Anda di halaman 1dari 78

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Kajian Teori

Dalam kajian teori ini akan dibahas terkait dengan variabel dalam penelitian

yakni konsep menstimulasi, konsep multikultural, konsep bahan ajar berupa buku

bergambar, serta kosep buku bergambar berbasis multikultural yang dikembangkan

dalam peneleitian ini.

1. Konsep Menstimulasi Anak Usia 5-6 Tahun

Stimulasi dalam Pendidikan Anak Usia Dini adalah pemberian rangsangan

pendidikan yang diberikan untuk mencapai kompetensi sikap, pengetahuan, dan

keterampilan bagi anak dari sampai dengan usia 6 tahun agar dapat tumbuh dan

berkembang secara optimal. Soetjaningsih (1998: 105) menjelaskan bahwa

rangsangan datang dari lingkungan di luar individu anak, anak yang

mendapatkan stimulasi akan lebih cepat meningkatkan perkembangan anak dari

pada anak yang kurang atau bahkan tidak mendapat stimulasi, dimana stimulasi

dapat juga berfungsi sebagai penguat. Teori belajar behavioristik atau aliran

tingkah laku menjelaskan bahwa belajar diartikan sebagai proses perubahan

tingkah laku sebagai akibat dari interaksi antara stimulus dan respons. Belajar

menurut psikologi behaviorsitik adalah suatu kontrol instrumental yang berasal

dari lingkungan. Belajar tidaknya seseorang bergantung pada faktor-faktor

kondisional yang diberikan lingkungan (Siregar dan Hartini, 2014:25).

Menstimulasi anak usia 5-6 tahun dalam penelitian ini adalah sebuah usaha

yang dilakukan dalam pemberian rangsangan pendidikan berupa pembelajaran

cinta tanah air dengan pendekatan materi multikultural yang diberikan untuk

22
mencapai kompetensi sikap, pengetahuan, dan keterampilan dalam hal ini adalah

karakter cinta tanah air bagi anak usia dari 5 hingga 6 tahun agar dapat mencapai

perkembangan secara optimal. Dalam penelitian ini, perubahan tingkah laku

yang diharapkan adalah sikap karakter cinta tanah air melalui pemberian

stimulus berupa pembelajaran dengan pendekatan multikultural dalam bentuk

Buku Bergambar yang berisi materi dan aktivitas yang berbasis multikultural di

Indonesia. Respon yang akan dicapai adalah sikap karakter cinta tanah air anak

usia 5-6 tahun.

2. Konsep Karakter Anak Usia 5-6 Tahun

a. Pengertian dan Latar Belakang Karakter

Karakter dalam dunia pendidikan saat ini sedang diusung dan

digalakkan di Indonesia, seperti halnya dalam Sistem Pendidikan Nasional

yang menyebutkan bahwa tujuan pendidikan diarahkan untuk

berkembangnya karakter beriman dan bertaqwa kepada tuhan yang maha esa,

berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga

negara yang demokratis. Pembentukan dan penguatan karakter merupakan

pengembangan nilai yang salah satu program yang bisa mengantisipasi

pesatnya perkembangan teknologi dan informasi di era Revolusi Industri 4.0.

Oleh karena itu, dalam menyiapkan tantang generasi 4.0 tersebut diperlukan

penguatan karakter melalaui sistem pendidikan di Indonesia, salah satunya

yakni Pendidikan Anak Usia Dini, dengan diberikannya pendidikan nilai dan

moral sejak usia dini, diharapkan pada tahap perkembangan selanjutnya anak

akan mampu membedakan baik buruk, benar salah, sehingga anak dapat

23
menerapkannya dalam kehidupan sehari- hari. Hal tersebut akan berpengaruh

pada mudah tidaknya anak diterima oleh masyarakat sekitarnya dalam hal

bersosialisasi, lalu apa sebenarnya karakter tersebut, beberapa ahli

menjelaskan pandangan terkait dengan karakter, hal tersebut seperti:

Lickona (1991:51) menggambarkan karakter sebagai disposisi batin

yang dapat diandalkan untuk menanggapi situasi dengan cara yang baik

secara moral. Karakter yang dikandung memiliki tiga bagian yang saling

terkait: pengetahuan moral, perasaan moral, dan perilaku moral, artinya

seseorang perlu untuk mengendalikan diri sendiri-keinginan diri sendiri,

hasrat diri sendiri- untuk melakukan hal yang baik bagi orang lain. Senada

dengan itu, Russel William dalam (Anees & Hambali, 2008:99)

mengilustrasikan bahwa karakter adalah ibarat “otot”. “Otot- otot” karakter

menjadi lembek apabila tidak pernah dilatih, dan akan kuat dan kokoh kalau

sering dilatih. Seperti orang binaragawan (body builder) yang terus menerus

berlatih untuk membentuk otot-ototnya. “Otot-otot” karakter akan terbentuk

dengan praktik-praktik latihan yang akhirnya akan menjadi kebiasaan.

Dengan demikian, apabila karakter anak ingin muncul, maka karakter

tersebut distimulasikan dapat melalui muatan pembelajaran sehingga dapat

membentuk sebuah kebiasaan.

Senada dengan itu, Novak (dalam Lickona, 1991:50) mengartikan

karakter sebagai a compatible mix of all those virtues identified by religious

tradiyions, leterary stories, the sages, and person of common sense down

through history. Karakter merupakan sebuah perpaduan yang harmonis dari

24
nilai agama, kisah sasta, cerita- cerita orang bijak dan berilmu sejak jaman

dahulu hingga sekarang.

Menambahkan pendapat Novak, Rokhman et al. (2014) menyatakan

bahwa:

Character can also be considered as behavioural element which emphasizes


somatopskisis elements possessed by human being. Character is usually seen
from psychological perspective. This is related to the aspects of behaviour,
attitude, manner and the quality following which diffentiate one person to
another or specific elements which may lead somebody to be more
outstanding that others.

Pendapat Rokhman tersebut dapat diartikan bahwa karakter dapat dianggap

sebagai sebuah elemen perilaku yang menekankan elemen somatopskis yang

dimiliki oleh manusia. Karakter terkait erat dengan aspek perilkau, sikap, cara

dan kualitas. Hal inilah yang mebedakan satu orang dengan orang lain atau

hal tertentu yang dapat membuat seseorang menjadi lebih luar biasa

dibandingkan dengan orang lain. Artinya, setiap anak mempunyai karakter

yang khas. Oleh karena itu, perlakuan kepada anak dalam pembelajaran

dikelas pun tidak dapar disamakan anatara anak yang satu dan anak yang

lainnya.

Karakter merupakan hal sederhana, hal tersebut diungkapkan oleh

Massials & Allen (1996:159) yang mendefinisikan bahwa karakter dapat

diamati secara langsung melalui perilaku yang baik dengan sebuah tindakan,

kinerja fisik yang baik dengan tindakan, serta mampu mengontrol diri dari

perbuatan dan ucapan tertentu yang dianggap buruk. Sedangkan pandangan

Agboola & Tsai (2012:36) memandang bahwa karakter sebagai realisasi dari

perkembangan positif seseorang yang meliputi aspek intelektual, sosial,

25
emosional, dan etis, untuk menjadi orang yang memiliki karakter yang baik

dari kebanyakan orang lain. Dari pandangan Agboola & Tsai tersebut dapat

diambil makna bahwa karakter erat kaitannya dengan intelektual atau kognitif

seseorang.

Hal tersebut diperjelas kembali menurut Baehr (2017:1153) dalam

definisinya terkait intellectual character education atau pendidikan karakter

intelektual menekankan pada pengembangan kemampuan intelektual seperti

rasa ingin tahu, pikiran terbuka, dan keberanian intelektual. Hal ini berarti

karakter juga mencakup kemampuan intelektual yang dimilki oleh anak.

Untuk memfasilitasi pengembangan pelatihan formal dalam pembelajaran

karakter di sekolah, Lapsey & Woodbury (2016) mengklasifikasikannya

menjadi tiga tujuan, yaitu: Best Practice (“Good Learner”), Broad Character

Education (“Fortified Good Learner”), and Intentional MoralCharacter

Education (“Moral Self”). Artinya, dengan praktik, pendidikan karakter yang

luas, dan pendidikan moral yang direncanakan, diharapkan pendidikan

karakter di kelas dapat menjadi efektif.

Lickona (!992:51) menyatakan bahwa Good character consists of

knowing the good, desiring teh good, and doing the good, yang artinya

karakter yang baik meliputi mengetahui yang baik, menginginkan yang baik,

dan melakukan yang baik. Hal ini dapat dimaknai bahwa karakter merupakan

suatu sikap yang menunjukkan kebaikan (goodness) yang dilakukan oleh

setiap individu diantaranya berpikir baik (thingking good), berperasaan baik

(telling good), dan berperilaku baik (behaving good), sehingga mampu

26
menjadi manusia bijak berbudi perkerto luhur. selain itu, Mustadi (2011)

menambahkan bahwa pendidikan karakter di sekolah adalah suatu sistem

penanaman nilai- nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi

komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk

melaksanakan nilai- nilai tersebut. Oleh karena itu, sekolah memegang

peranan penting dalam pengembangan nilai- nilai karakter.

Karakter dalam dunia pendidikan yang disebut sebagai pendidikan

karakter menurut Pattaro (2016:11) merupakan sesuatu hal yang dianggap

memainkan peran penting dalam pembangunan identitas anak dan dapat

menjadi sarana yang relevan untuk membangun generasi muda melalui

sosialiasi pendidikan karakter. Pandangan Pattaro tersebut menjadi penguat

bahwa karakter dapat menjadi senjata kuat dalam menghadapi revolusi

industri 4.0 kedepan, salah satunya yakni Indonesia yang mau atau tidak akan

terkena imbas dari persaingan global revolusi industri 4.0. Sejalan dengan

Pattaro, Kristjansson (2012:3) memandang bahwa efektifiitas program

pendidikan karakter dapat menjadi kunci untuk membina generasi muda yang

dapat mengatasi konflik, berfikir kritis, peduli terhadap orang lain dan

bersaing secara global.

Pandangan lain terkait dengan karakter dilihat dari perspektif ahli dari

Indonesia, Soemarno dalam Merli (2011:25) menjelaskan bahwa karakter

merupakan nilai-nilai yang terpatri dalam diri melalui pendidikan,

pengalaman, percobaan, pengorbanan, dan pengaruh lingkungan, dipadukan

dengan nilai nilai dari dalam diri manusia menjadi semacam nilai intrinsik

27
yang mewujud dalam sistem daya juang melandasi pemikiran, sikap dan

perilaku seseorang. Menambahkan pendapat tersebut, pendidikan karakter

menggambarkan kurikulum yang dikembangkan untuk mengajar anak-anak

tentang hal yang penting diperlukan sifat untuk membangun karakter yang

baik, hal tersebut adalah upaya yang disengaja untuk mengembangkan

karakter yang mulia dan menumbuhkan kebajikan inti yang layak bagi

individu dan masyarakat secara keseluruhan. Hal tersebut membutuhkan

perencanaan kehati-hatian dan perhitungan untuk keberhasilan (Lintner,

2011; Tyra, 2012).

Lalu, kapan sebaiknya nilai karakter itu distimulasikan, dalam

kaitannya dengan penanaman nilai karakter, maka waktu yang tepat ialah

dimulai sejak anak usia dini. Anak usia dini merupakan masa-masa awal

perkembangan yang tepat untuk diberikan pendidikan. Pakar pendidikan

menyebut usia ini sebagai masa-masa keemasan anak (the golden age). Hal

ini semakin diperkuat dengan kajian neurosains yang menyebutkan bahwa

anak yang baru dilahirkan perkembangan sel saraf pada otak mencapai dua

puluh lima persen, sampai usia 4 tahun mengalami perkembangan lima puluh

persen, dan sampai usia 8 tahun mencapai delapan puluh persen, selebihnya

berkembang sampai usia 18 tahun (Mulyasa, 2012:2). Kajian neurosains

tersebut memberikan gambaran bahwa perkembangan kecerdasan anak yang

paling dominan terjadi pada usia 0 – 8 tahun. Oleh karenanya, masa- masa

tersebut harus dimanfaatkan dan dioptimalkan sebaik-baiknya untuk

penanaman nilai-nilai karakter anak usia dini, hal tersebut sejalan dengan

28
pandangam Soderasono (2010:1) yang berpandangan bahwa pembentukan

karakter warga negara yang baik pada anak usia dini sangat fundamental. Usia

dini merupakan masa emas perkembangan yang keberhasilannya sangat

menentukan kualitas di masa dewasanya.

Hasil penelitian dari Ozbey (2014) menunjukkan bahwa pengetahuan

anak-anak tentang aturan moral dan sosial bervariasi secara signifikan

sehubungan dengan tingkat sosial ekonomi mereka, sekolah yang mereka

hadiri, usia guru mereka, dan sekolah tempat guru lulus. Sarıçam dan

Halmatov (dalam Ozbey, 2014) mempelajari persepsi aturan moral dan sosial

anak-anak yang mengikuti dan tidak bersekolah dan menemukan bahwa

anak-anak prasekolah memiliki persepsi yang lebih tinggi. Dalam penelitian

ini, dapat dikatakan bahwa anak-anak yang menghadiri tahun-tahun

prasekolah sekolah dasar telah lebih banyak menerapkan aturan sosial.

Pendidikan Anak Usia Dini akan menjadi dasar dan titik awal bagi anak

negeri dalam pembentukan karakter dan Sumber Daya Manusia (SDM) yang

berkualitas, yang memiliki wawasan, intelektual, kepribadian, tanggung

jawab, inovatif, kreatif, proaktif dan partisipatif serta semangat mandiri.

Anak-anak yang mengikuti PAUD menjadi lebih mandiri, disiplin, dan

mudah diarahkan untuk menyerap ilmu pengetahuan secara optimal (Isjoni,

2010:40). Pembentukan karakter anak pada periode emas ini akan memiliki

dampak yang akan bertahan lama terhadap pembentukan moral anak. Disisi

sebaliknya, kegagalan penanaman karakter pada usia dini akan membentuk

pribadi yang bermasalah di masa dewasanya kelak (Megawangi, 2004:23).

29
Pendidikan karakter pada anak usia dini adalah strategi investasi

manusia yang tepat dimana efek kelanjutan dari langkah tersebut terlihat

bahwa kemampuan sosial dan emosi pada masa anak-anak akan mengurangi

perilaku yang beresiko pada ia tumbuh dewasa, seperti tawuran antar ras;

perkembangan emosi dan sosial pada anak-anak juga dapat meningkatkan

kesehatan manusia selama hidupnya, misalnya reaksi terhadap tekanan

(stress), yang akan berdampak langsung pada proses penyakit; kemampuan

emosi dan sosial yang tinggi pada orang dewasa yang memiliki penyakit

dapat membantu meningkatkan perkembangan fisiknya (Jan Wallander

dalam Nurhafidzhah, 2010:288). Pandangan dampak karakter pada anak usia

dini tersebut sejalan dengan pandangan Mize (2005:22) bahwa Kegagalan

untuk mencapai perilaku anak akan mempengaruhi perkembangan lebih

lanjut bahwa anak-anak yang tidak terbentuk hubungan teman sebaya yang

positif lebih mungkin dimiliki hubungan yang bermasalah di kemudian hari.

Pendidikan Anak Usia Dini menjadi salah satu garda terdepan dalam

terciptanya generasi penerus yang berakhlak mulia, Untuk itu, pengenalan

nilai karakter anak usia dini perlu distimulasi sejak dini, dalam hal ini di

Indonesia bahwa Pendidikan Anak Usia Dini terbagi menjadi layanan formal

dan non formal, dalam layanan formalnya adalah Taman Kanak- kanak yang

merupakan lembaga pendidikan untuk jenjang anak usia 4-6 tahun, anak usia

4-5 di TK Kelompok A dan anak usia 5-6 di TK Kelompok B.

Dalam penelitian ini, karakter sebagai rujukan dalam variabel karakter

cinta tanah air, dimana karakter merupakan nilai yang yang menjadi sebuah

30
kepribadian dan berhubungan dengan moral yang melandasi baik dan

buruknya sikap, pemikiran dan perilaku sosial. Dalam dunia pendidikan,

terkhusus pendidikan anak usia dini, karakter mengajarkan anak mengenai

penguatan nilai serta hal- hal positif baik secara bersikap maupun berperilaku

yang sesuai dengan norma- norma yang berlaku di masyarakat. Karakter

menjadi penting untuk distimulasikan sejak dini, dalam hal ini untuk anak

usia 5-6 tahun karena masa ini menjadi masa emas dan keberhasilan

perkembangannya akan menentukan kualitas di masa dewasanya dalam

rangka menyiapkan generasi penerus dalam menghadapi tantangan generasi

4.0.

b. Komponen, Pendekatan dan Metode Pengenalan Karakter

Komponen adalah bagian dari kesuluhan unsur yang membentuk suatu

kesatuan atau sistem. Adapun kompenen nilai-nilai karakter, Lickona

(1991:120) membagi tiga komponen penting dalam membangun pendidikan

karakter yaitu moral knowing (pengetahuan tentang moral), moral feeling

(perasaan tentang moral) dan moral action (perbuatan bermoral). Ketiga

komponen tersebut dapat dijadikan rujukan implementatif dalam proses dan

tahapan pendidikan karakater. Selanjutnya, misi atau sasaran yang harus

dibidik dalam mengajarinya dari tidak tahu menjadi tahu, dan pada tahap-

tahap berikutnya dapat membudayakan akal pikiran, sehingga dapat

memfungsikan akalnya menjadi kecerdasan intelegensia. Hal ini merupakan

hal yang pertama, yang disebut sebagai kognitif.

31
Pengetahuan moral dibangun di dalam dan terkait dengan konteks

tertentu, yang mencerminkan perspektif budaya Johansson (2019:55).

Dengan demikian, perkembangan moral anak-anak saling terkait dengan

konteks sosial dan budaya sejarah pribadi mereka dan dengan interaksi

dengan orang lain, orang dewasa dan teman bermain (Johansson, 2019:57-

64). Anak-anak tampaknya sadar akan pengetahuan sosial mereka dan mereka

menggunakannya dalam bahasa mereka untuk hubungan dengan orang lain

(Killen & Smetana, 2009:10).

Kedua, afektif, yang berkenaan dengan perasaan, emosional,

pembentukan sikap di dalam diri pribadi seseorang dengan terbentuknya

sikap simpati, antipati, mencintai, membenci, dan lain sebagainya. Sikap ini

semua dapat digolongkan sebagai kecerdasan emosional. Ketiga,

psikomotorik, adalah berkenaan dengan tindakan, perbuatan, perilaku, dan

lain sebagainya. Apabila dikombinasikan ketiga komponen tersebut dapat

dinyatakan bahwa memiliki pengetahuan tentang sesuatu, kemudian

memiliki sikap tentang hal tersebut, selanjutnya berperilaku sesuai dengan

apa yang diketahuinya dan apa yang disikapinya.

Pendidikan karakter meliputi ketiga aspek tersebut, dari ketiga

komponen tersebut bahwa dalam pendidikan karakter seorang peserta didik

mesti mengetahui apa yang baik dan apa yang buruk. Persoalan yang muncul

adalah bagaimana seseorang memiliki sikap terhadap baik dan buruk,

dimana seseorang sampai ke tingkat mencintai kebaikan dan membenci

keburukan. Pada tingkat berikutnya bertindak, berperilaku sesuai dengan

32
nilai-nilai kebaikan, sehingga menjadi akhlak dan karakter mulia.

Dari pemaparan tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa komponen

karakter dapat digambarkan dalam Gambar 1. sebagai berikut:

Moral knowing Moral feeling Moral action


(pengetahuan (perasaan (perbuatan
tentang moral) tentang moral) bermoral).

KOGNITIF AFEKSI PSIKOMOTOR

Gambar 1. Komponen Membangun Pendidikan Karakter (Lickona,


1991: 120)

Komponen tersebut dapat diterapkan dalam pedidikan karakter melalui

pendekatan pembelajaran. Pendekatan pembelajaran dapat diartikan sebagai

titik tolak atau sudut pandang kita terhadap proses pembelajaran, yang

merujuk pada pandangan tentang terjadinya suatu proses yang sifatnya masih

sangat umum, di dalamnya mewadahi, menginsiprasi, menguatkan, dan

melatari metode pembelajaran dengan cakupan teoretis tertentu. Adapun

pendekatan yang dapat dilakukan, Prayitno dalam Saridewi (2010:302)

mengemukakan bahwa pendidikan karakter dapat dilakukan melalui dua

pendekatan yakni high-touch dan high-tech.

1) High-touch meliputi pengakuan, kasih sayang dan kelembutan,

keteladanan, penguatan (reinforcement), dan tindakan tegas yang

mendidik.

2) High-tech meliputi materi, metode, alat bantu, lingkungan belajar yang

kondusif, dan adanya penilaian hasil pembelajaran.

33
Dalam pendidikan anak usia dini, yakni anak usia 5-6 tahun pendekatan

pembelajaran tersebut dapat dicapai melalui berbagai macam metode. Metode

pembelajaran dapat diartikan sebagai cara yang digunakan untuk

mengimplementasikan rencana yang sudah disusun dalam bentuk kegiatan

nyata dan praktis untuk mencapai tujuan pembelajaran. Marlina (2010:252-

253) menjelaskan bawa terdapat beberapa metode yang dapat digunakan

dalam pembentukan karakter anak usia dini antara lain 1) bercerita ; 2)

bernyanyi, 3) bersajak, 4) diskusi 5) demonstrasi dan 6) karyawisata. Dalam

penelitian ini, metode- metode tersebut akan menjadi acuan untuk

mengembangkan aktivitas karakter cinta tanah air.

Dalam penelitian ini, tiga komponen pembelajaran karakter cinta tanah

air menjadi muatan pembelajaran untuk menstimulasi karakter cinta tanah air.

Komponen tersebut yakni Moral Knowing, Moral Feeling dan Moral Action.

Ketiga komponen tersebut dapat dipahami ketika berpikir untuk

mengimplementasikan tentang kebaikan kepada anak, terlebih dahulu

diimplementasikan pada diri anak pengetahuan tentang kebaikan. Selanjutnya

memberi pemahaman agar dapat merasakan dan mencintai kebaikan sehingga

anak akan selalu berbuat kebaikan. Dengan cara demikian, akan tumbuh

kesadaran bahwa anak akan melakukan kebaikan karena ia cinta kebaikan itu.

Setelah terbiasa maka tindakan tersebut mudah dilakukan dan berubah

menjadi sebuah kebiasaan. Pendekatan pembelajaran yang yang digunakan

dalam penelitian ini merupakan pendekatan High-tech meliputi materi,

34
metode, alat bantu, lingkungan belajar yang kondusif, dan adanya penilaian

hasil pembelajaran.

c. Nilai Karakter

Nilai adalah sesuatu yang berharga dan berguna bagi kehidupan

manusia. Namun nilai yang dimaksud dalam karakter ini dapat dikatakan

sebagai keyakinan seseorang dalam menentukan pilihan. Seperti yang

dikemukakan oleh Gordon Allfort seorang ahli psikologi kepribadian

sebagaimana dikutip oleh Mulyana (2004:9) menyatakan nilai adalah

keyakinan yang membuat seseorang bertindak atas dasar pilihannya. Allfort

menetapkan keyakinan pada posisi yang lebih tinggi, ketimbang hasrat, motif,

sikap keinginan dan kebutuhan”.

Nilai karakter yang dapat di stimulasikan untuk anak-anak sejak dini

dalam pendangan pendidikan karakter di Indonesia, paling tidak ada 18

(delapan belas) nilai karakter yang dapat distimulasikan dalam proses

pembelarajaran sepeti Fadlillah (2013:40-41) menjelaskan bahwa nilai

karakter di antaranya: 1) Religius; 2) Jujur; 3) Toleransi; 4) Disiplin; 5) Kerja

keras; 6) Kreatif; 7) Mandiri; 8) Demokratis; 9) Rasa ingin tahu 10) Semangat

kebangsaan; 11) Cinta tanah air yakni cara berfikir, bertindak, dan berbuat

yang menunjukkan kesetiaan, kepedulian, dan penghargaan yang tinggi

terhadap bahasa, lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan politik

bangsa; 12) Menghargai prestasi; 13) Bersahabat atau berkomunikasi; 14)

Cinta damai; 15) Gemar membaca; 16) Peduli lingkungan; 17) Peduli sosial;

dan 18) Tanggungjawab.

35
Pendidikan karakter bukanlah hanya sekedar mengajarkan tentang

pengetahuan kepada peserta didik saja akan tetapi pendidikan karakter

merupakan suatu proses mengimplementasikan nilai-nilai positif kepada

peserta didik untuk memperkuat pelaksanaan pendidikan karakter. Sekolah

menjadi salah satu yang berperan dalam pembenukan karakter pada usia

anak- anak. Anak memiliki karakteristik yang berbeda – beda, patut untuk

guru sebagai pendidik melihat perkembangan serta hambatan selama anak

dalam proses belajar. Scott, Brown, Collins (2013:13) menyatakan bahwa

kemungkinan besar belajar dan melakukan masing-masing anak berbeda.

Lebar berbagai kemampuan dan perilaku adalah normal untuk anak-anak dari

usia yang sama. Seorang anak bisa berkembang dengan cepat dalam satu

aspek dan lebih lambat di aspek lain. Anak-anak juga memiliki temperamen

yang berbeda. Satu anak mungkin ingin mencoba hal baru dan bertemu orang

baru, sementara yang lain mungkin bertahan dan membutuhkan lebih banyak

dukungan dari orang dewasa yang tepercaya sebelum bergabung dengan

aktivitas atau bertemu orang asing.

Pemerintah Indonesia telah mengidentifikasi 18 nilai yang bersumber

pada agama, budaya, falsafah Negara, dan tujuan pendidikan nasional, ke 18

nilai tersebut dalam Tabel 1.

36
Tabel 1. 18 Nilai Karakter
No Nilai Deskripsi

1. Religius Perilaku yang patuh untuk melaksanakan ajaran agama yang dianutnya, hidup
rukun dan toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain
2. Jujur Perilaku seseorang yang selalu dapat dipercaya pada perkataan, tindakan dan
pekerjaan
3. Toleran Sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan agama, suku, etnis, pendapat,
sikap, dan tindakan orang lain yang berbeda dengan dirinya.
4. Disiplin Menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai peraturan.
5 Kerja keras Upaya sungguh-sungguh untuk mengatasi berbagai hambatan belajar dan tugas
serta menyelesaikan tugas dengan sebaik-baiknya.
6. Kreatif Berpikir dan melaksanakan sesuatu untuk menghasilkan cara atau hasil baru pada
sesuatu yang telah dimiliki.
7. Mandiri Sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain untuk
menyelesaikan tugas-tugas.
8. Demokratis Cara berpikir, bersikap, bertindak, bertindak yang menilai sama hak dan kewajiban
dirinya dengan orang lain.
9. Rasa Ingin Sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih mendalam dan
Tahu meluas.
10. Semangat Cara berpikir, bertindak, berwawasan yang menempatkan kepentingan bangsa,
Kebangsaa negara di atas kepentingan diri maupun kelompoknya
n
11. Cinta Tanah Cara berpikir, bersikap, dan berbuat yang menunjukkan kesetiaan, kepedulian, dan
Air penghargaan yang tinggi terhadap bahasa, lingkungan fisik, sosial, budaya,
ekonomi, politik bangsa.
12. Menghargai Sikap dan tindakan yang menghargai dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang
Prestasi berguna bagi masyarakat, mengakui
13 Bersahabat Tindakan yang memperlihatkan rasa senang, berbicara, bergaul, dan bekerja sama
dengan orang lain.
14 Cinta damai Sikap, perkataan, tindakan yang menyebabkan orang lain merasa senang , aman
atas kehadirannya.
15. Gemar Kebiasaan menyediakan waktu untuk membaca berbagai bacaan yang memberikan
membaca kebaikan bagi dirinya.
16 Peduli Sikap dan tindakan selalu berupaya mencegah kerusakan pada lingkungan alam di
lingkungan sekitarnya
17 Peduli Sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi bantuan pada orang lain dan
sosial masyarakat yang membutuhkan.
18 Tanggung Sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan kewajiban, yang
jawab seharusnya dilakukan terhadap diri sendiri
Sumber: Fadlillah (2013:40-41)

Dalam penelitian ini, nilai karakter yang akan distimulasi pada anak

usia dini adalah nilai karakter Cinta Tanah Air, hal ini karena nilai cinta tanah

air menjadi salah satu nilai yang dapat dan penting untuk dikenalkan sejak

dini. karena begitu banyak keberagaman di Indonesia, apabila seseorang tidak

memiliki nilai karakter cinta tanah air, maka begitu banyak masalah akan

37
muncul karena keberagaman itu, seperti permasalahan persatuan yang dapat

menyebabkan perkelahian antar ras, banyaknya budaya asing yang masuk

tanpa tersaring, dan lainnnya. Hal tersebut akan dapat memecah persatuan

Indonesia, untuk itu nilai karakter cinta tanah air perlu dikenalkan, salah

satunya melalui pemberian stimulasi pada anak usia dini, yakni di Taman

Kanak- kanak.

3. Konsep Cinta Tanah Air

a. Pengertian Cinta Tanah Air

Pendidikan karakter merupakan suatu proses mentransformasi atau

perubahan perilaku seseorang oleh komponen nilai-nilai karakter itu sendiri.

Komponen ini meliputi pengetahuan, kesadaran, dan tindakan. Dari beberapa

karakter yang diterapkan di sekolah, cinta tanah air merupakan salah satu

karakter tersebut. Cinta tanah air merupakan cara berpikir, sikap, dan

perbuatan yang menunjukkan kesetiaan terhadap tanah air, yaitu bangsa dan

negara.

Ungkapan hubbul wathan minal iman yang artinya cinta tanah air

sebagian dari iman. Makna tersebut ialah supaya kita senantiasa cinta kepada

tanah air kita sendiri. Mustari (2014:24) dan Erni (2016) menjelaskan bahwa

cinta tanah air adalah rasa bangga, rasa menghargai, rasa memiliki, rasa

menghormati dan loyal pada negara tempat ia tinggal serta menunjukkan cara

berpikir, bersikap dan berbuat yang menunjukkan kesetiaan, kepedulian, dan

penghargaan yang tinggi terhadap bahasa, lingkungan fisik, sosial, budaya,

ekonomi, dan politik bangsa, hal ini tergambar dari perilakunya menjaga dan

38
melindungi negaranya, rela berkorban demi kepentingan bangsa, serta turut

melestarikan budaya-budaya yang ada di negara tersebut. Konsep cinta tanah

air oleh Mustari dan Erni tersebut sejalan dengan apa yang diungkapkan oleh

Fadlillah (2013:40-41) yang menjelaskan bahwa Cinta tanah air adalah cara

berfikir, bertindak, dan berbuat yang menunjukkan kesetiaan, kepedulian, dan

penghargaan yang tinggi terhadap bahasa, lingkungan fisik, sosial, budaya,

ekonomi, dan politik bangsa.

Namun demikian, cinta tanah air tidak hanya rasa bangga, Rusyan

(2013:33) menyatakan bahwa cinta tanah air bukan semata rasa bangga tetapi

juga dapat tercermin dari perilaku yang ditunjukkan dengan rela berkorban

demi kepentingan bangsa dan negara, sikap yang mengindikasi untuk

berupaya dengan sepenuh hati menerima tanah tumpah darah atau negara

sebagai bagian yang harus dilindungi dan dikembangkan. Dengan demikian,

rasa cinta tanah air dipahami sebagai suatu perasaan mencintai bangsa dengan

sepenuh hati sehingga berusaha untuk melindungi dan memajukan kehidupan

bangsanya agar dapat bersaing dengan bangsa lain.

Makna lain dari cinta tanah air bahwa cinta tanah air identik dan

dimaknai dengan kata cinta, seperti yang diungkapkan oleh Ismawati dan

Suryanto (2015) bahwa cinta tanah air tergambar pada perasaan cinta

terhadap bangsa dan negaranya sendiri. Usaha membela bangsa dari serangan

penjajahan, penjajahan dalam hal ini tidak hanya penjajahan fisik namun juga

penjajahan dalam bentuk ideologi. Dalam cinta tanah air terdapat nilai-nilai

kepahlawanan yakni rela dengan sepenuh hati berkorban untuk bangsa dan

39
negara. Dengan demikian, rasa cinta tanah air merupakan rasa kebanggaan,

rasa memiliki, rasa menghargai, rasa menghormati dan loyalitas pada negara

tempat dimana ia tinggal, yang tercermin dari perilaku membela tanah airnya,

menjaga dan melindungi tanah airnya, rela berkorban demi kepentingan

bangsa dan negaranya, mencintai adat atau budaya yang ada di negaranya

dengan melestarikannya dan melestarikan alam dan lingkungan.

Implementasi nilai – nilai nasionalisme telah diupayakan melalui

pengembangan kegiatan rutin, pembiasaan, dan kegiatan kreatif di sekolah

dasar sekolah sehingga cinta tanah air, semangat bangsa, dan menghargai

keanekaragaman menjadi budaya sekolah (Muttaqin, dll:2018).

Seperti pada konsep komponen karakter yang telah dijelaskan oleh

Lickona, Supinah dan Parmin (2011:23) memandang bahwa cinta tanah air

adalah cara berpikir, bersikap dan bertindak yang menunjukkan rasa

kesetiaan tinggi terhadap bangsa dan negara. Penanaman karakter cinta tanah

air dapat dilakukan dengan pengenalan identitas negara, lambang negara juga

budaya asli Indonesia. Pendapat Supinah tersebut sesuai dengan komponen

pendidikan karakter yang memuat, pengetahuan, kesadaran dan tindakan.

1) Pengetahuan

Pengetahuan mencakup informasi informasi atau materi yang terkait

dengan tanah air. Seperti pengetahuan tentang sejarah kemerdekaan,

tokoh-tokoh yang ikut dalam memperjuangkan kemerdekaan, mengetahui

keberagaman budaya, mengetahui wilayah-wilayah Indonesia, dan lain

sebagainya.

40
2) Kesadaran

Setelah memperoleh pengetahuan, kesadaran akan muncul dan

berpengaruh terhadap rasa bangga terhadap tanah air Indonesia pada diri

seseorang. Misalnya setelah mengetahui perjuangan kemerdekaan

Indonesia anak merasakan kerja keras yang dilakukan oleh para pejuang

untuk merebut kemerdekaan. Selanjutnya akan berdampak pada nomor

tiga.

3) Tindakan

Tindakan merupakan komponen pendidikan karakter yang paling

akhir. Setelah adanya pengetahuan dan kesadaran, maka akan muncul

suatu tindakan untuk mengekspresikan atau mengungkapkan kesadaran

tersebut. Misalnya, setelah anak merasakan kerja keras para pejuang dalam

merebut kemerdekaan, muncul tindakan dari anak yaitu anak menjadi rajin

belajar, tidak bercanda dalam melaksanakan upacara bendera,

menyanyikan lagu kebangsaan dengan penuh rasa bangga, dan lain

sebagainya. Selain itu, setelah anak sadar dengan keberagaman budaya,

anak akan berusaha melestarikan budaya tersebut dengan cara

mempelajari dan berlatih dengan sungguh- sungguh.

Kesimpulan dari pemaparan Cinta Tanah Air tersebut, dapat diambil

pengertian bahwa Cinta tanah air merupakan ungkapan yang sering didengar

dalam kehidupan sehari- hari. Cinta tanah air merupakan perwujudan rasa

bangga akan tanah airnya, rela berkorban untuk bangsa dan negaranya, dan

menjunjung tinggi harkat dan martabat bangsanya. Cinta tanah air sebagai

41
bentuk cara berfikir, bersikap, dan berbuat yang menunjukkan kesetiaan,

kepedulian, dan penghargaan yang tinggi terhadap bahasa, lingkungan fisik,

sosial, budaya, ekonomi, dan politik bangsa. Meskipun demikian, dalam

kaitan dalam pembelajaran pada anak usia dini kajian tersebut diambil

menjadi lebih sederhana dapat sebatas pada pengenalan lingkungan anak,

pengertian cinta tanah air dapat disederhanakan menjadi rasa menghargai

terhadap lingkungan sosialnya. Ekonomi dan politik bangsa belum tepat

menjadi ruang lingkup dalam pembelajaran karakter cinta tanah air pada anak

usia dini, karena hal tersebut masih belum nyata bagi anak dan belum

dirasakan langsung oleh anak serta lingkup yang terlalu luas. Tidak menjadi

hambatan bagi stimulasi anak usia dini dalam karakter cinta tanah air.

Cinta Tanah Air dapat distimulasikan untuk anak usia dini, meskipun

demikian patut dilihat dengan kesesuaian perkembangan anak. Anak Usia

Dini melalui cinta tanah air dapat dikenalkan konsep sederhana terkait hal-

hal menarik yang ada di Indonesia, sehingga anak dapat menunjukkan

ketertarikkan tersebut untuk Tanah Air, dari ketertarikkan anak dapat

menunjukkan sikap menghargai apa yang saat ini dimiliki Indonesia.

Karakter cinta tanah air pada anak usia dini sebagai sarana pendidikan yang

dapat mengajarkan anak mengenai hal- hal poitif baik cara bersikap maupun

berperilaku yang menandakan bahwa anak memiliki rasa loyal dan

menghargai yang ditunjukkan melalui cinta terhadap tempat tinggalnya yang

dapat anak terapkan dalam kehidupan sehari- hari sehingga anak dapat

terhindar konflik yang berkaitan dengan tempat tinggalnya. Dengan

42
demikian, pelaksanaan pembelajaran karakter cinta tanah air dimualai dengan

pengetahuan tentang Indonesia, memiliki perasaan cinta, dan berperilaku atau

mengamalkan sikap cinta tanah air.

b. Indikator Perilaku Cinta Tanah Air

Indikator merupakan variabel yang bisa membantu dalam kegiatan

pengukuran berbagai macam perubahan yang terjadi baik secara langsung

ataupun tidak langsung (WHO,1981). Green (1992) menyatakan indikator

adalah variabel – variabel yang bisa menunjukkan ataupun mengindikasikan

kepada penggunanya mengenai sesuatu kondisi tertentu, sehingga bisa

dipakai untuk mengukur perubahan yang terjadi. Indikator karakter cinta

tanah air dalam penelitian ini dimaksudkan untuk membantu peneliti dalam

mengukur perubahan perilaku yang menunjukkan bagaimana anak tersebut

dapat dikatakan mencintai tanah airnya.

Perilaku sikap Cinta Tanah Air dapat berarti mencintai produk dalam

negeri, rajin belajar bagi kemajuan bangsa dan negara, mencintai lingkungan

hidup, melaksanakan hidup bersih dan sehat, serta mengenal wilayah tanah

air tanpa fanatisme kedaerahan. Susanto (2008:25) menyatakan bahwa

indikator seseorang yang berperilaku Cinta Tanah Air yakni beriman/

memiliki kepercayaan religius, bertaqwa, berkepribadian, semangat

kebangsaan, disiplin, sadar bangsa dan negara, tanggungjawab, peduli, rasa

ingin tahu, berbahasa indonesia baik dan benar, mengutamakan kepentingan

nasional dari pada individu, kerukunan, kekeluargaan, demokrasi, percaya

diri, adil, persatuan dan kesatuan, menghormati/ menghargai, bangga akan

43
bangsa dan negara, cinta produk dalam negeri, tenggang rasa, bineka tunggal

ika (berbeda tetap satu tujuan), sederhana, kreatif, menempatkan diri/

tanggon, cekatan/ ulet.

Supinah dan Parmin (2011: 23) menjelaskan cinta tanah air adalah cara

berpikir, bersikap, dan bertindak yang menunjukkan rasa kesetiaan yang

tinggi terhadap bangsa dan negara. Indikator cinta tanah air yang

dikemukakan oleh Supinah dan Parmin yakni:

1) Mengagumi keunggulan geografis dan kesuburan tanah wilayah


Indonesia.
2) Menyenangi keberagaman budaya dan seni di Indonesia.
3) Menyenangi keberagaman suku bangsa dan bahasa daerah yang
dimiliki Indonesia.
4) Mengagumi keberagaman hasil pertanian, perikanan, flora dan fauna
Indonesia.
5) Mengagumi kekayaan hutan di Indonesia.
6) Mengagumi laut serta perannya dalam kehidupan bangsa Indonesia.

Zaenal (2012:42) menyatakan beberapa indikator keberhasilan karakter

cinta tanah air yang hampir sama dengan pendapat Supinah dan Parmin yakni

sebagai berikut:

1) Menanamkan nasionalisme dan rasa persatuan dan kesatuan bangsa.


2) Menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar.
3) Memajang bendera Indonesia, Pancasila, gambar presiden serta simbol
simbol negara lainnya.
4) Bangga dengan karya bangsa.
5) Melestarikan seni dan budaya bangsa.

Sejalan dengan itu, Mustari (2014:160) menyatakan bahwa indikasi

seseorang memiliki perilaku nasionalis itu memiliki diantaranya adalah:

1) Menghargai keindahan alam dan budaya Indonesia

Menghargai keindahan alam dan budaya Indonesia merupakan hak

harus dipupuk pada anak sejak dini, karena memang bangsa Indonesia

44
memiliki alam dan budaya yang indah dan beragam, betapa hebatnya

budaya yang dimiliki, sehingga banyak jenis budaya itu yang dipatenkan

oleh negara lain. Untuk itu Indonesia perlu mematenkan semua

kekhasan ilmiah dan budaya yang dimiliki kepada dunia. Namun, upaya

tersebut diperlukan adanya semangat nasionalisme yang tinggi.

2) Menghargai jasa para tokoh/pahlawan nasional

Menghargai jasa para tokoh atau pahlawan nasional adalah hal yang

sudah semestinya ditanamkan pada kepada generasi muda. Mustari

berpendapat bahwa jangan sampai anak berada atau tinggal di sebuah

jalan yang bernama seorang pahlawan, namun tidak tahu siapa pahlawan

tersebut. Seringkali berpotret dengan latar belakang patung-patung yang

ada di luar Jawa, misalnya Bali, tetapi tidak mau berfoto dengan patung-

patung kebudayaan sendiri.

3) Bersedia menggunakan produk dalam negeri

Bersedia menggunakan produk sendiri harus ditanamkan kepada diri

masing-masing anak Indonesia, dengan demikian menghormati karya

sendiri, tentu saja ini akan lebih nikmat dan membanggakan. Banyak

orang lain yang membeli banyak pakaian yang berasal dari dalam negeri

karena memang karya yang dihasilkan berkualitas, apalagi ditambah

dengan harga yang murah.

4) Hafal lagu-lagu kebangsaan

Lagu-lagu kebangsaan harus diajarkan dan dihafal oleh anak-anak sejak

dini dan oleh seluruh warga Negara. Sebab lagu-lagu tersebut membawa

45
anak kembali ke masa perjuangan para pahlawan, para tokoh

kemerdekaan dalam memerdekakan negeri ini, mempertahankan

kemerdekaan ini, dan juga dalam berjuang untuk membangun negeri ini.

Kepahlawanan kenegaraan perlu terus diperdengarkan kepada khalayak

bahwa semangat itu masih ada, dan akan terus ada.

5) Memilih berwisata dalam negeri

Memilih berwisata dalam negeri sendiri merupakan sikap terpuji untuk

menumbuhkan dan mengabadikan rasa nasionalisme yang dimiliki.

Warga Indonesia harus mengenal tempat tempat wisata di negerinya,

lebih dari orang asing. Orang-orang asing berbondong-dondong ke

Indonesia untuk berwisata, melakukan penelitian, membuat film,

melakukan usaha, melakukan eksplorasi, dan sebagainya. Oleh karena

itu sering-seringlah berwisata di Indonesia untuk untuk mencari

inspirasi, melepas lelah, mengikuti rasa ingin tahu, dan mungkin juga

melakukan berbagai peluang kerja dan bisnis. Hal yang terpenting

adalah rakyat mengenali dulu negerinya. Baru kemudian, banyak hal

yang dapat dimanfaatkan dari negeri ini untuk rakyat Indonesia.

Dalam penelitian ini, indikator karakter cinta tanah air untuk anak

usia 5-6 tahun berdasarkan kajian ahli tersebut disederhanakan untuk

disesuaikan berdasarkan perkembanagan anak usia 5- 6 tahun dan faktor

lingkungan sosial yang dekat dengan anak, indiator dikaji untuk

disesuaikan dengan kompetensi dasar Permendikbud RI No 146 Tahun

46
2014 tentang Kurikulum 2013 PAUD. Indikator karakter cinta tanah air

yang digunakan dalam pembuatan instrumen penelitian ini adalah

penelitian ini adalah:

Menghargai keragaman Ras di


Indonesia
Menghargai keragaman agama di
Indonesia
Menghargai keragaman seni di
Indonesia
Cinta Tanah Air
Menghargai keragaman tempat
wisata di Indonesia
Menghargai keragaman makanan di
Indonesia
Menghargai keragaman flora-fauna
di Indonesia
Gambar 2. Bagan Indikator Perilaku Cinta Tanah Air berdasarkan teori ahli
yang disesuaikan Kurikulum 2013 PAUD

4. Konsep Multikultural Anak Usia 5-6 Tahun

a. Pengertian dan Tujuan

Keragaman budaya adalah realitas global dengan dampak lokal,

menuntut peninjauan lebih dekat tentang hubungan antara nilai-nilai budaya

dan multikulturalisme dan nilai pendidikan multikultural dalam program

Pendidikan Anak Usia Dini. Pengakuan akan kesamaan derajat dari fenomena

budaya yang beragam itu tampak dalam semboyan Bhinneka Tunggal Ika,

berbeda-beda tetapi tetap satu. Ungkapan itu sendiri mengisyaratkan suatu

kemauan yang kuat untuk mengakui perbedaan tapi sekaligus memelihara

kesatuan atas dasar pemeliharaan keragaman, bukan dengan

menghapuskannya atau mengingkarinya. Perbedaan dihargai dan dipahami

sebagai realitas kehidupan, hal ini adalah asumsi dasar yang juga melandasi

paham multikultural.

47
Makna berdasarkan harfiah, Multikultural berasal dari kata multi

(plural) yang berarti banyak, ragam, atau aneka dan kultural (tentang budaya)

berasal dari kata culture dalam Bahasa Inggris memiliki makna yaitu

kebudayaan, kesopanan, dan pemeliharaan. Budaya dapat didefinisikan

sebagai perilaku, moral, nilai-nilai, gagasan, dan norma yang membangun

kesinambungan waktu dan termasuk ciri khas dan simbol kehidupan yang

ikonik dari mana kompetensi terpuji dialihkan ke anggota baru masyarakat

yang memandu dan mengatur kehidupan sehari-hari. Dengan demikian,

dengan pemahaman yang tertanam dalam dan diterima secara luas tentang

bagaimana perasaan masing-masing anggota dari setiap masyarakat, masing-

masing budaya adalah unik dan mengasumsikan karakteristik yang berbeda

dari budaya lain (Bornstein, 2015:22).

Multi-kultural mengisyaratkan pengakuan terhadap realitas keragaman

kultural, yang berarti mencakup baik keberagaman tradisional seperti

keberagaman suku, ras, ataupun agama, maupun keberagaman bentuk-bentuk

kehidupan (subkultur) yang terus bermunculan di setiap tahap sejarah

kehidupan masyarakat. Tenri (2008) menyatakan bahwa multikuralisme

adalah sebuah kesadaran ilmiah baru atau ideologi yang memandang

kesederajatan dalam perbedaan dan keragaman sebagai hal yang begitu

penting dalam kehidupan bersama.

Hall (dalam Rampersad, 2014) memaparkan bahwa multikultural

adalah karakteristik sosial komunitas budaya yang berbeda dan tinggal

bersama dan berusaha membangun kehidupan bersama serta

48
mempertahankan identitas asli mereka.

Dunia pendidikan menyebut paham multikultural sebagai pendidikan

multikultural. Mughni (dalam Miftah, 2016) menjelaskan bahwa pendidikan

multikultural adalah pendidikan yang menghargai perbedaan. Tujuan dari

paham multikultural ini adalah untuk mempromosikan penghormatan dan

penerimaan semua kelompok budaya, agama, identitas ras, jenis kelamin,

etnis dan kelas sosial.

Barakoska (2013) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa diantara

tujuan multikultural yakni pendidikan haruslah seseorang dengan luas

pandangan dan orientasi multikultural yang luas, seseorang yang bisa

memberi makna pada identitas nasional dan budaya individu, dan seseorang

yang akan menghargai orang lain varietas budaya dan prestasi mereka serta

mewakili perspektif kemanusiaan untuk masa depan kehidupan.

Banks (dalam Howe & Lisi, 2014:18) menjelaskan bahwa tujuan

multikultural yakni:

1) Membantu individu mendapatkan pemahaman dia dengan melihat

sendiri dari perspektif budaya lain, dengan melihat perspektif budaya

lain, seseorang dapat lebih memahami budaya yang dimiliki maupun

budaya lain, dan dapat memahami bagaimana harus menyikapi

keberagaman yang ada.

2) Membantu menyediakan semua anak dengan sikap, keterampilan dan

pengetahuan yang dibutuhkan, yang berungsi dalam budaya mainstrem

dan budaya etnis.

49
3) Mengurangi rasa diskriminasi.

4) Membantu anak menguasai menulis, bacaan penting, dan keterampilan

lain.

5) Membantu anak memperoleh pengetahuan, sikap dan keterampilan

yang dibutuhkan untuk berpartisipasi di dalam masyarakat.

Serupa dengan pendapat Banks, Kendall (dalam Melendez & Beck,

2013:30) menyebutkan bahwa tujuan multikultural dalam dunia pendidika

terbagi menjadi 5, yakni:

1) Mengajarkan anak untuk menghormati orang lain dan nilai- nilai seperti

diri mereka sendiri, mengajarkan kepada anak hidup bersama untuk

saling menghargai satu sama lain tanpa melihat keberagaman sebagai

suatu masalah.

2) Membantu anak belajar untuk berfungsi dan sukses dalam masyarakat

multiras dan multikultural.

3) Mengembangkan konsep diri positif dalam anak- anak yang paling

terpegaruh oleh warna rasisme anak- anak.

4) Membantu anak yang mengalami kedua perbedaan, yaitu sebagai orang-

orang tang beragam budaya dan kesamaan mereka sebagai manusia

degan cara yang positif.

5) Mendorong anak mengenal orang dari beragam budaya agar dapat

berkerja sama debagai bagian unik dari seluruh masyarakat.

Bellini, S., Pereda, V., Coredo, N., & Moralez, L.. (2016, 182-189)

mengintegrasikan perspektif multikultural ke dalam kelas anak usia dini,

50
penelitian ini menawarkan temuan yang menjanjikan mengenai peran yang

dapat dimainkan oleh pendidikan dalam mengurangi bias rasial negatif pada

anak-anak yakni dengan menerapkan pendidikan budaya ke dalam kurikulum

yang ditetapka serta dimasukkannya ke dalam materi kelas.. Ada upaya

terbaru, sejalan dengan temuan penelitian ini, untuk mendorong

dimasukkannya buku-buku multikultural ke dalam kurikulum prasekolah dan

untuk meningkatkan kesadaran budaya (Klefstad & Martinez, 2013).

Pendidikan multikultural pada masa prasekolah meningkatkan

pengetahuan khusus domain anak-anak tentang beberapa aspek ras. Langkah

awal menuju pengurangan sikap negatif terhadap kelompok ras lain adalah

kemampuan untuk tidak melihat semua anggota kelompok tersebut sebagai

homogen dan untuk melihat kelompok mereka sendiri dan lainnya. Nigler dan

Liben (1993) menemukan dukungan untuk gagasan bahwa pembelajaran

sosial dan pengembangan kognitif memainkan peran dalam bagaimana sikap

terbentuk dan menyarankan bahwa keduanya harus dipertimbangkan ketika

merancang intervensi. Selain itu, Ramsey (1991) mengemukakan bahwa

upaya untuk menantang sikap negatif dan mempromosikan sikap positif

terhadap kelompok ras lain harus dimulai pada usia prasekolah. Karena guru

adalah agen sosialisasi yang penting, mereka dan kurikulum yang mereka

tawarkan dapat memainkan peran dalam pembentukan sikap positif bahkan

ketika di tingkat prasekolah.

Indonesia sebagai salah satu negara multikultural terbesar di dunia

tentunya mempertimbangkan pendidikan multikultural sebagai salah satu

51
upaya untuk menjunjung tinggi nilai demokrasi dan hak asasi manusia.

Penting dalam masyarakat yang heterogen seperti Indonesia memiliki sistem

pendidikan yang mengusung multikultural, hal tersebut seprti yang

diungkapkan Mustofa (2006:264)yang berpendapat bahwa dalam masyarakat

yang memiliki anggota heterogen dan multikultur, perlu mengapresiasi

pendidikan multikultural sebagai upaya untuk mengembangkan pemikiran

manusia yang menghargai keragaman budaya, etnis dan aliran agama. Hal ini

juga sejalan dengan pendapat Mahfud (2005:250) bahwasannya pendidikan

multikultural dapat didefinisikan sebagai pendidikan untuk/tentang

keragaman kebudayaan dalam meresponi perubahan demografis dan kultural

yang terjadi di lingkungan masyarakat tertentu atau bahkan di dunia secara

keseluruhan.

Berdasarkan pendapat tersebut maka bisa disimpulkan bahwa

pendidikan multikultural memang dibutuhkan untuk negara multikultural

seperti Indonesia yang terdiri atas banyak kebudayaan yang berkembnag

dalam kehidupan sosialnya. Implementasi pendidikan multikultural tidaklah

mudah, terdapat tantangan yang perlu diselesaikan oleh semua stakeholder.

b. Pendekatan Multikultural dalam Pendidikan

Pelaksanaan multikultural dalam pendidikan dapat dilihat dari

pendekatan yang digunakan dalam pembelajaran.

1) Pendekatan Banks

Pendekatan Banks untuk integrasi multikultural (Banks & McGee

Banks, (2013: 184-194) terbagi menjadi empat level yakni:

52
a) The Contributions approach

Pendekatan kontribusi merupakan pendekatan pengembangan

kurikulum atau pembelajaran yang dilakukan dengan melibatkan unsur-

unsur terkecil mengenai komponen budaya, hari libur atau perayaan,

pahlawan, dan elemen lain yang berkaitan dengan kelompok etnis pada

hari- hari khusus, kesempatan dan perayaan. Pendekatan ini dianggap

yang paling ringan dan mudah untuk diimplementasikan dalam

pendidikan.

Dalam kurikulum maupun pembelajaran di Taman Kanak-Kanak,

tema-tema pembelajaran dapat dimasukkan kisah-kisah para pahlawan

maupun tokoh-tokoh daerah yang memiliki yang memilki prestasi yang

membanggakan, serta memperkenalkan kebudayaan-kebudayaan yang

ada di Indonesia kepada anak-anak.

b) The Aditive approach

Pengembangan kurikulum dengan pendekatan ini yaitu dengan

menambahkan materi, konsep, dan perspektif terhadap kurikulum tanpa

mengubah struktur, tujuan, dan karakteristik dasarnya. Pedengan aditif

ini lebih dilengkapi dengan penambahan buku, Buku Bergambar atau

bidang bahasan terhadap kurikulum tanpa mengubahnya secara

substantif.

c) The Transformation Approach

Pendekatan transformasi berbeda secara mendasar dengan

pendekatan kontribusi dan aditif. Letak perbedaannya yaitu pada

53
pendekatan ini mengubah asumsi dasar kurikulum dan menumbuhkan

kompetensi anak dalam melihat konsep, isu, tema, dan problem dari

beberapa perspektif dan sudut pandang etnis.

d) The Social Approach

Pendekatan aksi sosial merupakan pendekatan yang paling

sulit untuk diaplikasikan dalam kegiatan pembelajaran. Pendekatan ini

mencakup semua elemen dari pendekatan transformasi, namun me-

nambah komponen yang mempersyaratkan anak membuat aksi yang

berkaitan dengan konsep, isu atau masalah yang dipelajari dalam unit.

Tujuan utama dari pendekatan aksi sosial ini adalah mendidik anak

melakukan untuk kritik sosial dan mengajari mereka keterampilan

membuat keputusan. Anak mengidentifikasi masalah sosial yang

penting dan isu- isu, mengumpulkan data yang bersangkutan,

mengklarifikasi nilai- niali mereka pada isu- isu, membuat keputusan,

dan mengambil tindakan reflektif untuk membantu menyelesaikan isu

atau masalah.

Pendekatan aksi sosial ini, belum dapat diterapkan dalam

pendidikan Taman Kanak-kanak. Yang dalam pendekatan ini menuntu

anak harus bisa berpikir kritis dan memiliki keterampilan mengambil

keputusan, sedangkan anak usia dini belum mampu melakukan hal

tersebut. Anak usia dini rasa ingin tahunya baru sebatas bertanya dan

belum dapat memberikan komentar atau kritik terhadap sesuatu.

54
2) Pendekatan Kontribusi di Kelas

Suryana dan Rusdiana (2015:213-214) menyebutkan ada beberapa

cara yang digunakan dengan pendekatan kontribusi di kelas khusunya

untuk kelompok TK dan SD kelas rendah, yaitu:

a) Memperkenalkan beragam bentuk baju adat dan rumah yang berbeda

beda. Guru di sekolah dapat menggunakan berbagai cara dan media

untuk mengenalkan beragam budaya yang ada.

b) Memperkenalkan budaya melalui makanan khas

c) Memperkenalkan budaya melalui lagu daerah. Dari lagu daerah anak

dapat belajar bahasa daerah

d) Menunjukkan cara berpakaina yang berbeda, baik dari suku bangsa

maupun negara lain..

e) Memperkenalkan agama lain dengan cara mengenalkan tempat

ibadah serta tata cara ibadah secara umum. Sehingga anak mampu

membedakan agama yang dianutnya dan orang lain.

f) Memperkenalkan tokoh- tokoh pejuan maupun terkanan dari suatu

daerah atau negara. Dengan mengenalkan tokoh- tooh pahlawan,

dapat membuat anak mengenal sejarah dari sbeuah daerah atau

negara.

g) Memperkenalkan adat istiadat atau tradisi suatu budaya: pernikahan.

i) Memperkenalkan panggilan untuk jenis kelamin laki- laki dan

perempuan, misal: Uda dan uni (Padang), mas dan mbak (Jawa), dll.

55
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan pendekatan kontribusi dari

Bank yang kemudian dijabarkan oleh Suryana dan Rusdiana dimana

pendekatan ini yang sesuai dengan karakteristik pembelajaran di TK,

Pendekatan kontribusi merupakan pendekatan pengembangan kurikulum atau

pembelajaran yang dilakukan dengan melibatkan unsur- unsur terkecil

mengenai komponen budaya, hari libur atau perayaan, pahlawan, dan elemen

lain yang berkaitan dengan kelompok etnis pada hari- hari khusus,

kesempatan dan perayaan. Pendekatan ini dianggap yang paling ringan dan

mudah untuk diimplementasikan dalam pendidikan.

Pengembangan materi dalam penelitian ini menggunakan pendekatan

dari Banks yakni pendekatan kontribusi kelas. Materi tersebut yakni:

Gambar 3. Bagan Pengembangan materi “Tanah Air” berbasis multikultural

5. Bahan Ajar berupa Buku Bergambar

a. Peran Bahan Ajar


Kegiatan pembelajaran adalah suatu aktivitas yang kompleks, karena

melibatkan banyak komponen, Ibarat suatu aktivitas produksi suatu

produk/barang, bahan merupakan komponen yang akan diubah menjadi

56
barang/produk jadi. Itu berarti bahan harus ada setiap akan melaksanakan

produksi barang tertentu. Misalnya, untuk membuat baju diperlukan bahan

yang disebut kain. Mungkinkah membuat baju tanpa kain?.

Bahan pembelajaran dalam konteks pembelajaran merupakan salah satu

komponen yang harus ada, karena bahan pembelajaran merupakan suatu

komponen yang harus dikaji, dicermati, dipelajari dan dijadikan bahan materi

yang akan dikuasai oleh anak dan sekaligus dapat memberikan pedoman

untuk mempelajarinya. Tanpa bahan pembelajaran maka pembelajaran tidak

akan menghasilkan apa-apa.

Bahan Pembelajaran merupakan faktor eksternal anak yang mampu

memperkuat motivasi internal untuk belajar. Salah satu cara pembelajaran

yang mampu mempengaruhi aktivitas pembelajaran adalah dengan

memasukkan bahan pembelajaran dalam aktivitas tersebut. Bahan

pembelajaran yang didesain secara lengkap, dalam arti ada unsur media dan

sumber belajar yang memadai akan mempengaruhi suasana pembelajaran

sehingga proses belajar yang terjadi pada diri anak menjadi lebih optimal.

Bahan pembelajaran yang didesain secara bagus dan dilengkapi isi dan

ilustrasi yang menarik akan menstimulasi anak untuk memanfaatkan bahan

pembelajaran sebagai bahan belajar atau sebagai sumber belajar. Bahan

pembelajaran mempunyai peran yang sangat penting dalam kegiatan

pembelajaran. Bahan pembelajaran dapat berperan sebagai bahan belajar

mandiri, apabila bahan pembelajaran didesain secara lengkap.

57
b. Pengertian dan Fungsi Bahan Ajar

Peran tenaga pendidik dalam kegiatan pembelajaran di sebuah lembaga

pendidikan masih relatif tinggi. Peran tenaga pendidik tersebut terkait dengan

peran anak dalam belajar. Karena dalam pembelajaran anak melaksanakan

aktivitas belajar yang sangat bervariasi, misalnya mendengarkan atau

memperhatikan penjelasan tenaga pendidik, mengamati tenaga pendidik

dalam mendemonstrasikan, melakukan latihan, membaca, menulis,

menggambar, mengerjakan soal, mengkaji bahan cetak, dan sebagainya. Hal

tersebut menghendaki peran tenaga pendidik yang lebih dari sekedar sebagai

informatory atau penceramah saja, apalagi dalam dunia pendidikan anak usia

dini, pendidik sebagai penceramah dengan metode yang kolot tentu akan

membuat suasana belajar dan bermain anak begitu membosankan.

Bahan pembelajaran (learning materials) merupakan seperangkat

materi atau substansi pelajaran yang disusun secara runtut dan sistematis serta

menampilkan sosok utuh dari kompetensi yang akan dikuasai anak dalam

kegiatan pembelajaran. Dengan bahan ajar memungkinkan anak dapat

mempelajari suatu kompetensi secara runtut dan sistematis sehingga secara

akumulatif mampu menguasai semua kompetensi secara utuh/ terpadu. Untuk

itu sangat penting sorang tenaga pendidik memiliki kompetensi

mengembangkan bahan pembelajaran yang baik sesuai dengan persyaratan

dan kebutuhan yang diperlukan, sehingga materi pembelajaran dapat

tersampaikan dengan baik, serta anak pun memiliki aktivitas belajar yang

cukup baik.

58
Menurut Biggs dan Tefler (pada Dakir dkk, 2000: 31) di antara motivasi

belajar anak ada yang diperkuat dengan acara-acara pembelajaran. Motivasi

instrumental, motivasi social, dan motivasi berprestasi anak yang rendah

misalnya, dapat dikondisikan secara bersyarat agar terjadi peran belajar lebih

tinggi pada diri anak. Adapun acara-acara pembelajaran yang berpengaruh

pada proses belajar dapat ditentukan oleh tenaga pendidik. Beberapa kondisi

eksternal yang berpengaruh pada relajar. yang terpenting bahwa bahan

pembelajaran tersebut dapat disiapkan atau dirancang tenaga pendidik sesuai

dengan kebutuhan belajar para anak.

Menurut Sungkono dkk (2003:1) bahan pembelajaran adalah

seperangkat bahan yang memuat materi atau isi pembelajaran yang

“didesain” untuk mencapai tujuan pembelajaran. Suatu bahan pembelajaran

memuat materi, pesan atau isi mata pelajaran yang berupa ide, fakta, konsep,

prinsip, kaidah, atau teori yang tercakup dalam mata pelatihan sesuai disiplin

ilmu serta informasi lain dalam pembelajaran. Atas dasar batasan tersebut,

dapat diketahui bahwa pengertian bahan pembelajaran adalah “desain” suatu

materi atau isi pelatihan yang diwujudkan dalam bentuk benda atau bahan

yang dapat digunakan untuk belajar anak dalam proses pembelajaran.Bahan

pembelajaran dapat berwujud benda dan isi pendidikan. Isi pendidikan

tersebut dapat berupa pengetahuan, perilaku, nilai, sikap dan metode

pembelajarannya. Fungsi dari penyusunan bahan ajar adalah:

59
a) Sebagai pedoman bagi anak yang akan mengarahkan semua

aktivitasnya dalam proses pembelajaran, sekaligus merupakan

substansi kompetensi yang seharusnya dipelajari/dikuasainya.

b) Pedoman bagi tenaga pendidik yang akan mengarahkan semua

aktivitasnya dalam proses pembelajaran, sekaligus merupakan

substansi kompetensi yang seharusnya diajarkan/dilatihkan kepada

anaknya.

c) Alat evaluasi pencapaian/penguasaan hasil pembelajaran.

c. Jenis Bahan Ajar

Bahan pembelajaran terbagi menjadi 2 bentuk, dapun dua bentuk bahan

pembelajaran terebut yaitu:

a) Bahan Pembelajaran yang didesain lengkap

Artinya Bahan Pembelajaran yang memuat semua komponen

pembelajaran secara utuh, meliputi: tujuan pembelajaran atau

kompetensi yang akan dicapai, kegiatan belajar yang harus dilakukan

anak, materi pembelajaran yang disusun secara sistematis,

ilustrasi/media dan peraga pembelajaran, latihan dan tugas, evaluasi,

dan umpan balik. Contoh kelompok bahan pembelajaran ini adalah,

buku bergambar pembelajaran, audio pembelajaran, video

pembelajaran, pembelajaran berbasis computer, pembelajaran berbasis

Web/internet.

60
b) Bahan Pembelajaran yang didesain tidak lengkap

Artinya Bahan Pembelajaran yang didesain dalam bentuk komponen

pembelajaran yang terbatas, seperti dalam bentuk sumber belajar,

media pembelajaran atau alat peraga yang digunakan sebagai alat bantu

ketika tenaga pendidik dan anak melaksanakan kegiatan pembelajaran.

Contoh kelompok bahan pembelajaran ini meliputi, pembelajaran

dengan berbagai alat peraga, belajar dengan transparansi, belajar

dengan buku teks, peta, globe, model kerangka manusia, dan

sebagainya.

Bahan pembelajaran perlu dikembangkan dan diorganisasikan secara

mantap dan matang agar pembelajaran tidak melenceng dari tujuan yang

hendak dicapai. Mengembangkan bahan pembelajaran adalah suatu aktivitas

mendesain” materi pembelajaran menjadi bahan yang siap

disampaikan/digunakan dalam proses pembelajaran. Jika kita melihat pada

bentuk dari bahan ajar yang telah dipaparkan sebelumnya, maka dapat

dikelompokkan jenis bahan pembelajaran, yaitu:

a) Printed Materials (Bahan tercetak) dapat berupa Handout, Buku

Pelajaran, dan Buku bergambar

b) Programed materials

c) Electronic Materials dapat berupa CD interactive, TV, Radio, dll.

Untuk kepentingan pembelajaran saat ini, bahan pembelajaran yang

akan dikembangkan lebih cenderung pada bahan pembelajaran yang

berbentuk tercetak (printed material).

61
Daryanto & Dwicahyono (2014:173) membagi bahan ajar kedalam 4

jenis, 4 jenis tersebut yakni:

a) Bahan Ajar Pandang


Bahan ajar pandang atau visual merupakan bahan ajar cetak (Printed)
dan non cetak. Bahan ajar cetak antara lain handout, buku, buku
bergambar, lembar kerja siswa, brosur, leaflet, wallchart, dan foto atau
gambar. Bahan ajar noncetak antara lain model atau maket.
b) Bahan Ajar Dengar
Prastowo (2015:40) berpendapar bahawa bahan ajar dengar atau sering
disebut audio adalah semua sistem yang menggunakan sinyal radio
secara langsung yang dapat dimainkan atau didengar oleh seseorang
atau sekelompok orang. Contohnya: video, radio, piringan hitam, kaser
dan lain-lain.
c) Bahan Ajar Pandang Dengar
Prastowo (2015:40) mengemukakan bahwa bahan ajar pandnag dengar
atau audio visual adalah segala sesuatu yang memungkinkan sinyal
audio dapat dikombinasikan dengan gambar bergerak secara
sekeunsial. Contohnya: Video, Compact Disk, dan Film.
d) Bahan Ajar Multimedia Interaktif
Bahan ajar multimedia interaktif adalah kombinasi dari dua atau lebih
media (audio, teks, grafik, gambar, animasi, dan video) yang oleh
penggunananya dimanipulasi untuk mengendalikan suatu perintah
(Prastowo, 2015:40). Contohnya, compact Disk (CS multimedia
pembelajaran interaktif, dan bahan ajar berbasis web (web based
learning materials).

d. Buku Bergambar

1) Pengertian Buku Bergambar

Buku merupakan bahan tertulis yang menyajikan ilmu pengetahuan.

Oleh pengarangnya isi buku didapat dari berbagai cara misalnya : hasil

penelitian, hasil pengamatan, aktualisasi pengalaman, otobiografi atau

hasil imajinasi seseorang yang disebut sebagai fiksi. Buku yang baik

adalah buku yang ditulis dengan menggunakan bahasa yang baik dan

62
mudah dimengerti, disajikan secara menarik dilengkapi dengan gambar

dan keterangan yang sesuai dengan ide penulisannya (Majid. 2013:175).

Dalam penelitian ini, produk yang dikembangkan merupakan sebuah

buku bergambAr yang masuk dalam jenis bahan ajar cetak. Buku

bergambar adalah buku bacaan anak yang di dalamnya terdapat gambar-

gambarnya. Dalam setiap buku bacaan anak pasti terdapat berbagai

gambar ilustrasi yang menarik, pada umumnya penuh dengan warna warni.

Gambar-gambar tersebut sudah terlihat di halaman sampul buku, dan hal

itu tampaknya sengaja dipakai sebagai salah satu cara menarik perhatian

anak dan pembaca pada umumnya. Di halaman-halaman dalam juga

terpampang gambar-gambar bagus yang terdapat disela-sela teks narasi, di

bawah, atau di halaman samping halaman. Keberadaan gambar tersebut

akan menambah keindahan buku dan tentu juga lebih memperkuat isi

cerita (Nurgiantoro, 2010: 152). Buku bergambar memuat tujuan tertentu

untuk menyampaikan berbagai macam tema, salah satunya yakni tema

tentang karakter.

Departemen Komunikasi dan Penjangkauan Amerika Serikat dalam

(Almerico, 2014) menyarankan membaca buku bertema karakter untuk

dan bersama anak-anak, mendorong anak-anak yang lebih besar untuk

membaca sendiri, dan membahas buku-buku dengan anak-anak akan

membantu mereka menyerap dan mengembangkan nilai-nilai karakter

yang kuat. Ketika konsep pendidikan karakter diajarkan dalam konteks

sastra, anak menyadari sifat-sifat seperti rasa hormat, kejujuran,

63
keberanian, dan kebaikan adalah aspek nyata dan menarik dari dunia di

sekitar mereka. Penulis buku perdagangan memiliki banyak fleksibilitas

dalam gaya penulisan mereka dan dapat membawa ke halaman buku

mereka kekayaan latar belakang, orisinalitas gaya, dan kreativitas

(Gunning, 2012:54). Integrasi sastra adalah cara yang efektif untuk

mengajar anak-anak tentang sifat-sifat karakter positif, namun Libresco

dan Balantic (2013) menyatakan hanya jika itu dilakukan dengan menjaga

pengembangan karakter di pusat kurikulum dan pengajaran. Literatur yang

baik dengan tema pengembangan karakter memiliki kekuatan untuk

mengembangkan, membentuk, dan memperkuat disposisi yang penting

untuk menanamkan dalam diri siswa nilai-nilai etis inti yang penting.

Sejalan dengan itu, Mullin (2011:59) menjelaskan bahwa penting

literatur anak-anak memberikan kesempatan netral untuk membahas isu-

isu yang sensitif, seperti bullying, dan mempromosikan pemecahan

masalah dan permainan peran.

Penelitian Hsu (2014) yang mendukung beragam pembelajaran

budaya melalui buku bergambar anak-anak membutuhkan guru untuk

memiliki pemahaman tentang perkembangan literasi anak-anak, yang

mengacu pada pentingnya lingkungan yang kaya cetak dalam belajar

membaca, pengakuan peran buku bergambar dalam pembelajaran literasi,

dan pentingnya membaca untuk anak kecil. Tidak diragukan lagi buku

bergambar menawarkan kesempatan kepada anak-anak untuk

mempraktekkan apa yang telah mereka ketahui tentang budaya yang

64
berbeda dan memperbaiki sosial dan kognitif kelompok yang berbeda

karena, tampaknya, sejumlah karakteristik buku bergambar memberikan

motivasi dan peluang khusus bagi pemahaman anak-anak tentang

multikulturalisme. Ketika hubungan antara buku bergambar dan

pendidikan multikultural direkapitulasi, Singkatnya, anak-anak muda akan

bersiap untuk keberhasilan pendidikan multikultural sambil terlibat dalam

buku bergambar berisi berbagai isu budaya.

Menurut Chandra (2016: 26) sebagian literature menyebut bacaan

anak buku bergambar dengan istilah picture book (buku bergambar),

picture storybook (buku cerita bergambar), atau keduanya sekaligus secara

bergantian. Buku bergambar (picture book) menunjuk pada pengertian

buku yang menyampaikan pesan lewat dua cara, yaitu lewat ilustrasi dan

tulisan. Ilustrasi (gambar) dan tulisan yang sama-sama dimaksudkan untuk

menyampaikan pesan tersebut tidak berdiri sendiri, melainkan secara

besama dan saling mendukug untuk mengungkapkan pesan. Sedangkan

menurut Azizah (2016: 26) buku bergambar adalah buku yang didalamnya

memuat gambar-gambar.

Buku bergambar menyampaikan pesan lewat dua cara, yaitu lewat

ilustrasi dan tulisan. Ilustrasi (gambar) dan tulisan yang sama-sama

dimaksudkan untuk menyampaikan pesan tersebut tidak berdiri sendiri,

melainkan secara bersama dan saling mendukung untuk mengungkapkan

pesan. Jadi keduanya diikat oleh tuntutan untuk menyampaikan pesan

secara lebih baik dan kuat lewat dua cara yang berbeda, tetapi bersifat

65
saling menguatkan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pengertian buku

bergambar itu sendiri yakni merupakan bahan tertulis yang di dalamnya

mengandung unsur ilustrasi gambar yang kemudian disajikan secara

bersamaan untuk mengungkapkan sebuah makna tertentu.

Montresos dalam (Karana, 2019:43) menyatakan bahwa buku

bergambar sebagai “the books content of which are enriched by pictures”

yang diartikan dalam Bahasa Indonesia yakni buku yang berisi dari

gambar yang diperbanya, dengan buku bergambar Glossary dalam

(Karana, 2019:43-44) menekankan bahwa “The books including pictures

partially or wholly and adopted according to the needs and interests of

young children” yang dalam Bahasa Indonesia berarti Buku-buku

termasuk gambar sebagian atau seluruhnya dan diadopsi sesuai dengan

kebutuhan dan minat anak-anak. Sejalan dengan hal tersebut, Pantaleo

(2014) mengemukakan bahwa buku bergambar selalu membuat pembaca

untuk menjadi lebih interaktif ketika teks visual dan teks verbal dapat

dipadukan.

Dilihat dari posisi dan format gambarnya, letak gambar pada

halaman- halaman dalam buku pada umumnya bervariasi, misalnya ada

yag disela-sela teks atau diapit teks, di bawah teks, di atas, atau di halaman

samping teks satu halaman penuh. Penataan gambar memperhitungkan

aspek keindahan tampilan, enak dipandang, menarik perhatian anak, dan

secara mudah mata anak beraih dari teks ke gambar dan dari gambar ke

teks. Pada buku- buku bergambar untuk anak usia awal, gambar yang

66
disajikan lebih mencolok, lebih realistik, lebih besar, dan menempati

separuh halaman bawah atau halaman sebelah, yang biasnya samping kiri

teks dan samping kana gambar, dan dengan warna- warni yang menarik.

Bahasa yang digunakan dalam buku bergambar sebainya dapat

membantu ank mengembangkan sesitivitas awal ke imajinasi dalam

penggunaan bahasa (Huck, Hepler, & Hickman, 1987:216). Sejalan

dengan hal tersebut menurut Nurgiyantoro (2003:157-159) menguatakan

bahwa bahasa yang digunakan dalam buku bergambar harus sederhana,

tetapi tidak penyederhanaan yang berlebihan. Selanjtnya isi buku

bergmabar sebaiknya bertopik dan mengangkat persoalan yang berkaitan

dengan persoalan hidup manusia. Misalnya kehidupan antara anak,

keluarga, ayah, adik, kakak, dll.

Anak-anak dianggap bukan pembaca sebelum mereka memasuki

sekolah dan instruksi membaca formal (Searfoss, Readence, & Mallete,

2001:34). Perilaku membaca anak-anak kecil sebelum mereka masuk

sekolah, di mana membaca yang sebenarnya akan dimulai, telah menerima

perhatian yang tidak memadai. Dengan demikian, buku bergambar telah

diyakini sebagai siap untuk dibaca, atau kesiapan membaca, berakar pada

pengalaman anak-anak untuk belajar budaya yang berbeda. Selain itu,

anak-anak kecil dulu diajarkan untuk belajar cara berinteraksi dengan

orang yang berbeda dan metode penyelesaian konflik melalui buku

bergambar (Steiner, 2001:44). Juga, beberapa peneliti (mis., Towell dkk.,

1997:45) telah mengindikasikan bahwa buku bergambar yang bagus

67
membantu anak-anak menahan pembatasan ras serta mendapatkan peluang

untuk menegaskan identitas mereka.

Penelitian sebelumnya telah membuktikan buku bergambar sebagai

salah satu sarana dalam pengenalan moral dan nilai. Seperti dalam

penelitian (Narahara, 1998:40) yang meneliti buku bergambar dengan

materi multikulturalisme bahwa buku bergambar yang bagus dengan isu

multikulturalisme juga menyediakan model untuk anak-anak tentang

kriteria gender. Dengan demikian, dalam meninjau perkembangan

pendidikan multikultural dalam literasi masa kanak-kanak, menjadi jelas

bahwa berbagai jenis buku bergambar dapat secara efektif merangsang

pembelajaran anak-anak dan penerimaan konsep multikultural karena

tidak hanya mengurangi pengaruh kegagalan buku teks, tetapi juga

meningkatkan perkembangan literasi anak-anak muda (Mendoza & Reese,

2001). Selain itu, lingkungan yang kaya literasi dalam buku bergambar

anak-anak menghasilkan peningkatan jumlah kegiatan keaksaraan selama

membaca dan menulis. Efek dari buku bergambar anak-anak tampaknya

meningkat ketika guru menggunakan bentuk perancah yang tepat untuk

mendorong anak-anak untuk mengintegrasikan alat peraga keaksaraan ke

dalam kegiatan pembelajaran pendidikan multikultural mereka. Selain itu,

intervensi melalui buku bergambar dapat memfasilitasi pengembangan

literasi anak-anak dan kesadaran akan multikulturalisme dan

mengungkapkan berbagai cara guru dapat berinteraksi dengan anak-anak

selama kegiatan.

68
2) Fungsi Buku Bergambar

Adapun fungsi dari media buku bergambar yakni membantu

memudahkan belajar bagi anak dan memudahkan mengajar bagi guru,

memberikan pengalaman lebih nyata, menarik perhatian anak lebih besar,

semua indera murid dapat diaktifkan, lebih menarik perhatian dan minat

anak dalam belajar, dan dapat membangkitkan dunia teori dengan

realitanya (Azizah, 2014).

Menurut Stewig (dalam Mustakim. 2005:48), buku bergambar

(picture book) memiliki fungsi sebagai berikut:

a) Sumber masukan bahasa anak

Adapun sumber masukan bahasa dalam isi adalah mencangkup

kosakata dan sintaksis. Buku bergambar menyediakan model- model

berbahasa yang dapat mempengaruhi bahasa anak. Pengarang buku

bergambar menggunakan kata- kata untuk mengemukaakan topik-

topik tertentu. Pengarang umum melakuakn pemilihan kata- kata dan

kalimat sederhana agar anak mampu mendengarkan dan berbicara

tentang isi buku dan mampu pula membaca isi buku. Oleh karena itu

dalam konteks bacaan sering menyediakan petunjuk makna kata

sehinggan anak- anak dapat menggambarkan makna kata dengan

mendengarkan kalimat yang didalamnya berisi kata- kata yang sama

maknanya.

69
b) Menyediakan input visual bagi anak

Sebagaimana telah disampaikan, buku bergambar (picture book)

memiliki dua elemen, yaitu teks dan gambar. Melalui gambar anak

memperoleh masukan atau tambahan masukan pengethauan tentang

segala sesuatu yang ada di sekitar dirinya atau bahkan yang jauh dari

lingkungan. Berbeda dengan gambar televisi, gambar pada buku

bergambar lebih dekat dengan “mata anak”, lebih lama dapat ditatap

oleh anak sehingga kesan yang diperoleh anak dapat lebih mendalam.

Melalui gambar itu anak dilatih untuk “membaa” gambar meskipun

anak belum bisa membaca huruf dan kata yang tertera digambar

tersebut. Gambar disertai kata- kata membantu pemahaman anak

terhadap cerita dan lamban laun anak akan dapat membaca huruf demi

huruf dan akhirnya anak dapat membaca kata- kata yang ada.

Perkembangan pemahaman isi buku dengan kata- kata yang

tertulis memungkinkan anak dapat bercerita tentang gambar yang

diamati. Kata- kata yang tertulis didekat gambar adalah bentuk visual

dari gambar itu. Kadang- kadang anak yang belum bisa membaca,

sudah bisa berbicara melalu gambar visual tersebut. Anak yang sudah

mengetahui bacaan dan visual gambar maka anak memiliki

keterampilan yang memadai, memahami, dan menyampaikan informasi

yang didapat melalui buku kepada orang lain.

70
c). Merangsang kemampuan visual dan verbal anak

Buku bergambar dibuat sedemikian rupa sehingga merangsang

kemampuan visual dan verbal anak. Melalui buku bergambar, anak

terangsang untuk mengetahui apa yang dilukiskan oelh islustrator

dalam gambar itu berupa orang- orang, obyek- obyek, dan latar tertentu.

Melalui buku bergambar pula anak mengetahui dimana benda- benda

atau sesuatu yang dilukiskan tu berlokasi dan warna- warna apa yang

dipak ilustrator untuk membuat gambar- gambar itu menjadi indah dan

tampak nyata. Dari buku bergambar ini pula anak akan mengethaui

apakah ada tidaknya perubahan yang terjadi dalam perkembangan isi

buku dna reaksi apa yang dilakukan atau dikerjakan setelah anak

melihat gambar dan ilustrasi warna.

3). Jenis Buku Bergambar

Buku bergambar (picture book) dapat dikelompokkan menjadi

beberapa jenis (Santoso, 2011:7), yaitu :

a) Buku abjad (alphabet book)

Dalam buku alfabet, setiap huruf alpabet dikaitkan dengan suatu

ilustrasi objek yang diawali dengan huruf. Ilustrasi harus jelas berkaitan

dengan huruf-huruf kunci dan gambar objek dan mudah teridentifikasi

dan transportasi. Buku alfabet berfungsi untuk membantu anak,

menstimulasi dan membantu pengembangan kosakata.

71
b) Buku mainan (toys book)

Buku-buku mainan menggunakan cara penyajian isi yang tidak biasa.

Buku mainan sendiri dari buku kartu papan, buku pakaian dan buku

pipet tangan. Buku mainan ini mengarahkan anak-anak untuk

memahami teks, dapat mengeksplorasi konsep nomor, kata bersajak

dan alur cerita. Buku mainan membantu anak-anak untuk

mengembangkan ketrampilan kognitif, meningkatkan kemampuan

bahasa dan sosialnya, dan untuk mencintai buku. Sikap positif terhadap

membaca dapat ditumbuhkan dengan buku ini.

c) Buku konsep (concept books)

Buku konsep adalah buku yang menyajikan konsep dengan

menggunakan satu atau lebih contoh untuk membantu pemahaman

konsep yang sedang dikembangkan. Konsep-konsep yang ditekankan

diajarkan melalui alur cerita atau dijelaskan melalui repitisi, dan

perbandingan. Melalui berbagai konsep seperti warna, bentuk, ukuran,

dapat didemonstrasikan sendiri dengan konsep yang lainnya.

d) Buku bergambar tanpa kata (wordless picture books)

Buku bergambar tanpa kata adalah buku untuk menyampaikan suatu

cerita melalui ilustrasi saja. Buku bergambar tanpa kata menjadi

berkembang dan populer pada masyarakat generasi muda. Ini terdapat

di televisi, komik, dan bentuk visual lainnya dari komunikasi. Alur

cerita disajikan dengan gambar yang diurutkan dan tindakan juga

digambarkan dengan jelas. Buku bergambar tanpa kata terdiri dari

72
berbagai bentuk. Seperti buku berupa buku humor, buku serius, buku

informasi atau buku fiksi. Buku ini mempunyai beberapa keunggulan

misalnya untuk mengembangkan bahasa tulis dan lisan secara produktif

yang mengikuti gambar. Ketrampilan pemahaman juga dapat

dikembangkan pada saat anak membaca cerita melalui ilustrasi. Anak-

anak menganalisis maksud pengarang dengan mengidentifikasi ide

pokok dan memahami ceritanya.

e) Buku cerita bergambar

Buku cerita bergambar memuat pesan melalui ilustrasi dan teks tulis.

Kedua elemen ini merupakan elemen penting pada cerita. Buku-buku

ini memuat berbagai tema yang didasarkan pada pengalaman kehidupan

sehari-hari. Karakter dalam buku ini berupa manusia atau binatang. Di

sini ditampilkan kualitas manusia, karakter, dan kebutuhan, sehingga

anak-anak dapat memahami dan menghubungkannya dengan

pengalaman pribadinya.

Hal tersebut sejalan dengan Brown & Tomlinson (1999:71-75)

menyatakan bahwa buku bergambar terdiri dari baby books, interactive

books, toy books, alphabet books, counting books, concept books,

wordless books, picture story books, easy to read pattern books, picture

book for older readers dan traditional books. Secara isi dalam buku

bergambar, Susanto (2011:80) menjelaskan bahwa buku bergamnar

terdiri dari:

73
a) Buku yang mengandalkan gambar/ilustrasi dan teks hanya berfungsi

sebagai penjelasan gambar.

b) Buku yang mengandalkan gambar/ilustrasi sebagai penjelas teks.

Gambar/ Ilustrasi hanya berfungsi sebagai tambahan.

c) Buku yang gambar/ ilustrasi hanya merupaka dekorasi atau sebagai

elemen estestis pada buku.

Pada penelitian pengembangan ini buku bergambar yang

dikembangkan oleh peneliti termasuk pada buku bergambar yang

berisikan ilustrasi atau gambar yang dilengkapi kata- kata sederhana yang

menjelaskan gambar.

4) Komponen Buku Bergambar

Dalam buku bergambar yang dikembangkan oleh peneliti terdapat 2

komponen yang utama yaitu gambar dan teks. Kedua komponen tersebut

tentu memiliki unsur- unsur yang harus diperhatikan dalam membuat,

mengembangakn, dan menggunakannya sebagai bahan pembelajaran.

a) Gambar

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2013:329) gambar

adalah tiruan barang, binatang, tumbuhan, dan sebagainya. Sedangkan

menurut Hamalik (1994: 43) gambar merupakan segala sesuatu yang

diwujudkan secara visual dalam bentuk dua dimensi sebagai curahan

perasaan atau pikiran. Menurut Sadiman,dkk (2012:31) dalam membuat

gambar yang baik harus memperhatikan beberapa syarat sebagai berikut:

74
(1) Autentik, gambar tersebut harus secara jujur melukiskan situasi

seperti orang melihat benda sebenarnya.

(2) Sederhana, komposisi gambar hendaknya cukup jelas, menunjukkan

poin- poin dalam gambar.

(3) Ukuran relatif, gambar dapat memperbesar atau memperkecil benda

sebenarnya. Apabila gambar terebut tentang benda yang belum dikenal

atau belum pernah dilhat anak maka anak akan sulit membayangkan

besar benda tersebut. Untuk menghindari hal itu hendaknya dalam

gambar tersebut terdaapat sesuatu yang dikenal anak sehingga

membantu anak membayangkan gambar.

(4) Gambar sebaiknya mengandung gerak atau perbuatan. Gambar yang

baik tidak menunjukkan objek/ benda dalam keadaan diam tetapi

memperlihatkan aktivitas tertentu.

(5) Gambar yang bagus belum tentu baik untuk mencapau tujuan

pembelajaran. Walaupun dari segi mutu kurang, gambar anak sendiri

seringkali lebih baik.

(6) Tidak setiap gambar yang bagus merupakan media yang bagus.

Sebagai media yang baik, gambar hendaklah baus dari sudut seni dan

sesuai dengan tujuan pembelajaran yang ingin dicapai.

b) Teks

Dalam buku bergambar yang peneliti kembangakan terdapat teks atau

tulisan yang digunakan untuk menjelaskan gambar yang ada. Proses

mendesain buku bergambar tentunya harus memperhatikan siapa

75
pengguna buku tersebut. Dalam penelitian pengembangan ini pengguna

buku bergambar adalah anak usia dini dengan rentang usia 5-6 tahun. Pada

rentang ini umur tersebut termasuk dalam rahap praoperasional. Menurut

Suyanto (2005:169) bahwa anak usia 5-6 tahun berada pada peralihan

tahap perkembnagam membaca lanjut mandiri, sehingga untuk rentang

umur tersebut sebaiknya disediakan buku bergambar yang berwarna warni

dengan ukuran huruf yang relatif besar agar anak tertarik untuk

membacanya. Dalam buku bergambar, buku menampilkan gambar dan

teks dan keduanya saling berhubungan erat (Mitchell, 2003:87). Burhan

Nuryanto (2005:210) meambahkan bahwa buku yang tepat untuk anak

seharusnya memenuhi persyaratan sebagai berikut:

(1) Materi dapat dipahami oleh anak.

(2) Menggunakan bahasa yang sederhan sehingga dapat dibaca dan

dipahami oleh anak.

(3) Mempertimbangkan kesederhanaan kosakata dan struktur

(4) Berfungsi meningkatkan kekayaan bahasa dan kemampuan

berbahasa pada anak.

Dari kajian tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa teks dan

gambar dalam buku bergambar tidak dapat terpisahkan. Hal tersebut sejalan

dengan yang diungkapkan Roe & Smith (2012:418) yang memaknai bahwa kata-

kata yang tertulis dalam buku bergambar merupakan bagian yang tak terpisahkan

untuk memahami isi buku, sehingga memperjelas pendapat bahwa kedua

komponen yaitu teks dan gambar saling terkait antara satu dengan yang lain.

76
6. Buku Bergambar Berbasis Multikultural
Pada penelitian ini akan dikembangkan Buku Bergambar berbasis

multikultural bernama “Bangga Menjadi Anak Indonesia” untuk menstimulasi

karakter cinta tanah air. Nilai dan pendekatan multikultural akan diintegrasikan

dalam strategi pembelajaran karakter yang dikemas dalam sebuah bahan ajar

berupa buku bergambar. Rasa cinta tanah air akan mendorong perilaku individu

untuk membangun negaranya dengan penuh dedikasi. Oleh karena itu, rasa cinta

tanah air perlu ditumbuhkembangkan dalam jiwa setiap individu yang menjadi

warga dari sebuah negara atau bangsa agar tujuan hidup bersama dapat tercapai.

Salah satu cara untuk menumbuhkembangkan rasa cinta tanah air adalah dengan

menumbuhkan rasa bangga terhadap tanah airnya melalui proses pendidikan.

Rasa bangga terhadap tanah air dapat ditumbuhkan dengan memberikan

pengetahuan dan dengan membagi dan berbagi nilai-nilai budaya yang dimiliki

bersama. Oleh karena itu, pendidikan berbasis nilai-nilai keberagaman budaya

dapat dijadikan sebagai sebuah alternatif untuk menumbuhkembangkan rasa

bangga yang akan melandasi munculnya rasa cinta tanah air.

a. Pengembangan Materi Pembelajaran

Multikultural menjadi sebuah kata populer di negara beragam seperti

Indonesia. Mengusung pendidikan dengan basis multikultural menjadi tren

saat ini ketika kondisi negara memiliki konflik etnis. Multikulral menurut

Harahap (2004) mencakup gagasan, cara pandang, kebijakan, penyikapan dan

tindakan, oleh masyarakat suatu negara, yang majemuk dari segi etnis,

budaya, agama dan sebagainya, namun mempunyai cita-cita untuk

77
mengembangkan semangat kebangsaan yang sama dan mempunyai

kebanggan untuk mempertahankan kemajemukan tersebut.

Pendekatan multikultural menawarkan pembelajaran yang

mengakomodasi perbedaan kultur peserta didik, memanfaatkan kebudayaan

itu sebagai sumber konten dan sebagai titik berangkat untuk pengembangan

kebudayaan, pemahaman terhadap kebudayaan orang lain, toleransi, dan

membangkitkan semangat kebangsaan berdasarkan bhinneka tunggal ika

(Levstik, 2000:284). Pendekatan multikultural membuat lebih mudah untuk

memahami pemikiran yang melibatkan hubungan sosial, nilai dan

pengalaman budaya. Jadi, pengintegrasian nilai multikultural dalam rangka

untuk menstimulasi karakter cinta tanah air sangat tepat.

Di era saat ini, dalam dunia pendidikan, multikultural sangat begitu

dieluh-eluhkan. Pendidikan menyebut paham multikultural sebagai

pendidikan multikultural. Mughni (dalam Miftah, 2016) menjelaskan bahwa

pendidikan multikultural adalah pendidikan yang menghargai perbedaan.

Tujuan dari paham multikultural ini adalah untuk mempromosikan

penghormatan dan penerimaan semua kelompok budaya, agama, identitas ras,

jenis kelamin, etnis dan kelas sosial. Di dunia pendidikan tujuan multikultural

begitu banyak, salah satunya yang diungkapkan oleh Kendall (dalam

Melendez & Beck, 2016:50) yang menyebutkan bahwa tujuan multikultural

dalam dunia pendidikan yakni mengajarkan anak untuk menghormati orang

lain dan nilai- nilai seperti diri mereka sendiri, mengajarkan kepada anak

hidup bersama untuk saling menghargai satu sama lain tanpa melihat

78
keberagaman sebagai suatu masalah.

Multikultural diusung sebagai konsep untuk menumbuhkan semangat

kebangsaan dan persatuan untuk tetap mencintai Tanah airnya, dalam hal ini,

Tanah air yang dimaksud adalah Indonesia. Melihat permasalahan saat ini

banyaknya permasalahan budaya yang menyebabkan persatuan Indonesia

yang mulai menipis. Untuk itu, sebagai pendidik yang bergerak pada

pendidikan usia dini, pendidik memiliki kewajiban untuk mengenalkan

keberagaman yang ada di Indonesia sehingga anak dapat mengenal Indonesia

dan menumbuhkan rasa cinta kepada tanah airnya dengan semangat persatuan

meskipun dalam perbedan hal baik cara pandang dan budaya.

Lantas pendidikan multikultural yang bagaimana untuk anak usia dini?

ada beberapa pendekatan multikultural yang dapat diterapkan untuk anak usia

dini, pedekatan tersebut salah satunya adalah pendekatan kontribusi di kelas

yang mana Suryana dan Rusdiana (2015:213-214) menyebutkan ada

beberapa cara yang digunakan dengan pendekatan kontribusi di kelas

khusunya untuk kelompok TK dan SD kelas rendah, beberapa hal tersebut

yakni:

1) Memperkenalkan budaya melalui makanan khas

2) Memperkenalkan agama lain dengan cara mengenalkan tempat ibadah

serta tata cara ibadah secara umum. Sehingga anak mampu membedakan

agama yang dianutnya dan orang lain.

3) Memperkenalkan budaya melalui lagu daerah. Dari lagu daerah anak

dapat belajar bahasa daerah, dsb.

79
Pendekatan tersebut merupakan pendekatan yang ditawarkan oleh

Banks yang dinamakan pendekatan Banks untuk integrasi multikultural,

Banks & McGee (2013: 184-194) membagi pendekatan multikultural

menjadi empat level, level untuk anak usia dini ada pada level pertama yakni

The Contributions approach. Pendekatan kontribusi atau The Contributions

approach merupakan pendekatan pengembangan kurikulum atau

pembelajaran yang dilakukan dengan melibatkan unsur- unsur terkecil

mengenai komponen budaya, hari libur atau perayaan, pahlawan, dan elemen

lain yang berkaitan dengan kelompok etnis pada hari- hari khusus,

kesempatan dan perayaan. Pendekatan ini dianggap yang paling ringan dan

mudah untuk diimplementasikan dalam pendidikan. Dalam kurikulum

maupun pembelajaran di Taman Kanak-Kanak, tema-tema pembelajaran

dapat dimasukkan kisah-kisah para pahlawan maupun tokoh-tokoh daerah

yang memiliki yang memilki prestasi yang membanggakan, serta

memperkenalkan kebudayaan-kebudayaan yang ada di Indonesia kepada

anak-anak.

Dari pengertian, tujuan, pendekatan pendidikan multikultural untuk

anak usia dini tersebut maka dikembangkanlah materi yang memuat

pengenalan karagaman untuk proses belajar anak di sekolah Taman Kanak-

kanak. Dalam hal ini, muatan materi dan muatan aktivitas dikembangkan

dengan berlandaskan keberagaman yang ada di Indonesia dalam rangka untuk

menghargai keberagaman sehingga diharapkan semangat persatuan dan rasa

cinta kepada Indonesia dapat tersampaikan ke diri anak. Materi keberagaman

80
dipilih untuk dikembangkan dalam aktivitas yang disesuaikan dengan tema

“Tanah Airku” muncul 4 materi yang mana anak akan dikenalkan dengan 6

tokoh yang memiliki ciri fisik berbeda serta asal daerah berbeda yang akan

membawa anak untuk mengenal:

1) Keragaman Agama: Nama agama dan tempat ibadah


2) Keragaman Seni: Pertunjukkan seni dan Alat Musik
3) Keragaman Produk Buatan Indonesia: Makanan dan nama makanan
4) Keragaman Keindahan Alam: Tempat Wisata (Nama wisata dan nama
daerah) dan Keragaman Flora-fauna (Nama Tanaman-Hewan Khas
Indonesia)

Dari materi tersebut kemudian dituangkan dalam pembelajaran yang

masuk dalam Tema “Tanah Airku, materi tersebut kemudian dimasukkan

dalam rencana pembelajaran. Dari materi tersebut muncullah 7 rencana

pembelajaran atau Lesson Plan yang dikembangkan oleh peneliti, dalam

rencana pembelajaran yang dikembangkan, rencana pembelajaran terdiri dari

kegiatan awal, kegiatan inti, dan kegiatan penutup. Dalam rencana

pembelajaran memuat empat komponen yakni:

Tabel 2. Komponen Materi Pembelajaran

Komponen Deskripsi
Materi Keragaman Agama, Keragaman Pertunjukkan Seni,
Keragaman Alat musik, Keragaman makanan, Keragaman
Tempat Wisata, keragaman Tanaman-Hewan
Metode Bercerita, mengamati, demonstrasi, diskusi, bernyanyi, dan
bermain peran
Alat Bantu Dikembangkan bahan ajar berupa buku bergambar berjudul
/ Media “Bangga Menjadi Anak Indonesia” sebagai bahan ajar guru
dan media anak yang berisi materi seerta aktivitas untuk anak
dalam mengenal Tanah Air melalui keragaman yang ada di
Indonesia
Penilaian Cheklist Pengamatan karakter cinta tanah air

81
Komponen pembelajaran karakter cinta tanah air dengan berbasis

multikultural tersebut kemudian disusun dalam bentuk aktivitas dalam proses

belajar mengajar anak TK di kelas dengan memperhatikan Kompetensi anak

disesuaikan Kurikulum 2013 PAUD Nomor 146 Tahun 2014, yakni:

Tabel 3. Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar Stimulasi Karakter Cinta


Tanah Air
Kompetensi Inti
KI - 2 : Memiliki perilaku hidup sehat, rasa ingin tahu, kreatif, estetis,
percaya diri, disiplin, mandiri, peduli, mampu menghargai dan toleran
kepada orang lain, mampu menyesuiakan diri, jujur, rendah hati, dan
santun dalam berinteraksi dengan keluarga, pendidik, dan teman.
KI - 3 : Mengenali diri, keluarga, teman, pendidik, lingkungan sekitar,
agama, teknologi, seni, dan budaya di rumah, tempat bermain dan satuan
PAUD
KI - 4 : Menunjukkan yang diketahui, dirasakan, dibutuhkan, dan
dipikirkan melalui bahasa, musik, gerakan, dan karya secara produktif dan
kreatif, serta mencerminkan perilaku berakhlak mulia

Kompetensi Dasar
KD 2.10 Memiliki perilaku yang mencerminkan sikap menghargai
KD 3.6 Mengenal benda– benda di sekitarnya
KD 3.7 Mengenal lingkungan sosial (Keluarga, teman, tempat tinggal,
tempat ibadah, budaya)
KD 4.6 Menyampaikan tentang apa dan bagaimana benda– benda disekitar
yang dikenalnya
KD. 4.7 Menyajikan berbagai karya yang berhubungan dengan lingkungan
sosial (keluarga, teman, tempat tinggal, tempat ibadah, budaya dan
transportasi) dalam bentuk gambar, bercerita, bernyanyi dan gerak tubuh.

b. Pengembangan Buku Bergambar

Buku bergambar “Bangga menjadi Anak Indonesia” merupakan

pengembangan bahan ajar sebagai komponen pendukung dalam aktivitas

stimulasi karakter cinta tanah air bertema keberagaman dengan sasaran untuk

82
anak usia 5-6 tahun. Dalam pengembangan ini, buku bergambar “Bangga

Menjadi Anak Indonesia” merupakan bahan ajar sekaligus dapat digunakan

sebagai bahan ajar pembelajaran yang berisi materi dan aktivitas untuk anak

usia 5-6 tahun bertema Tanah Air dengan pendekatan keberagaman yang ada

di Indonesia yang bertujuan untuk menstimulasi karakter cinta tanah air anak

usia 5-6 tahun.

Buku bergambar “Bangga menjadi Anak Indonesia” merupakan bahan

ajar yang tujukan untuk proses pembelajaran anak usia 5-6 tahun yang

dilengkapi dengan perancangan materi dan aktivitas yang disusun secara

sederhana sesuai dengan pedoman Kurikulum 2013 PAUD Nomor 146 Tahun

2014. Buku bergambar “Bangga Menjadi Anak Indonesia” mengedepankan

pada gambar dengan tujuan untuk menyediakan input visual bagi anak, misal:

anak yang belum mendapat informasi tentang pulau di Indonesia, dalam buku

bergambar disajikan gambar pulau di Indonesia yang bertujuan untuk

memudahkan anak membayangkan bentuk pulau di Indonesia yang

sebelumnya anak belum pernah menjumpainya. Dalam buku bergambar ini,

selain berisi kompetensi nilai untuk stimulasi karakter cinta tanah air, terdapat

pula pengembangan untuk aspek kognitif, motorik, bahasa, seni dan Nilai

Agama Moral (NAM) yang dapat dikembangkan dalam Rencana Pelaksanaan

Pembelajaran Harian (RPPH) oleh masing- masing pendidik di TK Kelompok

B. Berikut komponen buku bergambar “Bangga Menjadi Anak Indonesia”:

83
Dalam buku bergambar terdapat rancangan pembelajaran. Berikut

rancangan materi pembelajaran untuk menstimulasi karakter cinta tanah air

anak bertema keberagaman yang ada di Indonesia:

Gambar 4. Rancangan Buku Bergambar berbasis Multikultural

84
Keenam tokoh dalam buku bergambar “Bangga menjadi Anak

Indonesia” akan membawa anak untuk mengenal keberagaman yang ada

diIndonesia, topik terbagi menjadi 5 yakni:

1) Keberagaman ras-agama di Indonesia Indonesia (Ciri- ciri fisik anak

Indonesia-asal daerah dan macam agama di Indonesia)

2) Keberagaman seni di Indonesia (seni pertunjukkan dan alat musik khas

Indonesia).

3) Keberagaman hasil produk buatan Indonesia (makanan khas Indonesia)

4) Keberagaman keindahan alam Indonesia (tempat wisata di Indonesia

5) Keberagaman Flora dan Fauna Indonesia (tanaman dan hewan khas

Indonesia).

Isi buku bergambar dikembangkan berdasarkan berdasarkan

Kurikulum 2013 PAUD Nomor 146 Tahun 2014, yakni:

85
Kompetensi Inti
KI - 2 : Memiliki perilaku hidup sehat, rasa ingin tahu, kreatif, estetis,
percaya diri, disiplin, mandiri, peduli, mampu menghargai dan toleran
kepada orang lain, mampu menyesuiakan diri, jujur, rendah hati, dan
santun dalam berinteraksi dengan keluarga, pendidik, dan teman.
KI - 3 : Mengenali diri, keluarga, teman, pendidik, lingkungan sekitar,
agama, teknologi, seni, dan budaya di rumah, tempat bermain dan satuan
PAUD
KI - 4 : Menunjukkan yang diketahui, dirasakan, dibutuhkan, dan
dipikirkan melalui bahasa, musik, gerakan, dan karya secara produktif dan
kreatif, serta mencerminkan perilaku berakhlak mulia

Kompetensi Dasar
KD 2.10 Memiliki perilaku yang mencerminkan sikap menghargai
KD 3.6 Mengenal benda– benda di sekitarnya
KD 3.7 Mengenal lingkungan sosial (Keluarga, teman, tempat tinggal,
tempat ibadah, budaya)
KD 4.6 Menyampaikan tentang apa dan bagaimana benda– benda disekitar
yang dikenalnya
KD. 4.7 Menyajikan berbagai karya yang berhubungan dengan lingkungan
sosial (keluarga, teman, tempat tinggal, tempat ibadah, budaya dan
transportasi) dalam bentuk gambar, bercerita, bernyanyi dan gerak tubuh.

Dari Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar tersebut, dikembangkan menjadi

muatan pembelajaran yang terdiri dari dua isi yang memuat materi dan aktivitas,

muatan tersebut yakni:

1) Materi

Isi materi dalam buku bergambar terbagi menjadi 2 yakni 1)

Pengetahuan Kognitif dan 2) Pengetahuan nilai. Berikut penjabaran isi

materi dalam buku bergambar “Bangga Menjadi Anak Indonesia”:

86
Tabel 4. Isi Materi dalam Buku Bergambar

Materi

1) Pengetahuan Kognitif
Materi pengetahuan kognitif berisi informasi- informasi umum tentang
informasi keragaman yang ada di Indonesia. Dalam buku bergambar materi
pengetahuan terdiri dari:
a) Pengetahuan keberagaman ras-agama di Indonesia Indonesia: Ciri- ciri fisik
anak Indonesia-asal daerah dan macam agama di Indonesia. (KD 3.7 - KD 4.7)
b) Pengetahuan keberagaman seni di Indonesia: seni pertunjukkan dan alat
musik khas Indonesia. (KD 3.7 - KD 4.7)
c) Pengetahuan keberagaman hasil produk buatan Indonesia: makanan khas
Indonesia (KD 3.7 - KD 4.7).
d) Pengetahuan keberagaman keindahan alam Indonesia: tempat wisata di
Indonesia dan tanaman-hewan khas Indonesia. (KD 3.7 - KD 4.7)
e) Peberagaman keberagaman Flora dan Fauna Indonesia: tanaman dan hewan
khas Indonesia (KD 3.7 - KD 4.7).

2) Pengetahuan Nilai
Materi pengetahuan nilai berisi contoh-contoh perilaku mencintai keberagaman
yang dimiliki di Indonesia, contoh perilaku nilai yang disajikan dalam buku
bergambar yakni:
a) Perilaku menghargai kebergaman ras dan agama (KD 2.10)
b) Perilaku menghargai keberagaman seni di Indonesia (KD 2.10)
c) Perilaku menghargai keberagaman hasil produk buatan Indonesia: makanan
khas Indonesia (KD 2.10)
d) Perilaku menghargai keberagaman keindahan alam Indonesia: Tempat
Wisata (KD 2.10)
e) Perilaku menghargai keberagaman Flora dan Fauna Indonesia: tanaman dan
hewan khas Indonesia

87
2) Aktivitas

Aktivitas yang dilakukan anak dalam buku bergambar “Bangga

Menjadi Anak Indonesia” dikembangkan berdasarkan kompetensi Dasar

Kurikulum 2013 PAUD Nomor 146 Tahun 2014 yakni KD. 4.7 yang

berbunyi menyajikan berbagai karya yang berhubungan dengan

lingkungan sosial (keluarga, teman, tempat tinggal, tempat ibadah, budaya

dan transportasi) dalam bentuk gambar, bercerita, bernyanyi dan gerak

tubuh. Adapun aktivitas dalam buku bergambar “Bangga Menjadi Anak

Indonesia” yakni:

88
Tabel 5. Isi Aktivitas dalam Buku Bergambar

No Aktivitas
1
: bercerita dengan ilustrasi gambar dalam buku
2
: mengamati perbedaan gambar. Contoh: mengamati
2 alat musik: suling dan rebana. Apa perbedaannya, kemudian
mempraktikkan untuk di mainkan.
3
: menghubungkan gambar dengan tulisan atau
menghubungkan gambar dengan gambar yang menyimbolkannya.
Contoh: menghubungkan gambar tokoh dengan tempat ibadah
yang sesuai.
4
: mewarnai gambar sesuai dengan topik dan
teknik berbeda. Contoh : mewarnai Rumah Gadang sebagai
tempat wisata khas Indonesia, mewarnai dengan Pensil Warna.
5
: mengklasifikasikan atau mengelompokkan
benda yang sejenis. Contoh: Mengelompokkan makanan khas
Indonesia.
6
: meniru tulisan sesuai topik, dalam 1 lembar
terdapat 3 kosakata yang ditiru tulisannya. Contoh: Topik Alat
musik, meniru tulisan “Gong”, “Angklung” dan “Saron”.
7

: membilang banyak benda dengan menuliskan


lambang bilangan atau menghubungkan ke dalam lambang
bilangan yang sesuai.
8
. : menggambar sesuai dengan topik. Misal:
menggambar 1 tempat wisata yang ingin atau sudah pernah di
kunjungi.
9
: menggunting gambar atau tulisan kemudian
diklasifikasikan.
10

: menempelkan hasil guntingan di lembar baru yang disediakan

89
B. Kajian Penelitian yang Relevan

Pada penelitian ini, peneliti mensintesa beberapa penelitian lain, kajian

penelitian relevan yang digunakan dalam penelitian ini yakni:

1. Penelitian Irmayana, Marmawi & Halida (2015) berjudul Analisis

Pembelajaran Karakter Cinta Tanah Air Pada Anak Usia 5-6 Tahun

menghasilkan diantaranya tentang kendala yang dihadapi guru karena

terbatasnya pengadaan bahan dan alat pembelajaran dalam pembelajaran

karakter cinta tanah air. Dalam penelitian tesis ini, peneliti mengkaji

permasalahan tersebut dan mendasari untuk mengembangkan sebuah produk

pembelajaran.

2. Penelitian dari Bellini, S., Pereda, V., Coredo, N., & Moralez, L.. (2016)

mengintegrasikan perspektif multikultural ke dalam kelas anak usia dini,

penelitian ini menawarkan temuan yang menjanjikan mengenai peran yang

dapat dimainkan oleh pendidikan dalam mengurangi bias rasial negatif pada

anak-anak yakni dengan menerapkan pendidikan budaya ke dalam kurikulum

yang ditetapkan. Dalam penelitian ini, peneliti mengkaji pembelajaran dengan

perspektif multikultural untuk dimasukkan kedalam materi pembelajaran

anak usia dini.

3. Penelitian Hsu (2014) mengidentifikasi anak-anak usia masa kanak dengan

cepat mengembangkan pemahaman tentang etnis. Pendidikan multikultural

harus dimulai pada pendidikan anak usia dini. Pengajaran keanekaragaman

budaya dalam pendidikan anak membantu anak-anak mengembangkan

identitas mereka serta meningkatkan pengetahuan dan pemahaman budaya.

90
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengajarkan anak-anak muda (usia 5-

6) pendidikan multikultural dengan menggunakan buku bergambar anak-

anak, dan mengidentifikasi peningkatan anak-anak dalam pemahaman

mereka tentang keanekaragaman budaya. Hasilnya menunjukkan bahwa

anak-anak menunjukkan rasa keadilan dan keadilan melalui pengenalan buku

bergambar multikultural, dan mereka berada dalam tahap mengembangkan

kesadaran mereka akan keadilan dan ketidakadilan. Metode pemilihan buku

bergambar multikultural adalah faktor kunci dalam berhasil memperkenalkan

pendidikan multikultural kepada anak-anak. Oleh karena itu, disarankan

penelitian harus dilanjutkan ke dalam penggunaan buku bergambar dalam

perkembangan anak-anak untuk mempelajari lebih lanjut topik terkait

pendidikan multikultural.

3. Penelitian Somadi (2012) menunjukkan bahwa sastra anak-anak adalah alat

yang berguna untuk pendidikan moral, seperti konsep keadilan, kesejahteraan

manusia, dan hak asasi manusia. Selain itu, berbagi literatur anak-anak,

dilengkapi dengan diskusi kelas yang hidup tentang masalah moral dalam

cerita, adalah strategi yang efektif untuk mempromosikan perkembangan

moral anak-anak. Sebagai kesimpulan, peneliti telah mencapai beberapa

pemahaman baru: Anak-anak dapat diajar nilai-nilai moral melalui ketika

menerapkan program berdasarkan buku cerita sastra anak-anak. Dalam

penelitian tesis ini, peneliti menginisiasi sebuah produk berupa buku yang

bermuatan nilai moral.

91
4. Penelitian dari Djariyo dan Setiaji (2014) yang berjudul Pendekatan

Multikultural Terhadap Pendidikan Cinta Tanah Air pada Pembelajaran

Anak SD Kelas IV di Kecamatan Purwanegara Menghasilkan bahwa

penerapan strategi pembelajaran dengan menggunakan pendekatan

Multikultural dalam pembelajaran tematik terintegratif untuk menanamkan

nilai karakter pada anak kelas IV di Kecamatan Purwanegara Kabupaten

Banjarnegara terdapat perkembangan tingkah laku anak yang menyangkut

karakter anak dalam ranah kognitif, psikomotor, dan afektif. Dari hasil

observasi di SD Negeri 2 Merden, SD Negeri 1 Mertasari, SD Negeri 1

Purwanegara mengenai pembelajaran didapat hasil proses pembelajaran yang

baik yakni terdapat hasil rata-rata dalam bentuk presentase sebesar 86%

kriteria sangat baik terdapat di SD Negeri 2 Merden, 82% kriteria baik

terdapat di SD Negeri 1 Mertasari, dan 90% kriteria sangat baik terdapat di

SD Negeri 1 Purwanegara. Penelitian dan tesis ini memiliki persamaan

Variabel berupa Multikultural dan Cinta Tanah Air, yang membedakan subjek

penelitian.

5. Penelitian dari Sholihah (2015) yang berjudul Konsep Cinta Tanah Air

Perspektif Ath Thahthawi Dan Relevansinya Dengan Pendidikan Di

Indonesia berupa deskriptif analitif yang menghasilkan bahwa Cinta tanah air

tidak hanya diwujudkan untuk merebut kemerdekaan dari penjajah saja. Cinta

tanah air pula harus diwujudkan untuk mempertahankan kemerdekaan

tersebut. Konsep tersebut relevan dengan sistem pendidikan di Indonesia

yang mana pada kurikulum dan tujuan pendidikannya mencantumkan konsep

92
cinta tanah air sebagai materi pelajaran dan juga sebagai harapan agar bangsa

Indonesia dapat menanamkan kembali rasa cinta terhadap tanah air. Hal itu

diwujudkan semata-mata untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia

dan untuk mengharumkan nama Indonesia di matadunia. Penelitian dari

Sholihah tersebut memberikan kajian pustaka yang terdiri dari informasi

mengenai konsep cinta tanah air yang dari berbagai perspektif sebagai

rujukan teori dalam mengembangkan Buku Bergambar berbasis multikultural

untuk menstimulasi karakter cinta tanah air.

6. Anggraini. N, Sudjarwo, & Jaya. M (2015) dalam penelitian berjudul

Pengembangan Buku Bergambar Sosiologi Berbasis Multikultural

menghasilkan sebuah Buku Bergambar pembelajaran multikultur yang

menawarkan satu alternatif melalui Buku Bergambar yang berbasis pada

pemanfaatan keragaman yang ada di masyarakat, khususnya yang ada pada

anak seperti keragaman budaya, bahasa, agama, status sosial, gender,

kemampuan dan umur. Pembelajaran berbasis multikultur ini dapat

diterapkan dalam pembelajaran Sosiologi, dimana kajian Sosiologi sangat

erat sekali dengan kebudayaan, lingkungan dan kehidupan bermasyarakat.

Penelitian Anggraini, dkk dan tesis ini memiliki kesamaan yakni sama- sama

mengembangangkan Buku Bergambar berbasis multikultural, terdapat

perbedaan untuk tujuannya, dalam penelitian Anggraini Buku Bergambar

untuk pembelajaran sosiologi, sedangkan dalam penelitian ini untuk stimulasi

karakter cinta tanah air. Sosiologi dan Tanah Air memiliki hubungan yang

93
mana sama-sama bermuatan tentang lingkungan sosial tempat seseorang itu

hidup.

7. Wisnarni (2017) dalam penelitian berjudul Menumbuhkembangkan

Karakter Cinta Tanah Air Melalui Kegiatan Ekstrakurikuler Berbasis

Kebiasaan Pada Sdn No 119/Iii Koto Majidin Hilir. Dalam penelitian

Wisnarni menyebutkan instrumen pengumpulan data berupa rincian

indikator karakter cinta tanah air, yakni: 1) Menyanyikan lagu kebangsaan

setiap upacara bendera dan peringatan hari besar Nasional. 2) Memajang

poto pahlawan nasional di kelas. 3) Mengenalkan aneka kebudayaan bangsa

dan budaya masyarakat setempat. 4) Mengenalkan pakian adat pada hari –

hari besar nasional. 5) Upacara bendera setiap hari senin dan menghormat

bedera merah putih. 6) Menyanyikan lagu Indonesia Raya dengan khidmad,

dan 7) Mengucapan pancasila. Dalam penelitian tesis ini, penulis

menjadikan indikator karakter cinta tanah air dalam instrumen tersebut

sebagai acuan dalam menyusun instrumen, namun diseseuaikan dengan

karakteristik anak usia dini.

8. Muyassaroh dalam penelitian berjudul Pengembangan buku dongen

Movable berbasis Etnosains untuk meningkatkan sain dan karakter cinta

tanah air anak kelas 4 SD yang menghasilkan bahwa produk yang

dikembangkan layak dan efektif untuk meningkatkan literasi sains dan

karakter cinta tanha air anak kelas 4.

Posisi penelitian ini ada pada pengembangan sebuah produk berupa

Buku Bergambar, dimana berdasarkan penelitian lain menghasilkan bahwa

94
bahan ajar tentang stimulasi karakter cinta tanah air terbatas, dengan didukung

pada hasil penelitian yang menyatakan bahwa Buku Bergambar menjadi bahan

ajar cetak yang efektif digunakan di Taman Kanak- kanak, maka munculah

pemikiran penulis untuk membuat sebuah bahan ajar berupa Buku Bergambar

berbasis multikultural untuk menstimulasi karakter cinta tanah air anak usia 5-

tahun.

C. Kerangka Pikir

Kata cinta menjadi sebuah kata umum diucapkan oleh setiap orang, cinta

kepada Tuhan, cinta kepada orangtua, cinta kepada teman, dan lain- lain. Namun,

mendengar “Cinta Tanah Air” di era saat ini masih jarang diucapkan dari lisan

maupun melalui perbuatan pada setiap orang yang tinggal di Indonesia.

Menghadapi permasalahan tersebut, perlunya anak usia dini sebagai generasi awal

usia emas untuk mengenal tanah airnya sehingga menumbuhkan rasa dan

menunjukkan perilaku mencintai tanah air, maka dibutuhkan sebuah bahan ajar

yang dirancang khusus untuk anak usia 5-6 tahun dalam rangka untuk

memperkenalkan keberagaman yang ada di Indonesia. Adapun bahan ajar yang

dipilih adalah buku bergambar dengan materi berbasis multikultural.

Buku bergambar membantu memudahkan bagi anak dan memudahkan

mengajar bagi guru, memberikan pengalaman lebih nyata, dan menarik perhatian

anak yang lebih besar. Hal tersebut sesuai dengan esensi manfaat dari buku

bergambar yang disampaikan (Azizah,2014) bahwa dengan buku bergambar semua

indera anak dapat diaktifkan, lebih menarik perhatian dan minat anak dalam belajar,

dan dapat membangkitkan dunia teori dengan realitanya. Sejalan dengan itu Stewig

95
(dalam Mustakim. 2005:48) bahwa buku bergambar menjadi sarana untuk

menyediakan input visual bagi anak yakni melalui gambar anak memperoleh

masukan atau tambahan masukan pengethauan tentang segala sesuatu yang ada di

sekitar dirinya atau bahkan yang jauh dari lingkungan.

Pengembangan materi dalam buku bergambar untuk menstimulasi cinta tanah

air adalah berbasis multikultural. Multikultural diusung sebagai konsep untuk

menumbuhkan persatuan untuk tetap mencintai Tanah airnya. Untuk itu, dalam

buku bergambar ini materi berisi mengenalkan keberagaman yang ada di Indonesia

sehingga anak dapat mengenal Indonesia dan menumbuhkan rasa cinta kepada

tanah airnya. Materi buku dikembangkan berdasarkan pendekatan multikultural

dari Banks & McGee (2013:184-194) pada level pertama yakni The Contributions

approach yang merupakan pendekatan pengembangan pembelajaran yang

dilakukan dengan melibatkan unsur- unsur terkecil mengenai komponen budaya,

perayaan, dan elemen lain yang ringan dan mudah diimplementasikan dalam

pendidikan anak usia dini.

Berdasarkan beberapa uraian tersebut, jika buku bergambar berbasis

multikultural dapat digunakan pada proses belajar anak maka karakter cinta tanah

air anak akan terstimulasi. Berikut ini adalah skema kerangka pikir dalam penelitian

pengembangan buku bergambar berbasis multikultural sebagai berikut:

96
1. Pengetahuan mengenal keragaman tanah air rendah
2. Perilaku mencintai keragaman tanah air perlu diperkenalkan pada anak
3. Diperlukan bahan ajar berupa buku bergambar yang dapat digunakan
anak dalam proses belajar pada tema “Tanah Airku” untuk menstimulasi
cinta tanah air

Desain Buku Bergambar berbasis Multikultural

Spesifikasi: Konten:
1) Isi terbagi menjadi 3: Pendahuluan, Materi, 1) Ras
Aktivitas dan Penilaian 2) Agama
2) Kertas cover berbentuk tebal (hard cover) 3) Seni Pertunjukkan
dan isi menggunakan HVS warna 4) Alat Musik
3) Gambar menjadi unsur utama dan didukung 5) Makanan Khas
dengan tulisan sederhana
6) Tempat Wisata
4) Materi terbagi menjadi: Materi Pengetahuan
dan Materi Nilai 7) Flora-Fauna
5) Terdapat lembar aktivitas setiap topik
berupa bercerita, mengelompokkan,
mewarnai, berhitung, menghubungkan,
mengamati, menggunting, menempel dan
meniru tulisan
6) Font huruf 12 dan spasi 1,5 dengan jenis
huruf san serif
7) Terdapat 6 karakter tokoh yang memiliki
ciri berbeda (warna kulit, agama dan jenis
rambut)
8) Ukuran gambar dalam satu halaman penuh
9) Penggunaan warna analog dalan buku

Karakter cinta tanah air anak terstimulasi

Gambar 5. Skema Kerangka Pikir

97
D. Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan landasan teoritik dan kerangka pikir yang dijelaskan di atas,

maka timbul beberapa pertanyaan penelitian dalam pengembangan Buku

Bergambar berbasis multikultural untuk menstimulasi karakter cinta tanah air anak

usia 5-6 tahun, antara lain:

1. Hal- hal apa yang dibutuhkan dalam menstimulasi karakter cinta tanah air anak

usia 5-6 tahun:

a. Bagaimana praktik stimulasi cinta tanah air untuk anak usia 5-6 tahun?

b. Bahan ajar seperti apakah yang sesuai untuk menstimulasi cinta tanah air anak

usia 5-6 tahun?

c. Materi buku bergambar yang seperti apa yang anak butuhkan untuk

menstimulasi cinta tanah air?

d. Gambar yang seperti apa yang menarik dan dibutuhkan anak dalam proses

stimulasi cinta tanah air?

2. Bagaimana buku bergambar yang layak untuk menstimulasi karakter cinta tanah

air anak usia 5-6 tahun?

a. Komponen materi seperti apa yang sesuai dalam buku bergambar untuk

menstimulasi karakter cinta tanah air?

1) Bagaimana kesesuaian dengan Kompetensi Dasar?

2) Bagaimana kesesuaian dengan perkembangan anak?

3)Bagaimana kebenaran substansi materi buku bergambar berbasis

multikultural?

4) Bagaimana aspek penyajian isi buku bergambar yang sesuai?

98
b. Komponen media seperti apa yang sesuai dalam buku bergambar untuk

menstimulasi karakter cinta tanah air?

1) Bagaiamana Penggunaan huruf (jenis dan ukuran) yang sesuai?

2) Bagaiamana Tata letak (layout) yang sesuai?

3) Bagaimana Ilustrasi, gambar dan foto yang sesuai?

4) Bagaimana Desain tampilan yang sesuai?

3. Apakah pengembangan buku bergambar berbasis multikultural efektif untuk

menstimulasi karakter cinta tanah air anak usia 5-6 tahun?

99

Anda mungkin juga menyukai