Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Saat ini pendidikan karakter baik di sekolah maupun di lingkungan rumah


anak sangat kurang. Hal ini dapat sangat dirasakan dengan semakin
banyaknya pejabat yang melakukan korupsi, para siswa dan mahasiswa yang
selalu menyontek saat ujian, pelanggaran peraturan saat berlalu lintas dan
lain-lain.

Pendidikan karakter sebaiknya di tanamkan dalam diri anak pada usia dini.
Karena sesuatu yang sudah di biasakan mulai dari kecil, akan menjadi
penentu sikap anak kelak supaya tidak ikut-ikutan gaya atau tindakan yang
berbau negatif dan memiliki sifat kejujuran serta budi pekerti yang luhur.

UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas menyatakan bahwa


Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk
watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar
menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga.

Berangkat dari hal tersebut diatas, secara formal upaya menyiapkan


kondisi, sarana/prasarana, kegiatan, pendidikan, dan kurikulum yang
mengarah kepada pembentukan watak dan budi pekerti generasi muda bangsa
memiliki landasan yuridis yang kuat. Namun, sinyal tersebut baru disadari
ketika terjadi krisis akhlak yang menerpa semua lapisan masyarakat. Tidak
terkecuali juga pada anak-anak usia sekolah. Untuk mencegah lebih parahnya
krisis akhlak, kini upaya tersebut mulai dirintis melalui pendidikan karakter
bangsa.

1
Dalam pemberian pendidikan karakter bangsa di sekolah, para pakar
berbeda pendapat. Setidaknya ada tiga pendapat yang berkembang.

Pertama, bahwa pendidikan karakter bangsa diberikan berdiri sendiri


sebagai suatu mata pelajaran. Pendapat kedua, pendidikan karakter bangsa
diberikan secara terintegrasi dalam mata pelajaran PKn, pendidikan agama,
dan mata pelajaran lain yang relevan. Pendapat ketiga, pendidikan karakter
bangsa terintegrasi ke dalam semua mata pelajaran.

Menyikapi hal tersebut diatas, penulis lebih memilih pada pendapat yang
ketiga. Untuk itu dalam makalah ini penulis mengambil judul
"PENTINGNYA PENDIDIKAN KARAKTER ".

1.2 Rumusan Masalah

1. Apakah yang dimaksud dengan pendidikan karakter?


2. Apa saja fungsi, tujuan, dan media pendidikan karakter?
3. Mengapa pendidikan karakter itu penting?
4. Apa saja ruang lingkup pendidikan karakter?
5. Bagaimana pengembangan disiplin mahasiswa di kampus?
6. Apa yang dimaksud kemandirian?
7. Bagaimana cara mendidik aspek karakter?
8. Apa yang dimaksud kompetensi keprofesionalan yang berkarakter?
9. Bagaimana peran pendidikan dalam menanaman karakrter?

1.3 Tujuan Makalah

1. Dapat memahami apa itu pendidikan karakter.


2. Dapat mengetahui apa saja fungsi, tujuan, dan media pendidikan karakter.
3. Dapat memahami pentingnya pendidikan karakter.
4. Dapat mengetahui apa saja ruang lingkup pendidikan karakter.
5. Bagaimana pengembangan disiplin mahasiswa di kampus?
6. Dapat memahami karakter kemandirian.
7. Dapat memahami cara mendidik aspek karakter.
8. Dapat mengetahui apa itu kompetensi keprofesionalan yang berkarakter.

2
9. Dapat memahami peran pendidikan dalam penanaman karakter.

3
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Pendidikan Karakter

Pendidikan Karakter merupakan suatu sistem penanaman nilai-nilai


karakter kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan,
kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai
tersebut, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa (YME), diri sendiri, sesama,
lingkungan, maupun kebangsaan sehingga menjadi manusia insan kamil.

Dalam pendidikan karakter di sekolah, semua komponen (stakeholders)


harus dilibatkan, termasuk komponen-komponen pendidikan itu sendiri, yaitu
isi kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian, kualitas hubungan,
penanganan atau pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan sekolah,
pelaksanaan aktivitas atau kegiatan ko-kurikuler, pemberdayaan sarana
prasarana, pembiayaan, dan ethos kerja seluruh warga dan lingkungan
sekolah.

Terlepas dari berbagai kekurangan dalam praktik pendidikan di Indonesia,


apabila dilihat dari standar nasional pendidikan yang menjadi acuan
pengembangan kurikulum (KTSP), dan implementasi pembelajaran dan
penilaian di sekolah, tujuan pendidikan di SMP sebenarnya dapat dicapai
dengan baik. Pembinaan karakter juga termasuk dalam materi yang harus
diajarkan dan dikuasai serta direalisasikan oleh peserta didik dalam
kehidupan sehari-hari. Permasalahannya, pendidikan karakter di sekolah
selama ini baru menyentuh pada tingkatan pengenalan norma atau nilai-nilai,
dan belum pada tingkatan internalisasi dan tindakan nyata dalam kehidupan
sehari-hari.

Pendidikan menurut UU SISDIKNAS adalah usaha sadar dan terencara


untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta
didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya, untuk memiliki kekuatan
spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak

4
mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan
negara.

Kemudian, pengertian karakter dikemukakan oleh beberapa tokoh adalah


sebagai berikut.

1. Koesoema A
Mengemukakakan bahwa karakter sama dengan kepribadian.
Kepribadian adalah ciri atau karakteristik, gaya atau sifat khas dari diri
seseorang yang bersumber dari bentukan-bentukan yang diterima dari
lingkungan;
2. Suyanto
Mengemukakakan bahwa karakter adalah cara berfikir dan berperilaku
yang menjadi ciri khas individu untuk hidup dan bekerjasama baik dalam
lingkup keluarga, masyarakat, bangsa dan negara.
3. Scerenko
Mengemukakakan bahwa karakter sebagai atribut atau ciri-ciri yang
membentuk dan membedakan ciri pribadi, etis, kompleksitas mental
seseorang dengan orang lain;
4. Helen G. Douglas
Mengemukakakan bahwa karakter tidak diwariskan, tetapi sesuatu
yang dibangun secara berkesinambungan hari demi hari melalui pikiran
dan perbuatan, pikiran demi pikiran, perbuatan demi perbuatan.
Istilah karakter dihubungkan dengan istilah etika, ahlak, dan atau nilai
dan berkaitan dengan kekuatan moral, berkonotasi positif, bukan netral.
Sedangkan Karakter menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008)
merupakan sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang
membedakan seseorang dari yang lain.
5. Lickona
Mengemukakakan bahwa pendidikan karakter dapat didefinisikan
sebagai segala usaha yang dapat dilakukan untuk mempengaruhi karakter
siswa. Tetapi untuk mengetahui pengertian yang tepat, dapat
dikemukakan di sini definisi pendidikan karakter yang menyatakan bahwa

5
pendidikan karakter adalah suatu usaha yang disengaja untuk membantu
seseorang sehingga ia dapat memahami, memperhatikan, dan melakukan
nilai-nilai etika yang inti.

2.2 Tujuan, Fungsi, dan Media Pendidikan Karakter

2.2.1 Tujuan Pendidikan Karakter

Pada intinya, pendidikan karakter bertujuan membentuk bangsa yang


tangguh, kompetitif, berakhlak mulia, bermoral, bertoleransi tinggi,
bergotong royong, berjiwa patriotik, berkembang dinamis, berorientasi
ilmu pengetahuan dan teknologi yang semuanya dijiwai oleh iman dan
takwa kepada Tuhan yang Maha Esa berdasarkan Pancasila.

2.2.2 Fungsi Pendidikan Karakter

Pendidikan karakter berfungsi untuk mngembangkan potensi dasar


agar berhati baik, berpikiran baik, dan berperilaku baik. Memperkuat
dan membangun perilaku bangsa yang multikultur, serta meningkatkan
peradaban bangsa yang kompetitif dalam pergaulan dunia.

2.2.3 Media Pendidikan Karakter

Pendidikan karakter dilakukan melalui berbagai media yang


mencakup keluarga, satuan pendidikan, masyarakat sipil, masyarakat
politik, pemerintah, dunia usaha, dan media massa.

2.3 Pentingnya Pendidikan Karakter

Pendidikan karakter adalah pendidikan yang bertujuan untuk membangun


sebuah karakter seseorang untuk menjadi lebih baik dan pendidikan ini
penting bagi setiap orang, yang dimana karakter tersebut lah yang akan
mendominasi sifat atau identitas dari orang tersebut. Pendidikan karakter
pertama kali dicetuskan oleh pedagog jerman F.W.Foerster (1869-1966).

6
Pendidikan karakter ini menekankan etis spiritual untuk membentuk
pribadi yang baik. Tujuan pentingnya pendidikan karakter menurut Foester,
adalah untuk pembentukan karakter yang terwujud dalam kesatuan esensial
antara subjek dengan prilaku dan sikap yang dimilikinya.

Karakter merupakan pengualifikasi pribadi seseorang yang memberikan


kesatuan dan kekuatan terhadap keputusan yang diambilnya. Oleh karena itu
karakter menjadi semacam identitas dari seseorang. Pendidikan karakter
menawarkan sebuah konteks yang integral dan mampu mengatasi
kepentingan dan keterbatasan diri sendiri. Pendidikan karakter juga
merupakan hak dan kewajiban setiap warga negara.

2.4 Ruang Lingkup Pendidikan Karakter

Pendidikan karakter yang baik, harus melibatkan bukan saja aspek


pengetahuan yang baik (moral knowing), tetapi juga merasakan dengan baik
atau loving the good (moral feeling) dan perilaku yang baik (moral action).

Pendidikan karakter dilakukan melalui berbagai media, yaitu keluarga,


satuan pendidikan, masyarakat, pemerintah, dunia usaha, dan media massa.

Proses pendidikan karakter didasarkan pada totalitas psikologis yang


mencakup seluruh potensi individu manusia (kognitif, afektif, psikomotorik)
dan fungsi totalitas sosiokultural pada konteks interaksi dalam keluarga,
satuan pendidikan serta masyarakat. Pada Gambar 2.1 berikut disajikan
keterkaitan diantaranya.

7
Gambar 2.1 Konfigurasi Pendidikan Karakter (Kemendiknas, 2011:9)

Berdasarkan gambar tersebut di atas, konfigurasi karakter dalam konteks


totalitas proses psikologis dan sosial-kultural dapat dikelompokkan dalam:
olah hati, olah pikir, olah raga/kinestetik, serta olah rasa dan karsa.

Proses itu secara holistik dan koheren memiliki saling keterkaitan dan
saling melengkapi, serta masing-masingnya secara konseptual merupakan
gugus nilai luhur yang di dalamnya terkandung sejumlah nilai.

2.5 Pengembangan Disiplin Mahasiswa di Kampus

Cara pengembangan disiplin mahasiswa dapat dibagi menjadi tiga cara,


yaitu:

1. Mendisiplinkan dengan Otoriter

Peraturan dan pengaturan yang keras untuk memaksakan perilaku yang


diinginkan menandai semua jenis disiplin yang otoriter. Tekniknya
mencakup hukuman yang berat bila terjadi kegagalan memenuhi standar
dan sedikit, atau sama sekali tidak adanya persetujuan, pujian atau tanda-
tanda penghargaan lainnya bila anak memenuhi standar yang diharapkan.

2. Mendisiplinkan dengan Permisif

Disiplin permisif berarti sedikit disiplin atau tidak disiplin. Biasanya


disiplin permisif tidak membimbing ke pola perilaku yang disetujui secara
sosial dan tidak menggunakan hukuman. Dalam hal ini tidak diberi batas-
batas atau kendala yang mengatur apa saja yang boleh dilakukan, mereka
diijinkan untuk mengambil keputusan sendiri dan berbuat sekehendak
mereka sendiri.

3. Mendisiplinkan dengan Demokratis

Metode demokratis menggunakan menggunakan penjelasan, diskusi


dan penalaran untuk membantu anak mengerti mengapa perilaku tertentu

8
diharapkan. Metode ini lebih menekankan aspek edukatif dari disiplin
daripada aspek hukuman. Disiplin demokratis menggunkan hukuman dan
penghargaan. Hukuman tidak pernah keras dan biasanya tidak berbentuk
hukuman badan.

2.6 Karakter Kemandirian

Kata kemandirian” berasal dari kata” diri” yang mendapatkan awalan “ke”
dari akhiran “an”yang kemudian membentuk suatu kata keadaan atau kata
benda.

Karena kemandirian berasal dari kata dasar “diri”, maka pembahasan


mengenai kemandirian tidak dapat dilepaskan dari pembahasan mengenai
perkembangan “diri” itu sendiri.

Karakter kemandirian adalah proses yang menyangkut unsur-unsur


normatif. ini mengandung makna bahwa kemandirian merupakan suatu proses
yang terarah. karena perkembangan kemandirian sejalan dengan hakikat
eksistensial manusia, maka arah perkembangan tersebut harus sejalan dengan
dan berlandaskan pada tujuan hidup manusia.

Menurut Yamin dan Jamilah (2013, hlm. 65) karakter kemandirian


merupakan suatu sikap individu yang diperoleh kumulatif selama masa
perkembangan, dimana individu akan terus belajar untuk mandiri dalam
memghadapi berbagai situasi di lingkungan, sehingga individu tersebut pada
akhirnya akan mampu berfikir dan bertindak sendiri.

Menurut Abu Ahmadi dan Nur Uhbiyati (1990, hlm. 13) Karakter
kemandirian belajar adalah belajar mandiri, tidak menggantungkan diri
kepada orang lain, siswa dituntut untuk memiliki keaktifan dan inisiatif
sendiri dalam belajar, bersikap, berbangsa maupun bernegara. Menurut
Stephen Brookfield (2000, hlm. 130-133) mengemukakan bahwa karakter
kemandirian belajar merupakan kesadaran diri, digerakkan oleh diri sendiri,
kemampuan belajar untuk mencapai tujuannya.

9
Dari ketiga pengertian karakter kemandirian belajar diatas maka dapat
diambil kesimpulan bahwa kemandirian belajar adalah kondisi aktifitas
belajar yang mandiri tidak tergantung pada orang lain, memiliki kemauan
serta bertanggung jawab sendiri dalam menyelesaikan masalah belajarnya.

Kemandirian belajar akan terwujud apabila siswa aktif mengontrol sendiri


segala sesuatu yang dikerjakan, mengevaluasi dan selanjutnya merencanakan
sesuatu yang lebih dalam pembelajaran yang dilalui dan juga mau aktif dalam
proses pembelajaran.

Ada beberapa ciri khas anak mandiri menurut (tim pustaka Familia 2006)
antara lain:

a. memiliki kecenderungan memecahkan masalah daripada berkutat dalam


kehawatiran bila terlibat masalah,
b. Tidak takut mengambil resiko karna telah mempertimbangkan baik
buruknya,
c. Percaya terhadap penilaian diri sehingga tidak sedikit-sedikit minta
bantuan atau bertanya pada orang lain,
d. Mempunyai kontrol yang baik terhadap hidupnya.

Karakter kemandirian anak ini dapat di ukur melalui indikator-indikator


yang menunjukkan pedoman atau acuan dalam melihat dan mengevaluasi
perkembangan dan pertumbuhan anak.

Yamin dan Jamilah (2013, hlm. 68) menyebutkan ada 7 indikator karakter
kemandirian anakyaitu: kemampuan fisik, percaya diri, bertanggung jawab,
disiplin, pandai bergaul, saling berbagi dan mengendalikan emosi.

2.7 Aspek-aspek Pendidikan Karakter

1. Aspek Moralitas

John Dewey berpendapat bahwa pendidikan moral menjadi hal yang


utama bagi misi setiap sekolah. Pandangan Dewey ini dilatarbelakangi

10
oleh realitas sosial yang semakin kompleks, di satu sisi, dan fungsi serta
tujuan pendidikan di sisi lain.

Pandangan Dewey di atas menunjukkan bahwa memang pertama kali


dan yang paling utama dalam pendidikan adalah pendidikan moral. Oleh
karena itu, di dalam pendidikan karakter terdapat aspek utama yang
bahkan menjadi unsur utama dari keberadaan pendidikan karakter yaitu
pendidikan moral atau moralitas itu sendiri.

J. Drost Menjelaskan, “Budi pekerti adalah karakter, akhlak, dan juga


nama untuk membentuk karakter itu. Menurut Jrost, pendidikan budi
pekerti tidak diajarkan sebagaimana mata pelajaran lainnya. Oleh karena
itu, budi pekerti bukan bahan pengajaran. Menurut Jrost proses
pembelajaran budi pekerti sepenuhnya merupakan proses interaksi yang
baik dan membangun antara siswa dengan gurunya. Proses interaksi dapat
diawali dari pengalaman, dan kemudian diakhiri dengan refleksi. Guru dan
siswa bersama-sama melihat, merasakan, atau mengikuti suatu
pengalaman tertentu kemudian guru dan siswa melakukan refleksi
terhadap apa yang dipahami dari pengalaman tersebut. Itulah proses
bentuk pembelajaran budi pekerti (Drost, 2006: 35-37).

Namun demikian, pendidikan karakter tidak semata-mata dibebankan


kepada hanya pendidikan nilai, karena pendidikan nilai lebih menekankan
pada dimensi pengembangan sisi kognitif atas nilai sementara pendidikan
karakter lebih diarahkan pada pengembangan sisi afektif dan motorik atas
nilai. Moral dapat diklasifikasi sebagai berikut.

1. Moral sebagai ajaran kesusilaan, berarti segala sesuatu yang


berhubungan dengan tuntutan untuk melakukan perbuatanperbuatan
baik dan meninggalkan perbuatan jelek yang bertentangan dengan
ketentuan yang berlaku dalam suatu masyarakat.
2. Moral sebagai aturan, berarti ketentuan yang digunakan oleh
masyarakat untuk menilai perbuatan seseorang apakah termasuk baik
atau sebaliknya buruk.

11
3. Moral sebagai gejala kejiwaan yang timbul dalam bentuk perbuatan,
seperti: berani, jujur, sabar, gairah, dan sebagainya. Dalam terminologi
Islam, pengertian moral dapat disamakan dengan pengertian “akhlak”
dan dalam bahasa Indonesia moral dan akhlak maksudnya sama dengan
budi pekerti atau kesusilaan (Kamus Besar bahasa Indonesia, 1994;
192). Jika dibandingkan dengan gunung es, persconality ethic nampak
dipermukaan sementara character ethic merupakan fondasi bagian
bawah dari gunung yang kadang tidak kelihatan namun memiliki fungsi
yang menyokong kokohnya suatu personality ethic (Soedarsono, 2004:
51).

2. Aspek Religiusitas

Pandangan Soedarsono di atas menunjukkan bahwa pembangunan


karakter diri menjadi kunci utama dalam proses pembelajaran pendidikan
karakter. Oleh karena itu, dalam proses pengembangan pendidikan
karakter tidak cukup ditangani oleh sekolah dan materi pembelajaran
tertentu.

Di sisi lain, materi-materi pembelajaran yang ada di dalam kurikulum


pendidikan karakter di atas juga menjadi bagian dari “ajaran” dan nilai-
nilai yang diusung di dalam agama. Oleh karena itu, salah satu aspek yang
tidak dapat dilepaskan dari muatan konsep, kurikulum, dan pembelajaran
pendidikan karakter adalah aspek keagamaan atau religiusitas, baik dalam
wujud, ajaran, prinsip moral, maupun value yang diusung. Bahkan, agama
dapat menjadi sumber yang tidak akan ada habis-habisnya dalam
membangun rumusan, konsep, gagasan, dan bahan ajar pendidikan
karakter.

Hal senada dikemukakan oleh Michael Novak. Menurutnya, proses


identifikasi tentang karakter tidak dapat dilepaskan dari tradisi keagamaan,
sebagaimana dikutip oleh Lickona (Lickona, 199l: 51). Meskipun sekadar
menunjukkan posisi agama, pandangan Novak di atas menegaskan bahwa
agama tidak dapat dilepas sama sekali dari perbincangan tentang karakter.

12
Posisi agama dalam pendidikan karakter di samping menjadi fondasi
juga menjadi kontributor bagi rumusan tolok ukur batasan-batasan good
character yang dimaksudkan. Tanpa menempatkan agama sebagai salah
satu aspek dalam menimbang rumuskan pendidikan karakter akan
menjadikan pendidikan karakter kering dari nuansa-nuansa dinamis di
dalamnya.

Namun demikian, mesti juga dipertimbangkan bahwa karakter manusia


baik dalam konteks individu maupun sosial menunjukkan kompleksitas
disorientasinya sehingga muncul manusia-munusia yang tidak berkarakter.
Kondisi demikian, ketika didalami juga tidak lepas dari dimensi
pemahaman keagamaan yang mereka anut. Oleh karena itu, di samping
aspekaspek positif eksistensi agama dalam proses pendidikan karakter,
juga perlu ditelaah lebih mendalam persoalan-persoalan yang muncul dari
proses doktrinasi agama dalam pembentukan karakter.

Atas persoalan di atas, Azyumardi menekan pentingnya upaya


menyambung kembali hubungan dan educational network antara agama
dan kebudayaan, termasuk di dalamnya tentunya pendidikan (Azyumardi
Azra, 2007).

Dalam perspektif agama, pendidikan terkait dengan suatu nilai


ketuhanan (theistic). Untuk itu, pendidikan merupakan perpaduan antara
keunggulan spiritual dengan kultural.

Dengan demikian, manusia yang berkomitmen beragama, sebagai


wujud ketaatan terhadap ajaran agama, akan mendorong terbentuknya
kepribadian yang memiliki good character baik dalam konteks individual
maupun sosial.

Dari paparan di atas, dapat disederhanakan bahwa aspek agama dalam


konsep dan rumusan pendidikan karakter dapat menjadi sumber inspiratif,
episteme, dan bahkan ruang, atau media, sebagaimana ditulis oleh Imam
Suprayogo (2007) bagi pendidikan karakter.

13
3. Aspek Psikologi

Aspek lain yang tidak kalah pentingnya dalam melihat pendidikan


karakter adalah aspek psikologi, karakter inheren di dalam dimensi
psikologis manusia. Melihat dan memahami serta memproyeksikan suatu
karakter tanpa melihat dimensi kejiwaan manusia akan muspro karena
rancangan bangun karakter manusia ada dan berfondasi pada dimensi
kejiwaan manusia. Dimensi ini dalam pandangan Lickona sebagai bentuk
dari the emotional side of character. Menurutnya, sisi emosional karakter
seperti sisi intelektual yang sangat terbuka untuk dikembangkan baik di
lingkungan sekolah maupun di keluarga.

Lickona menjelaskan aspek-aspek emosional dalam proses perumusan


dan pengembangan pendidikan karakter adalah sebagai berikut;

(1) consciousness atau kesadaran,

(2) self-esteem atau percaya diri,

(3) empathy (rasa peduli pada orang lain),

(4) loving the good, mencintai kebaikan,

(5) self-control, jaga diri, dan

(6) humility, terbuka.

Aspek di atas tentu tidak merepresentasi keseluruhan dimensi


psikologis manusia. Hal yang lebih penting justru menunjukkan bahwa
pemaknaan atas dimensi psikologis lebih mendalam lebih mengena. Hal
yang terkait, misalnya tentang proses pembelajaran pendidikan karakter
yang betul-betul membutuhkan ruang psikologis yang lebih mapan.

Alasannya, menurut Lickona, pembelajaran karakter lebih kompleks


dibandingkan mengajarkan matematika atau membaca, pembelajaran

14
karakter terkait dengan dimensi-dimensi tumbuh kembang psikologis
manusia (Lickona, 1991: 336).

Dengan paparan di atas, dimensi psikologis yang dimaksud di sini tidak


menitikberatkan pada aliran psikologi mana yang dimaksud. Dimensi
psikologis lebih dimaknai bahwa pendidikan karakter baik dalam arti
rumusan materi pembelajaran maupun rumusan dan praktek pembelajaran
yang dilakukan oleh pendidik tidak lepas dan jangan sampai mengabaikan
prinsipprinsip psikologis yang ada. Jika prinsip-prinsip psikologis
diabaikan, dari sisi konsep dan materi pendidikan karakter akan
mengaburkan rumusan pendidikan karakter itu sendiri.

2.8 Kompetensi Keprofesionalan yang Berkarakter

Kompetensi profesional adalah seperangkat kemampuan dan ketrampilan


terhadap penguasaan materi pelajaran secara mendalam, utuh dan
komprehensif.

Sebagai contoh, seorang guru di era globalisasi ini yang harus dihadapi
guru dengan mengedepankan profesionalismenya antara lain:

1. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang begitu cepat dan


mendasak,
2. Krisis moral yang melanda Indonesia, akibat pengaruh IPTEK dan
globalisasi telah terjadi pergeseran nilai-nilai yang ada dalam kehidupan
masyarakat,
3. Krisis sosial, seperti kriminalitas, kekerasan, pengangguran, dan
kemiskinan yang terjadi dalam masyarakat. Akibat perkembangan industri
dan kapitalisme, maka muncul masalah-masalah sosial dalam masyaraka,
4. Krisis identitas sebagai bangsa dan Negara Indonesia. Guru professional
harus mampu menyesuaikan diri secara responsive, arif, dan bijaksana
terhadap tantangan global tersebut sehingga mampu berperan dalam
menghasilkan pendidikan berkualitas dan berkarakter.

15
2.9 Peran Pendidikan dalam Penanaman Karakter

Tujuan pendidikan adalah untuk pembentukan karakter yang terwujud


dalam kesatuan esensial antara subyek dengan perilaku dan sikap hidup yang
dimilikinya.

Bagi Foerster (dalam Koesoema, 2005), karakter merupakan sesuatu yang


mengualifikasi seorang pribadi. Tujuan pendidikan adalah untuk
pembentukan karakter yang terwujud dalam kesatuan esensial si subyek
dengan perilaku dan sikap hidup yang dimilikinya. Bagi Foerster, karakter
merupakan sesuatu yang mengualifikasi seorang pribadi.

Sistem pendidikan yang ada di Indonesia terlalu banyak berorientasi


dengan pengembangan otak kiri (kognitif), serta kurang mengembangkan
otak kanan (afektif, empati, dan rasa). Padahal pengembangan karakter lebih
berkaitan dengan optimalisasi otak kanan. Mata pelajaran yang berkaitan
dengan otak kanan pun (seperti budi pekerti, agama) pada prakteknya lebih
banyak mengoptimalkan otak kiri (seperti “hapalan”, atau hanya sekedar
tahu).

Padahal pembentukan karakter harus dilakukan secara sistematis dan


berkesinambungan yang melibatkan aspek “knowledge, feeling, loving, dan
acting”. Pembentukan karakter dapat diibaratkan sebagai pembentukan
seseorang menjadi body builder (binaragawan) yang memerlukan “latihan
otot-otot akhlak” secara terus menerus agar menjadi kokoh dan kuat.

Thomas Lickona (1991) mendefinisikan orang yang berkarakter sebagai


sifat alami seseorang dalam merespons situasi secara bermoral—yang
dimanifestasikan dalam tindakan nyata melalui tingkah laku yang baik, jujur,
bertanggung jawab, menghormati orang lain dan karakter mulia lainnya.
Pengertian ini mirip dengan apa yang diungkapkan oleh Aristoteles, bahwa
karakter itu erat kaitannya dengan “habit” atau kebiasaan yang terus menerus
dilakukan.

16
Menurut Berkowitz dkk.(1998), kebiasaan berbuat baik tidak selalu
menjamin bahwa manusia yang telah terbiasa tersebut secara sadar
(cognition) menghargai pentingnya nilai-nilai karakter (valuing). Misalnya
seseorang yang terbiasa berkata jujur karena takut mendapatkan hukuman,
maka bisa saja orang ini tidak mengerti tingginya nilai moral dari kejujuran
itu sendiri. Oleh karena itu, pendidikan karakter memerlukan juga aspek
emosi. Oleh Lickona (1991), komponen ini adalah disebut “desiring the
good” atau keinginan untuk berbuat baik.

Sebagian besar kunci sukses menurut hasil penelitian mutakhir


sesungguhnya lebih banyak ditentukan oleh pemberdayaan otak kanan
(kecerdasan emosi) daripada otak kiri (kecerdasan intelektual). Namun
ternyata kurikulum di sekolah justru sebaliknya. Hal ini menjadi sumber
kerawanan bagi anak, seperti melakukan tawuran, terjerumus pada narkoba,
dan lain-lain. Hal ini dikarenakan anak merasa terlalu terbebani dan stres.

17
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Pendidikan karakter sangat penting diterapkan demi mengembalikan


karakter bangsa Indonesia yang sudah mulai luntur. Dengan dilaksanakannya
pendidikan karakter di sekolah dasar, diharapkan dapat menjadi solusi atas
masalah-masalah sosial yang terjadi di masyarakat. Pelaksanaan pendidikan
karakter di sekolah dapat dilaksanakan pada ranah pembelajaran (kegiatan
pembelajaran), pengembangan budaya sekolah dan pusat kegiatan belajar,
kegiatan ko-kurikuler dan atau kegiatan ekstrakurikuler, dan kegiatan
keseharian di rumah dan di masyarakat.

3.2  Saran

Sebaiknya para orang tua, para pendidik dan pemerintah lebih menerapkan
pendidikan karakter kepada para anak atau anak didiknya agar mereka
menjadi generasi yang mempunyai akhlak yang baik,baik di lingkungan
masyarakat maupun keagamaan.

18
DAFTAR PUSTAKA

https://www.ilmusaudara.com/2017/04/pengertian-pendidikan-krakter-
tujuan.html?m=1

https://www.kompasiana.com/amp/fatiiim/pentingnya-pendidikan-karakter-
dalam-dunia-pendidikan_590ff69fa5afbd8508fef994

https://wasis79.wordpress.com/artikel/pendidikan/konsep-pendidikan-karakter/

https://www.slideshare.net/irzaghozaly/makalah-konsep-dasar-pendidikan-
karakter

http://ruangkelas-kreatif.blogspot.com/2011/07/tujuan-fungsi-dan-media-
pendidikan.html

https://media.neliti.com/media/publications/135140-ID-aspek-aspek-dalam-
pendidikan-karakter.pdf

https://enjangwahyuningrum.wordpress.com/2010/01/03/peran-pendidikan-dalam-
membangun-karakter/

http://ruangkelas-kreatif.blogspot.com/2011/07/tujuan-fungsi-dan-media-
pendidikan.html

Lickona, Thomas, (1991), Educating for Character How Our Schools Can Teach
Respect and Responsibility, New York: Bantam Books.

Koesuma. (2005). dikutip dalam Duniaesai.com/pendidikan karakter.

http://anastassyanazii.blogspot.com/2017/12/makalah-disiplin-dikalangan-
mahasiswa.html

19
SOAL

1. "Budi pekerti adalah karakter, akhlak, dan juga nama untuk membentuk
karakter itu.” Siapakah tokoh yang mengemukakan pendapat tersebut...
A. J.Drost D. J. L. Elias
B. Yamin dan jamilah E. T. Ramli Zakaria
C. Paul Suparno

Jawaban: A

2. Konfigurasi karakter dalam kontek totalitas proses psikologis dan sosial-


kultural dapat dikelompokkan menjadi 4. Salah satunya adalah olah pikir yang
berarti...
A. Gigih D. Ramah
B. Reflektif E. Rela berkorban
C. Jujur

Jawaban: B

3. Lickona menjelaskan aspek-aspek emosional dalam proses perumusan dan


pengembangan pendidikan karakater. Berikut ini yang bukan aspek yang
dijelaskan oleh Lickona adalah...
A. Consciousness D. Perturbed
B. Self esteem E. Loving the good
C. Empathy

Jawaban: D

4. Yang bukan merupakan 7 indikator karakter kemandirian anak menurut Yamin


dan Jamilah, yaitu…
A. Kemampuan fisik D. Mengendalikan emosi
B. Pandai bergaul E. Ramah
C. Disiplin

Jawaban: E

20
5. Menurut Aristoteles, karakter itu berkaitan erat dengan…
A. Aspek religious D. Aspek psikologi
B. Kecerdasan intelektual E. Semua jawaban salah
C. Habit (kebiasaan)

Jawaban: C

21

Anda mungkin juga menyukai