Anda di halaman 1dari 11

PENTINGNYA PENDIDIKAN KARAKTER

Oleh : Arifa Rakhman

Pasca Sarjana Universitas Gajayana Malang

2014

I. Pengantar
“Pendidikan berkarakter untuk ± 275 juta penduduk Indonesia”
Sebelum kita membahas topik ini lebih jauh lagi saya akan
memberikan data dan fakta berikut :
Laporan Indonesia Corruption Watch (ICW) 2013 menunjukkan,
kasus korupsi di sektor pendidikan meningkat pesat dalam kurun
satu dasawarsa (2003-2013). Selama satu dasawarsa telah diungkap
296 kasus korupsi yang menyeret 479 tersangka dengan total nilai
kerugian mencapai Rp 619 miliar. Angka kerugian negara
meningkat empat kali lipat pada 2013 menjadi Rp 99,2 miliar jika
dibandingkan dengan sepuluh tahun lalu. Puncak kasus korupsi
terjadi pada 2007 dengan 84 kasus dan kerugian negara mencapai
Rp 151 miliar.
Sumber : litbang kompas
Atau potret anak didik, di mana tawuran pelajar sekolah telah
mencoreng dunia pendidikan Indonesia. Pada 2010, setidaknya
terjadi 128 kasus tawuran antar pelajar. Angka itu melonjak tajam
lebih dari 100% pada 2011, yakni 330 kasus tawuran yang
menewaskan 82 pelajar. Pada 2012, telah terjadi 139 tawuran yang
menewaskan 12 pelajar. Tahun 2013, jumlah tawuran 128 kasus dan
tahun 2014 telah terjadi 339 kasus dan memakan korban jiwa 82
orang.
Sumber kompas.com

Dunia cenderung memang sedang mencari keseimbangan,


khususnya di Negara Indonesia. Alasannya : karena, ditengah maraknya
fenomena perilaku amoral yang melibatkan peserta didik sebagai
pelakunya, seperti seks pra-nikah, video porno, penyalahgunaan NAPZA
dan minuman keras, tawuran, kekerasan perploncoan, penghinaan guru
dan sesama murid melalui media sosial. Bahkan kasus-kasus korupsi,
kolusi dan manipulasi yang prevalensinya banyak melibatkan orang-
orang terdidik dan terpelajar. Hal ini menjadi tamparan keras bagi dunia
pendidikan yang idealnya melahirkan generasi-generasi terdidik dan
beretika sekaligus menjadi musuh utama fenomena-fenomena perilaku
amoral tersebut.
Secara mutlak, pendidikan karakter memang sangat diperlukan.
Bukan hanya di sekolah saja tapi juga dirumah dan di lingkungan sosial.
Pesertanya pun bukan lagi hanya untuk anak usia dini hingga remaja,
tetapi bahkan orang dewasa sekalipun mutlak perlu demi kelangsungan
bangsa ini.
Mungkin hal inilah yang menjadi kekhawatiran para tokoh-tokoh
dunia, seperti Mahatma Gandhi yang memperingatkan tentang salah satu
tujuh dosa fatal, yaitu “education without character”(pendidikan tanpa
karakter). Begitu pula, Dr. Martin Luther King yang pernah berkata:
“Intelligence plus character….that is the goal of true education” (Kecerdasan
plus karakter….itu adalah tujuan akhir dari pendidikan sebenarnya). Juga
Theodore Roosevelt yang mengatakan: “To educate a person in mind and not
in morals is to educate a menace to society” (Mendidik seseorang dalam aspek
kecerdasan otak dan bukan aspek moral adalah ancaman marabahaya
kepada masyarakat). Bahkan pendidikan yang menghasilkan manusia
berkarakter ini telah lama didengung-dengungkan oleh pandita
pendidikan Indonesia, Ki Hajar Dewantara, dengan pendidikan yang
berpilar kepada Cipta, Rasa dan Karsa. Bermakna bahwa pendidikan
bukan sekedar memberikan pengetahuan (knowledge) tetapi juga
mengasah afeksi moral sehingga menghasilkan karya bagi kepentingan
ummat manusia (Gazali, 2011).
Berdasarkan latar belakang fenomena dan pendapat para tokoh
inilah, dunia pendidikan saat ini mencoba mengevaluasi sistem
pembelajarannya untuk menghasilkan manusia berkarakter. Proses
pencarian jati diri sistem pendidikan, khususnya di Indonesia inilah yang
merupakan arah untuk mencapai keseimbangan atau kondisi homestatic
yang relatif sebagaimana setiap manusia mempunyai keinginan untuk
mencapainya. Di sinilah peran sekolah dan guru sebagai institusi
pendidikan formal sebagai posisi yang ‘tertantang’ dalam menghadapi
fenomena yang berkaitan dengan globalisasi dan degradasi moral.
A. Apa Pendidikan Berkarakter Itu ?
Karakter berasal dari bahasa Yunani yang berarti “to mark” atau
menandai dan memfokuskan bagaimana mengaplikasikan nilai kebaikan
dalam bentuk tindakan atau tingkah laku, sehingga orang yang tidak
jujur, kejam, rakus dan perilaku jelek lainnya dikatakan orang berkarakter
jelek. Sebaliknya, orang yang perilakunya sesuai dengan kaidah moral
disebut dengan berkarakter baik (Sudrajat, 2010).
Karakter yang baik merupakan hal yang kita inginkan bagi anak-
anak kita. Terdiri dari apa sajakah karakter yang baik itu ?
Seorang filsuf Yunani bernama Aristoteles mendefenisikan karakter
yang baik sebagai kehidupan dengan melakukan tindakan-tindakan yang
benar sehubungan dengan diri seseorang dan orang lain. Aristoteles
mengingatkan kepada kita tentang apa yang cenderung kita lupakan
dimasa sekarang ini : kehidupan yang berbudi luhur termasuk kenaikan
yang berorientasi pada diri sendiri (seperti kontrol diri dan moderasi)
sebagaimana halnya dengan kebaikan yang berorientasi pada hal lainnya
(seperti kemurahan hati dan belas kasihan), dan kedua jenis kebaikan ini
berhubungan (Lickona, 2013:81).
Individu yang berkarakter baik atau unggul adalah seseorang yang
berusaha melakukan hal-hal yang terbaik terhadap Tuhan YME, dirinya,
sesama, lingkungan, bangsa dan negara serta dunia internasional pada
umumnya dengan mengoptimalkan potensi (pengetahuan) dirinya dan
disertai dengan kesadaran, emosi dan motivasinya (perasaannya).
Pengertian karakter menurut Pusat Bahasa Depdiknas adalah
“bawaan, hati, jiwa, kepribadian, budi pekerti, perilaku, personalitas, sifat,
tabiat, temperamen, watak”. Adapun berkarakter adalah berkepribadian,
berperilaku, bersifat, bertabiat, dan berwatak”. Menurut Musfiroh (2008 :
21), “karakter mengacu kepada serangkaian sikap (attitudes), perilaku
(behaviors), motivasi (motivations), dan keterampilan (skills)”.
Pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai
karakter kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan,
kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai
tersebut. Pendidikan karakter dapat dimaknai sebagai “the deliberate use of
all dimensions of school life to foster optimal character development”.  Dalam
pendidikan karakter di sekolah, semua komponen (pemangku
pendidikan) harus dilibatkan, termasuk komponen-komponen
pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran dan
penilaian, penanganan atau pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan
sekolah, pelaksanaan aktivitas atau kegiatan ko-kurikuler, pemberdayaan
sarana prasarana, pembiayaan, dan ethos kerja seluruh warga
sekolah/lingkungan. Di samping itu, pendidikan karakter dimaknai
sebagai suatu perilaku warga sekolah yang dalam menyelenggarakan
pendidikan  harus berkarakter.
Menurut Elkind & Freddy (2004), pendidikan karakter dimaknai
sebagai berikut:
“Character education is the deliberate effort to help people understand,
care about, and act upon core ethical values. When we think about the
kind of character we want for our children, it is clear that we want them to
be able to judge what is right, care deeply about what is right, and then do
what they believe to be right, even in the face of pressure from without and
temptation from within”. (Pendidikan karakter adalah upaya yang
disengaja untuk membantu orang memahami, peduli, dan
bertindak berdasarkan dari inti nilai-nilai etika. Ketika kita berpikir
tentang jenis karakter yang kita inginkan untuk anak-anak kita,
jelas bahwa kami ingin mereka untuk dapat menilai apa yang
benar, sangat peduli tentang apa yang benar, dan kemudian
melakukan apa yang mereka yakini benar, bahkan ketika
menghadapi tekanan dari luar dan godaan dari dalam).
Ramli (2003 : 56) mengatakan “pendidikan karakter memiliki esensi
dan makna yang sama dengan pendidikan moral dan pendidikan akhlak”.
Tujuannya adalah membentuk pribadi anak, supaya menjadi manusia
yang baik, warga masyarakat, dan warga negara yang baik. Adapun
kriteria manusia yang baik, warga masyarakat yang baik, dan warga
negara yang baik bagi suatu masyarakat atau bangsa, secara umum
adalah nilai-nilai sosial tertentu, yang  banyak dipengaruhi oleh budaya
masyarakat dan bangsanya. Oleh karena itu, hakikat dari pendidikan
karakter dalam konteks pendidikan di Indonesia adalah pedidikan nilai,
yakni  pendidikan nilai-nilai luhur yang bersumber dari budaya bangsa
Indonesia sendiri, dalam rangka  membina kepribadian generasi muda.
Pendidikan karakter sebagai sebuah pedagogi memiliki tujuan agar
setiap pribadi semakin menghayati individualitasnya, mampu manggapai
kebebasan yang di milikinya sehingga ia dapat semakin bertumbuh
sebagai pribadi maupun sebagai warga negara yang bebas dan
bertanggung jawab. Bahkan sampai ada tingkat tanggung jawab moral
integral atas kebersamaan hidup dengan yang lain di dalam dunia (Aqib :
39).
Berdasarkan uraian tersebut, dapat di simpulkan bahwa
pendidikan karakter merupakan upaya-upaya yang dirancang dan
dilaksanakan secara sistematis untuk membantu peserta didik memahami
nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha
Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang
terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan
berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat
istiadat.

B. Pentingnya Pendidikan Berkarakter


C. Fungsi dan Tujuan Pendidikan Berkarakter
D. Nilai-nilai dan prinsip-prinsip pendidikan berkarakter
E. Peran Sekolah Dalam Pembangunan Manusia Berkarakter Moral
Peranan pendidikan berkarakter moral di sekolah pernah
dilakukan oleh Berkowitz & Bier (2003). Mereka menyatakan bahwa
penerapan pendidikan berkarakter moral mempengaruhi peningkatan
motivasi siswa dalam meraih prestasi. Bahkan kelas-kelas yang secara
komprehensif terlibat dalam pendidikan karakter menunjukan penurunan
drastis pada perilaku negatif siswa yang dapat menghambat keberhasilan
akademik. Hal ini disebabkan salah satu tujuan pendidikan karakter
adalah untuk pengembangan kepribadian yang berintegritas terhadap
nilai atau aturan yang ada. Ketika individu mempunyai integritas maka ia
akan memiliki keyakinan terhadap potensi diri (self efficacy) untuk
menghadapi hambatan dalam belajar.
Beberapa tema-tema moral yang berhubungan dengan kognitif
ditemukan dalam penelitian Narvaes (2006). Peserta didik yang
mendapatkan pendidikan berkarakter moral akan lebih; (a). Mudah
memahami situasi moral secara akurat dan menegakkan aturan atau nilai
yang diinternalisasi, (b). Mempunyai alat atau metode untuk memecahkan
masalah moral yang kompleks, (c). Tetap berfokus terhadap tugas-tugas
akademis dan termotivasi untuk mengatasi hambatan dalam
pembelajaran, (d). Mampu memprioritaskan tujuan-tujuan etis untuk
pengembangan diri dan pemberdayaan sosial. Oleh karena itu, negara-
negara maju turut menekankan pendidikan berkarakter moral tersebut
sebagai soft-skill yang mengikuti kompetensi pembelajaran. Dengan
demikian, lulusan dunia pendidikan akan lebih siap berkompetisi dalam
era global saat ini.
Meskipun sekolah merupakan lingkungan kedua bagi peserta didik
dalam pembentukan karakter namun sekolah merupakan komunitas
untuk melakukan sharing nilai dengan guru, teman sebaya dan civitas
akademika. Apalagi, fenomena kurikulum sekarang yang sarat beban bagi
peserta didik menyebabkan ia tinggal lebih lama di sekolah daripada di
lingkungan keluarga dan masyarakat. Oleh karena itu, penulis
memberikan usulan terhadap peran sekolah dalam membangun manusia
yang berkarakter moral sebagai berikut;
1. Menyediakan pendidikan moral agama yang berbasis
penyikapan terhadap kasus/ fenomena.
Dalam hal ini tentunya agama tidak saja disajikan dalam
pengetahuan aturan atau tata laksana ibadah (syari’at) tetapi lebih kepada
nilai-nilai agama dalam menghadapi fenomena sosial. Nilai-nilai agama
inilah yang menjadi bagian dari pembentukan karakter moral peserta
didik. Sebagai contoh, pendidikan agama Islam tidak hanya mengajarkan
syari’at sholat saja tapi nilai-nilai manfaat yang diperoleh bagi manusia itu
sendiri dengan menjalankan sholat. Begitu pula agama Kristen Protestan
tidak hanya mengajarkan cara bersembahyang tetapi bagaimana
menerapkan Etika Protestan untuk keseimbangan kehidupan dunia dan
akhirat. Juga The Golden Role dalam ajaran agama Katholik agar manusia
menyebarkan kebaikan kepada sesamanya.
Sebenarnya beberapa ahli pemikir Barat membedakan antara moral
dengan nilai-nilai agama. Akan tetapi, pemakalah mempunyai pendirian
bahwa nilai agama membentuk karakter moral karena nilai agama yang
universal juga mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhan,
hubungan manusia dengan dirinya sendiri (intrapersonal) dan hubungan
manusia dengan lingkungan sosialnya (interpersonal). Tidak ada agama
yang tidak mengatur ketiga hal tersebut. Bahkan secara tegas, Silberman
(2005) menyatakan bahwa ciri manusia yang religius adalah;
a) Mampu memahami Tuhan dan melaksanakan semua ajaranNya.
Pada elemen ini, manusia yang beragama dituntut untuk
memahami kekuatan Tuhan dan mengamalkan semua
ajaranNya dalam kehidupan sehari-hari.
b) Memahami pemaknaan diri. Pada elemen ini, manusia yang
mengaku beragama harus memiliki pemahaman terhadap
hakikat diri, tujuan hidup, potensi diri dan pengaruh ajaran
agama terhadap proses pembentukan jati diri. Misalnya, sebagai
seorang Muslim maka ia tahu bahwa tujuan hidupnya hanyalah
untuk berbakti kepada Allah SWT, mempunyai potensi
persaudaraan sebagai sesama muslim dan ajaran Islam
dijadikannya sebagai identitas dirinya.
c) Meyakini dan memelihara hubungan dengan mahluk lain
ciptaan Tuhan dan alam semesta. Sebagai manusia yang
beragama maka kita dituntut untuk membina hubungan dengan
orang lain, mahluk ghaib dan alam semesta.
d) Keyakinan terhadap hari depan, yaitu keyakinan yang harus
dimiliki oleh manusia religius terhadap kehidupan masa depan,
kehidupan setelah kehidupan di dunia, seperti kematian, alam
kubur, hari berbangkit atau kiamat, syurga dan neraka. Oleh
karena itu, manusia yang religius menjadikan kehidupan di
dunia ini sebagai investasi dalam kehidupan di masa
mendatang, termasuk kehidupan akhirat kelak.
Berdasarkan ciri manusia yang religius atau mempunyai nilai-nilai
agama tersebut maka sebenarnya sama dengan tujuan pendidikan
berkarakter moral yang mengembangkan interpersonal dan intrapersonal.
Dengan demikian, pendidikan moral agama lebih ditekankan kepada
kasus-kasus atau fenomena yang harus dipecahkan oleh peserta didik
berdasarkan pertimbangan nilai atau moral agama. Hal ini yang disebut
sebagai pembelajaran berbasis masalah (problem based learning).

2. Menyiapkan guru, kakak kelas, sivitas akademika, alumni


sebagai role model.
Sebagaimana definisi pendidikan berkarakter moral sebagai proses
transfer, khususnya tindakan terhadap fenomena berdasarkan nilai atau
aturan universal maka dibutuhkan figur teladan dalam menegakkan nilai
atau aturan tersebut. Figur teladan ini sesuai dengan filosofi pendidik
yang dikemukakan oleh Ki Hadjar Dewantara, yaitu ing ngarso sung
tulodho (seorang guru harus mampu memberikan keteladanan sikap dan
tindakan), khususnya keteladanan moral. Apalagi, guru merupakan
sosok digugu lan ditiru (dipatuhi dan dicontoh tindakannya). Jika guru
hanya memberikan pengajaran moral tanpa mendidik (memberi
keteladanan moral) maka akan terjadi kebingungan pada diri peserta
didik. Sosok guru yang ideal ialah guru yang bermoral.
Ketika guru melakukan tindakan amoral, seperti pelecahan seksual,
kekerasan, tindak pidana dan lain sebagainya maka fenomena ini disebut
sebagai moral hypocrisy, yaitu sosok yang idealnya bermoral namun
melakukan tindakan tidak bermoral. Tidak hanya guru, kakak kelas dan
alumni pun sebagai figur teladan dalam penegakan moral. Jika kakak
kelas dan alumni berkomitmen untuk membantu penegakan moral di
lingkungan sekolah maka aktivitas yang tidak bermoral, seperti kekerasan
dalam masa orientasi dan tawuran dapat diminimalisasi.
3. Menyediakan perangkat nilai dan aturan yang jelas, rasional dan
konsisten. 
Sekolah yang mempunyai aturan jelas menyebabkan tidak ada
ambiguitas peserta didik dalam memahaminya. Aturan yang jelas juga
dimaksudkan agar peserta didik tidak mencari celah kelemahan aturan
dan memanfaatkan celah tersebut untuk pelanggaran. Selain itu, yang
dimaksudkan dengan aturan atau nilai yang rasional ialah segala aturan
tersebut bukan saja bertujuan untuk mengarahkan atau melarang suatu
tindakan tetapi lebih kepada penguatan alasan mengapa aturan atau nilai
tersebut ditegakkan. Tentunya hal ini membutuhkan sosialisasi kepada
peserta didik dan sivitas akademika agar memahami latar belakang
ditegakkannya nilai atau aturan tersebut.
Rasionalitas atau alasan tentang penegakan nilai moral tersebut
perlu dilakukan karena dalam psikologi perkembangan, seorang remaja
mulai berfikir operasional kongkret yang mencari rasional dalam setiap
tindakan. Dengan pemahaman nilai atau aturan yang rasional tersebut
maka peserta didik akan menjalankan aturan dan nilai tersebut karena
terdorong untuk kebaikan mereka sendiri. Hal ini menandakan aturan
atau nilai yang rasional/ mempunyai alasan yang tepat akan
menumbuhkan motivasi intrinsik atau motivasi dalam diri. Sedangkan
penegakan nilai atau aturan yang konsisten untuk semua pihak
diharapkan akan menjadi perangkat aturan untuk kepentingan bersama
(keadilan distributif).
4. Membangun sinergitas antara pihak sekolah, keluarga,
masyarakat dan pemerintah.
Sebagaimana kita ketahui kebijakan publik tidak dapat dijalankan
jika tidak ada sinergi antara pihak terkait. Meskipun sekolah telah
menerapkan pendidikan berkarakter moral di lingkungan belajar namun
hal ini tidak akan efektif jika tidak didukung keterlibatan pihak keluarga,
masyarakat dan pemerintah. Jika kita kembali merujuk definisi
pendidikan berkarakter moral maka pendidikan tersebut sesungguhnya
merupakan suatu PROSES. Maknanya, pendidikan berkarakter moral
merupakan transfer secara bertahap dan berkelanjutan. Sayangnya,
kebijakan pemerintah tentang ujian nasional (UNAS) mempunyai dampak
bahwa pendidikan lebih menekankan kepada hasil suatu sistem dan
bukan kepada proses. Padahal sebenarnya pendidikan lebih menekankan
kepada proses suatu sistem. Oleh karena itu, disarankan agar pemerintah
tidak membuat suatu kebijakan yang bertentangan dengan filosofi
pendidikan berkarakter moral.
5. Pendidikan berkarakter moral dimasukkan dalam kegiatan intra,
ekstra dan ko-kulikuler sebagai hidden curriculum. 
Dalam kegiatan intra-kurikuler dan ko-kurikuler, setiap mata
pelajaran perlu memberikan pesan moral khusus berkaitan dengan topik
pembelajaran. Contohnya, pelajaran Biologi tentang reproduksi manusia
perlu diberikan sosialisasi tentang dampak negatif seks pra-nikah jika
organ reproduksi belum siap digunakan. Jadi, tidak sekedar pengetahuan
seks tetapi juga menyisipkan pesan moral yang rasional.  Begitu pula,
dalam kegiatan ekstra-kurikuler perlu diperbanyak aktivitas yang
membina karakter moral peserta didik, seperti Pramuka, PMR, Dokter
Kecil, Olah Raga dan lain sebagainya. Bahkan ide untuk mendirikan dan
melestarikan “Kantin Kejujuran” perlu diwujudkan.
6. Menyajikan story telling melalui multi media dengan
melibatkan peran sebagai role model karakter moral.
Menurut Sheldon (2004), story telling adalah salah satu metode yang
tepat untuk menyampaikan pesan moral melalui peran tokoh-tokoh
dalam suatu cerita sebagairole model. Dengan demikian, story
telling memiliki kemampuan untuk menyampaikan nilai-nilai moral
karena anak dan remaja lebih mudah menerima informasi melalui audio-
visual. Oleh karena itu, disarankan story telling disajikan dalam multi
media sehingga menarik keterlibatan afeksi dan kognisi peserta didik
dalam menginternalisasi nilai moral yang disampaikan. Sebagai
contoh, story telling dengan tema budaya lokal, seperti Malin Kundang
disampaikan melalui tayangan film atau parodi sehingga pesan moral
tentang berbakti kepada orang tua lebih efektif disampaikan kepada
peserta didik.

Anda mungkin juga menyukai