Anda di halaman 1dari 12

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

ANALISA GURU PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DALAM

PEMBENTUKAN KARAKTER PESERTA DIDIK KELAS XII DI

MADRASAH ALIYAH NEGERI 2 KAB. TANGERANG

Islam sangat mementingkan pendidikan. Dengan pendidikan yang benar

dan berkualitas, individu-individu yang beradab akan terbentuk yang akhirnya

memunculkan kehidupan sosial yang berakhlak. Sayangnya, sekalipun institusi-

institusi pendidikan saat ini memiliki kualitas dan fasilitas, namun institusi-

institusi tersebut masih belum memproduksi individu-individu yang beradab.

Sebabnya, visi dan misi pendidikan yang mengarah kepada terbentuknya manusia

yang beradab, terabaikan dalam tujuan institusi pendidikan. Penekanan kepada

pentingnya anak didik supaya hidup dengan nilai-nilai kebaikan, spiritual dan

akhlakul karimah seperti terabaikan. Bahkan kondisi sebaliknya yang terjadi.

Saat ini, banyak institusi pendidikan telah berubah menjadi industri bisnis,

yang memiliki visi dan misi yang pragmatis. Pendidikan diarahkan untuk

melahirkan individu- individu pragmatis yang bekerja untuk meraih kesuksesan

materi dan profesi sosial yang akan memakmurkan diri, perusahaan dan Negara.

Pendidikan dipandang secara ekonomis dan dianggap sebagai sebuah investasi.

Gelar dianggap sebagai tujuan utama, ingin segera dan secepatnya diraih supaya

modal yang selama ini dikeluarkan akan menuai keuntungan. Sistem pendidikan

seperti ini sekalipun akan memproduksi anak didik yang memiliki status

pendidikan yang tinggi, namun status tersebut tidak akan menjadikan mereka
sebagai individuindividu yang beradab. Pendidikan yang bertujuan pragmatis dan

ekonomis sebenarnya merupakan pengaruh dari paradigma pendidikan Barat yang

sekular. Lahirnya pendidikan sekular yang pragmatis dan ekonomis tentunya

mempengaruhi pada perilaku anak didik tersebut. Sehingga timbul perilaku-

perilaku tak terdidik, jauh dari sopan santun, tidak mencerminkan siswa yang

berpendidikan.

Terjadinya aksi tawuran yang kian hari semakin menjadi budaya di

kalangan pelajar. Munculnya pelajar-pelajar yang terlibat aksi anarkis dan

kriminal di mediamedia massa adalah bukan berita baru lagi. Lalu akan dibawa

kemana dan dibentuk seperti apa wajah pendidikan ini jika siswa-siswanya kerap

menjadi sasaran berita hangat di masyarakat dan media karena ulah dan perilaku

yang tak beradab dan jauh dari cerminan akhlakulkarimah. Namun yang patut kita

banggakan adalah peran madrasah sebagai lembaga yang senantiasa

mengedepankan akhlakul karimah dalam mendidik siswa-siswanya yang akan

menjadi penyelamat wajah pendidikan bangsa ini di masa sekarang lebih-lebih

lagi di masa yang akan datang. Madrasah yang terbentuk dari pendidikan

pesantren adalah membentuk perilaku-perilaku anak didik menjadi lebih beradab,

lebih santun dan sopan serta tidak termotivasi dan terprovokasi terhadap aksi-aksi

yang tak beradab seperti tawuran pelajar, aksi anarkis, tindakan terorisme yang

sangat meresahkan bangsa ini. Lalu sejauh mana pendidikan di madrasah yang

penuh dengan nilainilai Islam ini mampu membentuk perilaku-perilaku siswanya

dan menanamkan nilai-nilai kesopanan, kesantunan dan akhlakulkarimah pada

siswa-siswanya. Uraian pada latar belakang masalah penulisan ini memberi

dorongan kepada penulis untuk mengetahui dan mencari informasi faktual


mengenai bagaimana sesungguhnya Pendidikan Agama Islam dalam

Pembentukan Karakter.

2.1 Pengertian Spiritual Quotient

Zohar & Marshal dalam menjelaskan kecerdasan spiritual sebagai

kecerdasan untuk menghadapi dan memecahkan persoalan makna dan nilai

yaitu kecerdasan untuk menempatkan perilaku hidup kita dalam makna

yang lebih luas dan kaya, kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan

atau jalan hidup seorang akan lebih bermakna dibandingkan yang lain.

Zohar & Marshall memberikan arti yang berbeda mengenai spiritualitas

dan religiusitas, bahwa spiritualitas tidak berhubungan dengan

religiusitas. Religiusitas terkait agama (religion) yang merupakan dasar-

dasar dengan kehidupan yang membuat hidup individu menjadi teratur,

sedangkan spiritualitas merupakan usaha individu untuk mencapai

tingkat mental tertentu di mana pada kondisi tersebut manusia berusaha

dengan keras untuk menyatu dengan Tuhannya, menyatu dengan alam

semesta dan menyatu dengan energi di sekitarnya.

Spiritualitas merupakan usaha individu untuk mencapai tingkat mental

tertentu di mana paSpiritual Quotien atau kecerdasan spiritual merupakan

kecerdasan dalam memberikan arti hidup sehingga seseorang mampu membuat

tujuan yang mulia.

Orang yang sudah memiliki spritiual quotient yang baik maka ia

mampu menemukan makna dalam setiap kejadian yang terjadi. Ia


berkeyakinan tidak ada kejadian di dunia ini kecuali semua atas kehendak

Allah tuhan yang maha esa.

Ari ginanjar agustian dalam mengatakan bahwa spiritual quotient

adalah aplikasi dari rukun iman dalam islam. Ia mampu mengaplikasikan

bahwa setiap kejadian yang ada adalah bentuk beribadah keada Allah

SWT. Sholat dzikir bahkan bekerja bergaul merupkan ibadah kepada Allah

SWT.

Orang dengan spiritual quotien baik seharusnya memiliki visi yang baik

dalam menghadapai kehidupan ini. Ia mampu menyikapi setiap

kejadian dengan baik. Ketika ia mendapatkan nikmat pandai untuk

bersyukur dan ketika ditimpa musibah ia pandai bersabar. Karena dengan

konsep iman keyainan yang tinggi akan Allah dan takdir bahwa baik buruk itu

dari allah ia menerimanya dengan baik dan menyikapinya sesuai dengan

tuntunan dari Allah SWT. Hal ini sejalan dengan firman Allah SWT :

“Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; "Sesungguhnya jika

kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika

kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat

pedih" (Q.S.Ibrohim ; 7).

2.1.1 Guru Pendidikan Agama Islam

Guru Pendidikan Agama Islam dalam bahasa arab dikenal dengan

sebutan “al mu’alim” atau “al ustadz” yang bertugas memberikan ilmu

pada majelis ta’lim (tempat memperoleh ilmu). Dalam hal ini al mu’alim
atau al ustadz juga mempunyai pengertian orang yang mempunyai tugas

untuk membangun aspek spiritualitas manusia. Peranan guru Pendidikan

Agama Islam selain berusaha memindahkan ilmu, juga harus

menanamkan nilai-nilai agama Islam kepada anak didiknya agar mereka

bisa mengaitkan antara ajaran agama dan ilmu pengetahuan umum.

Diantara peran guru seperti yang dikutip dari E. Mulyasa ialah sebagai

berikut :

1) Guru sebagai pendidik : Guru adalah pendidik, yang menjadi tokoh,

panutan, dan identifikasi bagi para peserta didik, dan lingkunganya.

Oleh karena itu guru harus memiliki standar kualitas yang mencakup

tanggung jawab, wibawa, mandiri dan disiplin.

2) Guru sebagai pengajar: Sejak adanya kehidupan, sejak itu pula guru

telah melaksanakan pembelajaran, dan memang hal tersebut

merupakan tugas yang pertama dan utama. Guru membantu peserta

didik yang sedang berkembang untuk mempelajari sesuatu yang

belum diketahuinya, membentuk kompetensi dan memahami materi

setandar yang dipelajari.

3) Guru sebagai pembimbing: Guru dapat diibaratkan sebagai

pembimbing perjalanan, yang berdasarkan pengetahuan dan

pengalamanya bertanggung jawab atas kelancaran perjalanan itu.

Dalam hal ini, istilah perjalanan tidak hanya menyangkut fisik, tetapi

juga menyangkut perjalanan mental, emosional, kreatifitas, moral

dan spiritual yang lebih dalam dan kompleks.


4) Guru sebagai pelatih, proses pembelajaran memerlukan latihan

keterampilan, baik intelektual maupun motorik sehingga menuntut

guru sebagai pelatih.

5) Guru sebagai penasehat bagi peserta didik, bahkan bagi orang tua

meskipun mereka tidak memiliki latihan khusus sebagai penasehat,

namun dapat sebagai konseling dalam penyelesaian masalah.

6) Guru sebagai model dan teladan,perilaku guru di sekolah selalu

menjadi figur dan dijadikan dalil bagi para siswanya untuk meniru

perilaku tersebut. Hal ini wajar karena peserta didik dalam proses

pembelajaran kadang melakukan modelling untuk mengubah tingkah

lakunya. Sebagai teladan bagi peserta didik dan orang-orang di

sekitarnya, mengharuskan guru melaksanakan kode etik keguruan

yang menjadi dasar berperilaku. Baik dalam interaksinya dengan

kepala sekolah, teman sejawat, bawahan, peserta didik, dan

masyarakat pada umumnya.

Selain itu guru juga berperan sebagai pribadi, peneliti, pendorong

kreatifitas, pembangkit pandangan, pekerja rutin, pemindah kemah,

pembawa cerita, aktor, emansivator, pengawet, kulminator dan evaluator.

2.1.2 Pembentukan Karakter

Karakter dapat diartikan sebagai cara untuk berpikir dan

berperilaku tiap individu untuk hidup dan bersosialisasi, baik dalam

lingkup keluarga, sekolah, masyarakat dan negara. Individu yang

berkarakter baik adalah individu yang dapat membuat keputusan


dan siap mempertanggungjawabkan setiap akibat dari keputusannya.

Islam sebagai agama yang sarat dengan nilai-nilai spiritualitas

memiliki jejak pendidikan karakter yang jelas dan sistematis.

Warsono dkk mengutip Jack Corley dan Thomas Phillip dalam

Samani dan Haryono menyatakan bahwa, karakter dapat didefinisikan

sebagai sikap dan perilaku tiap individu yang bisa mempermudah

tindakan moral. Berdasarkan definisi diatas dapat ditegaskan

bahwa pendidikan karakter merupakan upaya yang dibentuk dan

dilaksanakan secara sistematis dan berkesinambungan supaya peserta

didik dapat memahami nilai perilaku manusia yang berhubungan

dengan semua aspek yaitu: tuhan yang maha esa, diri sendiri,

sesama manusia serta lingkungan yang bisa diwujudkan dalam

pikiran, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma agama, hukum,

budaya, adat istiadat. Dalam konteks pendidikan, pendidikan karakter

merupakan usaha sadar yang dilakukan untuk membentuk peserta

didik supaya bisa menjadi individu yang positif dan berakhlak yang

baik sesuai dengan Standar Kompetensi Lulusan (SKL) sehingga dapat

diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari.

2.3 Manfaat Spiritual Quotient

Untuk mencapai keseimbangan hidup itulah urgensi kecerdasan spiritual

mutlak sangat diperlukan. Dengan SQ diharapkan manusia dapat

mengoptimalkan kecerdasan dan potensi yang dimilikinya. Beberapa manfaat

SQ bagi seseorang adalah:


1) Menumbuhkan perkembangan otak manusia

2) Membangkitkan kreatifitas

3) Memberi kemampuan bersifat fleksibel

4) Menjadikan cerdas secara spiritual dalam beragama

5) Menyatukan interpersonal dan intrapersonal

6) Mencapai perkembangan diri

7) Membedakan antara benar dan salah

2.4 Hal-Hal Yang Membelenggu Spiritual Quotient

Problematika utama yang dihadapi sekolah dalam pelaksanaan evaluasi

pendidikan karakter adalah belum adanya pedoman yang operasional dalam

melakukan evaluasi pendidikan karakter. Sekolah sampai saat ini belum

mempunyai model evaluasi pendidikan karakter yang mampu

mengevaluasi pendidikan karakter peserta didik secara tepat, efisien dan

efektif. Dengan adanya model evaluasi diharapkan sekolah dapat menjaring

informasi tentang keadaan karakter peserta didik saat ini, sehingga dapat

dilakukan perbaikan dengan tepat.

Prinsip pendidikan karakter adalah mendorong lahirnya anak-anak

yang baik, tumbuh dalam karakter yang baik, tumbuh dengan kapasitas dan

komitmennya untuk melakukan berbagai hal yang terbaik dan melakukan

segalanya dengan benar, dan cenderung memiliki tujuan hidup.

Pendidikan karakter yang efektif, ditemukan di lingkungan sekolah yang

memungkinkan semua peserta didik menunjukkan potensi mereka untuk

mencapai tujuan yang sangat penting (Kemendiknas, 2010; Sani et al., 2020).
Realitas di lapangan menunjukkan bahwa banyak sekolah yang

mengatakan bahwa dalam proses pembelajaran sekolah tersebut

menggunakan pembelajaran berbasis pendidikan karakter. Namun pada

praktiknya belum sepenuhnya memenuhi pencapaian tujuan pendidikan

karakter. Meskipun pembelajaran di sekolah sudah merencanakan beberapa

instrumen pendidikan karakter, tetapi hanya sebagai wacana, belum

sampai pada tingkat pelaksanaan atau aplikasi pendidikan karakter yang

diharapkan. Implementasi pendidikan karakter pada sekolah terdiri

atas tiga hal, yaitu pengintegrasian pendidikan karakter dalam (1)

semua materi pembelajaran (intrakurikuler), (2) kegiatan ekstrakurikuler,

dan (3) melalui budaya sekolah.

Namun ternyata strategi ini belum cukup memadai dalam mencapai

keberhasilan pendidikan karakter pada anak didik. Furkan

(2013)menyebutkan bahwa faktor penyebab tidak berhasilnya

implementasi pendidikan karakter adalah (1) pemikiran bahwa unsur duniawi

adalah segalanya, (2) cara pandang ilmu dan teknologi yang keliru, (3)

pendidikan karakter tidak menjadi kebutuhan yang penting, (4) sikap atau

cara hidup yang individual, (5) sikap ingin mendapatkan segala

sesuatunya dengan cepat dan mudah, (6) nilai akademik menjadi ukuran

keberhasilan, (8) masuknya nilai dan cara pandang asing yang tidak dapat

diantisipasi.

Penelitian Williams (2000) mengidentifikasi permasalahan pendidikan

karakter di sekolah, meliputi (1) moralitas adalah masalah pribadi dan harus

diajarkan oleh keluarga dan tempat ibadah, bukan sekolah, (2) masalah moral
sangat individual, sehingga sekolah tidak mungkin mengajarkan hal

tersebut pada anak didik di sekolah, (3) banyak guru tidak memiliki

kompetensi untuk mengajarkan moral pada anak didik, (4) moralitas datang

dari sumber Illahi yang tidak dapat diajarkan dalam konteks sekuler, (5)

pengajaran pendidikan karakter di sekolah akan membuat agama menjadi

bagian dari sekolah, (6) waktu yang diperlukan untuk mengajar karakter

mengorbankan mata pelajaran yang lebih penting. Kurikulum pendidikan

di Indonesia masih sangat mengutamakan pengembangan kecerdasan

rasional (kognitif) dan kurang efektifnya pendidikan nilai dan pembentukan

moral. Fakta menunjukkan: (1) anak belum mendapatkan model yang

dapat menjadi teladan, (2) pendidikan terlalu menekankan pada aspek

intelektual, sehingga pembentukan karakter yang baik terabaikan, (3)

derasnya informasi yang diterima anak tanpa filternilai moral menjadikan

berkembangnya perilaku antisosial yang membuat pudarnya harkat dan

kearifan tradisional (Poerwanti, 2010).

Meskipun hanya kasuistik namun banyak peristiwa perilaku guru yang

dapat menjatuhkan “nama baik” profesi guru. Sebaliknya banyaknya anak

didik yang berperilaku tidak terkendali, pasti yang menjadi “kambing hitam”

adalah guru, padahal 70% hidup anak tersebut ada di luar kendali guru,

yaitu di lingkungan sosial dan rumah mereka. Selain itu, pemandangan

yang ditangkap dalam setiap sudut sekolah, dimana orangtua berkumpul

dan berbincang-bincang antar sesama sambil menunggui anaknya pulang,

temanya selalu tentang “kehebatan” anak mereka pada aspek intelektual

atau kognitif, jarang pembicaraan menyentuh pada “kehebatan” anak


mereka pada aspek moral dan keterampilan. Menurut Huston Pat dalam

Poerwanti (2010), kelemahan yang dihadapi dalam penerapan

pendidikan karakter pada sekolah adalah tidak adanya penerapan pendidikan

karakter secara menyeluruh, melainkan sekadar memenuhi kewajiban

mengajar saja, tanpa mengetahui bagaimana seharusnya.

Kesimpulannya agar pendidikan karakter berjalan optimal

beberapa faktor yang harus diperhatikan diantaranya: (1) sebagian

sekolah belum optimal mengevaluasi implementasi pendidikan karakter,

(2) belum semua guru dapat dijadikan model implementasi nilai-nilai

karakter, (3) sebagian guru belum optimal menanamkan pendidikan

karakter dalam pembelajaran, (4) pengintegrasian nilai-nilai karakter

dalam budaya sekolah belum berjalan dengan baik, dan (5) belum adanya

model evaluasi. Oleh karena itu, Pemerintah (dalam hal ini Kementerian

Pendidikan dan Kebudayaan Nasional) perlu berpikir ulang untuk

menyeleksi kembali nilai-nilai karakter mana yang harus diutamakan

ditanamkan pada peserta didik. Mungkin dalam setiap semester tidak perlu

terlalu banyak, dua atau tiga karakter, tetapi guru dapat fokus

mengintegrasikan dalam proses pembelajaran, sekaligus dapat menilai

secara cermat dan akurat keberhasilan penanaman karakter tersebut,

yaitu dengan mengamati sudah membudaya atau belumnya karakter

tersebut dalam diri peserta didik, atau bahkan sudah terbentuk habits

(kebiasaan) dalam kehidupan sehari-hari mereka. Sedikit tetapi berhasil

sampai pada moral action lebih baik dari pada banyak tetapi hanya sampai

batas moral knowing.

Anda mungkin juga menyukai