Anda di halaman 1dari 5

PERKEMBANGAN MORAL DAN KEAGAMAAN SERTA IMPLIKASINYA PADA

PENDIDIKAN
Nilai moral dalam kehidupan bermasyarakat sangatlah penting, arti dari moralitas atau moral itu sendiri
berasal dari bahasa latin Mos ( jamak:mores) yang berarti cara hidup atau kebiasaan.Terdapat enam
prinsip moral, yaitu sebagai berikut :

 Prinsip keindahan (beauty)


 Prinsip persamaan (equality)
 Prinsip kebaikan (goodness)
 Prinsip keadilan (justice)
 Prinsip kebebasan (liberty)
 Prinsip kebenaran (truth)

Dalam proses penyadaran moral akan bertumbuh melalui interaksi dengan lingkungannya, baik itu
lingkungan sekolah, lingkungan tempat tingggalnya yang dalam lingkungan-lingkunganya itu ia akan
mendapat larangan, suruhan, pembenaran, ataupun celaan, dan akan ada proses timbal balik dari apa
yang ia lakukan.

Perkembangan moral pada awal masa kanak-kanak masih dalam tingkat rendah, karena perkembangan
intelektual anak belum mencapai masa dimana ia bisa membedakan mana yang benar dan mana yang
salah.

Tingkat dan Tahapan Perkembangan Moralitas

Gage & Berliner dalam Lawrence Kohlberg sebagaimana yang dikutip oleh Nurishan (2011) menyatakan
bahwa perkembangan moralitas pada anak-anak itu pada dasarnya dapat dilukiskan tingkatan, tahapan,
dan ciri-ciri perkembangannya sebagai berikut :

a. Level of Moral Thouhgt (Tingkat Kesadaran Moral) :

1. Preconvetional level

Anak menyambut adanya nilai-nilai buruk, hanya karena sesuatu itu akan menyakiti-menyenangkan
secara fisik atas kekuatan kehebatan yang memberikan nilai atau aturan-aturan yang bersangkutan.

2. Conventional level

Individu memandang apa yang diharapkan family, kelompok atau bangsa. Setia dan mendukung aturan
sosial bukan sekadar konformitas, melainkan berharga.

3. Postconventional autonomous , or principled level


Usaha dilakukan mendefinisikan prisip-prinsip moralitas yang tidak te rikat oleh orang pendukung atau
pemegang atau penganutnya : universal.

b. Stages of Moral Develoment (Tahapan Perkembangan moral)

1. The punishment obdience orientation

Anak berusaha menghindari hukuman menaruh respect karena melihat sifat yang memberi aturan yang
bersangkutan.

2. The instrumental ralativist orientation

Sesuatu itu dapat dipandang benar kalau dapat memuaskan dirinya, juga orang lain. Pragmatic
morality.Hubungan insani seperti jual-beli, kau cubit aku, kucubit kau.

3. The interpersonal concordance orientation

Sesuatu perillaku di pandang baik kalau menyenangkan, dan membantu orang lain, kau kan disetujui
atau diterima kalau berbuat baik.

4. Authorithy and social order maintaining orientation

Perilaku yang benar ialah menunaikan tugas kewajiban, menghargai kewibawaan, dan mempertahankan
peraturn yang berlaku.

5. The social contract legalistic orientation

Pelaksanaan undang-undang dan ha-hak individu diuji secara kritis, aturan yang diterima masyarakat
penting. Prosedur penyusunan aturan di tekankan : rasional

6. The universal ethical principle orientation

Kebenaran didefinisikan atas kesesuaiannya dengan kata hati, prinsip-prinsip etika yang logis dan
komprehensif.Pengakuan atas hak dan nilai asasi manusia dan individu.

Perkembangan Penghayatan Keaagamaan

Ajaran agama menjelaskan bahwa pada dasarnya manusia itu baik dan memiliki potensi beragama,
maka keluarganyalah yang akan membentuk perkembangan agamanya itu. Oleh karena itu keluarga
hendaklah menciptakan lingkungan psikologis yang mendukung karakter anak dalam menjalankan
ajaran agamanya.

Perkembangan pada masa remaja ditandai oleh beberapa faktor perkembangan rohani dan jasmaninya.
Perkembangan itu antara lain menurut W. Starbuck adalah:

a) Pertumbuhan pikiran dan mental


Ide dan dasar keyakinan beragama yang diterima remaja dari masa kanak-kanak sudah tidak begitu
menarik bagi mereka. Sifat kritis terhadap ajaran agama mulai timbul. Selain masalah agama mereka
pun sudah tertarik pada masalah kebudayaan, sosial, ekonomi, dan norma-norma kehidupan lainnya.

b) Perkembangan perasaan

Berbagai perasaan telah berkembang pada masa remaja. Perasaan sosial, etis, dan estetis mendorong
remaja untuk menghayati berkehidupan yang terbiasa dalam lingkungannya. Kehidupan religius akan
cenderung mendorong dirinya lebih dekat ke arah hidup yang religius pula. Sebaliknya, bagi remaja yang
kurang mendapat pendidikan dan siraman ajaran agama akan lebih mudah didominasi dorongan
seksual. Masa remaja merupakan masa kematangan seksual. Didorong oleh perasaan ingin tahu dan
perasan super, remaja lebih terperosok ke arah tindakan seksual yang negatif.

c) Pertimbangan sosial

Corak keagamaan para remaja juga ditandai oleh adanya pertimbangan sosial. Dalam kehidupan
keagamaan mereka timbul konflik antara pertimbangan moral dan material. Remaja sangat bingung
menentukan pilihan itu. Karena kehidupan duniawi lebih dipengaruhi kepentingan akan materi, maka
remaja lebih cenderung jiwanya untuk bersikap materialis.

d) Perkembangan moral

Perkembangan moral para remaja bertitik tolak dari rasa berdosa dan usaha untuk mencari
perlindungan. Tipe moral yang juga terlihat pada remaja juga mencakupi:

1. Self-directive, taat terhadap agama atau moral berdasarkan pertimbangan pribadi.

2. Adaptive, mengikuti situasi lingkungan tanpa mengadakan kritik.

3. Submissive, merasakan adanya keraguan terhadap ajaran moral dan agama.

4. Unadjusted, belum meyakini akan kebenaran ajaran agama dan moral.

5. Deviant, menolak dasar dan hukum keagamaan serta tatanan masyarakat.

e) Sikap dan minat

Sikap dan minat remaja terhadap masalah keagamaan boleh dikatakan sangat kecil dan hal ini
tergantung dari kebiasaan masa kecil dan lingkungan agama yang mempengaruhi mereka (besar kecil
minatnya).

Howard Bell dan Ross, berdasarkan penelitiannya terhadap 13.000 remaja di Marlyand mengungkapkan
sebagai berikut:

1. Remaja yang taat beribadah ke gereja secara terartur 45%;

2. Remaja yang tidak pernah kegereja 35%;


3. Minat terhadap: ekonomi, keuangan, materi dan sukses pribadi 73%;

4. Minat terhadap masalah ideal, keagamaan dan sosial 21%.

Implikasi Terhadap Pendidikan

Setelah memerhatikan beberapa uraian diatas tentang perkembangan moral dan keagamaan anak,
maka lembaga sangat dituntut untuk mengembangkan atau memperbaiki dan membangun moral dan
nilai keagamaan pada anak agar terciptanya manusia yang bermoral dan religius.

Berikut ini adalah beberapa strategi yang dapat digunakan guru di sekolah dalam membantu
perkembangan moral dan spiritual peserta didik :

 Memberikan pendidikan moral dan keagamaan melalui kurikulum tersembunyi (hidden


curriculum), yakni menjadikan sekolah sebagai atmosfer moral dan agama secara keseluruhan.
Atmofer disini termasuk peraturan sekolah dan kelas, sikap terhadap kegiatan akademik dan
ekstrakulikuler, orientasi moral yang dimiliki guru dan pegawai serta materi teks yang
digunakan. Terutama guru dalam hal ini mampu menjadi model tingkah laku yang
mencerminkan nilai-nilai moral dan agama. Tanpa adanya model tingkah laku yang baik dari
guru, maka pendidikan moral dan agama yang diberikan di sekolah tidak akan menjadi efektif
menjadi peserta didik sebagai seorang yang moralis dan religius.
 Memberikan pendidikan moral langsung (direct moral education) , yakni pendidikan moral
dengan pendekatan pada nilai dan juga sifat selama jangka waktu tertentu atau menyatukan
nilai-nilai dan sifat-sifat tersebut ke dalam kurikulum. Dalam pendekatan ini, instruksi dalam
konsep moral tertentu dapat mengambil bentuk dalam contoh dan definisi, diskusi kelas dan
bermain peran, atau memberi reward kepada siswa yang berprilaku secara tepat.
 Memberikan pendekatan moral melalui pendekatan klarifikasi nilai (values clarification), yaitu
pendekatan pendidikan moral tidak langsung yang berfokus pada upaya membantu siswa untuk
memperoleh kejelasan mengenai tujuan hidup mereka dan apa yang berharga untuk dicari.
Dalam klarifikasi nilai, kepada siswa diberikan pertanyaan atau dilema, dan mereka diharapkan
untuk memberi tanggapan, baik secara individual maupun secara kelompok. Tujuannya adalahh
untuk menolong siswa menentukan nilai mereka sendiri dan menjadi peka terhadap nilai yang
dianut orang lain.
 Menjadikan pendidikan wahana yang kondusif bagi peserta didik untuk mengkhayati agamanya,
tidak hanya sekedar bersifat teoritis, tetapi penghayatan yang benar-benar dikontruksi dari
pengalaman keberagaman. Oleh sebab itu, pendidikan agama yang dilangsungkan di sekolah
harus lebih menekankan pada penempatan peserta didik untuk mencari pengalaman
keberagaman (religiousity). Dengan pendekatan demikian, maka yang ditonjolkan dalam
pendidikan agama adalah ajaran dasar agama yang sarat dengan nilai-nilai spiritualitas dan
moralitas, seperti kedamaian dan keadilan.
 Membantu peserta didik mengembangkan rasa ketuhanan melalui pendekatan spiritual
parenting seperti :
 Memupuk hubungan sadar anak dengan Tuhan melalui doa setiap hari.
 Menanyakan kepada anak bagaimana Tuhan terlibat dalam aktivitasnya sehari-hari
 Memberikan kesadaran kepada anak bahwa Tuhan akan membimbing apabila kita meminta.
 Menyuruh anak merenungkan bahwa Tuhan itu ada dalam jiwa mereka dengan cara
menjelaskan bahwa mereka tidak dapat melihat diri mereka tumbuh atau mendengar darah
mereka mengalir, tetapi tahu bahwa semua itu sungguh-sungguh terjadi sekalipun mereka tidak
melihat apapun (Desmita, 2009: 286-287)

Menurut Habibah sebagaimana yang dikutip oleh Kusrahmadi (2007) dalam sosialisasi pendidikan moral
dapat digunakan pendekatan indoktrinasi, klasifikasi nilai, keteladanan, dan perilaku guru. Keempat
pendekatan tersebut di atas diharapkan dapat diterapkan sesuai dengan situasi keondisi serta dilakukan
secara holistik sehingga tidak akan terjadi tumpang tindih. Pendekatan di atas juga diharapkan guru
mengetahui karakteristik siswa maupun kondisi kelas, dan seorang guru harus memiliki kemampuan
untuk mengimplementasikan psikologi pendidikan sehingga kelas kondusif untuk pernbelajaran moral.

Pendekatan indoktrinasi dengan cara memberi hadiah atau hukuman, peringatan, dan pengendalian
fisik. Sedang pendekatan klasifikasi nilai, dengan cara penalaran dan ketrampilan. Pendekatan
keteladanan dengan cara disiplin, tanggung jawab, empati, dan pendekatan pembiasaan dengan cara
perilaku seperti berdoa, berterima kasih. Pendekatan habitus diharapkan dapat merubah perilaku moral
(Ambarwati dalam Kusrahmadi, 2007)

Sehingga dapat disimpulkan bahwa untuk mengembangkan moral dan keagamaan anak diperlukan
sosok atau figur yang bisa menjadi contoh bagi mereka sehingga dapat dipastikan bahwa seorang
pengajar atau guru harus memiliki sikap yang religius dan memiliki moral yang mampu membimbing
para peserta didik dengan menggunakan metode-metode yang lebih mengutamakan personal serta
memberikan implementasi kepada para peserta didik contohnya memberikan reward kepada anak yang
aktif di kelas dan anak yang rajin membaca Al-Qur’an.

Selain figur dari seorang guru, peran orangtua anak juga sangat penting karena kurangnya pantauan dari
para orangtua membuat anak cenderung memiliki kebebasan oleh karena itu diperlukan controlling dari
orang tua tentang kegiatan si anak atau apa yang dia telah pelajari. Orang tua harus sering berdialog
dengan anak dengan cara bermain di alam terbuka atau saat si anak sedang santai mengerjakan PR
kemudian orangtua harus menemukan cara belajar yang efektif untuk anak dan memberikan
pemahaman terhadap agama melalui kisah-kisah teladan dan mengingatkan anak untuk beribadah dan
berdo’a dengan mengikuti pengajian di masjid serta meminta guru mengaji untuk memberikan
pengetahuan dan menanamkan nilai-nilai akhlak untuk mengembangkan pribadi anak.

Kemudian ada technology control agar anak tidak berlebihan dalam menggunakan teknologi yang mana
didalamnya terdapat banyak informasi yang baik bahkan buruk bagi perkembangan anak. Orang tua
memiliki waktu untuk membimbing anak dalam penggunaanya.

Anda mungkin juga menyukai