Anda di halaman 1dari 40

PENDIDIKAN ADAB

Institut Ilmu Sosial dan manajemen Stiami


Oleh : Dr. Yulianto, SE, MM

BAB 1

PENDAHULUAN

Dalam dunia pendidikan telah hangat dan banyak dibicarakan


mengenai pendidikan karakter. Dengan fakta yang menunjukkan bahwa
karakter bangsa pada zaman globalisasi ini merosot dengan sangat tajam , hal
ini lah yang melatarbelakangi munculnya pendidikan berkarakter. Pendidikan
sendiri dianggap sebagai suatu media yang paling jitu dalam mengembangkan
potensi anak didik baik berupa keterampilan maupun wawasan. Oleh karena
itu, pendidikan secara terus-menerus dibangun dan dikembangkan agar dari
proses pelaksanaannya menghasilkan generasi yang diharapkan.
Demikian dengan Indonesia, bangsa kita juga tidak ingin menjadi suatu
bangsa yang bodoh dan keterbelakang terutama dalam menghadapi zaman
yang terus berkembang di era kecangihan teknologi dan komunikasi. Maka
perbaikan sumber daya manusia juga perlu ditingkatkan, agar mampu
menghasilkan sumber daya yang cerdas, terampil, mandiri, dan berakhlak mulia
terus diupayakan melalui proses pendidikan.
Sebagaimana tercantum dalam rumusan tujuan pendidikan nasional
Nomor 20 Pasal 3 tahun 2003 tentang sistem Pendidikan Nasional menjelaskan
bahwa:
Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban yang bermartabat dalam rangka

1
mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya
potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kretaif, mandiri dan menjadi warga Negara yang demokratis serta
bertanggung jawab.

Dalam UU Sisdiknas Nomor 20 tahun 2003 yang terakhir dijelaskan


bahwa pendidikan karakter merupakan Pendidikan akhlak (karakter) masih
digabung dalam mata pelajaran agama dan diserahkan sepenuhnya pada guru
agama. Karena pendidikan karakter sendiri, yang pelaksanaannya sepenuhnya
dibebankan pada guru agama saja. Terang saja hingga kini pelaksanaan dari
pendidikan karakter itu sendiri belum mencapai batas yang optimal. Hal ini
terbukti dari fenomena sosial yang menunjukkan perilaku yang tidak
berkarakter.
Perilaku buruknya karakter atau tidak berkarakter dapat dilihat secara
seksama dengan semakin maraknya terjadi tawuran antar pelajar, adanya
pergaulan bebas, dan adanya kesenjangan sosial-ekonomi-politik di
masyarakat, kerusakan lingkungan yang terjadi di seluruh pelosok negeri,
masih terjadinya ketidakadilan hukum, kekerasan dan kerusuhan, dan korupsi
yang mewabah dan merambah pada semua sektor kehidupan masyarakat,
tindakan anarkis, konflik sosial.
Melihat fenomena sekarang ini, pendidikan karakter hanya
diembankan pada guru agama saja, padahal semua pihak yang berkepentingan
serta bersangkutan haruslah terlibat dalam pendidikan karakter. Bahkan dalam
langkah selanjutnya pendidikan karakter perlu dilaksanakan oleh seluruh
lapisan masyarakat, di seluruh instansi pemerintah, ormas, partai politik,
lembaga swadaya masyarakat, perusahan dan kelompok masyarakat lainnya.
Juga dalam pelaksanaannya, pendidikan karakter memerlukan peneladanan
dan pembiasaan.
Pembiasaan untuk berbuat baik, pembiasaan untuk berperilaku jujur,
tolong-menolong, toleransi, malu berrbuat curang, malu bersikap malas, malu
membiarkan lingkungan kotor. Karena karakter tidak terbentuk secara instan,
tapi harus dilatih secara serius, terus menerus dan proposional agar mencapai
bentuk karakter yang ideal. Ada 18 nilai dalam pendidikan karakter menurut

2
Departemen Pendidikan Nasional, diantaranya ialah tangung jawab serta
disiplin. Dalam hal ini yang dimaksud dengan tanggung jawab ialah seseoarang
atau peserta didik harus mampu bertanggung jawab dengan penuh atas apa
yang telah ia perbuat dan lakukan sebagai cerminan bahwa dia telah memiliki
karakter yang berkualitas. Disiplin sendiri berarti harus sesuai dan tepat dengan
ketentuan yang berlaku, sehingga dalam prakteknya peserta didik dapat
dikatakan memiliki keprcayaan yang penuh terhadap tanggungjawab yang
seharusnya ia laksanakan.
Berdasarkan fenomena yang terjadi sekarang ini, Institiut STIAMI
terpanggil untuk membuat model pendidikan karakter yang dirangkum dalam
buku pendidikan karakter Model Institut STIAMI.

BAB II

KARAKTER, ADAB, DAN AKHLAK

A. KARAKTER

1. Pengertian Karakter

Karakter diambil dari Bahasa Yunani ‘charakter’ yang bersal dari kara
‘kharassein’ yang berarti memahat atau mengukir. Dalam Bahasa Latin disebut
kharakter, kharassein, kharax, bermakna watak, tabiat, sifat-sifat kejiwaan,
budi pekerti, kepribadian atau akhlak (Bagus 1996), dan dalam Bahasa Inggris
“character” berarti; watak, karakter, sifat, peran, huruf.(Echols & Shadily: 2003)
Dapat juga diartikan sebagai mental or moral qualities that make a think what it
is different from others (Hornby 1987). Sedangkan secara istilah, karakter
diartikan sebagai sifat manusia pada umumnya diamana manusia mempunyai
banyak sifat yang tergantung dari faktor kehidupannya sendiri. (Buchoru t.thn.).
Karakter juga bisa diartikan sebagai sikap, tabiat, akhlak, kepribadian yang
stabil yang merupakan hasil dari proses konsolidasi secara progresif dan
dinamis (Andayani 2010). Menurut pusat bahas Depdiknas karakter adalah “

3
bawaan, hati, jiwa, kepribadian, budi pekerti perilaku, personalitas, sifat, tabiat,
tempramen dan watak.” Adapun yang dimaksud berkarakter adalah
“berkepribadian, berperilaku, bersifat, bertabiat dan berwatak.” (K. P. Nasional,
Pendidikan Karakter 2010)
Islam menggunakan istilah ‘akhlak’ untuk mengekspresikan karakter
manusia, sebagaimana sabda Rasulillah Sholallahu‘alaihi wassalam.:
“Sesungguhnya tiada aku diutus melainkan untuk menyempurnakan
akhlak.” (Al-Bukhari t.thn.)
Para ahli, baik Timur maupun Barat memberi pengertian yang berbeda
tentang karakter, namun secara substansial bermaksud pada makna yang
sama. Berikut adalah definisi karakter dalam perspektif pemikiran Islam dan
Barat, antara lain: Imam al-Ghazali (Ghazali t.thn.) mengatakan karakter itu
lebih dekat dengan akhlak, yaitu spontanitas manusia dalam bersikap, atau
melakukan perbuatan yang telah menyatu dalam diri manusia sehingga ketika
muncul tidak perlu dipikirkan lagi. (Zainuddin 1991)
Ibnu Taimiyah (Taimiyah t.thn.) berpendapat bahwa karakter atau tabiat
adalah fitrah manusia. Fitrah tersebut menjadi bahasan pokok dalam
pendidikan. Bahasan pokok tersebut mengenai dimensi ibadah untuk
mengtauhidkan Allah subhanahu wa ta’ala. Agar menjadi kebutuhan. Sehingga
sumber kekuata, kebahagiaan (sa’adah), dan islah kepribadian adalah iman
(Nata t.thn.). Maka ciri karakter ilmu bagi Ibnu Taimiyah adalah al-‘ilm an-nafi’,
merujuk pada firman Allah QS. Ali Imran [3]: 18:
“Allah menyatakan bahwanya tidak ada Tuhan melainkan Dia ( yang berhak
disembah), yang menegakkan keadilan. Para Malaikat dan orang-orang
yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). Tak ada Tuhan
melainkan Dia ( yang berhak disembah), yang Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana.”

Dan QS. Saba’ [43]: 6;


“Dan orang-orang yang diberi ilmu (ahli Kitab) berpendapat bahwa wahyu
yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu Itulah yang benar dan menunjuki
(manusia)kepada jalan Tuhan yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji.”
Aristoteles (https://id.wikipedia.org t.thn.) menyatakan bahwa karakter
sangat erat kaitannya dengan kebiasaan yang kerap dimanifestasikan dalam

4
tingkah laku. Selanjutnya Simon Philips mengatakan karakter merupakan suatu
kumpulan tata nilai yang menuju suatu system, yang melandasi pemikiran, sifat
dan perilaku yang didampaikan. Muhammad Abdul Khalik (1983) menyebutkan
kepribadian atau watak adalah; “majmu’ah al-aqliyyah wa al-
khuluqiyahallatiyamtazu biha ‘anghairihi”, artinya “ sekumpulan sifat (karakter)
yang bersifat ‘aqliyah (pengetahuan), perilaku dan tampilan hidup yang dapat
membebankan seseorang dengan lainnya (https://id.wikipedia.org t.thn.).
Sedangkan Tadkirotun Musfiroh (2008) mengatakan bahwa karakter
mengacu kepada serangkaian sikap (attitudes), perilaku (behaviors), motivasi (
motivations) dan keterampilan(skills) (Musfiroh 2008) Tim Pengembangan
Pendidikan Karakter, Depdiknas (2010) menuliskan bahwa karakter merupakan
perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri
sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam
pikiran, sikap, perasaan, perkataan, perbuatan berdasarkan norma-norma
agama, hukum, tata karma, budaya, dan adat istiadat. Orang yang perilakunya
sesuai dengan norma-norma disebut insan berkarakter mulia. Karakter mulia
berarti individu yang memiliki pengetahuan tentang potensi dirinya, yang
ditandai dengan nilai-nilai seperti reflektif, percaya diri, rasional, logis, kristis,
analitis, kreatif dan inovatif, madiri, hidup sehat, bertanggung jawan, cinta ilmu,
sabar, berhati-hati, rela berkorban, pemberani, dan dapat dipercaya, jujur,
menepati janji, adil, rendah hati,dan nilai-nilai lainnya. Individu juga memiliki
kesadaran untuk berbuat yang terbaik atau unggul, dan individu juga mampu
bertindak sesuai potensi dan kesadaran tersebut (D. P. Nasional 2010).

2. Pendidikan Karakter
Untuk mendifinisikan pendidikan karakter secara komprehensif
barangkali perlu berangkat dari dua kata; “pendidikan” dan “karakter”.
Pertama, pendidikan didefinisikan oleh para ahli dari berbagai sudut pandang,
tergantung dari sudut padang apa para ahli mendefinisikan. Ki Hajar Dewantara
menyatakan pendidikan sebagai daya upaya untuk memajukan budi pekerti,
pikiran dan jasmani anak agar selaras dengan alam dan masyarakatnya
(Dewantara t.thn.). Doni Koesoema A. mengartikan pendidikan sebagai proses

5
internalisasi budaya ke dalam diri individu dan masyarakat menjadi beradab (A
2007). Marimba menyebutkan pendidikan sebagai “bimbingan atau pembinaan
secara sadar oleh pendidik menuju keterbentuknya kepribadian yang utuh (D
1989).
Sementara sebagian ahli mendefinisikan pendidikan sebagai proses
dimana sebuah bangsa mempersiapkan generasi mudanya untuk menjalankan
kehidupannya, dan untuk memenuhi tujuan hidup secara efektif dan efisien.
Misalnya yang dinyatakan oleh Sudirman bahwa pendidikan adalah usaha
yang dijalankan oleh seseorang atau sekelompok orang untuk mempengaruhi
seseorang atau sekelompok orang lain agar menjadi dewasa atau mencapai
tingkat hidup dan penghidupan yang lebih tinggi dalam arti mantap (N 1989).
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional dalam pasal 1 ayat 1 disebutkan bahwa pendidikan adalah usaha
sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar anak didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya
untuk memiliki kecerdasan , akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan
dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara (2003 t.thn.). Intinya pendidikan selain
sebagai system proses humanisasi, pendidikan juga merupakan usaha untuk
membantu manusia untuk mengembangkan seluruh potensi yang dimilikinya,
untuk mencapai kesuksesan dalam kehidupan dunia dan akhirat. Kedua,
mengaitkannya dengan definisi karakter sebagaimana telah diulas pada bagian
awal tulisan ini, maka pendidikan karakter secara sederhana dapat diartikan
sebagai upaya sadar yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang
(pendidik) untuk menginternalisasikan nilai-niai karakter pada orang yang lain
(peserta didik) sebagai pencerahan agar peserta didik mengetahui, berfikir dan
bertindak secara bermoral dalam menghadapi setiap situasi.
Para ahli berbeda pendapat dalam mengemukakan pendapatnya
tentang pendidikan karakter . di antaranya Lickona (Majid 2011) yang
mendefinisikan pendidikan karakter sebagai upaya yang sungguh-sungguh
untuk membantu seseorang memahami, peduli dan bertindak dengan landasan
nilai-nilai etis. Pendidikan karakter menurutnya mengandung tiga unsur pokok,
yaitu mengetahui kebaikan (knowing the good), mencintai kebaikan (desiring

6
the good), dan melakukan kebaikan (doing the good) (Lickona, Educating For
Character: How Our School Can Teach Respect and Responsibility 1992).
Menurutnya keberhasilan pendidikan karakter dimulai dengan pemahaman
karakter yang baik, mencintainya, dan pelaksanaan atau peneladanan atas
karakter baik itu. Berikut ilustrasi tiga unsur pokok karakter Lichona:
Thomas Lickona mendefinisikan orang yang berkarakter sebagai sifat
alami seseorang dalam merespons situasi secara bermoral yang
dimanifestasikan dalam tindakan nyata melalui tingkah laku yang baik, jujur,
bertanggung jawab, menghormati orang lain dan karakter mulia lainnya.
Pengetian ini mirip dengan apa yang diungkapkan oleh Aristoteles, bahwa
karakter itu erat kaitannya dengan “habit” atau kebiasaan yang terus menerus.
Senada dengan Lichona, Ratna Megawangi (2004) menjelaskan pendidikan
karakter sebagai sebuah usaha sadar untuk mendidik peserta didik agar dapat
mengambil keputusan dengan bijak dan mempraktikan dalam kehidupan
sehari-hari, sehingga mereka dapat memberikan kontribusi yang positif kepada
lingkungannya. Pendidikan karakter juga bisa diartikan usaha untuk mencegah
tumbuhnya sifat-sifat buruk yang dapat menutupi fitrah manusia, serta melatih
anak untuk terus melakukan perbuatan baik sehingga akan tercermin dalam
tindakannya yang senantiasa melakukan kebajikan (Drs. Dharma Kesuma
2011).
Pendidikan karakter dalam perspektif barat sebanarnya telah dirintis
oleh tiga filsafat Yunani, yaitu Socrates (Socrates t.thn.), kemudian dilanjutkan
oleh Plato (https://id.wikipedia.org/wiki/Plato t.thn.) dan Aristoteles. Sumbangsih
terpenting mereka dalam pemiliran barat adalah metode penyelidikannya yang
dikenal sebagai metode elenchos. (Nelson 1949) Metode ini sering dipakai
untuk menguji konsep moral. Oleh karena itu, Socrates dan dua orang filsuf
lainnya dikenal sebagai bapak sumber etika dan atau penggagas filsafat moral.
Plato mendirikan sekolah Akademi, yaitu lembaga pendidikan tinggi pertama di
dunia barat dan Aristoteles sebagai muridnya. Namun dalam perjalanannya,
pendidikan karakter atau moral sempat tenggelam dari dunia pendidikan ,
terutama sekolah.

7
Baru kemudian pada abad 18 dan 19 pendidikan karakter dimunculkan
kembali dan bahkan menjadi tujuan utama pendidikan. Dicetuskan oleh
pedagog Jerman FW Foester (1869-1966) (Friefrich_Wilhelm_Foerster t.thn.)
dengan mengemukakan konsep pendidikan karakter yang menekankan pada
dimensi etis-spiritual dalam proses pembentukan pribadi, sebagai reaksi atas
kejumudah pedagogis natural rousseautin dan pedagogis Devweyan.
Menurutnya, tujuan pendidikan adalah untuk pembentukan karakter yang
terwujud dalam kesatuan esensial subjek dengan perilaku dan sikap hidup yang
dimiliki.
Berangkat dari akar sejarah lahirnya gagasan atau konsep pendidikan
karakter itu, lahir pula definisi atau pengertian pendidikan karakter dari tokoh-
tokohnya, antara lain;
David Elkind dan Sweet mengatakan ; (Freddy 2004) “Character
education is the deliberate effort to help people understand, care about, and act
upon core ethical values, when we think about the kindof character we whan for
our children, it is clear that we whan them be to able to judge what is right, and
than do what they believe to be right, even in the face of pressure from without
and temptation from within.” Pendidikan karakter adalah upaya sengaja
untukmembantu manusia memahami, peduli dan menghargai nilai-nilai
etis/susila, dimana orang yang berpikir tentang macam-macam karakter yang
diinginkan untuk anak. Ini jelas dengan harapan mereka mampu untuk menilai
apa itu kebenaran, sangat peduli tentang apa itu kebenaran dan hak-hak, dan
kemudian melakukan apa yang mereka percaya menjadi yang sebenarnya,
bahkan dalam menghadapi tekanan dari dan tanpa dalam godaan.
Mary Scott Morris mengemukakan konsep baru yang dikenal dengan
desain pendidikan karakter bebas nilai. Menurutnya karakter harus berbasis
kreativitas, karena kreativitas akan membawa kemajuan dan kemajuan
membawa peradaban. Menurutnya ada empat kondisi yang dapat mendorong
kreativitas manusia;
a. Sikap menerima perbedaan orang lain,
b. Sikap menahan diri untuk tidak mengkritik orang lain,
c. Empati terhadap perspektif orang lain,

8
d. Lingkungan yang permisif.
Permisif dalam arti bukan mengumbar hawa nafsu, tetapi memberikan
kebebasan bagi individu untuk menanggung konsekuensi perbuatannya.
Menguatkan pendapat yang diungkapkan oleh Marris, Albertus mendefinisikan
pendidikan karakter sebagai diberikannya tempat bagi kebebasan individu
dalam menghayati nilai-nilai yang dianggap baik, luhur, dan layak
diperjuangkan sebagai pedoman bertingkah laku bagi kehidupan pribadi
berhadapan dengan dirinya, sesama manusia dan Tuhan.
Menurut Yahya Khan pendidikan karakter adalah proses kegiatan yang
dilakukan dengan segala daya dan upaya secara sadar dan direncana untuk
mengarahkan anak didik. Pendidikan karakter juga merupakan proses kegiatan
yang mengarah pada peningkatan kualitas pendidikan dan pengembangan budi
pekerti yang selalu mengajarkan, membimbing, dan membina setiap manusia
untuk memiliki kompetensi intelektual, karakter, dan keterampilan menarik.
Nilai-nilai pendidikan karakter yang dapat dihayati dalam penelitian ini adalah
religious, nasionalis, cerdas, tanggung jawab, disiplin, mandiri, juur, dan arif,
hormat dan santun, dermawan, suka menolong, gotong-royong, percaya diri,
kerja keras, tangguh, kreatif, kepemimpinan, demokratis, rendah hati, toleransi,
solidaritas dan peduli (Khan 2010).
Ada Sembilan pilar karakter yang berasal dari nilai-nilai luhur universal,
yaitu:
a. Karakter cinta Tuhan dan segenap ciptaan-Nya,
b. Kemandirian dan bertanggung jawab,
c. Kejujuran, amanah, diplomatis,
d. Hormat dan santun,
e. Dermawan, suka tolong menolong dan gotong royong atau kerjasama,
f. Percaya diri dan pekerja kerja,
g. Kepemimpinan dan keadilan,
h. Baik dan rendah hati,
i. Karakter toleransi, kedamaian, dan kesatuan. (Lickona, Educating For
Character t.thn.)

9
Kesembilan karakter itu, perlu ditanamkan dalam pendidikan holistic
dengan menggunakan metode knowing the good, dan acting the good. Hal
tersebut diperlukan agar anak mampu memahami, merasakan, atau mencintai
dan sekaligus melaksanakan nilai-nilai kebijakan. Dengan demikian bisa
dimengerti jika ternyata seseorang dianggap mengetahui dan memiliki
kemampuan secara kognitif, ternyata tidak mampu menjadi orang baik. Hal itu
disebabkan tidak terlatihnya atau tidak terjadinya pembinaan untuk melakukan
kebijakan dalam hidupnya.
Secara ringkas, karakter menurut Ki Hadjar Dewantara adalah sebagai
sifatnya jiwa manusia, mulai dari angan-angan hingga terjelma sebagai tenaga.
Dengan adanya budi pekerti, lanjut Ki Hadjar Dewantara, manusia akan
menjadi pribadi yang merdeka sekaligus berkepribadian, dan dapat
mengendalikan diri sendiri (mandiri, zelfbeheersching).
Setiap orang menurut Ki Hadjar Dewantara, memiliki karakter yang
berbeda-beda; sebagaimana mereka memiliki roman muka yang berbeda-beda
pula. Pendek kata, antara manusia satu dengan yang lain tidak ada kesamaan
karakter, sebagaimana perbedaan guratan tangan atau sidik jarinya mereka.
Karena sifatnya yang konsisten, tetap atau ajeg, maka karakter itu kemudian
menjadi penanda seseorang. Misalnya apakah orang tersebut berkarakter baik,
atau berkarakter buruk.
Pendidikan yang baik itu, menurut Ki Hadjar Dewantara, meskipun
mampu mengalahkan dasar-dasar jiwa manusis yang jahat, menutupi, atau
bahkan mengurangi tabiat-tabiat yang jahat tersebut. Pendidikan dikatakan
optimal, jika tabiat luhur lebih menonjol dalam diri peserta didik ketimbang
tabiat-tabiat jahat. Manusia berkarakter inilah yang menurut Ki Hadjar
Dewantara sebagai sosok beradab; sosok yang menjadi ancaman sejati
pendidikan. Oleh karna itu, menurut Ki Hadjar Dewantara, keberhasilan
pendidikan yang sejati adalah menghasilkan manusia beradab; bukan mereka
yang cerdas secara kognitif dan psikomotorik tapi miskin karakter atau budi
pekerti luhur.
Menurut Ramli, pendidikan karakter memiliki esensi dan makna yang
sama dengan pendidikan moral dan pendidikan akhlak. Tujuannya adalah

10
membentuk pribadi anak, supaya menjadi manusia yang baik, warga
masyarakat yang baik, dan warga Negara yang baik bagi masyarakat atau
bangsa, secara utuh adalah nilai-nilai social tertentu yang banyak dipengaruhi
oleh budaya masyarakat dan bangsanya. (T.Ramli 2003) oleh karena itu
hakikat pendidikan karakter dalam konsep pendidikan Indonesia adalah
pendidikan nilai, yakni pendidikan nilai-nilai luhur yang bersumber dari budaya
bangsa Indonesia sendiri, dalam rangka membina kepribadian generasi muda
(Gunawan 2012).
Dalam Pusat Kurikulum Pendidikan Nasional pendidikan karakter
dimaknai sebagai upaya yang terencana untuk menjadikan peserta didik
mengenal,peduli, dan menginternalisasikan nilai-nilai sehingga peserta didik
menjadi insan kamil. Lebih lanjut dikatakan pendidikan karakter diartikan
sebagai suatu system penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah
yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan dan tindakan
untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa,
diri sendiri, sesame, lingkungan maupun kebangsaan sehingga menjadi
manusia yang sempurna. (K. P. Nasional, Pendidikan Karakter 2010)
Penanaman nilai dalam sebuah lembaga pendidikan akan berlaku
efektif jika dilakukan tidak hanya oleh siswa, tetapi juga oleh para guru, kepala
sekolah dan juga tenaga non-pendidik ikut terlibat dalam internalisasi nilai-nilai
karakter. Pendidikan karakter adalah proses penanaman karakter tertentu
sekaligus memberi benih agar peserta didik mampu menumbuhkan karakter
khasnya pada saat menjalankan kehidupan. Dengan kata lain, peserta didilk
tidak hanya memahami pendidikan sebagai bentuk pengetahuan, namun juga
menjadikan sebagai bagian dari hidup dan secara sadar hidup berdasarkan
pada nilai tersebut.
Dari berbagai pengertian di atas, di sini dapat penulis simpulkan bahwa
pendidikan karakter adalah usaha-usaha yang dilakukan secara sadar, baik
oleh individu, kelompok tertentu dan atau sekolah dalam ranggka
menginternalisasikan nilai-nilai luhur, baik bersumber dari agama, dari nilai
social dan budaya bangsa, serta etika dan moral, agar mengetahui kebaikan
(knowing the good) , mencintai kebaikan ( desiring the good), dan melakukan

11
kebaikan (doing the good) yang selanjutnya menjadi sikap, pandangan dan
kepribadiannya.

3. Tujuan Pendidikan Karakter


Direalisasikannya penyelenggaraan pendidikan karakter bertujuan
untuk meningkatkan mutu peyelenggaraan dan hasil pendidikan di sekolah
yang mengarah pada pencapaian terbentuknya karakter atau akhlak mulia
peserta didik secara utuh, terpadu, dan seimabang, sesuai standar kompetensi
lulusan. Melalui pendidikan karakter diharapkan peserta didik mampu secara
mandiri meningkatkan dan menggunakan pengetahuannya, mengkaji dan
menginternalisasi serta mempersonalisasi nilai-nilai karakter dan akhlak mulia
sehingga terwujud dalam perilaku sehari-hari. Di samping itu pendidikan
karakter bertujuan untuk membentuk bangsa yang tangguh, kompetitif,
berakhlak mulia, bermoral, bertoleransi, bergotong-royong, berjiwa pratriotik,
berkembang dinamis, berorientasi ilmu pengetahuan dan teknologi yang
semuanya dijiwai oleh iman dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa
berdasarkan Pancasila.
Dalam pedoman penyelenggaraan pendidikan karakter Kementrian
Pendidikan Nasional menyebutkan bahwa pendidikan karakter dilakukan dalam
rangka mencapai tujuan pendidikan nasional yaitu untuk berkembangnya
potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif,
mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
(Suyanto 2010).
Stave Johnson berpendapat bahwa tujuan pendidikan karakter adalah
untuk menemukan cara dalam membantu siswa mengembangkan kebiasaan
dan nilai-nilainya sendiri. Pendapat ini mendapat sambutan Komisi Kebijakan
Pendidikan (education Policies Commission) Amerika yang menegaskan bahwa
pendidikan karakter tidak ditujukan untuk sekedar mewujudkan kepatuhan
terhadap nilai-nilai yang dipaksakan oleh pihak otoritas hokum, melaikan untuk
membentuk individu yang dapat membuat pilihan berdasarkan pemikiran yang
matang. Pemikiran ini sejalan dengan apa yang disebut Ericson sebagai
masyarakat demokrasi.

12
Dengan pendidikan karakter, kecerdasan seorang anak tidak hanya
bertumpu pada otaknya, tetapi juga pada kecardasan emosinya. Kecerdasan
emosi adalah bekal terpenting dalam mempersiapkan anak menyongsong
masa depan. Karena dengan kecerdasan emosi, seseorang akan mampu dan
berhasil dalam menghadapi segala macam tantangan, termasuk tantangan
untuk berhasil secara akademis. Hal itu sesuai dengan rumusan tujuan
pendidikan nasional yang terdapat pada Undang-Undang Sisdiknas Nomor 20
tahun 2003 bab 2 pasal 3; “Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan
kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat
dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi anak didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Berakhlak mulia, sehat, berilmu,
cakap, kreatif. Mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta
bertanggung jawab (Kesuma 2011).
Core dari pendidikan karakter adalah meningkatkan mutu
penyelenggaraan dan hasil pendidikan yang mengarah pada pencapaian
pembentukan karakter dan akhlak mulia peserta didik secara utun, terpadu ,
dan seimbang. (Muslih 2011) Memperhatikan beberapa pandangan mengenai
tujuan pendidikan karakter, penulis berkesimpulan bahwa tujuan pendidikan
karakter adalah upaya-upaya mengembangan potensi peserta didik secara
keseluruhan, agar dapat menjadi individu yang siap menghadapi masa depan
dan mampu survive mengatasi tantangan zaman yang dinamis dengan
perilaku-perilaku yang terpuji. Untuk mewujudkan tujuan tersebut, peran
keluarga, sekolah dan komunitas sangat menentukan pembangunan karakter
anak-anak untuk kehidupan yang kebih baik di masa mendatang. (Asmani
t.thn.)
Hanya dengan cara menciptakan lingkungan yang kondusif, anak-anak
akan tumbuh menjadi pribadi yang berkarakter sehingga fitrah setiap anak
dilahirkan suci dapat berkembang secara optimal (Miftah 2011). karenanya
pendidikan karakter diperlukan guna membangun karakter peserta didik secara
personal dan masyarakat secara umum. Salah satu cara yang sangat baik
adalah dengan menciptakan lingkungan yang kondusif. Untuk itu peran

13
keluarga, sekolah dan komunitas amat sangat menentukan pembangunan
karakter anak-anak untuk kehidupan yang lebih baik di masa mendatang.
Pendidikan karakter di perguruan tinggi perlu melibatkan berbagai
komponen terkait yang didukung oleh proses pendidikan itu sendiri, yaitu isi
kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian, kualitas hubungan warga
kampus, pengelolaan perkuliahan, pengelolaan berbagai kegiatan mahasiswa,
pemberdayaan sarana dan prasarana, serta etos kerja seluruh warga kampus.
Pendidikan karakter di perguruan tinggi juga sangat terkait dengan manajemen
atau pengelolaan perguruan tinggi. Pengelolaan yang dimaksud adalah
bagaimana pendidikan karakter direncanakan, dilaksanakan dan dikendalikan
dalam kegiatan-kegiatan pendidikan di perguruan tinggi secara memadai.
Pengelolaan tersebut antara lain meliputi, nilai-nilai yang perlu ditanamkan,
muatan kurikulum, pembelajaran, penilaian, pendidik, dan tenaga pendidikan,
dan komponen terkait lainnya. Dengan demikian, manajemen perguruan tinggi
merupakan salah satu yang efektif dalam pendidikan karakter di perguruan
tinggi .
B. ADAB
1. Pengertian Adab
Menurut al-Attas, secara etimologi (bahasa); adab berasal dari
bahasa Arab yaitu addaba-yu’addibu-ta’dib yang telah diterjemahkan oleh al-
Attas sebagai ‘mendidik’ atau ‘pendidikan’. Dalam kamus Al-Munjid dan Al
Kautsar, adab dikaitkan dengan akhlak yang memilki arti budi pekerti,
perangai, tingkah laku atau tabiat sesuai dengan nilai-nilai agama Islam.
Sedangkan, dalam bahasa Yunani adab disamakan dengan kata ethicos atau
ethos, yang artinya kebiasaan, perasaan batin, kecenderungan hati untuk
melakukan perbuatan. Ethicos kemudian berubah menjadi etika.
Menurut al-Attas, akar kata adab tersebut berdasarkan dalam sebuah
hadis Rasulullah saw yang secara jelas mengunakan istilah adab untuk
menerangkan tentang didikan Allah SWT yang merupakan sebaik-baik didikan
yang telah diterima oleh Rasulullah saw. Hadis tersebut adalah: “Addabani
Rabbi pa Ahsana Ta’dibi” : Aku telah dididik oleh Tuhanku maka pendidikanku
itu adalah yang terbaik. Adapun secara istilah (terminology), al-Attas

14
mendefinisi adab sebagai suatu: “Pengenalan dan pengakuan yang secara
berangsur-angsur ditanam kedalam manusia tentang tempat-tempat yang
tepat dari segala sesuatu didalam tatanan penciptaan sedemikian rupa,
sehingga hal ini membimbing kearah pengenalan dan pengakuan tempat
Tuhan yang tepat di dalam tatanan wujud dan keperiadaan”.

Bila dibandingkan dengan pandangan para sarjana dan cendikiawan


muslim. Seperti:
1. Al-Jurjani, mendefinisikan adab adalah proses memperoleh ilmu
pengetahuan (ma’rifah) yang dipelajari untuk mencegah pelajar dari
bentuk kesalahan.
2. Ibrahim Anis mengatakan adab ialah ilmu yang objeknya membahas
nilai-nilai yang berkaitan dengan perbuatan manusia.
3. Ahmad Amin mengatakan bahwa adab ialah kebiasaan baik dan buruk.
4. Soegarda Poerbakawatja mengatakan adab ialah budi pekerti, watak,
kesusilaan, yaitu kelakukan baik yang merupakan akibat dari sikap jiwa
yang benar terhadap khaliknya dan terhadap sesama manusia.
5. Hamzah Ya’qub mengemukakan pengertian adab sebagai berikut:
a. Adab ialah ilmu yang menentukan batas antara baik dan buruk, antara
terpuji dan tercela, tentang perkataan atau perbuatan manusia lahir
dan batin.
b. Adab ialah ilmu pengetahuan yang memberikan pengertian tentang
baik dan buruk, ilmu yang mengajarkan pergaulan manusia dan
menyatakan tujuan mereka yang terakhir dari seluruh usaha dan
pekerjaan mereka.
6. Ibnu Miskawaih (w.1030 M) mendefinisikan adab sebagai suatu
keadaan yang melekat pada jiwa manusia, yang berbuat dengan
mudah, tanpa melalui proses pemikiran atau pertimbangan (kebiasaan
sehari-hari).
Menurut pandangan penulis, pandangan al-Attas tentang konsep adab
adalah sebuah pandangan yang baru, namun dapat diterima secara logika
serta dapat dikatakan memiliki relevansi terhadap kondisi proses pendidikan
hari ini. Alasannya, pandangan al-Attas tersebut terkonsep, sistematis, lebih

15
utuh, lebih luas dan lebih mendalam. Sejauh pemahaman penulis, selama ini
pengertian adab hanya difahami secara sempit dan umum. Sehingga
membawa konsep adab dalam pengertian yang biasa-biasa saja, akhirnya
menyamakan adab dengan akhlak dan etika dan moral. Padahal, adab adalah
seperti sebuah bangunan yang kokoh dan menghimpuni berbagai perangkat-
perangkat atau asesoris-asesoris yang mendukungnya, seperti:
a. Penyempurnaan manusia secara berperingkat (al-Tarbiyyah).

b. Pengajaran dan pembelajaran (al-ta’līm wa’l ta’allum).

c. Disiplin diri (riyadah al-nafs), yang merangkumi jasad, ruh dan akal.

d. Proses pensucian dan pemurnian akhlak (tahdhīb al-akhlāq).

Sehingga dapat dikatakan bahwa adab adalah inti dari ajaran Islam
dan tujuan dari diutusnya Nabi Muhammad saw. Telah diketahui bahwa Nabi
Muhammad diutus muka bumi ini adalah untuk mendidik manusia supaya
menjadi manusia yang mulia “Innamā bu’ithtu li-utammima makārim al-
akhlāq”. Sehingga, disampaikan dalam sebuah hadis Rasulullah saw
bahwa “muslim yang sempurna keimanannya adalah unggul akhlaknya
(menurut al-Attas akhlak adalah bahagian dari adab)” (akma lu’l- mu’minin
imanan ahsanuhum khulqan). Maka tidak heran, jika al-Attas menyampaikan
dan menjelaskan konsep adab sebagai inti dari pendidikan Islam.

2. Pentingnya Adab Bagi Manusia


Kata al-Attas, adab adalah suatu konsep kunci yang pada hakikatnya
merupakan inti dalam proses pendidikan Islam. Adab adalah sebuah metode
dalam struktur konsepnya membimbing beberapa unsur-unsur dalam diri
manusia, seperti pengetahuan (‘ilm), amal (‘amal), pengajaran (ta’lim) dan
pengasuhan yang baik (tarbiyah).
Menurut al-Attas, terserapnya adab dalam diri akan melahirkan
manusia beradab. Seterusnya akan melahirkan kepemimpinan yang adil dalam
menempatkan segala sesuatu pada tempat yang benar, selanjutnya ia akan
senantiasa berusaha memperbaik setiap aspek dirinya, masyarakatnya,

16
negaranya ke tahap yang lebih baik sesuai dengan tuntunan dari Allah
SWT.Selanjutnya, yang menariknya, dikatakan oleh al-Attas bahwa terserapnya
adab dalam diri, bukan sekedar menghasilkan manusia sebagai warga negara
yang baik. Namun juga melahirkan manusia yang baik secara individu. manusia
yang baik yang dimaksud di sini adalah: “Manusia yang sadar insaf akan
tangungjawabnya kepada Allah SWT sebagai Tuhan yang senantiasa
disembah; yang memahami dan melaksanakan tangungjawabnya kepada diri
sendiri. Dan kepada masyarakat dengan adil dan yang senantiasa berusaha
memperbaik setiap aspek dirinya ke tahap yang lebih sempurna”.
Menurut penulis, keberadaan pembahasan adab sejalan dengan
agama Islam, ia menjadi salah satu inti dari ajaran Islam. Hal ini dikarenakan
dalam adab terdapat beberapa unsur penting yaitu: aqidah, ibadah, adab, dan
muamalah, Ini semua tidak bisa dipisah-pisahkan. Manakala salah satu dari
perkara tersebut di lupakan, maka akan terjadi ketimpangan dalam perkara
dunia dan akhiratnya. Hal ini sebagaimana digambarkan dalam al-Qur’an Al-
Furqon (25: 63): yang mahfumnya “Dan hamba-hamba Tuhan yang Maha
Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah
hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan
kata-kata (yang mengandung) keselamatan”.
Dan juga firman Allah Azza Wajalla: “Dan janganlah kamu
memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu
berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai
orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri. Dan sederhanalah kamu
dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara
ialah suara keledai (QS. Luqman [31] : 18-19)
Dan Allah SWT juga berfirman: “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu)
berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah
melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi
pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran” (QS. An-Nahl
[16] : 90).
Rasulullah saw bersabda: Dari Abu Dzar , ia berkata, Rasulullah
saw bersabda kepadaku: “Taqwalah kamu kepada Allah di mana saja

17
kamu berada, dan ikutilah kejelekan itu dengan kebaikan yang
menghapusnya, dan berakhlaqlah kepada manusia dengan akhlaq yang
baik.” (HR At-Tirmidzi nomor 1987, ia berkata hasan. Lihat hadis ini dalam
karya Imam Nawai, Arba’in).
Semua dalil diatas, menunjukkan pentingnya adab bagi manusia. Oleh
karena itu, hendaknya kita selalu memanifestasikan hal tersebut agar
kita mendapatkan kedudukan yang mulia dihadapan Allah dan RasulNya serta
manusia. Dari penjelasan dtersebut di atas, maka terlihat jelas betapa
pentingnya adab bagi manusia dalam Islam. Allah SWT telah menjelaskan
bahwa adab memiliki pengaruh yang besar untuk mendatangkan kecintaan dari
manusia, sebagaimana firman-Nya: Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah
kamu berlaku lemah lembut, terhadap mereka. Seandainya kamu bersikap
keras lagi berhati kasar tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu.
Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka dan
bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu (Ali 'Imran [3]: 159) Selain
itu pentingnya adab bagi manusia karena adab menuntun manusia kepada
tingkah laku yang baik dan menjauhkan diri dari tingkah laku buruk. Serta dapat
mengatur, mengarahkan manusia kepada fitrahnya yaitu menyembah dan taat
kepada pancaran sinar petunjuk Allah SWT, dengan adab yang benar niscaya
manusia dapat menyelamat dirinya dari pikiran-pikiran dan perbuatan-
perbuatan yang keliru lagi menyesatkan. Dari itu pula, pemahaman yang benar
terhadap adab ini pula, dapat mennghaluskan budipekerti seseorang. Sehingga
dapat dikatakan semakin tinggi ilmu seseorang maka semakin tinggi pulalah
budi pekertinya. Menurut hemat penulis, pemahaman yang benar terhadap
adab juga memiliki keterkaitan terhadap beberapa pengaruh, di mana pengaruh
tersebut juga berperan dalam membentuk kondisi adab dalam diri manusia

18
C. AKHLAK
1. Pengertian pendidikan akhlak

Pendidikan karakter diatikan dengan pendidikan akhlak. Kata akhlaq


berasal dari Bahasa Arab, yaitu jami’ dari “khuluqun” yang berarti budi pekerti,
perangai, tingkah laku atau tabiat, tata karma, sopan santun, adab, dan
tindakan. Kata akhlak juga berasal dari kata khalaqa atau khalqum artinya
kejadian, serta erat hubungannya dengan “Khalaq” yang artinya menciptakan,
tindakan atau perbuatan, sebagai mana terdapat kata al-khaliq yang artinyan
pencipta dan makhluq yang artinya diciptakan.
Secara linguistic, kata “akhlak” berasal dari Bahasa Arab, yaitu isma
mashdar (bentuk infinitive) dari kata al-akhlaqa, yukhliqu, ikhlaqan, sesuai
timbangan ( wazan) tsulasi majid af’ala, yuf’ilu if’alan yang berarti al-sajiyah
(perangai), ath-thabi’ah (kelakuan, tabiat, watak dasar), al-adat (kebiasaan,
kelaziman), al-maru’ah (peradaban yang baik), dan ad-din (agama). Kata
akhlaq juga isim masdar dari kata akhlaqa, yaitu ikhlak. Berkenaan dengan ini,
timbul pendapat bahwa secara linguistic, akhlak merupakan isim jamid ghair
mustaq , yaitu isim yang tidak memiliki akar kata. Dalam pengertian umum,
akhlak dapat dipadankan dengan etika dan nilai moral.
Ibnu Miskawaih (w 421 H/ 1030 M) yang dikenal sebagai pakar bidang
akhlak terkemuka mengatakan bahwa akhlak adalah sifat yang tertanam dalam
jiwa yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan tanpa memerlukan
pemikiran dan pertimbangan. Sementara itu, Imam Al-Ghazali (10-15-1111 M)
yang selanjutnya dikenal sebagai hujjatul Islam (pembela Islam), mengatakan
akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan macam-
macam perbuatan dengan gambling dan mudah, tanpa memerlukan pemikiran
da pertimbangan.
Semua definisi akhlak secara subtansial tampak saling melengkapi,
dengan lima ciri penting akhlak, yaitu sebagai berikut.
a. Akhlak adalah perbuatan yang telah tertanam kuat dalam jiwa seseorang
sehingga telah menjadi kepribadiannya.

19
b. Akhlak adalah perbuatan yang dilakukan dengan mudah dan tanpa
pemikiran. Ini tidak berarti bahwa saat melakukan perbuatan , orang
yang bersangkutan dalam keadaan tidak sadar , hilang ingatan, tidur
atau gila.
c. Akhlak adalah perbuatan yang timbul dari dalam diri orang yang
mengerjakannya, tanpa tekanan atau paksaan dari luar. Pebuatan
akhlak adalah perbuatan yang dilakukan atas dasar kemaun, pilihan ,
dan keputusan yang bersangkutan .
d. Akhlak adalah perbuatan yang dilakukan sengan sesungguhnya, bukan
main-main atau karena bersandiwara, perbuatan yang dilakukan ikhlas
semata-mata karena Allah, bukan karena ingin dipuji orang atau karena
ingin mendapat pujian.

Secara terminologis, pengertian akhlak adalah tindakan yang


berhubungan tiga unsur yang sangat penting berikut:
a. Kognitif sebagai pengetahuan dasar manusia melalui potensi
intelektualitasnya;
b. Afektif, yaitu pengembangan potensi akal manusia melalui upaya
menganalisis berbagai kejadian bagian kejadian sebagai bagian dari
pengembangan ilmu pengetahuan;
c. Psikomotorik, yaitu pelaksanaan pemahaman rasional ke dalam bentuk
perbuatan yang konkret.
Adapun pengertian pendidikan akhlak adalah sebagai berikut.
a. Bigot, Kohnstamm, dan Palland (1954): Pendidikan akhlak adalah bentuk
tindakan manusia yang merupakan gejala jiwa, tindakan yang
merupakan respons terhadap stimulus yang dihadapi manusia.
b. Darrett (1961) mengatakan bahwa ilmu akhlak adalah ilmu yang
mengkaji tingkah laku manusia, baik dan buruknya menurut ukuran
norma-norma yang disepakati, misalnya norma agama, norma social dan
budaya, serta norma hukum.
c. Ilmu akhlak adalah studi tentang perilaku manusia yang berhubungan
dengan lingkungan tempat tinggalnya, lingkungan tempat pergaulannya,

20
dan lingkugan tempat manusia mempertahankan hidupnya (Woodworth
dan Marquis, 1961 ).
d. Ilmu akhlak dapat diartikan sebagai ilmu tentang laku organisme
manusia, apabila dipahami dalam perspektif psikologi ( Zimbardo, 1971).
Tingkah laku organisme adalah bentuk-bentuk tindakan visual manusia,
yaitu yang tampak dari pebuatannya dalam bentuk berbagai kegiatan
visual, misalnya manusia menggunakan pancaindra untuk perbuatan
yang benar atau salah, menggunakan tanggan , kaki, tubuh, dan lainnya
dalam berbagai bentuk aktivitas kehidupan. Misalnya, cara berhubungan
dengan dan antarmanusia memerlukan budi pekerti yang baik, tetapi
ukuran baik dan buruk diatur menurut kebiasaan masing-masing atau
diatur oleh norma agama.
e. Ilmu akhlak adalah perspektif psikologi dapat diartikan sebagai ilmu yang
memperlajari tingkah laku dan proses mental (Hilgard, Atkinson, dan
Atkinson, 1975). Tingkah laku manusia berhubungan erat dengan proses
perkembangan mentalitasnya, sebagaimana tingkah laku anak di bawah
umur, anak remaja, dan orang dewasa yang merupakan proses mental
yang berbeda, sehingga “seharusnya” cara bertingkah lakunya pun
berbeda.
f. Apabila ilmu akhlak diartikan sebagai ilmu tentang tingkah laku manusia
yang meliputi penerapannya kepada manusia, sebagaimana Morgan,
King dan Robinso (1979), yang memahami tingkah laku manusia secara
psikologis, ilmu akhlak adalah ilmu yang berpaham pada behaviorisme,
karena berpandangan tentang basis akhlak adalah tingkah laku dan
hubungan antartingkah laku manusia dengan manusia dengan manusia
dan dengan lingkungannya.
g. Plato dan Aristoteles mengartikan perilaku manusia sebagai hakikat jiwa
serta prosesnya sampai akhir, dapat dipahami sebagai bagian dari ilmu
akhlak, karena hakikatnya jiwa dan proses aplikasi jiwa perbentukan
peruatan yang konkret, seperti adanya motivasi dan niat berbuat, yang
hanya dapat dilihat dan dinilai jika perbuatannya benar-benar telah
diwujudakan.

21
h. John Broadus Watson mengartikan ilmu akhlak sebagai potensi rasio
dan hati manusai dalam memilih perbuatan baik dan buruk kemudian
mengambil keputusan ke dalam bentuk perbuatan konkret. Jadi, ilmu
akhlak secara psikologis adalah ilmu tentang perbuatan konkret, yang
benar-benar dapat dilihat secara visual.
i. Wilhelm Wundt, tokoh psikologi eksperimental berpendapat bahwa
akhlak manusia adalah perilaku yang menggambarkan pemahaman
manusia terhadap selurus objek yang telah dicernanya atau yang
menurut perasaannya sesuai untuk diaplikasikan dalam bentuk tindakan.
j. Woodworth dan Marquis berpendapat bahwa ilmu akhlak adalah ilmu
yang mempelajari tingkah laku manusia sejak dalam kandungan sampai
menjelang kematiannya.
k. Knight and Knight berpendapat bahwa kajin ilmu akhlak berhubungan
dengan pengamalan manusia, yang merupakan gejala psikisnya, baik
yang dinyatakan normal ataupun abnormal, yang juga sering
dibandingkan dengan tingkah laku binatang.
l. Hilgerf dan Clifford T. Margon menyatakan dalam ilmu akhlak, bahwa
perilaku akan berhubungan dengan kondisi kejiwaan manusia dan
pandangannya tentang norma yang dianutnya.
m. Edwin G. Boring dan Herbert S. Langfeld memberikan arti penting bagi
ilmu akhlak dalam perspektif psikologi, karena hakikat dari tindakan
berada pada niat manusia ketika ia bertindak.
Beberapa kategori penting dari akhlak adalah sebagai berikut.
a. Akhlak merupakan system tingkah laku manusia yang komponennya
terdiri atas pengetahuan, keyakinan, pengalaman, dan kebiasaan.
b. Akhlak sebagai tingkah laku manusia merupakan objek yang sama
dengan psikologi. Manusia bergerak dengan perilaku yang dinamis dan
berubah-ubah. Manusia memiliki insting yang sama dengan binatang,
yang sifatnya alamiyah, misalnya rasa lapar, rasa haus, nafsu terhadap
lawan jenisnya, dan berusaha mempertahankan kehidupannya,
berlindung dari berbagai ancaman yang membahayakan dan berusaha
mengambil segala sesuatu yang bermanfaat dan menguntungkan bagi

22
kehidupannya. Semua tingkah laku manusia menjadi objek materiil
psikologi yang mengungkap tentang tingkah laku dan akhlak.
c. Akhlak yang dipandang sebagai ilmu, mempelajari tingkah laku manusia
sebagai gejala yang tampak dan dijadikan bahan kajian dalam melihat
keadaaan kejiwaan manusia yang berhubungan dengan psikologi.
Berkaitan dengan tingkah laku manusia, Kartini Kartono (1990:6)
membaginya menjadi beberapa tingkatan (niveau), yaitu: (a) niveau
anorganis, sebagai perilaku alamiyah menurut hukum alam, misalnya
seluruh manusia atau binatang yang lapar akan segara mencari makan;
(b) niveau vegetative, perilaku yang sama terdapat pada semua makhluk
hidup dan organisme karena adanya factor internal dan eksternal
sebagai elan vital atau daya hidup yang oleh Freud disebut dengan
istilah libido; (c) niveau animal, perilaku instingtif yang terdapat pada ciri
binatang, gerak kehidupan yang tidak direncanakan dan tanpa akal budi,
seperti tindakan spontanitas manusia; (d) niveau human, perilaku
instingtif dan disertai akal budi. Dalam perilaku manusia terdapat factor-
faktor yang mendukung dinamika perilakunya, yaitu pengetahuan,
pengalaman, pengamatan, dan pendalaman terhadap situasi
lingkunganya, juga diperkaya oleh kebudayaan dan akal sebagai alat
tafsir yang mengubah pola perilaku pada setiap individu manusia; (e)
niveau absolut atau niveau religious atau niveau transcendental, perilaku
perpaduan yang koheren antara jiwa dan rasa, akal dan pikiran manusia
berkaitan dengan bentuk-bentuk keyakinan terhadap Zat yang Esa.
Keyakinan tentang keberadaan Tuhan yang tidak dapat ditembus oleh
akal manusia, tetapi perilaku ini khusus untuk orang yang berakal.
d. Lingkungan, sebagai daya Tarik atau daya dorong munculnya perilaku,
yang kemudian menghubungkan ilmu akhlak dengan psikologis dan
sosiologi. Pengaruh lingkungan terhadap terbentuknya perilaku manusia
sangat kuat. Lingkungan disini sifatnya bervariasi, yaitu lingkungan
keluarga, social, sekolah, tempat kerja, pedesaan, perkotaan, daerah
transisi, dan suku terasing. Berkaitan dengan keadaan lingkungannya,
suhu udara, iklim dan sebagainya berpengaruh pada sikap-sikap

23
sosialisasi, interaksi, maupun kebudayaan setempat. Dalam perspektif
ilmu akhlak, lingkungan menjadi latar belakang yang cukup menentukan
terbentuknya perilaku dan sifat-sifat kejiwaan manusia.
e. Pespons manusia terhadap lingkungan di sekitarnya berakibat pada pola
kehidupan. Aktivitas manusia secara spikis yang dapat bersifat
instrumental dan radikal dari kesadaran ataupun ketidaksadaran
manusia.
f. Hakikat perilaku manusia, artinya bukan semata-mata realitas perilaku
yang tampak dan mudah diketahui secara kasat mata, melaikan latar
belakang dan substasi yang muncul dan terpolakannya perilaku, baik
sebagai karakteristik kejiwaan manusia maupun sebagai refleksi dari
bentuk-bentuk perilaku temporal manusia. Oleh karena itu, dalam ilmu
akhlak semua aktivitas atau perilaku manusia merupakan hakikat
kejiwaan yang terdalam dan dapat dipandang sebagai bukan wujud yang
sebenarnya, karena antara perilaku dengan jiwa tidak semata-mata
memiliki kesamaan sifat. Dengan keadaan demikian, secara psikologis,
manusia dapat terasing dari dirinya sendiri, serta perilaku manusia yang
didorong oleh keterpaksaan atau spontanitas yang berada di alam
bawah sadarnya.
g. Akhlak manusia berasal dari isi hatinya, tetapi yang berhak menilai isi
hati hanya diri manusia, sedangkan yang paling mengetahui isi hati
adalah Allah Subhanahu Wa Ta’alaa. Oleh Karena itu, pendidikan akhlak
membahas dua objek penting pada diri manusia, yaitu sebagai berikut.
1) Pengkajian tentang hati sebagai kekuatan jiwa manusia dalam
bertindak yang menjadi latar bekang diterima atau ditolaknya
perbuatan oleh Allah sholallahu alaihi wa salam. Misalnya tentang
munafik dan mukhlisin. Munafik artinya orang yang perbuatannya
tidak ikhlas karena berdusta kepada dirinya, oleh orang lain, mungkin
karena ada calon mertuanya atau calon istrinya. Isi hati ini dipelajari
oleh pendidikan akhlak yang sekarang disebut pendidikan karakter.
2) Pendalaman perilaku dan motivasi bertindak atas nama tertentu.
Dalam pendidikan karakter atau akhlak, setiap tindakan dimotivasi

24
oleh sesuatu yang terdapat di dalam jiwa manusia atau factor
eksternal. Adapun factor internal atau dirinya tidak dapat membentuk
tindakan jika tidak terdapat dukungan factor eksternal. Oleh karena
itu, seorang siswa berakhlak karena didorong oleh kemauan atau
niat dan kesempatan, serta dorongan kebutuhan, misalnya nasihat
orang tua, pekerjaan rumah dari guru, dan sebagainya.
3) Keyakinan yang kuat untuk melakukan tindakan dikarenakan oleh
dorongan keimanan pada sesuatu yang agamis, mistis, metafisik,
dan sebagainya.

D. PERBEDAAN KARAKTER DAN AKHLAK

Akhlak memiliki dimensi Ilahiyah, sedangkan moral atau nilai dapat


dimiliki dan diajarkan tanpa menyertakan Tuhan. Akhlak tidak dapat dibicarakan
tanpa mengaitkan dengan perintah dan larangan. Sedangkan karakter hanya
berbicara pada lingkup baik dan buruk menurut pendapat manusia. Sehingga
dari konsep ini muncul prinsip kebebasan yang membuka peluang pada
perbedaan pendapat dan relativitas nilai.
Istilah Berlin, nilai merupakan esensi dari peradaban itu sendiri.
Pendapat ini diperkuat oleh Leland Dewitt Baldwin, (Rahman t.thn.) yang
kemudian melahirkan teori relativitas nilai dalam pendidikan karakter.
Aristoteles, sebagai bapaknya peradaban Barat melegitimasi pendapat ini.
Sementara Lickona sebagai seorang yang mewakili pemikiran Barat meletakan
dasar pendidikan karakter pada nilai universal sebagai landasan moral yang
otoritatif dan absolut. Ia menggunakan dua standar penilaian untuk melihat
apakah suatu perbuatan dapat diterima sebagai suatu kebenaran. Kedua
standar tersebut adalah reversibility, yaitu; apakah kita ingin mendapatkan
perlakuan serupa dari orang lain. Dan universalibility, yaitu; apakah kita ingin
semua manusia berperilaku serupa dalam menghadapi situasi yang sama
(https://risetpendidikanmarfu’.com t.thn.).
Kedua standar itu perlu dikritisi. Reversibility misalnya tidak cocok untuk
ditetapkan di pengadilan. Contohnya seorang perampok yang selain merampok
ia memperkosa istri pemilik rumah. Kemudian di pengadilan dia meminta

25
keringanan hukuman dan bahkan pembebasan. Di sisi lain, pemilik rumah
menginginkan perampok itu dihukum seberat-beratnya bahkan hukuman mati.
Dalam posisi seperti ini permpok akan sangat sulit menempatkan dirinya dalam
posisi terpidana yang mengharapkan kemaafan dan kebebasan. Bagaimana
mencari titik temu kebenaran nilai universal berpedoman pada prinsip
reversibility dalam kasus ini? Demikian pula dengan prinsip reversibility.
Perilaku manakah yang kita inginkan atas semua manusia : memaafkan atau
menuntut hukuman? (Narwanti t.thn.) apakah memaafkan bukan nilai yang
baik secara universal?
Lickona beragumentasi bahwa sebuah nilai seperti menghormati orang
lain, kemerdekaan (liberty) dan tanggung jawab merupakan nilai-nilai yang
rasional dan absolut. Nilai-nilai ini dapat diterima semua manusia dari Negara
manapun dan agama apapun. (https://nimatulloh.blogspot.com t.thn.) Dalam hal
ini Lickona sudah tetap memberikan kesimpulan bahwa manusia memerlukan
standar nilai yang absolut. Sayangnya ia lupa bahwa seluruh manusia bisa saja
bersepakat atas konsep dasar sebuah nilai namun berselisih dalam detilnya.
Menghormati orang lain, misalnya, apakah termasuk menghormati pilihan
seseorang untuk keluar masuk agama? Islam menolak toleransi semacam ini.
Dalam Islam hukum murtad adalah haram dan merupakan perbuatan dosa
besar. Fakta ini menunjukan bahwa keabsolutan dan keuniversalan nilai yang
digagas Lickona, gagal dibuktikan.
Peradaban barat modern menganggap nilai diartikan sebagai produk
rasionalitas individu_ individu, namun ketika nilai berada dalam konteks social
dan budaya, maka nilai diartikan sebagai consensus bersama sekelompok
manusia. Sebagaimana pandangan Weber, salah seorang tokoh sosiologi
barat, yang menyatakan bahwa nilai itu ada secara objektif dalam subjektivitas
manusia dan murni menjadi milik dari pribadi-pribadi. (Hitlin, Handbook of The
Sociology of Morality 2010)
Dengan itu, konsepsi barat tentang nilai, moral, dan etika bersifat
relative dan sangat berbeda bahkan bertentangan antara satu dengan yang
lainnya. Konsep tentang apa yang disebut baik dan buruk merupakan kancah
pertarungan pemikiran yang tak pernah henti dari filosof-filosof Barat, sejak

26
zaman Yunani sampai hari ini. Dari pendidikan yang berorientasi kepada etika
Kristen sebagaimana pemikiran Thomas Aquinas, kemudian berubah menjadi
paham materialism yang dikembangkan Descartes. Sejak saat itu, ilmu
dianggap sebagai value free atau bebas nilai sehingga pendidikan di Barat
dikembangkan “tanpa nilai”. Moral, etika, agama, kemudian dijauhkan dari
kurikulum dengan harapan manusia dapat lebih cerdas dan kreatif dalam
menciptakan dan berinovasi di bidang sains dan teknologi.
Hal tersebut merupakan konsekuensi dari sekularisasi yang melanda
Eropa setelah hilangnya kepercayaan masyarakat Barat terhadap
kepemimpinan Gereja. Sekularisasi menyebabkan pengukuran baik-buruk,
benar-salah, semata-mata dilakukan melalui rasio dan pengalaman indra
manusia. Masyarakat Barat pada akhirnya menganggap nilai-nilai agama
merupakan fenomena subjektif yang dialami oleh masing-masing individu dan
tidak bersifat universal. Konsepsi nilai dalam peradaban Barat terus bervolusi
sesuai dengan tuntutan zaman akibat ketiadaan nilai absolut yang bersumber
dari wahyu yang mengatur kehidupan masyarakat dan menjadi rujukan
moralitas.
Konsep nilai berkembang sesuai dengan konsepsi masyarakat barat
terhadap hakikat manusia, agama dan ilmu serta kehidupan itu sendiri.
Perkembangan konsep nilai ini menunjukkan betapa Barat tidak pernah akan
berhenti merumuskan nilai-nilai yang dianggap baik bagi kehidupan
masyarakatnya. Sejarah memperlihatkan perubahan radikal konsep nilai di
Barat, dimulai dari penerimaan pada etika moral Gereja, sampai akhirnya
berujung kepada penghapusan unsur-unsur metafisika dalam etika moralnya.
Dahulu Gereja mengharamkan tindakan homoseksual karena tidak sesuai
dengan nilai etika agama tersebut, namun saat ini dunia menyaksikan seorang
homoseksual telah diangkat menjadi Uskup di Gereja Angllika, New Hamshire
pada tahun 2003 lalu. (Hitlin, Handbook of The Sociology of Morality 2010)
Hal tersebut tentunya berbeda dengan pendidikan karakter dalam Islam
yang menekankan pada konsep adab. Islam berbeda dengan Barat, Islam
memiliki teladan manusia yang berkarakter sempurna, yaitu Rasulullah
sholallahu alaihi wa salam. Konsep adab dalam Islam berkaitan dengan

27
keyakinan bahwa dalam melakukan tindakan, manusia mempunyai rujukan
yang utama yaitu wahyu Allah subhanahu wa ta’ala dan Sunnah Nabi-Nya.
Konsep pendidikan karakter yang bercorak sekuler-liberal tidak mungkin dapat
mencetak manusia-manusia beradab. Menurut Prof al-Attas, prinsip etika yang
se.jati dan universal hanya dapat dibangun oleh jiwa manusia yang bersifat
spiritual. Yaitu ketika jiwa mendapatkan ilmu yang benar dari Tuhannya.
Sehingga merupakan sesuatu yang memprihatinkan apabila umat Islam masih
percaya bahwa etika universal dapat dibangun menggunakan framework Barat
modern yang menganggap Tuhan dan jiwa tidak memiliki objektivitas dan nilai
ilmiah sebagai sumber ilmu.
Islam merupakan satu-satunya agama yang memberikan klaim sebagai
agama universal. Sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala: “Dan
Tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi
semesta alam.” ([21]:107 t.thn.)
Sayyid quthb menjelaskan ayat ini dengan, “Muhammad sholallahu
alaihi wa salam. Diutus sebagai rahmat bagi seluruh alam semesta, baik yang
beriman kepadanya maupun yang tidak beriman.” Kedatangan Islam melalui
Muhammad bertujuan untuk memberikan kesejahteraan kepada seluruh umat
manusia, tidak dibatasi hanya kepada meraka yang mengimani Islam.
Pejelasan ini diperkuat oleh hadits, “Aku tidak diutus sebagai kutukan, tetapi
aku dikirim sebagai pembawa rahmat.” (HR. Abu Ya’la t.thn.) Hadits ini beliau
sampaikan ketika para sahabat meminta Nabi Muhammad sholallahu alaihi wa
salam untuk mendoakan keburukan bagi kaum non muslim.
Melihat dua perspektif diatas (Barat dan Timur), penulis melihat ada
kontroversi yang sangat jelas diantara keduanya. Barat menyandarkan
pendidikan karakter pada nilai-nilai universalitas yang bisa berubah-ubah
sesuai kebutuhan zamannya. Nilai universalitas yang distandarkan pada baik
dan buruk menurut perspektif manusia, nilai yang pada masa dan kondisi
tertentu dapat diputuskan oleh penguasa sebuah Negara, nilai yang menurut
mereka absolut, permanen dan bisa diterima oleh semua manusia; lintas
agama, suku dan golongan. Barat sama sekali tidak menghubungkan nilai
moral dan etika dengan agama. James Arthur menyebutkan bahwa

28
pembentukan karakter memiliki tiga unsur, yaitu; 1) pendidikan fisik, 2)
pendidikan intelektual, dan 3) pendidikan moral. Menurutnya pendidikan moral
atau karakter tidak bisa dilepaskan dari nilai, dan nilai bersifat relative, cair dan
dapat berubah. Bahkan menurut kaum Marxis nilai-nilai dalam karakter dapat di
putuskan oleh penguasa.
Sebaliknya, kaum agamis berpendapat bahwa nilai-nilai dalam karakter
bersifat seragam dan tidak berubah. Mereka sepandapat bahwa nilai-nilai
norma dalam karakter bersumber dari wahyu atau dari Tuhan. Islam pun dalam
persoalan relativitas nilai-nilai,moral dan etika dalam karakter manusia tidak
melepaskannya dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Islam dalam persoalan nilai,
moral dan etika, merontokan konsep Barat dengan menyuguhkan universalitas
nilai. Klaim ini diakui oleh Tim Wallace-Murphy dalam bukunya; ’What Islam Did
For Us-Understanding Islam’s Contribution to Western Civilization’, dimana ia
menyimpulkan bahwa dalam pemerintahan Islam, tiga agama besar dunia,
Yahudi, Kristen, dan Islam hidup berdampingan secara harmonis, penuh
toleransi, dalam atmosfir intelektualitas dan seni yang tinggi. Syech
Shafiyurrahman al-Mubarakfuri mengutip isi perjanjian antara Nabi Muhammad
sholallahu alaihi wa salam. Dengan warg Yahudi Madinah: (al-Mubarakfuri
2011)
“Orang Yahudi yang mengikuti kami maka dia berhak mendapatkan
pertolongan dan perlakuan yang sama, tidak terdzalimi dan tidak pula tertindas.
Sesungguhnya orang-orang Yahudi Bani Auf adalah satu kesatuan bersama
kaum muslimin, orang-orang Yahudi boleh menjalankan agama mereka dan
kaum muslimin juga menjalankan agama mereka.”
Isi piagam Madinah bila dicermati mengandung beberapa hal
substantive, yaitu ; (1) Kebebasan beragama, (2) Kebebasan mendapatkan
pekerjaan (ekonomi), (3) Perlindungan hukum dan pergaulan,(4) Persamaan
hak dan kewajiaban antar warga, (5) Keamanan Negara, (6) Penentuan batas
wilayah dan bahkan ibu kotanya, dan lain-lain.
Semua itu adalah bukti sejarah tentang universalitas nilai dalam Islam.
Nilai-nilai universal itu terbangun karena Nabi Muhammad sholallahu alaihi wa
salam. Menjalankan syariat, menjadi pemimpin, menjalin komunikasi dan

29
beribadah berdasarkan wahyu. Maka wahyulah yang menjadi sumber nilai,
sumber moral dan etika, yang kemudian Nabi Muhammad sholallahu alaihi wa
salam. Menyebutnya dengan akhlak.
Pendidikan akhlak adalah mengenai penjelasan akhlak secara luas,
banyak sekali tokoh yang memberikan pengertian secara bervariasi. Di
antaranya M. Abdullah Darraz, menurut beliau akhlak adalah sesuatu kekuatan
dalam kehendak yang mantap, kekuatan dan kehendak mana berkombinasi
membawa kecenderungan pada pemilihan pihak yang benar( akhlak yang baik)
atau pihak yang jahat ( akhlak yang jahat). (Prahara 2009)
Akhlak dipahami oleh banyak pakar dalam arti “kondisi kejiawan yang
menjadikan pemiliknya melakukan sesuatu secara mudah, tidak memaksakan
diri, bahkan melakukannya secara otomatis,”
Al-Ghazali dan Al-Zahnuji, menunjukan bahwa tujuan puncak
pendidikan akhlak adalah terbentuknya karakter positif dalam perilaku anak
didik. Karakter positif ini tiada lain adalah penjelmaan sifat-sifat mulia Tuhan
dalam kehidupan manusia. (https://siswantozheis.wordpress.com t.thn.)
Hadits Nabi yang berkaitkan dengan kosep pendidikan karakter adalah
hadits yang diriwayatkan oleh imam Bukhari-Muslim sebagai berikut: “usamah
bi Zaid ra. Berkata: Saya mendengar Rasulullah sholallahu alaihi wa salam.
Bersabda: Akan dihadapkan orang yang berilmu pada hari kiamat, lalu
keluarlah semua itu perutnya, lalu ia berpura-pura denganya, sebagaimana
himar yang berputar-putar mengelilingi tempat tambatanya. Lalu penghuni
neraka disuruh mengelilinginya seraya bertanya : Apakah yang menimpamu?
Dia menjawab : Saya pernah menyuruh orang pada kebaikan, tetapi saya
sendiri tidak mengerjakannya, dan saya mencegah orang dari kejaharan tetapi
saya sendiri yang mengerjakannya.” (Muttafaqun Alaih). (Muhammad 1997)
Dalam hadits diriwayatkan Bukhari dan Muslim di atas menguraikan
bahwa pembentukan karakter didasari keteladanan akan menai kebaikan bagi
dirinya sendiri dan orang lain. Rasulullah sholallahu alaihi wa salam. Telah
mengajarkan metodologi membentuk moralitas mulia, terkait dengan akhlak
manusia terhadap Allah, diri sendiri maupunkepada sesame makhluk. Belau
tidak hanya memerintahkan fungsi teori belaka, namun juga realitas konkrit suri

30
teladan umatnya. Semua akhlak yang diajarkan Rasulullah sholallahu alaihi wa
salam. Tak lain adalah moralitas yang bermuara pada Al-Qur’an . (LIM 2010)
dengan demikian, jelas bahwa Rasulullah sholallahu alaihi wa salam. Memiliki
tingkah laku yang mulia, beliau selalu bertindak sesuai dengan petunjuk yang
berada dalamAl-Qur’an. Berbanding lurus dengan hasil penelitian yang
dilakukan Machael H. Hart tentang 100 tokoh yang paling berpengaruh dalam
sejarah, dia menyatakan bahwa Nabi Muhammad sholallahu alaihi wa salam
menduduki posisi pertama. (ISNER:mediaisnet.org t.thn.)
Islam sendiri, yang menjadi dasar atau landasan pendidikan akhlak
manusia adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah. Segala sesuatu uang baik Al-Qur’an
dan As-Sunnah, itulah yang baik dijadikan pegangan dalamkehidupan sehari-
hari. Sebaliknya, segala sesuatu yang buruk menurut Al-Qur’an dan As-
Sunnah,berarti tidak baik dan harus dijauhi. Dalam kaitannya dengan
pendidikan akhlak, terlihat bahwa pendidikan karakter memiliki orientasi yang
sama dengan pendidikan akhlak yaitu pembentukan karakter . perbedaan
bahwa pendidikan akhlak terkesan Timur dan Islam sedangkan pendidikan
karakter terkesan Barat dan sekuler, bukan alasan yang dipertentangkan. Pada
kenyataannya keduanya memiliki ruang untuk saling mengisi. Bahkan Lickona
sebagai bapak Pendidikan Karakter di Amerika justru mengisyaratkan
keterkaitan erat antara karakter dengan spiritualitas.
Dengan demikian, bila sejauh ini pendidikan karakter telah berhasil
dirumuskan oleh para penggiat sampai pada tahapan yang sangat opersional
meliputi metode, strategi, dan teknik ideal dan sumber karakter baik, maka
memadukan keduanya menjadi suatu tawaran yang sangat inspiratif. Hal ini
menjadi entry point bahwa pendidikan karakter memiliki ikatan yang kuat dalam
nilai-nilai spiritualitas dan agama. (https://risetpendidikanmarfu’.com t.thn.)
Pendidikan karakter yang berbasis Al-Qur’an dan As-Sunnah,
gabungan antara keduannya yaitu menanamkan karate tertentu sekaligus
memberi benih agar peserta didik mampu menumbuhkan karakter khasnya
pada saat menjalani kehidupannya. Hanya menjalani sejumlah gagasan atau
model karakter saja tidak akan membut peserta didik menjadi manusia kreatif
yang tahu bagaimana menghadapi perubahan zaman, sebaliknya membiarkan

31
sedari awal agar peserta didik mengembangkan nilai pada dirinya tidak akan
berhasil mengingat peserta didik tidak sedari awal menyadari kabaikan dirinya.
(https://nimatulloh.blogspot.com t.thn.)
Melalui gabungan dua paradigm ini, pendidikan karakter akan bisa
terlihat dan berhasil bila kemudian seorang peserta didik tidak akan hanya
memahami pendidikan nilai sebagai sebuah pengetahuan, namun juga
menjadikan sebagai bagian dari hidup dan secara sadar hidup berdasarkan
pada nilai tersebut.

E. URGENSI DAN FUNGSI PENDIDIKAN KARAKTER

Pendidikan karakter saat ini menjadi wacana yang hangat di dunia


pendidikan Indonesia. Munculnya gagasan pendidikan karakter tersebut bisa
dimaklumi sebab dewasa ini telah terjadi fenomena social yang menunjukan
perilaku tidak berkarakter pada masyarakat Indonesia.
Perilaku yang tidak berkarakter itu misalnya sering terjadinya tawuran
antar pelajar dan antar mahasiswa, serta perilaku suka minum minuman keras
dan berjudi. Bahkan, dibeberapa kota besar biasanya ini cenderung menjadi
“tradisi” dan membentuk pola yang tetap. Juga maraknya geng motor yang
sering kali menjurus pada tindak kekerasan yang meresahkan masyarakat
bahkan tindak criminal seperti pemalakan, penganiayaan, bahkan
pembunuhan. Fenomena lain yang mencoreng citra pelajar dan lembaga
pendidikan juga adanya pergaulan bebas (free sex) yang dilakukan oleh pelajar
dan mahasiswa. Sebagai dilansir pleh Sexual Behavior Survey yang telah
melakukan survei di 5 kota besar di Indonesia, yaitu Jabodetabek, Bandung,
Yogyakarta, Surabaya, dan Bali. Dari 663 responden yan g diwawancarai
secara langsung mengakui bahwa 39% responden remaja usia antara 15-19
tahun pernah berhubungan seksual, sisanya 61% berusia antara 20-25 tahun.
Lebih memperhatinkan berdasarkan profesi, peringkat teringgi yang pernah
melakukan free sex ditempati oleh para mahasiswa 31%, karyawan kantor
18%, sisanya ada pengusaha, pedagang , buruh, dan sebagainya, termasuk
6% siswa SMP dan SMA. (Mahmud 2012)

32
Di sisi lain, fenomena sosial yang memprihatinkan akhir-akhir ini muncul
dalam bentuk banykanya sosok individu manusia Indonesia yang pandai tapi
tidak memiliki kepribadian (karakter). Banyak hakim tapi justru terjerat kasus
hukum. Banyak politisi terjerat kasus korupsi. Banyak guru justru perilakunya
tidak patut digugu dan dituru. Bahkan, dewasa ini banyak tokoh yang bekerja di
lembaga yang bergerak dalam bidang moral dan agama, tetapi perilakunya
tidak sejalan dengan visi dan misi lembaga yang ditempatinya.
Semua fenomena diatas menegaskan bahwa telah terjadi
keridakpastian jati diri dan karakter bangsa yang bermuara pada:
1. Disorientasi dan belum dihayatinya nilai-nilai Pancasila sebagai filosofi
dan ideology bangsa,
2. Terbatasnya perangkat kebijakan terpadu dalam mewujudkan nilai-nilai
Pancasila,
3. Bergesernya nilai etika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara,
4. Memudarnya kesadaran terhadap nilai-nilai budaya dan bangsa, dan
5. Terjadinya ancaman disintegrasi bangsa dan melemahnya kemandirian
bangsa.

Memerhatikan situasi dan kondisi bangsa yang memperhatinkan


tersebut, pemerintah mengambil inisiatif untuk memperioritaskan pembangunan
karakter bangsa sebagai arus utama pembangunan nasional. Hal itu tercermin
dari misi pembangunan nasional yang memosisikan visi pembangunan
nasional, sebagaimana tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka
Panjang Nasional Tahun 2005-2025, yaitu mewujudkan masyarakat yang
berakhlak mulia, bermoral, beretika , dan berbudaya berdasarkan falsafah
Pancasila. (Rakyat t.thn.)
Berkaitan dengan hal itu, pendidikan karakter dianggap sebagai solusi
penting untuk menyelesaikan berbagai fenomena kerapuhan moral yang
terjadi. Pendidikan karakter memiliki urgensi yang sangat luas dan bersifat
multidimensional. Sangat luas karena terkait dengan pengembangan
multiaspek potensi-potensi keunggulan bangsa dan bersifat multi dimensionl

33
karena mencakup dimensi-dimensi kebangsaan yang hingga saat ini sedang
dalam proses “menjadi”. Dalam hal ini dapat juga disebutkan bahwa :
1. Pendidikan karakter merupakan yang sangat esensial dalam rangka
menumbuhkan, menjaga dan merawat karakter bangsa, sebab hilangnya
karakter akan menyebabkan hilangnya generasi bangsa;
2. Pendidikan karakter berperan sebagai “kemudi” dan kekuatan sehingga
banggsa ini tidak terombang-ambing.

Secara umum, pendidikan karekter diharapkan mampu menjadi


benteng terkuat melawan kehancuran, baik bagi individu maupun bagi bangsa,
sebagaimana dikatakan Lockona, bahwa ada sepuluh tanda kehancuran
sebuah bangsa:
1. Meningkatnya kekerasan di kalangan remaja
2. Penggunaan Bahasa dan kata-kata yang kasar
3. Pengaruh peer group yang kuat dalam tindak kekerasan
4. Meningkatnya perilaku yang merusak diri sendiri, seperti penggunaan
narkoba, alkohol , dan seks bebas;
5. Semakin kaburnya pedoman moral baik dan buruk;
6. Menurunnya etos kerja;
7. Semakin rendahnya rasa hormat pada orang tua dan guru;
8. Rendahnya rasa tanggung jawab individu dan warga Negara;
9. Membudayanya ketidak jujuran
Adanya rasa curiga dan kebencian diantara sesama (Megawati t.thn.)

Sementara secara khusus, pendidikan karakter diyakini sebagai aspek


penting dalam peningkatan Sumber Daya Manusia (SDM), karena turut
menentukan kemajuan suatu bangsa. Oleh karena itu, pendidikan karakter
diharapkan mampu meningkatkan mutu penyelenggaraan dan hasil pendidikan
di sekolah yang mengarah pada pencapaian pembentukan karakter dan akhlak
peserta didik secara utuh, terpadu , dan seimbang sesuai dengan standar
kompetensi lulusan. Melalui pendidikan karakter dihapakan peserta didik
mampu secara mandiri meningkatkan dan menggunakan pengetahuannya,

34
mengkaji dan menginternalisasi serta mempersonalisasi nilai-nilai karakter dan
akhlak mulia sehingga terwujud dalam perilaku sehari-hari. (Fitriasari t.thn.)
Adapun fungsi pendidikan karakter dapat dilihat dari tiga sudut
pandang, antara lain:
1. fungsi pembentukan dan pengembangan potensi, yaitu pendidikan
karate berfungsi membentuk dan mengembangkan potensi manusia dan
warga Negara Indonesia agar berpikiran baik, berhati baik, dan
berperilaku baik;
2. fungsi pebaikan dan pengaturan, yaitu pendidikan karakter berfungsi
memperbaiki dan memperkuat peran keluarga, satuan pendidikan ,
masyarakat dan pemerintah untuk ikut berpartisipasi dan bertanggung
jawab dalam pengembangan potensi warga Negara dan pembangunan
bangsa menuju bangga yang maju, mandiri, dan sejahtera, dan
3. fungsi penyaringan, yaitu pendidikan karakter berfungsi memilah budaya
bangsa sendiri dan menyaring budaya bangsa lain yang tidak sesuai
dengan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa yang bermartabat.
(Rakyat t.thn.)

F. MANFAAT PENDIDIKAN KARAKTER


Melihat fenomena yang terjadi saat ini, maka penulis merasa begitu
pentingnya pendidikan karakter Di antara manfaat pendidikan karakter adalah
sebagai berikut:
1. Meningkatkan amal ibadah yang lebih baik dan khusyuk serta lebih
ikhlas,
2. Meningkatkan ilmu pengetahuan untuk meluruskan perilaku dalam
kehidupan sebagai individu dan anggota masyarakat,
3. Meningkatkan kemampuan mengembangkan sumber daya diri agar lebih
mandiri dan berprestasi,
4. Meningkatkan kemampuan bersosialisasi, melakukan silaturahmi positif
dan membangun ukhuwah atau persaudaraan dengan sesama manusia
dan sesama muslim. Ukhuwah yang terus diwujudkan adalah:

35
a. ukhuwah bashariyah, yaitu persaudaraan antarmanusia yang
berprinsip pada persamaan derajat sebagai manusia atau al-
musawwah;
b. ukhuwah insaniyah, yaitu persaudaraan antar manusia yang beretika
dan saling memahami diri dari segala kelebihan ataupun
kekurangannya;
c. ukhuwah wathaniyah, persaudaraan antar bangsa atau Negara,
sebagai bagian dari diplomasi kehidupan bermasyarakat dan
bernegara untuk menjunjung tinggi nilai-nilai kebersamaan melalui
prinsip kemerdekaan, kesatupaduan insani, dan kesejajaran atau
kesetaraan.
5. Meningkatkan penghambaan jiwa kepada Allah yang menciptakan
manusia, alam jagat raya beserta isinya. Kesadaran terdalam diri
manusia adalah menyadari betapa diri manusia sangat lemah dan tidak
berdaya di hadapan Allah, kecuali Allah memberikan kekuatan dan
kemampuan kepada manusia untuk bertindak;
6. Meningkatkan kepandaian bersyukur dan berterimakasih kepada Allah
atas segala nikmat yang telah diberilan-Nya tanpa batas dan tanpa pilih
dulu;
7. Meningkatkan strategi beramal soleh yang dibangun oleh ilmu yang
rasional, yang akan membedakan antara orang-orang yang berilmu
dengan orang-orang yang taklid disebabkan oleh kebodohannya.

Allah subhanahu wa ta’ala. Berfirman dalam Al-Qur’an surat Az-Zumar


ayat 9 sebagai berikut:
“(Apakah kamu orang yang musyrik yang lebih beruntung) ataukah
orang yang beriman pada waktu malam dengan sujud dan berdiri, karena
takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya?
Katakanlah, ‘Apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-
orang yang tidak mengetahui?’ sebenarnya hanya orang yang berakal
sehat yang dapat menerima pelajaran.”

36
Demikian pula dalam surat Fatir atat 28 sebagai berikut: “… Di antara
hamba-hamba Allah yang takut kepada-Nya, hanya para ulama …”
Dalam surat Al-Mujadilah ayat 11 sebagai berikut:
“Wahai orang-orang beriman! Apakah dikatakan kepadamu, “Berilah
kelapangan didalam majelis-majelis’, maka lapangkanlah, niscaya Allah
akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: ‘Berdirilah
kamu’, maka berdirilah, Allah akan mengangkat (derajat) orang-orang
yang beriman diantaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa
derajat. Dia Allah Maha teliti apa yang kamu kerjakan .

REFERENSI :

Adian Husaini et al. Pendidikan berbasis adab, attaqwa press Depok, 2016

A, Doni Koesoema. Pendidikan Karakter: Strategi Mendidik Anak di Zaman


Modern. Jakarta: Grasindo, 2007.

Al-Bukhari. Al-Adab al-Mufrad.

al-Mubarakfuri, Syech Shafiyurrahman. ar-Rahim al-Makhtum. Jakarta: Ummul


Qura, 2011.

Andayani, Abdul Majid dan Dian. Pendidikan Karakter dalam Perspektif Islam.
Bandung: Insan Cita Utama, 2010.

Asmani. Buku Panduan Internalisasi karakter.

Bagus, Lorens. Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia, 1996.

Buchoru, Mochtar. Character Building dan Pendidikan Kita. Kompas.

D, Marimba. Pengantar Filsafat Pendidikan Islam. Bandung: Al-Ma’arif, 1989.

Dewantara, Ki Hajar. Pendidikan. Yogyakarta: Majelis Luhur Pesatuan Taman


Siswa

Drs. Dharma Kesuma, M.Pd., Cepi Triatna, S.PD, M.Pd., dan M.Pd., dan Dr.H
Johar Permana, MA. Pendidikan Karakter KajianTeori dan Praktik di
Sekolah. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2011.

Fitriasari, Susan. “Memanusiakan Manusia Melalui Pendidikan Karakter” dalam


Dasim Budimansyah dan Kokom Komalasari.

37
Freddy, David Elkind and. Quantum Teaching. Bandung: PT Mizan Pustaka,
2004.

Friefrich_Wilhelm_Foerster, https://en.wikipedia.org/wiki/.

Ghazali, Al.

Gunawan, Heri. Pendidikan Karakter Konsep dan Implementasi. Bandung:


Alfabeta, 2012.

Hitlin, Steven dan Stephen Vaisey. (ed), Handbook of The Sociology of


Morality, (New York: Spiringer,2010),

—. Handbook of The Sociology of Morality. New York: Spiringer, 2010.

—. Handbook of The Sociology of Morality. New York: Spiringer, 2010.

Hornby, AS. Oxford Edbenced Dictionary of Current English . Amerika: Oxford


University Press, 1987.

HR. Abu Ya’la, Musnad Abi Ya’la, No. 6174, Jilid 11, h. 35

Kesuma, Dharma. Pendidikan Karakter Kajian Teori dan Praktik di Sekolah .


Bandung: Remaja Rosdakarya, 2011.

Khan, Yahya. Pendidikan Karakter Berbasis Potensi Diri. Yogyakarta: Pelangi


Publishing, 2010.

Lickona, Thomas. Educating For Character.

—. Educating For Character: How Our School Can Teach Respect and
Responsibility. New York: Bantam Books, 1992.

LIM, FKI. Gerbang Pesantren, Pengantar memahami Ajaran Ahlussunnah wal


Jama’ah. Kediri: Bidang Penelitian dan Pengembangan LIM PP Lirboyo,
2010.

Mahmud. Pendidikan Karakter:Konsep dan Aplikasi . Bandung: Alvabeta, 2012.

Majid, Abdul. Pendidikan Karakter Perspektif Islam. Bandung: Remaja


Rosdakarya, 2011.

Megawati, Ratna. Pendidikan Karakter,

Miftah, Zainul. Implementasi Pendidikan Karakter Melalui Bimbingan dan


Konseling. Surabaya: Gena Pratama Pustaka, 2011.

Muhammad, Abubakar. Hadits Tarbawi III. Surabaya: Karya Abditama, 1997.

38
Musfiroh, Tadkirotun. Pembinaan Pendidikan Karakter di Sekolah Menengah
Pertama. Jakarta: Direktorat PSMP, 2008.

Muslih, Masnur. Pendidikan Karakter Menjawab Tantangan Krisis


Multidimensioanl. Jakarta: Bumi Aksara, 2011.

N, Sudirman. Ilmu Pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya, 1989.

Nasional, Departemen Pendidikan. Desain Induk Pembangunan Karakter


Bangsa 2010-2025. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional, 2010.

Nasional, Kementerian Pendidikan. Pendidikan Karakter . Jakarta: Grand


Desai, 2010.

—. Pendidikan Karakter. Jakarta: Kumpulan Pengalaman Inspirasif, 2010.

Nata, Abudin. Pemikiran Para Tokoh Islam. Jakarta,

Nelson, Leonard. Socratic Method and Critical Philosophy. London: Yela


University Press, 1949.

Prahara, Erwin Yudi. Materi Pendidikan Agama Islam . Ponorogo: STAIN


Ponorogo Prees, 2009.

Rahman, Fazlur. Some Reflection on Reconstruction of Muslem Sociaty ini


Pakistan” dalam Islamic Stidies.

Rakyat, Kementerian Koprasi dan Kesejahteraan. Desain Induk,

Socrates, https://id.wikipedia.org/wiki/.

Suyanto. Panduan Pendidikan Karakter di Sekolah MenengahPertama. Jakarta:


DIKTI, 2010.

T.Ramli. Pendidikan Karakter. Bandung: Angkasa, 2003.

Zainuddin. Seluk Beluk Pendidikan dari Al-Ghazali . Jakarta: Bumi Aksara, 1991

Sumber lain:

Undang Undang Negara RI no 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan


Nasional

Undang-Undang Negara RI Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen

Undang Undang Negara RI tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi

39
https://id.wikipedia.org.

https://id.wikipedia.org/wiki/Plato.

https://nimatulloh.blogspot.com.(accessed Februari 20, 2016).

https://risetpendidikanmarfu’.com. (accessed Februari 20, 2016).

https://siswantozheis.wordpress.com.(accessed April 04, 2016.).

40

Anda mungkin juga menyukai