu dan berjalan secara turun-temurun dari satu generasi ke
generasi berikutnya, kadang-kadang terasa oleh sebagian orang sebagai suatu
belenggu yang tidak pernah selesai. Kadang-kadang tradisi itu sendiri tidak
ketemu dari mana asal-usul dan sebab musababnya, mulai kapan ada dan
bagaimana ceritanya.

31
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN
Perkembangan moral sangat berpengaruh terhadap lingkungan sehingga pada
masa anak-anak ini orangtua dan lingkungan sangat berpengaruh terhadap
perkembangan moral anak, moral yang positif akan berdampak baik untuk
kedepannya dan begitu sebaliknya jika si anak sejak kecil hanya menerima moral
yang negatif maka si anak akan berkembang tidak sesuai dengan yang diharapkan
oleh orangtuanya.
Dalam bahasa psikologi, masa kanak-kanak adalah antara masa orok dan masa
remaja. Problem-problem pokok yang dihadapi anak selama masa ini berbeda dengan
yang dihadapinya dimasa orok. Problem orok sebagian besar bersifat interpersonal,
artinya anak harus menyadari bahwa disamping dirinya ada pula orang lain.
Hubungan manusia dengan sesuatu yang dianggap adikodrati (supernatural)
memiliki latar belakang sejarah yang sudah lama dan cukup panjang. Hal ini dapat
dilihat dari berbagai pernyataan para ahli yang memiliki disiplin ilmu yang berbeda.
Begitu juga dengan para agamawan dari berbagai agama yang ada mengemukakan
bahwa berdasarkan informasi kitab suci, hubungan manusia dengan zat yang
adikodrati digambarkan sebagai hubungan antara makhluk ciptaan dengan Sang
Pencipta.
Kemudian para psikolog mencoba melihat hubungan tersebut dari sudut
pandang psikologi. Menurut mereka hubungan manusia dengan kepercayaannya ikut
dipengaruhi dan juga mempengaruhi faktor kejiwaan. Proses dan sistem hubungan ini
menurut mereka dapat dikaji secara empiris dengan menggunakan pendekatan
psikologi. Menurut agamawan selanjutnya, bahwa memang pada batas-batas tertentu,
barangkali permasalahan agama dapat dilihat sebagai fenomena yang secara empiris
dapat dipelajari dan diteliti. Tetapi di balik itu semua ada wilayah-wilayah khusus
yang sama sekali tak mungkin atau bahkan terlarang untuk dikaji secara empiris.

32
DAFTAR PUSTAKA

Abraham, Juneman and Any Rufaedah. 2014. “Theologization” of Psychology and


“Psychologization” of Religion: How Do Psychology and Religion Supposedly
Contribute to Prevent and Overcome Social Conflicts?. Procedia Environmental.
doi:10.1016/j.proenv.2014.03.064

Aras, Goksen. 2015. Personality and Individual Differences: Literature in Psychology-


Psychology in Literature. Procedia-Social and Behavioral Sciences.
doi:10.4102/hts.v66i1.331.

Bambang, Arifin Syamsul. Psikologi Agama. Bandung: CV Pustaka Setia:2008.

Chasiyah dkk. 2009. Pekembangan peserta didik. Yuma putaka. Surakarta.

Hartati,Netti Dkk. 2004. Islam dan Psikologi. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Huelock, Elizabeth B.. 2003. Psikologi Perkembangan. Jakarta: Erlangga.

Inawati, Asti. 2017. Strategi Pengembangan Moral dan Agama untuk Anak Usia Dini.
Yogyakarta: Al-Athfal, Jurnal Pendidikan Anak. Vol. 3 (1).

Jacobs, Christian-Ardines Dkk. 2018. Moral Development And Corruption: An Evaluation


Instrument Proposal. MLS Educational Research, 2 (1). doi: 10.29314/mlser.v2il.62.

Merwe, Karen Van Der. 2010. A Psychological Repspective On The Source And Funtion Of
Religion. Original Research, Vol. 66. South Africa.

Mohammad Ali dan Mohammad Asrori, 2010. Judul :Psikologi Remaja (Perkembangan
Peserta Didik). Penerbit PT Bumi Aksara : Jakarta.

Papalia, Diana E. Dkk. 2008. Human Development (Psikologi Perke


mbangan). Jakarta: Kencana.
Ramayulis. Psikolog Agama.2002. Jakarta: kalam Mulia.

Ratnawati. 2016. Memahami Perkembangan Jiwa Keagamaan pada Anak dan Remaja.
Fokus: Jurnal Kajian Keislaman dan Kemasyarakatan. Vol. 1, No. 01.

Sriyanti, Lilik. 2013. Psikologi Belajar. Yogyakarta: Penerbit Ombak.

33
Samsunuwiyati. 2012. Psikologi Perkembangan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Tohirin. 2006. Psikologi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam. Jakarta: Raja Grafindo
Persada.
Yusuf, Syamsu. 2004. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.

34

Anda mungkin juga menyukai