Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

PEMIKIRAN PENDIDIKAN KARAKTER


AL-GHAZALI DAN THOMAS LICHONA

Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah


Sejarah Pemikiran Pendidikan Islam

Dosen Pengampu: Dr. Dwi Noviani, M.Pd.I

Disusun Oleh :

Zunaidah /NIM 210407047


Febrianti /NIM 210407019
Alhadi Arka /NIM 210407005

PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT AGAMA ISLAM AL-QURAN AL-ITTIFAQIAH (IAIQI)
INDRALAYA OGAN ILIR
Abstrak
Makalah ini bertujuan untuk mendiskripsikan dan menganalisis pemikiran dua tokoh
yaitu Al-Ghazali dan Thomas Lichona terkait pendidikan karakter. Penulisan
makalah ini menggunakan kajian pustaka yaitu dengan mengumpulkan beberapa
tulisan baik yang bersumber dari buku atau jurnal ilmiah yang berhubungan dengan
pembahasan yang kemudian dianalisis. Dalam tulisan ini diperoleh bahwa Thomas
Lichona memberikan atau membagi pendidikan karakter dalam tiga ranah yaitu
kognitif, afektif dan psikomotrik. Sedangkan Al-Ghazali mempunyai pandangan
bahwa suatu karakter lahir dari al-nafs yang bersih sehingga untuk melahirkan
karakter yang baik dalam diri manusia maka terdahulu melihat keadaan jiwanya.
Keynote: Character Education, Al-Ghazali, Thomas Lichona

A. Pendahuluan
Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional (UUSPN) pasal 3 dijelaskan bahwa “Pendidikan nasional berfungsi
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab”. Pasal 1 UU tersebut juga menjelaskan bahwa pendidikan adalah “Usaha
sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran
agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki
kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak
mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan Negara” 1.
Rumusan tujuan pendidikan nasional tersebut mencerminkan gambaran umum sosok
manusia Indonesia yang diharapkan dan wajib dihasilkan melalui penyelenggaraan
setiap program pendidikan. Oleh karena itu, rumusan tujuan pendidikan nasional

1
Depdiknas, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
(Depdiknas: 2003), www.depdiknas.go.id , diakses tanggal 28 September 2021
menjadi dasar dalam pengembangan pendidikan karakter di sekolah dengan
berlandaskan pada Pancasila, UUD 1945 dan kebudayaan bangsa Indonesia.
Pendidikan pada hakikatnya memiliki dua tujuan, yaitu membantu manusia
untuk menjadi cerdas dan pintar (smart), dan membantu mereka menjadi manusia
yang baik dan berakhlak (good)2. Lebih mudah menjadikan manusia pintar dan
cerdas daripada menjadikan manusia yang bijak dan berakhlak baik. Dengan
demikian, permasalahan akhlak atau moral pada saat ini merupakan persoalan
fundamental yang mengiringi kehidupan manusia di manapun dan kapanpun.
Kenyataan tentang problem moral inilah yang kemudian merujuk pada pentingnya
penyelenggaraan pendidikan karakter. Menurunnya kualitas moral dalam kehidupan
manusia Indonesia dewasa ini, terutama di kalangan siswa, menjadikan Pendidikan
karakter urgen untuk digaungkan.
Pembentukan karakter pribadi anak (character building) sebaiknya dimulai
dalam keluarga karena anak mulai berinteraksi dengan orang lain pertama kali terjadi
dalam lingkungan keluarga. Pendidikan karakter sebaiknya diterapkan sejak usia dini
karena pada usia dini terbukti sangat menentukan kemampuan anak dalam
mengembangkan potensinya3.
Merujuk pada problem moral dan pentingnya pendidikan karakter dapat
dilihat dari kasus moral yang pernah menimpa kedua putra Nabi Adam AS. 4 Perilaku
Qabil dan Habil dalam menyedekahkan hartanya, sikap dengki Qabil terhadap Habil
yang berujung pada kasus pembunuhan, dan juga banyaknya Nabi dan Rasul yang
diturunkan Allah kepada umat manusia, menunjukkan akutnya problem moral ini.
Nabi Muhammad saw bahkan diutus ke dunia ini oleh Allah semata-mata untuk
menyempurnakan akhlak dan karakter manusia. Dewasa ini, sedang hangat
dibicarakan tentang pendidikan karakter yang menjadi basis pendidikan. Berdasarkan
pada permasalahan yang ada, maka kajian teoritis dalam makalah ini akan berfokus
kepada pendidikan karakter Al-Ghazali dan Thomas Lichona.

2
Ajat Sudrajat, “Mengapa Pendidikan Karakter?, Jurnal Pendidikan Karakter, Vol I, No. 1,
(Oktober, 2011), h. 47
3
Sudaryanti, Pentingnya Pendidikan Karakter Bagi Anak Usia Dini, dalam Jurnal
Pendidikan Anak, Universitas Negeri Yogyakarta, Volume 1 Edisi 1 (Juni 2012), h. 5
4
Ali Shariati, Tugas Cendekiawan Muslim, diterjemahkan oleh M. Amien Rais (Jakarta:
Srigunting, 1996), h. 34
B. Pembahasan
1. Definisi Pendidikan Karakter
Secara istilah (terminologis) ‘karakter’ diartikan sebagai sifat yang ada pada
diri manusia yang bergantung pada faktor kehidupannya sendiri. Hidayatullah
menjelaskan secara harfiah bahwa ‘karakter’ adalah akhlak atau budi pekerti
individu yang berkualitas serta bermoral 5. Menurut kamus lengkap Bahasa
Indonesia6, karakter adalah akhlak, budi pekerti yang membedakan seseorang dari
yang lain, tabiat, watak. Sedangkan menurut ahli psikologi, karakter adalah
sebuah sistem kebiasaan yang mengarahkan tindakan seorang individu untuk
berprilaku dan berbuat. Dengan demikian, jika karakter seseorang dapat diamati,
maka dapat diamati pula bagaimana individu tersebut akan bersikap untuk
kondisi-kondisi tertentu. Sehingga dapat ditarik sebuah poin bahwa karakter dan
akhlak tidak memiliki perbedaan yang signifikan. Keduanya didefinisikan sebagai
suatu tindakan yang disebut dengan kebiasaan. Karakter dimaknai sebagai cara
berfikir dan berperilaku yang khas tiap individu, baik dalam lingkup keluarga,
masyarakat, bangsa, dan negara. Individu yang mempunyai karakter baik adalah
individu yang dapat membuat keputusan dan siap mempertanggung jawabkan.
Karakter dapat dianggap sebagai nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan
dengan diri sendiri, Tuhan Yang Maha Esa, sesama manusia, dan lingkungan yang
terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan
norma-norma yang berlaku7. Dengan demikian karakter merupakan perpaduan
antara moral, etika, dan akhlak. Moral lebih menitik beratkan pada kualitas
tindakan, perbuatan, atau perilaku manusia. Sebaliknya, etika memberikan
penilaian tentang baik dan buruk, berdasarkan norma-norma yang berlaku dalam
masyarakat tertentu. Sedangkan akhlak tatanannya lebih menekankan bahwa pada
hakikatnya dalam diri manusia itu telah tertanam keyakinan di mana keduanya
(baik dan buruk) ada. Oleh karena itu, pendidikan karakter dimaknai sebagai
5
M. Furqon Hidayatullah, Guru Sejati: Pengembangan Insan Berkarakter Kuat dan Cerdas,
(Surakarta: Yuma Pustaka, 2010), h. 62
6
Tim Bahasa Pustaka Agung Harapan, Kamus Cerdas Bahasa Indonesia Terbaru, (Surabaya:
CV Pustaka Agung Harapan, 2003), h. 300
7
M. Samani & Hariyanto, Konsep dan Model Pendidikan Karakter, (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2013), h. 41-42
pendidikan akhlak, pendidikan nilai, pendidikan moral, dan pendidikan budi
pekerti, yang tujuannya mengembangkan kemampuan siswa untuk memberikan
keputusan baik-buruk dan mewujudkan kebaikan itu dalam kehidupan sehari-hari
dengan sepenuh hati.
2. Pendidikan Karakter Al-Ghazali
Di dalam kitab Ihya’ Ulumuddin, Al-Ghazali menyatakan bahwa akhlak
berkaitan dengan kata al-khalqu (kejadian) dan al-khuluqu (akhlak atau tingkah
laku). Baik al-khalqu dan al-khuluqu (baik kejadian dan akhlaknya) berarti baik
lahir dan batin. Karena yang dimaksud dengan al-khalqu adalah bentuk lahir dan
al-khuluqu adalah bentuk batin. Hal ini berkaitan dengan keadaan manusia yang
tersusun dari jasad (tubuh) yang terlihat mata dan diraba serta unsur roh dan jiwa
yang hanya dapat dilihat dengan mata hati. Dari dua unsur tersebut, unsur roh dan
jiwa lebih besar nilainya dibanding dengan tubuh yang terlihat dengan mata
kepala8.
Adapun yang dimaksud akhlak adalah keadaan jiwa yang menetap dan dari
padanya terbit semua perbuatan dengan mudah tanpa memerlukan pemikiran dan
penelitian. Bila terbit dari jiwa perbuatan-perbuatan baik dan terpuji berarti ia
akhlak yang baik. Sebaliknya bila yang terbit dari padanya perbuatan-perbuatan
jelek, maka dinamakan dengan akhlak yang buruk9. Sejalan dengan itu, berarti
seseorang yang memberi bantuan hanya karena keinginan yang muncul secara
tiba- tiba saja, maka orang itu tidak dapat dikatakan pemurah, karena sifat tersebut
belum tetap pada jiwanya. Demikian pula bila seseorang memberi bantuan karena
tekanan moral atau tidak memberi ketidakadilan dan rasa marah, maka orang itu
juga belum dapat dikatakan mempunyai watak pemurah dan penyantun10.
Al-Ghazali dikenal sebagai ulama besar muslim yang intelektual dan sangat
mencintai ilmu pengetahuan. Kecintaannya pada ilmu pengetahuan
membentuknya menjadi piawai dalam beragam bidang keilmuan, sehingga
menjadikannya salah satu dari beberapa tokoh Islam yang paling besar
pengaruhnya dalam sejarah Islam. Hal tersebut karena banyaknya konstribusi
beliau dalam mengembangkan ilmu Islam yang diwujudkan dalam banyaknya
8
Al-Ghazali, Ihya’Ulumad-Din, (Beirut: Dar Ibnu Hazm, 2005), h. 93
9
Ibid, h. 96
10
Al-Madjidi, Konsep Pendidikan Para Filosof Muslim, (Jogyakarta: Al-Amin, 1997), h.74
buku karya beliau, dari beberapa keilmuan yang ditulis dalam buku nya beliau
banyak mengkaji tentang akhlak.
Pendidikan akhlak dalam konsep Al-Ghazali tidak hanya terbatas pada apa
yang dikenal dengan teori menengah saja. Akan tetapi meliputi sifat
keutamaannya yang bersifat pribadi, akal dan amal perorangan dalam masyarakat.
Atas dasar itulah, Pendidikan akhlak menurut Al-Ghazali memiliki tiga dimensi
diantaranya adalah (1) dimensi diri, yakni orang dengan dirinya dan tuhan; (2)
dimensi sosial, yakni masyarakat, pemerintah dan pergaulan dengan sesamanya;
dan (3) dimensi metafisik, yakni akidah dan pegangan dasar11. Selanjutnya Al-
Ghazali mengklasifikasikan pendidikan akhlak yang terpenting dan harus
diketahui meliputi (1) perbuatan baik dan buruk, (2) kesanggupan untuk
melakukannya, (3) mengetahui kondisi akhlaknya, dan (4) sifat yang cenderung
kepada satu dari dua hal yang berbeda, dan menyukai salah satu diantara
keduanya, yakni kebaikan atau keburukan12. Dari beberapa keterangan diatas
dapat difahami bahwa pendidikan akhlak menurut Al-Ghazali adalah suatu usaha
untuk menghilangkan semua kebiasaan-kebiasaan jelek yang telah dijelaskan oleh
syariat secara terperinci, hal-hal yang harus dijauhi oleh manusia, sehingga akan
terbiasa dengan akhlak-akhlak yang mulia. Jika ada 18 (delapan belas) nilai
karakter yang di implementasikan dalam pembelajaran oleh kemendiknas, maka
pendidikan nilai karakter menurut Imam Al-Ghazali dalam kitab Ayyuhal Walad
dikelompokkan menjadi dua. Diantaranya yaitu nilai individu dan nilai
kolektif/sosial. Pertama, nilai individu yang terdiri dari nilai religius. Religius
yakni sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang
dianutnya. Religius berarti mengadakan hubungan dengan sesuatu yang kodrati,
hubungan antara makhluk dengan sang Kholik. Hubungan ini mewujud dalam
sikap batinnya serta tampak dalam ibadah yang dilakukannya dan tercermin pula
dalam kesehariannya13. Kedua yaitu nilai kolektif/sosial yang terdiri dari peduli
sosial, tanggung jawab, kerja keras, dan menghargai prestasi14. Kitab Ayyuhal

11
Achmad Daudy, Kuliah Filsafat Islam, (Jakarta: Bintang Bulan, 1986), h. 62
12
Al-Ghazali, Relevenasi Pendidikan karakter dalam Perspektif Filsafat Al-Ghazali, dalam
jurnal Al-I’jaz Volume 2, No 2, (Desember 2020), h. 155
13
Shihab Quraish, Membumikan al-Qur’an,(Bandung: Mizan,1992), h. 78
14
Zubaedi, Desain Pendidikan Karakter, (Jakarta: Kencana, 2012), h. 56
Walad yang ditulis oleh Imam Al-Ghazali merupakan kitab yang lebih
menekankan pada pendidikan akhlak terhadap anak didik yang bertujuan untuk
menyempurnakan akhlak, dan mengandung makna yang tinggi. Dengan demikian
pendidikan akhlak menurut Imam Al-Ghazali dapat diimplementasikan dalam
pembelajaran. Apabila akhlak terpuji tertanam dalan jiwa setiap orang pasti akan
tercipta sesuatu kehidupan yang aman, tentram dan damai.
3. Pendidikan Karakter Thomas Lichona
Thomas Lichona mengutip pandangan seorang filsuf Yunani bernama
Aristoteles bahwa karakter yang baik didefinisikan dengan melakukan tindakan-
tindakan yang benar sehubungan dengan diri seseorang dan orang lain.
Aristoteles bahkan mengingatkan kepada kita tentang apa yang cenderung
dilupakan di masa sekarang ini: kehidupan yang berbudi luhur termasuk kebaikan
yang berorientasi pada diri sendiri (seperti kontrol diri dan moderasi)
sebagaimana halnya dengan kebaikan yang berorientasi pada hal lainnya (seperti
kemurahan hati dan belas kasihan), dan kedua jenis kebaikan ini berhubungan.
Artinya kita perlu untuk mengendalikan diri kita sendiri-keinginan kita, hasrat
kita- untuk melakukan hal yang baik bagi orang lain15.
Thomas Lichona memaparkan bahwa karakter menurut pengamatan seorang
filsuf kontemporer bernama Michael Novak, merupakan “campuran kompatibel
dari seluruh kebaikan yang diidentifikasi oleh tradisi religious, cerita sastra, kaum
bijaksana, dan kumpulan orang berakal sehat yang ada dalam sejarah”.
Sebagaimana yang ditunjukkan Novak, tidak ada seorang pun yang memiliki
semua kebaikan itu, dan setiap orang memiliki beberapa kelemahan. Orang-orang
dengan karakter yang sering dipuji bisa jadi sangat berbeda antara satu dengan
lainnya. Berdasarkan pemahaman klasik ini, Thomas Lichona bermaksud untuk
memberikan suatu cara berpikir tentang karakter yang tepat bagi pendidikan nilai:
karakter terdiri dari nilai operatif, nilai dalam tindakan. Menurut dia, karakter
yang baik adalah terdiri dari mengetahui hal yang baik, menginginkan hal yang
baik, dan melakukan hal yang baik– kebiasaan dalam cara berpikir, kebiasaan
dalam hati, dan kebiasaan dalam tindakan. Ketiga hal ini diperlukan untuk
15
Thomas Lichona, Character Matters; Persoalan Karakter, Bagaimana Membantu Anak
Mengembangkan Penilaian Yang Baik, Integritas dan Kebajikan Penting Lainnya, (Jakarta: PT Bumi
Aksara, 2015), h. 81.
mengarahkan suatu kehidupan moral; ketiganya ini membentuk kedewasaan
moral16.
Dan komponen karakter yang baik dapat dijabarkan sebagai berikut:
pengetahuan moral, berisi tentang kesadaran moral, pengetahuan nilai moral,
penentuan perspektif, pemikiran moral, pengambilan keputusan, dan pengetahuan
pribadi. Perasaan moral, berisi tentang hati nurani, harga diri, empati, mencintai
hal yang baik, kendali diri, dan kerendahan hati. Sedangkan tindakan moral berisi
tentang kompetensi, keinginan, dan kebiasaan17.
Thomas Lichona menyebutkan sepuluh kebaikan (karakter) esensial dan
utama yang harus ditanamkan kepada peserta didik baik di sekolah, di rumah, dan
di komunitas atau masyarakat, meliputi18: 1) Kebijaksanaan, 2) Keadilan, 3)
Ketabahan, 4) Kendali Diri, 5) Kasih, 6) Sikap Positif, 7) Kerja Keras, 8)
Integritas, 9) Rasa Syukur, dan 10) Karendahan Hati. Lebih lanjut, penjabaran
sepuluh kebaikan esensial dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 1. Sepuluh Kebaikan Esensial
Sepuluh kebaikan esensial Deskripsi
1. Kebijaksanaan  Penilaian yang baik; kemampuan
untuk mengambil keputusan yang
masuk akal.
 Mengetahui cara bagaimana
mempraktikkan kebajikan.
 Membedakan apa yang penting dalam
kehidupan; kemampuan untuk
menentukan prioritas.
2. Keadilan  Kewajaran
 Menghormati orang lain
 Menghormati diri sendiri
 Tanggung jawab
 Kejujuran
 Sopan santun
3. Ketabahan  Keberanian
 Kelenturan
 Kesabaran
 Ketekunan
 Daya tahan
16
Ibid, h. 81-82
17
Ibid, h. 84
18
Ibid, h. 280-284
 Keyakinan diri
4. Kendali diri  Disiplin diri
 Kemampuan untuk mengelola emosi
dan dorongan seseorang
 Kemampuan untuk menahan atau
menunda kepuasan
 Kemampuan untuk melawan godaan
 Moderasi
 Kendali diri seksual
5. Kasih  Empati
 Rasa kasihan
 Kebaikan hati
 Kedermawanan
 Pelayanan
 Loyalitas
 Patriotism
 Kemampuan untuk mengampuni
6. Sikap positif  Harapan
 Antusiasme
 Fleksibilitas
 Rasa humor
7. Kerja keras  Inisiatif
 Kerajinan
 Penentuan sasaran
 Kepanjangan daya akal
8. Integritas  Kelekatan terhadap prinsip moral
 Keyakinan terhadap hati nurani yang
dibentuk dengan tepat
 Kemampuan mengingat perkataan
 Konsistensi etika
 Menjadi jujur dengan diri sendiri
9. Rasa syukur  Kebiasaan untuk bersyukur;
mengapresiasi rahmat orang lain
 Mengakui utang budi satu sama lain
 Tidak mengeluh
10. Kerendahan hati  Kesadaran diri
 Keinginan untuk mengakui kesalahan
dan bertanggung jawab untuk
memperbaikinya
 Hasrat untuk menjadi orang yang lebih
baik

Sepuluh kebajikan utama dapat dianggap sebagai pemberian sebagaimana


yang Aristoteles sebut sebagai kehidupan baik. Karakter kehidupan memiliki dua
sisi: perilaku benar dalam hubungan dengan orang lain dan perilaku benar dalam
kaitannya dengan diri sendiri. Kehidupan yang penuh dengan kebajikan berisi
kebajikan berorientasi-orang lain, seperti keadilan, kejujuran, rasa syukur, cinta,
tetapi juga termasuk kebajikan berorientasi-diri sendiri seperti kerendahan hati,
ketabahan, kontrol diri, dan berusaha yang terbaik daripada menyerah pada
kemalasan. Dan kedua jenis kebajikan ini saling berhubungan19.

C. Kesimpulan
Pendidikan karakter perspektif Thomas Lickona memandang manusia sebagai
makhluk sosial yang senantiasa berinteraksi. Melalui interaksi inilah, pendidikan
karakter akan terbentuk. Interaksi dalam diri anak terjadi pada tiga lingkungan yakni
keluarga, sekolah dan masyarakat. Lickona juga memandang manusia sebagai satu
kesatuan yang terdiri dari ranah kognitif, afektif dan psikomotorik. Oleh sebabnya,
Lickona mengkalsifikasikan komponen- komponen dari pendidikan karakternya
dalam tiga ranah yakni moral feeling (ranah kognitif), moral feeling (afektif) dan
moral action (psikomotorik).
Begitupun Al-Ghazali memilih corak pandangan tersendiri, dimana beliau
memandang Jiwa (al-nafs al-nathiqah) sebagai esensi manusia mempunyai
hubungan erat dengan badan. Kaitannya dengan pendidikan karakter Al-Ghazali,
suatu karakter akan lahir dari jiwa yang bersih. Untuk melahirkan karakter yang baik
dalam diri manusia, maka dia harus mempertanyakan terlebih dahulu bagaimana
keadaan jiwanya.
Perbandingan konsep Thomas Lichona dan Al-Ghazali dengan diwarnai
perbedaan corak pandangan masing-masing bukannya melahirkan suatu jurang
pemisah melainkan dapat dikolaborasikan untuk melahirkan sebuah konsep baru
yakni pendidikan karakter yang berspiritualitas yang menghendaki anak tidak hanya
memiliki karakter yang baik namun juga dilengkapi dengan karakter-karakter Islam
yang sesuai dengan syariat agama. Dalam konsep baru ini, pemikiran dari kedua
tokoh dapat dipersatukan dan saling mengisi. Sebab tidak dapat dipungkiri
bahwasanya, cara pandang seseorang pada dasarnya benar jika dilihat dari sudut
pandang masing-masing. Kecenderungan- kecenderungan yang terdapat dalam
19
Ibid, h. 21
konsep masing-masing tokoh dapat saling tertutupi yang menyebabkan kekakuan-
kekakuan dari masing- masing konsep dapat dimaknai secara dinamis dan
berkemajuan.

Daftar Pustaka

Al-Ghazali, 2020, Relevenasi Pendidikan karakter dalam Perspektif Filsafat Al-


Ghazali, dalam jurnal Al-I’jaz Volume 2, No 2.
Al-Ghazali, 2005, Ihya’Ulumad-Din, Beirut: Dar Ibnu Hazm.
Al-Madjidi, 1997 Konsep Pendidikan Para Filosof Muslim, Yogyakarta: Al-Amin.
Daudy, Achmad, 1986, Kuliah Filsafat Islam, Jakarta: Bintang Bulan.
Depdiknas, 2003, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional, www.depdiknas.go.id.
Hidayatullah, M. Furqon, 2010, Guru Sejati: Pengembangan Insan Berkarakter Kuat
dan Cerdas, Surakarta: Yuma Pustaka.
Lichona, Thomas, 2015, Character Matters; Persoalan Karakter, Bagaimana
Membantu Anak Mengembangkan Penilaian Yang Baik, Integritas dan
Kebajikan Penting Lainnya, Jakarta: PT Bumi Aksara.
Quraish, Shihab, 1992, Membumikan al-Qur’an, Bandung: Mizan,1992.
Samani, M., & Hariyanto, 2013, Konsep dan Model Pendidikan Karakter, Bandung:
Remaja Rosdakarya, 2013.
Shariati, Ali, 1996, Tugas Cendekiawan Muslim, diterjemahkan oleh M. Amien Rais
Jakarta: Srigunting.
Sudaryanti, 2012, Pentingnya Pendidikan Karakter Bagi Anak Usia Dini, dalam
Jurnal Pendidikan Anak, Volume 1 Edisi 1, Yogyakarta: UNY.
Sudrajat, Ajat, 2011, Mengapa Pendidikan Karakter?, Jurnal Pendidikan Karakter,
Vol I, No. 1.
Tim Bahasa Pustaka Agung Harapan, 2003, Kamus Cerdas Bahasa Indonesia
Terbaru, Surabaya: CV Pustaka Agung Harapan.
Zubaedi, 2012, Desain Pendidikan Karakter, Jakarta: Kencana.

Anda mungkin juga menyukai