Anda di halaman 1dari 26

MAKALAH KEBIJAKAN PUBLIK

INDIKATOR KINERJA SEKTOR PUBLIC

IMPLIKASI DESENTRALISASI PENDIDIKAN MELALUI


UNDANG-UNDANG OTONOMI DAERAH

ARIFA RAKHMAN

PROGRAM PASCASARJANA
MAGISTER MANAJEMEN
UNIVERSITAS GAJAYANA MALANG
2014
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang

Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah dalam Bab I Pasal I ayat 5 dinyatakan bahwa: otonomi

daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan

mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat

sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Selanjutnya Pasal 1 ayat 6

menegaskan; daerah otonom, disebut daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum

yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus

urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa

sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik

Indonesia.

Penjelasan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah butir

(b) menyebutkan bahwa; prinsip otonomi daerah menggunakan prinsip seluas-

luasnya dalam arti daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua

urusan pemerintahan di luar yang menjadi urusan Pemerintah yang ditetapkan

dalam Undang-Undang ini. Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan

daerah untuk memberi pelayanan, peningkatan peranserta, prakarsa, dan

pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat.

Sejalan dengan prinsip tersebut, dilaksanakan pula prinsip otonomi yang

nyata dan bertanggung jawab. Prinsip otonomi nyata adalah suatu prinsip bahwa

untuk menangani urusan pemerintahan dilaksanakan berdasarkan tugas,

2
wewenang, dan kewajiban yang senyatanya telah ada dan berpotensi dan kekhasan

daerah. Dengan demikian isi dan jenis otonomi bagi setiap daerah tidak selalu

sama dengan daerah lainnya. Adapun yang dimaksud dengan otonomi yang

bertanggung jawab adalah otonomi yang dalam penyelenggaraannya harus benar-

benar sejalan dengan tujuan dan maksud pemberian otonomi, yang pada dasarnya

untuk memberdayakan daerah termasuk meningkatkan kesejahteraan rakyat yang

merupakan bagian utama dari tujuan nasional. Seiring dengan prinsip itu,

penyelenggaraan otonomi daerah harus selalu berorientasi pada peningkatan

kesejahteraan rakyat dengan tetap memperhatikan kepentingan dan aspirasi yang

tumbuh dalam masyarakat (Mahsun M, 2013).

Bahwa semangat reformasi yang masih berlangsung, maka tuntutan pada

beberapa daerah agar diberlakukan otonomi yang lebih luas semakin kuat.

Tuntutan itu menyangkut pula akan perimbangan keuangan antara Pusat dan

Daerah yang lebih rasional, proporsional dan nyata. UU No. 22 Tahun 1999

menyebutkan bahwa desentralisasi adalah pendelegasian wewenang dari pusat ke

daerah. Sedangkan menurut UU Nomor 32 Tahun 2004 Pasal I ayat 7 dinyatakan

bahwa desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh

pemerintaha kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan

pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Otonomi

daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus

kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Otonomi diberikan kepada daerah kota dan kabupaten didasarkan pada asas

desentralisasi dalam wujud otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab.

3
Kondisi yang demikian ini bertujuan untuk meningkatkan pelayanan

kesejahteraan masyarakat yang semakin baik, pengembangan kehidupan yang

serasi, keadilan dan pemerataan, serta pemeliharaan hubungan yang serasi

antarpusat dan daerah.

Bahwa makna otonomi daerah adalah pemberian kewenangan dan

kewajiban untuk menyelenggarakan urusan-urusan pemerintahan sesuai ketentuan

perundang-undangan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, serta

memberdayakan masyarakat lokal menuju kemandirian dan meningkatkan

pembangunan daerah di segala bidang dalam bingkai Negara Kesatuan Repbulik

Indonesia. Menurut Halim (2001:2) menyatakan bahwa; dengan Pertimbangan

yang sangat prinsip dan mendasar dari terselenggaranya Otonomi Daerah (otoda)

adalah ditinjau dari perkembangan kondisi didalam negeri yang mengindikasikan

bahwa rakyat menghendaki keterbukaan dan kemandirian (desentralisasi). Kondisi

di luar negeri juga menunjukkan semakin maraknya globalisasi yang menuntut

daya saing tiap Negara, termasuk daya saing Pemerintahan Daerahnya.

Selanjutnya peningkatan kemandirian Pemerintahan Daerah tersebut

diharapkan dapat diraih melalui otonomi daerah. Hal ini sesuai dengan tujuan

program otonomi daerah. Menurut Bastian (2006) dalam Halim (2001:338),

bahwa tujuan program otonomi daerah adalah:

“Untuk menciptakan kehidupan politik yang lebih demokratis, menciptakan


sistem yang lebih menjamin pemerataan dan keadilan, memungkinkan
setiap daerah menggali potensi natural dan Kultural yang dimiliki, dan
kesiapan menghadapi tantangan globalisasi, serta yang sangat penting
adalah terpeliharanya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan kata
lain, pemerintah ingin melaksanakan pasal 18 UUD 1945, yaitu dengan
melaksanakan otonomi yang luas, nyata, dan bertanggung jawab”.

4
Desentralisasi pada dasarnya dipahami sebagai pemberian sebagian

kewenangan dan urusan pemerintahan kepada daerah untuk mengurus rumah

tangganya sendiri. Pembagian urusan dan kewenangan penyelenggaraan Negara

dan pemerintahan itu diatur dalam peraturan dan perundang yang yang

memberikan batasan kewenangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah,

dengan tetap menjunjung persatuan dan kesatuan bangsa. Desentralisasi tidak

dipahami sebagai kesempatan bagi daerah untuk memisahkan dirinya, melainkan

sebagai peluang dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah.

Desentralisasi juga dapat diartikan sebagai penyerahan sebagian urusan

pemerintah dari pemerintah pusat atau daerah tingkat atasnya kepada daerah di

bawahnya menjadi urusan rumah tangganya sendiri. Urusan-urusan yang

diserahkan adalah yang berkaitan dengan pengembangan sumber daya alam,

sumber daya manusia dan kemampuan administrasi pemerintah daerah serta yang

berhubungan dengan pelayanan masyarakat dan peningkatan pera serta

masyarakat di dalam kegiatan pembangunan. Urusan-urusan yang tidak

diserahkan ke daerah adalah yang menyangkut pertahanan keamanan, luar negeri,

agama, moneter, dan peradilan. Sebagian besar pemerintahan umum yang menjadi

wewenang, tugas dan kewajiban kepala wilayah, dan urusan-urusan pemerintahan

lainnya yang secara nasional lebih berhasil guna dan berdaya guna jika tetap

diurus oleh pemerintah (Widjaja, 1998).

Dengan penyerahan urusan kepada daerah otonomi, maka dimungkinkan

bahwa penyerahan penyelenggaraan pemerintahan daerah bukan penyerahan

kedaulatan. Pemberian otonomi daerah kepada daerah ini tidak menimbulkan

5
risiko disintergrasi nasional atas kecenderungan ke arah otokrasi, mengingat

semangat kebangsaan dan kesadaran berdemokrasi Pancasila rakyat tetap teruji,

tidak diragukan lagi ketaantannya kepada Negara Kesatuan Republlik Indonesia.

Penyerahan urusan pemerintahan kepada daerah otonomi, bukan sekadar

penyerahan tugas dan tanggung jawab saja, akan tetapi juga mencakup tanggung

jawab personel, aparatur, peralatan dan penganggaran yang mendukungnya,

kecuali tugas-tugas yang secara lagsung melekat pada hakikat Negara persatuan

dan kedaulatan Negara tetap dikelola oleh pemerintah pusat.

Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah

Otonomi Daerah mengisyaratkan kepada kita semua mengenai kemungkinan-

kemungkinan pengembangan suatu wilayah dalam suasana yang lebih kondusif

dan dalam wawasan yang lebih demokratis. Termasuk pula di dalamnya, berbagai

kemungkinan pengelolaan dan pengembangan bidang pendidikan. Pemberlakukan

undang-undang otonomi tersebut menuntut adanya perubahan pengelolaan

pendidikan dari yang bersifat sentralistik kepada yang lebih bersifat desentralistik.

Menurut Tilaar (2002:20) mengemukakan bahwa desentralisasi pendidikan

merupakan suatu keharusan. Menurutnya, ada tiga hal yang berkaitan dengan

urgensi desentralisasi pendidikan. Kaetiga hal tersebut adalah (a) pembangunan

masyarakat demokratis; (b) pengembangan social capital; dan (c) peningkatan

daya saing bangsa. Ketiga hal tersebut sudah lebih dari cukup untuk dijadikan

alasan mengapa desentralisasi pendidikan harus dilakukan oleh bangsa Indonesia.

Ketika bendungan kekuasaan Negara Orde Baru (NOB) yang sangat bersifat

hegemonik otoritarianisme tersebut hancur, kita bisa membayangkan, ke mana

6
arah tanah air tersebut “muncrat” atau mengalir? Sistem pemerintahan NOB yang

sangat sentralistik tersebut, tiba-tiba karena alasan tertentu, lalu berubah menjadi

desenralistik. Pada kenyataannya, kita akan menemukan berbagai sikap yang

ditunjukkan oleh pemerintahan daerah, ada yang “muncrat” tidak terkendali, ada

yang mengalir deras sehingga membuat jalur aliran sendiri, ada yang mengalir

damai pada jalurnya, dan lain sebagainya. Pemerintah pusat, sebagai pihak

eksekutif, yang ditugaskan DPR RI untuk menjalankan undang-undang otonomi

tersebut, berusaha agar tidak terdapat daerah yang menyikapi kondisi ini, secara

“muncrat” liar tidak terkendali, atau mengalir dengan derasnya di luar jalur yang

ada sehingga menghantam habis setiap rintangan. Kondisi yang dijelaskan

terakhir sering disebut dengan istilah reformasi yang “kebablasan”.

Sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi pendidikan,

maka tantangan yang dihadapi dalam akuntasi sector publik adalah menyediakan

sumberdaya, baik penganggaran, informasi yang dapat digunakan untuk

memonitor pelaksanaan pendidikan yang ada di daerah. Pemerintah daerah

dituntut harus mampu menciptakan sistem manajemen pengelolaan pendidikan

yang mampu mendukung operasionalisasi pembangunan daerah khusunya dalam

peningkatan sumber daya manusia melalu lembaga pendidikan.

Desentralisasi yang pertama kali diperkenalkan pada tahun 2001 di

Indonesia melibatkan semua administrasi pemerintah daerah dan serangkaian

wewenang dan tanggung jawab yang luas. Peran pemerintah daerah dalam

memberikan layanan dan mewujudkan tujuan-tujuan pembangunan negara

semakin besar dibandingkan sebelumnya. Bagaimanakah kinerja atau pengelolaan

7
manajemen pendidikan yang dilakukan dengan berdasarkan konsep desentralisasi

tersebut. Dengan tidak adanya sistem pemantauan, evaluasi, dan, pengukuran

kinerja yang sistematis, pertanyaan penting tersebut tidak dapat dijawab secara

akurat. Oleh karena itu, implikasi kebijakan desentralisasi pendidikan yang lebih

luas tetap tidak jelas.

Semua pemangku kepentingan telah menyadari pentingnya pemantauan dan

evaluasi kinerja pemerintah daerah. Sementara sejumlah latihan percobaan oleh

instansi-instansi pemerintah serta organisasi-organisasi nasional dan internasional

telah dilakukan, tidak ada perangkat evaluasi komprehensif yang telah diterapkan

di tingkat nasional. Perangkat yang diterapkan di tingkat nasional tidak hanya

akan mendorong semangat kompetisi yang sehat, akan tetapi juga dapat

digunakan oleh warga negara untuk membandingkan kinerja pemerintah daerah

mereka dengan praktik-praktik terbaik di kabupaten-kabupaten lainnya.

Pemerintah pusat juga akan dapat memantau kinerja dengan lebih akurat,

mendorong perbaikan melalui insentif keuangan, serta meningkatkan dan

menyempurnakan kebijakan desentralisasinya.

Suatu indeks yang luas yang mengukur kemajuan pemerintah daerah dalam

dimensi-dimensi inti manajemen keuangan publik, kinerja fiskal, penyediaan

layanan, dan iklim investasi dapat menjadi indikator utama bagi pemerintah

daerah dalam mengevaluasi dan meningkatkan kinerja mereka. Tujuan

keseluruhan dari prakarsa tersebut adalah untuk mencapai tujuan desentralisasi,

yaitu untuk meningkatkan penyediaan layanan umum dan kesejahteraan

masyarakat melalui pemerintahan yang baik.

8
Mengingat akan pentingnya pembahasan tentang desentralisasi pendidikan

tersebut, maka kita harus jujur dengan diri sendiri bahwa, sebenarnya, masih

banyak daerah di Indonesia ini yang tidak atau belum siap untuk menerima

berbagai kewenangan, termasuk menjalankan kewenangan bidang pendidikan ini.

Alasan atau indicator yang bisa dijelaskan dalam makalah ini adalah (a)

pengelolaan pendidikan di daerah, (b) sumber daya manusia (SDM) mereka

belum memadai; (c) sarana dan prasarana mereka belum tersedia; (d) pembiayaan

pendidikan (anggaran), pendapatan asli daerah (PAD) mereka sangat rendah; (d)

secara psikologis, mental mereka terhadap perubahan belum siap; (e) mereka juga

gamang atau takut terhadap upaya pembauran. Kelima indikator ini dapat

dijadikan rujukan dalam mengevaluasi dampak desentralisasi pendidikan melalui

otonomi daerah.

1.2. Rumusan Masalah

Dengan memperhatikan uraian tersebut, maka dapat dirumuskan berbagai

pertanyaan tentang permasalahan yaitu sebagai berikut:

1. Bagaimana pengelolaan pendidikan di daerah melalui undang-undang

otonomi daerah?

2. Bagaimana pemerintahan provinsi/kota/kabupaten menyikapi desentralisasi

pendidikan ini?

3. Mengapa masih terdapat beberapa daerah (pemerintahan

provinsi/kota/kabupaten) yang belum siap menerima desentralisasi

pendidikan?

9
4. Apakah dampak yang ditimbulkan dari kebijakan desentralisasi pendidikan

ini?

5. Masih besarkah keinginan pemerintah pusat mempertahankan kewenangan di

dunia pendidikan ini?

1.3. Tujuan Makalah

1. Untuk Mengetahui pengelolaan pendidikan di daerah melalui undang-undang

otonomi daerah.

2. Untuk mengetahui tanggapan pemerintahan provinsi/kota/kabupaten

menyikapi desentralisasi pendidikan ini?

3. Untuk mengetahui daerah (pemerintahan provinsi/kota/kabupaten) yang belum

siap menerima desentralisasi pendidikan?

4. Untuk mengetahui dampak yang ditimbulkan dari kebijakan desentralisasi

pendidikan ini.

5. Untuk mengetahui seberapa besar keinginan pemerintah pusat

mempertahankan kewenangan di dunia pendidikan ini.

10
BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Landasan Teori


2.2.1.1. Pengelolaan Pendidikan di Daerah

Salah satu kewenangan yang di-desentralisasikan ke daerah adalah

penyelenggaraan pendidikan. Dalam kaitan ini, struktur pemerintahan daerah yang

berhak menyelenggarakan pendidikan adalah pada tingkat kabupaten/kota.

Sementara pemerintah provinsi sebagai perpanjangan tangan dari pusat untuk

mengkoordinasikan implementasi berbagai kewenangan yang diberikan pada

setiap kabupaten/kota. Setiap kebijakan dalam skala nasional, terlebih dalam

bidang pendidikan yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat, selalu

menimbulkan impilikasi baik dalam kurun waktu singkat maupun dalam jangka

waktu panjang.

Semenjak awal, penyelenggaraan pendidikan telah ditangani secara sentral

oleh pemerintah pusat, sehingga masyarakat hanya menjadi pengguna jasa

pendidikan yang disediakan pemerintah atau pihak swasta. Tuntutan reformasi

yang menuntut pengembalian hak-hak demokrasi kepada rakyat, berimbas pada

otonomi daerah dan mendesentralisasikan kewenangan untuk mengurus sendiri

bidang pendidikan di daerah-daerah. Melalui berbagai produk peraturan dan

perundang-undangan, pemerintah memberikan kewenangan dan tanggungjawab

pengelolaan pendidikan uang dilimpahkan ke daerah sesuai dengan tuntutan

otonomisasi. Kebijakan desentralisasi pendidikan di Indonesia apada gilirannya

memberikan ruang dan kewenangan bagi pemerintah daerah, masyarakat dan

lembaga pendidikan untuk menentukan langkah-langkah yang tepat guna

11
meningkatkan mutu pendidikannya sesuai dengan kemampuan dan potensi yang

dimiliki setiap daerah. Pasal 56 UU Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem

Pendidikan Nasional menyebutkan:

1. Masyarakat berperan dalam meningkatkan mutu pelayanan pendidikan yang


meliputi perencanaan, pengawasan, dan evaluasi program pendidikan melalui
dewan pendidikan dan komite sekolah/madrasah.
2. Dewan pendidikan sebagai lembaga mandiri dibentuk dan berperan ddalam
peningkatan mutu pelayanan pendidikan dengan memberikan pertimbangan,
arahan dan dukungan tenaga, sarana dan prasarana, serta pengawasan
pendidikan pada tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota yang tidak
mempunyai hubungan hirarkis.
3. Komite sekolah/madrasah, sebagai lembaga mandiri, dibentuk dan berperan
dalam peningkatan mutu pelayanan dengan memberikan pertimbangan, arahan
dan dukungan tenaga, sarana dan prasarana, serta pengawasan pendidikan pada
tingkat satuan pendidikan.

Selanjutnya dalam PP 25 Tahun 2005 tentang Kewenangan Pemerintah dan

Kewenangan Provinsi sebagai Daerah Otonomi khususnya Pasal 2 dan 3 yang

mengatur tentang kewenangan penyelenggaraan bidang pendidikan dan

kebudayaan di daerah, yaitu:

Pasal 2

a. Penetapan standar kompetensi siswa dan warga belajar serta pengaturan


kurikulum nasional dan penilaian hasil belajar secara nasional serta pedoman
pelaksanaannya.
b. Penetapan standar materi pelajaran pokok.
c. Penetapan persyaratan perolehan dan penggunaan gelar akademik.
d. Penetapan pedoman pembiayaan penyelenggaraan pendidikan.
e. Penetapan persyaratan penerimaan, perpindahan, sertifikasi siswa, warga
belajar dan mahasiswa.
f. Penetapan persyaratan pemintakan/zoning, pencarian, pemanfaatan,
pemindahan, penggadaan, sisteni pengamanan dan kepemilikan benda cagar
budaya serta persyaratan penelitian arkeologi.
g. Pemanfaatan hasil penelitian arkeologi nasional serta pengelolaan museum
nasional, galeri nasional, pemanfaatan naskah sumber arsip, dan monument
yang diakui secara internasional.
h. Penetapan kalender pendidikan dan jumlah jam belajar efektif setiap tahun bagi
pendidikan dasar, menengah dan luar sekolah.

12
i. Pengaturan dan pengembangan pendidikan tinggi, pendidikan jarak jauh serta
pengaturan sekolah internasional.
j. Pembinaan dan pengembangan bahasa da sastra Indonesia.

Pasal 3

a) Penetapan kebijakan tentang penerimaan siswa dan mahasiswa dari masyarakat


minoritas, terbelakang, dan atau tidak mampu.
b) Penyediaan bantuan pengadaan buku pelajaran pkok/modul pendidikan untuk
taman kanak-kanak, pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan
luar sekolah.
c) Mendukung dan membantu penyelenggaraan pendidikan tinggi selain
pengaturan kurikulum, akreditasi dan pengangkatan tenaga akademis.
d) Pertimbangan pembukaan dan penutupan perguruan tinggi.
e) Penyelenggaraan museum provinsi, suaka peninggalan sejarah, kepurbakalaan,
kajian sejarah dan nilai tradisional serta pengembangan bahasa dan budaya
daerah.

Menjawab permasalahan yang berkaitan dengan fungsi dan kewenangan

pengelolaan pendidikan. Menurut Tilaar (2004:27) menjelaskan, kerancuan fungsi

dan wewenang lembaga-lembaga pemerintah yang menangani masalah

pendidikan dan kebudayaan di daerah tentunya sangat melemahkan

pengembangan lembaga-lembaga pendidikan untuk dikelola lebih professional

dan lebih bermakna bagi masyarakat setempat. Antara Pemda Kabupaten dengan

masyarakat di dalam penyelenggaraan pendidikan dan kebudayaan terdapat

hubungan akuntabilitas horizontal, artinya masyarakat dan Pemda dua-duanya

bertanggung jawab terhadap “The stakeholders” (masyarakat) yang memiliki

pendidikannya.

Pemerintah daerah berkewajiban untuk membantu masyarakat agar

penyelengaraan pendidikannya efisien dan bermutu. Kalau dahulu antara

pemerintah daerah dengan masyarakat di dalam penyelenggaraan pendidikan

terdapat hubungan hirarkis yang subordinatif, maka sekarang hubungan tersebut

13
menjadi hubungan kemitraan yang sejajar dan kedua-duanya mempunyai

kewajiban menyelenggarakan pendidikan yang accountable terhadap masyarakat.

Untuk penanganan strategi pengelolaan pendidikan di daerah, dibutuhkan fungsi

hubungan antar lembaga sehingga secara vertical dan horizontal terjalin proses

komunikasi dan koordinasi diantara instansi terkait lainnya di daerah (Tilaar,

2010).

Berdasarkan pandangan tersebut maka dapat dipahami bahwa, seharusnya

bentuk kewenangan penyelenggaraan pendidikan sesuai dengan hakikat otonomi

daerah yang mengharuskan dan mewajibkan setiap pemerintah Kabupaten/Kota

untuk mengelola pendidikan sesuai dengan ciri-khas dan keunggulan yang

dimiliki daerah itu. Sikap responsif dan itikad baik pemerintah daerah setempat

akan teruji dalam komitmen bersama untuk memprioritaskan pendidikan sebagai

wujud peningkatan pembangunan daerah dalam konteks sumber daya manusia

melalui lembaga pendidikan.

Dengan demikian, perlu adanya penekanan dalam konteks otonomi daerah

adalah kesempatan untuk mengurus rumah tangga sendiri. Oleh karena itu, dalam

aspek manajemen pendidikan, kesiapan seluruh perangkat pemerintah daerah dan

penyelenggara pendidikannya harus benar-benar profesional dalam menangani

persoalan-persoalan pendidikan yang sebelumnya belim tuntas ditangani. Jika

implementasi otonomi daerah dalam bidang pendidikan tidak dipersiapkan secara

sistematis, terencana dan berkesinambungan, maka harapan untuk meningkatkan

pendidikan yang bermutu, ber-martabat dan berdaya saing yang tinggi, hanya

sekedar cita-cita yang sukar diwujudkan dalam masyarakat. Hal ini mencerminkan

14
bahwa konsep desentralisasi pendidikan di Indonesia adalah sebuah keharusan,

karena perkembangan masyarakat dan tuntutan perkembangan global yang

mengarah pada terciptanya masyarakat yang demokratis. Naamun demikian, tidak

dapat diartikan sebagai bentuk dari pemerintah”melepaskan tanggung jawab”

kepada daerah. Kemandirian untuk merencanakan, mengorganisasikan,

melaksanakan, mengontrol, dan mebgevaluasi proses penyelenggraan pendidikan,

sudah seyogianya diserahkan pengelolaannya ke daerah-daerah otonom.

2.2.1.2. Kesiapan Daerah

Dengan memperhatikan permasalahan yang telah dirumuskan tersebut,

berikut ini merupakan upaya untuk mendeskripsikan sebagai jawaban dari

permasalahan tersebut. Secara empiris dan realita di lapangan, harus diakui

bahwa masih terdapat daerah tertentu yang belum siap menerima kewenangan dari

pemerintah pusat, khususnya dalam bidang bidang pendidikan ini. Pada bagian

latar belakang telah dijelaskan berbagai kemungkinan-kemungkinan yang

menyebabkan daerah tertentu belum siap menerima desentralisasi pendidikan ini,

yakni diantaranya:

a. Sumber daya manusia (SDM) belum memadai. Maksud dari sumber daya
manusia yang kurang yaitu berhubungan dengan kuantitas dan juga kualitas.
Terdapat daerah tertentu yang kualitas SDM-nya belum dapat dengan baik
memahami, menganalisis, serta mengaplikasikan konsep desentralisasi
pendidikan ini. Demikian pula halnya, yang berkaitan dengan kuantitas atau
jumlah SDM yang ada. Daerah tertentu melihat bahwa dari segi jumlah SDM
mereka masih sangat terbatas. Kalaupun ada yyang telah menyelesaikan
program magisternya, jumlahnya tidak mencukupi atau tidak memadai.

b. Sarana dan prasarana belum tersedia secara cukup dan memadai. Hal ini
berhubungan erta dengan ketersediaan dana yang ada di setiap daerah. Selama
ini, mungkin daerah-daerah tertentu asyik dan terlena dengan sistem dropping

15
yang diterapkan oleh pemerintah pusat. Mereka sangat terkejut (future shock)
ketika tiba-tiba memperolah kewenangan untuk mengelola secara mandiri
sebagain besar urusan pendidikan di daerahnya. Untuk itu, mereka yang belum
siap dengan segala bentuk sarana dan prasarana yang diperlukan. Jika dalam
waktu singkat mereka dipersyaratkan untuk melengkapi segala sarana dan
prasarana tersebut, mereka akan mengalami kesulitan besar. Kecuali, jika
pemerintah pusat masih bersedia membantu atau menyediakan segala bentuk
sarana dan prasarana yang dibutuhkan untuk mengimplementasikan kebijakan
desentralisasi pendidikan tersebut (Chan Sam,M, 2013).

c. Angaran Pendapatan Asli Daerah (PAD) mereka sangat rendah. Beberapa


daerah yang selama ini kita kenal dengan daerah tertinggal, merasa
berkeberatan untuk langsung menerima beban kewenangan kebijakan
desentralisasi pendidikan ini. Pembiayaan pembangunan yang mereka lakukan
selama ini banyak ditunjang oleh pusat atau provinsi. Pendapatan Asli Daerah
(PAD) mereka tergolong masih sangat rendah. Oleh karena itu, jika
memungkinkan, mereka berharap dapat diberi kesempatan untuk menunda
pengimplementasian kebijakan tersebut di daerah mereka. Bila memungkinkan,
mereka bekerja sama dengan pemerintah daerah lainnya yang memiliki PAD
yang lebih besar, yang membuat mereka bisa mendapatkan sistem subsidi
silang.

d. Secara psikologis, mental mereka belum siap menghadapi sebuah perubahan.


Perubahan merupakan sebuah keniscayaan. Namun, tidak semua orang
memiliki pandangan dan sikap yang sama terhadap sebuah perubahan.
Sebagian di antara mereka melihat perubahan sebagai sesuatu yang samar-
samar, tidak jelas, tidak pasti, bahkan sesuatu yang mengkhawatirkan. Hal ini
tidak tertutup akan terjadi pada sebagian aparat atau masyarakat di daerah
tertentu. Katakutan akan masa depan diakibatkan oleh perubahan yang terjadi,
membuat mereka tidak siap secara mental menghadapi perubahan tersebut.

e. Mereka juga gamang atau takut terhadap upaya pembauran. Salah satu bentuk
perubahan yang sering dipakai yaitu upaya pembauran. Pembauran dalam
bidang pendidikan saat ini kita kenal dengan sebutan pembauran kurikulum.
Setiap kali terjadi pembauran kurikulum, para guru kembali disibukkan dengan
berbagai kegiatan, seperti penataran, uji coba model, uji coba mekanisme,
sosialisasi kurikulum, dan sebagainya. Semuanya itu ditangkap oleh sebagaian
personil guru kita sebagai sebuah ‘malapetaka’ aatau setidaknya menjadi beban
yang cukup berat bagi mereka (Tilaar, 2002).

16
2.2.1.3. Sikap Daerah

Dengan berbagai sikap yang direpresentasikan oleh beberapa Pemda dalam

menghadapi implementasi kebijakan desentralisasi pendidikan, di antaranya

sebagai berikut:

a. Sebagian di antara mereka menunjukkan kegembiraan karena hal itu sudah


lama mereka tunggu-tunggu.

b. Ada pula yang menyikapi kebijakan itu dengan biasa-biasa saja. Mereka
menganggap konsep desentralisasi merupakan sebuah konsekuensi dari
perubahan sistem politik atau pemerintahan.

c. Sikap lain yang dapat dibaca dari masyarakat Indonesia yaitu sikap pesimistis.
Mereka menganggap kebijakan tersebut sebagai wujud ketidakberdayaan
pemerintah pusat dalam mengelola masyarakat daerah.

d. Sikap skeptik yang ditunjukkan oleh sebagian Pemda atau masyarakat


memperlihatkan ketidakpercayaan mereka akan maksud baik pemerintah pusat.
Mereka melihat dan masih membaca adanya keinginan-keinginan tersebumnyi
dari pemerintah pusat. Mereka juga masih merasakan ketidakikhlasan
pemerintah pusat dalam melepaskan sebagian wewenangnya kepada Pemda.

e. Sikap lain yang diperlihatkan oleh sebagian Pemda yaitu sikap khawatir dan
rasa takut. Hal ini dilakukan karena berkaitan dengan ketersediaan dana,
prasarana, dan sarana yang mendukung, kurang mereka miliki. Apabila hal ini
dipaksakan pada daerah mereka, hanya akan menambah banyak orang yang
kurang bahagia. Rasa takut ini berhubungan dengan ketidakyakinan mereka
akan kemampuan mereka dalam mengimplementasikan kebijakan tersebut
(Mulyasa, 2002).

2.2.1.4. Bentuk Kewenangan Pusat

Pemerintah pusat masih saja mempertahankan bentuk-bentuk kewenangan

di dunia pendidikan. Hal ini terlihat jelas pada Peraturan Pemerintah Republik

Indonesia Nomor 25 Tahun 2000 tentang kewenangan pemerintah dan

kewenangan provinsi sebagai daerah otonomi, khususnya pada pasal 2, butir 11,

17
bidang pendidikan tercantum 10 butir kewenangan yang masih dipegang oleh

pemerintah pusat, diantaranya terdaapt tujuh hal yang penetapannya masih di

genggam oleh pusat. Kewenangan lainnya berhubungan dengan pemanfaatan hasil

penelitian, pengaturan dan pengembangan pendidikan jarak jauh, serta sekolah

internasional. Termasuk pula di dalamnya melakukan pembinaan dan

pengembangan bahasa dan sastra Indonesia. Mengenai tujuh hal yang

penetapannya masih dibawah kewenangan pusat, diantaranya berhubungan

dengan standar kompetensi siswa serta pengaturan kurikulum nasional dan

penilaian secara nasional; standar materi pelajaran pokok; gelar akademik; biaya

penyelenggaraan pendidikan; penerimaan, perpindahan, sertifikasi

siswa/mahasiswa; benda cagar alam budaya; dan kalender akademik (PP No. 25

Tahun 2000).

2.2.1.5. Dampak Kebijakan

Dampak yang ditimbulkan dari kebijakan desenralisasi pendidikan adalah

sebagai berikut:

a. Kemungkinan daerah akan memanfaatkan kondisi yang ada untuk mndapatkan


atau memperoleh pendapatan daerah. Tentu saja, hal ini sangat riskan
dilakukan karena berhubungan langsung dengan masyarakat atau rakyat kecil
“akar rumput” yang semestinya mendapatkan pendidikan gratis dari
pemerintah.

b. Desentralisasi pendidikan ini memberi peluang kekuasaan yang cukup kuat dan
besar bagi para kepala dinas pendidikan. Hal ini membuka peluang bagi
terciptanya raja-raja kecil di daerah, khususnya ketika control pemerintah
propinsi dan pusat tidak lagi berperan dalam pengambilan keputusan. Dengan
demikian, para kepala dinas pendidikan pemerintah kota atau kabupaten
tersebutlah yang secara individual memiliki kekuasaan dan kewenangaan
dalam pengmbilan keputusan decision making

18
c. Kebijakan ini juga ada kemungkinan akan menimbulkan jurang yang semakin
lebar antara si kaya dan simiskin. Hal ini bisa terjadi karena daerah-daerah
dengan PAD besar akan memberikan porsi dana pendapatannya itu untuk
kesejahteraan guru-gurunya. Sementara daerah lainnya tidak mungkin
melaksanakannya. Hal ini sampai terjadi karena mereka tidak memiliki dana
yang cukup besar untuk menambah insentif bagi para guru-guru mereka.

d. Desentralisasi pendidikan ini juga bias berdampak negative terhadap


pemerataan pendistribusian tenaga guru. Dengan kata lain, daerah-daerah kaya
akan menyedot tenaga guru yang berkualitas, sekaligus secara kuantitas guru-
guru itu akan berkumpul di daerah yang kaya tersebut. Bagaimana halnya
dengan daerah-daerah yang PADnya sangat kecil ? mereka akan ditinggalkan
oleh guru-guru mereka. Akhirnya tempat-tempat tertentu di Indonesia ini akan
kelebihan tenaga guru, sementara daerah lainnya akan mengalami kekurangan
tenaga guru.

e. Ada juga mengatakan bahwa desentralisasi ini hanya akan memindahkan


praktik-praktik kotor korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) dari pusat ke
daerah. Praktik KKN ini di bidang pendidikan yang selama ini banyak
dilakukan oleh para penguasa orde baru, ada kemungkinan akan bergerak
secara perlahan, tetapi passti menuju daerah-daerah yang basah dan kaya. Bila
daerah-daerah tersebut membuka peluang untuk mereka menjalankan misi dan
visi malingnya, tidak akan mustahil KKN akan menjadi semakin sukses
berkembang di daerah tersebut.

f. Selain penjelasan tersebut, kita dapat juga memperdiksi tentang kemungkinan


beragamnya hasil belajar siswa. Hal ini disebabkan pembuatan silabus materi
pembelajaran dibuat berdasarkan kebutuhan siswa, keadaan sekolah, dan
kondisi daerah. Perbedaan-perbedaa tersebut memberi kemungkinan terjadinya
keberagaman hasil belajar siswa. Kalau kondisi sudah begini rupa, akan sulit
bagi kita untuk mendapatkan angka-angka yang dapat berbicara dalam skala
nasional. Pada akhirnya kondisi ini akan mengarah pada stidak meratanya
mutu/kualitas hasil belajar/ tamatan siswa kita (Tilaar, 2002).

2.2. Analisis SWOT

Banyak sumber daya manajemen yang terlibat dalam organisasi atau

lembaga-lembaga termasuk pendidikan, antara lain: manusia, sarana dan

prasarana, biaya, teknologi, daan informasi. Namun demikian, sumber daya yang

19
paling penting dalam pendidikan adalah sumber daya manusia. Bagaimana

seorang manajer menyediakan tanaga, bakat kreativitas, dan semangatnya untuk

memajukan sebuah organisasi. Katen itu, tugas terpenting dari manajer adalah

menyeleksi, menempatkan, melatih dan mengembangkan sumber daya manusia.

Persoalannya pengembangan sumber daya manusia mempunyai hubungan yang

positif dengan produktivitas dan pertumbuhan organisasi, kepuasan kerja,

kekuatan dan profesionalitas manajer. Salah satu alternatif yang diambil atau

dilakukan seorang manajer adalah dengan melakukan analisa SWOT guna untuk

mengevaluasi kinerja dan proses pertumbuhan dan pengembangan organisasi atau

lembaga.

Menurut Rangkuti (2006:30) mengemukakan bahwa: Analisa SWOT adalah

identifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk merumuskan strategi

perusahaan. analisa ini didasarkan pada hubungan atau interaksi antara unsur-

unsur internal, yaitu kekuatan dan kelemahan, terhadap unsur-unsur eksternal

yaitu peluang dan ancaman.

Dengan berdasarkan konsep tersebut, dapat diasumsikan bahwa: analisis

SWOT adalah sebuah bentuk analisis situasi dan kondisi yang bersifat deskriptif

(memberi gambaran). Analisa ini menempatkan situasi dan kondisi sebagai factor

masukan, yang kemudian dikelompokkan menurut kontribusinya masing-masing.

Analisis SWOT sangat penting perannya, diantaranya, dalam hal meningkatkan

mutu pendidikan dan kinerja pada sektor publik, karena analisis dan gambaran

yang diberikan merupakan tolak ukur dalam mengembangkan lembaga/satuan

pendidikan/kinerja yang berkesinambungan terus-menerus. Menyimak hasil

20
uraian tersebut, maka pada bahasan berikut ini dilakukan analisis SWOT tentang

problem yang telah dijelaskan pada bagian awal tersebut.

1. Kekuatan Kebijakan Desentralisasi

Kekuatan-kekuatan desentralisasi pendidikan adalah:

a. Sudah merupakan kebijakan yang populis;


b. Mendapat dukungan yang kuat dari berbagai pihak, khususnya dari para
wakil rakyat yang menduduki kursi DPR-RI;
c. Sebagai hal yang telah lama ditunggu-tunggu menyusul adanya
perubahan social-politik;
d. Kesiapan anggaran yang cukup dengan ditetapkannya anggaran
pendidikan sebesar 20% dari APBN tahun 2014;
e. Efisiensi perjalanan anggaran sebagai wujud pemangkasan birokrasi.

Oleh karena itu, sudah merupakan kebiakan populis, desentralisasi

pendidikan pasti didukung oleh berbagai lapisan masyarakat, khususnya

masyarakat pendidikan di daerah. Kekuatan lain yang juga amat mendukung bagi

lahirnya kebijakan ini adalah dukungan dari ppihak legislative. Kekuatan laainnya

adalah kesadaran yang tinggi dari masyarakat untuk menghadapi perubahan.

Termasuk di dalam hal ini adalah kesadaran masyarakat. Menyikapi desentralisasi

pendidikan. Anggota masyarakat amat dituntut partisipasinya dalam menjalani

perubahan tersebut.

Kekuatan yang tidak kalah pentingnya adalah dukungan dana anggaran

pendidikan yang cukup tinggi dibandingkan anggaran sebelumnya, yaitu kurang

dari 4%. Kita berharap anggaran pendidikan yang disepakati 20% dari APBN

dijadikan priotitas utama sebelum penganggaran bidang lainnya.

21
2. Kelemahan Kebijakan Desentralisasi

Adapun kelemahan yang mungkin timbul dalam implementasi kebijakan

desentralisasi pendidikan melalui UU Otonomi Daerah adalah:

a. Kurang siapnya SDM daerah terpencil;


b. Tidak meratanya pendapatan asli daerah (PAD), khususnya daerah-
daerah miskin;
c. Mental korup (raja-raja kecil yang muncul di daerah) yang telah
membudaya dan mendarah daging;
d. Menimbulkan pemimpin yang “rakus” di daerah surplus;
e. Dijadikan komoditas;

f. Belum jelasnya pos-pos pendidikan, sehingga akan cukup merepotkan


Depdiknas dalam mengalokasikan. Walhasil akan menguntungkan
departemen-departemen lain yang mengelola pendidikan atau pelatihan,
padahal departemen lain telah memperoleh dana dari APBN. Sementara
itu, hasilnya masih diragukan karena ditangani bukan oleh para
ahlinya/yang professional dalam pendidikan.

Dengan melihat dari berbagai kelemahan-kelemahan tersebut, maka solusi

yang harus dilakukan oleh pemerintah pusat adalah melakukan monitoring dan

evaluasi secara ketat, dan berkesinambungan agar dapat meminimalisir

keberadaannya.

3. Peluang Implementasi Kebijakan

Setelah melihat kekuatan sekaligus kelemahan dari kebijakan desentralisasi

pendidikan, harus dicarikan solusi atau celah peluang keberhasilan dalam

pelaksanaannya. Mengingat kabijakan ini lahir dari arus paling bawah (grass

roots), walaupun baru terlaksana sekarang di era reformasi, kebijakan ini memiliki

22
peluang yang cukup signifikan dalam hal keberhasilan pelaksanaannya karena

telah menjadi focus perhatian dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dukungan dan

control dari masyarakat dapat terus berjalan selama kebijakan ini digunakan.

4. Tantangan Implementasi

Adapun tantangan yang harus diperhitungkan dalam pengimplementasikan

kebijakan ini adalah munculnya individu-individu atau lembaga-lembaga serakah

yang mencari kesempatan dalam kesempitan. Sekali lagi bagaimanapun harus

diwaspadai mental-mental korup yang haus akan uang. Salah satu contonya

adalah terindikasi di Provinsi Sulawesi Tenggara (Kabupaten Buton Utara) yang

belum pernah disentuh oleh KPK sampai saat ini, sehingga para pejabat dan

pengelola pendidikan yang korup telah berkeliaran mencari pos-pos anggaran

yang belum dijamak.

23
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil uraian tersebut dapat ditarik beberapa simpulan yaitu

sebagai berikut:

1. Pengelolaan pendidikan di daerah melalui undang-undang otonomi daerah

belum terlaksana secara maksimal, terutama dalam hal pengendalian,

pengawasan dan supervise baik Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota maupun

UPTD setempat perlu dimaksimalkan untuk dapat mendeteksi berbgai

permasalahan yang muncul, sehingga dapat dirmuskan perencanaan, dan

pengembangan program-program pendidikan yang sesuai dengan konteks

masing-masing potensi daerah.

2. Kebijakan desentralisasi pendidikan ini merupakan suatu keniscayaan. Hal itu

harus diimplementasikan pada tataran praktisi, tidak hanya sebagai sebuah

wacana.

3. Implementasi kebijakan desentralisasi pendidikan ini memiliki kekuatan dan

sekaligus kelemhan dalam proses pengimpelementasikannya.

4. Konsep desentraliasasi pendidikan, dapat dikatakan “agak terganggu” dengan

adanya PP. No. 25 Tahun 2000, tentang kewenangan pemerintah dan

kewenangan provinsi sebagai daerah otonomi. Ada kesan menddalam

(tersembunyi) yang terbaca bahwa pemerintah belum ikhlas memberikan

kewenangannya kepada pemerintah provinsi/kabupaten/kota secara penuh.

24
5. Pemerintah belum berlaku tegas terhadap bentuk-bentuk pelanggaran yang

dilakukan oleh pemerintah provinisi/kabupaten/kota yang melakukan

pelanggaran/penyimpangan dari aturan main yang ada.

3.2 Saran dan Rekomendasi

1. Pemerintah Pusat harus bekerjasama yang baik dengan pemerintah daerah;

untuk melakukan pengendalian dan pengawasan terhadap pengelolaan

pendidikan di daerah-daerah.

2. Seharusnya dan perlu adanya kerja sama dari seluruh stakeholders dalam

implementasi kebijakan desentralisasi pendidikan.

3. Pemerintah secepatnya mengeluarkan keputusan Presiden yang mengatur

lebih jelas pelaksanaan tentang desentralisasi pendidikan, dan terutama yang

berkaitan dengan pos-pos anggaran pendidikan bagi daerah setempat.

4. Pemerataan SDM, khususnya guru-guru ke desa-desa terpencil dan miskin,

dengan memberikan insentif yang memadai dan wajar, karena selama ini

terkesan distribusi guru-guru yang professional hanya terfokus di pulau Jawa.

5. Pemerintah harus memprioritaskan bantuan dana kepada daerah-daerah

tertinggal dan terpencil, dan segera menginstruksikan kepada pemerintah

daerah provinsi/kabupaten/kota untuk segera merealisasikan anggaran

pendidikan sesuai dengan UU Otonomi Daerah sebesar 20% dari APBD

maupun APBN.

25
DAFTAR PUSTAKA

Chan, S.M. (2013). Kebijakan Pendidikan Era Otonomi Daerah. Jakarta: Raja
Grafindo Persada.

Halim, Abdul. (2001). Bunga Rampai Manajemen Keuangan Daerah.


Yogyakarta: UPP AMP YKPN.

Mahsun, M. (2013). Pengukuran Kinerja Sektor Publik Edisi Pertama.


Yogyakarta : BPFE Yogyakarta

Mulyasa, E. (2002). Manajemen Berbasis Sekolah: Konsep, Strategi, dan


Implementasi. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2000. Tentang


Kewenangan Pemerintah Pusat dan Kewenangan Pemerintah provinsi.

Rangkuti, Freddy. (2006). Analisis SWOT Teknik Membedah Kasus Bisnis.


Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Tilaar, H.A.R. (2002). Membenahi Pendidikan Nasional. Jakarta: Rineka Cipta.

(2004). Paradigma Baru Pendidikan Nasional. Jakarta: Rineka Cipta.

(2010). Paradigma Baru Pendidikan Nasional. Edisi Ke 3. Jakarta:


Rineka Cipta.

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999. Tentang Otonomi Daerah.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003. Tentang Sistem


Pendidikan Nasional. Sisdiknas.

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Tentang Pemerintahan Daerah.

Widjaja, H.A.W. (1998). Percontohan otonomi Daerah di Indonesia. Edisi Ke 1.


Jakarta: Rineka Cipta.

26

Anda mungkin juga menyukai