ABSTRAK
Ada kesenjangan yang terjadi antara harapan dari pendidikan karakter yang dilakukan
di sekolah dengan kenyataan di masyarakat sebagai tempat praktik pendidikan. Hal ini
dapat terlihat dari munculnya krisis moral di kalangan remaja. Sejatinya, pendidikan
karakter berupaya menghasilkan peserta didik yang menerapkan etika yang berlaku di
masyarakat. Pendidikan karakter di sekolah harus mengintegrasikan tiga (3)
wilayah,yaitu proses pembelajaran, kegiatan ekstrakurikuler, dan budaya sekolah.
ABSTRACT
There are considerations that occur between the expectations of character education
carried out in schools with the reality in the community as a place of educational
practice. This can be seen from moral negotiations among teenagers. Indeed, character
education approves students who apply ethics that apply in society. Character
education in schools must integrate three regions, namely the learning process,
extracurricular activities, and school culture.
Seperti kita pahami bersama, pendidikan bukanlah sekedar proses transfer ilmu
dari guru ke siswa, namun lebih jauh pendidikan merupakan proses pembentukan
karakter siswa. Hampir separuh waktunya, siswa menghabiskan waktunya di sekolah.
Hal inilah yang membuat karakter siswa pada umumnya terbentuk dan dipengaruhi
oleh lingkungan sekolahnya, seperti teman satu sekolah, guru, dan masyarakat sekitar.
Guru sebagai seorang pendidik, memiliki tugas yang cukup berat. Guru selain
harus mengajarkan peserta didik bidang studi yang dituntut, juga memiliki tugas untuk
mendidik karakter peserta didik. Tujuan pendidikan memuat gambaran tentang nilai-
nilai yang baik, luhur, pantas, benar, dan indah untuk kehidupan. Sejatinya, seorang
guru akan berusaha untuk mendidik peserta didiknya dengan segenap kemampuan
yang dimilikinya. Namun guru tidak bebas dalam bertindak, karena ada kode etik yang
mengatur kinerja seorang guru.
Kinerja guru merupakan luaran perilaku dari yang bersangkutan. Kinerja guru
ini akan terlihat ketika ia melaksanakan tugas, dan cara pelaksanaan tugas tersebut
(Wibowo & Saptono, 2017). Dalam proses pembelajaranlah kinerja guru yang paling
utama terlihat. Namun, seringkali sifat kepribadian guru dalam proses pembelajaran
kurang membangun motivasi belajar peserta didik (Rosmiati, Juraid, & Hasan, 2006).
Kajian tentang etika dalam pendidikan telah dilakukan oleh banyak peneliti.
Ibrahim dan Hendriani melakukan kajian etika guru dalam perpspektif Ki Hajar
Dewantara. Ia mengemukakan pandangan Ki Hajar Dewantara mengenai etika umum.
Pada dasarnya hakikat nilai etis menurut Ki Hajar Dewantara adalah nilai yang
bersumber dari Tuhan dan nilai yang bersumber dari individu atau masyarakat. Nilai-
nilai etika yang dibangun oleh individu maupun masyarakat tidak boleh bertentangan
dengan nilai-nilai yang bersumber dari wahyu Tuhan. Dalam hemat Ki Hajar
Dewantara nilai kebaikan tertinggi yang harus menjadi tujuan hidup manusia adalah
terwujudnya kesempurnaan hidup, yaitu hidup tertib dan damai (teratur dan tenteram)
sehingga tercapai selamat dan bahagia (Ibrahim & Hendriani, 2017).
Etika pada hakikatnya mengamati realitas moral secara kritis, dan dalam kajian
secara terminologi etika berarti sebuah cabang ilmu yang membicarakan
perbuatan/tingkah laku manusia dalam hubungannya dengan yang baik dan yang
buruk. Surajiyo mengatakan, “Secara terminologi, etika adalah cabang ilmu yang
membicarakan tingkah laku atau perbuatan manusia dalam hubungannya dengan yang
baik buruk. Yang dapat dinilai baik buruk adalah sikap manusia, yaitu yang
menyangkut perbuatan, tingkah laku, gerakan, kata-kata, dan sebagainya. etika
memiliki sifat kritis sebagai suatu sifat yang mendasar, karena “Etika mempersoalkan
norma-norma yang dianggap berlaku; memiliki dasar norma-norma itu;
mempersoalkan hak dari setiap lembaga, seperti orang tua, sekolah, negara dan agama
untuk memberikan perintah atau larangan yang harus ditaati (Tanyid, 2014).
Berdasarkan pemaparan tersebut, dapat ditarik benang merah bahwa pada
hakikatnya etika membahas perbuatan manusia dalam hubungannya dengan tuhannya,
dirinya, dan masyarakatnya yang baik dan yang buruk. Sementara, pendidikan itu
sendiri bertujuan untuk membantu anak didik mengembangkan potensi
kemanusiaannya yang merupakan benih kemungkinan untuk menjadi manusia
(Meilanie, 2009). Jadi, etika dalam pendidikan adalah bagaimana mengembangkan
potensi peserta didik untuk menjadi manusia seutuhnya yang beretika, yaitu manusia
yang memiliki perbuatan baik terhadap sesamanya.
PENDIDIKAN KARAKTER
Berdasarkan pendapat dari peneliti dan ahli, maka dapat disimpulkan bahwa
pendidikan karakter merupakan sebuah upaya yang dilakukan dalam rangka
mengembangkan karakter yang baik untuk peserta didik, dan untuk menerapkan nilai-
nilai etika yang berlaku.
FENOMENA KRISIS MORAL
Pada era globalisasi ini, segala sesuatu dapat dengan mudah diakses, baik
informasi, budaya, produk, dan sebagainya. Salah satu yang menjadi objek
pembahasan dalam makalah ini adalah budaya. Budaya dari luar baik yang baik
maupun yang buruk masuk ke negara Indonesia. Budaya secara otomatis
mempengaruhi moral dan perilaku masyarakat dan bisa mengarah ke arah yang dapat
menimbulkan dekadensi moral di kalangan umat manusia di era globalisasi ini, hingga
fenomena dekadensi moral sudah menjadi hal yang umum yang ada di tengah
masyarakat dunia sekarang. Seiring dengan perkembangan teknologi, moral banyak
remaja justru mengalami penurunan yang cukup drastis. Remaja yang mengalami
penurunan moral biasanya akan mengabaikan aturan-aturan yang berlaku dan
melanggar norma-norma yang ada di dalam lingkungannya. Adapun hal-hal yang
sangat mempengaruhi dengan penurunan moral remaja yang paling utama adalah
lingkungan dimana remaja itu melakukan aktivitasnya. Adapun faktor-faktor lain yang
dapat mempengaruhi penurunan moral remaja adalah keluarga si remaja, lingkungan
tempat ia tinggal, lingkungan sekolah dan teman bergaul (Bahri, 2015).
Ada banyak faktor yang menjadi penyebabnya, dimana salah satu faktor yang
mempunyai pengaruh yang besar adalah media informasi, seperti internet dan televisi.
Fasilitas teknologi, informasi dan komunikasi merupakan salah satu faktor yang
merubah kemuliaan perilaku generasi muda dewasa ini. Jaringan internet misalnya,
merupakan sebuah terobosan baru yang bisa menghubungkan antara mereka yang di
timur dengan mereka yang ada di barat atau di selatan. Sehingga penyebaran informasi
merupakan hal yang tidak bisa dipungkiri sehingga seluruh informasi baik membangun
maupun yang merubuhkan akhlak akan berkontaminasi dengan kepribadian kita
sebagai orang timur ditambah dengan kurangnya nilai iman untuk menyaring arus
perjalanan informasi tersebut.
Beberapa kasus yang sering kita jumpai di kalangan remaja, yaitu seks bebas
yang merupakan akibat dari mudahnya mengakses video-video porno; cara berbicara
yang tidak sopan, sebagai akibat dari tontonan mereka dan idola mereka yang
mencontohkan perilaku tidak sopan; pakaian yang tidak sopan sebagai akibat dari trend
yang berlaku; dan masih banyak yang lainnya.
PENGINTEGRASIAN PENDIDIKAN KARAKTER DALAM MENGATASI
KRISIS MORAL
Pada kurikulum 2013 revisi, kita mengenal adanya kompetensi inti 1 dan
kompetensi inti 2, yang di dalamnya memuat pendidikan karakter yang terintegrasi
dengan pembelajaran. Kompetensi inti 1 berkaitan dengan sikap spiritual, sementara
kompetensi inti 2 berkaitan dengan sikap sosial. Kedua kompetensi ini seharusnya
dimuat dalam setiap kegiatan pembelajaran yang dilakukan oleh guru.
Guru peduli pada peserta didik, dengan menjadi teladan dan memberi tuntunan
moral;
Menciptakan komunitas kelas yang peduli satu dengan yang lainnya;
Membantu peserta didik mengembangkan daya pkir moral, disiplin diri, dan
hormat pada orang lain;
Melibatkan peserta didik dalam pembuatan keputusan;
Menggunakan Cooperative learning untuk memberi kesempatan pada peserta
didik mengembangkan kompetensi moral dan sosialnya;
Membiasakan peserta didik membaca buku-buku yang mengandung nilai-nilai
hidup;
Mengembangkan kesadaran atau dorongan pada peserta didik untuk melakukan
hal baik;
Mengajarkan nilai yang harus diketahui peserta didik, cara mempraktekkannya
hingga menjadi suatu kebiasaan, dan menekankan bahwa setiap orang punya
tanggung jawab untuk mengembangkan karakternya sendiri;
Mengajarkan peserta didik menyelesaikan konflik;
Guru menghindari penggunaan kata-kata yang bernada menyalahkan, melainkan
memancing peserta didik untuk berani mengakui kesalahan dan menggali makna
belajar dari kesalahan yang dilakukan. Anak didik dilatih untuk menyadari bahwa
tindakan yang dilakukan merupakan pilihan pribadi. Jadi kesalahan atau kegagalan
yang dialami tidak boleh ditujukan pada orang lain;
Materi dalam pembelajaran karakter diambil dari hal-hal yan berlangsung di
sekitar kehidupan peserta didik di lingkungan sekolah;
Hal terpenting dalam strategi di ruang kelas adalah kesempatan yang diberikan
pada anak didik untuk mendiskusikan suatu masalah/ peristiwa dari sudut pandang
moral. Frekuensi kegiatan diskusi yang cukup banyak di kelas akan menciptakan
kesempatan pada peserta didik;
Mengembangkan daya pikir/analisa secara moral. Yang terpenting dalam proses
diskusi bukanlah memberikan penilaian tentang benar atau salahnya suatu
persoalan, namun untuk mencermati atau menganalisa hal-hal yang baik dan salah
yang terdapat dalam persoalan tersebut;
Peserta didik dapat mencari dan menemukan sendiri nilai-nilai yang hidup di
masyarakat. Peserta didik akan melihat dan mengalami langsung nilai yang
tumbuh di lingkungan masyarakat, yang dapat membuatnya binging. Melalui
diskusi, peserta didik melakukan proses penjernihan nilai untuk menemukan
makna nilai-nilai tersebut.
Selain itu, peserta didik memiliki minat dan bakat yang dapat dikembangkan
melalui kegiatan ekstrakurikuler. Kegiatan ekstrakurikuler ini merupakan kegiatan di
luar jam pembelajaran, yang bertujuan mengasah skill peserta didik. Melalui kegiatan
ini, peserta didik akan mengisi waktu luang mereka untuk hal-hal yang bersifat positif,
dan tujuan akhirnya adalah prestasi.
Budaya sekolah yang baik diperlukan peserta didik dalam keseharian mereka.
Hampir sepertiga waktu peserta didik dalam sehari dihabiskan di sekolah. Budaya
sekolah tentu akan mempengaruhi tingkah laku mereka. Sekolah mengupayakan setiap
elemen di lingkungannya berada dalam lingkaran kebaikan, seperti mendorong peserta
didik menjalankan ibadah, kegiatan keagamaan yang konsisten, dan program
pembinaan karakter secara kontinyu. Pada umumnya, sekolah-sekolah di Indonesia
mewajibkan peserta didiknya mengikuti kegiatan ekstrakurikuler Rohani Islam bagi
umat islam, Rohani Kristen bagi umat Kristen, pramuka, dan mentoring. Penulis sendiri
pernah menjadi salah satu pengisi rutin dalam program intrakurikuler di salah satu
SMAN di Jakarta. Kegiatan intrakurikuler ini berupa kegiatan pembinaan akhlak
mentoring, yang kedudukannya lebih tinggi dari kegiatan ekstrakurikuler wajib
(pramuka), sehingga peserta didik diwajibkan mengikuti kegiatan ini.
PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA
Habibah, S. (2015). Akhlak Dan Etika Dalam Islam. Jurnal Pesona Dasar, 1(4), 73–
87.
Ibrahim, T., & Hendriani, A. (2017). Kajian Reflektif Tentang Etika Guru Dalam
Perspektif Ki Hajar Dewantara Berbalut Filsafat Moral Utilitarianism.
Naturalistic: Jurnal Kajian Penelitian Pendidikan Dan Pembelajaran, 1(2), 135–
145.
Meilanie, S. M. (2009). Landasan Ilmu Pendidikan. Jakarta: Tim Dosen MKDK UNJ.
Parinduri, R. A. (2014). Do children spend too much time in schools? Evidence from
a longer school year in Indonesia. Economics of Education Review, 41, 89–104.
https://doi.org/10.1016/j.econedurev.2014.05.001
Rosmiati, Juraid, & Hasan. (2006). Hubungan Sifat Kepribadian Guru IPS Terhadap
Motivasi Belajar Siswa Dalam Proses Pembelajaran Pada MTs. Negeri Di Kota
Palu. Jurnal Katalogis, 4(7), 84–94.
Tas ’adi, R. (2014). Pentingnya Etika Dalam Pendidikan. Jurnal Ta’dib, 17(2), 189–
198. https://doi.org/10.31958/jt.v17i2.272
Tanyid, M. (2014). Etika Dalam Pendidikan: Kajian Etis Tentang Krisis Moral
Berdampak Pada Pendidikan. Jurnal Jaffray, 12(2), 235–250.