Abstrak
Pendidikan agama merupakan sesuatu yang sangat penting dalam pembentukan karakter
seseorang. Bimbingan dan arahannya adalah ajaran agama yang ditujukan agar manusia
mempercayai dengan sepenuh hati akan adanya Tuhan, patuh dan tunduk melaksanakan perintah-
Nya dalam bentuk beribadah, dan berakhlak mulia. Dengan mempelajari pendidikan agama
Islam, diharapkan seseorang dapat memiliki nilai yang baik dalam diri, sehingga dapat
ditranslasikan ke dalam tingkah laku perbuatannya sehari-hari. Selain itu pendidikan agama
Islam juga dapat menjauhkan seseorang untuk melakukan hal yang bathil.
Penerapan Pendidikan Islam dilakukan dengan peningkatan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa
dan akhlak mulia adalah manifestasi dari keimanan yang diyakini setiap orang. Oleh karena itu
keimanan dan ketaqwaan yang menyatu pada diri seseorang akan menghindarkan dari perbuatan-
perbuatan yang bersifat merusak, fitnah, dan membahayakan masyarakat serta sangat berbahaya
bagi persatuan dan kesatuan masa depan bangsa.
Pendidikan Islam sangat penting dalam membentuk dan mengembangkan karakter siswa.
Pendidikan agama, etika dan moral harus saling berintegrasi dan berinteraksi melalui realitas
sosial yang berkembang di masyarakat. Pendidikan yang memuat nilai-nilai keagamaan pada
akhirnya mampu membentuk manusia seutuhnya.
Pendidikan agama sangat penting dalam pengembangan karakter anak bangsa, sehingga
Pendidikan agama harus diberikan pada semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan. Pendidikan
agama Islam yang mendorong peserta didik untuk taat menjalankan ajaran agamanya dalam
kehidupan sehari-hari dan menjadikan agama sebagai landasan etika dan moral dalam berbangsa
dan bernegara.
Pendidikan agama pada hakekatnya merupakan bangunan bawah dari moral bangsa.
Ketentraman hidup sehari-hari di dalam masyarakat tidak hanya semata-mata ditentukan oleh
ketentuan hukum semata, tetapi juga dan terutama didasarkan atas ikatan moral nilai-nilai
kesusilaan serta sopan santun yang didukung dan dihayati bersama oleh seluruh masyarakat.
Terwujudnya kehidupan masyarakat yang berpegang pada moralitas tidak bisa lain kecuali
dengan Pendidikan, khususnya pendidikan agama. Sebab moralitas yang mempunyai daya ikat
dalam masyarakat bersumber dari agama, nilai-nilai agama dan norma-norma agama dalam
bentuknya sebagai akhlak mulia. Agama yang berdimensi ke dalam pada kehidupan manusia
membentuk daya tahan unuk menghadapi sikap dan tingkah laku yang tidak sesuai dengan
ucapan batinnya.
Peranan agama demikian penting bagi tata kehidupan pribadi maupun masyarakat, maka dalam
rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya haruslah bertumpu diatas landasan
keagamaan yang kokoh. Jalan untuk mewujudkan tidak bisa lain kecuali hanyalah dengan
menempatkan pendidikan agama sebagai faktor dasar yang paling penting.
Pendidikan yang dibutuhkan manusia, bukan hanya Pendidikan umum tetapi juga
pendidikan agama Islam, karena pendidikan agama Islam merupakan pilar terpenting dalam
membentuk manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT, sehat jasmani dan rohani.
Tujuan Pendidikan bukan hanya meningkatkan intelektual siswa dengan berbagai ilmu
pengetahuan, melainkan juga sikap mental atau karakter siswa, mendidik akhlak dan jiwa siswa,
menanamkan rasa keutamaan, membiasakan dengan kesopanan, mempersiapkan kehidupan yang
suci, ikhlas dan jujur. Dengan demikian tujuan pendidikan adalah mendidik budi pekerti dan
Pendidikan jiwa.
Pendidikan karakter merupakan sebuah konsep yang ditanamkan kedalam diri seseorang
dan dapat membentuk pribadi seseorang menjadi lebih santun, beradab, serta sehat jasmani dan
rohani, sehingga akan mempunyai watak yang lebih baik dalam kehidupannya. Semakin maju
suatu masyarakat maka akan semakin penting pula adanya Pendidikan bagi pertumbuhan dan
perkembangan anak. Konsep Pendidikan tersebut merupakan harapan agar setiap individu
memiliki kemampuan dalam mengelola dirinya, baik dalam lingkungan belajar, lingkungan
keluarga, ataupun dalam lingkungan sosialnya.
1. Pengertian Karakter
Karakter adalah moralitas, kebenaran, kebaikan, kekuatan, dan sikap seseorang
yang ditunjukkan kepada orang lain melalui tindakan.1 Baik atau buruknya karakter
tergambar dalam moralitas yang dimiliki. Begitu pula dengan kebenaran yang merupakan
perwujudan dari karakter. Suatu kebenaran tidak akan terbangun dengan sendirinya tanpa
melibatkan kehadiran karakter yang menopang segala upaya untuk menegakkan suatu
kebenaran.
Karakter dapat dimaknai sebagai nilai dasar yang membangun pribadi seseorang,
terbentuk baik karena pengaruh hereditas maupun pengaruh lingkungan, yang
membedakannya dengan orang lain, serta diwujudkan dalam sikap dan perilakunya dalam
kehidupan sehari-hari.2
Sutarjo Adisusilo mengungkapkan bahwa karakter adalah seperangkat nilai yang
telah menjadi kebiasaan hidup sehingga menjadi sifat tetap dalam diri seseorang,
misalnya kerja keras, pantang menyerah, jujur, sederhana, dan lain-lain. 3 Dengan karakter
inilah kualitas seoarang pribadi diukur.
Dari beberapa definisi di atas maka dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud
dengan karakter adaah watak sekaligus kepribadian atau perilaku yang tampak dalam
kehidupan sehari-hari baik dalam bersikap maupun dalam bertindak.
Pendidikan karakter secara terperinci memiliki lima tujuan. 4 Pertama, mengembangkan
potensi kalbu/nurani/afektif peserta didik sebagai manusia dan warga Negara yang
memiliki karakter bangsa. Kedua, mengembangkan kebiasaan dan prilaku peserta didik
yang terpuji dan sejalan dengan nilai-nilai universal dan tradisi budaya bangsa yang
religious. Ketiga, menanamkan jiwa kepemimpinan dan tanggungjawab peserta didik
sebagai penerus bangsa. Keempat, mengembangkan kemampuan peserta didik menjadi
manusia yang mandiri, kratif, dan berwawasan kebangsaan. Kelima, mengembangkan
lingkungan kehidupan sekolah sebagai lingkungan belajar yang aman, jujur, penuh
kreativitas dan persahabatn, dan dengan rasa kebangsaan yang tinggi dan penuh
kekuatan.
1
Muhammad Yaumi, 2014, Pendidikan Karakter (Jakarta: Prenadamedia Group), 7.
2
Muchlas Samani dan Hariyanto, 2016, Pendidikan Karakter (Bandung: PT Remaja Rosdakarya Offset), 43.
3
Sutarjo Adisusilo, 2014, Pembelajaran Nilai-Karakter (Jakrta: RajaGrafindo Persada), 78.
4
Said Hamid Hasan, ddk. “ Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa” Bahan Pelatihan Penguatan
Metode Pembelajaran Berdasarkan Nilai-nilai Bangsa, (Jakarta: Puskur Balitbang Kemendiknas, 2010), 7.
Untuk mencapai tujuan dari pendidikan karakter, terdapat tiga tahapan pendidikan
karakter yang harus lampaui, yaitu:
a. Moral Knowing, tahap ini adalah langka pertama dalam pendidika karakter. Dalam
tahap ini diorientasikan pada penguasaan pengetahuan tentang nilai-nilai moral,
kesadaran moral, penentuan sudut pandang, logika moral, pengenalan diri dan
keberanian menentukan sikap. Penguasaan terhadap enam unsur ini menjadikan
peserta didik mampu membedakan nilai-nilai akhlak mulia dan akhlak tercela serta
nilai universal, dan memahami akhlak mulia secara logis dan rasional bukan secara
doktrin.
b. Moral Loving, merupakan penguat aspek emosi manusia untuk menjadi manusia
berkarakter. Penguatan ini berkaitan dengan bentuk sikap yang harus dirasakan oleh
siswa, yaitu percaya diri, empaty, cinta kebenaran, pengendalian diri dan kerendahan
hati. Tahapan ini dimaksudkan untuk menumbuhkan rasa cinta dan rasa butuh
terhadap nilai-nilai akhlak mulia. Jadi, yang menjadi sasaran guru adalah dimensi
emosi, hati, dan jiwa bukan kognitif, logika atau akal.
c. Moral Doing/Acting, merupaka outcome dan puncak keberhasilan peserta didik dalam
pendidikan karakter. Wujud dari tahapan ketiga ini adalah mempraktikkan nilai-nilai
akhlak dalam perilaku sehari-hari.5
Ketiga tahapan di atas perlu disuguhkan kepada peserta didik melalui cara-cara yang
logis, rasional dan demokratis. Sehingga perilaku yang muncul benar-benar sebuah
karakter topeng.
2. Pengertian Pendidikan Islam
Pendidikan Islam adalah usaha sadar untuk membimbing manusia menjadi pribadi
beriman yang kuat secara fisik, mental, dan spiritual, serta cerdas, berakhlak mulia, dan
memiliki ketrampilan yang diperlukan bagi kebermanfaatan dirinya, masyarakatnya, dan
lingkungannya.6
Menurut H.M Arifin, Pendidikan Islam berarti sistem Pendidikan yang dapat
memberikan kemampuan seseorang untuk memimpin kehidupannya sesuai dengan cita-
cita dan nilai-nilai Islam yang telah menjiwai dan mewarnai corak kepribadiannya.
5
Abdul Madji, Pendidikan Karakter Perspektif Islam, (Bandung: Rosdakarya, 2011), 13.
6
Muhammad Hambal Shafwan, 2014, Intisari Sejarah Pendidikan Islam (Solo: Pustaka Arafah), 19.
Dengan kata lain manusia yang mendapatkan pendidikan Islam harus mampu hidup di
dalam kedamaian dan kesejahteraan sebagaimana diharapkan oleh cita-cita Islam 7
Pendapat lain mengatakan bahwa Pendidikan Islam adalah usaha mengubah tingkah laku
individu dalam kehidupan pribadinya atau kehidupan kemasyarakatannya dan kehidupan
dalam alam sekitarnya melalui proses pendidikan.8
Dari beberapa definisi di atas, maka Pendidikan Islam adalah suatu usaha untuk
mengarahkan manusia menjadi bermanfaat, beradab, dan bermartabat dalam menjalankan
kehidupan sesuai dengan ajaran Islam, serta menghasilkan output yang berkarakter baik.
3. Strategi Pengembangan Pendidikan Karakter
Pendidikan karakter pada dasarnya mencakup pengembangan substansi, proses,
dan suasana atau linguknagn yang menggugah, mendorong dan memudahkan seseorang
untuk mengembangkan kebiasaan baik dalam kehidupan sehari-hari. Kebiasaan ini timbul
dan berkembang dengan didasari oleh kesadaran, keyakinan, kepekaan dan sikap orang
yang bersangkutan. Dengan demikian, karakter yang dibangun melalui pendidikan
karakter bersifat inside out, dalam arti perilaku yang berkembang menjadi kebiasaan baik
terjadi karena adanya dorongan dari dalam, bukan adanya paksaan dari luar. 9 Pendidikan
karakter adalah suatu sistem penanaman nilai pada warga sekolah yang meliputi
komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melakukan nilai-
nilai ini.
Pendidikan karakter dalam konteks Indonesia juga menggunakan dua strategi
pengembangan. Yaitu strategi pengembangan karakter secara makro dan strategi
pengemangan karakter secara mikro.
Strategi Pengembangan Karakter secara Makro, Strategi pengembangan karakter
secara makro artinya keseluruhan konteks perencanan dan implementasi pengembangan
nilai/karakter melibatkan seluruh pemangku kepentingan pendidikan nasional. Menurut
Dasim Budimansyah, strategi ini dapat dibagi dalam tiga tahap, yakni perencanaan,
pelaksanaan dan evaluasi hasil.10
7
HM Arifin, 2014, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara), 7.
8
Haidar Putra Daulay, 2014, Pendidikan Islam dalam Perspektif Filsafat (Jakarta: Kencana), 13.
9
Siti Irene Astuti D. “Pendekatan Holistik dan Kontekstual dalam menganalisis krisis karakter di Indonesia” dalam
Cakrawala Pendidikan, (Yogyakarta: UNY, Mei 2010, tahun.XXIX, Edisi Khusus Dies Natalis UNY), 156.
10
Abdul Madjid, Pendidikan, 39. Lihat juga Katresna72, “Grand Design Pendidikan Karakter” dalam Katresna72.
Wordpress.com, Oktober 2010, http://katresna72. Wordpress.com/2010/10/23/grand – design-pendidikan –karakter/.
a. Pada tahap perencanaan dikembangkan perangkat karakter yang digali dan
dirumuskan dengan menggunakan bebagai sumber, antara lain pertimbangan: 1)
filosofis-Agama, pancasila, UUD 1945, UU No 20 Tahun 2003 beserta ketentuan
perundang-undangan turunya (dalam konteks ke Indonesiaan), 2) pertimbangan
teoritis – teori tentang otak, psikologi, nilai dan moral, pendidikan (pedagogic dan
andragogik) dan sosial cultural, dan 3) pertimbangan empiris berupa pengalaman dan
praktik terbaik (best practice), antara lain: tokoh-tokoh, pesantren, sekolah unggulan,
dan kelompok cultural.
b. Pada tahap implementasi dikembangkan pengalaman belajar (learning experiences)
dan proses belajar yang bermuara pada pembentukan karakter dalam diri individu
peserta didik. Proses ini dilaksanakan melalui proses pembudayaan dan
pemberdayaan sebagaimana digariskan sebagai salah satu prinsip penyelenggaraan
pendidikan nasional. Proses ini berlangsung dalam tiga pilar pendidikan: sekolah,
keluarga dan masyarakat. Dalam masing-masing pilar pendidikan akan menanamkan
dua jenis pengalaman belajar dengan dua pendekatan, yakni intervensi dan habituasi.
Melalui intervensi dikembangkan suasana interaksi belajar dan pembelajaran yang
sengaja dirancang untuk mencapai tujuan pembentukan karakter dengan menerapkan
kegiatan yang terstruktur (structure learning experiences). Sementara melalui
habituasi diciptakan situasi dan kondisi (persistence life situation) yang
memungkinkan peserta didik di sekolah, di rumah dan di lingkungan masyarakat
dengan membiasakan diri berperilaku sesuai nilai dan menjadi karakter yang telah
diinternalisasi dan dipersonalisasi dari dan melalui intervensi. Kedua proses ini
intervensi dan habituasi harus dikembangkan secara sistemik dan holistic.
c. Pada tahap evaluasi hasil dilakukan pengukuran (assessment) untuk perbaikan
berkelanjutan yang sengaja diracang dan dilaksanakan untuk mendeteksi aktualisasi
karakter dalam diri peserta didik sebagai indicator bahwa proses pembudayaan dan
pemberdayaan karakter ini berhasil dengan baik.
Strategi Pengembangan Karakter secara Mikro
Secara mikro pengembangan nilai/karakter dapat dibagi dalam empat pilar, yakni
kegiatan belajar megajar di kelas, kegiatan keseharian dalam bentuk penciptaan budaya
sekolah (school culture); kegiatan ko kurikuler atau ekstrakurikuler, serta kegiatan
keseharian di rumah dan di masyarakat. 11 Dalam kegiatan belajar mengajar di kelas
pengembangan nilai/karakter bisa dilakukan dengan menggunakan pendekatan
terintegrasi dalam semua mata pelajaran (embedded approach). Khusus untuk mata
pelajaran agama dan pendidikan kwarganegaraan, karena memang misinya
mengembangkan nilai dan sikap, maka pengembangan nilai/karakter harus menjadi focus
utama yang dapat mengguanakan berbagai strategi/metode pendidikan nilai
(value/character education). Untuk kedua mata pelajaran tersebut nilai karakter
dikembangkan sebagai dampak pembelajaran (instructional effects) dan juga dampak
pengiring (nurturant effect). Sementara itu untuk mata pelajaran lainnya, yang secara
formal memiliki misi utama selain pembangunan karakter, wajib dikembangkan kegiatan
yang memilikidampak pengiring berkembannya karakter dalam diri peserta didik.12
11
Abdul Madjid, Pendidikan, 39. Lihat juga Katresna72, “Grand Design Pendidikan Karakter” dalam Katresna72.
Wordpress.com, Oktober 2010, http://katresna72. Wordpress.com/2010/10/23/grand – design-pendidikan –karakter/.
12
Abdul Madjid, Pendidikan, 39. Lihat juga Katresna72, “Grand Design Pendidikan Karakter” dalam Katresna72.
Wordpress.com, Oktober 2010, http://katresna72. Wordpress.com/2010/10/23/grand – design-pendidikan –karakter/.
Dalam pendidikan karakter di sekolah, semua komponen (pemangku pendidikan)
harus dilibatkan, termasuk komponen pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses
pembelajaran dan penilaian, penanganan atau pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan
sekolah, pelaksanaan aktivitas atau kegiatan ko kurikuler, pemberdayaan sarana
prasarana, pembiayaan dan etos kerja seluruh warga sekolah/lingkungan.
1. Segala kegiatan di sekolah diatur berdasarkan kolaborasi hubungan antar siswa, guru dan
masyarakat.
2. Pembelajaran emosional dan sosial setara dengan pembelajaran akademik
3. Kerjasama dan kolaborasi di antara siswa menjadi hal yang lebih utama dibandingkan
persaingan
4. Nilai-nilai seperti keadilan, rasa hormat, dan kejujuran menjadi bagian pembelaj ran
sehari-hari baik di dalam maupun di luar kelas
5. Siswa diberikan banyak kesempatan untuk mempraktikkan prilaku moralnya melalui
kegiatan-kegiatan seperti pembelajaran memberi pelayanan
6. Disiplin dan pengelolaan kelas menjadi focus dalam memecahkan masalah dibandingkan
hadiah dan hukuman
7. Model pembelajaran yang berpusat pada guru harus ditinggalkan dan beralih ke kelas
demokrasi dimana guru dan siswa membangun kesatuan, norma dan memecahkan
masalah
13
Zubaedi, Desain Pendidikan Karakter Konsep dan Aplikasinya dalam Lembaga Pendidikan, (Jakarta Kencana,
2011), 195-196.
2. Memberi pelatihan bagi guru tentang bagaimana mengintegrasikan pendidikan karakter
ke dalam kehidupan dan budaya sekolah
3. Menjalin kerjasama dengan orang tua dan masyarakat agar siswa dapat mendengar bahwa
perilaku karakter itu penting untuk keberhasilan di sekolah dan di kehidupannya
4. Memberi kesempatan kepada kepala sekolah, guru dan orang tua serta masyarakat untuk
menjadi model pelaku sosial dan moral14
Dari bahasa Latin konflik adalah configura, yang punya arti "tabrakan", termasuk
ketidakcocokan, konflik, perjuangan, oposisi, dan keterlibatan bermusuhan. Dalam
beberapa hal, konflik digambarkan sebagai reaksi seseorang terhadap perasaan terancam,
dengan memakai kekuasaan untuk mempertahankan wilayah dan kepentingannya.
Sementara itu, Robbins menyatakan bahwa konflik adalah proses interaksi yang
berkembang sebagai akibat dari perbedaan dua perspektif yang mempengaruhi orang-
orang yang terlibat, baik secara positif maupun negatif.15
14
Zubaedi, Desain Pendidikan Karakter Konsep dan Aplikasinya dalam Lembaga Pendidikan, (Jakarta Kencana,
2011), 195-196.
15
Yusnia Bini Kholifah, “Manajemen Konflik Perspektif Pendidikan Islam,” Journal PIWULANG 2, no. 1 (2019):
11, https://doi.org/10.32478/piwulang.v2i1.298.
16
Fathorrahman Zahiroh, “Manajemen Konflik Di Lembaga Pendidikan Islam (Studi Kasus Di Madrasah Aliyah
Raudlatul Iman Ganding Sumenep),” AL-IMAN : Jurnal Keislaman Dan Kemasyarakatan 2, no. 2 (2018): 282–302.
Konflik didefinisikan dengan beberapa cara sebagai perbedaan pendapat, persaingan,
atau antagonisme. Ide-ide yang berbeda, bagaimanapun, tidak secara otomatis
menyiratkan keinginan yang berbeda. Karena konflik bermula dari keinginan, perbedaan
pandangan belum tentu dianggap sebagai konflik. Namun, jika perbedaan pendapat tidak
ditangani dengan tepat, perbedaan tersebut dapat meningkat menjadi konfrontasi dan
inkonsistensi yang berbahaya, yang mengakibatkan hilangnya persatuan dan integritas.17
Moral, menurut Bertens, adalah nilai dan konvensi yang menjadi aturan bagi individu
atau masyarakat dan digunakan untuk mengendalikan suatu aktivitas. Sementara itu,
Ensiklopedia Nasional Indonesia mendefinisikan moralitas sebagai bidang filsafat yang
menganalisis dan membahas perilaku manusia. Moral didefinisikan sebagai aturan yang
mengatur bagaimana individu harus berperilaku.19
17
Khoirul Anwar, “Urgensi Penerapan Manajemen Konflik Dalam Organisasi Pendidikan,” Al Fikri: Jurnal Studi
Dan Penelitian Pendidikan Islam 1, no. 2 (2018): 31–38.
18
Ahmad Efendi, Syamsu Nahar, and Ali Imran, “Implementasi Pendidikan Akhlak Dalam Pembentukan
Kepribadian Muslim Di Mts Ex- Pga Proyek Universitas Alwashliyah Medan,” At-Tazakki: Jurnal Kajian Ilmu
Pendidikan Islam Dan Humaniora 1, no. 1 (2017): 27–39.
19
Syafruddin Muhtamar and Muhammad Ashri, “Dikotomi Moral Dan Hukum Sebagai Problem Epistemologis
Dalam Konstitusi Modern,” Jurnal Filsafat 30, no. 1 (2020): 123, https://doi.org/10.22146/jf.42562.
Untuk itu, moralitas dapat didefinisikan sebagai kualitas perilaku seseorang yang
terkait dengan ukuran yang ada di masyarakat, terutama dalam hal perilaku baik atau
jahat. Moralitas bukanlah sesuatu yang diterima sejak lahir, melainkan tumbuh dan
berkembang di lingkungan.
Konflik diklasifikasikan menjadi dua jenis: konflik horizontal, yang terjadi di semua
aspek kehidupan sosial, dan yang dialami masyarakat dengan pemerintah sebagai konflik
vertikal. Konflik dalam pelaksanaannya ada dua jenis, yaitu secara batin dan sosial.
Konflik secara batin bermanifestasi dalam perasaan, tapi dapat menyebabkan perilaku
agresif dan iritasi. Sedangkan masalah sosial dapat menimbulkan konflik fisik, bentrokan,
tawuran, dan konflik militer. Contoh konflik sosial dan moral di Indonesia yang
mengakibatkan kekacauan, huru hara, dan memakan korban antara lain.20
Terdapat berbagai contoh konflik di Indonesia, seperti konflik sosial kasus Tegal dan
Cilacap, konflik anak putus sekolah untuk membantu orang tuanya, konflik Indonesia-
Malaysia, konflik pembakaran lima gereja di Situbondo oleh massa karena
kesalahpahaman, dan konflik perbedaan opini umat Islam, konflik perbedaan Idul fitri,
sengketa Poso, tawuran pelajar, konflik Pilkada, liberalisasi politik, isu penistaan agama
yang menyulut ketidakpuasan umat Islam sejak akhir 2016 hingga sekarang, dan konflik
Covid-19 yang telah mempengaruhi sebagian besar dunia. Konflik moral terjadi dalam
perselisihan ketika individu atau kelompok memiliki perbedaan terhadap sesuatu hal,
seperti keyakinan, pengetahuan, dan nilai yang dipegang teguh, termasuk yang digunakan
untuk membuat penilaian tentang pengalaman dan perspektif orang lain. Apa pun
bentuknya, setiap perselisihan dijamin akan berdampak pada masyarakat.
Konflik sosial yang terjadi, apa pun penyebabnya, akan merugikan semua pihak,
terutama kalangan bawah, sehingga yang diperlukan adalah proses revitalisasi dan
reformasi nilai-nilai pendidikan Islam, dengan prioritas sebagai berikut. Pertama,
pemahaman agama secara fungsional, dengan membentuk nuansa keagamaan terintegrasi
dengan kehidupan, sehingga agama masih dapat dirasakan dan difungsikan dalam
20
Syamsu Ridhuan, “Enam Watak Manusia Indonesia Dalam Perspektif Bela Negara, Konflik Sosial Dan
Pembangunan Masyarakat,” in SENDI: Seminar Nasional Multi Disiplin Ilmu, vol. 4, 2018, 978–79.
kehidupan. Kedua, perlunya sikap menerima agama, dengan nilai-nilai fundamental yang
secara sengaja dibina melalui pendidikan Islam baik secara intelektual maupun
humanistik.