Kurikulum pendidikan moral di sekolah-sekolah di Indonesia telah dikembangkan dan
disusun kembali beberapa kali dalam beberapa dekade terakhir, dan sekarang ada kekhawatiran yang tinggi apakah versi terbaru memenuhi kebutuhan masyarakat. Pembinaan moral anak dan remaja menjadi perhatian utama para pendidik, legislator, dan ulama. Sekolah dikritik karena gagal mengajarkan nilai-nilai yang mengarah pada kehidupan yang memuaskan dan produktif. Indonesia adalah negara demokrasi sekuler dengan populasi Muslim yang besar. Pengaruh Islam dalam politik dan pendidikan telah menyebabkan evaluasi terus-menerus dari elemen moral kurikulum. Penelitian terbaru menekankan bahwa pengembangan pengaruh moral, empati, motivasi, dan sifat karakter keseluruhan yang mempromosikan perilaku moral diperlukan untuk fungsi moral yang optimal. Oleh karena itu, pendidik moral harus mempertimbangkan untuk menggunakan ide dan alat yang dikembangkan dalam psikologi positif untuk pendidikan moral. Gerakan psikologi positif lahir untuk mempelajari perilaku manusia dan meningkatkan kesejahteraan mental. Mengutamakan potensi positif manusia agar dapat beradaptasi dan mengaktualisasikan diri dalam lingkungan yang optimal. Psikologi dianggap oleh sebagian kalangan sebagai entitas representasi ilmiah yang bersifat empiris-realistis. Sifat objektifnya menjauhkannya dari disiplin ilmu agama Proyek ini mencoba untuk mengetahui apakah ada krisis dalam program pendidikan moral di sekolah-sekolah di Indonesia. Itu menggunakan metodologi penelitian Focus Group untuk mengumpulkan pendapat yang dipegang secara luas dan sangat didukung. Penelitian ini memungkinkan kita untuk menguji pengaruh Islam pada pengembangan kurikulum pendidikan moral dan cara-cara yang harus diajarkan. Kami juga ingin memahami kontribusi berbagai komunitas agama minoritas di Indonesia. Sekolah mempromosikan dan mempertahankan posisi moral dan etika tertentu, dan beberapa sekolah menampilkan seperangkat nilai moral yang ingin mereka kembangkan pada siswa mereka. Ketika muncul pertanyaan tentang karakter moral anak muda, perhatian tampaknya terfokus pada pendidikan moral yang diberikan kepada mereka di sekolah. Namun, ada juga peningkatan konflik etno-agama lokal dan kekerasan terhadap kelompok agama minoritas. Ketika negara-negara menghadapi tuntutan yang semakin meningkat agar sesuai dengan ekonomi global, mereka harus terus mengevaluasi cara sistem pendidikan perlu beradaptasi dan membentuk kembali dirinya sendiri untuk memenuhi tantangan teknologi dan ekonomi. Kesadaran moral dan penalaran moral berkembang di masa kanak-kanak dan remaja berdasarkan pemikiran dan emosi yang dibatasi oleh emosi lain seperti hati nurani, rasa bersalah, kecemasan, ketakutan, dan kepuasan. Masa kanak-kanak awal adalah masa ketika akal dibayangi oleh jenis proses intelektual dan emosional lainnya. Piaget memetakan tahapan perkembangan moral dan mengemukakan bahwa penalaran moral adalah hasil dari perkembangan sosio-kognitif dan sosio-emosional. Teori perkembangan moral Piaget menunjukkan bahwa pemahaman moral dibagi menjadi dua tingkat berurutan: fase heteronom (anak-anak) dan fase otonom (dari banyak anak yang lebih tua dan orang dewasa). Tahapannya tidak jelas berbeda dan pendekatan anak-anak untuk menginterpretasikan aturan moral bervariasi dari satu anak ke anak lainnya. Moralitas dipengaruhi oleh budaya di mana seseorang dibesarkan dan diinternalisasi dalam diri seseorang. Dalam Al-Qur'an, akhlak sering disebut dengan akhlak. Moralitas adalah seperangkat perilaku yang dipelajari dari lingkungan dan pengalaman, dan tidak memerlukan tuntunan ajaran Tuhan. Dalam masyarakat sekuler-Barat, ajaran agama tidak harus memainkan peran penting dalam prinsip-prinsip moral. Penalaran moral bervariasi dari budaya ke budaya dan dibatasi oleh keharusan budaya. Pluralis, masyarakat sekuler menegosiasikan seperangkat prinsip perilaku yang disepakati. Pancasila, seperangkat keyakinan yang disetujui secara nasional tentang pluralis Indonesia atau dasar Islam, dimaksudkan untuk mendamaikan kontradiksi etnis melalui harmoni dan konsensus, tetapi prinsip pertama - kepercayaan pada satu Tuhan - tampaknya menciptakan negara agama daripada sekuler. UUD 1945 menjamin kebebasan setiap warga negara untuk memeluk agamanya masing-masing. Namun, ada pertanyaan publik yang intens tentang dasar multikultural bagi pemerintah. Perkembangan moral adalah kualitas, ruang lingkup dan stimulasi sosial dari logika dan moralitas. Sekolah mempengaruhi perkembangan moral melalui program pembelajaran, dan perkembangan moral tidak berkembang dengan sendirinya. Dalam Islam, penilaian moral melibatkan ijtihad, yaitu pertimbangan rasional untuk mengambil keputusan jika tidak ada tuntunan melalui Alquran atau al-Hadis. Ijtihad adalah proses penalaran yang bersumber dari kebebasan berpikir dan ketajaman pikiran. Pengembangan pemahaman moral pada anak tidak semata-mata menjadi tugas sekolah. Keluarga, sekolah dan masyarakat merupakan sumber utama nilai-nilai moral, dengan keluarga sebagai pengaruh utama yang diperkuat oleh kasih sayang orang tua, konsistensi orang tua, pengasuhan orang tua, teladan perilaku yang sesuai, ekspresi nilai- nilai dalam konteks keluarga. Kurikulum nasional 2013 di Indonesia memuat dua mata pelajaran yang berunsur moral, kewarganegaraan atau agama, yaitu Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan dan Pendidikan Agama. Ada upaya untuk menambah waktu kelas di kedua mata pelajaran dengan mengorbankan orang lain. Al-Qur'an dan hadits adalah pedoman hidup dan khususnya, kehidupan moral, bagi umat Islam. Kata Arab/Islam untuk moralitas tidak memiliki terjemahan padanan langsung dalam bahasa Inggris, tetapi Halstead mengacu pada dua konsep dalam pemikiran Islam yang tercakup dalam kata tersebut. Al-Qur'an mengajak orang beriman untuk mengembangkan akhlak mulia melalui pembelajaran dan pengamalan nilai-nilai moral seperti menghormati Allah, kejujuran, integritas, kejujuran, kasih sayang, menghormati sesama, kesucian hidup manusia, keadilan, dan sebagainya. Moralitas Islam perlu diajarkan dan dikembangkan secara eksplisit dalam kerangka Alquran. Pendekatan seluruh komunitas diperlukan untuk mencapai hal ini, meskipun hal itu tidak dapat dicapai dalam masyarakat multi-agama. Dalam konteks pasca-kolonial, pengajaran moral di sekolah-sekolah Indonesia dianggap sebagai cara untuk memerangi efek negatif dari penetrasi Barat ke dalam kehidupan nasional. Sekolah Islam dianggap sebagai tempat terbaik untuk menegakkan praktik nilai-nilai moral secara holistik. Perguruan Tinggi Muhammadiyah di Indonesia memiliki visi untuk mencetak sarjana yang berbudi pekerti luhur dan menguasai ilmu pengetahuan serta menyebarkan nilai-nilai moral. Focus Group Discussion (FGD) digunakan dalam penelitian ini untuk memperoleh informasi tentang kemauan, kebutuhan, perspektif, keyakinan dan pengalaman partisipan terhadap suatu topik. Hasil diskusi ditulis verbatim di papan tulis dan setiap peserta diberi kesempatan untuk menyumbangkan ide. Lima kelompok fokus dilakukan dengan 10 sampai 13 peserta dari berbagai pengaturan dan status pendidikan, termasuk dosen universitas, mahasiswa magister dan guru sekolah. Pertanyaan kelompok fokus disajikan kepada para peserta secara tertulis pada saat undangan mereka untuk bergabung dengan proyek penelitian. Kelompok Fokus Pelatihan Guru mengungkapkan keyakinan bahwa moral secara alami ada pada manusia dalam beberapa bentuk dan, jika dikembangkan secara memadai, menghasilkan perilaku yang benar, harmonis, dan konstruktif. Nilai-nilai moral adalah prinsip-prinsip yang memandu perilaku manusia. Mereka dirancang oleh komunitas dan diajarkan kepada kita dalam lingkungan sosial yang sesuai. Para siswa percaya bahwa moralitas dibangun oleh masyarakat dan diwariskan kepada anak-anak oleh lembaga- lembaga dalam masyarakat. Mereka tidak mempertimbangkan pilihan nilai yang dibuat oleh kaum muda saat mereka mengembangkan kesadaran moral mereka. Kami mempertimbangkan bagaimana moralitas harus diajarkan di sekolah, dan apakah kelompok fokus akan mengakui tahapan perkembangan moral anak-anak. Kurikulum yang ada sudah bagus, tetapi dalam praktiknya, nilai-nilai moral tidak diajarkan. Meskipun ada pendidikan moral di sekolah, hanya sedikit bukti perubahan perilaku siswa (seperti kekerasan). Jadi siapa yang harus disalahkan? Kurikulum harus mewakili keyakinan khusus masing-masing sekolah, seperti kode keyakinan Mummadiyah atau kode cinta payung. FGD di Yogyakarta berpendapat bahwa pendidikan akhlak tertentu perlu diajarkan di sekolah, dengan penekanan pada ajaran dan prinsip yang harus dimiliki anak. Pendidikan moral adalah tanggung jawab bersama sekolah, pemerintah, orang tua, masyarakat, masjid, gereja dan fokus kepercayaan lainnya, dan media massa. FGD 10 merekomendasikan kolaborasi antara tiga pusat pendidikan: sekolah, lingkungan dan keluarga. Guru agama SMP 11 FGD merekomendasikan peningkatan pemahaman anak tentang etika dalam berbahasa dan bertingkah laku. Tanggapan mengungkapkan bahwa ada isu perdebatan mengenai siapa yang harus memiliki tanggung jawab untuk membentuk pendidikan moral di sekolah dan dalam masyarakat pada umumnya. Sifat kerja sama antara lembaga sosial dan lembaga filosofis atau agama dalam kurikulum pendidikan moral sebenarnya adalah kompetisi. Guru di sekolah negeri cenderung mengabaikan kebutuhan dan perhatian siswa, meskipun beberapa melakukannya dengan baik. Guru perlu menunjukkan contoh yang baik, seperti halnya sekolah, orang tua dan masyarakat. Kelompok fokus menyalahkan ketidakcukupan guru pendidikan moral untuk program cacat, dan menyarankan bahwa kurikulum perlu diajarkan sedemikian rupa untuk mengenali tingkat perkembangan siswa mereka. Para peserta menganggap kurikulum pendidikan moral sebagai kumpulan ajaran atau prinsip yang perlu diajarkan. Model pengajaran didaktik sangat cocok untuk program ini. Kurikulum Pendidikan Agama hendaknya menitikberatkan pada iman dan amalan ibadah, karena iman itulah yang akan mengarahkan kehidupan manusia. Pelajaran Kewarganegaraan dan Pendidikan Pancasila harus dimasukkan dalam kurikulum sekolah. Media memberikan pesan yang kontradiktif dan ada banyak contoh korupsi moral. Pengumpulan data ini menggambarkan beberapa pengertian tentang letak dan pendukung pendidikan akhlak, antara lain bahwa pendidikan akhlak tidak mungkin terjadi di luar konteks pendidikan agama, bahwa pendidikan akhlak paling baik diajarkan di sekolah-sekolah agama daripada sekuler, dan pendidikan paling baik dianggap sebagai perusahaan nasional. Moralitas dalam masyarakat sekuler kontemporer dibangun secara sosial dan diabadikan dalam konvensi sosial yang dapat diterima. Ini memiliki perhatian nasional daripada perhatian individu atau kelompok, dan memiliki dimensi masyarakat luas (publik) serta pribadi. Indonesia memiliki doktrin moral multi-keyakinan, tetapi perdebatan publik tentang ajarannya terus-menerus diperebutkan, terutama sejak era pasca-Suharto ketika kekuatan doktrin Pancasila untuk mempersatukan umat yang beragam agama dilemahkan oleh reinterpretasi Pancasila. doktrin. Anak-anak dan orang muda mengembangkan kesadaran moral dan kapasitas untuk menjalankan pilihan moral dalam proses bertahap dan bertahap, meluas dari masa kanak-kanak hingga dewasa. Kurikulum pendidikan moral di sekolah perlu mempertimbangkan faktor-faktor perkembangan utama yang mempengaruhi siswa. Kami menggunakan metodologi kelompok terarah untuk mengeksplorasi persepsi guru dan dosen tentang program pendidikan moral saat ini yang beroperasi di Sekolah Menengah Pertama di Yogyakarta, Indonesia. Para peserta dalam penelitian ini percaya bahwa pendidikan moral merupakan bagian penting dari pengembangan pribadi dan masyarakat. Mereka juga percaya bahwa pendidikan moral harus dirancang oleh segmen agama yang dipercaya masyarakat dan diajarkan oleh guru yang berkomitmen dan taat. Para peserta percaya bahwa ada krisis moralitas dalam masyarakat Indonesia, dan bahwa para guru pendidikan moral seringkali tidak tulus, apatis, tidak tahu tentang sifat moralitas, tidak saleh atau kurang memiliki keterampilan yang memadai dalam menyajikan program. Kelompok fokus menyimpulkan bahwa program pendidikan moral di sekolah harus ditujukan untuk menciptakan masyarakat toleran yang saling menghormati dan memberi siswa kompas moral yang akan membantu mereka bertahan hidup di dunia yang terus berubah. Mereka juga berpendapat bahwa program pendidikan moral harus membantu mendefinisikan dan mencirikan negara Indonesia. Pendidikan moral di Indonesia merupakan area perdebatan yang sangat diperebutkan. Responden berpendapat bahwa pendidikan akhlak harus multikultural dan multikeimanan, namun menegaskan perlunya keyakinan pada dasar-dasar moralitas Islam dan perlunya masyarakat beribadah yang beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa. Kami menganggap bahwa mata pelajaran Pendidikan Agama dan Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan dalam kurikulum perlu dikembangkan kembali untuk mengembangkan dalam diri siswa alat-alat untuk pemahaman kritis tentang kode moral kita, kapasitas untuk berpikir tanpa perasaan melalui masalah moralitas dan kemampuan untuk membuat penilaian moral atas dasar akal. Semua kurikulum nasional diturunkan dari landasan ideologis negara yang menciptakan dan mendukungnya. Untuk meningkatkan moralitas di kalangan anak muda di Indonesia, kurikulum harus direvisi untuk mencerminkan kebingungan ideologi saat ini dan kompromi dalam moralitas dalam ruang politik-budaya. Ada kebutuhan mendesak untuk memikirkan kembali pendidikan moral, karena persatuan bangsa dengan kesamaan pemahaman dan penegasan moralitas yang merangkul semua orang sangat penting untuk perdamaian dan kemakmuran.
Kepribadian: Pengantar ilmu kepribadian: apa itu kepribadian dan bagaimana menemukan melalui psikologi ilmiah bagaimana kepribadian mempengaruhi kehidupan kita