Anda di halaman 1dari 18

I

MAKNA AKHLAK

Sesungguhnya aku (Nabi/Rasul) diutus (ke dunia) ini untuk


‘menyempurnakan’ akhlak yang mulia (Al-Hadits)

A. FENOMENA AKHLAQ BANGSA


Kata akhlak, karakter, nilai, moral, etika, dan makna-makna lainnya begitu mudah
diucapkan tapi susah diamalkan. Di saat Presiden Susilo Bambang Yudoyono menggulirkan
perlunya ‘Pendidikan Karakter Bangsa’, seabreg makalah, buku, dan seminar tentang tema ini
bagai jamur di musim penghujan, bermunculan di mana-mana. Ini sangat bagus. Tapi ada
juga yang sepertinya tanpa mengaca diri apakah dirinya orang yang berkarakter, bernilai, dan
berakhlak (yang baik) serta memiliki ilmu yang mumpuni dalam bidang ini, tiba-tiba seperti
pejuang dan penggagas pendidikan karakter, nilai, dan akhlak. Oleh karena itulah marilah
kita buat bersama konsep pendidikan akhlak, karakter, atau nilai secara benar serta
mengimplementasikannya dengan benar pula dan dengan penuh kesungguhan, tidak
setengah-setengah terlebih-lebih asal-asalan.
Terlebih-lebih dalam Islam. Akhlak dalam Islam bukanlah sekedar moralitas biasa.
Akhlak dalam Islam adalah ‘sesuatu’ banget. Para Nabi dan Rasul diutus ke dunia ini justru
untuk ‘menyempurnakan’ akhlak mulia. Artinya berakhlak mulia saja tidaklah cukup
melainkan harus akhlak mulia yang sempurna. Insya Allah kajian akhlak dalam buku ini
adalah akhlak mulia yang sempurna.
Praktek pendidikan di Indonesia menurut sejumlah pakar sebenarnya tidak jauh berbeda
dengan praktek pendidikan di Barat di mana manusia mengejar ilmu pengetahuan dengan
asumsi bahwa ilmu itu bebas nilai (value free). Jika mengacu kepadaUUD 1945 dan UUSPN
2003, pendidikan nasional Indonesia seharusnya sarat dengan pembelajaran yang berdimensi
agama dan akhlak. Tetapi realitasnya masih jauh dari yang diharapkan. Fasih membaca Al-
Quran, mengerjakan shalat lima waktu, dan berakhlak mulia merupakan tujuan pendidikan
(khususnya pendidikan agama Islam) dalam berbagai kurikulum nasional (Kurikulum 1985,
1994, 2004, 2006, dan 2013), yang sebagiannya dapat terukur. Misalnya, mahir membaca Al-
Quran diharapkan dapat dicapai oleh siswa SD, walau kenyataannya di SMA pun masih
menjadi bagian dari kurikulum PAI. Bahkan hingga mahasiswa pun masih banyak yang
belum bisa membaca Al-Quran. Berdasarkan survey Tim PPBQ YBHI Bandung (2001, 2004,
2012) di beberapa sekolah dan universitas di Kota Bandung, Kabupaten Bandung, dan
Kabupaten Tasikmalaya siswa SD, SMP, SMA, dan mahasiswa tingkat pertama yang bisa
membaca Al-Quran masih lebih sedikit dibandingkan mereka yang tidak bisa membaca Al-
Quran (masing-masing 10%, 25%, 30%, dan 35%). Itu baru dari segi kemampuan membaca
Al-Quran. Belum lagi diukur secara lebih luas dan mendalam, misal pemahaman dasar-dasar
agama, pemahaman Al-Quran, pengamalan beragama, dan akhlak mulia.
Bila substansi keberagamaan adalah beriman, bertakwa, dan berakhlak mulia, kita
amati hal-hal yang bersebrangan dengan kriteria keberagamaan dan akhlak mulia. Korupsi
dengan kuantitas dan kualitas yang lebih tinggi melanda hampir seluruh lapisan masyarakat.
Bukan hanya dilakukan oleh para birokrat, para pejabat, anggota DPR-DPRD, dan pengusaha
saja tapi dilakukan juga oleh para PNS muda. Partai Islam, tokoh agama, dan pejabat yang
merasa taat beragama pun ada (banyak?) yang melakukan korupsi. Hampir setiap hari televisi
menayangkan para koruptor yang sebagiannya adalah para pemimpin partai Islam dan
berbasis Islam, para Kyai, dan tokoh-tokoh agama yang disegani di masyarakat.
Sikap tidak hormat anak muda bukan hanya ditunjukkan kepada sembarang orang,
bahkan juga terhadap guru-gurunya. Penghormatan dan bakti pada kedua orang tua pun
memudar. Vandalisme sudah merupakan ciri pelajar kita; dan premanisme tumbuh subur
hingga di lingkungan persekolahan. Kejujuran yang sangat didambakan sudah hilang dari
kamus persekolahan. Fenomena menyontek dan joki sepertinya fenomena biasa yang
disalahkan sekaligus dilanggar oleh semua pihak. Salah untuk orang lain, tetapi boleh untuk
saya; salah untuk sekolah lain, tetapi boleh untuk sekolah saya. Sepertinya kamus ini yang
dipakai sekarang.
Masyarakat biasanya memandang perbuatan tersebut sebagai perbuatan a-moral,
pelanggaran etis, dan penyimpangan beragama yang hanya dilakukan oleh orang-orang yang
tidak taat beragama, walau perbuatan tersebut dilakukan secara komunal oleh orang-orang
yang mengaku beragama; bahkan sering dianggap sebagai fenomena biasa. Padahal yang
lebih penting lagi adalah perlunya dicari solusi bagaimanakah mendekatkan praktek
pendidikan dengan perundang-undangan, jangan sampai praktek pendidikan itu mengkhianati
amanat perundang-undangan.
Hasil-hasil penelitian, antara lain penelitian Rahmat (2010) menunjukkan adanya
pengaruh pendidikan keagamaan dan suasana keagamaan terhadap ketaatan beragama dan
akhlaqul karimah (akhlak mulia) peserta didik. Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah
Pertama (2010: 5) mengutip hasil penelitian di Harvard University Amerika Serikat, bahwa
kesuksesan seseorang tidak ditentukan semata-mata oleh pengetahuan dan kemampuan teknis
(hard skill) semata, melainkan lebih ditentukan oleh kemampuan mereka dalam mengelola
diri dan orang lain (soft skill). Penelitian ini mengungkapkan, kesuksesan ditentukan hanya
sekitar 20 persen oleh hard skill dan sisanya 80 persen oleh soft skill. Bahkan orang-orang
tersukses di dunia bisa berhasil dikarenakan lebih banyak didukung kemampuan soft
skilldaripada hard skill. Soft skill merupakan bagian keterampilan dari seseorang yang lebih
bersifat pada kehalusan atau sensitivitas perasaan seseorang terhadap lingkungan di
sekitarnya. Mengingat soft skill lebih mengarah kepada keterampilan psikologis maka
dampak yang diakibatkan lebih tidak kasat mata namun tetap bisa dirasakan. Akibat yang
bisa dirasakan adalah perilaku sopan, disiplin, keteguhan hati, kemampuan kerja sama,
membantu orang lain, dan lainnya.Soft skill sangat berkaitan dengan karakter seseorang.
Adelina Hasyim melalui Tesis Magisternya di IKIP Bandung/UPI (1988) tentang
tindakan pelanggaran etis menemukan, bahwa sekolah-sekolah yang kaya dengan nuansa dan
pembelajaran agama berpengaruh positif terhadap perilaku moral para siswanya. Dengan
mengambil sampel 5 Madrasah Aliyah (MA) dan 5 SMA di Sumatera Selatan Adelina
Hasyim menyimpulkan bahwa, responden siswa SMA lebih banyak melakukan pelanggaran
etis ketimbang responden siswa MA.
Na-Ayudya (2008), Director of the Institute of Sathya Sai Education, Thailand, melalui
disertasi dan riser-riset pasca disertasi mengembangkan model pembelajaran nilai-nilai
kemanusiaan terpadu. Makna terpadu perspektif Na-Ayudya adalah pengintegrasian 5 nilai
(kebajikan, kebenaran, kedamaian, kasih sayang, dan tanpa kekerasan) ke dalam seluruh mata
pelajaran melalui sikap dan tindakan guru yang damai dan pengasih, latihan pengembangan
indera ke-6 (intuisi) dan pikiran super sadar melalui meditasi dan perenungan lainnya serta
penataan lingkungan (sekolah, keluarga dan institusi masyarakat) yang sama-sama
mengembangkan ke-5 nilai tersebut. Untuk membudayakan pendidikan nilai ini dilakukan
pelatihan intensif selama 10 minggu. Disebutkannya, bahwa sekolah-sekolah yang
menerapkan model pendidikan nilai ini (di sekolah-sekolah Satya Sai) berhasil menciptakan
siswa yang memiliki budi pekerti yang baik (damai, cinta kasih, dan tidak ada kekerasan).
Belum dilakukan penelitin jika dalam keadaan hidup tidak normal (misal: ketika
ditimpa musibah, sakit, kehilangan harta, ditinggal mati oleh orang yang dicintainya) apa
akhlak/karakternya tetap istiqomah/konsisten? Sebabnya, akhlak/karakter yang telah benar-
benar menjadi akhlak/karakter haruslah tetap dan otomatis dalam situasi apa pun karena telah
menjadi bagian tidak terpisahkan dari dirinya, sudah mempribadi (Miskawaih, 1994: 3).
Kalau tidak demikian maka bukanlah akhlak/karakter.
Sofyan Sauri dan Nurdin dalam penelitian multy years melalui Hibah Pasca Sarjana
(2008, 2009, dan 2010) telah mengadakan studi tentang pengembangan model pendidikan
nilai berbasis sekolah, keluarga, dan masyarakat. Penelitian menghasilkan hal-hal berikut:
Pertama, secara ontologis, nilai yang dikembangkannya adalah nilai-nilai yang sesuai
dengan religi, moral, etik, dan sosial yang memang sudah ada di sekolah, di keluarga, dan di
masyarakat, tapi belum dikembangkan secara maksimal. Nilai-nilai yang dimaksud adalah:
shalat, mengaji, tanggung jawab, cinta kasih, kepemimpinan, kemandirian, sikap sopan,
bahasa santun, dan nilai-nilai yang diintegrasikan ke dalam pelajaran dan kegiatan harian.
Kedua, secara epistimologis, model pengembangan nilai yang dimaksud menyangkut
pemaknaan nilai-nilai tersebut (shalat, mengaji, sopan, dll) ke dalam aspek-aspek pendidikan,
yakni: (1) aspek tujuan dimaknai dengan nilai “soleh” dan “cerdas”; (2) aspek pendidik
dimaknai sebagai teladan, penyampai ajaran, dan pendukung siswa dalam pengembangan
kepribadian; (3) aspek peserta didik dimaknai sebagai peserta didik yang butuh teladan, butuh
materi ajar yang menarik hati, dan butuh dukungan guru dalam membangun akhlak/karakter
dan kepribadiannya; (4) aspek materi dimaknai sebagai integrasi nilai-nilai (religi, moral,
etik, dan sosial) ke dalam kurikulum sekolah; (5) aspek metode dimaknai sebagai
digunakannya beragam metode pendidikan nilai; (6) aspek media dimaknai sebagai
digunakannya alat, bahan, dan sumber belajar berupa makhluk hidup (guru, orang tua, siswa,
dll) dan benda mati (buku, film, foto, computer, dll); dan (7) aspek evaluasi dimaknai sebagai
pengukuran proses dan hasil belajar nilai-nilai (berupa ujian lisan, tes tertulis, dan
pengamatan unjuk kerja siswa).
Rahmat (2010) dalam penelitian disertasi dan pasca disertasi mengadakan studi
kualitatif dan kuantitatif tentang pendidikan insan kamil (manusia sempurna). Hasilnya
menemukan bahwa, secara filosofis-antropologis baik konsep maupun implementasi
pendidikan di Indonesia selama ini memiliki kelemahan mendasar karena tidak mungkin
terlaksananya pendidikan secara utuh. Pendidikan yang utuh (untuk mencapai al-insan kamil)
seharusnya mengembangkan seluruh unsur manusia, yakni raga, hati, roh, dan rasa (sirr).
Saat ini unsur manusia yang dikembangkan dalam pendidikan di Indonesia hanyalah raga
(jasmani) dan akal (intelek)-nya, padahal akal hanyalah “alat” hati atau tentaranya hati
(bukannya unsur manusia). Jika hatinya baik, maka akal pun akan memikirkan hal-hal yang
baik; tapi jika hatinya buruk, maka akal pun akan memikirkan hal-hal yang buruk (sesuai
perintah hati). Oleh karena itu pendidikan akhlak/karakter seharusnya berangkat dari
pendidikan “hati” bukan akal. Tapi hati pun ada dua, yakni hati nurani (hati yang baik, karena
mendapat Cahaya Ilahi) dan hati sanubari (hati yang buruk, atau nafsu). Pendidikan akhlak
seharusnya mengembangkan hati nurani dan mengeliminasi atau sekurang-kurangnya
mengurangi peran hati sanubari.
Penelitian sufistik yang dilakukan Rahmat (2010) di Pondok Sufi dan lembaga
pendidikan (SMA dan STT) Pondok Sufi tersebut menemukan sebanyak 7-karakter “inti”
positif yang perlu dibekalkan dan dipersonifikasikan kepada peserta didik dan 4 karakter
“inti” negatif yang harus dieliminasi atau minimal diperkecil perannya. Adapun metode
pendidikannya lebih menonjolkan penyadaran menyangkut tujuan hidup, tempat kembali
manusia setelah mati, hidup di dunia berupa susah dan senang sebagai ujian, hingga
internalisasi dan personalisasi karakter-karakter “inti” yang positif maupun yang negatif.
Hasilnya, ternyata siswa dan mahasiswa yang sudah belajar lebih dari satu tahun pada
lembaga pendidikan ini memiliki ketaatan beragama dan karakter yang tinggi, baik pada
responden yang menjadi komunitas maupun tidak menjadi komunitas tasawuf.
Menyadari betapa pentingnya karakter, dewasa ini banyak pihak menuntut peningkatan
intensitas dan kualitas pelaksanaan pendidikan karakter pada lembaga pendidikan formal.
Sekolah-sekolah sebagai wadah resmi pembinaan generasi muda diharapkan dapat
meningkatkan peranannya dalam pembentukan kepribadian peserta didik melalui
peningkatan intensitas dan kualitas pendidikan karakter.
Agama diyakini dapat mengantarkan peserta didik kepada keimanan, ketakwaan, dan
akhlak mulia. Tapi pendidikan agama dalam kurikulum nasional kita sangat sulit untuk dapat
mengantarkan ke arah tujuan yang luhur dan mulia itu. Sebabnya, antara lain karena jam
pendidikan agama sangat minim (hanya 2 jam perminggu, bahkan di PTN hanya 2-4 SKS
dari total perkuliahan program S-1). Bandingkan dengan di negeri-negeri mayoritas muslim
lainnya. Jam pelajaran Pendidikan Agama di Pakistan 4 (empat) kali lipat jumlah jam
pendidikan agama di Indonesia. Selain itu, mata pelajaran Ilmu Sosial bermuatan ajaran
Islam, dan mata pelajaran bahasa digunakan sebagai media memperkaya Pendidikan Agama.
(Asian Centre of Educational Innovation for Development, 1977). Malah di Iran separoh
kurikulum pendidikan dasarnya adalah agama (Bureau of Research on International
Educational Sistems, 1984).
Pendidikan karakter sebenarnya telah dilakukan sejak lama di sekolah-sekolah kita,
antara lain melalui program IMTAQ, P4 (Pedoman Penghayatan, dan Pengamalan Pancasila),
Pendidikan Budi Pekerti, dan program-program lainnya. Namun demikian pendidikan
karakter di sekolah selama ini baru menyentuh pada tingkatan pengenalan norma atau nilai-
nilai, dan belum secara optimal pada tingkatan internalisasi dan tindakan nyata dalam
kehidupan sehari-hari.
Malah sejak 20 tahun yang lalu telah ada upaya-upaya sekolah dan universitas untuk
memperkaya pendidikan agama dan karakter, baik melalui penambahan jam pelajaran
agamaatau melalui kegiatan ekstra kurikuler wajib dan pilihan. Tentu saja kegiatan-kegiatan
keagamaan seperti itu di satu sisi cukup menggembirakan, karena label sekolah dan kampus
sekuler dapat terhapuskan. Sivitas akademika, khususnya siswa dan mahasiswa, yang
mencari dan bergairah belajar agama pun dapat terpuaskan. Tetapi di sisi lain, kegiatan-
kegiatan ekstra demikian biasanya hanya diikuti oleh para siswa dan mahasiswa yang
memang memiliki gairah beragama, tidak menyentuh mereka yang tidak memiliki gairah
beragama. Selain itu, substansi materi atau core curriculum pendidikan agama dan akhlak
mulia dalam kurikulum persekolahan masih perlu didiskusikan. Tampaknya, tema-tema
keagamaan dan karakter yang ‘inti’ justru tidak dijadikan bahan pembelajaran utama. Jika
substansi materi agama dan karakter yang dibahas hanya merupakan materi-materi pinggiran,
tidak menyentuh tema-tema agama dan karakter yang ‘inti’, maka model pendidikan karakter
seperti itu tidak mungkin dapat mengantarkan peserta didik untuk mencapai martabat al-
insan kamil.
Karakter adalah watak, tabiat, akhlak, atau kepribadian seseorang yang terbentuk dari
internalisasi berbagai kebajikan (virtues) yang terdiri atas sejumlah nilai, moral dan norma
yang diyakini dan digunakan sebagai landasan cara pandang, berpikir, bersikap dan
bertindak. (Kemdiknas, 2010). Dengan demikian, kata Baedhowi (2010: 3-4), pada
hakekatnya karakter sama dengan akhlak. Karakter merupakan suatu moral excellence
atau akhlak yang dibangun di atas kebajikan (virtues), yang hanya akan memiliki makna
apabila dilandasi dengan nilai-nilai yang berlaku dalam suatu bangsa. Adapun karakter
bangsa yang perlu dikembangkan dan dibina melalui pendidikan nasional haruslah sejalan
dengan Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 3
tentang tujuan pendidikan nasional, yakni mengembangkan potensi peserta didik agar
menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak
mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara demokratis dan
bertanggung-jawab.
Artinya, pendidikan nilai dan karakter atau pendidikan akhlak bangsa yang sejalan
dengan perundang-undangan (sebenarnya) haruslah berlandaskan keimanan dan ketakwaan
terhadap Tuhan Yang Maha Esa, atau harus berlandaskan agama, selain harus sejalan pula
dengan kebudayaan Indonesia yang religius. Ada dua persoalan mendasar yang akan
diungkap dalam buku ini, pertama, nilai-nilai atau karakter apa saja yang perlu
dikembangkan di sekolah? Dan kedua, bagaimanakah cara mengembangkan pendidikan
karakter di sekolah? Masalah pertama menyangkut ontologi pendidikan akhlak/karakter,
sedangkan masalah kedua berhubungan dengan pendekatan dan metodologi pendidikan
akhlak/karakter.

B. MAKNA DAN ISTILAH-ISTILAH AKHLAK


Akhlak bukanlah sekedar sebuah wacana, melainkan merupakan amal-nyata; bukan sekedar
teori dan konsepsi, melainkan merupakan sebuah praktek dan amal-nyata; bukan juga sekedar praktek
dan amal sesaat, melainkan sebuah praktek dan amaliah permanen yang mendarah-daging dalam
sikap, perilaku, dan kehidupan sehari-hari.

1. Makna Akhlak
Kata akhlak berasal dari kata al-akhlâqu(Bahasa Arab), bentuk jama’ dari kata al-
khuluqu atau khulûqun, yang berarti tabi’at, kelakuan, perangai, tingkah laku, karakter, budi
pekerti, dan adat kebiasaan. Kata akhlak digunakan Al-Quran untuk memuji ketinggian
akhlak Rasulullah: Wa innaka la`allâ khuluqin `azhim =Sesungguhnya kamu mempunyai
akhlak yang tinggi (Qs. 68/Al-Qalam: 4). Kemudian dalam Qs. 33/Al-Ahzab ayat 21
ditegaskan bahwa Rasulullah sebagai figur teladan: Laqod kâna fi rasûlillâhi uswatun
hasanatun =Sungguh pribadi Rasulullah itu merupakan suri teladan, yakni bagi orang yang
berkehendak kembali kepada Allah, meyakini Hari Akhir, dan banyak berzikir. Nabi
Muhammad SAW pun menegaskan misi kenabiannya: Innamâ bu`itstu li`utammima
makârimal akhlâqi =Sesungguhnya aku diutus (ke dunia ini) untuk menyempurnakan akhlak
yang ‘mulia’ (HR Al-Bazzar, dalam Almath, TT). Hal ini menegaskan bahwa perilaku
akhlaqi merupakan puncak keberagamaan. Oleh karena itu Ibn Miskawaih (1994: 3)
menegaskan, akhlak adalah sifat yang tertanam di dalam diri seseorang yang dapat
mengeluarkan sesuatu perbuatan dengan senang dan mudah tanpa pemikiran, penelitian dan
paksaan. Artinya, suatu perbuatan disebut akhlak jika perbuatan itu dilakukan oleh seseorang
secara otomatis dan permanen, tanpa pemikiran, penelitian, atau paksanaan dari orang-orang
yang memiliki otoritas, karena sudah menjadi karakter, watak, dan kebiasaannya; yakni suatu
sikap dan perbuatan yang sudah mendarah-daging dalam kehidupan sehari-harinya (Rahmat,
2010a; Sauri, 2011). Muthahhari (1995) mengingatkan bahwa perbuatan akhlaqi merupakan
perilaku ikhtiari dan patut dipuji di atas kewajiban. Sebagai contoh, orang yang mendirikan
shalat malam dan shalat-shalat sunat setelah mendirikan shalat wajib yang 5 waktu; atau
seorang kaya-raya yang mengeluarkan infaq dan shodaqoh (yang sunat-sunat) setelah
membayarkan seluruh kewajiban ibadah harta (zakat, khumus, shodaqoh, dan kewajiban
ibadah harta lainnya).
Misi kenabian untuk menyempurnakan akhlak ‘mulia’ merupakan Kasih-Sayang Allah
bagi manusia yang telah memiliki akhlak mulia, agar akhlak mulianya itu dapat sejalan
dengan Kehendak Allah sebagaimana diajarkan dan diteladankan oleh RasulNya, yakni
akhlak mulia yang benar dan dilakukan secara ikhlas. Akhlak mulia disebut benar jika akhlak
mulia itu dipribadikan sebagai ketaatan kepada Allah dan RasulNya, bukan akhlak mulia
yang didasarkan atas nafsu dan syahwatnya. Kemudian akhlak mulia yang benar itu harus
dilakukan secara ikhlas,yakni dengan niat lillâh (karena Allâh). ilallâh (menuju Allâh),
minallâh (dari Allâh), dan fî sabîlillâh (di jalan Allâh); bukan karena pamrih dunia (seperti:
ingin disebut-sebut sebagai orang yang berakhlak mulia, mencari keuntungan-keuntungan
duniawi, dan lain-lain), dan bukan pula karena pamrih akhirat (ingin memperoleh pahala,
ingin masuk surga, atau takut masuk neraka).

2. Istilah-istilah Yang Mirip dengan Akhlak


Karakter, nilai, moral, etika, budi luhur, sopan santun merupakan istilah-istilah yang sering
dimaknai sama atau mirip dengan akhlak.
Kata “karakter” menurut Pusat Bahasa Depdiknas (Martianto, 2008)adalah “bawaan, hati,
jiwa, kepribadian, budi pekerti, perilaku, personalitas, sifat, tabiat, temperamen, watak”. Adapun
berkarakter adalah berkepribadian, berperilaku, bersifat, bertabiat, dan berwatak”. Individu yang
berkarakter baik atau unggul adalah seseorang yang berusaha melakukan hal-hal yang terbaik
terhadap Tuhan YME, dirinya, sesama, lingkungan, bangsa dan negara serta dunia internasional
pada umumnya dengan mengoptimalkan potensi (pengetahuan) dirinya dan disertai dengan
kesadaran, emosi dan motivasinya (perasaannya).
Sementara menurut Wynne (Martianto, 2008), karakter berasal dari kata to mark (Bahasa
Yunani) yang berarti menandai dan memfokuskan pada bagaimana mengaplikasikan nilai kebaikan
dalam bentuk tindakan. Oleh sebab itu seseorang yang berperilaku positif (seperti jujur, adil, suka
menolong) dikatakan sebagai orang yang berkarakter mulia; sementara orang yang berperilaku
negatif seperti tidak jujur, kejam, atau rakus dikatakan sebagai orang yang berkaraktek jelek. Adapun
dalam Kemdiknas (2010), “karakter” adalah watak, tabiat, akhlak, atau kepribadian seseorang yang
terbentuk dari internalisasi berbagai kebajikan (virtues) yang terdiri atas sejumlah nilai, moral dan
norma yang diyakini dan digunakan sebagai landasan cara pandang, berpikir, bersikap dan
bertindak.
Dengan demikian, kata Baedhowi (2010: 3-4), pada hakekatnya karakter sama dengan akhlak.
Karakter merupakan suatu moral excellence atau akhlak yang dibangun di atas kebajikan (virtues),
yang hanya akan memiliki makna apabila dilandasi dengan nilai-nilai yang berlaku dalam suatu
bangsa.
Karakter bangsa yang perlu dikembangkan dan dibina melalui pendidikan nasional haruslah
sejalan dengan Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 3
tentang tujuan pendidikan nasional, yakni mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi
manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu,
cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara demokratis dan bertanggung-jawab.
Jadi karakter bangsa yang perlu dikembangkan berdasarkan Undang-undang Sistem
Pendidikan Nasional tersebut ada 10 karakter, yakni: (1) beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa, (2)
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, (3) berakhlak mulia, (4) sehat, (5) berilmu, (6) cakap, (7)
kreatif, (8) mandiri, (9) warga negara yang demokratis, dan (10) warga negara yang bertanggung-
jawab.
Adapun dari 10 karakter tersebut yang berhubungan dengan akhlak mulia adalah 4 karakter,
yakni: (1) beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa, (2) bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, (3)
berakhlak mulia, dan (4) warga negara yang bertanggung-jawab. Ke-6 karakter lainnya tidak
berhubungan langsung dengan akhlak mulia karena lebih merupakan dimensi kecerdasan dan aspek-
aspek kepribadian yang netral nilai. Contohnya, sehat tidak berhubungan dengan akhlak mulia. Tidak
bisa dikatakan, orang yang sehat adalah berakhlak mulia sedangkan orang yang sakit adalah
berakhlak tercela.
Istilah lain yang bisa dimaknai akhlak adalah nilai. Jack R. Fraenkel (Sauri, 2011a: 2)
mengungkapkan, value is an idea – a concep - about what some one think is important in life (Nilai
adalah sebuah idea, sebuah konsep, yang dipandang penting oleh seseorang dalam hidupnya). Tentu
saja apa yang dipandang penting dalam kehidupan sangat bergantung kepada filsafat hidup seseorang.
Jika filsafat hidupnya kebahagiaan abadi di dunia dan akhirat maka orang itu akan memandang
penting agama yang benar-benar agama, agama yang benar-benar diridhoi oleh Tuhan sebagaimana
diajarkan dan diteladankan oleh Utusan Tuhan. Tapi jika filsafat hidupnya kebahagiaan dunia maka
orang itu akan mengejar segala reputasi dan kebanggaan duniawi. Orang yang terakhir ini kalaupun
beragama hanyalah agama yang dapat memperkokoh reputasi duniawinya.
Sementara Kosasih Djahiri (1992: 36) memaknai nilai secara sederhana yakni sebagai
tuntunan mengenai apa yang baik, benar, dan adil. Makna nilai yang ini pun ssama sebagaimana
yang diungkapkan Fraenkel di atas, yakni bahwa baik, benar, dan adil sangat bergantung kepada
filsafat hidup seseorang. Standar yang paling penting bagi seseorang dalam menentukan jenis
tindakan apa yang patut dan berguna dan jenis tindakan mana yang tidak berguna, sehingga ia dapat
mempertimbangkan suatu perilaku tertentu adalah nilai nilai moral, yaknimoral values represent
guides to what is right and just=Nilai moral yang menuntun perbuatan yang benar dan adil (Fraenkel
dalam Sauri, 2011a: 3). Orang yang memiliki filsafat hidup mencari kebahagiaan abadi di dunia dan
akhirat maka orang itu akan memandang baik segala yang berasal dari Tuhan dan Utusan Tuhan, akan
memandang baik apa saja yang berasal dari Allah dan Rasulullah. Bahwa sesuatu itu dipandang baik
jika sesuatu itu disebut baik oleh Allah dan RasulNya. Tapi jika filsafat hidupnya kebahagiaan dunia
maka orang itu akan memandang baik segala reputasi dan kebanggaan duniawi. Orang yang terakhir
ini kalaupun beragama hanyalah agama yang dapat memperkokoh reputasi duniawinya.
Contohnya kaya-raya dan memegang jabatan basah. Perspektif duniawi kaya dan jabatan
merupakan kebaikan. Manusia-manusia yang berorientasi duniawi akan mengejar harta dan jabatan.
Setiap harinya ia akan selalu memikirkan dan mengusahakan bagaimanakah agar kekayaan dan
jabatan itu dapat segera diraih. Tapi perspektif Ilahiyah harta dan jabatan merupakan ujian yang
sangat berat. Harta dan jabatan dapat menjadi hijab (dinding tebal) yang dapat menghalangi orang
kembali kepada Tuhan dengan selamat dan bahagia (masuk surgaNya). Sebabnya orang tidak akan
kuat dengan amanat harta dan jabatan. Al-Quran menderetkan sekian perintah yang berhubungan
dengan harta: zakat, shodaqoh, infaq, kifarat, khumus, fay, dan lain-lain. Tapi orang cenderung
mamandang harta yang diamanatkan Allah itu sebagai harta yang diraih dengan segala jerih
payahnya. Amat sangat langka orang yang meraih kekayaan menyadari bahwa harta yang diraihnya
itu hanyalah titipan Allah.
Demikian juga kemiskinan, kehilangan harta, dan sakit dalam perspektif duniawi adalah
sesuatu yang buruk. Malah tidak sedikit orang yang diamanati kekayaan memandang sinis terhadap
orang-orang yang diuji Tuhan dengan sedikit harta sebagai orang yang pemalas, tidak pandai bisnis,
dan doa-doanya tidak didengar oleh Tuhan (sehingga mereka tetap miskin).Sebaliknya orang yang
memiliki filsafat hidup Ilahiyah. Dia akan memandang baik-buruk itu dari sudut pandang Ilahiyah,
yakni dengan mentaati Allah dan RasulNya.
Artinya, pendidikan akhlak, pendidikan karakter, dan pendidikan nilai yang sejalan dengan
perundang-undangan (sebenarnya) haruslah berlandaskan keimanan dan ketakwaan terhadap Tuhan
Yang Maha Esa. Bagi masyarakat Indonesia yang beragama Islam, pendidikan akhlak, pendidikan
karakter, dan pendidikan nilai itu haruslah berlandaskan keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT.

C. RUANG LINGKUP ILMU AKHLAK


Ruang lingkup akhlak berbeda-beda, tergantung dari sudut pandang masing-masing penulis.
Muhammad Abdullah Dzar dalam Dustur Akhlaq fil Islam membagi ruang lingkup akhlak sebanyak
lima macam:
1. ‫( األخالق الفردية‬Akhlak individual), yakni al-awamir ( yang diperintahkan), an-nahawi (yang
dilarang), al-munahat (yang diperbolehkan), dan al-mukhalafah bidh dhoruri (yang darurat).
2. ‫( األخالق األسرية‬Akhlak berkeluarga), yakni wajibat nahwa ushul wal furu (kewajiban timbal balik
antara orang tua dan anak), wajibat bainalazwaj (kewajiban suami dan isteri), dan wajibat nahw
al-aqarib (kewajiban terhadap karib kerabat).
3. ‫( األخالق اإلجتماعية‬Akhlak bermasyarakat), yakni al-awamir (hal-hal yang diperintahkan), al-
makhdzurat (hal-hal yang dilarang), dan qawa’idul adab (kaidah-kaidah adab).
4. ‫( األخالق ال ّدولة‬Akhlak bernegara), meliputi al-‘alaqoh baenar rois wasy-syab (hubungan antara
pemimpin dengan rakyat) dan al-‘alaqah al-kharijiyyah (hubungan dengan Negara lain).
5. ‫( األخالق ال ّدينية‬Akhlak beragama), yakni kewajiban manusia terhadap Allah. (Sauri, 2011: 10)
Ilyas (2001) mengungkapkan ruang lingkup akhlak sebagaimana diungkapkan Abdullah Dzar
di atas. Tapi ruang lingkup akhlak ke-5 (akhlak beragama) dibagi dua, yakni akhlak terhadap Allah
dan Rasulullah, sebagai berikut:
1. Akhlak terhadap Allah swt., antara lain: taqwa, cinta dan ridho, ikhlas, khauf dan roja’, tawakkal,
syukur, muroqobah, taubat, husnu zhon, dan lain-lain. Sofyan Sauri (2011) menegaskan bahwa
akhlaq kepada Allah harus berdasarkan kepada rukun agama, yakni ihsan. Makna ihsan adalah:
‫أن تعبد هللا كأنك تراه وإن لم تكن تراه فإنه يراك‬
Kamu beribadah kepada Allah seakan-akan melihat-Nya, jika kamu tidak melihat-Nya,
sesungguhnya Dia melihatmu.
2. Akhlak terhadap Rasulullah saw.,antara lain: mencintai, memuliakan, mentaati, bersholawat, dan
menteladani beliau SAW.
3. Akhlak pribadi, antara lain: shidiq (jujur), amanah (dapat dipercaya), ‘iffah (menjauhkan diri dari
hal-hal yang tidak baik), mujahadah (mencurahkan segala kemampuan untuk melepaskan diri dari
segala hal yang menghambat pendekatan diri terhadap Allah SWT. baik hambatan yang bersifat
internal atau eksternal).
4. Akhlak kepada orang tua, antara lain: birrul walidain (bakti kepada orang tua), hak, kewajiban dan
kasih sayang suami isteri, kasih sayang dan tanggung jawab orang tua terhadap anak, silaturrahim
kepada karib kerabat,dan lain-lain.
5. Akhlak bermasyarakat; antara lain: bertamu dan menerima tamu, berhubungan baik dengan
tetangga, berhubungan baik dengan masyarakat, pergaulan muda-mudi, ukhuwah Islamiyah,dan
lain-lain.
6. Akhlak bernegara, antara lain: musyawarah, menegakkan keadilan, amar ma’ruf nahyi munkar,
hubungan pemimpin dan yang dipimpin,dan lain-lain.
Sebenarnya ruang lingkup akhlak harus dilihat dari segi hubungan diri sendiri dengan Allah,
Rasulullah, dan orang lain, termasuk karakter dirinya. Jika ukurannya ini maka ruang lingkup akhlak
dapat dibagi menjadi 5 (lima) aspek, sebagai berikut:
1. Akhlak terhadap Allah, setelah ma`rifat (mengenal Zat Tuhan Yang Al-Ghaib) yakni:
meng-“ingat-ingatNya” (men-zikiri-Nya) siang-malam baik ketika sedang berdiri, sedang duduk,
ataupun sedang berbaring (Qs. 3/Ali Imran: 190-191) ; hanya bersandar kepadaNya (Qs. 112/Al-
Ikhlash: 2), menyembahNya secara benar dan ikhlas; dan selalu memohon pengampunan-Nya atas
segala dosa dan salah yang selalu dikerjakan oleh manusia.
2. Akhlak terhadap Rasulullah, yakni: mentaatinya, meneladaninya, dan berguru kepadanya. Ke
dalam aspek ini termasuk akhlak terhadap Ulil Amri (Imam yang mewakili Nabi/Rasul) atau
Ulama Pewaris Nabi.
3. Akhlak terhadap diri sendiri (karakter diri), terutama: taubat, zuhud, `uzlah, qona`ah, tawakkal
`alallah, mulazimatu dzikr, dan sabar, serta menghindari takabur (sombong), ujub (bangga diri),
riya, dan sum`ah (kebaikan dirinya ingin terdengar orang lain).
4. Akhlak terhadap orang tua, berkeluarga, dan saudara.
5. Akhlak terhadap teman, tetangga, dan masyarakat.
Adapun dilihat dari baik-buruknya akhlak terbagi dua, yaitu akhlak mulia (akhlaqul
karimah atau mahmudah) dan akhlak tercela (akhlaqul madzmumah). Akhlak mulia adalah
akhlak yang harus kita amalkan, sedang akhlak tercela harus kita jauhi dan tinggalkan.

D. NISBAH ILMU AKHLAK DENGAN ILMU ISLAM LAINNYA


Mahmud Syaltut, Syaikh Al-Azhar Mesir, dalam Aqidah wa Syari’ah (1990)
menyebutkan bahwa Islam terdiri dari aqidah dan syari`ah. Tapi umat Islam Indonesia
menyebutkan tiga dimensi ajaran Islam: aqidah, syari`ah, dan akhlak. Adapun Syaltut
memasukkan akhlak ke dalam syari`ah. Aqidah merupakan dimensi Islam tentang keimanan,
sedangkan syari`ah dimensi Islam tentang peribadatan (yang mahdhoh maupun ghoer
mahdhoh); sementara akhlak merupakan dimensi Islam tentang perbuatan baik dan buruk.
Bagi Ulama Sufi, syari`ah dan akhlak adalah dimensi lahir ajaran Islam, sedangkan dimensi
batinnya adalah tasawuf. Aqidah bagi kaum Sufi hanyalah membicarakan Shifat (Sifat), Asma
(Nama), dan Af`al (Perbuatan) Tuhan, yang tidak mungkin mencapai ma`rifat (mengenal
Tuhan); padahal Tuhan tidak bisa dikenali lewat Sifat, Asma, dan Af`al-Nya. Artinya, dengan
aqidah saja orang Islam tidak akan mencapai keimanan kepada Allah. Beriman kepada Allah
haruslah mencapai ma`rifat bi Dzatillah =mengenal Zat Allah (Rahmat, 2010). Oleh karena
itu elit Guru Besar di UIN/IAIN menambahkannya dengan tasawuf, sehingga Ilmu-ilmu
Islam itu terdiri dari aqidah, syari`ah, akhlak, dan tasawuf.

1. Nisbah Ilmu Akhlak dengan Ilmu Aqidah


Pokok kajian aqidah adalah mentauhidkan Allah dengan semurni-murninya tauhid serta
memberantas syirik. Dalam aqidah Islam dikaji rukun iman, Sifat-sifat Allah, Asma-asma
Allah, dan perbuatan-perbuatan Allah. Bersamaan dengan itu dikaji pula masalah syirik dan
kemusyrikan, terdiri dari 3 tingkatan: (1) syirik akbar (syirik besar) yakni menyekutukan
Tuhan atau menduakan Tuhan. Maksudnya, bertuhankan Allah sekaligus bertuhankan selain
Allah – terutama menuhankan (mementingkan) hawa-nafsu dan meminta bantuan bangsa Jin.
Dalam Qs. Luqman ayat 12 disebutkan bahwa syirik merupakan dosa yang paling besar dan
tidak ada ampunanNya sama sekali; (2) syirik ashghor (syirik kecil), terutama takabur
(sombong), ujub (bangga diri), riya (pamer dengan amal saleh, atau ketinggian derajatnya
ingin diakui oleh orang lain), dan sum`ah (ingin kehebatan dirinya terdengar oleh orang lain).
Disebut syirik kecil karena tidak secara langsung menyekutukan Tuhan. Tapi tetap saja
musyrik yang sangat berbahaya. Sabda Nabi SAW: takabur, ujub, riya, dan sum`ah bagaikan
api yang membakar habis kayu kering, yakni menghapuskan seluruh amal-amal saleh
(sehingga pelakunya tidak punya amal saleh sedikit pun); dan (3) syirik khofy (syirik
tersamar), yakni perbuatan syirik tapi tidak dirasakan syirik. Ini tentu sangat berbahaya. Nabi
Muhammad SAW bersabda: kamu melihat syirik itu seperti kamu melihat semut hitam-kecil
berjalan di atas batu-hitam di malam hari yang gelap gulita. Maksudnya, jika kita ingin bisa
melihat perbuatan syirik harus menggunakan senter yang terang benderang. Senternya adalah
selalu bersandar kepada sabda dan teladan Rasulullah. Contoh syirik khofy adalah merasa
punya daya dan kekuatan (merasa bisa, merasa pintar, merasa berprestasi, dan merasa
hebat);padahal yang punya Daya dan Kekuatan hanyalah Allah. La haula wala quwwata illa
billahil `aliyyil `azhim=Tidak ada daya dan kekuatan kecuali Daya dan Kekuatan Allah Yang
Maha Tinggi dan Maha Besar.
Ilmu Akhlak mengkaji pula dimensi-dimensi keimanan dan keyakinan. Dalam
mengimani Allah, Ilmu Akhlak mendorong orang-orang beriman untuk selalu memohon
pengampunan kepada Allah (ber-taubat), selalu memohon hidayah-Nya, selalu memohon
fadhl (karunia) dan rahmat-Nya, selalu berorientasi akhirat (zuhud), selalu mewakilkan
urusan kita kepada Allah (tawakkal `alallah), dan terutama lagi selalu mengingat Allah
(dzikir).

2. Nisbah Ilmu Akhlak dengan Ilmu Syari`ah


Pokok kajian syari`ah adalah ibadah, baik ibadah mahdhoh ataupun ibadah ghoer
mahdhoh. Ibadah mahdhoh adalah ibadah yang pokok-pokoknya ataupun rincian-rinciannya
ditetapkan oleh Nabi Muhammad SAW. Contohnya: syahadatain, shalat, puasa, zakat, dan
hajji. Adapun ibadah ghoer mahdhoh adalah ibadah yang pokok-pokoknya ditetapkan oleh
Nabi Muhammad SAW, sedangkan bentuknya mengikuti perkembangan zaman. Misalnya
berdagang. Pokok-pokok yang ditetapkan oleh Nabi adalah: halal, jujur, dan tidak ada
penipuan. Bentuknya bisa barter (tukar menukar barang dengan barang, seperti membeli
beras dengan ayam) atau uang koin mas dan perak, atau bisa juga dengan uang kertas, uang
plastik, billyet, dan cek seperti di zaman sekarang.
Ilmu Akhlak mengkaji juga bidang-bidang ibadah. Contohnya, ibadah shalat. Jika
syari`ah (Ilmu Fiqih), mengkaji sisi lahir peribadatan (syarat, rukun, bacaan dan gerakan
shalat), maka Ilmu Akhlak mengkaji sisi batinnya (yakni shalat yang khusyu`, shalat untuk
mengingat Allah, shalat daim (di luar shalat pun tetap seperti ketika meakukan shalat, yakni
selalu mengingat-ingat Allah), dampak shalat (tercegahnya perbuatan fakhisyah dan
kemunkaran), menghindari shalat sahun (menyimpang dari tujuan shalat, shalatnya lalai
=tidak mengingat Tuhan), menghadirkan Tuhan Allah dalam shalat, dan ikhlas dalam
beribadah. Orang yang shalatnya ikhlas, dia mendirikan shalat dengan niat lillah dan demi
Allah semata, tanpa pamrih dunia (seperti mengharapkan pahala harta, jabatan, popularitas,
dll) maupun pamrih akhirat (seperti mengharapkan pahala akhirat, ingin dimasukkan ke
surga, atau ingin dihindarkan dari neraka). Ibarat orang yang ingin diterima oleh sang Raja,
ingin didekatkan kepada sang Raja oleh sang Raja. Ia tidak akan meminta jabatan atau hadiah
harta dari sang Raja, tidak juga takut dengan hukuman sang Raja. Ia akan berbuat sesuai
kehendak sang Raja. Ia hanya menghendaki diterima oleh sang Raja dengan sepenuh hati.
Tentu saja jika sang Raja senang pada orang itu, maka apa yang ada pada sang Raja akan
diberikannya, dan apa yang tidak disenanginya akan dijauhkannya.

3. Nisbah Ilmu Akhlak dengan Ilmu Tasawuf


Diskusi dan perdebatan pro-kontra tentang tasawuf cukup menguras energi kaum muslimin.
Ujung-ujungnya terbelahnya kaum muslimin ke dalam kelompok yang ‘anti’ dan ‘pro’ tasawuf dan
kehidupan sufistik.
Ibrahim Hilal (2002: 19-20) menyebutkan bahwa ia telah mengambil esensi dari beberapa buku
tasawuf. Ia mendefinisikan tasawuf sebagai menempuh kehidupan zuhud, menghindari gemerlap
kehidupan duniawi, rela hidup dalam keprihatinan, melakukan berbagai jenis amalan ibadah,
melaparkan diri, mengerjakan shalat malam, dan melantunkan berbagai jenis wirid sampai fisik atau
dimensi jasmani seseorang menjadi lemah dan dimensi jiwa atau Ruhani menjadi kuat. Jadi, lanjut
Hilal, tasawuf adalah usaha menaklukkan dimensi jasmani manusia agar tunduk kepada dimensi
Ruhani (nafs), dengan berbagai cara, sambil bergerak menuju kesempurnaan akhlak, seperti
dinyatakan kaum sufi; dan meraih pengetahuan atau ma`rifat tentang Zat Ilâhi dan kesempurnaanNya.
Konsep ma`rifat dikritik secara panjang lebar oleh Hilal dan dituduhkan sebagai pengaruh proses
gnosis Yunani (Hilal, 2002: 34-47).
Dengan mengutip Nicholson, Hilal mengatakan bahwa proses ma`rifat seperti ini berasal dari
bahasa Yunani, gnosis, yaitu pengetahuan yang langsung diperoleh tanpa perantara. Orang yang sudah
mencapai ma`rifat demikian di dunia tasawuf dikenal dengan `arif. Dan gelaran ini pun bukan berasal
dari Islam. Pandangan Hilal ini ada benarnya, karena memang dalam realitasnya kaum Sufi untuk
mencapai ma`rifat bi dzâtillâh dengan cara kasyf atau gnosis.
Berbeda dengan Hilal, Khozin Afandi (2001: 9) mengungkapkan, bahwa tasawuf mengkaji
bagaimanakah hakekat manusia bertemu dengan hakekat Tuhan melalui seorang ahli (Ahli Zikir,
yakni Rasulullah atau Ulama Pewaris Nabi, atau dalam tasawuf dan tarekat dikenal dengan Guru
Mursyid atau Guru Wasithah)dalam ilmu hakekat. Di sini Afandi lebih menekankan peranan seorang
Ahli Zikir. Jadi, berdasarkan definisi tasawuf ini, ma`rifat tidaklah sama dengan gnosis. Ketika
membahas talqin zikir, Khozin Afandi (2009: 35-38) menyebutkan bahwa ma`rifat bi Dzâtillâh
diperoleh melalui talqin (pembisikan atau metode tunjuk) dari seorang Ahli Zikir, bukan melalui
kasyf.
Memang ada suara-suara minor memandang tasawuf berasal dari luar Islam. Ada yang
mengatakan tasawuf berasal dari pengaruh agama Hindu, Budha, Kristen, dan lainnya; ada juga yang
mengatakan berasal dari pengaruh falsafah Yunani (antara lain Hilal, yang telah disebutkan tadi).
Ibrahim Hilal (2002: 83-100) pun membuat satu judul dalam Tasawuf dan Pengaruh Asing, yang pada
pokoknya bahwa kehidupan sufi bukanlah berasal dari Islam. Kemudian Anwar (2002: 3-8) malah
mempertanyakan tasawuf, dengan membuat satu judul dalam bukunya “Kenapa harus tasawuf,
bukankah ada akhlak?” Dan ia pun membuat tiga judul lainnya dalam payung “tasawuf tanpa tarekat”.
Pada pokoknya Anwar menegaskan, bahwa kalaupun mau bertasawuf bukanlah seperti yang
ditunjukkan para sufi, melainkan ya berakhlak itu.
Tetapi pandangan minor terhadap tasawuf dan tarekat banyak penyanggahnya, terlebih-lebih
oleh kaum praktisi tarekat. Hingga kini praktek tarekat tumbuh subur di dunia Islam (antara lain
ditunjukkan oleh penelitian Bruinnessen (1999), dalam Kitab Kuning. Di Indonesia saja terdapat lebih
dari 40 organisasi tarekat). Harun Nasution (1990: 1-12) secara keras membantah bahwa tasawuf dan
kehidupan sufi berasal dari luar Islam. Pandangan beliau dapat diringkaskan sebagai berikut: (1) Nabi
SAW menjalani hidupnya sebagai sufi, (2) Khulafaur Rôsyidîn – Abu Bakar Shiddiq, Umar bin
Khathab, Utsman bin Affan, Ali bin Abu Thalib – dan sahabat senior meneladani kehidupan Nabi
SAW sebagai sufi, (3) ketika kekhalifahan di tangan Bani Umaiyah dan Bani Abbasiyah yang korup
dan nepotis, banyak ulama yang menjalani hidup sebagai sufi, dan (4) ajaran tasawuf memiliki akar-
akar yang kokoh dalam Al-Quran dan Hadits.
Memang ada kesamaan antara tasawuf dengan akhlak, yakni sama-sama menempuh
perjalanan ruhani menuju Tuhan dengan membaguskan sikap dan perilaku akhlaqi. Bedanya,
tasawuf menekankan peranan Ahli Zikir untuk membimbing kehidupan religius murid-murid
sufi agar sampai kepada Tuhan, sementara akhlak sama sekali tidak membicarakan peran
Ahli Zikir. Di sinilah titik-temu sekaligus titik-pisah antara Ilmu Tasawuf dengan Ilmu
Akhlak.
TABEL 1.1
KAITAN ANTARA DIMENSI, ILMU, DAN AMAL
(IMAN, IBADAH, DAN AKHLAK)
No. Dimensi Ilmu Sikap & Amal
1. Sufistik Ilmu Tasawuf Ma`rifat bi Dzatillah
2. Keimanan Ilmu Aqidah Beriman dengan Rukun Iman
3. Ibadah Ilmu Syari`ah Beribadah dengan benar &
ikhlas (terutama Rukun Islam)
4. Akhlak Ilmu Akhlak Berakhlaqul karimah

Dengan mencermati nisbah di antara ke-4 Ilmu Islam tersebut, sebenarnya kehidupan
religius yang dijalani oleh seorang saleh terdiri dari 3 dimensi, yakni: dimensi aqidah,
dimensi ibadah, dan dimensi akhlak, dengan fondasinya dimensi sufistik. Hubungan di antara
ke-4 Ilmu Islam dan dimensi-dimensi religius dapat digambarkan sbb:
Gambar 1.1
Kaitan antara Ilmu Akhlak dengan Ilmu Tasawuf,
Ilmu Aqidah, dan Ilmu Ibadah

Ilmu Tasawuf mengkaji bagaimanakah fithrah manusia (hakekat manusia) bertemu dengan
Fithrah Tuhan (hakekat Tuhan) dalam Ilmu Hakekat melalui seorang Ahli Zikir, yakni Rasulullah atau
Ulama Pewaris Nabi (atau dalam Ilmu Tasawuf dan Tarekat dikenal dengan Guru Mursyid, dan
khusus dalam Tasawuf atau Tarekat Syaththariah dikenal dengan Guru Wasithah). Perjumpaan
manusia dengan Tuhan merupakan ‘inti’ beragama, karena manusia berasal dari Tuhan dan
seharusnya kembali kepada Tuhan (inna lillahi wa inna ilaihi roji`un). Jika fondasi agama sudah
benar dan kokoh, maka Ilmu Aqidah dapat mengantarkan manusia untuk beriman secara benar, yakni
imannya yang ma`rifatun wa tashdiqun; yakni imannya dengan mengenal Tuhan Yang AsmaNya
Allah dan membenarkan bahwa orang yang mengenalkan Tuhan itu adalah Rasulullah atau Ulama
yang mewarisi Ilmu Kenabian (Ulama Pewaris Nabi). Dengan demikian, maka ibadahnya juga akan
benar, karena benar-benar menyembah Tuhan yang sudah dikenalinya (memeuhi perintah Allah:
wa`bud robbaka hatta ya`tiyakal yaqin =Sembahlah Tuhanmu sampai kamu yakin Tuhan yang kamu
sembah itu hadir). Kemudian Ilmu Ibadahnya mengantarkan orang-orang beriman untuk dapat
beribadah secara benar dan ikhlas. Beribadah dapat dikatakan benar jika peribadatannya itu dilakukan
atas dasar memenuhi perintah Allah dan RasulNya, bukannya memenuhi kehendak nafsu dan
syahwatnya. Lalu, ibadahnya itu dilakukan secara ikhlas, tanpa pamrih dunia ataupun pamrih akhirat.
Puncaknya, Ilmu Akhlaknya dapat mengantarkan orang-orang yang beriman mencapai kesempurnaan
akhlak mulia.
Adapun dalam sikap dan pengamalan dapat dibedakan antara dimensi iman, dimensi ibadah,
dan dimensi akhlak mulia. Ketiga dimensi ini merupakan satu kesatuan yang utuh, tidak dapat
dipisah-pisah. Hubungan ketiga dimensi iman, dimensi ibadah, dan dimensi akhlak mulia dapat
digambarkan sebagai berikut:

Gambar 1.2
Segi-tiga dimensi Iman, Ibadah, dan Akhlak Mulia

Dimensi iman melandasi dimensi ibadah dan akhlak mulia; dimensi ibadah yang berbasis iman
melandasi dimensi akhlak mulia. Makna lainnya, dimensi ibadah merupakan perwujudan dimensi
iman; dimensi akhlak mulia merupakan perwujudan dimensi ibadah yang dilandasi dimensi iman.
Makna lainnya lagi, dimensi iman tidaklah bermakna tanpa diwujudkan dalam dimensi ibadah; dan
dimensi ibadah tidaklah bermakna tanpa diwujudkan dalam dimensi akhlak mulia.
Atau seperti gambar berikut:

Gambar 1.3
Dimensi Iman melandasi dimensi Ibadah dan dimensi Akhlak Mulia,
Dimensi Ibadah berbasis Iman melandasi dimensi Akhlak Mulia

Implementasinya bagi seorang pendidik agama (mulai orang tua di rumah, guru di sekolah, dan
ustad di masjid), jika melihat anak-anak menunjukkan akhlak yang tidak mulia maka periksalah
ibadahnya. Jika ibadahnya bagus maka tinggal memperbaiki akhlaknya. Tapi jika ibadahnya kurang
bagus maka perbaiki dulu ibadahnya. Setelah ibadahnya bagus, baru kemudian perbaiki akhlaknya.
Adapun jika ternyata ibadahnya juga kurang bagus, maka periksa dulu keimanannya. Jika
keimanannya sudah bagus, perbaiki ibadahnya; dan ini relatif mudah. Tapi jika keimanannya masih
bermasalah, maka bereskan dulu keimanannya, kemudian perkokoh keimanannya.
Demikian juga upaya memperbaiki akhlak mulia diri kita sendiri (dan ini justru yang paling
utama).Urutannya, pertama bereskan dulu keimanan kita, perkokoh keimanan kita. Kemudian,
benarkanperibadatan kita agar ibadah yang kita lakukan benar-benar sesuai dengan yang diajarkan
oleh Rasulullah. Jika sudah benar pun masih harus dibereskan, yakni ibadah yang kita lakukan harus
dilakukan dengan ikhlas seikhlas-ikhlasnya, jangan sampai ada pamrih dunia (ingin memperoleh
nikmat-nikmat dunia: harta, kedudukan, popularitas, dan lain-lain) maupun pamrih akhirat (mencari
pahala, ingin masuk surga, dan takut masuk neraka). Ibadah yang kita lakukan harus benar-benar
lillah (karena Allah). Pokoknya yang dituju dengan ibadah kita hanyalah Allah, bukan ciptaan Allah.
Ingat, dunia, surga, dan neraka bukanlah Allah melainkan ciptaan Allah.

E. RENUNGAN
Coba simak kisah seorang Bani Israel yang paling tekun beribadah tapi terperdaya oleh
seorang perempuan. Alkisah ada tiga orang pemuda bersaudara yang mempunyai seorang
saudara perempuan, dan tidak mempunyai saudara perempuan lainnya. Ketiga pemuda
tersebut memenuhi panggilan berjihad di jalan Allah. Mereka bingung kepada siapakah
menitipkan saudaranya yang perempuan. Akhirnya mereka sepakat untuk menitipkannya
kepada seorang ahli ibadah sampai mereka kembali dari peperangan (tentunya dengan penuh
harapan agar saudaranya yang perempuan dapat terjaga dengan aman).
Awalnya, sang ahli ibadah itu menolaknya. Tetapi karena ketiga bersaudara itu terus
mendesaknya akhirnya sang ahli ibadah menerima permintaan mereka. Dia lalu berkata
kepada mereka, “Tempatkanlah saudara perempuanmu di rumah dekat tempat ibadahku.”
Lantas mereka menempatkan saudara perempuan mereka di rumah tersebut, kemudian
mereka pun pergi.
Maka perampuan tersebut tinggal bersama sang ahli ibadah tersebut selama beberapa
waktu. Sang ahli ibadah selalu turun dari tempat ibadahnya untuk membawakan makanan.
Kemudian dia memanggil perempuan tersebut, lalu si perempuan keluar dari dalam rumah
untuk mengambil makanan yang dihidangkan kepadanya. Lantas setan menebarkan tipu
dayanya, seolah-olah senantiasa memberi motivasi kepada ahli ibadah untuk berbuat
kebaikan. Setan membisikkan rasa keberatan kepada ahli ibadah jika perempuan tersebut
keluar dari rumahnya di siang hari, dan menakut-nakutinya jangan sampai ada seorang pun
yang melihat perempuan tersebut. Akhirnya, sang ahli ibadah mengunci perempuan tersebut.
“Seandainya engkau mau datang membawa makanan untuknya dan engkau letakkan di pintu
rumah yang ditinggali perempuan tersebut, niscaya engkau mendapat pahala yang besar.”
Setan pun terus-menerus membisiki hal tersebut, hingga akhirnya dia berjalan ke tempat
perempuan tersebut dengan membawa makanan serta meletakkannya di pintu rumah tanpa
mengajak bicara perempuan tersebut. Sang ahli ibadah melakukan hal ini selama beberapa
waktu.
Iblis pun datang lagi untuk memperdaya sang ahli ibadah, “Seandainya kamu mau
berbicara dan mengobrol dengan perempuan tersebut, maka pasti dia merasa terhibur dengan
obrolanmu lantaran dia sedang kesepian.” Demikianlah Iblis senantiasa membisikinya,
hingga akhirnya sang ahli ibadah mau berbincang-bincang dengan perempuan tersebut dalam
beberapa waktu. Sang ahli ibadah itu pun selalu memandangi perempuan tersebut dari atas
tempat ibadahnya. Setelah itu, iblis datang lagi membisikinya, “Seandainya engkau mau
turun menghampirinya, hingga engkau duduk di pintu tempat ibadahmu lalu berbicara
dengannya dan dia duduk di pintu rumahnya berbicara denganmu, niscaya hal ini lebih baik
dan lebih menghibur dirinya.” Iblis berhasil membuat sang ahli ibadah turun dan duduk di
depan pintu tempat ibadahnya untuk berbicara dengan perempuan tersebut dan demikian pula
sebaliknya. Perempuan tersebut keluar dari rumah sehingga dia duduk di pintu rumah.
Mereka berdua pun melakukan hal ini selama beberapa waktu.
Kemudian iblis datang lagi. Ia memperdayai ahli ibadah seolah hendak melakukan
kebaikan dan meraih pahala ketika dia melakukan itu semua terhadap perempuan tersebut.
Iblis membisikkan, “Seandainya kamu mau keluar dari pintu tempat ibadahmu, lalu kamu
duduk di dekat pintu rumah perempuan tersebut untuk berbincang-bincang dengannya,
niscaya hal tersebut lebih menghibur dan lebih baik baginya.” Iblis senantiasa membisikkan
hal tersebut sampai sang ahli ibadah melakukannya. Akhirnya, sang ahli ibadah pun
melakukannya dalam beberapa waktu.
Lantas iblis datang lagi seolah memotivasi untuk melakukan kebaikan seraya
membisikkan, “Andai saja kamu mau berdekatan dengannya, engkau duduk di pintu
rumahnya untuk berbincang-bincang dengannya dan si perempuan tidak perlu keluar dari
rumahnya.” Lantas dia pun melakukan hal tersebut. Dia pun turun dari tempat ibadanya dan
berdiri di pintu rumah si perempuan dan berbincang-bincang dengannya. Mereka berdua pun
melakukan hal tersebut selama beberapa waktu. Selanjutnya, iblis datang lagi membisikinya,
“Andai saja kamu mau masuk ke dalam rumah perempuan tersebut, lalu kamu berbincang-
bincang dengannya dan kamu tidak membiarkan dirinya menampakkan wajahnya kepada
seorang pun, niscaya hal tersebut lebih baik bagimu.” Iblis senantiasa membisikinya,
sehingga dia pun masuk ke dalam rumah dan berbincang-bincang dengan perempuan tersebut
seharian penuh. Ketika waktu siang telah berlalu, dia naik ke tempat ibadahnya. Lagi-lagi
iblis mendatangi setelah itu, dia terus-menerus menghiasi perempuan tersebut di hadapan
sang ahli ibadah. Hingga akhirnya sang ahli ibadah menyentuh si perempuan itu. Iblis pun
terus-menerus kecantikan si perempuan dalam pandangan sang ahli ibadah. Iblis
membujuknya hingga akhirnya dia menzinai perempuan tersebut dan menghamilinya.
Akhirnya perempuan tersebut melahirkan seorang anak.
Kemudian iblis datang dan membisiki, “Bagaimana pendapatmu, jika saudara-saudara
perempuan ini datang, seementara saudara perempuannya melahirkan anak hasil perzinaan
dengan kamu, apa yang akan kamu perbuat? Pastilah keburukanmu akan terungkap atau
mereka akan membuka keburukanmu. Oleh karena itu, bunuhlah anak itu, lalu kuburkan.
Sungguh, si perempuan akan tutup mulut karena dia juga takut saudara-saudaranya tahu apa
yang telah engkau perbuat terhadapnya.” Lantas sang ahli ibadah melakukannya. Dia pun
membunuh anak tersebut. Selang beberapa waktu iblis membisiki lagi, “Apakah kamu yakin
perempuan tersebut dapat merahasiakan pada saudara-saudaranya atas apa yang telah engkau
perbuat terhadapnya dan perbuatanmu yang telah membunuh anaknya. Maka tangkaplah
perempuan itu, lalu bunuhlah, dan kuburkanlah dia bersama anaknya!” Iblis pun terus-
menerus membisikkan hal itu, hingga akhirnya dia pun membunuh perempuan tersebut dan
menguburkannya di tempat kuburan anaknya, lalu menutupi keduanya dengan batu besar dan
meratakan tanahnya. Kemudian dia naik ke tempat ibadahnya, lalu dia beribadah di dalamnya
seperti sedia kala.
Sang ahli ibadah masih tetap dalam keadaan seperti itu hingga saudara-saudara
perempuan tersebut pulang dari medan perang. Mereka mendatangi sang ahli ibadah dan
menanyakan perihal saudara perempuannya. Sang ahli ibadah menangis dan memberitahukan
kepada mereka bahwa perempuan tersebut telah meninggal dunia. Dia katakan bahwa saudara
perempuan kamu itu merupakan perempuan terbaik, mudah-mudah dia mendapat rahmat
Allah SWT.” Ketika malam tiba para pemuda itu pun tidur. Ketika mereka terlelap dalam
pembaringannya, iblis mendatangi mereka dan menjelma sebagai seorang musafir. Awalnya,
iblis mendatangi saudara paling tua. Iblis bertanya kepadanya tentang saudara perempuannya.
Dia pun menceritakan sebagaimana yang dikatakan oleh sang ahli ibadah tentang
kematiannya, tentang ahli ibadah yang mendoakannya agar mendapat rahmat, dan tentang
sang ahli ibadah yang menunjukkan kuburan saudara perempuannya tersebut kepadanya.
Lalu iblis berkata, “Sang ahli ibadah itu berbohong! Yang benar dia telah menghamili
saudara perempuanmu hingga dia melahirkan seorang anak, lalu sang ahli ibadah itu
membunuh anak dan saudara perempuanmu. Dia menguburkan anak dan saudara
perempuanmu di lubang yang sama di belakang pintu rumah yang ditempati oleh saudara
perempuan kalian di sebelah kanan tempat orang masuk rumah. Oleh karena itu, pergilah
kamu dan masuklah ke dalam rumah yang kemarin ditempati saudara perempuanmu itu,
pastilah kamu akan menemukan keduanya sebagaimana yang saya katakan.” Lalu iblis
mendatangi saudara kedua di dalam tidurnya, yang mengatakan hal yang sama sebagaimana
yang iblis katakan kepada saudaranya yang paling tua. Lalu iblis mendatangi saudara paling
kecil dan mengatakan hal yang sama kepadanya. Ketika mereka bangun tidur, mereka pun
heran akan mimpi yang dialami oleh masing-masing. Mereka saling berpandangan satu sama
lain dan berkata kepada saudaranya, “Sungguh, tadi malam saya bermimpi aneh.” Mereka
pun saling menceritakan mimpi mereka satu sama lain. Lantas saudara paling tua
berpendapat, “Ini hanya bunga tidur. Bukan kenyataannya. Kita tidak perlu mempercayai
mimpi kita ini!” Tapi saudara paling kecil berpendapat lain, “Demi Allah, aku tidak akan
melewatkan begitu saja mimpi saya ini sehingga saya benar-benar akan mendatangi tempat
tersebut dan saya akan melihatnya sendiri.” Akhirnya mereka semua berangkat ke rumah
yang pernah ditempati saudara perempuan mereka. Mereka membuka pintu dan mencari
lokasi yang dijelaskan kepada mereka di dalam mimpi. Ternyata, mereka benar-benar
menemukan saudara perempuan mereka bersama anaknya di dalam lubang kubur dalam
keadaan disembelih.
Lantas mereka meminta pertanggung-jawaban sang ahli ibadah mengenai peristiwa tersebut.
Sang ahli ibadah membenarkan tuduhan mereka. Selanjutnnya mereka mengadukan kasus ini kepada
Raja. Pengadilan memutuskan sang ahli ibadah yang telah menghamili dan membunuh perempuan
dan anaknya itu untuk disalib. Ketika eksekusi dimulai iblis mendatangi sang ahli ibadah lalu berkata,
“Saya adalah temanmu yang telah membujukmu dengan perempuan yang telah engkau hamili dan
telah engkau bunuh beserta anaknya. Jika kamu sekarang mau menurutiku niscaya saya akan
menyelamatkanmu dari keadaanmu sekarang ini.” Sang ahli ibadah menganggukkan kepalanya setuju
akan menuruti iblis. Iblis meminta sang ahli ibadah untuk kufur terhadap Allah. Dan ketika sang ahli
ibadah menyatakan persetujuannya, iblis malah meninggalkannya. Akhirnya sang ahli ibadah itu mati
dalam tiang salib dalam keadaan kufur kepada Allah SWT. Na`udzu billahi min dzalik ! (Disadur dari
Kisahmuslim.com, 2013).

F. KESIMPULAN
Akhlak bukanlah moralitas biasa terlebih-lebih moralitas hasil rekayasa sesaat. Akhlak
juga bukan perilaku yang baik menurut anggapan umum. Akhlak adalah perilaku yang baik
dan bersifat ikhtiari yang dilakukan seseorang secara spontanitas karena kesadarannya dalam
menjalankan perintah Allah dan RasulNya; dan perilaku yang baiknya itu dilakukan secara
berkualitas dan istiqomah (ajeg, tetap, terus-menerus). Seseorang yang ber-akhlaqul karimah
bukan hanya tampak dalam penampilan lahiriyahnya yang memang menampilkan perilaku
yang baik. Perilaku baik yang ditampilkannya itu karena didorong oleh hati nuraninya yang
selalu condong kepada kebaikan sebagai ikhtiar menjalankan ketaatan kepada Allah atas
dasar ketaatan kepada RasulNya dan meneladani RasulNya. Dengan demikian akhlak mulia
yang “sempurna” haruslah berdasarkan keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Zat Yang
Maha Ghaib, Allah AsmaNya.

Anda mungkin juga menyukai