Anda di halaman 1dari 6

Nama : SUTIA RAHMATON

Nim : 230630028

PENGERTIAN PENALARAN MORAL MENURUT GENDER DALAM


PEMBELAJARAN PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN

Moral merupakan hal yang penting dalam membentuk warga negara yang baik sesuai
yang diamanatkan dalam undang-undang. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional, yang pada ini juga menjadi acuan dan pedoman dalam pembelajaran pendidikan
kewarganegaraan.
Pendidikan kewarganegaraan merupakan mata pelajaran yang bermuatan nilai-nilai
moral. Moral Berkaitan dengan baik buruknya perilaku atau perbuatan seseorang. Seseorang
yang dikatakan bermoral jika mengikuti dan mematuhi peraturan dalam masyarakat, bangsa
dan negara. Seorang laki-laki tentu saja berbeda dengan perempuan bila dilihat dari bentuk
fsiknya namun ketika dikaitkan perilaku moral, tentu akan sama. Artinya seseorang yang
bergender laki-laki yang melakukan kesalahan maka akan sama dengan seorang perempuan
yang melakukan kesalahan karena jenis kelamin bukan berarti berbeda perilakuan namun
hukuman yang diberikanakan sama dan lihat dari kesalahan yang dilakukan seseorang
tersebut. Untuk itu, diperlukan suatu upaya dari berbagai pihak, agar perbedaan jenis kelamin
tidak dijadikan alasan untuk membentuk moral seseorang karena yang menjadi permasalahan
adalah ketika Sesorang tidak memiliki sikap moral. Seseorang yang melakukan kesalahan
maka akan mempertimbangkan salah, namun disarankan diperlukan berbagai upaya dari
berbagai pihak untuk bekerja sama dalam menghadapi permasalahan moral yang ada.

Upaya yang Dilakukan Untuk Menghadapi Permasalahan Moral


Salah satu upaya yang dapat dilakukan dalam mengatasi permasalah moral yang ada
sebagai berikut;
1. Pria sosialisasikan bahwa Pentingnya pembelajaran moral terutama dalam
pembelajaran pendidikan kewarganegaraan karena pendidikan kewarganegaraan
merupakan sala satu pelajaran penting dalam membentuk warganegara yang baik
dan bermoral. Selanjutnya
2. Kesadaran dari seorang pendidik dalam memposisikan anak atau peserta didik
agar tidak terjadi penyimpangan moral. Diberikan arah sebuah nasehat agar
peserta didik yang menjadi penerus bangsa nanti dapat memimpin bangsa dan
negara ini secara bermoral.
3. pentingnya dalam memberikan wawasan kepada peserta didik tentang moral yang
baik dan sesuai dengan kaidah masyarakat. Dengan demikian, guna mengatasi
persoalan tersebut, maka pembelajaran pendidikan kewarganegaraan dapat
diupayakan untuk menganalisis penalaran seseorang dalam berperilaku jika dilihat
dari gender.
Tujuan moral dalam pendidikan kewarganegaraan
Pendidikan moral juga bertujuan untuk mengajarkan anak memahami konsep
moral itu sendiri dari perspektif agama, tradisi dan sosial budaya, dimulai dari
langkah awal memperkenalkan konsep konkrit ke dalam konsep abstrak (seperti
keadilan, kebaikan, kesusilaan) dan konsep yang benar. Di sisi lain, penalaran moral
merupakan metode yang dapat digunakan untuk mengajarkan perilaku moral kepada
anak. Metode ini berkaitan erat dengan
teori perkembangan moral yang dikemukakan oleh Earl dan Kohlberg. Demikian pula,
cinta dan altruisme adalah moral yang bersumber dari jiwa. Seperti halnya doktrin
agama: "Cintailah temanmu seperti halnya kamumencintai dirimu sendiri". Likona
percaya bahwa kecenderungan moral meliputi:

1. Kesadaran merupakan keterampilan dalam mengenali tata susila, standar moral dan
keterikatan untuk melaksanakan segala hal.
2. Pengendalian diri merupakan keterampilan dalam mengendalikan hati dan kepuasan
instan serta menggantinya melalui tindakan yang tepat.
3. Kerendahan nurani merupakan keterampilan dalam memahami batasan diri dan
rasionalisasi pribadi.
4. Kebiasaan moral merupakan keterampilan menumbuhkan kepribadian yang
positif untuk menjadikannya menjadi terbiasa.
5. Kemauan merupakan mau melaksanakan hal yang positi bahkan di kondisi yang
berat.

Pengembangan moral dengan pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan


Pengembangan moral dengan pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan adalah
cara untuk membangun serta menumbuhkan moral (akhlak) pada siswa. Maka dari itu,
Pendidikan Kewarganegaraan dirasa perlu untuk diajarkan kepada siswa. Dengan rencana
bembelajaran yang berkesinambungan, Pendidikan Kewarganegaraan memiliki harapan
untuk selalu memberikan dorongan serta langkah selaku aspek psikis kesehatan jiwa
untuk menyelenggarakan kesetimbalan kehidupan di masyarakat serta berbangsa.
Pendidikan Kewarganegaraan merupakan disiplin ilmu yang dipergunakan selaku sarana
pengembangan serta pemeliharaan nilai-nilai dan moral berawal dari tradisi masyarakat
di Indonesia, sehingga dapat diharapkan untuk dapat terwujudnya sikap pro-sosial selaku
perseorangan atau selaku anggota dari masyarakat dari Yang Maha Kuasa.
Proses pembentukan manusia sepenuhnya terdapat bagian-bagian yang tidak dapat
diabaikan dari pendidikan, yakni pemahaman serta penghayatan terhadap nilai di
masyarakat. Perilaku moral dapat diakui dan dihargai jika dalam diri seseorang
ditanamkan perilaku moral yang baik. Artinya di aspek pembelajaran, pertumbuhan
karakter moral serta pengetahuannya terhadap nilai-nilai moral yaitu sikap jujur, sikap
selalu bertanggungjawab serta sikap selalu peduli bagi sesama perlu diajarkan sejak kecil.
Pemahaman siswa tentang nilai-nilai humanistik bukan pertama kali tumbuh dari konsep
ataupun teori, tetapi dengan pengalaman serta latihan khusus oleh siswa di lembaga
pendidikan. Setiap disiplin ilmu memiliki perannya sendiri-sendiri pada pembelajaran
moral para siswa, pembinaan moral bukan semata-mata dilaksanakan dari pembelajaran
keagamaan, pembelajaran sejarah dan lain-lain. Tetapi, Pendidikan Kewarganegaraan
sangat memiliki peran dalam pembentukan moral peserta didik. Maka dari itu,
Pendidikan kewarganegaraan memiliki metode nya dalam menumbuhkan moral siswa,
yakni dengan tahap-tahap dibawah ini:

a. menumbuhkan karakter yang berlandaskan nilai-nilai keagamaan sertaakhlak yang


pada akhirnya peserta didik mampu hidup berdasarkan nilai-nilai yang dianutnya.
Contohnya pengajaran yang berkenaan tentang beribadah kepada Tuhan Yang Maha
Esa. Masyarakat semacam itu memberi kita sekilas tentang studi Islam.
b. Mengajarkan siswa untukberkembang menjadi individu yang mandiri dan matang,
yakni mengajar serta melatih diri melakukan perbuatan baik, seperti menghargai
orang lain dan membantu teman sebayanya.
c. Mengajarkan siswa agar selalu dapat memilah antara karakter yang positi dan negati ,
agar mereka dapat secara selalu menghindari perilaku yang tidak jujur, seperti tidak
menggunakan kata-kata yang tidak senonoh di sekolah.

Moral, Moralitas dan Urgensinya untuk pendidikan Kewarganegaraan


Moral didefnisikan sebagai tingkah laku yang benar, tidak hanya dalam relasi-relasi social
dekat kita, tetapi juga hubungan-hubungan kita dengan anggota warga-warga negara kita
dan dengan seluruh ras manusia (Oladipo, 2009). Sementara moralitas menurut Haydon
(1999) adalah sistem dari batasan-batasan terhadap perilaku orang, yang memenuhi
ungsi- ungsi sosial untuk melindungi kepentingankepentingan dari orang-orang lain.
Sekaitan dengan itu, Haydon (1999) mengemukakan PKn sebaiknya menempatkan
moralitas secara jelas sebagai suatu topik, dan karena moralitas adalah pandangan-
pandangan berkompetisi – bahwa moralitas adalah persoalan dari pilihan pribadi,
yang Tuhan berikan, moralitas juga adalah konvensi sosial, dan karena itu, moralitas
harus didiskusikan. Bok (2006) mencatat,meskipun saran-saran akan etika terapan
sudah biasa, etika terapan jarang diwajibkan. Sebagai hasil, mayoritas dari peserta didik
lulusan sekolah tanpa menerima pelajaran dalam penalaran moral atau dalam mata
pelajaran yang dibutuhkan untuk menyiapkan mereka sebagai warga negara yang
banyak mengetahui dalam demokrasi.

Perkembangan moral

(Penalaran/Pertimbangan) Moral menurut Kohlberg Isu tentang bagaimana


orang mengembangkan pengetahuan dan pertimbangan moral masih merupakan hal
yang penting dari literatur psikologi baik teoritis maupun empiris (Manavipour, 2012).
Perkembangan moral berkaitan dengan pertumbuhan dari pada seluruh pemikiran, nilai
dan emosi yang berpengaruh kuat terhadap perilaku dalam situasi-situasi etis
(Eisenberg. et al, 2009, dalam Manavipour, 2012). Salah satunya komponen-
komponen kogniti dari teori tahapan seperti Piaget dan Kohlberg yang juga
dibicarakan secara menonjol sekali dalam literatur perkembangan moral (Lapsley,
2006, dalam Manavipour, 2012). Teori yang secara lebih khusus membahas
perkembangan penalaran dan perkembangan moral adalah Teori Kohlberg tentang
penalaran dan perkembangan moral (1999, dalam Dellaportas, Cooper, Leung, 2006),
berpusat pada

bagaimana sistem keyakinan seseorang mengarahkan resolusi dan memecahkan masalah


konflik dalam kehidupan sehari-hari. Teori Kohlberg mengusulkan bahwa individu-
individu
mempunyai keterampilan-ketrampilan kogniti yang mampu mengidentifkasi, dan
digunakan untuk memecahkan dilema-dilema etis. Keterampilan-keterampilan itu,
ditentukan oleh alasan- asalan yang diberikan tentang bagaimana tindakantindakan
tertentu yang dirasa hanya secara moral atau lebih disukai. Alasanalasan yang digunakan
oleh Kohlberguntuk memberikan kontinum hierarkis yang terdiri dari 6 tahapan
perkembangan moral. Tahapan tersebut secara berturut-turut mewakili tingkat lebih
tinggi dari penalaran tentang defnisi dan bentuk dari benar dan salah. Dasar rasional
yang digunakan para individu untuk memecahkan dilemadilema moral, memperlihatkan
karakteristik-karakteristik yang memungkinkan peneliti mengklasifkasi orang sesuai
dengan tahapan tertentu dari perkembangan moral (Weber, 1990, dalam Dellaportas,
Cooper, Leung, 2006). Dalam studi Kohlberg, para subyek ditanya terutama, apakah
yang mereka pikiran tentang tokoh utama dalam cerita, yang akan dilakukan dan
mengapa, misalnya, suatu dilema yang berjudul “Heinz dan Obat”, yang melibatkan
seseorang bernama Heinz dan istrinya sakit sekarat karena kanker.

Tahapan Perkembangan Moral

Tahapan Perkembangan Moral Kohlberg Kohlberg menghabiskan banyak waktu


untuk memperbaiki dan menghaluskan teori perkembangan moralnya seperti
metode-metode pentahapannya. Kohlberg kemudian mendalilkan enam tahapan teorinya
ke dalam tiga kelompok tingkatan; prekonvensional, konvensional dan
postkonvensional (Kohlberg, 1984, dalam Rudd, Mullane, Stoll, 2010). Pada tahapan
prekonvensional, keputusankeputusan moral dibuat dari perspekti egosentris. Apa yang
benar didasarkan pada kepatuhan terhadap aturan- aturan, karena menghindari hukuman
(Tahap 1) atau dengan mempertimbangkan pentingnya untuk memenuhi
kebutuhankebutuhan dari orang-orang lain, jadi kebutuhan yang dimiliki seseorang
dapat dipenuhinya (Tahap 2) .Penalaran individu-individu pada tingkat konvensional
digerakkan melintasi kepentingan-kepentingan yang dimiliki diri sendiri dan lebih
menaruh perhatian terhadap keanggotaan mereka dalam suatu kelompok atau masyarakat
yang lebih luas (Tahap 3), bagi mereka, apa yang benar adalah didasarkan pada
pemenuhan kepentingan harapanharapan dari orang-orang lain (misalnya,
teman-teman, anggota-anggota.
DAFTAR PUSTAKA
Althof and Berkowitz. 2006. Moral Education and Character Education: Their
Relationship and Roles in Citizenship Education. Journal of Moral Education. Volume
35. Issue 4, 2006.
Berk, L. 1999. Infants, Children, and Adolescents (3rd.ed.). Needham Heights, MA:
Allyn and Bacon.

Muchson. (2006). Dimensi Moral dalam Pendidikan Kewarganegaraan. Jurusan Hukum


dan Kewargaan Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Semarang.

Sutrisno. (2016). Berbagai pendekatan dalam pendidikan nilai dan pendidikan


kewarganegaraan. Dosen Universitas Muhammadiyah Ponorogo. Jurnal Dimensi
Pendidikan dan Pembelajaran, (5).

Santrock, J. W. (2007). Perkembangan anak. Jakarta: Erlangga.

Dwiyanti, R. (2013). Peran orang tua dalam perkembangan moral anak (kajian teori
kohlberg). Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Purwokerto. Prosiding
Seminar Nasional Parenting.

Sugiyono. (2017). Metode penelitian pendidikan R & D. Bandung: Alfabeta.

Sjarkawi. (2011). Pembentukan kepribadian anak. Jakarta: PT Bumi Aksara.

Azizah, N. (2015). Perilaku moral dan religiusitas siswa berlatar belakang pendidikan
umum dan agama. Sekolah Pascasarjana Program Studi Psikologi Universitas Gadjah
Mada. Jurnal Psikologi Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada, (33), 2: 1 – 16.

Zeidler, D. L. (2003). The role of moral reasoning on socioscientific issues and discourse in
science education. University of South Florida. London: Kluwer Academic Publishers. Vol.
19.

Mayasari, I, dkk. (2012). Penerapan nilai integritas dan perspektif gender dalam perilaku
beretika. Management Study Program Faculty of Economics and Business. Universitas
Paramadina Jakarta. KINERJA, (16), 2: 153-179.

Sykes, Karen. (2009). Ethnographies of moral reasoning. living paradoxes of a global age.
United States: Palgrave Macmillan.

Zizek, B. D. G,, & Ewa N. (2015). Moral development and citizenship education. Sense
Publishers Rotterdam

/ Boston / Taipei. Vol. 9.


Bucciarelli, M. (2008) . The psychology of moral reasoning. Centro di Scienza Cognitiva
and Dipartimento di Psicologia University of Turin Sangeet Khemlani and P. N. Johnson-
Laird Department of Psychology Princeton University. Judgment and Decision Making, (3),
2: 121–139.

Lotfabadi, H. (2008). Criticism on moral development theories of piaget, kohlberg, and


bandura and providing a new model for research in iranian students' moral development.
Educational Psychology

Anda mungkin juga menyukai