Anda di halaman 1dari 19

PSIKOLOGI POSITIF DAN ISLAM

DALAM PENDIDIKAN ISLAM


Makalah Ini Diajukan Untuk Memenuhi Tugas
Mata Kuliah Psikologi Islam

Disusun Oleh:

Nama : Ragil Sernanda Putri


NIM : 2000013253
Dosen : Dr., Ahmad Muhammad Diponegoro

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS AHMAD DAHLAN
YOGYAKARTA
2023
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur marilah kita panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala
limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga saya bisa menyelesaikan makalah
ini tanpa hambatan yang berarti. Tak lupa sholawat serta salam kita curahkan
kepada baginda Nabi Muhammad SAW yang telah membawa cahaya terang
benderang dari kegelapan jaman jahiliah. Saya selaku penyusun makalah yang
berjudul “Psikologi Positif dan Islam dalam Pendidikan Moral” mengucapkan
terima kasih kepada dosen mata kuliah Psikologi Islam yakni Bapak Dr., Ahmad
Muhammad Diponegoro yang telah memberikan ilmunya kepada saya sehingga
saya dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik dan tepat waktu.
Demikianlah yang dapat saya sampaikan, saya menyadari bahwa dalam
penyusunan
makalah ini masih jauh dari kata sempurna, baik dari segi penyusunan, bahasa,
maupun penulisan. Oleh karena itu, saya mengharapkan kritik dan saran yang
membangun, guna menjadi acuan dalam bekal pengalaman bagi saya agar lebih
baik di masa yang akan datang. Serta saya berharap makalah ini dapat
bermanfaat untuk menambah pengetahuan serta wawasan bagi para pembaca.

Bantul, 31 Mei 2023

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pencetus psikologi positif Seligman menjelaskan bahwa kebajikan telah
digunakan oleh para filsuf dan ilmuwan sosial untuk menjelaskan berbagai
karakteristik manusia, termasuk dasar-dasar perkembangan manusia, unsur-
unsur karakter, dan tujuan pendidikan moral (Seligman, 2011). Bagi ahli teori
kebajikan (virtue), kebajikan adalah “. . . dipahami sebagai keadaan karakter
yang mapan, berkaitan dengan perilaku terpuji dalam bidang kehidupan
manusia yang signifikan (Kristjánsson, 2015).
Perspektif seperti ini mengasumsikan setidaknya beberapa kesamaan
lintas budaya dan konteks untuk identifikasi dan pemahaman tentang
kebajikan. Apakah kesamaan ini disebabkan oleh interaksi sejarah dan
budaya antara budaya Barat, Timur, dan Asia dan teks etika, perluasan
praktik pendidikan Barat, atau sesuatu yang secara fundamental universal
tentang apa yang membentuk perkembangan manusia.
Menurut Islam, moral memang sudah terbentuk sejak nabi Adam ada.
Dalam kisah Adam, Alloh menjelaskan moral yang buruk dari Iblis, yang
berlaku sombong, tidak mau sujud kepada Adam, atau tidak mau menaati
perintah Allah. Kebajikan yang ada dalam kisah Adam, adalah kemauan
untuk belajar, kemudian mengakui kesalahan dan bertobat serta minta
ampun.
Sekarang ada dukungan yang muncul, bahwa sejumlah kebajikan atau
virtues, memiliki relevansi dan pengakuan lintas budaya yang luas atau diakui
oleh berbagai budaya. misalnya kejujuran, kasih sayang, dan bersyukur
(misalnya, McGrath, 2014; Niemiec, 2013). Meskipun beberapa kebajikan
dapat diakui dan didukung dalam berbagai budaya atau agama, tapi ada
masalah dalam penerapan. Atau kurang jelas apakah penerapan reflektif dari
kebajikan untuk masalah sosial tertentu. Apakah juga menampilkan elemen
yang bersifat umum. Mungkin individu dalam berbagai konteks memiliki
pemahaman yang sama tentang kebajikan namun memiliki interpretasi
khusus tentang bagaimana suatu kebajikan paling baik diterapkan dalam
situasi kehidupan nyata.
Kembali ke Islam, dari Adam hingga nabi Muhammad saw, terjadi
perkembangan moral yang semakin sempurna. Nabi Muhammad saw sendiri
menyatakan bahwa sesungguhnya saya diutus untuk menyempurnakan
akhlak yang mulia. Apakah Ada Bukti untuk Pemahaman Bersama (antar
negara atau antar budaya) tentang Kebajikan?
Bukti bahwa deskripsi tentang moral kebajikan yang digunakan di
Amerika Serikat mungkin memiliki kegunaan dalam latar budaya lain, tapi
tidak sama persis, bahkan mungkin memiliki penafsiran yang berbeda.
Misalnya tentang kasih sayang.
Munculnya psikologi positif, yang saat ini banyak membicarakan dan
meneliti masalah moral, karakter dan kebajikan, telah memfokuskan kembali
perhatian pada penelitian ilmiah perbedaan individu yang positif (Seligman &
Csikszentmihalyi, 2000). Sejumlah besar literatur yang berkembang di bidang
ini telah menunjukkan kemampuan karakteristik psikologis positif untuk
memprediksi berbagai bentuk kesejahteraan (misalnya, Park, Peterson, &
Seligman, 2004) serta kinerja (Harzer & Ruch, 2014; Park & Peterson, 2006).
Bagaimana inventarisasi moral kebajikan dan model kekuatan
karakternya dari psikologi positif dapat diterapkan pada bidang pendidikan
moral dengan pertimbangan filosofis moral. Pendidikan Moral Membantu
perkembangan siswa dan menjadi salah satu tujuan terpenting di bidang
pengembangan manusia dan pendidikan (Han, 2015a; Seligman, 2011)
Penelitian terbaru tentang pendidikan moral menekankan bahwa
pengembangan aspek moralitas manusia yang lebih beragam, seperti
pengaruh moral, empati, motivasi, dan sifat karakter keseluruhan
mempromosikan perilaku moral selain pengembangan penalaran moral, yang
telah digarisbawahi dalam pendidikan moral tradisional, diperlukan untuk
fungsi moral yang optimal (Bebeau, 2002a; Han, 2014; Sanderse, 2012).
Selanjutnya, pendidik moral mulai fokus pada bagaimana mempromosikan
perkembangan dan perkembangan remaja yang positif, yang juga telah
digarisbawahi oleh psikolog positif, dengan menggunakan ide dan alat dalam
psikologi positif untuk pendidikan moral (Han, 2015a, 2015b; Kristjánsson,
2013). Jadi, dalam tulisan ini, saya akan mempertimbangkan bagaimana
menerapkan konsep dan alat yang dikembangkan dalam psikologi positif
untuk pendidikan moral. Ini tepat waktu karena mempromosikan
perkembangan pemuda yang positif dan berkembang di kalangan siswa telah
menjadi topik sentral dalam pendidikan moral. Inventarisasi Kekuatan VIA
dan model VIA (Peterson & Seligman, 2004), yang telah dikembangkan oleh
psikolog positif untuk mengoperasionalkan dan mengukur kekuatan karakter
di antara individu secara sistematis (Niemiec, 2013). Istilah VIA awalnya
adalah singkatan dari “Values in Action”. Karena model VIA adalah salah satu
alat yang paling banyak digunakan untuk mempelajari kekuatan karakter
yang berpotensi menjadi dasar karakter moral (Niemiec, 2013).

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud moral dalam kajian psikologi?
2. Bagaimana kebajikan bisa dijadikan sebagai tujuan pendidikan islam?

C. Tujuan
1. Mengetahui penjelasan moral dalam kajian psikologi.
2. Mengetahui penjelasan bahwa tujuan dari pendidikan moral adalah suatu
kebajikan.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Psikologi Positif
Psikologi sebagai salah satu cabang ilmu yang memfokuskan kajian
dalam perilaku manusia selama dekade terakhir mulai beranjak dari topik
bahasan gangguan jiwa dan penyakit mental. Kini psikologi mulai berpindah
haluan pada variabel-variabel psikologis yang dapat meningkatkan
kesejahteraan mental dari dasar ‘kenormalan’. Lahirlah gerakan psikologi
positif (positive psychology) yang mengutamakan potensi positif manusia
agar dapat beradaptasi dan mengaktualisasikan dirinya di lingkungan dengan
optimal sehingga mendapatkan kehidupan yang baik (good life) (Hamdan,
2018).
Sebagai salah satu disiplin ilmu pengetahuan, psikologi merupakan
disiplin ilmu yang oleh sementara kalangan dianggap sebagai entitas dari
representasi keilmuan yang bersifat empiris-realistis sehingga hanya mungkin
didekati dengan pendekatan objektif. Sifatnya yang objekti itulah yang
menjauhkannya dari disiplin lmu keagamaan. Bahkan, di kalangan sebagian
psikolog ada anggapan bahwa spiritualitas agama sebagai penyebab
kemandekan ilmu pengetahuan. Sebaliknya, ilmu pengetahuan dalam
perspektif sebagian kaum agamawan merupakan ancaman terhadap dogma
agama (Nurdin, 2021).
Psikologi positif merupakan cabang psikologi yang bertujuan mencapai
pemahaman ilmiah tentang fungsi manusia yang positif dan mengembangkan
intervensi yang efektif untuk membantu individu, keluarga, komunitas, dan
masyarakat mencapai kesejahteraan. Singkatnya, psikologi positif adalah
studi ilmiah tentang apa yang memungkinkan individu dan komunitas untuk
berkembang melalui pengambangan potensi positif untuk mencapai
kesejahteraan (Hude et al., 2020).
Poin penting dari psikologi positif adalah fokus pembahasannya yang
memandang manusia sebagai sosok yang positif, sehingga melihat manusia
tidak hanya melulu permasalahan psikologis yang dihadapinya. Tetapi
terdapat fokus yang dinilai lebih penting, yaitu aspek positif misalnya well-
being, fully functioning, dan kesehatan mental (Nurdin, 2021).
Oleh karena itu salah satu tema yang paling awal dibahas oleh psikologi
positif adalah mengenai kebahagiaan (happiness). Seligman, melalui
bukunya Authentic Happiness (2002), mulai menggali apa itu kebahagiaan
manusia serta upaya mengukurnya. Konsep kebahagiaan yang bersifat
abstrak semakin berkembang menjadi konsep yang terukur, salah satunya
diturunkan menjadi konsep Well Being yang kini banyak berkembang menjadi
penelitian di bidang psikologi pada abad 21 (Hamdan, 2018).

B. Konsep Kebahagiaan menurut Psikologi Positif


Berdasarkan pandangan psikologi positif, kebahagiaan atau happiness
adalah suatu cara hidup yang dapat membuat individu memenuhi segala
potensinya dan mampu bergerak kearah kehidupan manusia yang baik. Oleh
karena itu kebahagiaan tidak hanya bergantung pada kenikmatan (pleasure),
kekayaan (wealth) dan kepercayaan agama (religious beliefs) saja (Hamdan,
2018).
Menurut Seligman, psikologi positif membawa individu melewati sisi area
kesenangan dan kepuasan (pleasure and gratification), naik ke dataran tinggi
yang penuh kekuatan dan kebajikan (strength and virtue), dan akhirnya ke
puncak pemenuhan yang abadi: makna dan tujuan (meaning and purpose)
(Seligman, 2002). Setiap jenis kebahagiaan pasti terkait dengan emosi
positif, namun dari kutipannya, dapat dilihat bahwa di dalam pikirannya,
terdapat perkembangan dari jenis kebahagiaan pertama, yaitu kesenangan
atau kepuasan, menjadi kekuatan atau kebajikan, dan akhirnya makna atau
tujuan.
Dalam teori kebahagiaan sejati Seligman, terdapat tiga jalan menuju
kebahagiaan: kehidupan yang menyenangkan (the pleasant life), kehidupan
yang terlibat (the engaged life), dan kehidupan yang bermakna (the
meaningful life) (Tandler et al., 2020).
1. Have a pleasant life (life of enjoyment).
Milikilah hidup yang menyenangkan, dapatkan kenikmatan sebanyak
mungkin. Ini mungkin cara yang ditempuh oleh kaum hedonis. Tapi jika ini
cara yang individu tempuh, hati-hati dengan jebakan hedonic treadmill
(semakin kita mencari kenikmatan, semakin kita sulit dipuaskan) dan
jebakan habituation (kebosanan karena terlalu banyak, misalnya; makan
es krim pada jilatan pertama sangat nikmat, tapi pada jilatan keduapuluh,
kita jadi pengin muntah). Tapi pada takaran yang pas, cara ini bisa sangat
membahagiakan (Nurdin, 2021).

2. Have a good life (life of engagement)


Dalam bahasa Aristoteles disebut eudaimonia, yaitu terlibatlah dalam
pekerjaan, hubungan atau kegiatan yang membuat individu mengalami
“flow”. Individu akan merasa terserap dalam kegiatan itu, seakan-akan
waktu berhenti bergerak, individu bahkan tidak merasakan apapun,
karena sangat “khusyu”. Fenomena ini diteliti secara khusus oleh rekan
Seligman, Mihaly Csikzentmihalyi. dan memberikan tujuh ciri-ciri kita
dalam kondisi flow (Nurdin, 2021):
a. Sepenuhnya terlibat pada apa yang kita lakukan (focused,
concentrated, dan khusyu’).
b. Merasakan a sense of ecstasy (seperti berada di luar realitas sehari-
hari).
c. Memiliki kejernihan yang luar biasa (benar-benar memahami apa
yang harus dikerjakan dan bagaimana mengerjakannya).
d. Menyadari bahwa tantangan pekerjaan yang sedang individu hadapi
benar-benar dapat dia atasi (bahwa skill yang kita miliki cukup
memadai untuk mengerjakan tugas tersebut).
e. Merasakan kedamaian hati (tidak ada kekhawatiran dan merasakan
diri kita sedang bertumbuh melampaui ego individu sendiri).
f. Terserap oleh waktu (karena khusyu’ mengerjakan dan benar-benar
terfokus pada “saat ini dan di sini”, waktu seakan-akan berlalu tanpa
terasa).
g. Motivasi Intrinsik (dimana merasakan “flow” itu sendiri sudah
merupakan hadiah yang cukup berharga untuk melakukan pekerjaan
itu).

3. Have a meaningful life (life of contribution)


Milikilah hidup dimana ditempuh dengan cara memiliki semangat
melayani, berkontribusi dan bermanfaat untuk orang lain atau mahluk lain.
Menjadi bagian dari organisasi atau kelompok, tradisi atau gerakan
tertentu. Merasa hidup kita memiliki makna yang lebih tinggi dan lebih
abadi dibanding diri kita sendiri. Dengan demikian tujuan utama psikologi
positif tidak hanya untuk memperbaiki. Namun juga membangun kembali
kualitas dengan positif kemudian dirasa penting dan sangat aplikatif untuk
digunakan disegala konteks profesional psikologi (Nurdin, 2021).
Dalam pengembangan teorinya, Martin Seligman merancang model
PERMA untuk mengkonseptualisasikan faktor-faktor utama yang
berkontribusi terhadap kesejahteraan. Elemen-elemen ini dikejar demi
kepentingan individu sendiri dan didefinisikan serta diukur secara
independen satu sama lain. (Seligman, 2012). Penelitian telah
menemukan hubungan positif antara komponen PERMA dan peningkatan
kesehatan dan kepuasan hidup (Kern et al., 2014).
a. Positive Emotions
Emosi Positif lebih dari sekadar kebahagiaan. Emosi positif
meliputi harapan, kegembiraan, cinta, kasih sayang, hiburan, dan rasa
syukur. Emosi positif adalah indikator utama untuk berkembang
(Fredrickson, 2001) dan dapat dikembangkan. Namun, bukan berarti
indiivdu harus menekan emosi negatif. Sebaliknya, individu dapat
menerima semua pengalaman emosional, tapi mengekspos diri pada
situasi dimana emosi positif muncul secara alami.

b. Engagement
Menurut Seligman, keterlibatan menyatu dengan musik.
Keterlibatan mirip dengan konsep aliran. Hal ini mengacu pada
hilangnya kesadaran diri dan penyerapan penuh dalam suatu
aktivitas. Hal ini berarti fokus penuh pada tugas yang sedang
dikerjakan.
c. Relationships
Hubungan mencakup semua interaksi yang dilakukan individu
dengan pasangan, teman, anggota keluarga, dan komunitas mereka
secara luas. Bagian dari model ini mengacu pada perasaan didukung,
dicintai, dan dihargai oleh orang lain.
d. Meaning
Makna didefinisikan sebagai rasa memiliki dan melayani sesuatu yang
lebih besar dari diri kita sendiri. Memiliki tujuan membantu individu
untuk fokus pada apa yang penting dalam menghadapi tantangan
atau kesulitan yang signifikan (Seligman, 2012).
e. Accomplishments
Rasa pencapaian merupakan hasil dari menguasai suatu usaha
dan bekerja untuk mencapai tujuan. Pencapaian berkontribusi pada
kesejahteraan karena individu dapat melihat kehidupan mereka
dengan rasa bangga.

C. Psikologi Positif dalam Psikologi Islam


Psikologi Islam lahir sebagai alternatif aliran psikologi yang menjadi
koreksi ilmu psikologi dalam melihat realitas eksistensi manusia secara lebih
utuh. Maksud dari koreksi di atas adalah bahwa psikologi Islam membawa
paradigma manusia sempurna yang berasal dari landasan wahyu Allah SWT.
Psikologi Islam perlu merestrukturisasi bangunan ilmu psikologi sehingga
menjadi komprehensif. Psikologi dalam perspektif Islam adalah kajian ilmiah
terhadap jiwa atau rohaniah manusia dalam perspektif ajaran Islam. Nilai-nilai
Islam menjadi tolak ukur gambaran kejiwaan manusia yang diamati melalui
berbagai tingkah lakunya (Hamdan, 2018).
Dalam memandang kebahagiaan, maka konsep Islam merujuk
kebahagiaan dari kata aflaha dalam Al-Qur’an. Berdasarkan empat surat
dalam Al-Qur’an yang mengandung kata tersebut yakni QS Thaha (20) ayat
64, QS Al-Mu’minun (23) ayat 1, QS Al-‘Alaa (87) ayat 14 dan QS Asy-Syam
(91) ayat 9 yang memiliki kata aflaha dimana kata tersebut selalu didahului
oleh kata penegas qad, sehingga berbunyi “Qad Aflaha” yang mengandung
arti “sungguh berbahagia”. Kata ini merupakan derivasi dari akar kata falah.
Bagi umat muslim, seruan falah ini diperdengarkan lima kali dalam sehari
melalui kalimat azan, “Hai ya alal falah! Raihlah kebahagiaan/kemenangan”.
Dengan kata lain bahwa Islam menyerukan umatnya untuk menggapai
kebahagiaan (Hamdan, 2018).
Konsep kebahagiaan dari psikologi positif memandang bahwa bahagia
sinonim dengan well-being yang terukur melalui kehidupan emosi positif
(positive affect) serta kepuasan hidup (life satisfaction) yang dirasakan
individu serta indikator-indikator kebahagian individu. Hal ini berbeda dengan
konsep kebahagiaan dari psikologi Islam. Al-Qur’an dan Hadist memandang
bahwa dunia bersifat sementara sehingga tujuan hidup manusia
sesungguhnya mengejar kebahagiaan kekal yaitu kebahagiaan akhirat.
Perbedaan antara kebahagiaan yang diusung psikologi positif dengan
psikologi Islam yang juga terlihat dari batasan atau definisi mengenai
kebahagiaan, tujuan kebahagiaan, hubungan kebahagiaan dengan
religiositas, sumber atau faktor pembentuk, indikator kebahagiaan, upaya
peningkatan kebahagiaan dalam sisi personal dan setting keluarga (Nurdin,
2021).

D. Karakter Strengths dan Virtues dalam Tinjuan Psikologi Positif


Kekuatan dan kebajikan berfungsi untuk melawan kemalangan dan
gangguan psikologis, dan bisa jadi merupakan kunci untuk membangun
ketahanan (Seligman, 2002).
Asal-usul proyek ini dapat ditemukan dalam Authentic Authentic
Happiness, dimana Seligman menyerukan kebangkitan karakter sebagai
"central concept to the scientific study of human behavior" dan "core
assumption of Positive Psychology". Seruan ini ditanggapi oleh Peterson dan
program penelitian yang diprakarsai dan diarahkan oleh kedua psikolog ini
segera mengarah pada pengembangan dari klasifikasi Values in Action (VIA)
dalam karakter kekuatan dan kebajikan (Banicki, 2014).
Peterson dan Seligman secara eksplisit menyatakan bahwa klasifikasi
mereka "didasarkan pada tradisi filosofis yang panjang yang berkaitan
dengan moralitas yang dijelaskan dalam istilah kebajikan," sebuah tradisi
yang mereka hubungkan dengan tokoh-tokoh seperti Socrates, Plato,
Aristoteles, Agustinus, dan Aquinas. Para penulis membuat referensi eksplisit
ke makalah terobosan oleh Anscombe (1958) dan mengklaim bahwa etika
kebajikan, setidaknya bagi seorang psikolog, "jauh lebih menarik" daripada
alternatif yang didasarkan pada konsep hukum moral. Sayangnya, alasan
rasionalnya sangat sederhana; tampaknya untuk mengatakan bahwa
"kebajikan berkaitan dengan orang dan kehidupan yang mereka jalani".
Dengan demikian, orang mungkin berasumsi, kebajikan jauh lebih rentan
terhadap interpretasi psikologis yang lugas dan meyakinkan daripada hukum
moral (Banicki, 2014).
Berdasarkan paradigma positif tentang potensi manusia di atas para
pendiri psikologi positif berupaya mengembangkan kebajikan dan kekuatan
karakter. Dalam karya momental Character Strengths and Virtues, Seligman
dan Peterson (2004) merumuskan enam inti kebajikan atau “core virtue”
yakni: kebijaksanaan dan pengetahuan (wisdom and knowledge), keberanian
(courage), keadilan (justice), kemanusiaan (humanity), kesederhanaan
(temperance), transenden (transcendence) (Hude et al., 2020).
Klasifikasi Kekuatan Karakter (Peterson & Seligman, 2004).
Virtues Kekuatan Karakter
Wisdom and 1. Kreativitas (orisinalitas dan kepintaran)
Knowledge 2. Keingintahuan (ketertarikan, kebaruan, keterbukaan
terhadap pengalaman)
3. Keterbukaan atau open mindedness (pertimbangan
dan kritis)
4. Cinta belajar
5. Perspektif (bijaksana)
Courage 1. Berani (valor)
2. Ketekunan (perseverance dan industriousness)
3. Integritas (autentik dan kejujuran)
4. Vitalitas (gairah, antusiasme, semangat, energik)
Humanity 1. Cinta
2. Kebaikan (kemurahan hati, pemeliharaan, perawatan
dan kasih sayang)
3. Kecerdasan sosial atau social intelligence
(kecerdasan emosi, emotional intelligence dan
personal intelligence)
Justice 1. Kewarganegaraan (tanggung jawab osial, loyalitas,
kerjasama tim)
2. Kesetaraan (fairness)
3. Kepemimpinan
Temperance 1. Kemaafan (forgiveness) dan belas kasih
2. Kerendahan hati dan kesopanan
3. Kehati-hatian (prudence)
4. Regulasi diri atau self-regulation (kontrol diri atau
self-control)
Transendenc 1. Penghargaan keindahan dan keunggulan
e (kekaguman/ awe, takjub / wonder, pujian/ elevation)
2. Kesyukuran atau gratitude
3. Harapan (optimisme, berpikir masa depan, dan
orientasi masa depan)
4. Humor (playfulness)
5. Spiritualitas (agama, iman dan tujuan)

Enam inti kebajikan ini bersifat universal. Semuanya merupakan tolok


ukur yang menentukan kekuatan karakter positif manusia. Semua karakter
kekuatan ini dibangun berdasarkan asumsi bahwa kekuatan manusia tidak
bersifat sekunder terhadap kelemahan, ilusi atau epiphenomenal; kekuatan
karakter manusia dapat dipahami secara ilmiah; masing-masing individu
memiliki karakter kekuatan yang berbeda-beda; karakter manusia lebih mirip
dengan sifat, tapi dapat dipengaruhi oleh faktor lingkungan lingkungan (Hude
et al., 2020).

E. Moral dalam Psikologi


Moral secara umum didefinisikan oleh para ahli psikologi sebagai sikap
dan keyakinan seseorang yang membantu orang untuk memutuskan apa
yang benar dan salah. Lebih lanjut Hook menyatakan bahwa konsep
moralitas itu sendiri dipengaruhi oleh aturan dan norma budaya dimana
seseorang dibesarkan, sehingga terinternalisasi dalam diri seseorang.
Moralitas bukanlah bagian dari "perlengkapan standar" ketika seseorang
dilahirkan, karena seseorang dilahirkan tanpa moral. Dalam Al Qur'an, moral
sering disebut sebagai akhlak (Masitah, 2019).
Moralitas merupakan istilah yang mengacu pada prinsip-prinsip yang
bertindak sebagai pedoman dalam proses membuat penilaian sosial, yaitu
memutuskan apa yang benar atau apa yang salah. Setiap individu memiliki
nilai-nilai moral, yang memainkan peran kunci dalam mengembangkan
perilaku manusia (Singh et al., 2021).
Dalam kehidupan masyarakat Barat-sekuler, ajaran agama tidak harus
memainkan peran penting dalam prinsip bermoral. Bahkan tokoh sekuler
Nowell-Smith menyatakan bahwa "that religious morality is infantile"
(“moralitas religius kekanak-kanakan”). Menurutnya, manusia modren
berkembang melalui serangkaian pemahaman sadar akan moral, dan
berinteraksi dengan moralitas orang dewasa. Dia menambahkan bahwa
moralitas Kristen hanya bisa dikategorikan sebagai peniru yang merupakan
salah satu tahap awal proses perkembangan manusia. Meskipun demikian
moralitas adalah serangkaian perilaku yang dipelajari dari lingkungan dan
pengalaman, pemahaman individu tentang moralitas berubah sepanjang
proses kedewasaan dan oleh karena itu tidak memerlukan bimbingan ajaran
Tuhan. Dia berpendapat bahwa moralitas Kristen terbelakang, sikap religius
memiliki karakteristik yang diperlukan dalam perkembangan anak-anak,
namun tidak sesuai untuk orang dewasa (Safrilsyah et al., 2017).
Perkembangan moral didefinisikan sebagai kualitas, keluasaan dan
stimulasi sosial. Kohlberg menjelaskan bahwa logika dan moralitas
berkembang melalui tahapan-tahapan konstruktif. Pandangan dasar ini
Kohlberg memperluas, dengan menentukan bahwa proses perkembangan
moral sangat erat hubunganya dengan keadilan dan perkembangannya
selama kehidupan. Pada umumnya sekolah, memengaruhi
perkembangannya moral melalui program pembelajaran, selanjutnya menurut
Coles, perkembangan moral tidak berkembang dengan sendirinya. Semakin
dini moral diajarkan maka semakin besar kapasitas anak mencapai karakter
yang solid, yaitu growing to think, believe, and act morally (Tadjuddin, 2018).
Pertimbangan moral merupakan proses kognitif yang memerlukan
pertimbangan moral yang tidak hanya melibatkan pertimbangan sosial-
kognitif namun juga pertimbangan normatif yang melibatkan masalah moral.
Sementara penilaian moral adalah proses seseorang mencapai keputusan
tentang sesuatu yang berkaitan dengan dilema moral (Safrilsyah et al., 2017).
Menurut Islam, pertimbangan moral adalah melibatkan persoalan ijtihad
yang telah ditentu kan dalam syariat Islam. Ijtihad adalah suatu pertimbangan
akal untuk membuat sesuatu keputusan apabila tidak ada sebarang petunjuk
melalui al-Quran atau al-Hadith (al-Qardawi, 2002). Pertimbangan akal yang
dimaksudkan oleh al-Qardawi (1992) ialah pertimbangan antar sesama al-
Masalih (kebaikan), antar sesama al-mafasid (keburukan dan kerosakan) dan
pertimbangan antar al-masalih dan al-mafasid. Oleh karena itu, pertimbangan
moral dalam Islam adalah proses penalaran yang berasal dari kebebasan
berfikir dan ketajaman akal (Aswati Hamzah, 2007). Definisi ijtihad adalah
adalah sebuah usaha yang dilakukan dengan sungguh-sungguh untuk
memutuskan suatu perkara yang tidak dibahas dalam Al-Qur'an dan Hadist
dengan syarat menggunakan akal sehat dan juga pertimbangan matang
(Safrilsyah et al., 2017).
Al-Quran adalah rujukan utama dalam menjalani kehidupan seorang
muslim. Di dalamnya terdapat banyak ayat yang mengajarkan tentang moral.
Namun di dalam Al Qur'an moral disebut dengan kata akhlak. Pengertian
moral dalam Islam dari segi bahasa berasal dari kata khuluq yang berarti budi
pekerti, perangai, atau tabiat. Maksud ini tertuang dalam sabda Aisyah terkait
moral Rasulullah SAW yang artinya "moral (Rasulullah) adalah al-Quran".
Moral Rasulullah yang dimaksudkan dalam perkataan di atas adalah
keyakinan, kepercayaan, pendirian, sikap dan perilaku Rasulullah SAW yang
kesemuanya itu merupakan implementasi dari ajaran Al-Qur'an. Moral dalam
Islam dilakukan dengan tuntunan yang terdapat dalam Al-Qur'an sedangkan
dalam kehidupan sehari-hari moral juga diwujudkan dalam sebuah peraturan
yang berlaku di masyarakat. Meskipun sebagian besar juga sudah sesuai
dengan Al Qur'an namun ada beberapa hal yang juga sudah menyimpang
dari Al Qur'an (Masitah, 2019).
Moralitas adalah akar fundamental bagi manusia. Menurut Hand, ada
standar yang beragam dan dramatis untuk individu dan kelompok sosial yang
berbeda. Moralitas didefinisikan sebagai ketaatan pada standar yang diyakini
dan disepakati sebagai sesuatu yang benar. Praktik relatif yang menjadi
sasaran moralitas adalah moral education. Secara umum, Hand
menyimpulkan bahwa tujuan utama dari pendidikan moral adalah agar
peserta didik berkomitmen penuh terhadap standar moral pusat dan terlibat
dalam pembentukan dan penyelidikan moral. Dalam konten eksplisit, standar
sebagian besar standar umum dari pendidikan moral mengacu untuk melatih
nilai-nilai kejujuran, melayani masyarakat, mencintai negara, dan
kolektivisme. Ini adalah sebuah bentuk estetika apresiasi yang didasarkan
pada dialogis, praktik kehidupan, berorientasi pada aktivitas, emosi, dan
kepedulian (Cheng et al., 2021).
Pendidikan iman merupakan faktor yang bisa membuat tabiat yang akan
menyimpang serta memperbaiki jiwa kemanusian. Tanpa pendidikan iman,
maka perbaikan, ketentraman dan moral tidak akan tercipta. Pandangan
Nasikh Ulwan tentang pendidikan moral, mengutamakan menanamkan nilai-
nilai keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT, dengan berpijak pada
iman dan takwa merupakan faktor yang dapat meluruskan tabiat yang
menyimpang dan memperbaiki jiwa kemanusiaan. Sedangkan pandangan
Lawrence dan Kohlberg mengutamakan pemahaman komponen moral dan
tahap-tahap perkembangan moral pada individu dengan pemahaman
pentahapan dalam perkembangan moral dapat membantu para pendidik
dalam mengaktualisasikan pendidikan moral (Tadjuddin, 2018).
Dengan merealisasikan dan menetapkan pendidikan moral yang sesuai
dengan nilai-nilai agama dan mengikuti tahap perkembangan moral individu,
merupakan program yang tidak bisa ditawar lagi perlu mendapat perhatian
dan dapat dilakukan pendidik, orang tua dan masyarakat. Pendidikan moral
hendaknya dapat mengimplementasikan komponen pengetahuan, perasaan,
dan tindakan dengan mengetahui tahap-tahap perkembangan moral yang
sesuai dengan usia anak.
BAB III
KESIMPULAN
A. Kesimpulan
Gerakan psikologi positif (positive psychology) mengutamakan potensi
positif manusia agar dapat beradaptasi dan mengaktualisasikan dirinya di
lingkungan dengan optimal sehingga mendapatkan kehidupan yang baik
(good life) (Hamdan, 2018). Berdasarkan pandangan psikologi positif,
kebahagiaan atau happiness adalah suatu cara hidup yang dapat membuat
individu memenuhi segala potensinya dan mampu bergerak kearah
kehidupan manusia yang baik. Menurut Seligman, psikologi positif membawa
individu melewati sisi area kesenangan dan kepuasan (pleasure and
gratification), naik ke dataran tinggi yang penuh kekuatan dan kebajikan
(strength and virtue), dan akhirnya ke puncak pemenuhan yang abadi: makna
dan tujuan (meaning and purpose) (Seligman, 2002).
Setiap jenis kebahagiaan pasti terkait dengan emosi positif, namun dari
kutipannya, dapat dilihat bahwa di dalam pikirannya, terdapat perkembangan
dari jenis kebahagiaan pertama, yaitu kesenangan atau kepuasan, menjadi
kekuatan atau kebajikan, dan akhirnya makna atau tujuan.
Moralitas didefinisikan sebagai ketaatan pada standar yang diyakini dan
disepakati sebagai sesuatu yang benar. Praktik relatif yang menjadi sasaran
moralitas adalah moral education. Secara umum, Hand menyimpulkan bahwa
tujuan utama dari pendidikan moral adalah agar peserta didik berkomitmen
penuh terhadap standar moral pusat dan terlibat dalam pembentukan dan
penyelidikan moral.
Dengan merealisasikan dan menetapkan pendidikan moral yang sesuai
dengan nilai-nilai agama dan mengikuti tahap perkembangan moral individu,
merupakan program yang tidak bisa ditawar lagi perlu mendapat perhatian
dan dapat dilakukan pendidik, orang tua dan masyarakat. Pendidikan moral
hendaknya dapat mengimplementasikan komponen pengetahuan, perasaan,
dan tindakan dengan mengetahui tahap-tahap perkembangan moral yang
sesuai dengan usia anak.

DAFTAR PUSTAKA

Banicki, K. (2014). Positive psychology on character strengths and virtues. A


disquieting suggestion. New Ideas in Psychology, 33, 21–34.
https://doi.org/10.1016/j.newideapsych.2013.12.001
Cheng, J., Wang, W., & Wang, X. (2021). The Moral Education : Literature
Review of Its Development from Past to Present. Advances in Social
Science, Education and Humanities Research, 615, 2256–2261.
https://doi.org/https://doi.org/10.2991/assehr.k.211220.389
Fredrickson, B. L. (2001). The role of positive emotions in positive psychology:
The broaden-and-build theory of positive emotions. American Psychologist,
56(3), 218–226
Hamdan, S. R. (2018). Happiness: Psikologi Positif Versus Psikologi Islam.
Unisia, 38(84), 1–14.
Hude, M. D., N., A. M., & Faizin. (2020). Fondasi psikologi positif qur’ani:
character strengths dan virtue dalam tinjauan psikologi positif dan al- qur’an.
Jurnal Psikologi Islam Al-Qalb, 11(1), 67–83.
https://doi.org/https://doi.org/10.15548/alqalb.v11i1.1270
Kern, M., Waters, L., Alder, A., & White, M. (2014). Assessing employee
wellbeing in schools using a multifaceted approach: Associations with
physical health, life satisfaction and professional thriving. Psychology, 5(6),
500–513.
Masitah, W. (2019). Morality In Islam. 1(1), 914–922.
Nurdin, M. (2021). Meraih meaningful life: perspektid psikologi positif dan tasawuf
positif. Proceeding of Conference on Strengthening Islamic Studies in The
Digital Era, 1(1), 386–401.
Peterson, C., & Seligman, M. E. P. (2004). Character Strengths and Virtues: A
Handbook and Classification. https://doi.org/10.1176/appi.ajp.162.4.820-a
Safrilsyah, Yusoff, M. Z. bin M., & Othman, M. K. bin. (2017). Moral dan akhlaq
dalam psikologi moral islam. Psikoislamedia Jurnal Psikologi, 2(2), 155–169.
https://doi.org/http://dx.doi.org/10.22373/psikoislamedia.v2i2.2414
Seligman, M. E. P. (2011). Flourish: A visionary new understanding of happiness
and well-being. Free Press.
Seligman, M. E. (2012). Flourish: A visionary new understanding of happiness
and well-being. Atria Paperback.
Seligman, Martin E.P. (2002). Authentic Happiness: Using the New Positive
Psychology to Realize Your Potential for Lasting Fulfillment. New York,
NY: Free Press
Singh, M., Kaur, R., Matsuo, A., Iyengar, S. R. S., & Sasahara, K. (2021).
Morality-Based Assertion and Homophily on Social Media: A Cultural
Comparison Between English and Japanese Languages. Frontiers in
Psychology, 12, 1–10. https://doi.org/10.3389/fpsyg.2021.768856
Tadjuddin, N. (2018). Pendidikan moral anak usia dini dalam pandangan
psikologi, pedagogik, dan agama. Al-Athfaal: Jurnal Pendidikan Anak Usia
Dini, 1(1), 1–17. https://doi.org/https://doi.org/10.24042/ajipaud.v1i1.3386
Tandler, N., Krauss, A., & Proyer, R. T. (2020). Authentic happiness at work :
self- and peer-rated orientations to happiness , work satisfaction , and stress
coping. Frontiers in Psychology, 11(1931), 1–16.
https://doi.org/10.3389/fpsyg.2020.01931

Anda mungkin juga menyukai