MAKNA AKHLAK
1. Makna Akhlak
Kata akhlak berasal dari kata al-akhlâqu(Bahasa Arab), bentuk jama’ dari kata al-
khuluqu atau khulûqun, yang berarti tabi’at, kelakuan, perangai, tingkah laku, karakter, budi
pekerti, dan adat kebiasaan. Kata akhlak digunakan Al-Quran untuk memuji ketinggian
akhlak Rasulullah: Wa innaka la`allâ khuluqin `azhim =Sesungguhnya kamu mempunyai
akhlak yang tinggi (Qs. 68/Al-Qalam: 4). Kemudian dalam Qs. 33/Al-Ahzab ayat 21
ditegaskan bahwa Rasulullah sebagai figur teladan: Laqod kâna fi rasûlillâhi uswatun
hasanatun =Sungguh pribadi Rasulullah itu merupakan suri teladan, yakni bagi orang yang
berkehendak kembali kepada Allah, meyakini Hari Akhir, dan banyak berzikir. Nabi
Muhammad SAW pun menegaskan misi kenabiannya: Innamâ bu`itstu li`utammima
makârimal akhlâqi =Sesungguhnya aku diutus (ke dunia ini) untuk menyempurnakan akhlak
yang ‘mulia’ (HR Al-Bazzar, dalam Almath, TT). Hal ini menegaskan bahwa perilaku
akhlaqi merupakan puncak keberagamaan. Oleh karena itu Ibn Miskawaih (1994: 3)
menegaskan, akhlak adalah sifat yang tertanam di dalam diri seseorang yang dapat
mengeluarkan sesuatu perbuatan dengan senang dan mudah tanpa pemikiran, penelitian dan
paksaan. Artinya, suatu perbuatan disebut akhlak jika perbuatan itu dilakukan oleh seseorang
secara otomatis dan permanen, tanpa pemikiran, penelitian, atau paksanaan dari orang-orang
yang memiliki otoritas, karena sudah menjadi karakter, watak, dan kebiasaannya; yakni suatu
sikap dan perbuatan yang sudah mendarah-daging dalam kehidupan sehari-harinya (Rahmat,
2010a; Sauri, 2011). Muthahhari (1995) mengingatkan bahwa perbuatan akhlaqi merupakan
perilaku ikhtiari dan patut dipuji di atas kewajiban. Sebagai contoh, orang yang mendirikan
shalat malam dan shalat-shalat sunat setelah mendirikan shalat wajib yang 5 waktu; atau
seorang kaya-raya yang mengeluarkan infaq dan shodaqoh (yang sunat-sunat) setelah
membayarkan seluruh kewajiban ibadah harta (zakat, khumus, shodaqoh, dan kewajiban
ibadah harta lainnya).
Misi kenabian untuk menyempurnakan akhlak ‘mulia’ merupakan Kasih-Sayang Allah
bagi manusia yang telah memiliki akhlak mulia, agar akhlak mulianya itu dapat sejalan
dengan Kehendak Allah sebagaimana diajarkan dan diteladankan oleh RasulNya, yakni
akhlak mulia yang benar dan dilakukan secara ikhlas. Akhlak mulia disebut benar jika akhlak
mulia itu dipribadikan sebagai ketaatan kepada Allah dan RasulNya, bukan akhlak mulia
yang didasarkan atas nafsu dan syahwatnya. Kemudian akhlak mulia yang benar itu harus
dilakukan secara ikhlas,yakni dengan niat lillâh (karena Allâh). ilallâh (menuju Allâh),
minallâh (dari Allâh), dan fî sabîlillâh (di jalan Allâh); bukan karena pamrih dunia (seperti:
ingin disebut-sebut sebagai orang yang berakhlak mulia, mencari keuntungan-keuntungan
duniawi, dan lain-lain), dan bukan pula karena pamrih akhirat (ingin memperoleh pahala,
ingin masuk surga, atau takut masuk neraka).
Dengan mencermati nisbah di antara ke-4 Ilmu Islam tersebut, sebenarnya kehidupan
religius yang dijalani oleh seorang saleh terdiri dari 3 dimensi, yakni: dimensi aqidah,
dimensi ibadah, dan dimensi akhlak, dengan fondasinya dimensi sufistik. Hubungan di antara
ke-4 Ilmu Islam dan dimensi-dimensi religius dapat digambarkan sbb:
Gambar 1.1
Kaitan antara Ilmu Akhlak dengan Ilmu Tasawuf,
Ilmu Aqidah, dan Ilmu Ibadah
Ilmu Tasawuf mengkaji bagaimanakah fithrah manusia (hakekat manusia) bertemu dengan
Fithrah Tuhan (hakekat Tuhan) dalam Ilmu Hakekat melalui seorang Ahli Zikir, yakni Rasulullah atau
Ulama Pewaris Nabi (atau dalam Ilmu Tasawuf dan Tarekat dikenal dengan Guru Mursyid, dan
khusus dalam Tasawuf atau Tarekat Syaththariah dikenal dengan Guru Wasithah). Perjumpaan
manusia dengan Tuhan merupakan ‘inti’ beragama, karena manusia berasal dari Tuhan dan
seharusnya kembali kepada Tuhan (inna lillahi wa inna ilaihi roji`un). Jika fondasi agama sudah
benar dan kokoh, maka Ilmu Aqidah dapat mengantarkan manusia untuk beriman secara benar, yakni
imannya yang ma`rifatun wa tashdiqun; yakni imannya dengan mengenal Tuhan Yang AsmaNya
Allah dan membenarkan bahwa orang yang mengenalkan Tuhan itu adalah Rasulullah atau Ulama
yang mewarisi Ilmu Kenabian (Ulama Pewaris Nabi). Dengan demikian, maka ibadahnya juga akan
benar, karena benar-benar menyembah Tuhan yang sudah dikenalinya (memeuhi perintah Allah:
wa`bud robbaka hatta ya`tiyakal yaqin =Sembahlah Tuhanmu sampai kamu yakin Tuhan yang kamu
sembah itu hadir). Kemudian Ilmu Ibadahnya mengantarkan orang-orang beriman untuk dapat
beribadah secara benar dan ikhlas. Beribadah dapat dikatakan benar jika peribadatannya itu dilakukan
atas dasar memenuhi perintah Allah dan RasulNya, bukannya memenuhi kehendak nafsu dan
syahwatnya. Lalu, ibadahnya itu dilakukan secara ikhlas, tanpa pamrih dunia ataupun pamrih akhirat.
Puncaknya, Ilmu Akhlaknya dapat mengantarkan orang-orang yang beriman mencapai kesempurnaan
akhlak mulia.
Adapun dalam sikap dan pengamalan dapat dibedakan antara dimensi iman, dimensi ibadah,
dan dimensi akhlak mulia. Ketiga dimensi ini merupakan satu kesatuan yang utuh, tidak dapat
dipisah-pisah. Hubungan ketiga dimensi iman, dimensi ibadah, dan dimensi akhlak mulia dapat
digambarkan sebagai berikut:
Gambar 1.2
Segi-tiga dimensi Iman, Ibadah, dan Akhlak Mulia
Dimensi iman melandasi dimensi ibadah dan akhlak mulia; dimensi ibadah yang berbasis iman
melandasi dimensi akhlak mulia. Makna lainnya, dimensi ibadah merupakan perwujudan dimensi
iman; dimensi akhlak mulia merupakan perwujudan dimensi ibadah yang dilandasi dimensi iman.
Makna lainnya lagi, dimensi iman tidaklah bermakna tanpa diwujudkan dalam dimensi ibadah; dan
dimensi ibadah tidaklah bermakna tanpa diwujudkan dalam dimensi akhlak mulia.
Atau seperti gambar berikut:
Gambar 1.3
Dimensi Iman melandasi dimensi Ibadah dan dimensi Akhlak Mulia,
Dimensi Ibadah berbasis Iman melandasi dimensi Akhlak Mulia
Implementasinya bagi seorang pendidik agama (mulai orang tua di rumah, guru di sekolah, dan
ustad di masjid), jika melihat anak-anak menunjukkan akhlak yang tidak mulia maka periksalah
ibadahnya. Jika ibadahnya bagus maka tinggal memperbaiki akhlaknya. Tapi jika ibadahnya kurang
bagus maka perbaiki dulu ibadahnya. Setelah ibadahnya bagus, baru kemudian perbaiki akhlaknya.
Adapun jika ternyata ibadahnya juga kurang bagus, maka periksa dulu keimanannya. Jika
keimanannya sudah bagus, perbaiki ibadahnya; dan ini relatif mudah. Tapi jika keimanannya masih
bermasalah, maka bereskan dulu keimanannya, kemudian perkokoh keimanannya.
Demikian juga upaya memperbaiki akhlak mulia diri kita sendiri (dan ini justru yang paling
utama).Urutannya, pertama bereskan dulu keimanan kita, perkokoh keimanan kita. Kemudian,
benarkanperibadatan kita agar ibadah yang kita lakukan benar-benar sesuai dengan yang diajarkan
oleh Rasulullah. Jika sudah benar pun masih harus dibereskan, yakni ibadah yang kita lakukan harus
dilakukan dengan ikhlas seikhlas-ikhlasnya, jangan sampai ada pamrih dunia (ingin memperoleh
nikmat-nikmat dunia: harta, kedudukan, popularitas, dan lain-lain) maupun pamrih akhirat (mencari
pahala, ingin masuk surga, dan takut masuk neraka). Ibadah yang kita lakukan harus benar-benar
lillah (karena Allah). Pokoknya yang dituju dengan ibadah kita hanyalah Allah, bukan ciptaan Allah.
Ingat, dunia, surga, dan neraka bukanlah Allah melainkan ciptaan Allah.
E. RENUNGAN
Coba simak kisah seorang Bani Israel yang paling tekun beribadah tapi terperdaya oleh
seorang perempuan. Alkisah ada tiga orang pemuda bersaudara yang mempunyai seorang
saudara perempuan, dan tidak mempunyai saudara perempuan lainnya. Ketiga pemuda
tersebut memenuhi panggilan berjihad di jalan Allah. Mereka bingung kepada siapakah
menitipkan saudaranya yang perempuan. Akhirnya mereka sepakat untuk menitipkannya
kepada seorang ahli ibadah sampai mereka kembali dari peperangan (tentunya dengan penuh
harapan agar saudaranya yang perempuan dapat terjaga dengan aman).
Awalnya, sang ahli ibadah itu menolaknya. Tetapi karena ketiga bersaudara itu terus
mendesaknya akhirnya sang ahli ibadah menerima permintaan mereka. Dia lalu berkata
kepada mereka, “Tempatkanlah saudara perempuanmu di rumah dekat tempat ibadahku.”
Lantas mereka menempatkan saudara perempuan mereka di rumah tersebut, kemudian
mereka pun pergi.
Maka perampuan tersebut tinggal bersama sang ahli ibadah tersebut selama beberapa
waktu. Sang ahli ibadah selalu turun dari tempat ibadahnya untuk membawakan makanan.
Kemudian dia memanggil perempuan tersebut, lalu si perempuan keluar dari dalam rumah
untuk mengambil makanan yang dihidangkan kepadanya. Lantas setan menebarkan tipu
dayanya, seolah-olah senantiasa memberi motivasi kepada ahli ibadah untuk berbuat
kebaikan. Setan membisikkan rasa keberatan kepada ahli ibadah jika perempuan tersebut
keluar dari rumahnya di siang hari, dan menakut-nakutinya jangan sampai ada seorang pun
yang melihat perempuan tersebut. Akhirnya, sang ahli ibadah mengunci perempuan tersebut.
“Seandainya engkau mau datang membawa makanan untuknya dan engkau letakkan di pintu
rumah yang ditinggali perempuan tersebut, niscaya engkau mendapat pahala yang besar.”
Setan pun terus-menerus membisiki hal tersebut, hingga akhirnya dia berjalan ke tempat
perempuan tersebut dengan membawa makanan serta meletakkannya di pintu rumah tanpa
mengajak bicara perempuan tersebut. Sang ahli ibadah melakukan hal ini selama beberapa
waktu.
Iblis pun datang lagi untuk memperdaya sang ahli ibadah, “Seandainya kamu mau
berbicara dan mengobrol dengan perempuan tersebut, maka pasti dia merasa terhibur dengan
obrolanmu lantaran dia sedang kesepian.” Demikianlah Iblis senantiasa membisikinya,
hingga akhirnya sang ahli ibadah mau berbincang-bincang dengan perempuan tersebut dalam
beberapa waktu. Sang ahli ibadah itu pun selalu memandangi perempuan tersebut dari atas
tempat ibadahnya. Setelah itu, iblis datang lagi membisikinya, “Seandainya engkau mau
turun menghampirinya, hingga engkau duduk di pintu tempat ibadahmu lalu berbicara
dengannya dan dia duduk di pintu rumahnya berbicara denganmu, niscaya hal ini lebih baik
dan lebih menghibur dirinya.” Iblis berhasil membuat sang ahli ibadah turun dan duduk di
depan pintu tempat ibadahnya untuk berbicara dengan perempuan tersebut dan demikian pula
sebaliknya. Perempuan tersebut keluar dari rumah sehingga dia duduk di pintu rumah.
Mereka berdua pun melakukan hal ini selama beberapa waktu.
Kemudian iblis datang lagi. Ia memperdayai ahli ibadah seolah hendak melakukan
kebaikan dan meraih pahala ketika dia melakukan itu semua terhadap perempuan tersebut.
Iblis membisikkan, “Seandainya kamu mau keluar dari pintu tempat ibadahmu, lalu kamu
duduk di dekat pintu rumah perempuan tersebut untuk berbincang-bincang dengannya,
niscaya hal tersebut lebih menghibur dan lebih baik baginya.” Iblis senantiasa membisikkan
hal tersebut sampai sang ahli ibadah melakukannya. Akhirnya, sang ahli ibadah pun
melakukannya dalam beberapa waktu.
Lantas iblis datang lagi seolah memotivasi untuk melakukan kebaikan seraya
membisikkan, “Andai saja kamu mau berdekatan dengannya, engkau duduk di pintu
rumahnya untuk berbincang-bincang dengannya dan si perempuan tidak perlu keluar dari
rumahnya.” Lantas dia pun melakukan hal tersebut. Dia pun turun dari tempat ibadanya dan
berdiri di pintu rumah si perempuan dan berbincang-bincang dengannya. Mereka berdua pun
melakukan hal tersebut selama beberapa waktu. Selanjutnya, iblis datang lagi membisikinya,
“Andai saja kamu mau masuk ke dalam rumah perempuan tersebut, lalu kamu berbincang-
bincang dengannya dan kamu tidak membiarkan dirinya menampakkan wajahnya kepada
seorang pun, niscaya hal tersebut lebih baik bagimu.” Iblis senantiasa membisikinya,
sehingga dia pun masuk ke dalam rumah dan berbincang-bincang dengan perempuan tersebut
seharian penuh. Ketika waktu siang telah berlalu, dia naik ke tempat ibadahnya. Lagi-lagi
iblis mendatangi setelah itu, dia terus-menerus menghiasi perempuan tersebut di hadapan
sang ahli ibadah. Hingga akhirnya sang ahli ibadah menyentuh si perempuan itu. Iblis pun
terus-menerus kecantikan si perempuan dalam pandangan sang ahli ibadah. Iblis
membujuknya hingga akhirnya dia menzinai perempuan tersebut dan menghamilinya.
Akhirnya perempuan tersebut melahirkan seorang anak.
Kemudian iblis datang dan membisiki, “Bagaimana pendapatmu, jika saudara-saudara
perempuan ini datang, seementara saudara perempuannya melahirkan anak hasil perzinaan
dengan kamu, apa yang akan kamu perbuat? Pastilah keburukanmu akan terungkap atau
mereka akan membuka keburukanmu. Oleh karena itu, bunuhlah anak itu, lalu kuburkan.
Sungguh, si perempuan akan tutup mulut karena dia juga takut saudara-saudaranya tahu apa
yang telah engkau perbuat terhadapnya.” Lantas sang ahli ibadah melakukannya. Dia pun
membunuh anak tersebut. Selang beberapa waktu iblis membisiki lagi, “Apakah kamu yakin
perempuan tersebut dapat merahasiakan pada saudara-saudaranya atas apa yang telah engkau
perbuat terhadapnya dan perbuatanmu yang telah membunuh anaknya. Maka tangkaplah
perempuan itu, lalu bunuhlah, dan kuburkanlah dia bersama anaknya!” Iblis pun terus-
menerus membisikkan hal itu, hingga akhirnya dia pun membunuh perempuan tersebut dan
menguburkannya di tempat kuburan anaknya, lalu menutupi keduanya dengan batu besar dan
meratakan tanahnya. Kemudian dia naik ke tempat ibadahnya, lalu dia beribadah di dalamnya
seperti sedia kala.
Sang ahli ibadah masih tetap dalam keadaan seperti itu hingga saudara-saudara
perempuan tersebut pulang dari medan perang. Mereka mendatangi sang ahli ibadah dan
menanyakan perihal saudara perempuannya. Sang ahli ibadah menangis dan memberitahukan
kepada mereka bahwa perempuan tersebut telah meninggal dunia. Dia katakan bahwa saudara
perempuan kamu itu merupakan perempuan terbaik, mudah-mudah dia mendapat rahmat
Allah SWT.” Ketika malam tiba para pemuda itu pun tidur. Ketika mereka terlelap dalam
pembaringannya, iblis mendatangi mereka dan menjelma sebagai seorang musafir. Awalnya,
iblis mendatangi saudara paling tua. Iblis bertanya kepadanya tentang saudara perempuannya.
Dia pun menceritakan sebagaimana yang dikatakan oleh sang ahli ibadah tentang
kematiannya, tentang ahli ibadah yang mendoakannya agar mendapat rahmat, dan tentang
sang ahli ibadah yang menunjukkan kuburan saudara perempuannya tersebut kepadanya.
Lalu iblis berkata, “Sang ahli ibadah itu berbohong! Yang benar dia telah menghamili
saudara perempuanmu hingga dia melahirkan seorang anak, lalu sang ahli ibadah itu
membunuh anak dan saudara perempuanmu. Dia menguburkan anak dan saudara
perempuanmu di lubang yang sama di belakang pintu rumah yang ditempati oleh saudara
perempuan kalian di sebelah kanan tempat orang masuk rumah. Oleh karena itu, pergilah
kamu dan masuklah ke dalam rumah yang kemarin ditempati saudara perempuanmu itu,
pastilah kamu akan menemukan keduanya sebagaimana yang saya katakan.” Lalu iblis
mendatangi saudara kedua di dalam tidurnya, yang mengatakan hal yang sama sebagaimana
yang iblis katakan kepada saudaranya yang paling tua. Lalu iblis mendatangi saudara paling
kecil dan mengatakan hal yang sama kepadanya. Ketika mereka bangun tidur, mereka pun
heran akan mimpi yang dialami oleh masing-masing. Mereka saling berpandangan satu sama
lain dan berkata kepada saudaranya, “Sungguh, tadi malam saya bermimpi aneh.” Mereka
pun saling menceritakan mimpi mereka satu sama lain. Lantas saudara paling tua
berpendapat, “Ini hanya bunga tidur. Bukan kenyataannya. Kita tidak perlu mempercayai
mimpi kita ini!” Tapi saudara paling kecil berpendapat lain, “Demi Allah, aku tidak akan
melewatkan begitu saja mimpi saya ini sehingga saya benar-benar akan mendatangi tempat
tersebut dan saya akan melihatnya sendiri.” Akhirnya mereka semua berangkat ke rumah
yang pernah ditempati saudara perempuan mereka. Mereka membuka pintu dan mencari
lokasi yang dijelaskan kepada mereka di dalam mimpi. Ternyata, mereka benar-benar
menemukan saudara perempuan mereka bersama anaknya di dalam lubang kubur dalam
keadaan disembelih.
Lantas mereka meminta pertanggung-jawaban sang ahli ibadah mengenai peristiwa tersebut.
Sang ahli ibadah membenarkan tuduhan mereka. Selanjutnnya mereka mengadukan kasus ini kepada
Raja. Pengadilan memutuskan sang ahli ibadah yang telah menghamili dan membunuh perempuan
dan anaknya itu untuk disalib. Ketika eksekusi dimulai iblis mendatangi sang ahli ibadah lalu berkata,
“Saya adalah temanmu yang telah membujukmu dengan perempuan yang telah engkau hamili dan
telah engkau bunuh beserta anaknya. Jika kamu sekarang mau menurutiku niscaya saya akan
menyelamatkanmu dari keadaanmu sekarang ini.” Sang ahli ibadah menganggukkan kepalanya setuju
akan menuruti iblis. Iblis meminta sang ahli ibadah untuk kufur terhadap Allah. Dan ketika sang ahli
ibadah menyatakan persetujuannya, iblis malah meninggalkannya. Akhirnya sang ahli ibadah itu mati
dalam tiang salib dalam keadaan kufur kepada Allah SWT. Na`udzu billahi min dzalik ! (Disadur dari
Kisahmuslim.com, 2013).
F. KESIMPULAN
Akhlak bukanlah moralitas biasa terlebih-lebih moralitas hasil rekayasa sesaat. Akhlak
juga bukan perilaku yang baik menurut anggapan umum. Akhlak adalah perilaku yang baik
dan bersifat ikhtiari yang dilakukan seseorang secara spontanitas karena kesadarannya dalam
menjalankan perintah Allah dan RasulNya; dan perilaku yang baiknya itu dilakukan secara
berkualitas dan istiqomah (ajeg, tetap, terus-menerus). Seseorang yang ber-akhlaqul karimah
bukan hanya tampak dalam penampilan lahiriyahnya yang memang menampilkan perilaku
yang baik. Perilaku baik yang ditampilkannya itu karena didorong oleh hati nuraninya yang
selalu condong kepada kebaikan sebagai ikhtiar menjalankan ketaatan kepada Allah atas
dasar ketaatan kepada RasulNya dan meneladani RasulNya. Dengan demikian akhlak mulia
yang “sempurna” haruslah berdasarkan keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Zat Yang
Maha Ghaib, Allah AsmaNya.