Anda di halaman 1dari 16

PENDIDIKAN KARAKTER BERBASIS BERBASIS PSIKOLOGI ISLAM

UJIAN TENGAH SEMESTER GASAL 2021/2022

MAGISTER PSIKOLOGI

Dosen Pembimbing :

Dr. Nina Situmorang

Disusun Oleh:

Ferihana

2107044009

PROGRAM STUDI MAGISTER PSIKOLOGI SAINS

UNIVERSITAS AHMAD DAHLAN

YOGYAKARTA

2021
1) Latar Belakang

Pandemi Covid-19 telah mengganggu kegiatan manusia sehari-hari yang terjadi selama
beberapa bulan terakhir di semua negara khususnya negara Indonesia. Membatasi aktivitas anak
di tempat umum dan belajar dari rumah menjadiikan kegiatan peserta didik terganggu dalam
melakukan pembelajaran di sekolahnya serta tanpa disadari pandemi ini telah mengancam hak-
hak pendidikan merekan di masa depan.
Penguatan pendidikan karakter merupakaan salah satu solusi untuk menumbuhkn serta
membekali peserta didik agar memiliki karakter yang baik, religius, bertingkah laku luhur, serta
sopan santun walaupun harus belajar dari rumah. Jawaban yang cocok atas masalah diatas yaitu
adanya pendidikan karakter berbasis keluarga. Selain untuk mencerdaskan manusia, pendidikan
karakter juga bertujuan untuk mendidik anak didiknya agar berkepribadian yang mulia. Oleh
karenanya, pendidikan karakter sangat penting untuk semua tingkatan, yakni mulai dari anak
kecil hingga orang dewasa. pada umumnya, pendidikan karakter harus dimulai sejak dini. Jadi
ketika anak sudah dewasa saat ada godaan atau rayuan yang menggiurkan karakternya tidak akan
mudah berubah. Harapan adanya pendidikan karakter sejak dini agar dapat mencetak anak
bangsa yang berkarakter unggul, bertakwa, beriman, dan berakhlak mulia

2) Tinjauan Teori
Pengertian pendidikan karakter ialah “sebuah proses pendidikan yang memberi
pengajaran kebiasaan cara berfikir dan perilaku yang membantu individu untuk hidup dan
bekerja bersama sebagai keluarga, masyarakat, dan bernegara dan membantu mereka untuk
membuat keputusan yang dapat dipertanggungjawabkan. Dengan kata lain pendidikan karakter
memberi pengajaran anak didik berfikir cerdas, mengaktivasi otak tengah secara alami.
Pendidikan karakter ialah suatu sistem yang memberi pengajaran kebiasaan cara berpikir dan
perilaku yang membantu individu untuk hidup dan bekerja bersama sebagai keluarga,
masyarakat, dan bernegara dan membantu mereka untuk membuat keputusan yang dapat
dipertanggungjawabkan”1
Kata karakter memiliki beragam definisi. Menurut Poerwadarminta, kata “karakter
berarti tabiat, watak sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang menjadi pembeda antar
seseorang dengan orang lain”. (Amirullah Syarbini, 2012 : 13)Donni Koesoema A menilai
1
D.Yahya Khan, Pendidikan Karakter Berbasis Potensi Diri, (Yogyakarta: Pelangi Publishing, 2010), hlm. 2.
karakter sama dengan kepribadian.(Donni Koesoema A , 2009 : 80) Sementara menurut
Masnur Muslich, “karakter terkait erat dengan kekuatan moral, berkonotasi positif, bukan
netral. Orang yang berkarakter ialah orang yang bermoral optimal”. (Masnur Muslich,
2011 : 71)Menurut Al-Musanna “karakter merupakaan ciri atau tanda yang melekat pada
suatu benda atau seseorang. Sehingga orang yang berkarakter ialah orang yang mempunyai
kualitas moral dan identitas jelas”.(Al Musanna , 2010)
Pendidikan karakter merupakaan upaya pembentukkan karakter yang
dipengaruhi oleh lingkungan. Hal ini selaras dengan pernyataan Samani & Hariyanto (2013: 43)
yang mengungkapkan bahwa karakter sebagai nilai dasar yang membangun pribadi
seseorang, terbentuk baik karena pengaruh hereditas maupun pengaruh lingkungan, yang
membedakan dengan orang lain, serta diwujudkan dalam sikap dan perilakunya dalam
kehidupan sehari-hari.
Pendidikan karakter yakni “pendidikan nilai moralitas manusia yang disadari dan
dilakukan dalam tindakan nyata. Dalam pendidikan karakter ada unsur proses pembentukan nilai
dan sikap yang didasari pada pengetahuan mengapa nilai itu dilakukan. Semua nilai moralitas
yang disadari dan dilakukan itu bertujuan untuk membantu manusia menjadi manusia yang
lebih utuh. Nilai yang dimaksud ialah hubungan sesama, diri sendiri, hidup bernegara,
alam dunia, dan Tuhan. Dalam penanaman nilai moralitas tersebut meliputi aspek
kognitif (pikiran, pengetahuan, kesadaran) dan aspek afektif (perasaan) juga aspek
psikomotor (perilaku)”. (Masnur Muslich, 2011 : 69)
Pendidikan karakter tidak hanya memberi pengajaran mana yang benar dan mana
yang salah kepada anak, tetapi lebih dari itu pendidikan karakter menanamkan kebiasaan
(habituation) tentang yang baik sehingga peserta didik paham, mampu merassakan, dan
mau melakukan yang baik. Dengan demikian, pendidikan karakter membawa misi yang sama
dengan pendidikan akhlak atau pendidikan moral. Selanjutnya Frye menegaskan bahwa
“pendidikan karakter merupakaan upaya sadar untuk membantu seseorang memahami,
menjaga, dan bertingkah laku sesuai dengan nilai-nilai karakter luhur”. (Mike Frye, 2002 :3)
Pengembangann karakter individu dapat dipengaruhi oleh dua faktor determinan, yaitu:
1. Faktor eksternal, berupa kebudayaan dan nilai
Karakter individu tidak dapat tumbuh dengan baik begitu saja, melainkan membutuhkan proses
yang panjang. Pemberian asupan kebudayaan dan nilai merupakaan langkah praktis dan efektif,
yang secara turun menurun telah terbukti keabsahannya dalam pengembangann kehidupan
manusia, sehingga individu dapat cepat belajar dari pengalamaan orang dewasa. Faktor ini lebih
banyak diperankan oleh pendidik. Persoalan kemudian ialah model kebudayaan dan nilai seperti
apa yang dibutuhkan individu, apalagi individu yang dimaksud berstatus muslim.
2. Faktor internal, berupa aktualisasi potensi
Karakter individu sesungguhnya cerminan dari apa yang ada dalam diri individu. Melalui
keunikannya, individu dapat mengeksperikan apa yang menjadi kekuatannya. Proses aktualisasi
potensi diri bagi individu harus mampu memilah mana yang perlu diaktualisasikan dan mana
yang perlu dikendalikan. Faktor ini lebih banyak diperankan oleh psikolog atau konselor yang
mampu memetakan potensi individu dan mengembangkannya, sehingga terbentuk menjadi
individu yang berkarakter. Kedua faktor pengembangann karakter tersebut sekalipun berbeda,
tetapi tidak perlu dipertentangkan. Pendidikan Islam yang dilakukan harus mencakup proses
transformasi kebudayaan-nilai dan aktualisasi potensi peserta didik. Upaya ini merupakaan suatu
kombinasi harmonis untuk mencetak peserta didik ke arah insan kamil, yaitu insan yang
memiliki karakter sempurna yang tahu dan sadar akan diri, sesama, lingkungan dan Tuhannya

Karakter dalam psikologi islam


Dalam wacana psikologi, terdapat dua istilah yang digunakan untuk menyatakan
kepribadian;yaitu personality dan character. “Dua istilah ini sama-sama membicarakanx tingkah
laku manusia, hanya saja personality tidak mengaitkan pembahasannya pada baik- buruk
(devaluasi), sementara aksentuasi character justru pada penilaian baik-buruk (evaluasi)”. (Allport
dalam Sumadi, 1990). Sebagai bagian dari sains yang salah satu cirinya ‘bebas nilai’, wacana
psikologi lebih menggunakan term personality (bukan character), sehingga tugas utama psikolog
ialah mendeskripsikan perilaku klien, tanpa berupaya menilai baik-buruknya. Bersamaan
kebutuhan akan pengembangann ilmu dan bersentuhan dengan nilai-nilai agama dan tradisi, ilmu
psikologi mulai memperluas medan kajiannya, sehingga akhir-akhir ini berkembang wacana
psikologi bermuatan nilai seperti munculnya positive psychology, yang teorinya dibangun dari
asumsi manusia baik.
Dalam literatur keislaman, terutama pada khazanah klasik, kata syakhshiyyah
(personality) kurang begitu dikenal. Terdapat beberapa alasan mengapa hal itu terjadi: (1) dalam
al-Qur’an maupun Hadis tidak ditemukan term syakhshiyyah, kecuali dalam beberapa hadis
disebutkan term syakhsy yang berarti person, bukan personality; (2) dalam khazanah Islam
klasik, para filosof maupun sufi lebih akrab menggunakan istilah akhlaq. Penggunaan istilah ini
karena ditopang oleh ayat al-Qur’an dan Hadis Rasul; (3) hakekat syakhshiyyah tidak dapat
mengkaver nilai-nilai fundamental Islam dalam mengungkap perilaku manusia, karena Islam
bermuatan nilai, sementara syakhshiyyah tidak melibatkan penilaian baik buruknya. Islam justru
menggunakan kata akhlak (bentuk jamak dari kata khuluq) yang identik dengan character.
Dalam kaitan akhlak, Al-Ghazali mengemukakan dua citra manusia. Citra lahiriah manusia
disebut dengan khalq, dan citra batiniahnya yang disebut dengan khuluq (al-Ghazalî, tt). Khalq
merupakaan citra fisik manusia, sedang khuluq merupakaan citra psikisnya.Al-Ghazali lebih
lanjut menyatakan bahwa “khuluq ialah "suatu kondisi (hay`ah) dalam jiwa (nafs) yang suci
(rasikhah), dan dari kondisi itu tumbuh suatu aktivitas yang mudah dan gampang tanpa
memerlukan pemikiran dan pertimbangan terlebih dahulu." Sedangkan Ibnu Maskawaih
mendefinisikan khuluq dengan "suatu kondisi (hâl) jiwa (nafs) yang menyebabkan suatu aktivitas
dengan tanpa dipikirkan atau dipertimbangkan terlebih dahulu” (Ibn Maskawaih, 1994).
Terdapat penelitian terkait pendidikan karakter yang dilakukan dalam keluarga. Studi
tersebut dilakukan pada tahun 2017 oleh khambali menyatakan bahwa “indikator keberhasiilan
dalam mendidik anak salah yang dilakukan keluarga muslim salah satunya ialah jika anak
tersebut berkarakter sesuai dengan norma Islam. Khambali menyatakan penerapan metode
pendidikan dilakukan ialah dengan menggunakan metode pembiasaan”.2
Berbeda dengan temuan Khambali, Lisna Wati dan Dadang Sundawa melakukan
penelitian pada tahun 2018 yang memaparkan bahwa “pendidikan karkater yang ditanamkan
dalam keluarga termasuk agama, bersifat mandiri, bertanggung jawab, kewarasan, jujur, saling
mencintai, dan rendah hati. Itu model pendidikan karakter memberiikan habituasi, keteladanan,
saran, cerita dan hukum”.3
Penelitian terbaru yang dilakukan oleh Husni Mubarok memberi kekuatan penelitian
sebelumnya. Penelitian tersebut dilakukan pada tahun 2019 tentang pembangunan karakter oleh
keluarga yang menyatakan literasi digital merupakaan pengetahuan serta keterampilan untuk
mengaplikasikan media digital dalam menemukann informasi, mengevaluasi, membuat

2
Khambali, “Family Role in Shaping Character Islam in Early Childhood Through Habituation Method”, Jurnal
Pendidikan Islam, Vol. 6 No. 1 (2017): 162, https://doi.org/10.29313/tjpi.v6i1,2382.
3
Lisna Wati dan Dadang Sundawa, “Character Education Model in Family to Create Good Citizen", Kemajuan dalam
Ilmu Sosial, Pendidikan dan Penelitian Humaniora, Vol. 251, (2018): 582, https://doi.org/10.2991/acec18.2018.129.
informasi, dan menggunakannya dalam cara yang sehat, bijak, cerdas, akurat, dan tepat dalam
berkomunikasi dan berinteraksi pada kehidupan sehari-hari. Pembentukan karakter ialah proses
pendidikan yang dialami anak-anak mulai dari nilai-nilai kehidupan, agama, dan moral untuk
memiliki kecerdasan, kepribadian, dan karakter yang luhur. Literasi digital keluarga untuk
pembentukan karakter dalam pendidikan dasar dengan mengolah kemampuan berpikir kritis,
positif, dan kreatif4
Tercapainya suatu keberhasiilan akademis yaitu tujuan dari pendidikan. Tujuan yang tak
kalah pentingnya ialah tercapainya atau terbentuknya suatu karakter yang baik dalam diri anak
itu sendiri. Keluarga sebagai peran terpenting dalam meembentuk karakter anak dalam upaya
menyiapkan generasi muda yang lebih baik. Maka penelitian ini memiliki tujuan yakni agar kita
bisa mengertii dasar pengembangann pendidikan karakter serta model yang digunakan dalam
pendidikan karakter dalam keluarga di tengah pandemi Covid-19.
Dibawah ini ialah dasar yang seharussnya dikembangkann dalam pendidikan karakter.
i. Perkembangan Kognitif. Kata cognition ialah asal istilah dari “cognitive” yang semakna
dengan knowing, yang artinya mengertii. Arti secara luasnya, cognition (kognitif) ialah
pemahaman serta penerapan pengetahuan. Selanjutnya, kata kognitif menjadi sangat dikenal
sebagai sebuah bagian pada psikologis manusia yang mencakup tingkah laku mental yang
hubungannya dengan menafsirkan, mempertimbangkan, proses mengolah informasi, proses
penyelesaian persoalan, kesengajaan, serta kepercayaan. Selain itu, ranah yang pusatnya di
otak ini juga berkaitan dengan kemauan serta dan perasaan yang berhubungan dengan bagian
rasa.5
Perkembangan pengetahuan/ kognitif pada anak merupakaan sebuah susunan yang terdiri atas
tiga bagian yang meliputi: (a) Input, merupakaan proses informasi yang bersumber dari stimulus
dan lingkungan; (b) Proses, merupakaan tugas otak yakni merubah bentuk stimulus/ informasi
dengan sistem beragam; (3) Output, merupakaan bentuk perbuatan, seperti menulis, berbicara,
interaksi sosial, dan lain sebagainya. 6

4
Husni Mubarok, “Family Digital Literacy for Character Building in Primary Education,” Proceeding of International
Conference on Islamic Education: Challenges in Technology and Literacy Faculty of Education and Teacher Training,
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang Vol. 4, (2019) :419.
http://conferences.uinmalang.ac.id/index.php/icied/article/view/1142
5
Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatanx Baru, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2010), hal. 65.
6
Syamsu Yusuf, Psikologi Perkembangan Anak & Remaja, (Bandung: Alvabeta, 2011), hal. 7.
ii. Perkembangan moral. Lingkungan sangat mepengaruhi perkembangan moral setiap anak.
Orang tua menjadi sumber untuk anak bisa mendapatkan nilai-nilai moral. Selain dari orang
tua, nilai-nilai tersebut juga bersumber dari lingkungannya. Maka anak akan belajar untuk
mengertii norma-norma serta berperilaku sesuai dengan hal yang telah diketahui. Dalam
pengembangann moral anak, khususnya pada waktu anak masih kecil peran yang sangat
penting ialah orang tua. Berikut ini ialah cara proses perkembangan moral pada anak: (1)
pendidikan langsung, poin terpenting dalam pengembangann moral ini, yaitu orang tua harus
menjadi teladan dalam bertindak yang sesuai dengan ajaran agama; (2) identifikasi,
dilakukan dengan cara meniru penampilan/ meniru perilaku orang yang diidolakannya,
seperti orang tua, kyai, guru, dan lain sebagainya; (3) proses coba-coba, dilakukan melalui
sistem mengembangkan perilaku yang mulia menggunakan cara coba-coba. Perilaku yang
akan terus dikembangkann ialah ketika memperoleh penghargaan atau pujian, sementara
perilaku yang mendapatkan hukuman atau celaan akan dihilangkan. 7
Ketiga, perkembangan sosial.
Makna dari perkembangan sosial yaitu pemerolehan kedewasaan dalam berhubungan sosial. Bisa
dimaknai semacam proses belajar guna menyelaraskan diri terhadap moral, aturanaturan, serta
tradisi dalam menyesuaikan diri, saling berkomunikasi serta saling bekerja sama. Ketika anak
dilahirkan pastinya sifat sosialnya belumada. Maksudnya, dia belum mempunyai kecakapan
untuk berinteraksi terhadap orang lain. Keterampilan tersebut bisa didapatkan anak melalui
pengalamaan-pengalamaan atau kesempatan berinteraksi dengan orang yang ada disekitarnya,
yaitu seperti orang tua, teman sebaya, saudara, dan lain sebagainya. Cara memperlakukan atau
membimbing yang diberikan orang tua untuk anaknya tentang cara menerapkan aturan-aturan
dalam kehidupan sehari-hari sangat mepengaruhi perkembangan sosial anak. Proses bimbingan
orang tua ini yang dinamakan sosialisasi.8
Adapun komponen dalam model pendidikan karakter tersebut ialah sebagai berikut :
1. Tujuan pendidikan karakter dalam keluarga.
Tujuan terpenting dari pendidikan karakter yaitu memberiikan sarana wawasan serta
mengelaborasi beberapa nilai sehingga terlaksana dalam tingkah laku anak. Khususnya pada,
pendidikan karakter di dalam keluarga bertujuan guna membimbing anak-anak agar berperilaku
yang baik/ berakhlak terpuji. Sedangkan tujuan pendidikan karakter secara umum yaitu untuk
7
Syamsu Yusuf, Psikologi …, hal. 134
8
Syamsu Yusuf, Psikologi …, hal. 122.
meregenerasi anak agar bisa memberiikan manfaat, baik untuk pribadi, keluarga, masyarakat,
serta agama dan bangsanya. Kedua, Program pendidikan karakter dalam keluarga memiliki arti
sebuah upaya penerapan nilai-nilai moral dengan cara mendoktrin, memberiikan motivasi,
memberiikan keteladanan, menanamkan kebiasaan, serta memberiikan penegakan hukuman guna
meembentuk moral anak melalui berbagai bentuk, seperti:
 Pengajaran
Istilah lain daripengajaran yaitu “pembelajaran”. Pembelajaran merupakaan sebuah upaya untuk
mendidik seseorang melalui berbagai strategi, metode, pendekatanx, serta berbagai upaya untuk
mencapai tujuan pendidikan yang sudah direncanakan sejak awal. Pengajaran pendidikan
karakter di dalam keluarga bisa beri arti sebagai sebuah upaya yang dikerjakan oleh orang tua
guna menyalurkan dan memberi pengajaran bimbingan wawasan kepada anak mengenai aturan
moral tertentu dan juga memberinya dorongan agar bisa menerapkan aturan moral tersebut untuk
diterapkan pada kehidupannya sehari-hari. Kegiatan mendoktrin bisa terjadi melalui perencanaan
dan bisa juga terjadi tanpa adanya perencanaan. Dalam situasi kehidupan keluarga, aktivitas
pengajaran kelihatannya lebih banyak tanpa adanya perencanaan, yaitu biasanya melalui
peristiwaperistiwa yang terjadi di dalam rumah dan tentunya bisa berpengaruh terhadap karakter
anak;
 Pemotivasian
Pemotivasian merupakaan cara kedua untuk menanamkan nilai-nilai moral pada anak dalam
keluarga. Jika dilihat dari sumbernya motivasi terbagi dua macam. Pertama yaitu motivasi
internal. Motivasi internal berasal dari dalam diri seseorang. Misalnya seorang anak mau
melakukan shalat tanpa disuruh orang tuanya karena ia menyadari bahwa shalat ialah kewajiban
setiap muslim. Selain itu sang anak juga telah merassakan manfaat dari mengerjakan kewajiban
shalat seperti ketenangan batin atau kesehatan jiwa. Kedua, motivasi eksternal. Motivasi
eksternal berasal dari luar diri seseorang. Misalnya, seorang anak mau melakukan shalat karena
diingatkan dan diperintahkan orang tuanya. Ia akan mendapatkan hadiah setelah melakukan
shalat, maka perintah orang tua dan mendapat hadiah merupakaan motivasi eksternal yang
mendorong seorang anak melakukan shalat. Maka orang tua disini dituntut agar bisa menjadi
motivator/ pendorong untuk anakanaknya;
 Peneladanan
Perilaku keseharian yang anak lakukan pada hakikatnya kebanyakan mereka dapatkan dari cara
meniru. Misalnya shalat berjamaah, mereka melakukan shalat berjamaah sebagai hasil dari
kebiasaan yang ada di lingkungannya dengan cara membiasakan diri. Maka, unsur keteladanan
yang dilakukan oleh orang tua berada di tingkatan paling atas dari pada semua hal yang
ditanamkan kepada anak. Apapun yang anak lihat pasti akan mudah untuk ditiru. Maka, apabila
orang tua berperilaku terpuji dan berbicara dengan kata yang halus, itu sudah termasuk awal
pendidikan karakter yang diterapkan kepada anakanak.
 Pembiasaan
Peran yang sangat besar dalam membimbing karakter anak ialah keluarga, salah satunya yaitu
dengan pembiasaan. “Melalui pembiasaan maka bisa mengarahkan anak ke arah yanag lebih
dewasa, agar anak bisa mengendalikan dirinya, menyelesaikan masalah serta bisa menghadapi
tantangan kehidupannya. Untuk membimbing karakter tersebut, orang tua harus menerapkan
pola disiplin dalam menjalani aktifitas sehari-hari. Maka dapat diambil kesimpulan mengenai
uraian tersebut bahwa dari kebiasaan-kebiasaan kita bisa menyaksikan bagaimana kehidupan
yang dialami oleh anak di waktu mendatang”. Hal ini sama halnya dengan pepatah yang
berbunyi, “Orang-orang tidak bisa menentukan masa depan. Mereka menentukan kebiasaan, dan
kebiasaan menentukan masa depan.”;
 Penegakan Aturan
Memberiikan penanaman kesadaran pada anak mengenai pentingnya sebuah kebaikanialah
tujuan penegakan aturan dalam keluarga yang sesungguhnya. Sebuah misalnya kecil, anak harus
dilatih membuang sampah pada tempatnya. Kemudian dijelaskan mengapa ia harus melakukan
itu dan bagaimana akibatnya jika hal itu tidak dilakukan. Langkah awal agar penegakan aturan
yang dilakukan di dalam keluarga bisa terwujud yaitu dengan dibuatnya peraturan keluarga.
Peraturan tersebut harus disepakati bersama oleh semua pihak yang ada di rumah. Peraturan
dibuat dengan tujuan agar ditaati bukan malah untuk dilanggar. Selain itu adaya peraturan dalam
keluarga juga berfungsi agar bisa memberi kenyamanan dan kelancaran hidup dalam berkeluarga
serta membantu dalam mengatur/ meembentuk karakter sang anak. Ketiga, Proses pendidikan
karakter dalam keluarga. Komponen utama yang terdapat dalam proses pendidikan tersebut ialah
pendidik, peserta didik, kurikulum, metode, dan alat.
Dengan demikian, penjelasan mengenai komponen proses pendidikan karakter itu sebagai
berikut:
(1) Pendidik
Kegiatan mendidik yang dilaksanakan pada lembaga pendidikan informal (di rumah) maka yang
berperan sebagai pendidik ialah orang tua (ayah/ ibu), karena mereka yang diberi amanah untuk
mendidik anakanaknya secara teologis dan moral. Orang tua (ayah/ibu) disebut sebagai pendidik
kodrati, dalam pelaksanaan tugas serta fungsi kependidikan yang dilakukan karena kodratnya
sebagai orang tua.
Yang mendapatkan peran sebagai pendidik di dalam keluarga, selain orang tua (ayah/ ibu) yaitu
“semua orang dewasa yang mampu mepengaruhi perkembangan danpertumbuhan anak saat di
rumah. Maka, dalam melibatkan orang lain ke dalam rumah harus berhati-hati. Seperti memilih
pembantu atau asisten keluarga. Karena nantinya akan sangat mepengaruhi tumbuh kembang
anak. Dari semua orang dewasa yang berada dalam rumah, ayah dan ibu ialah orang yang paling
besar tanggung jawabnya terhadap pendidikan anak, karena ayah dan ibu yang paling banyak dan
sering berinteraksi dengan sang anak. Tradisi religius perlu ditanamkan oleh orang tua kepada
anak sedini mungkin. Anak dibiasakan bertutur kata yang santun sejak kecil, mendampingi anak
dalam aktivitas yang membutuhkan bimbingan dari orang tua”.
(2) Peserta didik
Peserta didik pada pendidikan informal (dalam keluarga) disebut dengan “anak”. Anak ialah
panggilan yang sesungguhnya, panggilan tersebut merupakaan panggilan yang menunjukkan
sebuah garis keturunan atau ikatan yang sangat dekat dengan pendidik (orang tua). Anak
mempunyai berbacammacam kemampuan yang seharussnya tetap dibina dan diarahkan agar
kemampuan tersebut bermanfaat. Maka, sarana tepat untuk itu ialah pendidikan karakter;
(3) Materi
Dalam keluarga secara garis besarnya, materi pendidikan karakter ialah materi untuk
pengembangann karakter atau akhlak anak. Materi tersebut dimulai dengan penanaman
keimanan (materi keimanan) kepada anak. Selain keimanan, orang tua juga perlu
memperhatikaan perkembangan akhlak anaknya, caranya dengan melakukan pembinaan akhlak
atau memberiikan materi akhlak sejak dini. Yang lebih diutamakan pada materi akhlak tersebut
ialah pelaksanaan berperilaku, berbicara yang baik dan sopan, tidak berucap kata-kata kotor/
kasar, taat dan menghormati orang tua, berterima kasih apabilamenerima/mendapatkan sesuatu
dari orang lain, meminta maaf apabila melakukan suatu kesalahan terhadap orang lain, dan lain-
lain
(4) Metode, jika dikaitkan dengan pendidikan karakter, kata metode tersebut dapat berarti
sebagai cara yang digunakan untuk memberi penanaman moral pada diri seseorang sehingga
terbentuk individu yang berkarakter. Ada beberapa metode yang dapat dipakai untuk
memberiikan penanaman karakter kepada diri anak, yaitu sebagai berikut:
(a) Metode keteladanan, anak ialah sosok peniru yang ulung. Jika seorang anak melihat orang
tuanya memberiikan misalnya sikap dan tindakan yang baik, maka yang akan tumbuh pada anak
yaitu menjadi individu yang baik serta karakter yang dimiliki akan baik. sebaliknya, jika yang
dilihat oleh anak ialah orang tua memberiikan misalnya sikap dan tindakan buruk, maka yang
tumbuh pada anak yaitu penyelewengan dan bertingkah laku buruk;
(b) Metode pembiasaan, penggunaan metode pembiasaan ini sangat pas dalam membina karakter
anak dan akan mencetak anak-anak yang berkaraker. Maka, anak akan menjadi teladan bagi
orang lain jika metode pembiasaan ini telah dilaksanakan secara baik dalam keluarga;
(c) Metode bermain, dunia bermain ialah dunianya anak. Dalam pendidikan anak di keluarga
dapat menggunakan metode bermain. Pada dasarnya anak menyukai belajar yang
pelaksanaannya dilakukan secara menyenangkan.
(d) Metode cerita, penananaman nilainilai Islam pada anak bisa dilakukan oleh orang tua dengan
cara bercerita, metode ini dilakukan dengan cara seperti menunjukkan dan menyatakan apa itu
perbuatan baik atau buruk serta ganjaran yang didapat dari setiap perbuatan. Hal tersebut dapat
dilakukan dalam keadaan tertentu, misalnya saat santai dan berkumpul dengan keluarga ataupun
pada saat mau tidur, sebagai pengantar tidur anak.
(e) Metode nasehat
Metode nasihat dianggap dapat membina karakter anak. Penyampaian dengan menggunakan kata
yang supanya bisa menyentuh hati disertai dengan keteladanan, merupakaan pengertian dari
metode nasihat.Sebaiknya nasihat ini bebentuk cerita, kisah-kisah, perumpamaan, serta
menggunakan kalimat yang baik, dan sebelum memberiikan nasihat sebaiknya misalnya
diberikan oleh orang tua terlebih dahulu agar dalam memberi nasehat bisa membekas pada diri
anak;
(f) Metode penghargaan dan hukuman, selain menggunakan metode-metode yang sudah
disebutkan di atas tadi, juga bisa menggunakan metode lain yaitu pemberian (reward)
penghargaan dan (punishment) hukuman. Metode ini dapat dipakai untuk meembentuk karakter
anak, tetapi penghargaan harus lebih diutamanakan dari pada pemberian hukuman, apabila
hukuman terpaksa musti diberikan, orang tua harus berhati-hati dalam menggunakannya, jangan
memberi hukuman ketika sedang marah, hindari memukul bagian-bagian anggota tubuh yang
tidak diperbolehkan, diupayakan hukuman tersebut bersifat adil (harus sesuai dengan kesalahan
yang dilakukan oleh anak);
(5) Alat pendidikan, penyediaan alat pendidikan di rumah, tentu saja sangat bergantung dengan
kemampuan pembiayaan dalam keluarga. Untuk keluarga yang memiliki keuangan (pembiayaan)
lebih/memadai maka alat dan fasilitas pendidikan di rumah lebih maksimal. Untuk memenuhi
alat pendidikan yang lebih utama yaitu dengan menyediakan buku-buku agama karena melalui
buku-buku tersebut kita sebagai orang tua bisa membawa pengetahuan dan pengaruh terhadap
anak. Selain menyediakan buku-buku agama, yang tidak boleh dilupakan oleh orang tua yaitu
harus menyediakan Al-Quran sesuai dengan banyaknya anggota keluarga.
Keempat,
Evaluasi dalam pendidikan karakter merupakaan proses menentukan nilai, baik secara kuantitatif
maupun kualitatif, berdasarkan pertimbanganpertimbangan tertentu yang berkaitan dengan
kegiatan pendidikan karakter yang ada dalam keluarga. Tujuan evaluasi ini ialah agar bisa
mendapatkan data objektif yang menunjukkan tingkat potensi serta keberhasiilan anak dalam
mencapai tujuan pendidikan karakter yang ada di dalam keluarga.

Bentuk Karakter dalam Psikologi Islam


Desain karakter Islam dapat diturunkan dari tiga pola; yaitu (1) diturunkan dari domain akhlak
dalam trilogi ajaran Islam, yang tidak mencakup akidah dan syariah (ibadah- muamalah); (2)
diturunkan dari keselurusan domain dari ajaran Islam, mencakup akidah/iman, syariah/islam dan
akhlak/ihsan.
Pertama, karakter diturunkan dari ajaran akhlak, yakni bagian esoteris dari komponen ajaran
Islam. Sebagaimana kita ketahui bahwa komponen Islam yang terdiri atas akidah
(keimanan),syariah (ibadah dan mu’amalah) dan akhlak (etika). Pola ini tidak melibatkan akidah
dan syariah sebagai konstruks dalam karakter, namunj hanya akhlak saja. Melalui pola ini,
bentuk-bentuk karakter Islam dibagi dua bagian, yaitu:
1. Karakter terpuji (akhlaq mahmudah). “Bentuk karakter ini seperti sabar, syukur, ikhlas,
qana’ah, rendah hati (tawadhu’), jujur (sidq), dermawan (jud), amanah, pemaaf, lapang
dada, dan sebagainya”.
2. Karakter tercela (akhlaq madzmumah). “Bentuk karakter ini seperti gampang marah
(ghadhab), kufur nikmat, riya’, rakus (thama’),sombong (takabur), dusta (kidb), pelit
(syukh), khianat, dendam, dengki, dan sebagainya”.
Dua karakter tersebut merupakaan kebalikan atau lawan yang jelas, baik dilihat dari perilaku
eksoteris maupun esoterisnya, seperti sabar versus marah, syukur versus kufur, ikhlash versus
riya’, qana’ah versus thama’, tawadhu’ versus takabur, jujur versur dusta dan seterusnya. Karena
perbedaan itu jelas maka model karakter ini mudah diukur.
Sebagai misalnya penggunaan karakter sabar dalam penelitian, langkah-langkah operasional
yang seharussnya dilakukan ialah (1) penelusuran definisi konseptual yang digali dari al-Qur’an,
Sunnah ataupun pendapat para ulama’, lalu disimpulkan dalam satu konstruks definisi yang jelas;
(2) Penentuan definisi operasional untuk mempermudah pengukuran; (3) menentukan blue print
yang memuat aspek/dimensi variabel dan indikatornya, berikut penentuan skala favorable atau
unfavorable; (4) pembuatan kuesioner sesuai ketentuan yang berlaku.
Kedua, karakter diturunkan dari semua aspek dalam ajaran Islam, meliputi rukun iman (akidah),
rukun islam (syariah) dan rukun ihsan (akhlak). Pola karakter ini integratif yang tidak
membedakan antara perilaku eksoteris dan esoteris. Dengan pola ini tidak akan terjadi split
personality, yang mana hatinya beriman kepada Allah Swt tetapi karakternya bertentangan
dengan apa yang diperintahkan. Desainnya sebagai berikut (Mujib, 2006):
1. Domain iman meembentuk karakter mu’min, yang mencakup enam bentuk (rukun iman):
a. Karakter rabbani/ilahi dengan indikatornya 99 al-asma al-huna.
b. Karakter malaki dengan indikatornya sifat-sifat malaikat, atau 10 macam sesuai
dengan nama dan tugas-tugas malaikat
c. Karakter qur’ani dengan indikatornya nilai-nilai asasi dalam al-Qur’an
d. Karakter rasuli dengan indikatornya empat sifat rasul, atau sesuai dengan mu’jizatnya
e. Karakter yawm qiyamah dengan indikatornya implikasi keimanan terhadap hari
kiamat.
f. Karakter taqdiri dengan indikatornya ketentuan dan aturan terhadap taqdir anfusi,
kauni, dan qur’ani.
2. Domain islam meembentuk karakter muslim, yang mencakup lima bentuk (rukun islam)
(Mujib, 2006):
Karakter musyahadatain dengan indikatornya implikasi kesaksian syadahat kepada Allah dan
syahadat rasul

Karakter mushalli dengan indikatornya implikasi atau hikmah dari shalat.


a. Karakter sha’im dengan indikatornya implikasi atau hikmah dari puasa.
b. Karakter muzakki dengan indikatornya implikasi atau hikmah dari zakat.
c. Karakter hajji dengan indikatornya implikasi atau hikmah dari haji.
3. Domain ihsan meembentuk karakter muhsin, yang mencakup multi bentuk (rukun ihsan)
(Mujib, 2006 dan Ibn Qayyim, 1992, Mahmud, tt):
a. Tingkatan permulaan (bidâyah), meliputi kesadaran (al-yaqzhah), taubat (al-tawbah),
introspekti (al- muhâsabah), kembali ke jalan Allah (al-inâbah), berfikir (al-tafakkur),
berzikir (al-tadzakkur), menjaga diri (al-i’tishâm), lari dari keburukan menuju ke jalan
Allah (al-firâr), latihan spiritual (al-riyâdhah), dan mendengar dengan suara hati (al-
sima’).
b. Tingkatan pintu-pintu masuk (abwâb), meliputi kesedihan (al- huzn), ketakutan (al-
khawf), takut (al-isyfaq minhu), kekhusyuan (al- khusyû’), rendah diri di hadapan
Allah (al-ikhbat), zuhud (al-zuhud), menjaga diri (al-warâ’), ketekunan (al-tabattul),
harapan (al-rajâ`), dan kecintaan (al-raghbah).
c. Tingkatan pergaulan (mu’amalah), meliputi pemeliharaan diri (al- ri’âyah),
menghadirkan hati kepada Allah (al-murâqabah), kehormatan (al-hurmah), ketulusan
(al-ikhlâsh), pendidikan (al-tahdzib), kontinue (al-istiqamah), tawakkal (al- tawakkal),
pelimpahan wewenang (al-tafwîdh), keterpercayaan (al- tsiqah) dan penyerahan (al-
taslîm).
d. Tingkatan etika (akhlâq), meliputi sabar (al-shabr), rela (al-ridhâ),
berterima kasih (al-syukur), malu (al-haya`), jujur (al-shidq), mementingkan orang lain (al-
itsâr), kerendahan hati (al-tawadhu’) dan kejantanan (al-futuwah).
e. Tingkatan pokok (ushûl), meliputi tujuan (al-qashd), tekad (al-‘azm), hasrat (al-
irâdah), sopan santun (al- adab), keyakinan (al-yaqîn), keintiman (al-`uns), mengingat
(al- dzikr), butuh rahmat (al-faqr) dan merasa kaya materi (al-ghani)
f. Tingkatan terapi (adwiyah), meliputi baik (al-ihsân), ilmu (al-‘ilm), hikmah (al-
hikmah), pandangan batin (al-bashir), firasat (al-firâsah), kehormatan (al-ta’zhîm),
ilham (al- ilhâm), ketenangan (al-sakinah), ketentraman (al-thuma’ninah) dan cita-cita
(al-himmah).
g. Tingkatan keadaan (ahwâl), meliputi cinta (al-mahabbah), cemburu (al- ghyrah),
rindu (al-syawq), kegoncangan (al-qalq), haus (al- ‘athasy), suka cita (al-wijd),
keheranan (al-dahasy), kilat (al- barq) dan cita-rasa (al-dzawq).
h. Tingkatan kewalian (walâyah), meliputi sadar setelah memperhatikaan
(al-lahazhah), waktu (al-waqt), jernih (al-shafâ`), gembira (al-surûr),
rahasia (al-sirr), nafas (al-nafs), keterasingan (al- ghurbah), tenggelam (al-gharq) dan
kesanggupan hati (al-tamakkun).
i. Tingkatan hakekat (haqâ`iq), meliputi ketersingkapan (al- mukâsyafah), penyaksian
(al- musyâhadah), keterlihatan (al- mu’âyanah), hidup (al-hayah), ketergengaman
(al-qabdh), keterbentangan (al-basth), mabuk (al-sukr), lupa (al-shahw),
ketersambungan (al-ittishâl), dan keterpisahan (al-infishâl), jujur (shidq) yang jelas-
jelas berbeda dengan dusta (kidb).

3) KESIMPULAN
Meembentuk karakter peserta didik di tengah pandemi Covid-19 dapat melalui
keluarga. Pendidik yang paling berperan yaitu orang tua. Hal yang seharussnya diperhatikan
dan tidak bisa ditinggalkan dalam pendidikan karakter ini yaitu penggunaan model yang
sesuai dengan kebutuhan. Untuk mensukseskan pendidikan karakter berbasis keluarga juga
harus memperhatikaan komponen-komponen yang terkait di dalamnya seperti tujuan,
program, proses, dan evaluasi pendidikan karakter yang diterapkan dalam keluarga.
Pendidikan karakter di Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam sangat
tergantungx pada pendidikan Islam. Jika pendidikan Islam berhasiil sehingga mewujudkan
umat Islam Indonesia yang memiliki karakter mulia, Indonesia telah berhasiil membangun
karakter bangsanya. Sebaliknya, jika pendidikan Islam tidak berjalan dengan baik sehingga
menghasilkan umat Islam Indonesia yang hanya bangga dalam hal kuantitas, tetapi tidak
memerhatikan kualitas (terutama karakternya), Indonesia berarti telah gagal membangun
karakter bangsanya. Dengan kata lain,, ketika umat Islam benar-benar memahami ajaran
agama Islam dengan baik lalu mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari, pastilah
terwujud tatanan kehidupan di tengah-tengah masyarakat yang berkarakter. Kenyataan
membuktiikan bahwa Indonesia banyak bermasalah dalam hal karakter. Hal ini berarti
bangsa Indonesia yang mayoritas beragama Islam belum mengamalkann ajaran agama
dengan baik. Untuk itu, agama harus dijadikan sebagai fondasi utama dalam membangun
karakter manusia. Dengan agamalah karakter yang seutuhnya bisa dibangun. Namun
demikian, untuk zaman sekarang masih diperlukan metode dan strategi yang
dikembangkann oleh para ahli etika/karakter (sekular) berdasarkan pengalamaan nyata dan
sudah teruji di lapangan. Perpaduan dua pendekatanx, yakni akhlak Islam dan pendidikan
karakter sekuler diharapkan dapat memperlancar

DAFTAR PUSTAKA
Husni Mubarok, “Family Digital Literacy for Character Building in Primary Education,”
Proceeding of International Conference on Islamic Education: Challenges in Technology and
Literacy Faculty of Education and Teacher Training, Universitas Islam Negeri Maulana Malik
Ibrahim Malang Vol. 4, (2019) :419.
http://conferences.uinmalang.ac.id/index.php/icied/article/view/1142
D.Yahya Khan, Pendidikan Karakter Berbasis Potensi Diri, (Yogyakarta: Pelangi Publishing,
2010), hlm. 2.
Darmiatun, Daryanto Suryatri, Implementasi Pendidikan Karakter di Sekolah, , Yogyakarta:
Gava Media, 2013, Cet. ke- 1
Furqon, Hidayatullah, M. , Pendidikan Karakter Membangun Peradaban.
Bangsa, Surakarta: Yuma Presindo, 2010
Mujib,A.(1999). Fitrah dan Kepribadian Islam, Jakarta: Darul Falah
.(2006). Kepribadian dalam Psikologi Islam, Jakarta: Rajawali Press

Anda mungkin juga menyukai