Anda di halaman 1dari 62

PERAN KEPEMIMPINAN ORGANISASI SEKOLAH DALAM

MENINGKATKAN KUALITAS PENDIDIKAN

BAB I
PENDAHULUAN

I.I Latar Belakang


Kepemimpinan adalah unsur yang sangat vital dalam sebuah organisasi.
Pemimpin harus memiliki niat, komitmen, dan visi yang diterjemahkan ke
dalam policy, jelas dan tujuan yang spesifik.
Mengembangkan definisi.

Dalam era globalisasi sekarang ini, kita dihadapkan berbagai tantangan


diantaranya adalah tugas seseorang dalam memimpin suatu organisasi yang saat ini
jauh lebih menuntut dan akan semakin lebih menantang di tengah-tengah dinamika
global yang dihadapi dunia bisnis. Tantangan tersebut tidak hanya melanda
perusahaan atau organisasi lainnya yang bergerak dalam dunia bisnis, namun
tantangan global dan persaingan pasar bebas akan berimbas pula pada pengelolaan
lembaga pendidikan (sebagai layanan jasa). Pemimpin lembaga atau organisasi
harus tetap memiliki wewenang penting, dimana organisasi tersebut semakin
bergantung pada keahlian mereka dan sekelompok pemimpin di level bawah untuk
memimpin, mengoordinasi, membuat keputusan, dan bertindak secara cepat dan
tepat.
Meningkatnya gerak perubahan dan kerumitan bisnis pada perusahaan, atau
pada lembaga pendidikan sebagai layanan jasa. Kesemuanya itu, akan memaksa
perusahaan/lembaga pendidikan untuk mendorong wewenang ke bawah melalui
struktur manajemen yang semakin horizontal dan rata. Sebagaimana yang telah kita
ketahui bahwa; organisasi-organisasi tersebut perlu lebih dan lebih terbuka,
responsif, dan tanpa batas. Ini semua membutuhkan penekanan lebih pada
kepemimpinan yang cakap dan suatu budaya yang kuat untuk mengambil
keputusan yang harus dibuat secara cepat, meski taruhannya besar. Pada masa
depan, setiap manajer harus menjalankan hak prerogatif sebagai pemimpin, dan
menanggung bebannya sampai suatu tingkatan yang tidak terpikirkan 25 tahun

1
yang lalu. oleh karena itu, peran kepemimpinan dalam sebuah organisasi sangat
penting, dan terutama dalam hal mengarahkan dan menuntun orang-orang dalam
suatu organisasi menuju ke arah suatu visi sepanjang waktu serta mengembangkan
kepemimpinan masa depan organisasi tersebut dan budaya organisasi (Pearce II,
2013).
Seorang ahli kepemimpinan yang dikenal luas, yaitu Kotter (1990:140),
menjelaskan dan memperdiksi perkembangan peran dari kepemimpinan suatu
organisasi, ketika ia membedakan antara manajemen dan kepemimpinan yaitu
sebagai berikut:
Manajemen adalah tentang menghadapi kerumitan. Praktik dan prosedurnya
umumnya merupakan suatu tanggapan satu dari perkembangan penting dari
abad ke-20; kemunculan organisasi-organisasi besar. Tanpa manajemen yang
baik dan bagus, perusahaan yang kompleks cenderung menjadi kacau balau
dalam hal-hal yang mengancam keberadaannya. Manajemen yang baik dan
efektif dapat menciptakan suatu tingkat keteraturan dan konsistensi atas
beberapa dimensi utama seperti kualitas dan tingkat profitabilitas dari
produk.
Sebaliknya, kepemimpinan adalah bagaimana menghadapi perubahan.
Sebagian dari alasan mengapa kepemimpinan telah menjadi begitu penting
dalam beberapa tahun terakhir adalah bahwa dunia bisnis dan dunia
pendidikan telah menjadi komprehensif dan tidak berfluktuasi. Intinyanya
adalah melakukan seperti apa yang dilakukan kemarin, atau melakukannya 5
persen lebih baik, bukan lagi suatu rumusan agar sukses. Perubahan-
perubahan utama semakin menjadi diperlukan agar dapat bertahan dan
bersaing secara efektif dalam lingkungan baru ini. Perubahan yang semakin
banyak selalu menuntut kepemimpinan yang baik, efektif, dan memiliki
visioner.

Sebagai seorang pemimpin organisasi atau lembaga yang ideal harus mampu
mensinergikan kemampuan manajemen dan kemampuan kepemimpinan secara
simultan. Pada tataran perilaku interaksi antarmanusia organisasional dan
pemberdayaan sumber daya pendukungnya, kedua kemampuan itu sulit dipisahkan,
karena memang praksis kepemimpinan dan manajemen tidak mudah dibedakan.
Subjeknya disebut pemimpin atau manajer yang keduanya dikonotasikan
menduduki posisi level atas pada hirarki organisasi. Subjek lainnya disebut

2
bawahan, yang dibawahi, atau staf yang juga populer dengan sebutan “yang
dipimpin:, tidak lazim disebut “dimanajeri” atau dimanajemeni”. Substansi yang
diurus pun sama, yaitu manusia dan nonmanusia. Keduanya sama-sama melakukan
transformasi, meski proses manajemen lebih jelas dibandingkan dengan proses
kepemimpinan. Demikian juga tujuannya, agar organisasi dapat dikelola secara
efektif dan efisien (Danim, 2009).
Dengan berbagai macam perkembangan dan perubahan di era globalisasi saat
ini, menuntut semua pihak yang terlibat, baik perusahaan, organisasi maupun
lembaga pendidikan akan memerlukan sosok pemimpin yang ideal yang memiliki
komitmen tinggi terhadap tugas dan tanggungjawabnya. Dalam berbagai bidang
kehidupan banyak ditemui pemimpin-pemimpin yang sebenarnya kurang layak
mengemban amanah kepemimpinannya. Demikian halnya dalam pendidikan, tidak
sedikit pemimpin-pemimpin pendidikan karbitan atau amatiran yang tidak memiliki
visi dan misi yang jelas tentang lembaga pendidikan atau sekolah yang dipimpinnya.
Kondisi seperti ini telah mengakibatkan buruknya iklim dan budaya sekolah, bahkan
telah menimbulkan banyak konflik negatif dan stres para bawahan yang
dipimpinnya. Hal ini tentu saja perlu penanganan yang serius, karena
kepemimpinan pendidikan merupakan hal yang sangat penting dalam membangun
organisasi sekolah yang efektif dan efisien.
Dalam konteks peningkatan kualitas pendidikan melalui standarisasi dan
profesionalisme yang sering dilakukan dewasa ini menuntut pemahaman berbagai
pihak terhadap perubahan yang terjadi dalam berbagai komponen system
pendidikan. Perubahan kebijakan pendidikan dari sentralisasi menjadi desentralisasi
telah menekankan bahwa pengambilan kebijakan berpindah dari pemerintah pusat
(top goverment) ke pemerintahan daerah (district goverment), yang berpusat di
pemerintahan Kota/Kabupaten. Dengan demikian, kewenangan penyelenggaraan
pendidikan, khususnya pendidikan dasar dan menengah berada di pundak
pemerintah Kota dan Kabupaten, sehingga implementasinya akan diwarnai oleh
political will pemerintah daerah, yang dituangkan dalam peraturan daerah (Perda).
Dalam hal ini, tentu saja yang paling menentukan adalah kepemimpinan seorang

3
Bupati/Walikota, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), dan Kepala Dinas
Pendidikan beserta jajarannya. Oleh karena itu, merekalah yang paling bertanggung
jawab terhadap peningkatan kualitas pendidikan di daerahnya, meskipun tidak
selamanya demikian, karena dalam pelaksanaannya tidak sedikit penyimpanagan
dan salah penafsiran terhadap kebijakan yang digulirkan, sehingga menimbulkan
berbagai kerancuan bahkan penurunan kualitas (Mulyasa, 2013).
Desentralisasi pendidikan bergulir dengan kebijakan otonomi daerah;
sehingga pusat-pusat kekuasaan dilimpahakan kewenangannya kepada daerah
Kota/Kabupaten. Dalam pendidikan, kewenangan ini menerobos batas-batas kota
dan Kabupaten, sehingga menembus satuan pendidikan dan sekolah dalam
berbagai jenis dan jenjang pendidikan. Sebagai misal: kepemimpinan organisasi
sekolah yaitu kepala sekolah dalam era desentralisasi pendidikan memiliki otonomi
yang sangat luas, sehingga dihadapkan kepeda berbagai permasalahan manajemen
dan kepemimpinan yang cukup rumit dan kompleks. Oleh karena itu, dalam konteks
otonomi daerah dan desentralisasi pendidikan, selayaknyalah setiap kepala sekolah
sebagai pemimpin pendidikan pada setiap lembaga yang menjadi tanggung
jawabnya, memiliki kemampuan manajemen dan kepemimpinan yang memadai
agar dapat mengelola sekolah secara efektif, efisien, mandiri, produktif, dan
akuntabel.
Menurut Hadis & Nurhayati (2012:2-3) menjelaskan bahwa, kualitas
pendidikan di Indonesia saat ini sangat memprihatinkan. Apalagi jika dibandingkan
dengan kualitas pendidikan di negara lain. Hal Ini dibuktikan antara lain dengan data
UNESCO (2000) tentang peringkat Indeks Pengembangan Manusia (Human
Development Index), yaitu komposisi dari peringkat pencapaian pendidikan,
kesehatan, dan penghasilan per-kepala yang menunjukkan bahwa indeks
pengembangan manusia Indonesia makin menurun. Di antara 174 negara di dunia,
Indonesia menempati urutan ke-102 (1996), ke-99 (1997), ke-105 (1998) dan ke-109
(1999).
Menurut survei Political and Economic Risk Consultant (PERC), kualitas
pendidikan di Indonesia berada pada urutan ke-12 dari 12 negara di Asia.Posisi

4
Indonesia berada di bawah Vietnam.Data yang dilaporkan The World Economic
Forum Swedia (2000), Indonesia memiliki daya saing yang rendah, yaitu hanya
menduduki urutan ke-37 dari 57 negara yang disurvei di dunia. Dan masih menurut
survei dari lembaga yang sama, Indonesia hanya berpredikat sebagai follower bukan
sebagai pemimpin teknologi dari 53 negara di dunia.
Kualitas pendidikan Indonesia yang rendah itu juga ditunjukkan data Balitbang
(2003) bahwa dari 146.052 SD di Indonesia ternyata hanya delapan sekolah saja
yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Primary Years Program (PYP).
Dari 20.918 SMP di Indonesia ternyata juga hanya delapan sekolah yang mendapat
pengakuan dunia dalam kategori The Middle Years Program (MYP) dan dari 8.036
SMA ternyata hanya tujuh sekolah saja yang mendapat pengakuan dunia dalam
kategori The Diploma Program (DP).
Penyebab rendahnya mutu pendidikan di Indonesia tentu tidak lepas dari
peran dan kepemimpinan seorang kepala sekolah sebagai top leadernya. Melihat
pentingnya fungsi kepemimpinan kepala sekolah, maka usaha untuk meningkatkan
kinerja yang lebih tinggi bukanlah pekerjaan mudah bagi kepala sekolah karena
kegiatan berlangsung dalam sebuah proses panjang yang direncanakan dan
diprogram secara baik pula. Namun pada kenyataannya tidak sedikit kepala sekolah
yang hanya berperan sebagai pimpinan formalitas dalam sebuah sistem alias hanya
sekedar sebagai pemegang jabatan struktural sambil menunggu masa purna tugas –
jika tidak boleh menyebut sebagai orang-orang apatis yang kehabisan energi dan
gairah hidup-. Kesadaran akan kualitas dalam organisasi bergantung pada banyak
faktor yang saling berhubungan, terutama sikap kepala sekolah terhadap kualitas
pendidikan. Pencapaian tingkat kualitas bukan merupakan hasil penerapan cara
instan jangka pendek untuk meningkatkan daya saing, melainkan melalui
implementasi Total Quality Management (TQM) yang mensyaratkan kepemimpinan
yang kontinu (Hadis & Nurhayati, 2012).
Di sisi lain, dalam konteks otonomi daerah dan desentralisasi pendidikan,
dinyatakan oleh Mulyasa (2013:4), bahwa: keberhasilan atau kegagalan pendidikan
di sekolah sangat bergantung pada guru, kepala sekolah, dan pengawas, karena

5
ketiga figur tersebut merupakan kunci yang menentukan serta menggerakkan
berbagai komponen dan dimensi sekolah yang lain. Dalam posisi tersebut, baik
buruknya komponen sekolah yang lain sangat ditentukan oleh kualitas guru, kepala
sekolah, dan pengawas, tanpa mengurangi arti penting tenaga pendidikan yang lain.
Implementasi desentralisasi pendidikan menuntut kepala sekolah dan pengawas
untuk menunjukkan profesionalitasnya, mereka dituntut untuk mengembangkan
sekolah yang efektif dan produktif, dengan penuh kemandirian dan akuntabilitas.
Menurut perspektif penulis bahwa sukses tidaknya sebuah perusahaan,
lembaga profit/nonprofit, lembaga pendidikan atau lembaga apapun bentuk dan
jenisnya, baik itu lembaga eksekutif maupun lembaga legislatif sangat dipengaruhi
oleh kemampuan seorang pemimpin dalam mengelola setiap komponen lembaga
atau organisasi yang dibawahinya. Kemampuan seseorang tersebut terutama
berkaitan dengan pengetahuan dan pemahaman mereka terhadap manajemen dan
kepemimpinan, serta tugas yang dibebankan kepadanya; karena itu tidak jarang
kegagalan sebuah organisasi, misalnya pada kegagalan lembaga pendidikan dan
pembelajaran disekolah disebabkan oleh kurangnya pemahamam kepala sekolah
terhadap tugas-tugas yang harus dilaksanakannya. Kondisi tersebut menunjukkan
bahwa berhasil tidaknya suatu sekolah dalam mencapai tujuan serta mewujudkan
visi dan misinya terletak pada bagaimana manajemen dan kepemimpinan kepala
sekolah, khususnya dalam menggerakkan dan memberdayakan berbagai sumber
daya atau komponen sekolah. Dalam prosesnya, interaksi berkualitas yang dinamis
antara kepala sekolah, guru, tenaga adminisrasi, dan peserta didik memainkan
peran sangat penting, terutama dalam penyesuaian berbagai aktivitas sekolah
dengan tuntutan globalisasi, perubahan masyarakat, perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi, serta tuntutan situasi, kondisi, dan lingkungannya.
Kesemuanya itu sangat menuntut kompetensi dan profesionalitas kepala sekolah,
untuk memungkikan terciptanya interaksi berkualitas yang dinamis.

6
I.2 Tujuan

Tujuan dari penulisan makalah ini adalah diharapkan kita dapat memahami
peran kepemimpinan organisasi sekolah dalam meningkatkan kualitas pendidikan
dalam kaitannya dengan:
1. Teori-teori kepemimpinan
2. Organisasi pendidikan
3. Peran kepemimpinan

7
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Landasan Teori

2.1.1. Teori Kepemimpinan

Hal penting yang pertama-tama perlu kita ketahui adalah, apakah


kepemimpinan itu? Dalam lingkungan masyarakat, dalam organisasi formal maupun
nonformal selalu ada seseorang yang dianggap lebih dari yang lain. Seseorang yang
memiliki kemampuan lebih tersebut kemudian diangkat atau ditunjuk sebagai orang
yang dipercayakan untuk mengatur orang lainnya. Biasanya orang seperti itu
disebut pemimpin atau manajer. Dari kata pemimpin itulah kemudian muncul istilah
kepemimpinan (setelah melalui proses panjang). Sebagaimana tujuan Allah SWT,
menciptakan manusia di dunia sebagai pemimpin (khalifah). Firman Allah SWT
dalam surah Al-baqarah ayat 30, yang artinya:
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: ” Sesungguhnya
aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”. Mereka berkata:
“Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan
membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami
senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?”
Tuhan berfirman:” Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kamu
ketahui. (QS. Al-Baqarah (2):30).

Setiap manusia pada hakikatnya adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan
dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya kelak. Manusia sebagai
pemimpin minimal mampu memimpin dirinya sendiri. Setiap organisasi harus ada
pemimpinnya, yang secara ideal dipatuhi dan disegani bawahannya. Organisasi
tanpa pemimpin akan kacau balau. Oleh karena itu, harus ada seorang pemimpin
yang memerintah dan mengarahkan bawahannya untuk mencapai tujuan individu,
kelompok, dan organisasi.

8
Masalah kepemimpinan sama tuanya dengan sejarah manusia, untuk itu
kepemimpinan membutuhkan manusia. Apakah orang-orang dalam masyarakat
atau organisasi tidak dapat menjalankan tugas dan fungsinya tanpa adanya seorang
pemimpin? Sedikitnya terdapat empat macam alasan yaitu: (a) karena banyak orang
memerlukan figur pemimpin, (b) dalam beberapa situasi seorang pemimpin perlu
tampil mewakili kelompoknya, (c) sebagai tempat pengambilan risiko bila terjadi
tekanan terhadap kelompoknya, dan (d) sebagai tempat untuk meletakkan
kekuasaan. Namun, di dalam pemahaman sehari-hari sering kali terjadi tumpang
tindih antara penggunaan istilah pemimpin dan manajer. Dalam praktik, seseorang
yang seharusnya menjalankan fungsi kepemimpinan lebih tampil sebagai manajer,
namun ada pula seseorang yang memiliki posisi sebagai manajer kenyataannya
menunjukkan kemampuan sebagai pemimpin. Pertanyaan yang menggelitik adalah
mana yang lebih baik: apakah pemimpin lebih baik daripada manajer? Apakah
perbedaan antara pemimpin dan manajer (Rivai & Mulyadi, 2013).
Pendekatan dan penelitian tentang kepemimpinan terus berkembanhg sejak
munculnya istilah pemimpin atau kepemimpinan tersebut. Dari sinilah munculnya
berbagai teori kepemimpinan. Apa sajakah teori kepemimpinan tersebut?. Menurut
Pramudji (1995:36), kepemimpinan adalah terjemahan dari kata Leadership yang
berasal dari kata leader. Pemimpin (leader) ialah orang yang memimpin, sedangkan
pimpinan merupakan jabatannya. Dalam pengertian lain, secara etimologi istilah
‘kepemimpinan’ berasal dari kata dasar ‘pemimpin’ yang artinya bimbing atau
tuntun. Dari kata ‘pimpin’ lahirlah kata kerja ‘memimpin’ yang artinya membimbing
dan menuntun.
Kepemimpinan mempunyai arti yang sangat beragam, bahkan dikatakan
bahwa definisi kepemimpinan sama banyak dengan orang yang mendefinisikannya.
Para peneliti biasanya mendefinisikan sesuai dengan persepktif-persepktif
individual dan aspek fenomena yang paling menarik perhatian mereka.
Kepemimpinan telah didefinisikan dalam kaitannya dengan ciri-ciri individual,
perilaku, pengaruh terhadap orang lain, pola-pola interaksi, hubungan peran,
tempatnya pada suatu posisi administrasi, serta persepsi oleh orang lain mengenai

9
keabsahan dari pengaruh. Menurut Yukl (1998:45) memuat beberapa definisi
mengenai kepemimpinan menurut para ahli, diantaranya:
1. Menurut Robbins (1991:6) berpendapat bahwa; kepemimpinan adalah
kemampuan untuk memengaruhi sekelompok anggota agar bekerja mencapai
tujuan dan sasaran. Sumber dari pengaruh tersebut dapat diperoleh secara
formal, yaitu dengan menduduki suatu jabatan manajerial yang didudukinya
dalam suatu organisasi.
2. Fiedler Fred E (1967:8) berpendapat bahwa:”Leader as the individual in the
group given the task of directing and coordinating task relevant group
activities”. Pengertian tersebut menunjukkan bahwa seorang pemimpin
adalah anggota kelompok yang memiliki kemampuan untuk mengarahkan dan
mengoordinasikan kinerja dalam rangka mencapai tujuan. Fiedler dalam hal
ini lebih menekankan pada directing and coordinating.
3. Kotter (1997:31), berpendapat bahwa kepemimpinan adalah seperangkat
proses yang terutama ditujukan untuk menciptakan organisasi atau
menyesuaikannya terhadap keadaan-keadaan yang jauh berubah.
Kepemimpinan menentukan seperti apa seharusnya masa depan itu,
mengarahkan kepada visi, dan memberikan inspirasi untuk mewujudkannya.
4. Dalam persepktif sosiologis, kepemimpinan harus dilihat sebagai suatu proses
atau fungsi daripada sebagai suatu peran yang memerintah (Tannenbaum &
Massarik dalam Porter, dkk (1964:463) setalah mengkaji teori-teori
kepemimpinan menyatakan bahwa suatu teori ke-pemimpinan yang
komprehensif harus meliputi tiga hal, yakni: (1) pemimpin dengan karakter
psikologisnya, (2) para pengikut dengan masalah, sikap dan kebutuhannya, (3)
situasi kelompok yang memimpin dan pengikut saling berinteraksi.
5. Sejalan dengan pengertian yang dikemukakan oleh Hersey (1969:111) bahwa
kepemimpinan itu tidak selalu diarahkan pada pencapaian tujuan-tujuan
oragnisasi, menurut Harold Koontz (1986:147) yang menyatakan bahwa
kepemimpinan adalah pengaruh, seni atau proses mempengaruhi orang
sehingga mereka akan berusaha mencapai tujuan kelompok. Penekanan dari

10
pengertian ini bahwa dalam kepemimpinan itu diperlukan adanya motivasi
dari pemimpin kepada kelompok yang dipimpinannya. Dengan motivasi,
kelompok yang dipimpin tidak merasa terpaksa melaksanakan kebijakan-
kebijakan pemimpinnya.
6. Stephen Robbins (1993:365) berpendapat bahwa kepemimpinan adalah
kemampuan memengaruhi orang-orang kearah pencapaian oragnisasi
“Leadership as the ability to influence a group toward the achievement of
goals”.
7. Yukl (1991) yang diterjemahkan oleh Supriyanto (2001:7) kepemimpinan
adalah proses untuk memengaruhi orang lain untuk memahami dan setuju
dengan apa yang perlu dilakukan dan bagaimana tugas itu dilakukan secara
efektif, serta proses untuk memfasilitasi upaya individu dan kolektif untuk
mencapai tujuan bersama.
8. Terry dalam Trimo (1984:9) menjelaskan bahwa kepemimpinan adalah
aktivitas mempengaruhi orang lain untuk sukarela mau berjuang mencapai
tujuan-tujuan kelompok. Pengertian ini mengandung makna bahwa dalam
kepemimpinan terdapat dua aspek terpenting yaitu, (1) adanya usaha dari
pemimpin untuk mempengaruhi orang lain, (2) tujuan-tujuan kelompok yang
dicapai.
9. Pramudji (1986) yang menyatakan bahwa kepemimpinan adalah kemampuan
untuk menggerakkan dan mengarahkan orang-orang pada tujuan yang
dikehendaki oleh pemimpin. Artinya, pada tahapan tertentu, kepemimpinan
dapat dijadikan sebagai salah satu sarana dalam menggerakkan dan sebagai
salah satu fungsi dari manajemen. Dengan demikian, fungsi kepemimpinan
menyangkut seluruh aspek, yaitu berhubungan dengan proses pengambilan
keputusan dalam perencanaan, pengorganisasian, pemberian motivasi,
pengawasan, dan penilaian (Siagian, 1990:107).
10. Mulyasa (2003:99) mengartikan kepemimpinan sebagai kegiatan untuk
mempengaruhi orang yang diarahkan terhadap pencapaian tujuan organisasi.
Sedangkan Sutisna dalam buku Mulyasa (2003), merumuskan kepemimpinan

11
sebagai proses mempengaruhi kegiatan seseorang atau kelompok dalam
usaha kearah pencapaian tujuan dalam situasi tertentu. Dalam pada itu
Soepardi dalam buku Mulyasa (2003) mendefinisikan kepemimpinan untuk
menyelenggarakan, mempengaruhi, memotivasi, mengajak, mengarahkan,
memberi, membimbing, menyuruh, memerintah, melarang dan bahkan
menghukum serta membina dengan maksud agar manusia sebagai media
manajemen mau bekerja dalam rangka mencapai tujuan administrasi secara
efektif dan efisien.
11. Locke (1997) dalam Kurniadin & Machali (2014:290) melukiskan bahwa
kepemimpinan sebagai suatu proses membujuk (Inducing) orang-orang lain
menuju sasaran bersama. Definisi ini mencakup tiga hal. (1) kepemimpinan
merupakan suatu konsep relasi (relational concept). Kepemimpinan hanya ada
dalam proses relasi dengan orang lain (para pengikut). Apabila tidak ada
pengikut, tidak ada pemimpin. Tersirat dalam definisi ini adalah premis bahwa
para pemimpin yang efektif harus mengetahui bagaimana membangkitkan
inspirasi dan berrelasi dengan para pengikut mereka; (2) kepemimpinan
merupakan suatu proses. Agar bisa memimpin, pemimpin harus melakukan
sesuatu. Seperti telah diobservasi oleh John Gardner (1986-1988),
kepemimpinan lebih baik dari sekadar menduduki suara otoritas. Kendati
posisi otoritas yang diformalkan mungkin mendorong proses kepemimpinan,
namun sekadar menduduki posisi itu tidak menandai seseorang untuk
menjadi pemimpin; (3) kepemimpinan harus membujuk orang-orang lain
untuk mengambil tindakan. Pemimpin membujuk pengikutnya melalui
berbagai cara, seperti menggunakan otoritas yang terlegitimasi, menciptakan
model (menjadi teladan), penetapan sasaran, memberi imbalan dan hukum,
restrukturisasi organisasi, dan mengkomunikasikan visi.
12. Usman (2013:312), menyimpulkan bahwa pendapat tentang kepemimpinan
pada masing-masing definisi berbeda menurut sudut pandang penulisnya.
Meskipun demikian, ada kesamaan dalam mendefinisikan kepemimpinan,
yakni memandang makna memengaruhi orang lain untuk berbuat seperti yang

12
pemimpin dikehendaki. Jadi, kepemimpin adalah ilmu dan seni memengaruhi
orang atau kelompok untuk bertindak seperti yang diharapkan untuk
mencapai tujuan secara efektif dan efisien.

Masih menurut Usman (2013), bahwa disebut ilmu karena ada teorinya, yaitu
teori kepemimpinan. Disebut seni karena sama-sama mendapat ilmunya, tetapi
dalam penerapannya berbeda-beda tergantung kemampuan memimpin, komitmen
pengikut, dan situasinya. Dari hal ini dapat diketahui bahwa, kata kunci
kepemimpinan adalah memengaruhi. Unsur-unsur definisi kepemimpinan di atas
mengandung: (1) aada orang dan/atau kelompok yang dipengaruhi, (2) ada
tindakan yang diharapkan, (3) ada tujuan yang ingin dicapai, dan (4) ada cara
mencapainya yaitu efektif dan efisien.
Berdasarkan uraian tersebut maka dapat dipahami bahwa; pengertian
kepemimpinan (leadership) adalah kemampuan untuk menggerakkan,
memengaruhi, memotivasi, mengajak, mengarahkan, menasihati, membina,
membimbing, melatih, menyuruh, memerintah, melarang, dan bahkan menghukum
(kalau perlu) dengan maksud agar manusia sebagai bagian dari organisasi mau
bekerja dalam rangka mencapai tujuan dirinya sendiri maupun organisasi secara
efektif dan efisien. Pengertian ini menunjukkan bahwa dalam kepemimpinan
terdapat tiga unsur, yaitu: (1) pemimpin (leader), (2) anggota (followers), dan (3)
situasi (situation).
Dengan demikian, bila kita melihat berbagai rumusan-rumusan tersebut dapat
dikatakan juga bahwa; kepemimpinan pada hakikatnya adalah ilmu dan seni untuk
mempengaruhi dan mengarahkan orang/bawahan/pengikut/pendukung dengan
cara membangun kepatuhan, kesetiaan, kepercayaan, hormat dan bekerja sama
dengan penuh semangat dalam mencapai tujuan organisasi.
Menurut Rosidi (2014:1), menjelaskan arti kepemimpinan menurut sejarah,
masa “kepemimpinan” muncul pada abad 18. Ada beberapa pendapat para ahli
mengenai pengertian kepemimpinan, antara lain:

13
1. Kepemimpinan adalah pengaruh antar pribadi, dalam situasi tertentu dan
langsung melalui proses komunikasi untuk mencapai satu atau beberapa tujuan
tertentu (Tannebaum, Weschler and Nassarik, 1961, 24).
2. Kepemimpinan adalah sikap pribadi, yang memimpin pelaksanaan aktivitas untuk
mencapai tujuan yang diinginkan. (Shared Goal, Hemhiel & Coons,1957, 7).
3. Kepemimpinan adalah suatu proses yang mempengaruhi aktifitas kelompok yang
diatur untuk mencapai tujuan bersama (Rauch & Behling, 1984, 46).
4. Kepemimpinan adalah kemampuan seni atau tehnik untuk membuat sebuah
kelompok atau orang mengikuti dan menaati segala keinginannya.
5. Kepemimpinan adalah suatu proses yang memberi arti (penuh arti
kepemimpinan) pada kerjasama dan dihasilkan dengan kemauan untuk
memimpin dalam mencapai tujuan (Jacobs & Jacques, 1990, 281).

Banyak definisi kepemimpinan yang menggambarkan asumsi bahwa


kepemimpinan dihubungkan dengan proses mempengaruhi orang baik individu
maupun masyarakat. Dalam kasus ini, dengan sengaja mempengaruhi dari orang ke
orang lain dalam susunan aktivitasnya dan hubungan dalam kelompok atau
organisasi. Kepemimpinan adalah mempengaruhi atau mendapatkan pengikut (John
C. Maxwell, dalam Rosidi, 2014).

Menurut Rivai dan Mulyadi (2013:3), bahwa kepemimpinan pada hakikatnya


adalah :

1. Proses memengaruhi atau memberi contoh dari pemimpin kepada pengikutnya


dalam upaya mencapai tujuan organisasi;
2. Seni memengaruhi dan mengarahkan orang dengan cara kepatuhan,,
kepercayaan, kehormatan, dan kerjasama yang bersemangat dalam mencapai
tujuan bersama;
3. Kemampuan untuk memengaruhi, memberi inspirasi dan mengarahkan
tindakan seseorang atau kelompok untuk mencapai tujuan yang diharapkan;
4. Melibatkan tiga hal yaitu pemimpin, pengikut, dan situasi tertentu;

14
5. Kemampuan untuk memengaruhi suatu kelompok untuk mencapai tujuan.
Sumber pengaruh dapat secara formal atau tidak formal. Pengaruh formal ada
bila seorang pemimpin memiliki posisi manajerial di dalam sebuah organisasi.
Sedangkan sumber pengaruh tidak formal muncul di luar struktur organisasi
formal. Dengan demikian, seorang pemimpin dapat muncul dari dalam
organisasi atau karena ditunjuk secara formal. Dengan demikian, pengaruh
pemimpin sangat ditentukan oleh statusnya, yaitu sebagai pimpinan formal
atau pemimpin informal yang masing-masing dapat dibedakan dalam hal:
a. Pimpinan formal (lembaga eksekutif, legislative, dan yudikatif), artinya
seseorang yang ditunjuk sebagai pemimpin, atas dasar keputusan dan
pengangkatan resmi untuk memangku suatu jabatan dalam struktur
organisasi dengan segala hak dan kewajiban yang melekat berkaitan
dengan posisinya, seperti:
 Memiliki dasar legalitasnya diperoleh dari penunjukan pihak yang
berwenang, artinya memiliki legitimasi;
 Harus memenuhi beberapa persyaratan tertentu;
 Mendapat dukungan dari organisasi formal ataupun atasannya;
 Memperoleh balas jasa/kompensasi baik materiil atau immaterial
tertentu;
 Kemungkinan mendapat peluang untuk promosi, kenaikan
pangkat/jabatan, dapat dimutasikan, diberhentikan, dan lain-lain;
 Mendapat reward and punishment;
 Memiliki kekuasaan atau wewenang.
b. Pimpinan informal (tokoh masyarakat, pemuka agama, adat, LSM, guru,
bisnis, dan lain-lain), artinya seseorang yang ditunjuk memimpin secara
tidak formal, karena memiliki kualitas unggul, dia mencapai kedudukan
sebagai seorang yang mampu memengaruhi kondisi psikis dan perilaku
suatu kelompok/komunitas tertentu, seperti:
 Sebagian tidak/belum memiliki acuan formal atau legitimasi sebagian
pemimpin;

15
 Masa kepemimpinannya, sangat tergantung pada pengakuan dari
kelompok atau komunitasnya;
 Tidak di back up dari organisasi secara formal;
 Tidak mendapatkan imbalan/kompensasi;
 Tidak mendapat promosi, kenaikan pangkat, mutasi, dan tidak
memiliki atasan;
 Tidak reward and punishment.

Dengan demikian, konsep kepemimpinan erat sekali hubungannya dengan


kekuasaan pemimpin dalam memperoleh alat untuk memengaruhi perilaku para
pengikutnya. Terdapat beberapa sumber dan bentuk kekuasaan yaitu kekuasaan
paksaan, legitimasi, keahlian, penghargaan, referensi, informasi, dan hubungan.
Jadi, pada dasarnya kemampuan untuk memengaruhi orang atau suatu kelompok
untuk mencapai tujuan tersebut ada unsur kekuasaan. Kekuasaan tak lain adalah
kemampuan untuk memengaruhi orang lain untuk mau melakukan apa yang
diinginkan oleh pihak lainnya. Atas dasar itulah, sehingga dalam praktik
kepemimpinan berkaitan dengan memengaruhi tingkah laku dan perasaan orang
lain baik secara individual maupun kelompok dalam arahan tertentu, sehingga
melalui kepemimpinan merujuk pada proses untuk membantu mengarahkan dan
memobilisasi orang atau ide-idenya.
Kepala sekolah merupakan seorang pemimpin pendidikan tingkat satuan
pendidikan yang harus memiliki dasar kemampuan kepemimpian yang kuat,
memerintah dan mengarahkan bawahannya untuk mencapai tujuan individu,
kelompok, dan organisasi. Untuk lebih jelasnya, dapat menyimak ilustrasi berikut:

Ilustrasi:
Leader diibaratkan sebagai supir bus atau kereta api yang menentukan arah ke mana
bus/kereta hendak dibawa. Agar perjalanan bus/kereta selamat sampai pada tujuan. Seorang
supir harus memiliki pandangan jauh ke depan (visi). Di dalam suatu bus/ kereta, biasanya
supir dibantu oleh kernet. Kernet inilah yang disebut manajer. Jika supir (kepala sekolah)
berurusan ke atas atau ke pemilik bus maka kernet (wakil-wakil kepala sekolah) berurusan ke
bawah. Misal: mengisi bahan bakar minyak, membersihkan bus, menyediakan makanan kecil
dan menagih biaya perjalanan kepada penumpang. Penumpang-penumpang ini diibaratkan
sebagai anggota oragnisasi (guru/karyawan/pegawai), sedangkan bus diibaratkan sebagai
wadah organisasinya (sekolah; PT/SMA/SMP/MTs/SD/TK).

16
Dalam setiap organisasi dapat dipastikan minimal ada seorang yang
berperilaku aneh atau sebagai pembuat kesulitan (trouble maker) atau orang yang
sulit diatur karena setiap pemimpin tidak mungkin mampu memuaskan orang yang
dipimpinnya. Oleh sebab itu, sebagai calon pemimpin, bersiap-siaplah menghadapi
minimal seorang pembuat kesulitan, minimal seorang pesaing yang ambisi
menggantikan anda sebagai pemimpin. Jadi, setiap pemimpin minimal memiliki satu
musuh atau lawan untuk memperebutkan posisi sebagai pemimpin.
Kepemimpinan merupakan topik yang menarik untuk dikaji. Oleh karena itu,
sampai sekarang terus dipelajari, dipraktikkan, dan diteliti. Kepemimpinan tidak
dapat dilepaskan dari kekuasaan karena tanpa kekuasaan, pemimpin tidak memiliki
kekuatan yuridis atau kekuatan lain dalam memengaruhi orang lain agar bertindak
seperti yang ia diharapkan.
Kepemimpinan merupakan salah satu topik terpenting dalam mempelajari
dan mempraktikkan manajemen, menurut Gibson, et al.,(2009) menyebutkan fungsi
manajemen (POLC), yaitu: Planning, Organizing, Leading, and Controlling.
Alasannya, dengan melalui POLC para pemimpin dapat mengarahkan, perencanaan,
pengorganisasian, pelaksanaan, dan pengendalian dengan baik.

2.1.2. Kepemimpinan Organisasi

Kepemimpinan organisasi (organizational leadership) meliputi tindakan pada


dua bidang. Pertama adalah mengarahkan organisasi untuk menghadapi perubahan
yang terjadi secara terus-menerus. Hal ini membutukan pemimpin yang menerima
baik perubahan dan melakukannya dengan memperjelas tujuan strategis, yang
membangun organisasi dan membentuk budaya mereka agar sesuai dengan
peluang dan tantangan sehingga mampu menghadapi perubahan. Bidang kedua
adalah menyediakan keahlian untuk menghadapi dampak perubahan yang terus-
menerus kepada manajemen. Ini berarti mengidentifikasi dan menyediakan
organisasi dengan para manajer operasi yang siap menunjukkan kepemimpinan
operasional dan visi yang tidak pernah ada sebelumnya. Jadi, kepemimpinan

17
organisasi mengarahkan dan menuntun pada suatu visi sepanjang waktu serta
mengembangkan kepemimpinan masa depan dan budaya organisasi.
Seorang pemimpin yang mau menerima sebuah perubahan dalam lingkungan
organisasi, maka ia harus mencoba mentrasnformasikan budaya dan
mengembalikan suasana organisasi atau sekolah kepada kondisi yang
menguntungkan setelah melihat penurunan kualitas kinerja pegawai/karyawan.
Seorang pemimpin yang memahami bagaimana menggoyang sebuah organisasi
atau sekolah untuk kembali ke fondasinya. Selanjutnya, memperjelas apa yang ia
inginkan dari pengambilan keputusan yang merupakan inti atau sebagai prioritas
dalam mencapai visi organisasi. Untuk itu, dalam menghadapi perubahan yang
sangat dramatis, maka seorang pemimpin harus kreatif, untuk memajukan dan
mendorong sumber daya yang ada yang dapat menghasilkan output yang telah
ditetapkan. Jadi, para pemimpin yang baik, secara intens dan agresif berfokus pada
elemen-elemen kepemimpinan dan budaya organisasi yang dapat mengantarkan
tercapainya tujuan organisasi (Pearce II, 2013).
Kesadaran akan kualitas dalam organisasi bergantung pada banyak factor
yang saling berhubungan, terutama sikap pimpinan dalam organisasi, misalnya:
sikap kepala sekolah terhadap kualitas pendidikan. Pencapaian tingkat kualitas
bukan merupakan hasil pencapaian cara instan jangka pendek untuk meningkatkan
daya saing, melainkan melalui implementasi Total Qualiy Management (TQM) yang
mensyaratkan kepemimpinan kontinu.
Dalam konteks TQM, kepala sekolah perlu memiliki karakteristik pribadi yang
mencakup: dorongan, motivasi untuk memimpin, kejujuran integritas, kepercayaan
diri, inisiatif, kreativitas, orisinalitas, fleksibilitas, kemampuan kognitif, pengetahuan
bisnis, dan kharisma. Kualitas kepala sekolah tersebut dapat memberikan inspirasi
pada semua jajaran manajemen agar memperagakan kualitas kepemimpinan yang
sama, yang diperlukan untuk mengembangkan budaya TQM. Oleh sebab itu,
keterlibatan langsung kepala sekolah sangat penting. Menurut Goetsch & Davis
(1994) yang dikutip oleh Mulyasa (2013: 169) mempertegas komitmen ini dengan

18
pernyataan bahwa paling tidak sepertiga waktu kepala sekolah harus digunakan
untuk terlibat langsung dalam usaha-usaha implementasi TQM.
Dengan landasan karakteristik pribadi, kepala sekolah perlu menciptakan visi
untuk mengarahkan organisasi dan para karyawan. Dalam konteks TQM, penciptaan
visi yang jelas akan menumbuhkan komitmen karyawan terhadap kualitas,
memfokuskan semua upaya organisasi pada pemuasan kebutuhan pelanggan,
menumbuhkan sense of teamwork dalam kehidupan kerja, menumbuhkan standard
of excellence, dan menjembatani keadaan perusahaan sekarang dan masa
mendatang. Visi dirumuskan, diartikulasikan, dan dikomunikasikan ke seluruh
jajaran organisasi untuk mempromosikan perubahan inovasi, dan pengambilan
keputusan (Puffer & McCarthy, 1996) dalam Mulyasa (2012).
Kepala sekolah yang mengambil berbagai langkah untuk menerjemahkan visi
menjadi aksi (kegiatan-kegiatan spesifik) yang dapat dicapai dengan dukungan dan
bantuan tenaga kependidikan. Perolehan dukungan secara berkesinambungan
menuntut kepala sekolah untuk menerapkan kepemimpinan transformasional
(Handoko, 1996:54), dengan melalui (1) penyampaian inspirasi untuk
mengkomunikasikan harapan tinggi, memfokuskan upaya, dan mengekspresikan
tujuan dengan cara-cara sederhana; (2) stimulasi intelektual untuk mempromosikan
intelegensia, rasionalitas dan pemecahan masalah secara ilmiah, dan (3) pemberian
konsiderasi yang bersifat individual untuk memberikan perhatian personnal dan
memberdayakan karyawan.
Dengan kemampuan kepemimpinan trasnformasional yang dikembangkan
oleh kepala sekolah dalam organisasi pendidikan, selanjutnya disebarluaskan ke
seluruh tenaga kependidikan maka kualitas mutu pendididkan dan kinerja karyawan
akan meningkat. Karena hanya dengan melalui difusi ini, sekolah dapat
menanamkan nilai-nilai TQM yang meresap melewati batas-batas tradisional
dengan stakeholder eksternal sebagai bagian integral sekolah. Empat komponen
perilaku kepala sekolah yang dapat diterapkan dalam konteks TQM yaitu mencakup:
pertukaran informasi, pengembangan hubungan, pemberdayaan karyawan, dan
pengambilan keputusan (Sallis, 2012).

19
2.1.3. Manfaat Kepemimpinan

Teori kepemimpinan bermanfaat bagi setiap pemimpin dalam menjalankan


pernannya sebagai pemimpin pendidikan. Peranan sebagai pemimpin pendidikan
antara lain sebagai Personnal, Educator, Manager, Administrator, Supervisor, Social,
Leader, Entrepreneur, and Climator disingkat PEMASSLEC. Dalam Kemendikbud No.
162/U/2003 tentang Guru yang Diberi Tugas Tambahan sebagai Kepala Sekolah dan
Permendiknas No. 13 Tahun 2007 tentang Standar Kepala Sekolah/Madrasah,
dinyatakan:
1. Sebagai personnal; ia harus memiliki integritas kepribadian dan akhlak mulia,
pengembangan budaya, keteladanan, keinginan yang kuat dalam
pengembangan diri, keterbukaan dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsi,
kendali diri dalam menghadapi masalah dalam pekerjaan, bakat dan minat
jabatan sebagai pemimpin pendidikan.
2. Sebagai educator; ia berperan merencanakan, melaksanakan, menilai hasil
pembelajaran, membimbing dan melatih (meneliti dan mengabdi kepada
masyarakat khususnya bagi dosen).
3. Sebagai manager; ia melakukan perencanaan, pengorganisasian, pengarahan,
dan pengawasan.
4. Sebagai administrator; ia harus mampu mengelola katatusahaan sekolah/
madrasah dalam mendukung pencapaian tujuan sekolah /madrasah.
5. Sebagai supervisor; ia merencanakan supervisi, melaksanakan supervisi, dan
menindaklanjuti hasil supervisi untuk meningkatkan profesionalisme guru.
6. Sebagai seorang yang social; ia bekerja sama dengan pihak lain untuk
kepentingan sekolah/madrasah, berpartisipasi dalam kegiatan sosial
kemasyarakatan, dan memiliki kepekaan (empati) social terhadap orang dan
atau kelompok orang.
7. Sebagai leader; ia harus mampu memimpin sekolah/madrasah dalam rangka
pendayagunaan sumber daya sekolah/madrasah secara optimal.
8. Sebagai entrepreneur; ia harus kreatif (termasuk inovatif), bekerja keras, etos
kerja, ulet (pantang menyerah), dan naluri kewirausahaan.

20
9. Sebagai climator; ia harus mampu menciptakan iklim sekolah yang kondusif,
yaitu (PAKEM); pembelajaran aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan (Usman,
2013:306).

Dengan demikian, peranan kepala sekolah/madrasah adalah sebagai orang


yang memiliki kepribadian, manajerial, kewirausahaan, supervisi, dan sosial yang
biasa disingkat: “ KEMANA KAU SUSI”.

2.1.4. Pentingnya Kepemimpinan Kepala Sekolah

Berbagai perubahan masyarakat, dan krisis multidimensi yang telah lama


melanda Indonesia menyebabkan sulitnya menemukan sosok pemimpin ideal yang
memiliki komitmen tinggi terhadap tugas dan tanggung jawabnya. Dalam berbagai
bidang kehidupan banyak ditemui pemimpin-pemimpin yang karbitan dan kurang
layak untuk memimpin. Demikian juga, dalam dunia pendidikan, tidak sedikit
pemimpin yang amatiran yang tidak memiliki visi dan misi yang jelas tentang
lembaga pendidikan atau sekolah yang dipimpinnya. Kondisi seperti dapat
mengakibatkan semakin buruknya iklim dan budaya organisasi, bahkan akan
menimbulkan banyak konflik dalam organisasi tersebut. Oleh karenanya, perlu
adanya penanganan yang serius mengenai pemimpin-pemimpin yang karbitan atau
amatiran, karena kepemimpinan pendidikan merupakan hal yang sangat penting
dalam membangun sekolah yang efektif, efisien dan produktif.
Kepemimpinan pendidikan berkaitan dengan masalah kepala sekolah dalam
meningkatkan kesempatan untuk mengadakan pertemuan secara efektif dengan
para guru dalam situasi yang kondusif. Dalam hal ini, perilaku kepala sekolah harus
mendorong kinerja para guru dengan menunjukkan rasa sahabat, dekat, dan penuh
pertimbangan terhadap guru, baik sebagai individu maupun sebagai kelompok.
Perilaku instrumental kepala sekolah merupakan tugas-tugas yang diorientasikan
dan secara langsung diklarifikasikan dalam peranan dan tugas-tugas para guru,
sebagai individu dan sebai kelompok. Perilaku kepala sekolah yang positif dapat
mendorong, mengarahkan, dan memotivasi seluruh warga sekolah untuk bekerja
sama dalam mewujudakn visi, misi, dan tujuan sekolah (Mulyasa, 2011).

21
Kinerja kepemimpinan kepala sekolah merupakan upaya yang dilakukan dan
hasil yang dapat dicapai oleh kepala sekolah dalam mengimplementasikan
manajemen sekolah untuk tujuan pendidikan secara efektif dan efisien, produktif,
dan akuntabel. Oleh karena itu, kepala sekolah memiliki posisi yang sangat penting
dalam menggerakkan manajemen sekolah agar dapat berjalan sesuai dengan
tuntutan masyarakat dan perkembangan kebutuhan zaman, khususnya kemajuan
ilmu pengetahuan, teknologi, budaya, dan seni.
Menurut Mulyasa (2013:18) mengemukakan bahwa: pentingnya
kepemimpinan kepala sekolah ini perlu lebih ditekankan lagi, terutama dalam
kaitannya dengan kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi pendidikan. Dalam
desentralisasi pendidikan yang menekankan pada manajemen berbasis sekolah,
kepala sekolah memiliki otonomi yang lebih tinggi dalam memajukan dan
mengembangkan sekolahnya. Meskipun demikian, tidak sedikit kepala sekolah yang
kebingungan, karena tidak memahami visi dan misinya, apalagi jika pemerintah
daerah yang menjadi raja-raja kecil di daerah sering mengintervensi urusan sekolah.
Tidak sedikit Bupati dan walikota yang ikut campur memindah-mindahkan kepala
sekolah untuk kepentingan politiknya, dan ini tentu saja mengganggu kinerja kepala
sekolah, serta produktivitas sekolah secara keseluruhan. Hal ini terjadi karena
dalam otonomi daerah, nasib pendidikan di daerah kabupaten dan kota berada di
pundak bupati/walikota, DPRD, kepala dinas beserta jajarannya. Jadi, kalau mereka
tidak mengerti tentang pendidikan, apalagi tingkat kepeduliannya terhadap
pendidikan kurang bagus, maka komitmennya juga tidak akan menunjang dalam
mewujudkan pendidikan yang berkualitas.
Menyimak pendapat tersebut, maka seyogianya dalam penerapan otonomi
daerah dan desentralisasi pendidikan, diperlukan adanya pemimpin-pemimpin yang
mengerti, dan memahami pendidikan secara utuh dan menyeluruh, serta memiliki
kepedulian dan komitmen yang tinggi untuk mewujudkan pendidikan yang
berkualitas baik; di tingkat daerah, maupun di tingkat nasional. Dalam konteks
otonomi daerah dan desentralisasi pendidikan, para penjabat daerah harus paham
tentang pentingnya kepemimpinan kepala sekolah sebagai pemimpin pendidikan

22
tingkat sekolah yang memiliki peran penting dalam mewujudkan sekolah efektif,
dan pembelajaran yang berkualitas. Menurut Mulyasa (2013:19), bahwa
kepemimpinan kepala sekolah yang efektif antara lain dapat dianalisis berdasarkan
kriteria berikut:
1. Mampu memberdayakan pendidik dan tenaga kependidikan serta seluruh warga
sekolah lainnya utnuk mewujudkan proses pembelajaran yang berkualitas, lancar
dan produktif.
2. Dapat menyelesaikan tugas dan pekerjaan secara tepat waktu dan tepat sasaran.
3. Mampu menjalin hubungan yang harmonis dengan masyarakat sehingga dapat
melibatkan mereka secara aktif dalam rangka mewujudkan visi dan misi sekolah
serta tujuan pendidikan.
4. Mampu menerapkan prinsip kepemimpinan yang sesuai dengan tingkat
kedewasaan pendidik dan tenaga kependidikan lain disekolah.
5. Dapat bekerja secara kolaboratif dengan tim manajemen sekolah.
6. Dapat mewujudkan tujuan sekolah secara efektif, efisien, produktif, dan
akuntabel sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan.

2.1.5. IndiKator Kepemimpinan Kepala Sekolah Efektif

Kepemimpinan menjadi salah satu faktor penting dalam kehidupan manusia


akan tetapi organisasi mengalami kesulitan untuk mendapatkan pemimpin yang
efektif (Kotter, 1988). Situasi yang mendesak perlunya kehadiran pemimpin apabila;
(1) keadaan kacau (chaos) tidak menentu dan kelompok mampu mengatasi konflik
yang disebabkan oleh faktor internal dan eksternal organisasi, (2) anggota
organisasi secara perorangan ataupun kelompok belum mampu mengambil
keputusan penting untuk pencapaian tujuan organisasi, (3) perubahan lingkungan
organisasi yang cepat sehingga kelompok tidak mampu mengendalikan keadaan
terutama dalam menagkap pesan dari perubahan yang belum pernah terjadi
sebelumnya, (4) munculnya kompetitor baru yang dapat menggeser peran
kelompok (Fattah, 1996).

23
Kepala sekolah yang efektif sedikitnya harus mengetahui, menyadari, dan
memahami tiga hal: (1) mengapa pendidikan yang berkualitas diperlukan di sekolah;
(2) apa yang harus dilakukan untuk meningkatkan mutu dan produktivitas sekolah;
dan (3) bagaimana mengelola sekolah secara efektif untuk mencapai prestasi yang
tinggi. Kemampuan menjawab ketiga pertanyaan tersebut dapat dijadikan tolok
ukur sebagai standar kelayakan apakah seseorang dapat menjadi kepala sekolah
yang efektif atau baik (Mulyasa, 2013).
Indikator kepala sekolah efektif secara umum dapat diamati dari tiga hal
pokok sebagai berikut: pertama; komitmen terhadap visi sekolah dalam
menjalankan tugas dan fungsinya, kedua; menjadikan visi sekolah sebagai pedoman
dalam mengelola dan memimpin sekolah, dan ketiga; senantiasa memfokuskan
kegiatannya terhadap pembelajaran dan kinerja guru di kelas (Greenfield, 1987).
Hal ini sesuai dengan ungkapan oleh Heck, dkk (1991) bahwa prestasi akademik
dapat diprediksi berdasarkan pengetahuan terhadap perilaku kepemimpinan kepala
sekolah. Hal tersebut dapat dipahami karena proses kepemimpinan kepala sekolah
mempunyai pengaruh terhadap kinerja sekolah secara keseluruhan.
Proses kepemimpinan kepala sekolah berkaitan dengan gaya kepemimpinan
yang digunakan. Dari berbagai gaya kepemimpinan kepala sekolah, gaya
kepemimpinan situasional cenderung lebih fleksibel dalam kondisi operasional
sekolah. Gaya kepemimpinan stuasional berangkat dari anggapan bahwa tidak ada
gaya kepemimpinan sekolah yang terbaik, melainkan bergantung pada situasi dan
kondisi sekolah. Situasi dan kondisi tersebut antara lain meliputi tingkat
kematangan guru dan staf, yang dapat dilihat dari dua dimensi, yakni dimensi
kemampuan (kesadaran dan pemahaman) dan dimensi kemauan (tanggung jawab,
kepedulian, dan komitmen).
Pendekatan situasional (Contingency) inilah menjadi salah satu indikator
kepemimpinan kepala sekolah efektif. Selain pendekatan situasional, menurut
Mulyasa (2013:20) bahwa; ada beberapa indikator-indikator kepemimpinan kepala
sekolah yang efektif yaitu sebagai berikut:

24
1) Menerapkan pendekatan kepemimpinan partisipatif terutama dalam proses
pengambilan keputusan.
2) Memiliki gaya kepemimpinan yang demokratis, lugas, dan terbuka.
3) Menyiapkan waktu untuk berkomunikasi secara terbuka dengan para guru,
peserta didik, dan warga sekolah lainnya.
4) Menekankan kepada guru dan seluruh warga sekolah untuk menemukan
norma-norma pembelajaran dengan disiplin yang tinggi.
5) Memantau kemajuan belajar peserta didik melalui guru sesering mungkin
berdasarkan data prestasi belajar.
6) Menyelenggarakan pertemuan aktif, berkala dan berkesinambungan dengan
komite sekolah, guru, dan warga sekolah lainnya mengenai topik-topik yang
memerlukan perhatian.
7) Membimbing dan mengarahkan guru dalam memecahkan masalah-masalah
kerjanya, dan bersedia memberikan bantuan secara proporsional dan
professional.
8) Mengalokasikan dana yang diperlukan untuk menjamin pelaksanaan program
pembelajaran sesuai prioritas dan peruntukkannya.
9) Melakukan berbagai kunjungan kelas untuk mengamati kegiatan pembelajaran
langsung.
10) Memberikan dukungan kepada para guru untuk menegakkan disiplin peserta
didik.
11) Memperhatikan kebutuhan peserta didik, guru, staf, orang tua, dan masyarakat
sekitar sekolah.
12) Menunjukkan sikap dan perilaku teladan yang dapat menjadi panutan atau
model bagi guru, peserta didik, dan seluruh warga sekolah.
13) Memberikan kesempatan yang luas kepada seluruh warga sekolah dan
masyarakat untuk berkonsultasi dan berdiskusi mengenai permasalahan yang
dihadapi berkaitan dengan pendidikan dan pembelajaran di sekolah.
14) Mengarahkan perubahan dan inovasi dalam organisasi.
15) Membangun kelompok kerja aktif, kreatif, dan produktif.

25
16) Menjamin kebutuhan peserta didik, guru, staf, orangtua, dan masyarakat
sebagai pusat kebijakan.
17) Memiliki komitmen yang jelas terhadap penjaminan mutu lulusan.
18) Memberikan ruang pemberdayaan sekolah kepada seluruh warga sekolah.

Sejalan dengan uraian tersebut, menurut Martin & Milower (2001), serta
Willower & Kmetz (2007), berdasarkan hasil-hasil kajiannya pada berbagai sekolah
unggulan yang telah sukses mengembangkan program-programnya,
mengemukakan indikator kepala sekolah yang efektif yaitu:
a. Memiliki visi yang kuat tentang masa depan sekolahnya, dan mampu mendorong
semua warga sekolah untuk mewujudkannya.
b. Memiliki harapan tinggi terhadap prestasi peserta didik dan kinerja seluruh
warga sekolah.
c. Senantiasa memprogramkan dan menyempatkan diri untuk mengadakan
pengamatan terhadap berbagai aktivitas guru dan pembelajaran di kelas serta
memberikan umpan balik (feedback) yang positif dan konstruktif dalam rangka
memecahkan masalah dan memperbaiki pembelajaran.
d. Mendorong pemanfaatan waktu secara efisien dan merancang prosedur untuk
meminimalisasi stress dan konflik negatif.
e. Mendayagunakan berbagai sumber belajar dan melibatkan seluruh warga
sekolah secara kreatif, produktif, dan akuntabel.
f. Memantau kemajuan peserta didik baik secara individual maupun kelompok,
serta memanfaatkan informasi untuk mengarahkan perencanaan pembelajaran.
g. Melakukan evaluasi dan perbaikan secara berkesinambungan (Mulyasa, 2012).

Pada hakikatnya penjelasan mengenai indikator-indikator kepemimpinan


kepala sekolah yang efektif tersebut, merupakan tolok ukur dalam peningkatan
kinerja kepala sekolah bersama jajarannya dalam memahami dan mengetahui tugas
dan tanggung jawabnya sebagai pelaksana pendidikan di sekolah. Kepala sekolah
merupakan motor penggerak, penentu arah kebijakan sekolah, yang akan
menentukan bagaimana tujuan-tujuan sekolah dan pendidikan pada umumnya

26
direalisasikan. Sehubungan dengan itu, kepala sekolah dituntut untuk senantiasa
meningkatkan efektivitas kinerja. Dengan begitu maka paradigma baru pendidikan
dapat memberikan hasil yang memuaskan. Menurut hasil penelitian Tiong (1997)
dalam Usman (2013:323) mengungkapkan karakterisitik kepala sekolah yang efktif
yaitu:
(1) Kepala sekolah yang adil dan tegas dalam mengambil keputusan
(2) Kepala sekolah yang membagi tugas secara adil kepada guru
(3) Kepala sekolah yang menghargai partisipasi staf
(4) Kepala sekolah yang memahami perasaan guru
(5) Kepala sekolah yang memiliki visi dan berupaya melakukan perubahan
(6) Kepala sekolah yang terampil dan tertib
(7) Kepala sekolah yang berkemampuan dan efisien
(8) Kepala sekolah yang memiliki dedikasi dan rajin
(9) Kepala sekolah yang tulus
(10) Kepala sekolah yang percaya diri.

Menurut Wahyudi (2012:133) mengemukakan bahwa keefektifan pemimpin


tergantung pada bagaimana gaya kepemimpinan seseorang saling berkaitan dengan
keadaan atau situasi. Alasannya, bila gaya seorang pemimpin sesuai dengan situasi
tertentu, gaya itu efektif, namun apabila gaya kepemimpinan tidak sesuai dengan
situasi tertentu maka gaya itu tidak efektif. Perbedaan antara gaya yang efektif
dengan gaya yang tidak efektif seringkali bukan terletak pada perilaku pemimpin
yang sesungguhnya, akan tetapi terletak pada kesesuaian perilaku itu dengan
lingkungannya, dimana perilaku itu diterapkan.
Kepala sekolah selaku pemimpin pada lembaga pendidikan, khususnya di
lingkungan pendidikan dasar ataupun menengah, merupakan motivator, event
organizer, bahkan penentu arah kebijakan sekolah yang akan menentukan
bagaimana tujuan-tujuan pendidikan umumnya direalisasikan. Untuk mewujudkan
hal tersebut, seperti yang diungkapkan oleh Daryanto (2013:112) mengemukakan
bahwa: kepala sekolah yang efektif dalam manajemen berbasis sekolah adalah
kepala sekolah yang memenuhi kriteria sebagai berikut:

27
1. Mampu memberdayakan guru-guru untuk melaksanakan proses pembelajaran
dengan baik, lancar, dan produktif.
2. Dapat menyelesaikan tugas dan pekerjaan sesuai dengan waktu yang telah
ditetapkan.
3. Mampu menjalin hubungan yang harmonis dengan masyarakat, sehingga dapat
melibatkan mereka secara aktif dalam rangka mewujudkan tujuan sekolah dan
pendidikan.
4. Berhasil menerapkan prinsip kepemimpinan yang sesuai dengan tingkat
kedewasaan guru dan pegawai lain di sekolah.
5. Bekerja dengan tim manajemen.
6. Berhasil mewujudkan tujuan sekolah secara produktif sesuai dengan ketentuan
yang ditentukan.

Dengan memahami secara jelas kriteria-kriteria tersebut, dimana seorang


pemimpin yang mampu memadukan konsep kepemimpinan dan manajemen mutu
terpadu secara efektif, maka kualitas pendidikan akan terwujud secara optimal.
Apabila digambarkan dalam sebuah skema, untuk komitmen kualitas dalam
Manajemen Mutu Terpadu (Total Quality Management) dalam pendidikan dapat di
lihat pada gambar 1.1. Sebagai berikut:

28
Total Quality Management
(TQM)

KOMITMEN PADA KUALITAS PENDIDIKAN

PERBAIKAN KUALITAS
SECARA BERKELANJUTAN SUMBER-SUMBER KUALITAS

PERPADUAN FUNGSI-FUNGSI MANAJEMEN DAN KEPEMIMPINAN:


PERENCANAAN, PENGORGANISASIAN, PELAKSANAAN, PENGANGGARAN, KONTROL

PELAKSANAAN PEKERJAAN SECARA BERKUALITAS

OUTPUT AND OUTCOME:


PELAYANAN UMUM DAN PEMBANGUNAN FISIK/NON FISIK,
MEMUASKAN MASYARAKAT

Gambar 2.1. Komitmen Kualitas dalam Manajemen Mutu Terpadu


Sumber: Umiarso & Gojali (2011), di modifikasi (2014).

2.1.6. Teori dan Model Kepemimpinan

1. Teori Sifat

Teori yang berusaha untuk mengidentifikasikan karaktersitik khas (fisik,


mental, keperibadian) yang dikaitkan dengan keberhasilan kepemimpinan. Teori ini
menekankan pada atribut-atribut pribadi dari para pemimpin. Teori ini didasarkan
pada asumsi bahwa beberapa orang merupakan pemimpin alamiah dan dianugerahi
beberapa ciri yang tidak dipunyai orang lain seperti energi yang tiada habis-
habisnya, intuisi yang mendalam, pandangan masa depan yang luar biasa dan
kekuatan persuasif yang tidak tertahankan. Teori kepemimpinan ini menyatakan
bahwa keberhasilan manajerial disebabkan karena memiliki kemampuan-
kemampuan luar biasa dari seorang pemimpin, contohnya adalah:

29
a. Intelegensia
Menurut Stogdill (1992) yang dikutip oleh Rivai & Mulyadi (2013;7)
mengemukakan bahwa para pemimpin lebih pintar dari pengikut-pengikutnya.
Perbedaan intelegensia yang ekstrem antara pemimpin dan pengikut yang dapat
menimbulkan gangguan. Sebagai contoh; seorang pemimpin dengan IQ yang cukup
tinggi berusaha untuk memengaruhi suatu kelompok yang anggotanya memiliki IQ
rata-rata kemungkinan tidak akan mengerti mengapa anggota-anggotanya tidak
memahami persoalannya.

b. Kepribadian
Beberapa hasil penelitian menyiratkan bahwa sifat kepribadian seperti
kesiagaan, keaslian, integritas pribadi, dan percaya diri diasosiasikan dengan
kepemimpinan efektif. Karakteristik kepemimpinan efektif itu adalah: (1) Kepala
sekolah yang adil dan tegas dalam mengambil keputusan, (2) Kepala sekolah yang
membagi tugas secara adil kepada guru, (3) Kepala sekolah yang menghargai
partisipasi staf, (4) Kepala sekolah yang memahami perasaan guru, (5) Kepala
sekolah yang memiliki visi dan berupaya melakukan perubahan, (6) Kepala sekolah
yang terampil dan tertib, (7) Kepala sekolah yang berkemampuan dan efisien, (8)
Kepala sekolah yang memiliki dedikasi dan rajin, (9) Kepala sekolah yang tulus; dan
(10) Kepala sekolah yang percaya diri (Usman, 2013).

c. Karakteristik fisik
Studi mengenai antara kepemimpinan yang tidak efektif dan karakateristik
fisik seperti usia, tinggi badan, berat badan, dan penampilan memberikan hasil-hasil
yang tidak bertolak belakang. Pendekatan karakteristik ini akan dimungkinkan pada
sebuah kejujuran pada pemimpin, dimana kejujuran akan berhubungan dengan nilai
dan etika. Artinya, bahwa penampilan seorang pemimpin benar-benar
menunjukkan hal yang sebenarnya pada dirinya sehingga memiliki pendirian
tentang prinsip yang amat penting, dan kita menolak pemimpin yang tidak bisa
menunjukkan nilai-nilai, etika, dan standar penampilan mereka yang sebenarnya.

30
2. Teori Kepribadian Perilaku

Di akhir tahun 1940-an peneliti mulai mengeksplorasi pemikiran bahwa


bagaimana perilaku seseorang dapat menentukan keefektifan kemimpinan
seseorang. Dan mereka menentukan sifat-sifat, mereka meneliti pengaruhnya pada
prestasi dan kepuasaan dari pengikut-pengikutnya.

a. Studi dari Universty of Michigan


Telaah kepemimpinan yang dilakukan pada Pusat Riset University of Michigan,
yang kutip oleh Toha (1994:15) mengemukakan bahwa sasaran telaahan untuk
pendekatan kepemimpinan ini melokasikan karakteristik perilaku kepemimpinan
yang tampaknya dikaitkan dengan ukuran keefektifan kinerja. Melalui penelitian ini
mengidentifikasikan dua gaya kepemimpinan yang berbeda, disebut sebagai job-
centered yang berorientasi pada pekerjaan dan employee-centered yang
berorientasi pada karyawan, yakni sebagai berikut:
1) Pemimpin yang job-centered
Pemimpin yang berorientasi pada tugas yang menerapkan pengawasan ketat
sehingga bawahan melakukan tugasnya dengan menggunakan prosedur yang
telah ditentukan. Pemimpin ini mengandalkan kekuatan paksaan, imbalan,
dan hukuman untuk memengaruhi sifat-sifat dari prestasi pengikutnya.
Perhatian pada orang dilihat sebagai suatu hal mewah yang tidak dapat selalu
dipenuhi oleh pemimpin.
2) Pemimpin yang berpusat pada bawahan
Mendelegasikan pengambilan keputusan pada bawahan dan membantu
pengikutnya dalam memuaskan kebutuhannya dengan cara menciptakan
lingkungan kerja yang suportif. Pemimpin yang berpusat pada karyawan
memiliki perhatian terhadap kemajuan, pertumbuhan dan prestasi pribadi
pengikuutnya. Tindakan-tindakan ini diasumsikan dapat memajukan
pembentukan dan perkembangan kelompok.

31
b. Studi dari Ohio State University
Menurut Rivai & Mulyadi (2013:9) menjelaskan bahwa di antara beberapa
program besar penelitian kepemimpinan yang terbentuk setelah Perang Dunia II,
satu yang paling signifikan adalah penelitian yang dipimpin oleh Fleshman dan
rekan-rekannya di Ohio State University. Program ini menghasilkan perkembangan
teori dua faktor dari kepemimpinan. Suatu seri penelitian mengisolasikan dua factor
kepemimpinan, yaitu membentuk struktur, dan konsiderasi, yaitu:
(1) Membentuk struktur
Pembentukan stuktur organisasi dalam hal ini; dapat melibatkan perilaku
dimana pemimpin mengorganisasikan dan mendefinisikan hubungan-
hubungan di dalam kelompok, cenderung membangun pola dan saluran
komunikasi yang jelas, dan menjelaskan cara-cara mengerjakan tugas yang
benar. Pemimpin yang memiliki kecenderungan membentuk struktur yang
tinggi, akan berorientasi pada tujuan dan hasil.
(2) Konsiderasi
Dalam hal ini, melibatkan perilaku yang menunjukkan persahabatan, saling
percaya, menghargai, kehangatan, dan komunikasi antara pemimpin dan
pengikut-pengikutnya. Pemimpin yang memiliki konsiderasi tinggi
menekankan pentingnya komunikasi yang terbuka dan partisipasi.

3. Teori Kepemimpinan Situasional

Suatu pendekatan terhadap kepemimpinan yang menyatakan bahwa


pemimpin memahami perilakunya, sifat-sifat bawahannya, dan situasi sebelum
menggunakan suatu gaya kepemimpinan tertentu. Pendekatan ini mensyaratkan
pemimpin untuk memiliki keterampilan diagnostik dalam perilaku manusia.

4. Pendekatan Terbaru dalam Kepemimpinan

Menutup tinjauan mengenai teori kepemimpinan yaitu dengan menyajikan


tiga pendekatan lebih baru terhadap persoalan: suatu teori atribusi kepemimpinan,

32
kepemimpinan karismatik, dan kepemimpinan transaksional lawan
transformasional.
a. Teori Atribusi Kepemimpinan
Teori ini mengemukakan bahwa kepemimpinan semata-mata suatu atribusi
yang dibuat orang mengenai inndividu-individu lain.
b. Teori Kepemimpinan Karismatik
Teori kepemimpinan karismatik merupakan suatu perpanjangan dari teori-
teori atribusi. Teori ini mengemukakan bahwa para pengikut membuat
atribusi (penghubungan) dari kemampuan kepemimpinan yang heroic atau
luar biasa bila mereka mengamati perilaku-perilaku tertentu. Telaah
mengenai kepemimpinan karismatik sebagian besar telah diarhkan pada
mengidnetifikasikan perilaku-perilaku yang membedakan pemimpin
karismatik daripadanan mereka non karismatik.
c. Kepemimpinan Transaksional Lawan Transformasional.
1) Pemimpin transaksional, pemimpin yang memandu atau memotivasi
pengikut mereka dalam arah tujuan yang ditegakkan dengan memperjelas
peran dan tuntutan tugas.
2) Pemimpin transformasional, pemimpin yang memberikan Pertimbangan
dan rangsangan intelektual yang diindividualkan, dan yang memiliki
kharisma.

2.2 Organisasi Pendidikan


.

2.2.1. Pengertian Organisasi Pendidikan

Istilah organisasi secara etimologi berasal dari bahasa Latin organum yang
berarti alat. Sedangkan, organize (bahasa inggris) berarti mengorganisasikan yang
menunjukkan tindakan atau usaha untuk mencapai sesuatu. Organizing
(pengorganisasiaan) menunjukkan sebuah proses untuk mencapai sesuatu.
Organisasi sebagai salah satu fungsi manajemen sesungguhnya telah banyak
didefinisikan oleh para ahli. Gibson et al (1995) yang dikutip oleh Kurniadin &

33
Machali (2014:239), mengartikan organisasi sebagai wadah yang memungkinkan
masyarakat dapat meraih hasil yang sebelumnya tidak dapat dicapai oleh individu
secara sendiri-sendiri.
Menurut Robbin (1994:4), mendefinisikan organisasi sebagai kesatuan (entity)
sosial yang dikoordinasikan secara sadar dengan sebuah batasan yang relatif dapat
diidentifikasi, yang bekerja atas dasar yang relatif terus-menerus untuk mencapai
tujuan bersama atau sekelompok tujuan. Siagian (1992:54) mengemukakan bahwa
organisasi adalah: setiap bentuk persekutuan antara dua orang atau lebih yang
bekerja sama serta secara formal terikat dalam rangka pencapaian suatu tujuan
yang telah ditentukan dalam ikatan mana terdapat seorang/beberapa orang yang
disebut atasan dan seorang/sekelompok orang disebut “bawahan”. Organisasi
adalah struktur tata pembagian tugas kerja dan struktur tata hubungan kerja antara
sekelompok orang-orang pemegang posisi yang bekerja sama secara tertentu untuk
bersama-sama mencapai tujuan tertentu (Pramudji, 1995).
Bila kita menyimak beberapa pendapat-pendapat tersebut, maka dapat
dipahami bahwa: ada beberapa penekanan yang harus digarisbawahi, diantaranya
definisi menurut Robbin tersebut, menekankan adanya suatu sistem sosial yang
perlu dikoordinasikan dalam arti perlunya manajemen. Batasan organisasi yang
diungkapkan tersebut akan berubah-ubah sebagaimana tuntutan lingkungan
budaya organisasi yang terus-menerus melakukan penyesuaian terhadap
lingkungan, sehingga sifatnya sangat “relatif”. Sedangkan menurut Siagian &
Pramudji memberikan pandangan bahwa organisasi sangat rasional untuk dikelola
secara bersama agar mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Dengan demikian
kedua pandangan tersebut, organisasi merupakan sebuah sistem yang secara
rasional /logika bahwa organisasi merupakan instrument formal yang dibuat untuk
mecapai tujuan organisasi dan struktur yang sangat jelas dan memiliki aspek yang
paling utama.
Berdasarkan ulasan, pengertian dan pandangan tersebut, maka dapat ditarik
sebuah hipotesis bahwa: organisasi merupakan sebuah wadah, tempat atau system
untuk melakukan kegiatan secara bersama untuk mencapai tujuan yang diinginkan.

34
Sedangkan pengorganisasian (organizing) merupakan proses pembentukan
wadah/system dan penyusunan anggota dalam bentuk struktur organisasi untuk
mencapai tujuan organisasi.
Dalam usaha memenuhi kebutuhan hidupnya manusia memerlukan manusia
lain. Usaha untuk mempermudah pemenuhan kebutuhan tersebut dengan
membentuk hubungan kerja sama dan selanjutnya membentuk kelompok-
kelompok. Tujuan dari usaha manusia akan lebih mudah diperoleh dengan cara
bersama-sama daripada dengan sendiri saja. Organisasi adalah wadah yang
memungkinkan masyarakat dapat meraih hasil yang sebelumnya tidak dapat dicapai
oleh individu secara sendiri-sendiri. Organisasi merupakan suatu unit terkoordinasi
yang terdiri setidaknya dua orang, berfungsi mencapai satu sasaran tertentu atau
serangkaian sasaran (Rivai & Mulyadi, 2013).
Dalam organisasi perlu adanya manusia, karena manusia adalah pendukung
utama setiap organisasi apa pun bentuk dari organisasi tersebut. Perilaku manusia
yang berada dalam suatu kelompok atau organisasi adalah awal dari perilaku
organisasi. Oleh karena itu, setiap manusia mempunyai perbedaan persepsi,
kepribadian dan pengalaman hidupnya. Pada dasarnya individu secara sendiri akan
sulit untuk mewujudkan tujuannya dibandingkan dengan apabila secara
berkelompok, dari kebutuhan untuk lebih memudahkan pencapaian tujuan ini
muncul suatu bentuk kerjasama dari individu-individu untuk membentuk kelompok
dan kemudian membentuk organisasi. Jika dikaitkan dengan pendidikan (organisasi
pendidikan), organisasi adalah tempat untuk melakukan aktivitas pendidikan untuk
mencapai tujuan pendidikan yang diinginkan. Sedangkan, pengorganisasian
pendidikan adalah sebuah proses pembentukan tempat atau sistem dalam rangka
melakukan kegiatan kependidikan untuk mencapai tujuan pendidikan yang
diinginkan.
Menurut Hermawan & Triatna (2012:70) mengembangkan sebuah definisi
organisasi yaitu: suatu sistem interaksi antar orang yang ditujukkan untuk mencapai
tujuan organisasi, di mana system tersebut memberikan arahan perilaku bagi
anggota organisasi. Yang penekanannya adalah sebuah keharusan pada sebuah

35
organisasi didasarkan pada interaksi sosial diantara anggotannya dan anggota
dengan lingkungannya supaya tujuan organisasi dapat dicapai secara efektif dan
efisien.
Selanjutnya, masih menurut Hermawan & Triatna (2012), bahwa dalam
penyelenggaraan pendidikan merupakan investasi dalam pembangunan sumber
daya manusia (SDM) yang diupayakan dan dilakukan dalam konteks organisasi;
apakah keluarga, masyarakat, sekolah, atau jenis organisasi lainnya. Pendidikan
memiliki tujuan yang harus dicapai yang disebut dengan tujuan pendidikan. Pada
level Negara, tujuan ini disebut tujuan pendidikan nasional, pada level provinsi
disebut tujuan pendidikan provinsi, pada level kabupaten/kota dikenal dengan
tujuan pendidikan kabupaten/kota, dan pada sekolah dikenal dengan tujuan
pendidikan di sekolah. Pencapaian tujuan ini akan lebih efektif dan efisien jika
dilakukan dengan menggunakan pendekatan organisasi. Dalam perkembangan
zaman saat ini, dimana para orang tua disibukkan dengan berbagai pekerjaan,
proses pendidikan bagi anak-anak lebih banyak dipercayakan pada organisasi
pendidikan formal (sekola/madrasah).
Dengan demikian, keberadan organisasi pendidikan tersebut ditujukkan untuk
mecapai tujuan pendidikan secara efektif dan efisien. Tujuan pendidikan dan tujuan
sekolah sebagai organisasi pendidikan formal tidaklah terpisah. Pendidikan
ditujukkan bagi orang-orang yang mengikuti proses pendidikan. Dan proses
pendidikan ini berada dalam organisasi. Sehingga keberlangsungan proses
pendidikan ini menjadi dasar bagi pencapaian tujuan sekolah (sebagai sebuah
organisasi).
Menurut Kurniadin & Machali (2014:241) menjelaskan bahwa: ada empat
unsur yang mendasari keberadaan (dibentuk) organisasi yaitu:
1. Adanya tujuan bersama: Organisasi mensyaratkan sesuatu yang akan diinginkan,
biasanya terumuskan dalam visi, misi, target, dan tujuan. Tujuan inilah yang
menyatukan berbagai unsur dalam organisasi.
2. Adanya kerjasama dua orang atau lebih. Organisasi terbentuk karena adanya
kerjasama untuk mencapai tujuan yang diinginkan bersama.

36
3. Adanya pembagian tugas. Untuk efektivitas, efisiensi, dan produktivitas
organisasi dibutuhkan pembagian tugas.
4. Adanya kehendak untuk bekerja sama. anggota organisasi mempunyai
kemauan/kehendak untuk bekerja sama untuk mencapai tujuan bersama.

Aspek-aspek dalam organisasi adalah komponen-komponen yang harus ada


dalam suatu organisasi. Keberadaan komponen ini sebagai pilar dari suatu
organisasi, artinya jika salah satu komponen organisasi tidak berfungsi, maka
organisasi akan berjalan pincang atau sama sekali tidak berjalan. Dalam pandangan
system organisasi mengalami entrophy, yaitu kondisi dimana organisasi
dikategorikan hancur (dalam tanaman digambarkan sebagai kondisi yang layu).
Menurut O’Connor, T (2008) yang dikutip oleh Tim Dosen UPI (2012:71),
mengungkapkan bahwa organisasi setidaknya harus memiliki empat komponen
utama, yaitu: missin (misi), goals (tujuan-tujuan), objectives (sasaran-sasaran), dan
behavior (perilaku). Keempat komponen ini dapat dilihat pada gambar 1.2. sebagai
berikut:

MISSION

GOALS

OBJECTIVES

BEHAVIOR

Gambar 2.2. Komponen utama dalam organisasi


Sumber: Tim Dosen UPI (2012:71)

Dengan memperhatikan gambar tersebut, maka dapat dinyatakan bahwa:


1. Mission adalah alasan utama keberadaan suatu organisasi.
2. Goals adalah tujuan-tujuan umum atau divisi-divisi fungsional organisasi
yang dihubungkan stakeholder organisasi.

37
3. Objectives adalah hasil/sasaran yang spesifik, terukur dan terkait dengan
tujuan. Misalnya: peningkatan nilai ujian nasional (UN) 0,5 dalam satu
tahun ke depan. Sasaran ini biasanya mencantumkan batasan waktu dan
siapa yang bertanggungjawab terhadap sasaran tersebut.
4. Behavior adalah mengacu pada produktivitas dari tugas-tugas rutin
pegawai. Pertanggungjawaban perilaku dalam pencapaian tujuan
merupakan fungsi personalia. Dalam kebanyakan desain organisasi formal,
komunikasi berada diantara perilaku dan tujuan.

Keberadaan suatu organisasi tidak lepas dari empat komponen tersebut. Jika
suatu organisasi tidak memiliki sasaran yang harus dicapai oleh setiap orang dalam
organisasi, maka mereka akan kebingungan mengenai apa dan bagaimana perilaku
yang harus dimunculkan oleh pegawai. Jika suatu organisasi tidak memiliki misi yang
harus dilakukan, maka orang-orang dalam organisasi akan kebingungan mengenai
tujuan apa yang harus dicapai oleh organisasi. Hal ini menunjukkan bahwa empat
komponen organisasi tersebut saling terkait satu saama lain, sehingga tidak akan
berfungsi suatu organisasi jika salah satu komponennya hilang.

2.2.2. Tujuan dan Manfaat Organisasi Pendidikan

Pendidikan sebagai sebuah organisasi harus dikelola sedemikian rupa agar


aktivitas pelaksanaan program pendidikan dapat berjalan secara efektif, efisien, dan
produktif untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Dengan demikian, di antara
tujuan dan manfaat organisasi pendidikan adalah sebagai berikut:
1. Mengatasi keterbatasan kemampuan, kemauan, dan sumber daya yang dimiliki
dalam mencapai tujuan pendidikan.
2. Terciptanya efektivitas dan efisiensi organisasi dalam rangka mencapai tujuan
pendidikan.
3. Dapat menjadi wadah pengembangan potensi dan spesialisasi yang dimiliki.
4. Menjadi tempat pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
5. Menjaga agar terhubung secara dekat dengan apa yang menjadi tujuan sekolah
dan tujuan organisasi di atasnya (Diknas).

38
6. Mendapatkan komitmen individu atas suatu visi bersama dari para pemimpin
persekolahan dan di seluruh lapisan organisasi.
7. Membuka dan menyelesaikan masalah-masalah dalam koordinasi dan
komunikasi dalam organisasi dan melewayi batas-batas, baik di dalam warga
sekolah maupun di luar organisasi (sekolah).
8. Sebagai tempat pendidikan dan pengembangan kepemimpinan (leardership
development), semua komponen warga sekolah, dan terutama kepala sekolah,
guru dan pegawai/kkaryawan (Pearce II, 2013: 373).

2.2.3. Jenis-Jenis Organisasi


Perkembangan kajian organisasi diawali dari kajian organisasi sebagai
organisasi formal, yaitu organisasi yang didesain untuk mencapai tujuan bersama.
Perkembangan ini terus berlangsung dan berbagai studi keorganisasiaan terus
dilakukan. Perkembangan inilah pada akhirnya memunculkan organisasi informal
sebagai implikasi dari adanya organisasi formal.

1. Organisasi Formal
Organisasi formal adalah organisasi yang dicirikan oleh struktur organisasi.
Struktur organisasi (organizational structure) merupakan sebuah acuan pada
pengaturan formal dari interaksi antara dan tanggung jawab dan tugas, orang,
dan sumber daya dalam suatu organisasi. Struktur organisasi sering kita lihat
sebagai suatu bagan, yang berbentuk suatu piramida, dengan posisi atau gelar
dan peran yang diturunkan dari atas ke bawah (Pearce II, 2013:333). Keberadaan
struktur organisasi menjadi pembeda utama antara organisasi formal dan
informal. Struktur organisasi formal dimaksudkan untuk menyediakan penugasan
kewajiban dan tanggung jawab kepada personel dan membangun hubungan
tertentu diantara orang-orang pada berbagai kedudukan (Tim Dosen UPI, Jurusan
Adpen, 2008).

39
Menurut Oteng (1993:207) menjelaskan bahwa lembaga pendidikan
(SD/MI/SMP/MTs, dan SMU/SMK/MA) merupakan contoh organisasi formal.
Dengan memiliki struktur organisasi formal memperlihatkan unsur-unsur
administratif sebagai berikut:
1) Kedudukan; Struktur menggambarkan letak/posisi setiap orang dalam
organisasi tanpa kecuali. Kedudukan seseorang dalam struktur organisasi
mencerminkan sejumlah kewajiban sebagai bagian dari upaya pencapaian
tujuan dan hak-hak yang dimiliki secara formal dalam posisi yang didudukinya.
Sebagai contoh, kepala sekolah adalah salatu contoh kedudukan dalam struktur
organisasi sekolah. Kedudukan sebagai kepala sekolah ini mencerminkan
adanya sejumlah kewajiban yang harus dilakukan pemangku jabatan sebagai
pimpinan dan manajer sekolah, juga memperlihatkan adanya hak-hak yang
diterima secara formal manakala seseorang menjabat sebagai kepala sekolah.
2) Hierarki kekuasaan; Struktur digambarkan sebagai rangkaian hubungan antara
satu orang dengan orang lainnya dalam suatu organisasi. Rangkaian hubungan
ini mencerminkan suatu hierarki kekuasaan yang interen dalam setiap
kedudukan. Tanggungjawab merupakan istilah yang melekat dalam setiap
kedudukan dan hierarki kekuasaan di dalam organisasi. Adanya hierarki
kekuasaan menunjukkan bahwa pencapaian tujuan organisasi dibagi kepada
komponen organisasi dan diimplementasikan secara sinergi melalui hierarki
kekuasaan masing-masing yang dikoordinasikan dan dipimpin oleh manajer
puncak. Dalam organisasi persekolahan, hierarki kekuasaan tertinggi adalah
kepala sekolah.
3) Kedudukan garis dan staf; Organisasi garis menegaskan struktur pengambilan
keputusan, jalan permohonan dan saluran komunikasi resmi untuk melaporkan
informasi dan mengeluarkan instruksi, perintah, dan petunjuk pelaksanaan.
Kedudukan garis adalah kedudukan yang diserahi kekuasaan administrasi
umum dalam arus langsung dari tempat paling atas ke tempat paling bawah.
Kedudukan staf mewakili keahlian-keahlian khusus yang diperlukan bagi
berfungsinya kedudukan garis tertentu dengan pasti (Oteng, 1993:208).

Berikut adalah contoh-contoh struktur organisasi formal di sekolah;


SD/SMP/MTs Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota, yaitu sebagai berikut:

40
KEPALA SEKOLAH KOMITE SEKOLAH

PERPUSTAKAAN TATA USAHA

GURU IPS GURU BAHASA GURU IPA GURU PAI


INDONESIA

GURU KELAS I GURU KELAS II GURU KELAS III GURU KELAS IV

GURU KELAS V GURU KELAS VI GURU PENJASKES GURU BAHASA


INGGRIS

PENJAGA SEKOLAH SISWA KEBERSIHAN SEKOLAH

Gambar 2.3. Contoh Struktur Organisasi SD/MI

DIKNAS/KEMENAG

KOMITE SEKOLAH KEPALA SEKOLAH PENGAWAS

PERPUSTAKAAN BENDAHARA

Wakamad Wakamad
Kesiswaan Kurikulum

Wakamad Sarana Wakamad Humas


dan Prasarana

Koordinator BP/BK TATA USAHA

Guru STAF TU/ADM PENJAGA SEKOLAH

SISWA

Gambar 2.4. Contoh Struktur Organisasi SMP/MTs

41
KEPALA DINAS

KELOMPOK BAGIAN BAGIAN TATA USAHA


FUNGSIONAL

SUB BARANG SUB BARANG


PERLENGKAPAN UMUM

BIDANG DIKDRES BIDANG DIKMEN BID. FUNGDIK BIDANG PLS

SEKSI.. SEKSI.. SEKSI.. SEKSI.. SEKSI.. SEKSI.. SEKSI.. SEKSI..


.

UPTD… UPTD… UPTD…

Gambar 2.5. Contoh Struktur Organisasi Dinas Pendidikan Kab/Kota


Sumber: (Gambar: 2.3; 2.4, dan 2.5.: Tim Dosen UPI (2012) dimodifikasi (2014).
(Catatan: Spektrum Struktur Kelembagaan Penyelenggaraan Pendidikan pada masing-
masing jenis dan jenjang dapat dirumuskan sesuai dengan peraturan kelembagaan).

2. Organisasi Informal
Interaksi antara orang dalam organisasi formal pasti akan menghasilkan
sebuah perkembangan hubungan yang tidak saja hubungan structural, terlebih pada
organisasi persekolahan, dimana kekeluargaan menjadi salah satu landasan
perilakunya. Perkembangan interaksi orang dalam organisasi ini akan meningkat
secara kuat sentiment-sentimen dan komitmen setiap orang, sehingga muncul
empati dan simpati satu sama lain. Hubungan inilah yang terus tumbuh selama
organisasi formal itu, ada yang dinamakan organisasi informal. Hubungan interaksi
ini tidak berstruktur sebagaimana struktur organisasi formal.
Namun demikian, kenyataan dilapangan kita sangat sulit untuk
mendefinisikan organisasi informal, akan tetapi keberadaan dan karakteristiknya
sangat akrab di tengah-tengah masyarakat kita. Karakteristik organisasi informal ini
adalah adanya norma perilaku, tekanan, untuk menyesuaikan diri, dan adanya
kepemimpinan informal (Oteng, 1993:221).

42
Norma perilaku adalah standar perilaku yang diharapkan menjadi perilaku
bersama yang diterapkan oleh kelompok dalam sebuah kesepakatan sosial sehingga
sanksinya pun berupa sanksi sosial. Norma perilaku dalam orgganisasi informal tidak
tertulis sebagaimana organisasi formal, tetapi menjadi kesepakatan bersama di
antara orang-orang atau anggota kelompok/organisasi.
Tekanan untuk menyesuaikan diri akan timbul dan muncul apabila seseorang
akan bergabung dengan suatu kelompok informal. Tergabungnya seseorang dalam
kelompok informal bukan semata-mata fisik, melainkan melibatkan sosio-
emosionalnya sehingga menjadi satu kesatuan dan saling memiliki di antara
anggota, atau biasa yang disebut sebagai beban moralitas di antara sesame anggota
dalam membangun organisasi.
Kepemimpinan informal dalam organisasi informal menjadi salah satu
komponen yang sangat kuat memengaruhi orang-orang di dalam organisasi, bahkan
dimungkinkan melebihi kepemimpinan dalam organisasi formal. Pemimpin informal
muncul dari kelompok dan membimbing serta mengarahkan melalui persuasi dan
pengaruh. Kepemimpinan semacam ini dapat dilihat dalam kepemimpinan adat,
suku tertentu, kelompok, agama, dan lain-lain.

2.2.4. Budaya Organisasi


1. Pengertian Budaya Organisasi
Budaya organisasi (organizational culture) telah banyak didefinisikan oleh
para pakar manajemen/organisasi. Berikut ini adalah beberapa definisi tentang
budaya organisasi, yaitu:
a. Davis (1984), yang dikutip oleh Kurniadin & Machali (2014:246), menyatakan
bahwa budaya organisasi adalah sebuah pola keyakinan dan nilai-nilai
organisasi yang dipahami, dijiwai, dan dipraktikkan organisasi sehingga pola
tersebut memberikan arti tersendiri dan memiliki dasar aturan berperilaku
dalam organisasi.
b. Pearce II (2013:382), mengemukakan bahwa: budaya organisasi (organizational
culture) adalah sekelompok asumsi penting (yang sering kali tidak dinyatakan
jelas) yang dipegang bersama oleh anggota-anggota suatu organisasi. Setiap

43
organisasi memiliki budayanya sendiri. Budaya suatu oorganisasi mirip dengan
kepribadian seseorang yakni sebuah nama yang tak terwujud, namun ada dan
hadir, menyertakan arti, arahan serta dasar atas tindakan. Dalam cara yang
sama seperti kepribadian memengaruhi perilaku seseorang, asumsi yang
dimiliki bersama (keyakinan dan nilai) oleh anggota-anggota suatu perusahaan
memengaruhi pendapat dan tindakan dalam perusahaan itu, atau organisasi
persekolahan.
c. Kurniadin & Machali (2014:246) menjelaskan bahwa budaya organisasi
merupakan pola nilai-nilai, kepercayaan, asumsi-asumsi, sikap-sikap, dan
kebiasaan-kebiasaan seseorang atau kelompok manusia yang memengaruhi
perilaku kerja dan cara bekerja dalam organisasi.
d. Amstrong (1973), mengemukakan bahwa budaya organisasi adalah pola sikap,
keyakinan, asumsi, dan harapan yang dimiliki bersama, yang mungkin tidak
dicatat, tetapi membentuk cara bagaimana orang-orang bertindak dan
berinteraksi dalam organisasi dan mendukung bagaimana hal-hal dilakukan.

Berdasarkan beberapa penngertian tersebut, menunjukkan bahwa budaya


organisasi dapat diyakini dan memiliki pengaruh terhadap kehidupan. Seorang
anggota organisasi dapat dengan mudah mengetahui keyakinan dan nilai dari
organisasi tanpa berbagi secara pribadi. Keyakinan dan nilai tersebut memiliki lebih
banyak arti pribadi jika anggota itu memandang keyakinan dan nilai sebagai suatu
panduan atas perilaku yang pantas dalam organisasi dan, karena hal ini, dipatuhi.
Secara fundamental anggota akan berkomitmen terhadap keyakinan dan nilai
ketika ia menyerap dua hal dalam dirinya: yaitu; hingga memegang erat keyakinan
dan nilai pribadi. Dalam hal ini, perilaku yang timbul akan menjadi penghargaan
instrisik bagi anggota-anggota itu untuk mendapatkan kepuasan pribadi dari
tindakan-tindakannya dalam organisasi karena tindakan-tindakan tersebut sesuai
dengan kepercayaan dan nilai pribadi yang dimiliki.
Budaya dapat diyakini mempunyai pengaruh terhadap kehidupan organisasi.
Budaya dapat dipikirkan sebagai persepsi yang tidak terwujudkan yang secara
umum hal tersebut diterima oleh suatu kelompok tertentu. Konsep budaya

44
organisasi ini adalah sebuah persepsi bahwa sadar bagi para anggota organisasi.
Persepsi ini meliputi kata, tindakan, rasa, keyakinan, dan nilai-nilai yang dapat
berpengaruh terhadap kinerja organisasi.
Dengan berdasarkan uraian dan pendapat tersebut, maka persepsi penulis
memberikan gambaran pada kita bahwa budaya organisasi merupakan berbagai
asumsi, yang menjadi asumsi bersama melalui penyerapan di antara anggota-
anggota individu dari suatu organisasi, dimana berdasar pada sebuah kepercayaan
dan nilai yang dibagi bersama dan diserap, dalam hal melakukan tindakan, dan
untuk membentuk substansi serta menjadi kekuatan dari dalam dan dari luar suatu
budaya organisasi.

2. Fungsi Budaya Organisasi


Menurut Noe dan Mondy (1996) yang dikutip oleh Kurniadin & Machali
(2014:247), bahwa budaya organisasi mempunyai beberapa fungsi di antaranya
adalah: (1) memberikan identitas organisasi kepada anggotanya, (2) memudahkan
berkomunikasi dan membangun komitmen kolektif, (3) mempromosikan stabilitas
system social, dan (4) membentuk perilaku dengan membantu manajer merasakan
keberadaannya. Keempat fungsi tersebut dapat digambarkan pada skema berikut
ini:

Identitas
Organisasi

Komunikasi & Budaya Membentuk


Komitmen Kolektif Organisasi Perilaku (pribadi)

Stabilitas
Sistem

Gambar: 2.6. Fungsi Budaya Organisasi


Sumber: Kurniadin & Machali (2014), dimodifikasi (2014)

45
3. Peran Pemimpin dalam Budaya Organisasi
Peran para pemimpin/manajer dalam membentuk budaya organisasi sangat
penting. Karena peran seorang pemimpin dalam membangun budaya organisasi
diharapkan dapat mendorong kreativitas, dan mitovasi karyawan pada organisasi
yang dipimpinnya. Pemimpin dan budaya organisasi saling terkait satu sama lain.
Pemimpin adalah pembawa standar, sang personifikasi, perwujudan tanpa henti
dari budaya dari apa yang sebenarnya. Dengan demikian, beberapa aspek dari apa
yang seorang pemimpin lakukan atau harus menunjukkan pengaruh pada budaya
organisasi, baik akan memperkuatnya maupun untuk menunjukkan standar dan
sifat dari menjadi apa yang seharusnya. Bagaimana seorang pemimpin dapat
berperilaku dan menekankan aspek-aspek tersebut. Untuk menjadi seorang
pemimpin merupakan apa yang harus dilihat dari seluruh bagian organisasi sebagai
“hal yang sangat penting atau prinsip untuk dilakukan dan dinilai”.
Disamping itu, seorang pemimpin dalam organisasi berperan untuk dapat
menemukan kekuatan dari budaya organisasi jauh lebih kuat daripada kemampuan
mereka untuk mengubahnya. Dengan kesadaran akan kebudayaan, peran seorang
pemimpin merupakan indikator dalam keberhasilan yang kuat dalam memimpin
organisasi, namun hal ini banyak dilupakan oleh para pemimpin kita dalam
membangun ‘roh’ organisasi dalam mewujudkan tujuan yang diinginkan, sehinggga
banyak pemimpin yang gagal dalam mengimplementasikan kemampuan
kepemimpinannya dalam organisasi. Untuk itu, seorang pemimpin harus jeli dalam
melihat pola perkembangan sebuah organisasi, baik secara internal maupun
eksternal. Karena ketidakselarasan antara kepemimpinan dan budaya organisasi
dapat menghambat kinerja perusahaan atau organisasi lainnya, dan dampaknya
akan besar bagi pilihan karier masa depan pemimpin. Dengan hal ini, maka seorang
pemimpin memiliki peran untuk membuat keputusan secara cepat dan tepat untuk
mewujudkan tujuan dan sasaran organisasi yang dipimpinnya.

46
2.3 Peran Kepemimpinan
.

2.3.1. Peran Kepemimpinan (Kepala Sekolah) dalam Peningkatan


Mutu Pendidikan.

Dari berbagai konsep manajemen yang telah diuraikan sebelumnya, maka


yang paling krusial dalam meningkatkan mutu pendidikan adalah faktor
kepemimpinan kapala sekolah yang merupakan peran vital dalam manajerial
sekolah. Menurut Wahjosumidjo (2008:385), bahwa agar fungsi kepemimpinan
kepala sekolah berhasil memberdayakan segala sumber daya sekolah untuk
mencapai tujuan sesuai dengan situasi, diperlukan seorang kepala sekolah yang
memiliki kemampuan professional, meliputi kepribadian, keahlian dasar,
pengalaman, pelatihan dan pengetahuan professional, serta kompetensi
administrasi dan pengawasan.
Dengan demikian, kemampuan profesional kepala sekolah sebagai pemimpin
pendidikan yaitu bertanggung jawab dalam menciptakan situasi belajar mengajar
yang kondusif, sehingga guru-guru dapat melaksanakan pembelajaran dengan baik
dan peserta didik dapat belajar dengan tenang. Di samping itu, kepala sekolah
dituntut untuk dapat bekerja sama dengan bawahannya, dalam hal ini guru. Dengan
demikian, kepemimpinan adalah unsur terpenting dalam TQM. Pemimpin harus
memiliki visi dan mampu menerjemahkan visi tersebut ke dalam kebijakan yang
jelas dan tujuan yang spesifik.
Menurut Danim (2009:13) mengemukakan bahwa peran penting kepala
sekolah secara utuh adalah harus mengusahakan agar orientasi kerja, iklim
organisasi, dan budaya sekolah yang berorientasi untuk kepentingan peserta didik.
Antara guru dan kepala sekolah harus bekerja sama dalam membicarakan segala
rencana, termasuk menetapkan kurikulum di sekolah yang berpedoman ppada
kurikulum inti. Kepala sekolah dibantu oleh wakil dan staf pengajar selalu
mengupayakan tercipta dan terbinanya suasana yang kondusif serta sifat
kekeluargaan yang mendukung berlangsungnya proses belajar mengajar yang

47
efektif. Kepala sekolah juga berfungsi memotivasi dan membantu orang tua siswa
terlibat pada proses pengembangan sekolah. Khususnya sebagai penyandang dana
dan penyedia sarana lainnya sesuai dengan kebutuhan proses pembelajaran.
Kepala sekolah memiliki peran yang sangat penting dalam menentukan
berhasil atau tidaknya sekolah dalam menjalankan tugas kekepalasekolahan untuk
mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia seutuhnya. Baik
atau buruknya sebuah sekolah lebih banyak ditentukan kemampuan professional
kepala sekolah sebegai pengelolanya. Fungsi kepala sekolah selain sebagai manajer,
juga sebagai pemikir dan pengembang (brain power) yang tugas utamanya adalah
memikirkan kemajuan sekolah.
Kepemimpinan kepala sekolah merupakan faktor penting dan memiliki
pengaruh lebih terhadap mutu pendidikan. Kepala sekolah merupakan pemimpin
tunggal di sekolah yang mempunyai tanggung jawab untuk mengajar dan
memengaruhi semua pihak yang terlibat dalam kegiatan pendidikan di sekolah
untuk bekerja sama dalam mencapai tujuan sekolah.
Dalam manajemen modern seorang pemimpin juga harus berperan sebagai
pengelola. Dilihat dari fungsi-fungsi manajemen, yakni planning (perencanaan),
organizing (pengorganisasian), dan controlling (pengawasan), maka kepala sekolah
harus berperan pula sebagai supervisor pengajaran serta sebagai evaluator program
sekolah.
Kepala sekolah dituntut untuk mampu memimpin sekaligus mengorganisir
dan mengelola pelaksanaan program belajar mengajar yang diselenggarakan di
sekolah yang dipimpinnya. Dalam hal ini, kepala sekolah harus mampu menjadi
supervisor tim yang terdiri dari guru, staf, dan siswa dalammewujudkan proses
belajar mengajar yang efektif dan efisien sehingga tercapai produktivitas belajar
yang pada akhirnya dapat meningkatkan mutu pendidikan. Hal ini sesuai dengan
pendapat Pidarta (2009:51) yang menyatakan sebagai berikut:

48
Pelaksanaan program yang telah dibuat harus secara konsekuen dijalankan
tanpa penyimpangan, di samping memperhatikan factor efektivitas dan
efisiensi. Untuk terlaksananya proses belajar mengajar yang efektif,
misalnya: kepala sekolah harus membuat tim kerja yang terdiri dari guru-
guru secara professional dan proporsional. Hal ini penting agar tercapai
produktivitas belajar yang pada gilirannya dapat meningkatkan mutu
pendidikan.

Di samping sebagai supervisor, kepala sekolah juga harus mampu menjadi


evaluator bagi program-program yang telah dilaksanakan. Evalausi sangat perlu
dilakukan untuk mengetahui tingkat pencapaian tujuan yang telah ditetapkan
sebelumnya. Semua pelaksanaan dari rencana kerja yang telah terwujud secara
berkala harus dievaluasi. Evaluasi diperlukan agar penyimpangan-penyimpangan
bisa dihindarkan serta untuk menjamin tercapainya tujuan.
Evaluasi dilakukan oleh kepala sekolah hendaknya lebih banyak berhubungan
dengan pelaksanaan kurikulum dengan mengacu pada proses belajar mengajar yang
produktif. Evalausi yang dilakukan juga merupakan fungsi controlling (pengawasan)
terhadap jalannya organisasi sekolah dan dewan sekolah dalam rangka menjaga
mutu pelaksanaan program. Hasil evaluasi ini selanjutnya dapat dijadikan sebagai
bahan untuk perbaikan-perbaikan yang diperlukan (Arikunto, 2013). Dengan
demikian, seoarang pemimpin berkewajiban menjabarkan program kerja, mampu
memberikan petunjuk yang jelas, berusaha mengembangkan kebebasan berpikir
dan mengeluarkan pendapat, mengembangkan kerja sama yang harmonis, mampu
memecahkan masalah dan mengambil keputusan masalah sesuai batas tanggung
jawab masing-masing, menumbuhkembangkan kemampuan memikul tanggung
jawab, dan pemimpin harus mendayagunakan pengawasan sebagai alat pengendali.
Selanjutnya, setiap pemimpin mempunyai sifat, kebiasaan, tempramen,
watak, dan kepribadian sendiri yang unik dan khas. Dengan demikian, Sebuah
sasaran utama dari program penelitian kepemimpinan adalah untuk
mengidentifikasi perilaku kepemimpinan yang efektif. Oleh karena itu, seorang
pemimpin harus memiliki visi dan mampu menerjemahkan visi tersebut ke dalam
kebijakan yang jelas dan tujuan yang spesifik. Komponen perilaku yang spesifik dan

49
lebih besar dapat dilihat dari gaya kepemimpinan. Menurut Mulyasa (2006) yang
dikutip oleh Kurniadin & Machali (2014:307), menjelaskan tentang gaya
kepemimpinan, yakni: sebagai berikut:
a. Gaya mendikte (telling). Gaya ini diterapkan jika anak buah dalam tingkat
kematangan daya abstrak, kemauan, dan kepercayaan diri (komitmen) rendah
sehingga memerlukan petunjuk dan pengawasan yang jelas. Gaya ini lebih cocok
diterapkan pada guru maupun staf yang acuh tak acuh. Oleh karena itu, kepala
sekolah/madrasah dituntut untuk mengatakan apa, bagaimana, kapan, dan
dimana tugas dilakukan. Dengan demikian gaya ini menekankan pada tugas,
sedangkan hubungannya hanya sekadar saja.
b. Gaya menjual (selling). Gaya ini diterapkan apabila tingkat kematangan daya
abstraknya pada taraf rendah, tetapi kemauan kerja dan kepercayaan diri
(komitmen) sangat memadai (tinggi). Gaya ini lebih cocok diterapkan pada guru
maupun staf yang sangat sibuk. Oleh karena itu, kepala sekolah/madrasah selalu
memberikan petunjuk atau pengarahan yang porsinya agak banyak. Dengan
demikian, gaya ini menekankan pada tugas serta hubungan yang tinggi agar
dapat memelihara dan meningkatkan kemauan yang lebih memiliki.
c. Gaya melibatkan diri (participating). Gaya ini diterapkan jika kematangan daya
abstraknya tinggi, tetapi kurang memiliki kemauan kerja dan kepercayaan diri
(komitmen). Gaya ini lebih cocok diterapkan pada guru maupun staf yang suka
kritik. Oleh karena itu, kepala madrasah berperan bersama-sama dalam proses
pengambilan keputusan. Dengan demikian, gaya ini tidak menekankan pada
tugas, namun hubungan perlu ditingkatkan dengan membuka komunikasi dua
arah.
d. Gaya mendelegasikan (delegating). Gaya ini diterapkan bila kemampuan,
kematangan daya abstrak, kemauan kerja, dan pada guru maupun staf yang
professional. Oleh karena itu, kepala madrasah membiarkan mereka
melaksanakan kegiatan sendiri, tetapi melakukan pengawasan. Dengan
demikian, gaya ini terkait dengan upaya tugas maupun hubungan hanya
diperlukan sekedarnya saja.

50
Menurut Gaffar (1987:4), bahwa gaya kepemimpinan kepala sekolah dalam
peningkatan kualitas pendidikan tidak terlepas dari perilaku pemimpin yang
diciptakan yaitu: paternalistik, kepatuhan-kepatuhan semu, kemandirian dalam
bekerja lemah, konsensus, dan menghindar. Perilaku paternalistik dalam
kepemimpinan memunculkan sikap bawahan. Kengganan bawahan untuk
mengungkapkan pikiran, pendapat dan kritik terhadap atasan karena khawatir
dianggap menentang atasan, dominasi atasan terhadap bawahan sangat kuat,
sehingga bila muncul gagasan pembaharuan dari bawahan seringkali dianggap
sebagai tantangan terhadap kebijakan pemimpin.
Perilaku kepatuhan semua dalam kepemimpinan merupakan pengaruh
paternalistik, selama seseorang masih menduduki posisi pemimpin, maka loyalitas
dan rasa hormat terhadap pribadi pemimpin tinggi, tetapi bilamana seseorang tidak
lagi menjabat, maka segala rasa hormat padanya hilang bersama jabatannya. Dalam
pendekatan kepatuhan semu sumber daya manusia sering digunakan secara tidak
efektif.
Perilaku kemandirian kurang, karena telah terkondisi kebiasaan menunggu
perintah dan instruksi atasan (pengarahan) sehingga inisiatif, kreatif dan tanggung
jawab kurang bagi bawahan. Perilaku konsensus merupakan produk musyawarah
atas dasar gotong royong, tetapi dalam kenyataannya sering dimanipulasi menjadi
arena penggarapan, kalau perlu dengan tekanan. Ini biasanya dilakukan secara
informal atau di luar forum resmi sehingga forum resmi tersebut hanya tinggal
mengukuhkan saja.
Perilaku menghindar sering juga disebut dengan tidak konsekuen menghadapi
kenyataan. Perilaku menghindar ini menghasilkan sikap yang tidak sering antara
kata dengan perbuatan, yang muncul dalam Tanya jawab ditandai dengan
pengutaraan yang melingkar dan tidak pada masalah pokok. Perilaku ini seringkali
menimbulkan masalah komunikasi seperti salah pengertian antara pemimpin
dengan bawahan. Respons pengikut terhadap atasannya tergantung tingkat
kematangannya, bawahan yang tingkat kematangannya rendah cenderung tidak
mampu dan tidak mau, sedangkan bawahan dalam tingkat kematangannya sedang

51
yang cenderung tidak mampu tetapi mau. Bawahan yang tingkat kematangannya
tinggi cenderung mampu tetapi tidak mau.
Gaya kepemimpinan kepala sekolah merupakan harapan yang tinggi bagi
peningkatan kualitas pendidikan, karena keberhasilan kepemimpinan di sekolah
akan mempunyai pengaruh secara langsung terhadap hasil belajar siswa.
Sehubungan dengan itu, kepala sekolah harus mampu melaksanakan peran dan
fungsi supervisor kepada guru untuk mengembangkan profesi. Dalam kaitannya
dengan peningkatan kualitas pendidikan, kepala sekolah jangan bertindak sebagai
manajer yang mengatur segala sesuatu tentang proses belajar-mengajar, tetapi
harus tampil sebagai instructional leader (pemimpin pengajaran), yang bertugas
mengawasi jalannya kegiatan belajar mengajar di sekolah yang dipimpinnya. Fungsi
pengawasan ini harus dilakukan secara melekat (wasket), baik terhadap
perencanaan pengajaran (instructional planning), pelaksanaan (implementing),
maupun terhadap penilaian atau evaluasi (evaluation) proses belajar-mengajar yang
dilakukan guru.
Untuk mendapatkan gambaran tentang gaya kepemimpinan kepala sekolah,
berikut dikemukakan pendapat para ahli yang dapat diklasifikasikan melalui
beberapa pendekatan dalam kepemimpinan, yaitu :

a. Gaya Kepemimpinan Menurut Peters dan Austin

Mutu pendidikan terpadu merupakan sebuah gairah serta pandangan


hidup bagi organisasi yang menerapkannya. Pertanyaannya sekarang adalah
bagaimana membangkitkan mutu pendidikan. Peters dan Austin pernah meneliti
karaktersitik tersebut dalam bukunya A Passion for Excellence. Penelitian
tersebut meyakinkan mereka bahwa yang menentukan mutu dalam sebuah
institusi adalah kepemimpinan. Mereka berpendapat bahwa gaya kepemimpinan
tertentu dapat mengantarkan institusi pada revolusi mutu, sebuah gaya yang
mereka singkat dengan MBWA (Management by Walking About/Manajamen
dengan melaksanakan). Keinginan untuk ungggul tidak bisa dikomunikasikan dari
balik meja. MBWA menekankan pentingnya kehadiran pemimpin dan

52
pemahaman atau pandangan mereka terhadap karyawan dan proses institusi.
Gaya kepemimpinan ini mementingkan komunikasi visi dan nilai-nilai institusi
kepada pihak-pihak lain, serta berbaur dengan para staf dan pelanggan.
Peters dan Austin memandang bahwa pemimpin pendidikan
membutuhkan persepktif-persepktif sebagai berikut: (1) visi dan simbol-simbol.
Kepala sekolah harus mengkomunikasikan nilai-nilai institusi kepada para staf,
para pelajar, dan komunitas yang lebih luas; (2) MBWA adalah gaya
kepemimpinan yang dibutuhkan bagi sebuah instansi; (3) “untuk para pelajar”.
Istilah ini artinya dekat dengan pelanggan dalam pendidikan. Ini memastikan
bahwa institusi memiliki fokus yang jelas terhadap pelanggan utamanya; (4)
otonomi, eksperimentasi dan antisipasi terhadap kegagalan. Pemimpin
pendidikan harus melakukan inovasi di antara staf-stafnya dan bersiap-siap
mengantisipasi kegagalan yang mengiringnya inovasi tersebut; (5) menciptakan
rasa kekeluargaan. Pemimpin harus menciptakan rasa kekeluargaan di antara
para pelajar, orang tua, guru, dan staf institusi, (6) ketulusan, kesabaran,
semangat, intensitas, dan antusiasme. Sifat-sifat tersebut merupakan mutu
personal esensial yang dibutuhkan pemimpin lembaga pendidikan.
Lalu, peran bagaimana seorang pemimpin (kepala sekolah) dalam
mengembangkan sebuah budaya mutu? Atau “apa inisiatif peran pemimpin
dalam sebuah institusi yang mengusahakan inisiatif mutu terpadu?” Tidak ada
satu pun yang menyatakan hal itu secara keseluruhan, namun fungsi utama
pemimpin (kepala sekolah) adalah sebagai berikut:
1) Memiliki visi mutu terpadu bagi institusi;
2) Memiliki komitmen yang jelas terhadap proses peningkatan mutu;
3) Mengkomunikasikan pesan mutu;
4) Memastikan kebutuhan pelanggan menjadi pusat kebijakan dan paraktik
institusi;
5) Mengarahkan perkembangan karyawan;

53
6) Berhati-hati dengan tidak menyalahkan orang lain saat persoalan muncul
tanpa bukti-bukti yang nyata, sebab kebanyakan persoalan yang muncul
adalah hasil dari kebijakan institusi dan bukan kesalahan staf;
7) Memimpin inovasi dalam institusi;
8) Mampu memastikan bahwa struktur organisasi secara jelas telah
mendefinisikan tanggung jawab dan mampu mempersiapkan delegasi yang
tepat;
9) Memiliki komitmen untuk menghilangkan rintangan, baik yang bersifat
organisasional maupun kultural;
10) Membangun tim yang efektif, dan
11) Mengembangkan mekanisme yang tepat untuk mengawasi dan
mengevaluasi kesuksesan (Minarti Sri, 2011).

b. Gaya Kepemimpinan Menurut Spanbauer

Spanbauer telah menyampaikan pengarahan bagi para pemimpin dalam


menciptakan lingkungan pendidikan yang baru. Dia berpendapat bahwa
pemimpin institusi pendidikan harus memandu dan membantu pihak lain dalam
mengembangkan karakteristik yang serupa. Sikap tersebut mendorong
terciptanya tanggung jawab bersama-sama serta sebuah gaya kepemimpinan
yang melahirkan lingkungan kerja yang interaktif. Dia menggambarkan sebuah
gaya kepemimpinan di mana pemimpin harus menjalankan dan membicarakan
mutu serta mampu memahami bahwa perubahan terjadi sedikit demi sedikit,
bukan dengan serta merta.
Dengan demikian, perubahan yang dibawa oleh seorang kepala sekolah
akan membawa pada jenjang mutu yang sesuai dengan keinginan bersama
(komponen sekolah) walaupun secara gradual. Namun, yang terpenting adalah
kerja sama dalam organisasi. Sebab, kerja sama tim/kerja tim dalam sebuah
organisasi merupakan komponen penting dari implementasi TQM, mengingat
kerja sama tim akan meningkatkan kepercayaan diri, komunikasi, dan
mengembangkan kemandirian. Kerja sama tim merupakan salah satu unsur

54
fundamental dalam TQM. Tim merupakan sekelompok orang yang memiliki
tujuan bersama. Faktor yang mendasari perlunya dibentuk tim tertentu dalam
suatu perusahaan yaitu:
a. Pemikiran dua orang atau lebih cenderung lebih baik daripada pemikiran
satu orang saja, dan
b. Konsep sinergi (1 + 1 > 2), yaitu bahwa hasil keseluruhan (tim) jauh lebih
baik daripada jumlah bagiannya (anggota individual).

c. Studi Kepemimpinan Kontinum

Gaya kepemimpinan yang dapat dilukiskan sebagai kontinum. Dalam gaya


kontinum, adanya gaya-gaya kepemimpinan yang berimbang antara penekanan
pada perilaku otoriter, dan yang menekankan pada perilaku demokratis.
Rentangan perilaku itu tidak menyebutkan perilaku nama sesungguhnya, akan
tetapi ada dua kutub yang ekstrem, yaitu ototriter dan demokratis.
Di antara dua kutub tersebut ada beberapa gaya kempimpinan yang
merupakan kombinasi dari sikap otoriter dan sikap demokratis yang tersedia bagi
pemimpin. Ia memiliki fleksibilitas sebanyak yang ia ingginkan dalam memiliki
gaya kepemimpinan yang sesuai untuk digunakan dalam situasi tertentu.
Menurut Tanembaun & Schmidt yang dikutip oleh Mulyasa (2013:185), bahwa
untuk memiliki gaya kepemimpinan yang efektif sesuai dengan situasi tertetnu
perlu dipertimbangkan tiga hala yaitu: (1) kekuatan-kekuatan yang ada pada
pemimpin melatarbelakangi perilakunya, antara lain sistem nilai yang dianutnya.,
tingkat kepercayaan kepada bawahannya, dan firasatnya terhadap keselamatan
bawahan di saat menghadapi ketidakpastian; (2) kekuatan-kekuatan yang ada
dari bawahan dapat mempengaruhi sikap pemimpin; dan (3) kekuatan-kekuatan
yang ada pada lingkungan, baik lingkungan sendiri maupun lingkungan
masyarakat.
Teori kepemimpinan ini dikekmbangkan oleh Fiedler dan Chemers, yang
menyimpulkan bahwa seseorang menjadi pemimpin bukan saja karena faaktor
kepribadian yang dimiliki, tetapi juga dipengaruhi factor situasi dan saling

55
hubungan antara pemimpin denga situasi. Efektif tidaknya orientasi
kepemimpinan banyak tergantung pada tiga factor dalam situasi, yaitu: (a)
kualitas; (b) derajat struktur tugas dan; (3) posisi kekuasaan pemimpin. Dengan
demikian, keberhasilan pemimpin tergantung pada diri pemimpin maupun pada
keadaan organisasi.

d. Studi Kepemimpinan Ohio State University

Penelitian Ohio State University (Hersey & Blanchard, 1977:95),


mendeskripsikan bahwa tingka laku yang termasuk kategori konsiderasi dengan
kategori inisiasi struktur satu sama lain salimng tergantung (independent). Saling
ketergantungan tersebut dapat dilukiskan sebagai berikut:

Low Structure High Structure


And And
High Consideration High Consideration
Low Structure High Structure
And And
Low Consideration Low Consideration

Gambar: 6.6. The Ohio State University Leadership Quadrants


Sumber: (Hersey & Blanchard, 1977:95)

Dengan mengkombinasikan dua dimensi struktur dan pertimbangan dapat


dibedakan atas empat perilaku yang ditempuh oleh seorang pemimpin, yaitu
pemimpin yang memiliki konsiderasi tinggi dan struktur rendah, atau konsiderasi
rendah dan struktur tinggi. Kepemimpinan lain terjadi adalah struktur
konsiderasi sama-sama tinggi dan sama-sama rendah. Paduan terbaik dari empat
kemungkinan pada gambar tersebut adalah kondisi di mana “high structure”
berpasangan dengan”high consideration”.
Memprakarsai struktur adalah menggambarkan perilaku pemimpin dalam
menentukan hubungan kerja sama antara pemimpin dengan bawahan dan juga
usaha untuk membentuk pola-pola organisasi, saluran komunikasi, dan prosedur
kerja yang jelas. Sedangkan pertimbangan adalah menggambarkan perilaku

56
pemimpin yang menunjukkan persahabatan, saling percaya, penghargaan
terhadap gagasan bawahannya, dan saling menghormati pada suatu kelompok
kerja.

e. Studi Kepemimpinan yang dikembangkan oleh Michigan University

Saat yang sama dengan University Ohio, Pusat Riset Survey Universitas
Michigan melakukan suatu penelitian. Penelitian ini mengidentifikasikan dua
konsep, yaitu orientasi produksi (production orientation) dan orientasi bawahan
(employee orientation). Pemimpin yang menekankan pada orientasi bawahan
sanagt memperhatikan bawahan, di mana mereka merasa bahwa setiap
karyawan itu penting, dan menerima karyawan sebagai pribadi. Sedangkan
pemimpin yang berorientasi pada produksi sangat memperhatikan hasil dan
aspek-aspek teknik kerja untuk kepentingan organisasi, dengan tanpa
menghiraukan apakah bawahan senang atau tidak. Kedua tipe kepemimpinan ini
hampir sama dengan tipe otoriter dan tipe demokratis.
Usaha yang dilakukan para peneliti untuk memahami kepemimpinan
dengan cara mengidentifikasikan sifat-sifat pemimpin, dan berbagai sifat yang
melekat pada diri pemimpin dapat menentukan efektivitas suatu kepemimpinan.
Namun demikian, terdapat keterbatasan-keterbatasan dalam pendekatan yang
melihat sifat-sifat pemimpin; (1) belum pernah menunjukkan secara pasti bahwa
sifat-sifat tertentu dapat mmenentukan kesuksesan kepemimpinan seseorang,
(2) pada kenyataan dilapangan, seseorang pemimpin sukses dalam suatu situasi
tetapi tidak dapat berhasil pada situasi yang lain, (3) para pemimpin besar yang
sukses mempunyai sifat-sifat yang berbeda-beda, (4) tidak ada karakter universal
yang meramalkan kepemimpinan dalam semua situasi.
Pada akhirnya dapat dipahami bahwa; sifat-sifat yang dikemukakan para
peneliti dan para ahli dapat menjadi indikator penting bagi seorang pemimpin,
walaupun tidak semua sifat harus melekat pada diri pemimpin. Kajian tentang
ciri kepemimpinan yang tidak efektif jumlahnya lebih sedikit. Kebanyakan studi
tentang sifat-sifat kepemimpinan yang efektif tidak tergantung pada seperangkat

57
ciri tertentu tetapi seberapa jauh ciri pemimpin itu sesuai dengan kebutuhan
situasi yang dihadapi.
Pendekatan teori situasional yang difokuskan pada kesamaan dan
perbedaan antara tugas-tugas sebagai dasar dari penentuann pemimpin.
Pendekatan situasional modern lebih menitiberatkan pada fungsi-fungsi yang
berbeda pada situasi-situasi dengan tugas-tugas yang berbeda pula. Menurut
Gibson, et al. (1996), bahwa: Pendekatan situasional berpendapat bahwa
keefektifan kepemimpinan tergantung pada kesesuaian antara pribadi, tugas,
kekuasaan, sikap, dan persepsi.
Menurut teori kepemimpinan situasional, gaya kepemimpinan yang efektif
jika disesuaikan dengan taraf kematangan para bawahan secara kontinu akan
meningkatkan pelaksanaan tugas. Pemimpin hendaknya mengurangi sikap tugas
dan meningkatkan sikap hubungan sampai bawahan mancapai tingkat
kematangan yang moderat. Jika bawahan bergerak mencapai tingkat rata-rata
kematangan, maka pemimpin harus mengurangi sikap tugas dan sikap hubugan.
Keadaan ini berlangsung sampai bawahan mencapai tingkat kematangan penuh,
di mana mereka sudah dapat mandiri, baik dilihat dari kematangan kerjanya
maupun kematangan psikologis. Dengan demikian, pemimpin sudah dapat
mendelegasikan wewenang kepada bawahannya.
Berdasarkan uraian konsep tentang model gaya kepemimpinan tersebut,
maka dapat dipahami bahwa pada dasarnya setiap pemimpin melakukan gaya
yang berbeda, hanya pada suatu saat tertentu pemimpin harus mampu
mengambil gaya kepemimpinan yang paling tepat dengan kondisi yang terjadi,
agar kepemimpinan dapat lebih menonjol dari gaya lainnya, dan ini tergantung
pada bawahan yang dihadapi serta pada tingkat kedewasaan mana bawahan itu
berada. Dengan demikian, sebenarnya tidak ada gaya kepemimpinan yang paling
baik, yang ada hanya kepemimpinan yang hasilnya paling efektif, yaitu:
kepemimpinan yang berhasil menggerahkan bawahan untuk mencapai tujuan
yang telah ditentukan. Dalam kaitannya dengan gaya kepemimpinan kepala

58
sekolah, yang paling baik adalah yang berhasil menggerahkan bawahan untuk
mencapai dan meningkatkan kualitas pendidikan.

f. Kriteria Pemimpin yang Baik


Setiap organisasi pendidikan, khususnya dalam divisi-divisi atau sektor-sektor
di organisasi, harus memiliki seorang pemimpin atau penanggung jawab. Pada
tataran ini, menurut Robbins, yang dikutip oleh Danim Sudarwan & Suparno
(2009:3), bahwa kepemimpinan adalah kemampuan mempengaruhi kelompok ke
arah pencapaian tujuan. Ada juga yang mendefinisikan pemimpin sebagai orang
yang memberi komando atau panduan kepada suatu kelompok atau aktivitas. Akan
tetapi, pengertian itu sendiri kurang bisa memberikan penjelasan yang mendalam.
Selain itu, dalam manajemen sendiri masih terjadi perdebatan mengenai siapa yang
disebut sebagai pemimpin.
Namun, terlepas dari semua itu tujuan dari kepemimpinan dalam suatu
lembaga pendidikan adalah untuk memperbaiki kinerja Sumber Daya Manusia(SDM)
dan Sumber daya Sekolah lainnya, memperbaiki kualitas, meningkatkan output, dan
secara simultan memberikan kebanggaan atas kecakapan kerja masyarakat sekolah.
Dengan demikian, bial seseorang menguasai atau mengepalai suatu kelompok,
orang tersebut pasti memimpin. Dari sudut pandang ini, maka setiap guru, pesuruh,
dan kepala tata usaha adalah seorang pemimpin.
Pada kenyataannya, tidak semua pemimpin merupakan pemimpin yang
efektif, bahkan sering kali malah bukan pemimpin yang baik. Ada beberapa hal yang
membedakan antara pemimpin yang baik dan pemimpin yang tidak baik, di
antaranya adalah sebagai berikut:
1. Pemimpin lebih banyak menggunakan pendekatan pull (menarik) daripada push
(mendorong). Seorang pemimpin akan terlibat secara nyata dalam usahanya
melaksanakan kepemimpinan.
2. Pemimpin tahu arah tujuannya. Pemimpin menentukan visi organisasi dan cara-
cara untuk mencapai visi tersebut. Mereka juga memberikan pedoman dan
tujuan yang jelas untuk mencapai kessuksesan dalam jangka panjang.

59
3. Pemimpin harus berani dan dapat dipercaya. Pemimpin harus berani mengambil
risiko dalam menghadapi dan mengatasi segala macam rintangan dan hambatan
yang timbul. Bahkan, kadang kala tujuan jangka pendek harus berani
dikorbankan bila memang menghambat tercapainya visi organisasi. Selain itu,
pemimpin juga harus dipercaya oleh bawahannya, karena bila tidak, ia tidak akan
dapat menjadi pemimpin yang baik.
4. Peranan penting dari seorang pemimpin setelah membentuk visi dan cara
pencapaiannya adalah membantu para bawahan untuk melakukan pekerjaan
mereka dengan rasa bangga. Peranan seorang pemimpin bukanlah mendikte
bawahan, tetapi memberikan kemudahan (facilitate) kepada mereka. Mereka
diberi pelatihan agar dapat terlibat dalam proses organisasi dengan kemampuan
maksimal yang mereka miliki.

Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat dipahami bahwa kinerja guru


merupakan landasan yang sangat vital dalam meningkatkan efektivitas
pembelajaran dan bermuara pada peningkatan prestasi peserta didik. Oleh karena
itu, kepemimpinan kepala sekolah merupakan ujung tombak untuk mencapai
peningkatan pembelajaran dan prestasi peserta didik. Sehingga, kepala sekolah
minimal harus mempunyai kemampuan untuk mempengaruhi dan menggerakkan
orang lain dalam mencapai tujuan pendidikan. Menurut Sobri (2009:72), bahwa
kepala sekolah adalah sebagai pengelola institusi atau pelembagaan pendidikan,
sehingga tentu saja mempunyai peran yang teramat penting karena ia juga sebagai
desainer, pengorganisasian, pelaksana, pengelola tenaga kependidikan, pengawas,
serta pengevaluasi program pendidikan dan pengajaran di lembaga yang
dipimpinnya. Secara operasional, kepala sekolah memiliki standar kompetensi
untuk menyusun perencanaan strategi dan pengelolaan komponen-komponen
dasar pendidikan, seperti mengelola tenaga kependidikan (personalia), mengelola
kesiswaan, mengelola kurikulum, mengelola keuangan, serta mengelola sarana dan
prasarana pendidikan.

60
g. Langkah-Langkah dalam Menyukseskan Kepemimpinan Kepala Sekolah

Dalam pembahasan ini, penulis menambahkan tentang hal-hal yang bisa


dijadikan teori atau acuan untuk menyukseskan suatu kepemimpinan khususnya
dalam lembaga pendidikan. Ada beberapa langkah dalam menyukseskan
kepemimpinan kepala sekolah. Berdasarkan hasil studi yang sudah dilakukan,
Soutbern Regional Education Board (SREB) telah mengidentifikasi 13 faktor kritis
terkait dengan keberhasilan kepala sekolah dalam mengembangkan prestasi belajar
siswa. Menurut Qomar (2007:128), bahwa ketigabelas faktor tersebut adalah
sebagai berikut:
1) Menciptakan misi yang terfokus pada upaya peningkatan prestasi belajar siswa
melalui parktik kurikulum dan pembelajaran yang memungkinkan terciptanay
peningkatan prestasi belajar siswa.
2) Ekspektasi yang tinggi bagi semua siswa dalam mempelajari bahan
pembelajaran pada level yang lebih tinggi.
3) Menghargai dan mendorong implementasi praktik pembelajaran yang baik,
sehingga dapat memotivasi dan meningkatkan prestasi belajar siswa.
4) Memahami bagaimana memimpin organisasi sekolah, di mana seluruh guru dan
staf dapat memahami dan peduli terhadap ssiswanya.
5) Memanfaatkan data untuk memprakarsai upaya peningkatan prestasi belajar
siswa dan praktik pendidikan di sekolah maupun di kelas secara terus-menerus.
6) Mengajar agar setiao orang dapat memfokuskan pada prestasi belajar siswa.
7) Menjadikan para orang tua sebagai mitra dan membangunkolaborasi untuk
kepentingan pendidikan siswa.
8) Memahami proses perubahan dan memiliki kepemimpinan untuk dapat
mengelola dan memfasilitasi perubahan tersebut secara efektif.
9) Memahami bagaimana orang dewasa belajar, serta memahami bagaimana
unpaya meningkatkan perubahan yang bermakna, sehingga terbentuk kualitas
pengembangan profesi secara berkelanjutan untuk kepentingan siswa.
10) Memanfaatkan dan mengelola waktu untuk mencapai tujuan dan sasaran
peningkatan sekolah melalui cara-cara yang inovatif.

61
11) Memperoleh dan memanfaatkan berbagai sumber daya secara bijak.
12) Mencari dan memperoleh dukungan dari pemerintah, tokoh masyarakat, dan
orang tua untuk berbagai agenda peningkatan sekolah.
13) Belajar secara terus menerus dan bekerja sama dengan rekan sejawat untuk
mengembangkan riset baru dan berbagai praktik pendidikan yang telah
terbukti.

62

Anda mungkin juga menyukai