Anda di halaman 1dari 166

BUKU AJAR

PEMERINTAHAN DAERAH

Oleh:

Dian Eka Prastiwi, SH, MH


NIDN : 0425049101

Dosen pada:
Jurusan : Ilmu Hukum
Fakultas : Fakultas Hukum

UNIVERSITAS PAMULANG
2019

i
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL .............................................................................................. i
KATA PENGANTAR ............................................................................................... ii
DAFTAR ISI .............................................................................................................. iii
BAB I. PROBLEMATIKA OTONOMI DAERAH
BAB II. TUGAS OTONOMI DAERAH DI ERA REFORMASI
BAB III. STUDI LEMBAGA-LEMBAGA PEMERINTAHAN DAERAH
BAB IV. PENGEMBANGAN PEMERINTAHAN UMUM DAN PEMBINAAN
WILAYAH DALAM OTONOMI DAERAH
BAB V. PENGAWASAN TERHADAP PEMERINTAHAN DAERAH
BAB VI. PEMERINTAHAN LOKAL DAN OTONOMI DAERAH DALAM
PERSPEKTIF GENDER DAN KEARIFAN LOKAL
BAB VII. DPRD DAN OTONOMI DAERAH DALAM PERSPEKTIF UUD 1945
DAN UU NOMOR 32 TAHUN 2004
BAB VIII. TEORI DAN PRAKTIK PEMERINTAHAN DAERAH DAN OTONOMI
DAERAH DI INDONESIA
BAB IX PEMILIHAN KEPALA DAERAH
BAB X SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL
BAB XI POKOK-POKOK RPJMN 2015-2019
BAB XII PEMBAHASAN KESIMPULAN

DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I PROBLEMATIKA OTONOMI DAERAH

1.1 Latar Belakang


Otonomi daerah merupakan proses pengejewantahan penerapan sistem
desentralisasi. Dimana sistem desentralisasi diterapkan sebagai tindak lanjut
demokratisasi di Indonesia. Proses sejarahlah yang memaksa diterapkannya
sistem desentralisasi yang bertujuan untuk mengurangi sentralitas kekuasaan
pada pemerintah pusat. Sejarah telah membuktikan bahwa sentralitas
pemerintah pusat menyebabkan sempitnya ruang bagi rakyat untuk
mengembangkan potensi yang sebenarnya bermanfaat untuk keberlangsungan
disegala bidang pemerintahn maupun non pemerintahan. Hal ini juga
berkaitan dengan hakikat sistem demokrasi yang diterapkan di Indonesia,
yaitu rakyat mempunyai kedaulatan tertinggi. Fakta sentralitas pemerintah
pusat pada masa Orde Baru (Orba) terbukti telah menyalahi hakikat dari
demokrasi, terlepas dari tidak jelasnya aturan demokrasi yang diterapkan di
Indoneisa apakah langsung atau tidak langsung. Maka dari itu, sistem
desentarlisasi ditetapkan untuk membagi kekuasaan antara pemerintah pusat
dengan pemerintah daerah. Pemerintah daerah memiliki wewenang untuk
mengatur pemerintahannya sendiri sering disebut otonomi daerah.

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 sebagai dasar pelaksanaan


otonomi daerah. Dengan adanya otonomi daerah diharapkan berkembangnya
secara maksimal potensi yang dimiliki daerah dan mengurangi jarak antara
rakyat dengan pemerintah sehingga rakyat dengan mudah menyalurkan
aspiransinya.

Negara-negara yang menggunakan sistem demokrasi secara faktanya


tidak lepas dari permasalahan baik yang bersifat lokal maupun non lokal.
Justru fakta menunjukkan bahwa negara demokrasi mengalami permasalahan
yang sangat kompleks dibandingkan dengan negara non demokrasi. Masalah
yang sering terjadi berkaitan dengan kedaulatan tertinggi yang dimiliki oleh
rakyat. Selain itu juga permasalahan yang sekarang terjadi yaitu dengan
1
keluarnya Undang-Undang terbaru mengenai Pemerintah Daerah UU No. 32
Tahun 2004 Jo UU No. 23 Tahun 2014 dengan adanya Peraturan Pemerintah
pengganti UU No 23 Tahun 2014 sehingga menjadi rancu dalam peraturan
mengenai Pemerintah Daerah.

1.2. Desentralisasi dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah

Era globalisasi menghadapkan Indonesia pada suatu tuntutan untuk


melaksanakan pembangunan di segala bidang secara merata, termasuk juga
menuntut kesiapan setiap daerah untuk mampu berpengawasan serta di
dalamnya. Antisipasi terhadap arus globalisasi ini diperlukan setiap daerah,
terutama berkaitan dengan peluang dan tantangan penanaman modal asing di
daerah dan persaingan global di daerah. Pemerintahan daerah yang
diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah adalah semacam keleluasaan daerah dalam mewajudkan
otonomi yang luas dan bertanggungjawab untuk mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan prinsip-prinsip demokrasi,
peran serta masyarakat, prakarsa dan aspirasi masyarakat, atas dasar
pemerataan dan keadilan, serta sesuai dengan kondisi, potensi dan
keanekaragaman daerah. Untuk itu, pemerintah daerah perlu mempunyai
kemauan sungguh-sungguh dan kesiapan untuk mampu melaksanakan
kebijakan otonomi daerah untuk kepentingan rakyat daerahnya dalam
menghadapi arus globalisasi. Dalam kerangka negara kesatuan, eksistensi
otonomi daerah dan pelaksanaannya didukung dengan adanya pasal Pasal 18
ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 beserta penjelasannya dapat
disimpulkan bahwa: Wilayah Indonesia dibagi atas dalam daerah-daerah,
baik yang bersifat otonom maupun bersifat administratif. Daerah-daerah itu
mempunyai pemerintahan, yang pembagian wilayah dan bentuk sususan
pemerintahannya ditetapkan dengan atau atas kuasa undang-undang.
Pembentukan daerahdaerah itu, terutama daerah-daerah otonom dan dalam

2
menentukan susunan pemerintahannya harus dengan permusyawaratan dalam
sistem pemerintahan negara dan hak-hak asal-usul dalam daerah-daerah yang
bersifat istimewa (asli). Didalam negara kesatuan tanggung jawab pelaksanaan
tugas-tugas pemerintahan pada dasarnya tetap berada di tangan Pemerintah
Pusat. Akan tetapi karena sistem pemerintahan Indonesia salah satunya
menganut asas negara kesatuan yang didesentralisasikan, maka ada tugas-
tugas tertentu yang diurus sendiri, sehingga menimbulkan hubungan timbal
balik yang melahirkan adanya hubungan kewenangan dan pengawasan.

Pasal 1 Butir 7 UU No. 32 Tahun 2004 menjelaskan asas desentralisasi


dalam pelaksanaan otonomi adalah memberikan keleluasaan organ daerah
otonom yang berhak mengurus rumah tangganya sendiri dalam rangka
desentralisasi. Dalam asas desentralisasi terjadi penyerahan wewenang
sepenuhnya dari pemerintah pusat kepada pemerintahan daerah tentang urusan
tertentu, sehingga pemerintahan daerah dapat mengambil prakarsa
sepenuhnya, baik yang menyangkut policy, perencanaan, pelaksanaan,
maupun pembiayaannya. Pemerintahan daerah melaksanakan urusan
pemerintahan yang dilimpahkan agar menjadi urusan rumah tangganya
sendiri.

Penjelasan asas desentralisasi sebagai pelaksanaan otonomi daerah di


atas di dasarkan pada pengertian yang ada di konstitusi, yaitu berdasarkan UU
Nomor 32 Tahun 2004 (Tentang Pemerintahan Daerah). Kemudian pada
perkembangannya banyak definisi yang bermunculan sehingga menimbulkan
perbedaan karena ditinjau dari sudut keilmuan yang berbeda yang kemudian
berdampak pada perbedaan tujuan dari desentralisasi sebagai asas pelaksana
otonomi daerah. Dimana permasalahn perbedaan tujuan desentralisasi karena
adanya perbedaan dalam mengartikannya justru semakin memperjelas atau
memperinci tujuan dari desentralisasi tersebut. Diantaranya tujuan
desentralisasi dari pengertian desentralisasi dalam perspektif politik,
administratif, dan pengertian satu lagi yang dirumuskan oleh Syarif Hidayat

3
dalam jurnal Ilmu Politik Volume 1 Nomor 1 Tahun 2008 yaitu tujuan
desentralisasi dalam perspektif State Society-Relation.

a. Tujuan desentralisasi dalam perspektif desentralisasi politik


Secara umum, perspektif desentralisasi politik lebih
menekankan tujuan yang hendak dicapai pada aspek politis, antara
lain: meningkatkan keterampilan dan kemampuan politik para
penyelenggara pemerintah dan masyarakat, serta mempertahankan
integrasi nasional. Dalam formulasi yang lebih rinci, Smith (1985)
membedakan tujuan desentralisasi berdasarkan kepentingan nasional
(pemerintah pusat), dan dari sisi kepentingan pemerintah daerah.

Kepentingan nasional

Bila dilihat dari sisi kepentingan pemerintah pusat, tulis Smith


(1985), sedikitnya ada tiga tujuan utama desentralisasi. Pertama,
political education (pendidikan politik)3, maksudnya adalah, melalui
praktik desentralisasi diharapkan masyarakat belajar mengenali dan
memahami berbagai persoalan sosial, ekonomi, dan politik yang
mereka hadapi; menghindari atau bahkan menolak untuk memilih
calon anggota legislatif yang tidak memiliki qualifikasi kemampuan
politik; dan belajar mengkritisi berbagai kebijakan pemerintah,
termasuk masalah penerimaan dan belanja daerah (Maddick, 1963:
50106). Tujuan kedua desentralisasi dari sisi kepentingan pemerintah
pusat adalah to provide training in political leadership (untuk latihan
kepemimpinan). Tujuan desentralisasi yang kedua ini berangkat dari
asumsi dasar bahwa pemerintah daerah merupakan wadah yang paling
tepat untuk training bagi para politisi dan birokrat sebelum mereka
menduduki berbagai posisi penting di tingkat nasional. Kebijakan
desentralisasi diharapkan akan memotivasi dan melahirkan calon-calon
pimpinan pada level nasional. Tujuan ketiga desentralisasi dari sisi
kepentingan pemerintah pusat adalah to create political stability (untuk
menciptakan stabilitas politik).
4
Kepentingan pemerintah daerah

Dari sisi kepentingan pemerintah daerah, tujuan pertama


desentralisasi adalah untuk mewujudkan political equality. Melalui
pelaksanaan desentralisasi diharapkan akan lebih membuka
kesempatan bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam berbagai
aktivitas politik di tingkat lokal. Masyarakat di daerah, tulis Smith
(1985: 24), dapat dengan elegan mempraktikkan bentuk-bentuk
partisipasi politik, misalnya menjadi anggota partai politik dan
kelompok kepentingan, mendapatkan kebebasan mengekspresikan
kepentingan, dan aktif dalam proses pengambilan kebijakan. Tujuan
kedua desentralisasi dari sisi kepentingan pemerintah daerah adalah
local accountability7. Melalui pelaksanaan desentralisasi diharapkan
dapat tercipta peningkatan kemampuan pemerintah daerah dalam
memperhatikan hak-hak komunitasnya, yang meliputi hak untuk ikut
serta dalam proses pengambilan keputusan dan implementasi kebijakan
di daerah, serta hak untuk mengontrol pelaksanaan pemerintahan
daerah. Tujuan ketiga desentralisasi dari sisi kepentingan pemerintah
daerah adalah local responsiveness. Asumsi dasar dari tujuan
desentralisasi yang ketiga ini adalah: karena pemerintah daerah
dianggap lebih mengetahui berbagai masalah yang dihadapi
komunitasnya, pelaksanaan desentralisasi akan menjadi jalan terbaik
untuk mengatasi masalah dan sekaligus meningkatkan akselerasi
pembangunan sosial dan ekonomi di daerah.

b. Tujuan desentralisasi dalam perspektif desentralisasi administrasi


Perspektif desentralisasi administrasi lebih menekankan pada
aspek efisiensi dan efektifitas penyelenggaraan pemerintahan dan
pembangunan ekonomi di daerah sebagai tujuan utama desentralisasi.
Rondinelli (1983: 4), misalnya, menyebutkanbahwa tujuan utama yang
hendak dicapai melalui kebijakan desentralisasi adalah untuk
meningkatkan kemampuan pemerintah daerah dalam menyediakan

5
public good and services, serta untuk meningkatkan efisiensi dan
efektivitas pembangunan ekonomi di daerah.

c. Tujuan desentralisasi dalam perspektif desentralisasi State


SocietyRelation.
Bila desentralisasi dipahami berdasarkan perspektif
statesociety relation, akan diketahui bahwa sejatinya keberadaan
desentralisasi adalah untuk mendekatkan negara kepada masyarakat,
sedemikian rupa sehingga antara keduanya dapat tercipta interaksi
yang dinamis, baik pada proses pengambilan keputusan maupun dalam
implementasi kebijakan (Vincent Ostrom, 1991). Kerangka berfikir
perspektif state-society relation mengartikulasi desentralisasi bukan
sebagai tujuan akhir tetapi hanya sebagai alat atau sarana untuk
menegakkan kedaulatan rakyat (society). Tujuan akhir yang hendak
dicapai tidak lain adalah demokratisasi, kemakmuran, dan
kesejahteraan rakyat. Dengan kerangka berfikir seperti ini sulit
dipungkiri bahwa perspektif state-society relation cenderung tidak
memisahkan antara konsep dan implementasi kebijakan desentralisasi
dengan sistem politik dan/atau tipe rezim yang sedang berkuasa.

1.3 Landasan Hukum Pelaksanaan Otonomi Daerah


Pemberlakuan sistem otonomi daerah merupakan amanat yang
diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 (UUD 1945) Amandemen Kedua tahun 2000 untuk dilaksanakan
berdasarkan undang-undang yang dibentuk khusus untuk mengatur
pemerintahan daerah. UUD 1945 pasca-amandemen itu mencantumkan
permasalahan pemerintahan daerah dalam Bab VI, yaitu Pasal 18, Pasal
18A, dan Pasal 18B. Sistem otonomi daerah sendiri tertulis secara umum
dalam Pasal 18 untuk diatur lebih lanjut oleh undang-undang.

6
Pasal 18 ayat (2) menyebutkan, “Pemerintahan daerah provinsi, daerah
kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan
menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.” Selanjutnya, pada ayat (5)
tertulis, “Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluasluasnya kecuali
urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai
urusan pemerintah pusat.” Dan ayat (6) pasal yang sama menyatakan,
“Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-
peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.

Secara khusus, pemerintahan daerah diatur dalam Undang- Undang


Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Namun, karena
dianggap tidak sesuai lagi dengan perkembangan keadaan, ketatanegaraan,
dan tuntutan penyelenggaraan otonomi daerah, maka aturan baru pun dibentuk
untuk menggantikannya. Pada 15 Oktober 2004, Presiden
Megawati Soekarnoputri mengesahkan Undang- Undang Nomor 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Undang-Undang No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah


memberikan definisi otonomi daerah sebagai berikut.

“ Otonomi daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah


otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan
pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat
sesuaidengan peraturan perundang-undangan.”

UU Nomor 32 Tahun 2004 juga mendefinisikan daerah otonom


sebagai berikut.

“Daerah otonom, selanjutnya disebut daerah, adalah kesatuan


masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang
berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan
kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri

7
berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara
Kesatuan Republik Indonesia”.

Dalam sistem otonomi daerah, dikenal istilah desentralisasi,


dekonsentrasi, dan tugas pembantuan. Desentralisasi adalah
penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada
daerah otonomi untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan
dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia, Sedangkan
dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan oleh
pemerintah pusat kepada gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di
daerah dan/atay kepada instansi vertikal di wilayah tertentu.

Sementara itu, tugas pembantuan merupakan penugasan dari


pemerintah pusat kepada daerah dan/atau desa dari pemerintah
provinsi kepada kabupaten/kota dan/atau desa serta dari pemerintah
kabupaten/kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu.

Sebagai konsekuensi pemberlakuan sistem otonomi daerah,


dobentuk pula perangkat peraturan perundang-undangan yang mengatur
mengenai perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah,
yaitu Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan
Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (UU Nomor 25 Tahun
1999) yang kemudian diganti dengan Undang- Undang Nomor 33
Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan
Daerah (UU Nomor 33 Tahun 2004).

Selain itu, amanat UUD 1945 yang menyebutkan bahwa,


“Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala
pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara

demokratis” direalisasikan melalui Peraturan Pemerintah Nomor 6


Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan
Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (PP Nomor 6 Tahun
2005).
8
1.4 Problematika yang Muncul dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah
Otonomi daerah yang sekarang berlangsung di Indonesia adalah
otonomi daerah yang seluas-luasnya, dengan berdasar kepada pasal 18 ayat
(5) Undang-Undang Dasar 1945. Selain itu juga otonomi daerah di Indonesia
diatur dalam UU No 32 Tahun 2004 Jo UU No. 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah. Sejak kemerdekaan sebenarnya sudah ada pelaksanaan
otonomi daerah. Berawal pada saat masa Orde Baru yang diatur dalam UU
No. 5 Tahun 1974, memalui UU tersebut pemerintah menjalankan otonomi
yang nyata dan bertanggung jawab. Pada pelaksanaannya otonomi berjalan
secara terbatas dan sentral. Dimana pemerintah daerah hanya mengikuti
pemerintah pusat saja.

Pada saat reformasi, dikeluarkannya UU No. 22 Tahun 1999 dengan


otonomi yang seluas-luasnya. Dengan evoria politik sehingga mencari
kebebasan yang seluas-luasnya untuk otonomi daerah. Pada saat itu Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) meminta pertanggungjawaban kepada
Gubernur, Bupati/Walikota, karena dipilh oleh DPRD. Kemudian melihat
gejolak politik antara DPRD dengan Gubernur dan Bupati/Walikota.
Bersumber karena Gubernur dan Bupati/Walikota dipilih oleh DPRD
menyebabkan Gubernur dan Bupati/Walikota seolah dalam bayang-bayang
DPRD.

Melihat kenyataan tersebut, pada tahun 2004 keluarlah UU No. 32


Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagai pengganti UU No. 22
Tahun 1999. Pada UU tersebut otonomi tetap dijalankan dengan prinsip
seluas-luasnya. Dengan adanya UU No. 32 Tahun 2004 memberikan angin
segar kepada Gubernur dan Bupati/Walikota, karena tidak
mempertanggungjawabkan tugasnya kepada DPRD. Gubernur dan
Bupati/Walikota dalam UU tersebut dipilih oleh rakyat sehingga kepada
rakyatlah pertanggungjawaban Gubernur dan Bupati/Walikota diberikan. Pada
otonomi daerah tersebut memunculkan asas desentralisasi dan dekonsentrasi
dalam pelaksanaan otonomi daearh. Dimana desentralisasi dalam pelaksanaan

9
otonomi daerah memunculkan daerah-daerah otonam, sedangkan
dekonsentrasi adanya wilayah administratif sealain itu juga meunculkan asas
pembantuan. Yang kesemuaanya itu juga diatur dalam konstitusi negara kita
tepatnya pada Pasal 18.

Setelah adanya UU No. 32 Tahun 2004, DPR mengajukan


Rancangan Undang-Undang sebagai usaha mengembalikan kepada Pemilihan
Pemimpin Daerah dipilih oleh DPRD. Sehinngga seolah mengulang yang
dulu pernah terjadi. Saat ini RUU itu telah menjadi Undang-Undang yang
telah disetujui oleh para anggota Perwakilan Rakyat. Keluarlah UU No. 23
Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah. Sehingga Gubernur dan
Bupati/Walikota dipilih oleh DPRD. Namun, berdasar dengan UU tersebut
Presiden SBY yang menjabat pada saat itu mengeluarkan Peraturan Presiden
No. 2 Tahun 2014 sebagai pengganti UU No. 23 Tahun 2014 yang tetap
menginginkan tetap pada pemilu kepada rakyat. Namun, UU tersebut masih
menjadi kontrofersi hingga sekarang sehingga UU tersebut nampaknya belum
berlaku walaupun sudah disetujuai oleh anngota DPR yang menghadiri sidang
persetujuan RUU terasebut.

Berdasar dari beberapa peraturan yang telah muncul mengenai


pemerintah daerah di Indonesia, munculnya inkonsistensi mengenai peraturan
yang mengatur tentang pemerintah daerah. Dimana terjadi perubahan
peraturan yang berulang-ulang. Mulai dari pemilihan Kepada Daerah melalui
DPRD kemudian langsung oleh rakyat dan kembali lagi dengan pemilu DRPD
namun dengan adanya Perpres yang tetap menginginkan pemilu langsung
oleh rakyat menyebabkan adanya nuansa inkonsistensi dalam peraturan yang
mengatur tentang otonomi daerah khususnya yang berkaitan dengan pemilihan
kepala Daerah.

10
Selain munculnya inkonsistensi dalam pelaksanaan pemilihan kepala
daerah, ada beberapa masalah yang sering muncul dalam wujud pelaksanaan
otonomi daerah. Beberapa masalah diantaranya adalah¹:

1. Pemahaman terhadap konsep desentralisasi dan otonomi daerah


yang belum mantap
Desentralisasi adalah sebuah mekanisme
penyelenggaraan pemerintahan yang menyangkut pola hubungan antara
pemerintah nasional dan pemerintah lokal. Tujuan otonomi daearah
membebaskan pemerintah pusat dari beban-beban yang tidak perlu dalam
menangani urusan domestik, sehingga pemerintah pusat berkesempatan
mempelajari, memahami dan merespon berbagai kecenderungan global dan
mengambil manfaat dari padanya.Pemerintah hanya berkonsentrasi pada
perumusan kebijakan makro nasional yang bersifat strategis.

Desentralisasi diperlukan dalam rangka peningkatan efisiensi dan


efektifitas penyelenggaraan pemerintahan. Sebagai wahana pendidikan politik
di daerah. Untuk memelihara keutuhan negara kesatuan atau integrasi
nasional. Untuk mewujudkan demokrasi dalam penyelenggaraan
pemerintahan yang dimulai dari daerah. Untuk memberikan peluang kepada
masyarakat utntuk membentuk karir dalam bidang politik dan pemerintahan.
Sebagai sarana bagi percepatan pembangunan di daerah. Untuk mewujudkan
pemerintahan yang bersih dan berwibawa. Oleh karena itu pemahaman
terhadap konsep desentralisasi dan otonomi haruslah mantap. Elemen utama
dari desentralisasi adalah:

a. Undang-undang No. 22 Tahun 1999 yang kemudian diubah menjadi


UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang mengatur
wewenang serta tanggung jawab politik dan administratif pemerintah
pusat, provinsi, kota, dan kabupaten dalam struktur yang
terdesentralisasi.1

1 Meldi, Retno.2012. Diunduh pada alamat: http://ampundeh.wordpress.com


/2012/03/25/permasalahan-yang-timbul-dalam-pelaksanaan-otonomi-daerah/
11
b. Undang-undang No. 25 Tahun 1999 yang kemudian diubah menjadi
UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah memberikan dasar hukum
bagi desentralisasi fiskal dengan menetapkan aturan baru tentang
pembagian sumber-sumber pendapatan dan transfer antarpemerintah.
2. Penyediaan aturan pelaksanaan otonomi daerah yang belum
memadai
Bermula dari Ketetapan MPR-RI Nomor XV/MPR/1998 tentang
Penyelenggaraan Otonomi Daerah; Pengaturan, Pembagian, dan Pemanfaatan
Sumber Daya Nasional yang Berkeadilan; serta Perimbangan Keuangan Pusat
dan Daerah Dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Dilanjutkan dengan 7 Mei 1999, lahir UU No. 22/1999 tentang


Pemerintahan Daerah selanjutnya UU No. 25/1999 yang mengatur hubungan
keuangan pusat dan daerah, menggantikan UU No. 5/1974 yang sentralistik.

Kedua undang-undang ini mengatur wewenang otonomi yang


diberikan luas kepada pemerintah tingkat kabupaten dan kota. Bupati dan
walikota pun dinyatakan bukan lagi sebagai aparat pemerintah yang hierarkis
di bawah gubernur. Jabatan tertinggi di kabupaten dan kota itu merupakan
satu-satunya kepala daerah di tingkat lokal, tanpa bergantung pada gubernur.

Setiap bupati dan walikota memiliki kewenangan penuh untuk


mengelola daerah kekuasaannya. Keleluasaan atas kekuasaan yang diberikan
kepada bupati/walikota dibarengi dengan mekanisme kontrol (checks and
balances) yang memadai antara eksekutif dan legislatif.

Parlemen di daerah tumbuh menjadi sebuah kekuatan politik riil yang


baru. Lembaga legislatif ini secara merdeka dapat melakukan sendiri
pemilihan gubernur dan bupati/walikota tanpa intervensi kepentingan dan
pengaruh politik pemerintah pusat. Kebijakan di daerah juga dapat ditentukan
sendiri di tingkat daerah atas kesepakatan pemerintah daerah dan dewan

12
perwakilan rakyat daerah (DPRD). Undang-undang yang baru juga mengatur
bahwa setiap peraturan daerah dapat langsung dinyatakan berlaku setelah
disepakati sejauh tidak bertentangan dengan peraturan perundangan yang
lebih tinggi tingkatannya. Hal ini kontras berbeda dengan ketentuan
sebelumnya yang mensyaratkan adanya persetujuan dari penguasa
pemerintahan yang lebih tinggi bagi setiap perda yang akan diberlakukan.

UU No 22/1999 dan UU No 25/1999 juga memberikan kerangka yang


cukup ideal bagi terwujudnya keadaan politik lokal yang dinamis dan
demokratis di setiap daerah. Namun, praktik-praktik politik yang menyusul
setelah itu masih belum sepenuhnya memperlihatkan adanya otonomi yang
demokratis. Setidaknya terdapat dua penyebab utama mengapa hal ini bisa
terjadi.

Pertama, pemerintah pusat rupanya tak kunjung serius memberikan


hak otonomi kepada pemerintahan di daerah. Ketidakseriusannya dapat dilihat
dari pembiaran pemerintah pusat terhadap berbagai peraturan
perundangundangan lama yang tidak lagi sesuai dengan UU otonomi yang
baru. Padahal, ada ratusan Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden dan
berbagai peraturan lainnya yang harus disesuaikan dengan kerangka otonomi
daerah yang baru. Ketiadaan aturan pelaksanaan baru yang mendukung
otonomi daerah yang demokratis menjadikan kedua UU menyangkut otonomi
daerah itu mandul dan tak efektif. Sementara di tingkat daerah, ketiadaannya
telah melahirkan kebingungan.

Kedua, desentralisasi telah menggelembungkan semangat yang tak


terkendali di kalangan sebagian elit di daerah sehingga memunculkan
sentimen kedaerahan yang amat kuat. Istilah “putra daerah” mengemuka di
mana-mana mewakili sentimen kedaerahan yang terwujud melalui semacam
keharusan bahwa kursi puncak pemerintahan di daerah haruslah diduduki oleh
tokoh-tokoh asli dari daerah bersangkutan. Hal ini tentu saja bukan sesuatu
yang diinginkan apalagi menjadi tujuan pelaksanaan otonomi daerah.

13
Bagaimanapun, fenomena “putra daerah” itu begitu meruak di berbagai
daerah.

Hubungan pusat dan daerah juga masih menyimpan ancaman sekaligus


harapan. Menjadi sebuah ancaman karena berbagai tuntutan yang mengarah
kepada disintegrasi bangsa semakin besar. Bermula dari kemerdekaan Timor
Timur (atau Timor Leste) pada tanggal 30 Agustus 1999 melalui referendum.
Berbagai gelombang tuntutan disintegrasi juga terjadi di beberapa daerah
seperti di Aceh, Papua, Riau dan Kalimantan. Meskipun ada sejumlah
kalangan yang menganggap bahwa kemerdekaan Timor Timur sudah
seharusnya diberikan karena perbedaan sejarah dengan bangsa Indonesia dan
merupakan aneksasi rezim Orde Baru, tetapi efek domino yang timbulkannya
masih sangat dirasakan, bahkan dalam MoU Helsinki yang menghasilkan UU
Pemerintahan Aceh. Gejolak terus berlanjut hingga, Aceh dan Papua akhirnya
diberi otonomi khusus.

3. Adanya eksploitasi Pendapatan Daerah


Salah satu konsekuensi otonomi adalah kewenangan daerah yang lebih
besar dalam pengelolaan keuangannya, mulai dari proses pengumpulan
pendapatan sampai pada alokasi pemanfaatan pendapatan daerah tersebut.
Dalam kewenangan semacam ini sebenarnya sudah muncul inherent risk,
risiko bawaan, bahwa daerah akan melakukan upaya maksimalisasi, bukan
optimalisasi, perolehan pendapatan daerah. Upaya ini didorong oleh
kenyataan bahwa daerah harus mempunyai dana yang cukup untuk melakukan
kegiatan, baik itu rutin maupun pembangunan. Daerah harus membayar
seluruh gaji seluruh pegawai daerah, pegawai pusat yang statusnya dialihkan
menjadi pegawai daerah, dan anggota legislatif daerah. Di samping itu daerah
juga dituntut untuk tetap menyelenggarakan jasa-jasa publik dan kegiatan
pembangunan yang membutuhkan biaya yang tidak sedikit.

Dengan skenario semacam ini, banyak daerah akan terjebak dalam


pola tradisional dalam pemerolehan pendapatan daerah, yaitu mengintensifkan
pemungutan pajak dan retribusi. Bagi pemerintah daerah pola ini tentu akan
14
sangat gampang diterapkan karena kekuatan koersif yang dimiliki oleh
institusi pemerintahan; sebuah kekuatan yang tidak applicable dalam negara
demokratis modern. Pola peninggalan kolonial ini menjadi sebuah pilihan
utama karena ketidakmampuan pemerintah dalam mengembangkan sifat
wirausaha (enterpreneurship).

Apakah upaya intensifikasi pajak dan retribusi di daerah itu salah?


Tentu tidak. Akan tetapi yang jadi persoalan sekarang adalah bahwa banyak
pemerintah daerah yang terlalu intensif memungut pajak dan retribusi dari
rakyatnya. Pemerintah daerah telah kebablasan dalam meminta sumbangan
dari rakyat. Buktinya adalah jika menghitung berapa item pajak dan retribusi
yang harus dibayar selaku warga daerah. Jika diteliti, jumlahnya akan
mencapai ratusan item.

Beberapa bulan lalu berkembang sinisme di kalangan warga DKI


Jakarta, bahwa setiap aktivitas yang mereka lakukan telah menjadi objek
pungutan Pemda DKI, sampai-sampai buang hajat pun harus membayar
retribusi. Pemda Provinsi Lampung juga bisa menjadi contoh unik ketika
menerbitkan perda tentang pungutan terhadap label sebuah produk. Logika
yang dipakai adalah bahwa label tersebut termasuk jenis papan reklame
berjalan. Hal ini terlihat lucu. Karena tampaknya Pemerintah setempat tidak
bisa membedakan mana reklame, sebagai bentuk iklan, dan mana label produk
yang berfungsi sebagai identifikasi nama dan spesifikasi sebuah produk.
Kedua, jika perda tersebut diberlakukan (sepertinya kurang meyakinkan
apakah perda tersebut jadi diberlakukan atau tidak), akan timbul kesulitan
besar dalam penghitungan dan pemungutan retribusi.

Bila dikaji lebih, instensifikasi perolehan pendapatan yang cenderung


eksploitatif semacam itu justru akan banyak mendatangkan persoalan baru
dalam jangka panjang, dari pada manfaat ekonomis jangka pendek, bagi
daerah. Persoalan pertama adalah beratnya beban yang harus ditanggung
warga masyarakat. Meskipun satu item pajak atau retribusi yang dipungut dari
rakyat hanya berkisar seratus rupiah, akan tetapi jika dihitung secara agregat
15
jumlah uang yang harus dikeluarkan rakyat perbulan tidaklah kecil, terutama
jika pembayar pajak atau retribusi adalah orang yang tidak mempunyai
penghasilan memadai. Persoalan kedua terletak pada adanya kontradiksi
dengan upaya pemerintah daerah dalam menggerakkan perekonomian di
daerah. Bukankah secara empiris tidak terbantahkan lagi bahwa banyaknya
pungutan hanya akan menambah biaya ekonomi yang ujung-ujungnya hanya
akan merugikan perkembangan ekonomi daerah setempat.

4. Adanya potensi munculnya konflik antar daerah

Ada gejala cukup kuat dalam pelaksanaan otonomi daerah,yaitu


konflik horizontal yang terjadi antara pemerintah provinsi dengan pemerntah
kabupaten /kota,sebagai akibat dari penekanan Undang-Undang Nomor 22
tahun 1999 yang menekankan bahwa tidak ada hubungan hierarkhis antara
pemerintah provinsi dengan pemerintah kabupaten/kota,sehingga pemerintah
kabupaten /kota menganggap kedudukannya sama dan tidak ta’at kepada
pemerintah provinsi.Ada arogansi pemerintah kabupaten /kota,karena tidak
ada sanksi apabila ada pelanggaran dari pemerintah kabupaten /kota.

Dengan pelaksanaan otonomi daerah muncul gejala etno-sentrisme


atau fenomena primordial kedaerahan semakin kuat.Indikasi etno-sentrisme
ini terlihat dalam beberapa kebijakan di daearah yang menyangkut pemekaran
daerah,pemilihan kepala daerah,rekruitmen birokrasi lokal dan pembuatan
kebijakan lainnya.

Selain itu, ancaman disintegrasi juga dapat memicu sebuah konflik.


Paham pelimpahan wewenang yang luas kepada daerah merupakan politik
belah bambu yang telah lama dipupuk sejak zaman penjajahan. Otonomi
daerah telah mengkotak-kotakan wilayah menjadi daerah basah dan daerah
kering. Pengkavlingan ini semakin mencuatkan ketimpangan pembangunan
antara daerah kaya dan daerah miskin. Adanya potensi sumber daya alam di
suatu wilayah, juga rawan menimbulkan perebutan dalam menentukan batas
wilayah masing-masing. Konflik horizontal sangat mudah tersulut. Di era
16
otonomi darah tuntutan pemekaran wilayah juga semakin kencang
dimanamana. Pemekaran ini telah menjadikan NKRI terkerat-kerat menjadi
wilayah yang berkeping-keping. Satu provinsi pecah menjadi dua-tiga
provinsi, satu kabupaten pecah menjadi dua-tiga kabupaten, dan seterusnya.
Semakin berkeping-keping NKRI semakin mudah separatisme dan perpecahan
terjadi. Dari sinilah bahaya disintegrasi bangsa sangat mungkin terjadi, bahkan
peluangnya semakin besar karena melalui otonomi daerah campur tangan
asing semakin mudah menelusup hingga ke desa-desa. Melalui otonomi
daerah, bantuan-bantuan keuangan bisa langsung menerobos ke kampung-
kampung.

Sebenarnya pemberian otonomi dan desentralisasi politik pada daerah


tidak otomatis menjadi solusi untuk mempererat integrasi nasional. Bahkan
sebaliknya memberi ruang bagi tumbuhnya semangat kedaerahan yang
berlebihan. Hal ini terjadi karena pola hubungan antar etnis di Indonesia
selama ini tidak dibangun atas dasar pemahaman yang mendalam dan
komprehensif mengenai pemaknaan terhadap karakteristik masingmasing
etnis. Yang mengemuka justru pola-pola stereotip yang mengarah pada
prasangka satu sama lain. Tidak ada mekanisme yang dapat mempersatukan
etnis yang satu dengan etnis yang lain secara alamiah, bahkan mekanisme
pasar sekaligus didasarkan atas etnisitas. Misalnya di daerah Nusa Tenggara
Timur, pembagian kerja antara pedagang sayur dengan pedagang daging
didasarkan atas etnisitasnya.

Di sisi lain, politik daerah yang dikembangkan pada era transisi ini
belum menempatkan daerah sebagai ruang politik tetapi sebagai ruang
kultural. Akibatnya, proses politik dan relasi kekuasaan di daerah pun
didasarkan pada pola-pola hubungan primordial. Keinginan untuk dipimpin
oleh putra daerah merupakan kewajaran dalam ruang kultural, tapi tidak dalam
ruang politik karena ruang politik mensyaratkan persamaan hak-hak warga
negara di mana pun ia berdomisili.

17
Pemaknaan otonomi secara kultural memandang politik lokal sebagai
kesatuan nilai, kultur, kustom, adat istiadat dan bukan sebagai konsep politik.
Perspektif ini juga mengakui kemajemukan masyarakat namun dalam arti
sosio-kultural, di mana setiap masyarakat dan lokalitas adalah unik sehingga
setiap masyarakat dan lokalitas memiliki hak-hak sosial, ekonomi, budaya,
dan identitas diri yang berbeda dengan identitas nasional. Pemahaman inilah
yang kemudian memunculkan berbagai kebijakan daerah yang bernuansa
etnisitas. Sedikit banyak karakteristik masyarakat Indonesia yang pluralistik
dan terfragmentasi, turut mempengaruhi tumbuh dan berkembangnya
etnonasionalisme.

Pola hubungan antar etnis dilakukan dalam proses yang linear tanpa
adanya potensi bagi terjadinya cross-cutting afiliation. Akibatnya, tidak ada
ruang bagi bertemunya berbagai etnis secara sosial. Sebagai misal, seorang
anak yang dibesarkan dalam lingkungan Muslim, pasti akan bersekolah di
pesantren atau sekolah yang berlatar agama (Madrasah Tsanawiyah, Madrasah
Alliyah, dsb), kemudian menempuh pendidikan tinggi di perguruan tinggi
Islam, dan secara sosial kemudian bergabung dengan organisasi-organisasi
bernuansa Islami, seperti HMI, dll. Secara politik, berlakunya politik aliran
menyebabkan sudah dapat dipastikan bahwa ia akan memilih partai Islam.
Dengan demikian, jelaslah bahwa pola interaksi antar etnis menjadi sulit
dilakukan karena tidak ada ruang baginya untuk mengenal etnis lain, apalagi
memahami etnis lain di luar stereotip yang selama ini mengemuka. Maka yang
kemudian timbul dan menguat adalah identitas etnisnya dan bukan identitas
kebangsaan yang inheren dalam nasionalisme.

1.5 Upaya Pemberdayaan Masyarakat dalam Pelaksanaan Otonomi


Masyarakat sebagai Penangulangan Masalah Otonomi Daerah yang
Terjadi
Dengan berlakunya otonomi daerah, pemerintah daerah memiliki
kesempatan seluas - luasnya untuk menggali dan memanfaatkan potensi lokal
18
yang dimiliki masyarakat di daerahnya. Dengan mendayagunakan potensi
lokal, diharapkan program pembangunan yang dijalankan akan dapat
berlangsung berkelanjutan karena mendapat dukungan penuh dari masyarakat.
Keterlibatan ini akan membuat masyarakat setempat berusaha untuk lebih
meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan wawasannya dalam memahami
persoalan yang dihadapi dan terbiasa untuk mengambil keputusan sendiri.
Selain itu, karena memiliki perasaan ikut memiliki pada program yang
digagas daerahnya, masyarakat akan memiliki rasa tanggung jawab untuk
terus menjalankan dan mengembangkannya. Peningkatan peran masyarakat
melalui pemberdayaan ini timbul akibat pergeseran paradigma pembangunan
yang menjadi acuan pembangunan nasional yakni production centered
development menjadi people centered development yang berorientasi
kemanusiaan dan bertujuan untuk mengaktualisasikan nilai - nilai
kemanusiaan seperti harga diri, identitas, otentitas, kemandirian, dan
sebagainya.

Partisipasi dan pemberdayaan merupakan salah satu metode yang


efektif untuk menstimulan otonomi, dengan keterlibatan masyarakat
menyiapkan agenda pembangunan yang diawali dengan perencanaan,
pelaksanaan, evaluasi dan pengawasan secara partisipasi dan pemberdayaan
dalam upaya penyelesaian masalah-masalah di masyarakat dan dilakukan
secara bersama-sama, yang tentunya dilakukan dengan musyawarah, swadaya
masyarakat, gotong royong masyarakat, dan pendampingan yang dalam hal ini
menjalin relasi sosial.
Pemberdayaan masyarakat bertujuan untuk meningkatkan potensi
masyarakat agar mampu meningkatkan kualitas hidup yang lebih baik bagi
seluruh warga masyarakat melalui kegiatan-kegiatan swadaya. Untuk mencapai
tujuan ini, faktor peningkatan kualitas SDM melalui pendidikan formal dan
nonformal perlu mendapat prioritas.
Pemberdayaan merupakan salah satu strategi untuk menjadikan
masyarakat lebih mandiri, dalam hal ini pemerintah dengan Permendagri No. 7
pasal 1 ayat 8 menjelaskan: ”Pemberdayaan masyarakat adalah suatu strategi
19
yang digunakan dalam pembangunan masyarakat sebagai upaya untuk
mewujudkan kemampuan dan kemandirian dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara”.
Memberdayakan masyarakat tentunya dengan tujuan mendidik
masyarakat agar mampu mendidik diri mereka sendiri atau membantu
masyarakat agar mampu membantu diri mereka sendiri. Tujuan yang akan
dicapai melalui usaha pemberdayaan masyarakat, adalah masyarakat yang
mandiri, berswadaya, dan mampu mengadopsi inovasi, dalam bentuk
penyuluhan pembangunan, komunikasi pembangunan, pendidikan
kesejahteraan keluarga, pendidikan tentang nilai-nilai demokrasi, pendidikan
keterampilan, pelatihan-pelatihan, dan lain-lain.
Dalam pemberdayaan masyarakat yang salah satu tujuannya adalah
untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat, Margono Slamet (1998:1),
mengemukakan tujuan pendidikan sebagai suatu proses untuk mengubah
perilaku manusia. Domain yang diharapkan berubah meliputi: pertama, domain
perilaku pengetahuan (knowing behavior), kedua, domain perilaku sikap
(feeling behavior) dan ketiga, domain perilaku keterampilan (doing behavior).
Dengan pemberdayaan tentunya yang patut diperhatikan adalah bahwa
pendidikan memegang peranan kunci dalam penyediaan SDM yang berkualitas,
bahkan sangat menentukan berhasil atau gagalnya pembangunan, sehingga kita
dapat mengikuti suatu wacana yang menegaskan: Development stands or falls
with the improvement of human and institutional competence (Hill, 1982:4).
Secara lebih arif dapat disimpulkan bahwa pendidikan bermutu menghasilkan
SDM bermutu dan merupakan kata kunci dari keberhasilan pembangunan Pada
dasarnya dalam pemberdayaan masyarakat, desain atau pola apapun yang kita
pilih tentunya harus bebas dari perlakuan-perlakuan diskriminasi, prejudice, dan
subjektif terhadap masyarakat.
Sesungguhnya apa yang disampikan melalui konsep pemberdayaan lebi
sempurna dibandingkan dengan konsep pembangunan top-down. Konsep
pemberdayaan sesungguhnya merupakan visualisasi dari pendekatan bottom-
up. Ambar Teguh Sulistiyani (2004;39). Selanjutnya menurut Ambar Teguh

20
Sulistiyani, pada hakikatnya pemberdayaan merupakan penciptaan suasana atau
iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang (enabling). Di
samping itu pemberdayaan hendaknya jangan menjebak masyarakat dalam
perangkap ketergantungan (charity), pemberdayaan sebaiknya harus
mengantarkan pada proses kemandirian (2004:79).
Tetapi tentunya dalam partisipasi dan pemberdayaan masyarakat di era
otonomi daerah, desain atau pola apapun yang digunakan sebaiknya mampu
memanfaatkan Sumber Daya Alam (SDA) dan meningkatkan Sumber Daya
Manusianya (SDM), serta dengan berdasarkan pada kondisi rill masyarakat
dengan potensi yang dimiliki. Untuk melaksanakan pembangunan dengan
pendekatan tersebut dibutuhkan tipologi masyarakat yang lebih terbuka,
inovatif, dan bersedia untuk kerja keras. Ciri masyarakat yang demokratis dan
terbuka sangat dibutuhkan untuk melakukan pembangunan yang berkiblat pada
partisipasi dan pemberdayaan masyarakat.

Dalam upaya memberdayakan masyarakat tersebut dapat dilihat dari tiga


sisi, yaitu ; pertama, menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan
potensi masyarakat berkembang (enabling). Disini titik tolaknya adalah
pengenalan bahwa setiap manusia, setiap masyarakat, memiliki potensi yang
dapat dikembangkan. Artinya, tidak ada masyarakat yang sama sekali tanpa
daya, karena jika demikian akan sudah punah. Pemberdayaan adalah upaya
untuk membangun daya itu, dengan mendorong, memotivasikan, dan
membangkitkan kesadaran akan potensi yang dimilikinya serta berupaya untuk
mengembangkannya. Kedua, memperkuat potensi atau daya yang dimiliki
masyarakat (empowering).

Dalam rangka ini diperlukan langkah-langkah lebih positif, selain dari


hanya menciptakan iklim dan suasana. Perkuatan ini meliputi langkah-langkah
nyata, dan menyangkut penyediaan berbagai masukan (input), serta pembukaan
akses ke dalam berbagai peluang (opportunities) yang akan membuat
masyarakat menjadi berdaya. Dalam rangka pemberdayaan ini, upaya yang
amat pokok adalah peningkatan taraf pendidikan, dan derajat kesehatan, serta

21
akses ke dalam sumber-sumber kemajuan ekonomi seperti modal, teknologi,
informasi, lapangan kerja, dan pasar. Masukan berupa pemberdayaan ini
menyangkut pembangunan prasarana dan sarana dasar fisik, seperti irigasi,
jalan, listrik, maupun sosial seperti sekolah dan fasilitas pelayanan kesehatan,
yang dapat dijangkau oleh masyarakat pada lapisan paling bawah, serta
ketersediaan lembaga-lembaga pendanaan, pelatihan, dan pemasaran di
perdesaan, dimana terkonsentrasi penduduk yang keberdayaannya amat kurang.
Untuk itu, perlu ada program khusus bagi masyarakat yang kurang berdaya,
karena program-program umum yang berlaku tidak selalu dapat menyentuh
lapisan masyarakat ini.

Menanamkan nilai-nilai budaya modern, seperti kerja keras, hemat,


keterbukaan, dan kebertanggungjawaban adalah bagian pokok dari upaya
pemberdayaan ini. Demikian pula pembaharuan institusi-institusi sosial dan
pengintegrasiannya ke dalam kegiatan pembangunan serta peranan masyarakat
di dalamnya. Yang terpenting disini adalah peningkatan partisipasi rakyat
dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut diri dan
masyarakatnya. Jadi esensi pemberdayaan bukan hanya meliputi penguatan
individu anggota masyarakat tetapi juga termasuk penguatan
pranatapranatanya7. Ketiga, memberdayakan mengandung pula arti melindungi.
Dalam proses pemberdayaan, harus dicegah yang lemah menjadi bertambah
lemah, oleh karena kekurangberdayaan dalam menghadapi yang kuat.

Oleh karena itu, perlindungan dan pemihakan kepada yang lemah amat
mendasar sifatnya dalam konsep pemberdayaan masyarakat. Melindungi tidak
berarti mengisolasi atau menutupi dari interaksi, karena hal itu justru akan
mengerdilkan yang kecil dan melunglaikan yang lemah. Melindungi harus
dilihat sebagai upaya untuk mencegah terjadinya persaingan yang tidak
seimbang, serta eksploitasi yang kuat atas yang lemah. Pemberdayaan
masyarakat bukan membuat masyarakat menjadi makin tergantung pada
berbagai program pemberian (charity). Pendekatan utama dalam konsep
pemberdayaan adalah bahwa masyarakat tidak dijadikan objek dari berbagai

22
proyek pembangunan, tetapi merupakan subjek dari upaya pembangunannya
sendiri.

1.6 Simpulan
Otonomi daerah adalah pemberian wewenang kepada pemerintah
daerah untuk mengatur pemerintahannya sendiri.

Dalam asas desentralisasi terjadi penyerahan wewenang sepenuhnya


dari pemerintah pusat kepada pemerintahan daerah tentang urusan tertentu,
sehingga pemerintahan daerah dapat mengambil prakarsa sepenuhnya, baik
yang menyangkut policy, perencanaan, pelaksanaan, maupun pembiayaannya.
Pemerintahan daerah melaksanakan urusan pemerintahan yang dilimpahkan
agar menjadi urusan rumah tangganya sendiri.

Permasalahan yang muncul dalam pelaksanaan otonomi daerah adalah


:

1. Pemahaman terhadap konsep desentralisasi dan otonomi daerah yang


belum mantap
2. Adanya eksploitasi Pendapatan Daerah
3. Penyediaan aturan pelaksanaan otonomi daerah yang belum memadai
4. Adanya potensi munculnya konflik antar daerah

Dalam pemberdayaan masyarakat untuk mengatasi berbagai problem


terkait otonomi daerah, diperlukan langkah-langkah lebih positif, selain dari
menciptakan iklim dan suasana yang kondusif. Perkuatan ini meliputi
langkah-langkah nyata, dan menyangkut penyediaan berbagai masukan
(input), serta pembukaan akses ke dalam berbagai peluang (opportunities)
yang akan membuat masyarakat menjadi berdaya. Dalam rangka
pemberdayaan ini, upaya yang amat pokok adalah peningkatan taraf
pendidikan, dan derajat kesehatan, serta akses ke dalam sumber-sumber
kemajuan ekonomi seperti modal, teknologi, informasi, lapangan kerja, dan
pasar.

23
BAB II

OTONOMI DAERAH DALAM ERA REFORMASI

2.1. Latar Belakang

Dalam era reformasi ini pemerintah telah mengeluarkan dua kebijakan


tentang otonomi daerah. Pertama, adalah Undang-Undang No. 22 Tahun 1999
tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang No. 25 Tahun 1999
Tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Kedua,
Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan

24
Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Daerah (GaneC Swara, Volume 5, Nomor 1).

Paket kebijakan otonomi daerah yang tersebut pertama di atas


dikeluarkan pada masa pemerintahan B.J. Habibie. Banyak orang menilai
bahwa keluarnya otonomi daerah tersebut merupakan titik balik pelaksanaan
otonomi daerah yang lebih demokratis dibandingkan dengan kebijakan
otonomi sebelumnya (melalui Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 produk
Orde Baru) yang dinilai sentralistis. Meskipun kebijakan otonomi daerah pada
masa Habibie tersebut tidak lepas dari tuntutan daerah dan sikap pusat yang
akomodatif atas tuntutan daerah, suatu yang menggembirakan bahwa
kebijakan itu bermaksud untuk mendorong agar daerah lebih mandiri dan
demokratis (GaneC Swara, Volume 5, Nomor 1).

Dalam perkembangannya, kebijakan otonomi daerah melalui


UndangUndang No. 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah dinilai,
bagi dari segi kebijakan maupun dari segi implementasinya, terdapat sejumlah
kelemahan. Dalam konteks itu keijakan otonomi daerah atas dasar
UndangUndang No. 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah tersebut
dipandang perlu untuk revisi. Atas dasar alasan itu pula pemerintah bersama
DPR melakukan revisi yang menghasilkan Undang-Undang No. 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah (GaneC Swara, Volume 5, Nomor 1).

2.2.SISTEM PEMERINTAHAN DAERAH DALAM ERA REFORMASI


2.2.1. Pembagian Urusan Pemerintahan
Kewenangan Daerah berdasarkan Pasal 7 UU No. 22 Tahun 1999
mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali
kewenangan dalam bidang politik luar negeri.

Pembagian urusan pemerintahan menurut Pasal 10 UU No. 32


Tahun 2004 pemerintahan daerah menyelenggarakan urusan
pemerintahan yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan
pemerintahan yang oleh Undang-Undang ini ditentukan menjadi urusan

25
Pemerintah. Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan,
pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya untuk
mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas
otonomi dan tugas pembantuan.

Urusan pemerintahan berdasarkan Pasal 10 ayat (3) UU No 32

Tahun 2004, meliputi:

a. politik luar negeri;


b. pertahanan;
c. keamanan;
d. yustisi;
e. moneter dan fiskal nasional; dan
f. agama.

Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan pemerintah


menyelenggarakan sendiri atau dapat melimpahkan sebagian urusan
pemerintahan kepada perangkat Pemerintah atau wakil Pemerintah di
daerah atau dapat menugaskan kepada pemerintahan daerah dan atau
pemerintahan desa

Berdasarkan Pasal 11 UU No. 32 Tahun 2004 Penyelenggaraan


urusan pemerintahan dibagi berdasarkan kriteria eksternalitas,
akuntabilitas, dan efisiensi dengan memperhatikan keserasian hubungan
antar susunan pemerintahan. Dalam Pasal 13 ayat (1) urusan wajib yang
menjadi kewenangan pemerintahan daerah provinsi merupakan urusan
dalam skala provinsi yang meliputi:

a. perencanaan dan pengendalian pembangunan;


b. perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang;
c. penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat;
d. penyediaan sarana dan prasarana umum;
e. penanganan bidang kesehatan;

26
f. penyelenggaraan pendidikan dan alokasi sumber daya manusia
potensial;
g. penanggulangan masalah sosial lintas kabupaten/kota;
h. pelayanan bidang ketenagakerjaan lintas kabupaten/kota;
i. fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil, dan menengah
termasuk lintas kabupaten/kota;
j. pengendalian lingkungan hidup;
k. pelayanan pertanahan termasuk lintas kabupaten/kota;
l. pelayanan kependudukan, dan catatan sipil;
m. pelayanan administrasi umum pemerintahan;
n. pelayanan administrasi penanaman modal termasuk
lintas kabupaten/kota;
o. penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya yang belum dapat
dilaksanakan oleh kabupaten/kota ; dan
p. urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan
perundangundangan.

Sedangkan urusan pemerintahan provinsi yang bersifat pilihan


meliputi urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan,
dan potensi unggulandaerah yang bersangkutan.

Selanjutnya menurut Pasal 14 UU No. 32 Tahun 2004 urusan


wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah
untuk kabupaten/kota merupakan urusan yang berskala
kabupaten/kota meliputi:

a. perencanaan dan pengendalian pembangunan;


b. perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang;
c. penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat;
d. penyediaan sarana dan prasarana umum;
e. penanganan bidang kesehatan;

27
f. penyelenggaraan pendidikan;
g. penanggulangan masalah sosial;
h. pelayanan bidang ketenagakerjaan;
i. fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah;
j. pengendalian lingkungan hidup;
k. pelayanan pertanahan;
l. pelayanan kependudukan, dan catatan sipil;
m. pelayanan administrasi umum pemerintahan;
n. pelayanan administrasi penanaman modal;
o. penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya; dan
p. urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan
perundangundangan.

Sedangkan, urusan pemerintahan kabupaten/kota yang bersifat


pilihan meliputi urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan
berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakatsesuai dengan
kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan.

2.2.2. Penyelenggaraan Pemerintahan


Prinsip penyelenggaraan Pemerintahan Daerah menurut UU No.
22 Tahun 1999 adalah :

1) digunakannya asas desentralisasi, dekonsentrasi, dan


tugas pembantuan;
2) penyelenggaraan asas de sentralisasi secara utuh dan bulat yang
dilaksanakan di Daerah Kabupaten dan Daerah Kota; dan
3) asas tugas pembantuan yang dapat dilaksanakan di Daerah Propinsi,
Daerah Kabupaten, Daerah Kota dan Desa.

Penyelenggaraan pemerintahan daerah berdasarkan Pasal 19 ayat


(2) UU No. 32 Tahun 2004 adalah pemerintah daerah dan DPRD. Dalam
menyelenggarakan pemerintahan daerah, pemerintahan daerah
menggunakan asas otonomi dan tugas pembantuan. Dalam
28
menyelenggarakan pemerintahan, pemerintah menggunakan asas
desentralisasi, tugas pembantuan, dan dekosentrasi sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.

a. Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh


Pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus
urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
b. Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan oleh
Pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau
kepada instansi vertikal di wilayah tertentu.
c. Tugas pembantuan adalah penugasan dari Pemerintah kepada daerah
dan/atau desa dari pemerintah provinsi kepada kabupaten/kota
dan/atau desa serta dari pemerintah kabupaten kota kepada desa
untuk melaksanakan tugas tertentu.

Selain itu dalam menyelenggarakan pemerintahan, pemerintah


berpedoman pada Asas Umum Penyelenggaraan Negara yang terdiri atas:

a. asas kepastian hukum;


b. asas tertib penyelenggara negara;
c. asas kepentingan umum;
d. asas keterbukaan;
e. asas proporsionalitas;
f. asas profesionalitas;
g. asas akuntabilitas;
h. asas efisiensi; dan
i. asas efektivitas.

2.2.3. Kebijakan Politik Dalam Otonomi Daerah


Dalam Era Reformasi.

29
Pada periode setelah orde baru, lahir dua undang-undang tentang
pemerintahan daerah yang dianggap aspiratif mengakomodasikan prinsip
demokrasi dalam sistem pemerintahan daerah di Indonesia. Kedua
undangundang tersebut adalah: UU No. 22 Tahun 1999 tentang pemerintahan
daerah dan UU No. 32 Tahun 2004 yang dianggap sebagai revisi terhadap UU
No. 22 Tahun 1999 (Erna Hayati).

1. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999


Pada periode Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah, desentralisasi ditegaskan sebagai penyerahan
wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom dalam
kerangka NKRI. Pemerintah daerah adalah kepala daerah beserta
perangkat daerah otonom yang tidak lain sebagai badan eksekutif daerah.

Daerah provinsi berkedudukan sebagai wilayah administrasi kewenangan


daerah, mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan,
kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan
keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama serta kewenangan di
bidang lainnya. Kewenangan-kewenangan daerah otonom lebih luas dan
bertumpu pada tingkat kabupaten/kota.
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 memberikan implikasi dan
simplikasi terhadap melemahnya peran dominasi pemerintah pusat kepada
daerah. Hal ini tercermin dalam proses pencalonan, pemilihan, usulan
pengangkatan calon kepala dan wakil kepala daerah dilakukan
sepenuhnya dan menjadi wewenang DPRD.
Langkah reformasi telah mengubah sistem pemerintahan era
sebelumya dengan dilahirkannya UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah ini. Euforia politik sebagai hasil pemilu tahun 1999
telah memberikan kerangka dasar dalam penyelenggaraan sistem
pemerintahan di tingkat pusat dan daerah, yang lebih banyak dipengaruhi

30
kekuatan politik dalam penyelenggaraannya. Beberapa indikator yang
mewarnai penyelenggaraan sistem pemerintahan di era ini antara lain:
2.3.Kekuasaan Legislatif lebih besar dibanding kekuasaan eksekutif
2.4.Pemerintahan dikendalikan oleh kekuasaan politik
2.5.Pertanggungjawaban kepala daerah kepada lembaga legislati
2.6.Kepala daerah dapat diberhentikan oleh DPRD
2.7.Wewenang DPRD menetapkan belanja DPRD
2.8.Menjamurnya pemekaran daerah kabupaten / kota.

2. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004


Kelahiran undang-undang ini dilatarbelakangi dengan adanya
perkembangan keadaan, ketatanegaraan, dan tuntutan otonomi daerah.
Menurut Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004
ini, dalam penyelenggaraan otonomi menggunakan format
otonomi seluas-luasnya. Artinya, azas ini diberlakukan oleh pemerintah
seperti pada era sebelum UU Nomor 5 Tahun 1974. Alasan pertimbangan
ini didassarkan suatu asumsi bahwa hal-hal mengenai urusan
pemerintahan yang dapat dilaksanakan oleh daerah itu sendiri, sangat tepat
diberikan kebijakan otonomi sehingga setiap daerah mampu dan mandiri
untuk memberikan pelayanan demi meningkatkan kesejahteraan rakyat di
daerah.
Kontrol pusat atas daerah dilakukan dengan mekanisme
pengawasan yang menunjukkan formulasi cukup ketat dengan mekanisme
pengawasan preventif, represif, dan pengawasan umum. Proses pemelihan
kepala/wakil kepala daerah menurut UU Nomor 32 Tahun 2004 tidak lagi
menjadi wewenang DPRD, melainkan dilaksanakan dengan pemilihan
langsung yang diselenggarakan oleh lembaga Komisi Pemilihan Umum
daerah (KPUD). Hal ini amat berbeda dengan UU Nomor 22 Tahun 1999
bahwa DPRD merupakan wahana untuk melaksanakan demokrasi

31
berdasarkan Pancasila dan kedudukannya sejajar (mitra) dari pemerintah
daerah, namun dalam praktek sering kali terjadi penafsiran berbeda.

2.2.4. Sistem Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan


Sebagai upaya mencapai tujuan otonomi daerah yang berhasil guna
dan berdaya guna, diperlukan suatu sistem yang dapat mendorong
kreativitas dan motifasi daerah itu dalam menjalankan urusan pemerintahan
sendiri. Beberapa format sistem pengawasan dapat dikaji dari produk
perundangan berikut:

Pada pasal 16 ayat 2 UU No. 22 Tahun 1999 dinyatakan dalam


kedudukannya sebagai badan legislatif daerah, DPRD bukan merupakan
bagian dari pemerintahan daerah. Demikian pula pada pasal 69 dinyatakan:
Peraturan daerah hanya ditandatangani oleh kepala daerah, dan tidak
ditandatangani oleh pimpinan DPRD karena DPRD bukan bagian dari
pemerintahan daerah.

Kegiatan pembinaan lebih ditekankan pada memfasilitasi dalam


upaya pemberdayaan daerah otonom, sedangkan pengawasan lebih
ditekankan pada pengawasan represif. Hal ini untuk lebih memberikan
kebebasan kepada daerah otonom dalam mengambil keputusan serta
memberikan peran kepada DPRD dalam mewujudkan fungsinya sebagai
badan pengawas terhadap pelaksanaan otonomi daerah. Oleh karena itu,
peraturan daerah yang ditetapkan daerah otonom tidak memerlukan
pengesahan terlebih dahulu oleh pejabat yang berwenang. Hal itu sesuai
dengan ketentuan tentang pembinaan dan pengawasan, bahwa dalam
rangka pengawasan peraturan daerah dan keputusan kepala daerah
disampaikan kepada pemerintah selambat-lambatnya lima belas hari setelah
ditetapkan. Pemerintah dapat membatalkan peraturan daerah dan
keputusan kepala daerah yang bertentangan dengan kepentingan umum
atau perundang-undangan yang lebih tinggi dan/atau peraturan

32
perundangundangan lainnya. Keputusan pembatalan diberitahukan kepada
daerah yang bersangkutan dengan menyebutkan alasan-alasannya dalam
masa selambat-lambatnya satu minggu setelah keputusan pembatalan
pelaksanaan ditetapkan. Daerah yang tidak dapat menerima keputusan
pembatalan peraturan daerah dan keputusan kepala daerah tersebut dapat
mengajukan keberatan kepada Mahkamah Agung setelah mengajukannya
kepada pemerintah.

Sistem pembinaan dan pengawasan yang dianut oleh produk UU


No 22 Tahun 1999 lebih bersifat demokratis dan berupaya untuk
mendewasakan, serta penguatan daerah dalam penyelenggaraan
pemerintahan daerah dalam rangka otonomi.

Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004


Berdasarkan undang-undang ini, prinsip otonomi daerah
menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam arti daerah diberikan
kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan di luar
yang menjadi urusan pemerintah yang ditetapkan dalam undang-undang
ini. Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk
memberikan pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa, dan
pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan
kesejahteraan rakyat. Penyelenggaraan otonomi harus benar-benar sejalan
dengan tujuan dan maksud pemberian otonomi yang pada dasarnya untuk
memberdayakan daerah termasuk meningkatkan kesejahteraan rakyat
yang merupakan bagian utama dari tujuan nasional.

Pengawasan yang dianut menurut undang-undang ini meliputi dua


bentuk pengawasan yakni pengawasan atas pelaksanaan urusan
pemerintah di daerah dan pengawasan terhadap peraturan daerah dan
peraturan kepala daerah. Pengawasan ini dilaksanakan oleh aparat
pengawas intern pemerintah. Hasil pembinaan dan pengawasan tersebut
digunakan sebagai bahan pembinaan selanjutnya oleh pemerintah dan

33
dapat digunakan sebagai bahan pemeriksaan oleh Badan Pemeriksa
Keuangan.

Pembinaan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah adalah


upaya yang dilakukan oleh pemerintah dan atau gubernur selaku wakil
pemerintah di daerah untuk mewujudkan tercapainya tujuan
penyelenggaraan otonomi daerah. Dalam rangka pembinaan oleh
pemerintah, menteri dan pimpinan lembaga pemerintah non-departemen
melakukan pembinaan sesuai dengan fungsi dan kewenangan
masingmasing yang dikoordinasikan oleh Menteri Dalam Negeri untuk
pembinaan dan pengawasan provinsi, serta oleh gubernur untuk
pembinaan dan pengawasan kabupaten/kota.

Dalam hal pengawasan terhadap rancangan peraturan daerah dan


perataturan kepala daerah, pemerintah melakukan dua cara sebagai
berikut:

a. Pengawasan terhadap rancangan perda yang mengatur pajak daerah,


retribusi daerah, APBD, dan RUTR, sebelum disyahkan oleh kepala
daerah terlebih dahulu dievaluasi oleh Menteri Dalam Negeri untuk
Raperda Provinsi, dan oleh gubernur terhadap Raperda
Kabupaten/Kota. Mekanisme ini dilakukan agar pengaturan tentang
hal-hal tersebut dapat mencapai daya guna dan hasil guna yang
optimal.
b. Pengawasan terhadap semua peraturan daerah di luar yang termuat di
atas, peraturan daerah wajib disampaikan kepada Menteri Dalam
Negeri untuk provinsi dan gubernur untuk kabuapten/kota, untuk
memperoleh klarifikasi terhadap peraturan daerah yang bertentangan
dengan kepentingan umum dan/atau peraturan lain yang lebih tinggi
dan sebab itu dapat dibatalkan sesuai mekanisme yang berlaku.
Dalam rangka mengoptimalkan fungsi pembinaan dan
pengawasan, pemerintah dapat menerapkan sanksi kepada penyelenggara
pemerintahan daerah apabila ditemukan adanya penyimpangan dan
34
pelanggaran. Sanksi yang dimaksud antara lain berupa penataan kembali
suatu daerah otonom, pembatalan pengangkatan pejabat, penangguhan
dan pembatalan berlakunya suatu kebijakan yang ditetapkan daerah,
sanksi pidana yang diproses sesuai dengan peraturan perundangundangan.

2.2.5. Lembaga Legislatif Daerah


Lembaga legislatif daerah pada era reformasi dituangkan dan diatur dalam
UU Nomor 22 Tahun 1999 dan UU N0 32 Tahun 2004.

a. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999

Kebijakan politik yang dianut dalam undang-undang ini adalah


bahwa sistem pemerintahan NKRI menurut UUD 1945 memberikan
keleluasaan kepada daerah untuk menyelenggarakan otonomi. Dengan
memerhatikan pengalaman penyelenggaraan otonomi daerah pada masa
lampau yang menganut prinsip otonomi yang nyata dan bertanggung jawab
dengan penekanan pada otonomi yang lebih merupakan kewajiban daripada
hak maka, dalam UU No 22 Tahun 1999 ini pemberian kewenangan
otonomi kepada daerah kabupaten/kota didasarkan atas azas desentralisasi
saja, dalam wujud otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab.
Berdasarkan hal tersebut prinsip penyelenggaraan pemerintah daerah
adalah:

1) Digunakan azas desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan;


2) Penyelenggaraan azas desentralisasi secara utuh dan bulat yang
dilaksanakan di daerah kabupaten dan daerah kota;
3) Azas tugas pembantuan yang dapat dilaksanakan di daeah provinsi,
daerah kabupaten, daerah kota, dan desa.
Susunan pemerintahan daerah otonom meliputi DPRD dan
pemerintah daerah. DPRD dipisahkan dari pemerintah daerah dengan
maksud untuk lebih memberdayakan DPRD dan meningkatkan
pertanggungjawaban pemerintah daerah kepada rakyat. Hak-hak DPRD

35
cukup luas dan diarahkan untuk menyerap serta menyalurkan aspirasi
masyarakat menjadi kebijakan daerah dan melakukan fungsi pengawasan.

Kewenangan legislatif di jalankan oleh DPRD (Dewan Perwakilan


Rakyat Daerah) yang dipilih langsung oleh rakyat melalui pemilihan
umum. Dalam menjalankankan tugasnya DPRD bekerja sama dengan
Pemerintah Daerah.

Dalam menjalankan tugas dan kewajiban pemerintah daerah,


gubernur bertanggung jawab kepada DPRD provinsi, sedangkan
kedudukannya sebagai wakil pemerintah gubernur bertanggung jawab
kepada presiden. Penyelenggaraan otonomi daerah di daerah kabupaten
dan kota, bupati atau walikota bertanggung jawab kepada DPRD
kabupaten/kota dan berkewajiban memberikan laporan kepada presiden
melalui Menteri Dalam Negeri.

b. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004


Kebijakan politik pemerintah berdasarkan undang-undang ini
ialah, pemerintahan daerah dalam rangka meningkatkan efisiensi dan
efektivitas penyelenggaraan otonomi daerah perlu memerhatikan
hubungan antarsusunan pemerintahan dan antarpemerintahan daerah,
potensi, dan keanekaragaman daerah. Aspek hubungan wewenang
memerhatikan kekhususan dan keragaman daerah dalam sistem NKRI.
Agar mampu menjalankan perannya tersebut, daerah diberikan
kewenangan seluas-luasnya disertai pemberian hak dan kewajiban
menyelenggarakan otonomi daerah dalam kesatuan sistem
penyelenggaraan pemerintahan daerah.

Pemerintah daerah adalah pelaksana fungsi-fungsi pemerintahan


daerah yang dilakukan oleh lembaga pemerintahan daerah, yaitu
pemerintah daerah dan DPRD. Kepala daerah adalah kepala
pemerintahan daerah yang dipilih secara demokratis berdasarkan
pemilihan yang demokratis pula. Hubungan antara pemerintah daerah

36
dan DPRD merupakan hubungan kerja yang kedudukannya setara dan
bersifat kemitraan. Kedudukan yang setara bermakna bahwa di antara
lembaga pemerintahan daerah itu memiliki kedudukan yang sama dan
sejajar, tidak saling membawahi. Dengan demikian antarkedua lembaga
itu membangun suatu hubungan kerja yang sifatnya saling mendukung
dan bukan merupakan lawan ataupun pesaing dalam melaksanakan fungsi
masing-masing. Peraturan daerah dibuat oleh DPRD bersama pemerintah
daerah, artinya prakarsa dapat bermula dari DPRD maupun dari
pemerintah daerah. Khusus peraturan daerah tentang APBD,
rancangannya disipkan oleh pemerintah daerah yang telah mencakup
keuangan DPRD untuk dibahas bersama DPRD.

Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 ini juga mengatur hak-hak


DPRD sebagai berikut:

1) hak interpelasi adalah hak DPRD untuk meminta keterangan kepada


kepala daerah mengenai kebijakan pemerintah daerah yang penting
dan strategis yang berdampak luas pada kehidupan masyarakat,
daerah, dan negara;
2) hak angket adalah pelaksanaan fungsi pengawasan DPRD untuk
melakukan penyelidikan terhadap suatu kebijakan tertentu kepala
daerah yang penting dan strategis serta berdampak luas pada
kehidupan masyarakat, daerah, dan negara yang diduga bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan;
3) hak menyatakan pendapat adalah hak DPRD untuk menyatakan
pendapat terhadap kebijakan kepla daerah atau mengenai kejadian luar
biasa yang terjadi di daerah dengan rekomendasi penyelesaiannya atau
sebagai tindak lanjut pelaksanaan hak interpelasi dan hak angket.
Menurut Undang-undamg Nomor 32 Tahun 2004 dengan
kebijakan politik yang menganut prinsip kesetaraan dan checks and
balances, maka otonomi daerah menggunakan seluas-luasnya kewenangan
membuat kebijakan daerah untuk memberi pelayanan, peningkatan peran

37
serta, prakarsa, dan penberdayaan masyarakat yang bertujuan pada
peningkatan kesejahteraan rakyat.

2.3. Simpulan
Kewenangan Daerah berdasarkan Pasal 7 UU No. 22 Tahun 1999
mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali
kewenangan dalam bidang politik luar negeri. Pembagian urusan
pemerintahan menurut Pasal 10 UU No. 32 Tahun 2004 pemerintahan daerah
menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya,
kecuali urusan pemerintahan yang oleh Undang-Undang ini ditentukan
menjadi urusan Pemerintah. Urusan pemerintahan berdasarkan Pasal 10 ayat
(3) UU No 32 Tahun 2004, meliputi politik luar negeri; pertahanan;
keamanan; yustisi; moneter dan fiskal nasional; dan agama.

Prinsip penyelenggaraan Pemerintahan Daerah menurut UU No. 22


Tahun 1999 adalah digunakannya asas desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas
pembantuan; penyelenggaraan asas de sentralisasi secara utuh dan bulat yang
dilaksanakan di Daerah Kabupaten dan Daerah Kota; dan asas tugas
pembantuan yang dapat dilaksanakan di Daerah Propinsi, Daerah Kabupaten,
Daerah Kota dan Desa. Sedangkan, Penyelenggara pemerintahan daerah
berdasarkan Pasal 19 ayat (2) UU No. 32 Tahun 2004 adalah pemerintah
daerah dan DPRD. Dalam menyelenggarakan pemerintahan daerah,
pemerintahan daerah menggunakan asas otonomi dan tugas pembantuan.
Dalam menyelenggarakan pemerintahan, pemerintah menggunakan asas
desentralisasi, tugas pembantuan, dan dekosentrasi sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.

Pada periode Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang


Pemerintahan Daerah, desentralisasi ditegaskan sebagai penyerahan
wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom dalam
kerangka NKRI. Pemerintah daerah adalah kepala daerah beserta perangkat
daerah otonom yang tidak lain sebagai badan eksekutif daerah.
Kewenangankewenangan daerah otonom lebih luas dan bertumpu pada tingkat
38
kabupaten/kota. Menurut Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 ini, dalam
penyelenggaraan otonomi menggunakan format otonomi seluas-luasnya.
Sistem pembinaan dan pengawasan yang dianut oleh produk UU No
22 Tahun 1999 lebih bersifat demokratis dan berupaya untuk mendewasakan,
serta penguatan daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah dalam
rangka otonomi. Sedangkan, berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004, dalam hal
pengawasan terhadap rancangan peraturan daerah dan perataturan kepala
daerah, pemerintah melakukan dua cara sebagai berikut.
1. Pengawasan terhadap rancangan perda yang mengatur pajak daerah,
retribusi daerah, APBD, dan RUTR, sebelum disyahkan oleh kepala
daerah terlebih dahulu dievaluasi oleh Menteri Dalam Negeri untuk
Raperda Provinsi, dan oleh gubernur terhadap Raperda Kabupaten/Kota.
Mekanisme ini dilakukan agar pengaturan tentang hal-hal tersebut dapat
mencapai daya guna dan hasil guna yang optimal.
2. Pengawasan terhadap semua peraturan daerah di luar yang termuat di
atas, peraturan daerah wajib disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri
untuk provinsi dan gubernur untuk kabuapten/kota, untuk memperoleh
klarifikasi terhadap peraturan daerah yang bertentangan dengan
kepentingan umum dan/atau peraturan lain yang lebih tinggi dan sebab itu
dapat dibatalkan sesuai mekanisme yang berlaku.
Susunan pemerintahan daerah otonom meliputi DPRD dan pemerintah
daerah. DPRD dipisahkan dari pemerintah daerah dengan maksud untuk lebih
memberdayakan DPRD dan meningkatkan pertanggungjawaban pemerintah
daerah kepada rakyat. Hak-hak DPRD cukup luas dan diarahkan untuk
menyerap serta menyalurkan aspirasi masyarakat menjadi kebijakan daerah
dan melakukan fungsi pengawasan. Dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun
2004 hak-hak DPRD adalah sebagai berikut: hak interpelasi, hak angket dan
hak menyatakan pendapat.

39
BAB III STUDI LEMBAGA-LEMBAGA PEMERINTAHAN DAERAH

3.1 Latar Belakang

Negara Kesatuan Republik Indonesia terbagi menjadi beberapa provinsi.


Provinsi, kabupaten, dan kota dobentuk untuk lebih memudahkan pengaturan
pemerintahan. Hak dan kewajiban daerah diwujudkan dalam bentuk rencana kerja
pemerintahan daerah. Rencana kerja tersebut dijabarkan dalam bentuk pendapatan,
belanja, dan pembiayaan daerah (RAPBD).Kemudian dikelola dalam system
pengelolaan keuangan daerah. Pemerintahan kabupaten atau kota memiliki kepala
daerah dan wakil kepala daerah. Dan setiap Negara memiliki system dan lembaga
pemerintahan yang berbeda.

Indonesia adalah sebuah negara yang wilayahnya terbagi atas


daerahdaerahProvinsi. Daerah provinsi itu dibagi lagi atas daerah Kabupaten dan
daerah Kota. Setiap daerah provinsi, daerah kabupaten, dan daerah kota mempunyai
pemerintahan daerah yang diatur dengan undang-undang. Pemerintahan Daerahadalah
penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh Pemerintah Daerah dan DPRDmenurut
asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluasluasnya dalam
sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud
dalam UUD 1945.

Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah provinsi,


kabupaten, dan kota atau antara provinsi dan kabupaten dan kota, diatur dengan
undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah.
Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfatan sumber daya alam dan sumber
daya lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah diatur dan
dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan undang-undang. Pada makalah ini
akan menjelaskan lebih jelas tentang Lembaga dan Susunan Pemerintahan Kabupaten,
Provinsi, Kota dan Pusat.

40
3.2 Lembaga Pemerintahan Kabupaten, Kota, dan Provinsi
3.2.1 Pemerintahan Kabupaten atau Kota

Setiap warga Negara mempunyai tanda identitas diri seperti Kartu Tanda
Penduduk (KTP), Surat Izin Mengemudi (SIM), dan Paspor. Dalam identitas tersebut
dicantumkan nama kabupaten atau kota. Misalnya, kamu lahir di kabupaten Sleman,
maka dalam identitasmu akan dicantumkan bahwa kamu lahir di Kabupaten
Sleman.Kabupaten adalah pembagian wilayah administratif di Indonesia di bawah
provinsi.Pemerintahan kabupaten terdiri atas pemerintah kabupaten dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) kabupaten.Pemerintah kabupaten terdiri atas
bupati dan perangkatnya. Selain kabupaten, pembagian wilayah administratif setelah
provinsi adalah kota. Bupati sebagai kepala daerah mempunyai tugas antara lain:

a) Memimpin penyelenggaraan pemerintahan daerah berdasarkan kebijakan yang


ditetapkan bersama DPRD.

b) Mengajukan rancangan peraturan daerah (perda).

c) Menetapkan peraturan daerah yang telah mendapat persetujuan bersama DPRD.

d) Menyusun dan mengajukan rancangan peraturan daerah tentang APBD kepada


DPRD untuk dibahas dan ditetapkan bersama.

e) Mengupayakan terlaksananya kewajiban daerah.

Sedangkan tugas wakil bupati adalah sebagai berikut.

a) Membantu kepala daerah dalam menyelenggarakan pemerintahan daerah.

b) Membantu kepala daerah dalam mengoordinasikan kegiatan instansi vertikal di


daerah, menindaklanjuti laporan dan atau temuan hasil pengawasan aparat
pengawas, melaksanakan pemberdayaan perempuan dan pemuda, serta
mengupayakan pengembangan dan pelestarian sosial budaya dan lingkungan
hidup.

c) Memantau dan mengevaluasi penyelenggaraan pemerintahan kabupaten dan atau


kota bagi kepala daerah provinsi.

d) Memantau dan mengevaluasi penyelenggaraan pemerintahan di wilayah


kecamatan, kelurahan dan atau desa bagi wakil kepala daerah kabupaten atau
kota.

41
e) Memberikan saran dan pertimbangan kepada kepala daerah dalam
penyelenggaraan kegiatan pemerintah daerah.

Wakil kepala daerah dalam melaksanakan tugasnya bertanggung jawab kepada


kepala daerah. Wakil kepala daerah akan menggantikan kepala daerah apabila kepala
daerah meninggal dunia, berhenti, diberhentikan atau tidak dapat melakukan
kewajibannya selama 6 bulan secara terus-menerus dalam masa jabatannya. Kepala
daerah dan wakil kepala daerah dalam menjalankan tugasnya mempunyai kewajiban
antara lain:

a)Memegang teguh dan mengamalkan Pancasila, melaksanakan Undang-Undang


Dasar 1945 serta mempertahankan dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan
Republik Indonesia.

b) Meningkatkan kesejahteraan rakyat.

c) Memelihara ketenteraman dan ketertiban masyarakat.

d) Melaksanakan kehidupan demokrasi.

e) Menaati dan menegakkan seluruh peraturan perundang-undangan.

Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah untuk kabupaten atau
kota merupakan urusan yang berskala kabupaten atau kota meliputi:

a) Perencanaan dan pengendalian pembangunan.

b) Perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang.

c) Penyelenggaraan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat.

d) Penyediaan sarana dan prasarana umum.

e) Penanganan bidang kesehatan.

Sedangkan urusan pemerintah kabupaten atau kota yang bersifat pilihan


meliputi urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi
unggulan daerah yang bersangkutan. Pemerintah pusat hanya menangani 6 urusan
saja, yaitu:

a) Politik luar negeri.

b) Pertahanan.

c) Keamanan.

42
d) Yustisi.

e) Moneter dan fiskal nasional.

f) Agama.

Kabupaten atau kota merupakan gabungan dari beberapa kecamatan yang ada di
sekitarnya. Pemerintah Kabupaten (Pemkab) dipimpinoleh seorang
bupati.Pemerintahan Kota (Pemkot) dipimpin oleh seorang walikota. Kabupaten atau
kota merupakan daerah bagian langsung dari provinsi. Kabupaten atau kota dipimpin
oleh bupati atau walikota dan perangkat daerah lainnya. Dalam menyelenggarakan
pemerintahan, setiap kabupaten atau kota dibekali dengan hak dan kewajiban tertentu.
Hak-hak daerah tersebut berikut ini:

a) Mengatur dan mengurusi sendiri urusan pemerintahannya.

b) Memilih pemimpin daerah.

c) Mengelola pegawai daerah

d) Mendapatkan sumber-sumber pendapatan lain yang sah.

e) Mendapatkan hak lainnya yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Pada dasarnya selain memiliki hak terdapat pula kewajiban yang harus
dijalankan. Di samping hak-hak tersebut, daerah juga dibebani beberapa kewajiban
yang harus dilakukan, antara lain sebagai berikut:

a) Menyediakan sarana social dan sarana umum yang layak.

b) Mengembangkan system jaminan social.

c) Menyusun perencanaan dan tata ruang pada daerah yang bersangkutan.

d) Melestarikan lingkungan hidup.

e) Membentuk dan menerapkan berbagai peraturan perundang-undangan yang


sesuai dengan kewenangannya.

Lembaga-lembaga dalam Susunan Pemerintahan Kabupaten atau Kota

a) Bupati atau walikota, adalah kepala daerah. Bupati adalah pimpinan

pemerintahan kabupaten, sedangkan walikota adalah pimpinan pemerintahan kota.

b) DPRD, adalah mitra kerja dari bupati atau walikota.

43
c) Kepolisian resort (polres), merupakan lembaga kepolisian yang berada di
tingkat kabupaten atau kota.

d) Komando distrik militer (kodim), adalah lembaga militer yang berada di tingkat
kabupaten atau kota.

e) Pengadilan negeri, merupakan lembaga peradilan yang berada di tingkat


kabupaten atau kota.

f) Kejaksaan negeri, merupakan lembaga kejaksaan yang berada di tingkat


kabupaten atau kota.

3.2.2. Pemerintahan Provinsi

Indonesia merupakan Negara yang luas.Oleh karena itu, dibagi ke dalam


beberapa provinsi.Semenjak reformasi, seluruh provinsi di Indonesia memiliki hak
otonomi.Hak itu disebut juga otonomi daerah.Otonomi daerah adalah kewenagan
daearah mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat.Kewenangan tersebut
berdasarkan aspirasi masyarakat.Pelaksanannya disesuaikan dengan
UndangUndang.Jumlah provinsi Indonesia sekaran sekitar 33 provinsi.Sebelumnya,
hanya ada 27 provinsi.Jumlah ini karena pemekaran provinsi di wilayah Negara
kesatuan Republik Indonesia.

Provinsi adalah nama sebuah pembagian wilayah administratif di bawah


wilayah nasional. Kata ini merupakan kata pungutan dari bahasa Belanda provincie
yang berasal dari bahasa Latin dan pertama kalinya digunakan di kekaisaran
Romawi.Sebuah provinsi, dipimpin oleh seorang Gubernur dan Wakil Gubernur.

Dalam pemerintahan provinsi terdapat dua lembaga pemerintahan, yaitu kepala


daerah (gubernur) dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPRD).

a. Gubernur

Pemerintahan daerah di wilayah provinsi dipimpin oleh seorang gubernur dan


wakil gubernur. Mereka dipilih dalam satu pasangan secara lansung oleg rakyat di
daerah yang bersangkutan. Pemilihan kepala daerah (Pilkada) dilaksanakan secara
langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.Gubernur bertanggung jawab kepada
presiden, melalui Mentri Dalam Negeri (Mendagri).

Dalam menjalankan tugas dan kewenangan sebagai kepala daerah, gubernur


bertanggung jawab langsung kepada DPRD Provinsi. Gubernur memiliki tugas dan
wewenang sebagai berikut:

1) Pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah ditingkat


kabupaten atau desa.
44
2) Penyelenggaraan urusan pemerintahan di daerah provinsi dan kabupaten
atau kota.

3) Pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan tugas pembantuan di daerah


provinsi dan kabupaten atau kota.

Gubernur dalam menjalankan tugasnya mempunyai kewajiban antara lain:

1) Mempertahankan dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik


Indonesia.

2) Memegang teguh Pancasila dan UUD 1945.

3) Menegakkan seluruh peraturan perundang-undangan.

4) Meningkatkan taraf kesejahteraan rakyat.

5) Memelihara keamanan, ketertiban, dan ketenteraman masyarakat.

Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah provinsi merupakan


urusan dalam skala provinsi yang meliputi:

1) Perencanaan dan pengendalian pembangunan.

2) Perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang.

3) Penyelenggaraan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat.

4) Penyediaan sarana dan prasarana umum.

5) Penanganan bidang kesehatan.

b. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)

Dewan Perwakilan Daerah merupakan lembaga perwakilan rakyat daerah yang


berkedudukan sebagai unsur penyelenggaraan pemerintahan daerah.Anggota DPRD
merupakan perwakilan dari berbagai partai politik yang dipilih melalaui pemilihan
umum.Anggota DPRD provinsi sekurang-kurangnya berjumlah 35 orang dan pailing
banyak berjumlah 100 orang. DPRD memiliki fungsi, di antaranya:

1) Fungsi legislasi adalah legislasi daerah yang merupakan fungsi DPRD


provinsi untuk membentuk peraturan daerah provinsi bersama dengan gubernur dan
menyusun peraturan daerah.

45
2) Fungsi anggaran adalah fungsi DPRD provinsi bersama-sama dengan
pemerintah daerah untuk menyusun Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD).

3) Fungsi pengawasan adalah fungsi DPRD provinsi untuk melaksanakan


pengawasan terhadap pelaksanaan undang-undang, peraturan daerah, dan keputusan
gubernur, serta kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah daerah.

3.3. Susunan Pemerintahan Kabupaten, Kota, dan Provinsi

3.3.1. Pemerintahan Kabupaten atau Kota

Hak dan kewajiban daerah diwujudkan dalam bentuk rencana kerja


pemerintahan daerah.Rencana kerja tersebut dijabarkan dalam bentuk pendapatan,
belanja, dann pembiayaan daerah (RAPBD).Kemudian dikelola dalam system
pengelolaan keuangan daerah. Pemerintahan kabupaten atau kota memiliki kepala
daerah dan wakil kepala daerah.

a. Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah

Pemerintah daerah terdiri atas kepala daerah dan wakil kepala daerah.Kepala
daerah dibantu oleh seorang wakil daerah.Kepala daerah provinsi disebut gubernur,
dan wakilnya disebut wakil gubernur. Sementara itu, kepala daerah kabupaten atau
kota disebut bupati atau walikota dan wakilnya disebut wakil bupati atau wakil wali
kota. Bupati dan wakil wali kota dipilih oleh masyarakat dan dilantik oleh gubernur.
Dalam menjalankan tugasnya, wakil kepala daerah bertanggung jawab kepada kepala
daerah.Wakil kepala daerah dapat menggantikan kepala daerah apabila kepala daerah
tidak dapat menjalankan tugasnya selama enam bulan berturut-turut.

b. Perangkat Daerah.

Dasar utama penyusunan perangkat daerah dalam bentuk suatu organisasi


adalah adanya urusan pemerintahan yang perlu ditangani.Namun tidak berarti bahwa
setiap penanganan urusan pemerintahan harus dibentuk ke dalam organisasi
tersendiri. Besaran organisasi perangkat daerah sekurang-kurangnya
mempertimbangkan faktor kemampuan keuangan, kebutuhan daerah, cakupan tugas
yang meliputi sasaran tugas yang harus diwujudkan, jenis dan banyaknya tugas, luas
wilayah kerja dan kondisi geografis, jumlah dan kepadatan penduduk, potensi daerah
yang bertalian dengan urusan yang akan ditangani, sarana dan prasarana penunjang
tugas. Oleh karena itu kebutuhan akan organisasi perangkat daerah bagi
masingmasing daerah tidak senantiasa sama atau seragam.

46
Pemerintah daerah memiliki perangkat daerah. Adapun perangkat daerah kabupaten
kota adalah sebagai berikut:

1) Sekretariat Daerah

2) Sekretariat DPRD

3) Dinas Daerah

4) Lembaga Teknis Daerah

5) Kecamatan

6) Kelurahan

7) Polisi Pamong Praja

Adapun penjelasannya sebagai berikut:

1) Sekretariat Daerah

Sekretariat Daerah dipimpin oleh sekretaris daerah. Sekretaris mempunyai tugas


dan kewajiban membantu kepala daerah dalam menyusun kebijakan dan
mengoordinasikan dinas daerah dan lembaga teknis daerah. Dalam melaksanakan
tugas dan kewajibannya, sekretris daerah bertanggung jawab kepada kepala daerah.

2) Skretariat DPRD

Sekretariat DPRD dipimpin oleh seorang sekretaris DPRD. Sekretaris DPRD


diangkat dan diberhentikan oleh gubernur untuk provinsi dan bupati atau walikota
untuk kabupaten atau kota. Tugas sekretaris DPRD adalah sebagai berikut:

a) Menyelenggarakan administrasi kesekretarian DPRD.

b) Menyelenggarakan aadministrasi keuangan DPRD.

c) Menyediakan dan kengoordinasikan tenaga ahli yang diperlukan oleh DPRD


dalam melaksanakan funsinya sesuai dengan kemampuan keuangan daerah.

d) Mendukung pelaksanaan tugas dan fungsi DPRD.

3) Dinas Daerah

Dinas daerah merupakan unsur pelaksana otonomi daerah. Kepala dinas daerah
bertanggung jawab kepada kepala daerah melalui Sekretaris Daerah. Dan dinas
daerah juga merupakan unsur pelaksana pemerintahan daerah. Dinas daerah dipimpin
oleh kepala dinasyang diangkat dan diberhentikan kepala daerah, yang memenuhi

47
syarat atas usul sekretaris daerah. Kepala dinas dalam melaksanakan tugasnya
bertanggung jawab kepada kepala daerah melalui sekretaris daerah. Misalnya, dinas
oekerjaan umum yang bertugas mengurus dan membangun jalan raya atau jembatan.

4) Lembaga Teknis Daerah

Lembaga ini merupakan unsur pendukung tugas kepala daerah.Tugasnya


berperan dalam penyusunan dan pelaksanaan kebijakan daerah yang bersifat khusus.
Kembaga teknis daerah berbentuk badan, kantor, atau rumah sakit umum daerah.
Lembaga-lembaga tersebut dipimpin kepala badan, kepala kantor, dan direktur rumah
sakit umum. Mereka diangkat oleh kepala daerah yang memenuhi syarat atas usul
sekretaris daerah.

5) Kecamatan

Kecamatan dibentuk di wilayah kabupaten atau kota dengan Perda berpedoman


pada Peraturan Pemerintah. Kecamatan dipimpin oleh camat yang dalam pelaksanaan
tugasnya memperoleh pelimpahan sebagian wewenang bupati atau walikota untuk
menangani sebagian urusan otonomi daerah. Kelurahan dibentuk di wilayah
kecamatan dengan Perda berpedoman pada Peraturan Pemerintah. Kelurahan
dipimpin oleh lurah yang dalam pelaksanaan tugasnya memperoleh pelimpahan dari
Bupati atau Walikota

6) Kelurahan

Kelurahan daerah pemerintahan yang dibentuk di wilayah kecamatan yang ada


diperkotaan dengan peraturan daerah yang berpedoman pada peraturan pemerintah.
Kelurahan dipimpin oleh seorang lurah yang memiliki tugas sebagai beirkut:

a) Melaksanakan kegiatan pemerintahan ditingkat kelurahan.

b) Memberdayakan masyarakat.

c) Memberi pelayanan kepada masyarakat.

d) Menyelenggarakan ketentraman dan ketertiban umum.

e) Menegakan peraturan daerah.

7) Satuan Polisi Pamong Praja

Satuan polisi pamong praja merupakan perangkat pemerintahan daerah dalam


memelihara ketentraman dan ketertiban umum serta penegak peraturan daerah.Polisi
pamong praja dibentuk agar penyelenggaraan pemerintah di daerah berjalan dengan
baik.Kepolisian pamong praja membantu pemerintahan daerah dalam
menyelenggarakan ketentraman dan ketertiban umum.
48
3.3.2. Pemerintahan Provinsi

Selain gubernur, di pemerintahan provinsi, terdapat juga Perwakilan Rakyat


Daerah (DPRD), yang mempuyai kewenangan dan tugas sesuai dengan fungsinya.
Adapun tugas dan wewenang DPRD, yaitu sebagai berikut.

1) Membentuk perda yang dibahas dengan gubernur.

2) Membahas dan menyetujui rancangan perda tentang APBD bersama dengan


gubernur.

3) Melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan perda dan peraturan


perundang-undangan lainnya.

4) Mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian kepala daerah atau wakil kepala


daerah kepada presiden melalui menteri dalam negeri.

5) Memilih wakil kepala daerah dalam hal terjadi kekosongan jabatan wakil kepala
daerah.

6) Memberikan pendapat dan pertimbangan terhadap rencana perjanjian


internasional di daerah.

7) Memberikan persetujuan rencana kerjasama internasional.

8) Meminta laporan pertanggungjawaban kepala daerah.

9) Membentuk panitia pengawas pemilih kepala daerah.

10) Memberikan persetujuan terhadap rencana kerja sama antatdaerah.

Selain mempunyai tugas dan wewenang, DPRD juga memiliki hak. Hak tersebut
antara lain sebagai berikut:

1) Interpelasi, yaitu hak DPRD untuk meminta keterangan kepada gubernur


atau bupati atau walikota. Biasanya, mengenai kebijakan yang berdampak pada
kehidupan orang banyak atau masyarakat.Misalnya, pendirian tempat pembuangan
sampah akhir (TPA), apakah sudah sesuai AMDAL (Analisis Mngenai Dampak
Lingkunga).

2) Angket, yaitu DPRD untuk melakukan penyelidikan terhadap suatu


kebijakan kepala daerah.

3) Menyatakan pendapat, yaitu hak DPRD menyatakan pendapat terhadap


kebijakan kepala daerah mengenai kebijakan luar biasa yang terjadi di daerah.

Adapun kewajiban DPRD, antara lain sebagai berikut:


49
1) Mengamalkan Pancasila, melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia tahun 1945, dan mentaati segala peraturan perundang-undangan.

2) Melaksanakn kehidupan demokrasi dalam penyelenggarakan pemerintahan


daerah.

3) Mempertahankan dan memelihara kerukunan nasional serta keutuhan


Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

4) Memperjuangkan peningkatan kesejahteraan rakyat di daerah.

5) Menyerap, menampung, menghimpun, dan menindaklanjuti aspirasi


masyarakat.

6) Mendahulukan kepentingan Negara di atas kepentingan pribadi, kelompok,


dan golongan.

7) Memberikan tanggungjawaban atas tugas dan kinerjanya selaku anggota


DPRD terhadap daerah pemilihannya sebagai bentuk tanggung jawab moral dan
politis.

8) Mentaati peraturan, tata tertib, kode etik, dan sumpah atau janji anggota

DPRD. 9) Menjaga norma dan etika dalam hubungan kerja dengan lembaga

terkait.

Dengan demikian, dalam perencanaan, pelaksanaan pembangunan, dan


pengelolaan daerah, pemerintahan daerah harus mengikutsertakan masyarakatyang
diwakili oleh anggota sertakan mayarakat yang diwakili oleh anggota DPRD.

3.3.3. Lembaga Pemerintahan Pusat

Lembaga Negara merupakan perangkat dalam system pemerintahan di


Indonesia.Indonesia menganut paham pembagian kekuasaan, bukan pemisahan
kekuasaan. Pada bagianini, akan dipelajari beberapa lembaga Negara dalam susunan
pemerintah pusat berdasarkan amandemen UUD 1945, seperti MPR, DPR, DPD,
Presiden, MA, MK, KY, dan BPK.

1. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)

Majelis Permusyawaratan Rakyat merupakan lembaga tinggi Negara.Lembaga


ini merupakan lembaga permusyawaratan rakyat yang berkedudukan sebagai lembaga

50
Negara.Susunan MPR terdiri dari atas anggota Dewan Perwakilan Daerah yang dipih
melalui pemilihan umum.

Adapun tugas dan wewenang MPR adalah sebagai berikut:

a. Mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar.

b. Melantik presiden dan wakil presiden berdasarkan hasil pemilihan umum dalam
siding paripurna MPR.

c. Memutuskan usul DPR berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi untuk


memberhentikan presiden dan atau wakil presiden dalam masa jabatannya setelah
presiden dan atau masa jabatannya setelah presiden dan atau wakil presiden
diberi kesempatan untuk menyampaikan penjelasan di dalam siding paripurna
MPR.

d. Melantik wakil presiden menjadi presiden apabila presiden mangkat, berhenti,


diberhentikan, atau tidak dapat melaksanakan kewajibannya dalam masa
jabatannya.

e. Memilih wakil presiden dari dua calon yang diajukan presiden apabila terjadi
kekosongan jabatan wakil presiden dalam masa jabatannya, selambat-lambatnya
dalam waktu enam puluh hari.

2. Dewan Perwakilan Rakyat

Dewan Perwakilan Rakyat sangatlah penting di dalam system pemerintahan


Negara Indonesia.Dewan Perwakilan Rakyat terdiri atas anggota partai politik peserta
pemilhan umum (pemilu) yang dipilih berdasarkan hasil pemilhan umum.Rakyat
Indonesia, sejak pemilu 2004 langsung memilih anggota DPR.Dewan Perwakilan
Rakyat merupakan lembaga yang menyerap, menampung, menghimpun, dan
menindaklanjuti aspirasi rakyat Indonesia.

Jumlah anggota DPR, yaitu 50 orang.Keanggotaan DPR diresmikan dengan


keputusan presiden anggota DPR berkedudukan di Jakarta. Adapun tugas Dewan
Perwakilan Rakyat, yaitu:

a. Membentuk undang-undang yang dibahas dengan presiden untuk mendapatkan


persetujuan bersama.

b. Membahas dan memberikan persetujuan pemerintah pengganti undang-undang.

c. Menerima dan membahas usulan rancangan undang-undang yang diajukan


DPD.

51
d. Memperhatiakn pertimbangan DPD atas rancangan undang-undang Anggaran
Pendapatan Belanja Negara (APBN) dan rancangan undang-undang yang
berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama.

e. Menetapkan APBN bersama presiden dengan memperhatikan DPD.

3. Dewan Perwaikalan Daearah (DPD)

Dewan Perwaikalan Daearah (DPD) terdiri dari wakil-wakil daerah provinsi


yang dipih melalui pemilihan umum.Anggota DPD dari setiap provinsi ditetapkan
sebanyak empat orang.Jumlah seluruh anggota DPD tidak lebih dari jumlah anggota
DPR. Adapun tugas dan wewenang DPD adalah sebagai berikut:

a. Mengajukan kepada DPR tentang rancangan undang-undang yang berkaitan


dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran,
penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam, dan sumber daya ekonomi.

b. Membahas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pelaksanaan otonomi


daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran, penggabungan
daerah, pengelolaan sumber daya alam, dan sumber daya ekonomi lainnya serta
yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diajukan,
baik oleh DPR maupun oleh pemerintah.

c. Memberikan pertimbangan kepada DPR atas rancangan undang-undang APBN


dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan
agama.

d. Melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai otonomi


daerah, pembentukan, pemekaran, penggabungan daerah, pengelolaan sumber
daya alam, dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan APBN, pajak,
pendidikan dan agama.

4. Presiden

Presiden merupakan pemimpin sebuah Negara.Presiden termasuk lembaga


eksekutif.Dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya, Presiden dibantu uleh
wakil presiden dan para mentri.Mentri-mentri tersebut tunduk dan tanggung jawab
kepada Presiden.

Lembaga ekskutif bertugas mengurus berbagai urusan pemerintaha. Urusan


pemerintahan tersebut sebagai berikut:

a. Melaksanakan politik luar negeri

b. Menciptakan pertahanan nasional

52
c. Menjaga keamanan dan melindungi seluruh warga Negara Indonesia.

5. Mahkamah Agung (MA)

Mahkamah Agung (MA) adalah badan yang melakukan kekuasaan


kehakiman.Susunan Mahkamah Agung terdiri atas pimpinan, hakim anggota,
panitera, dan seorang Mahkamah Agung adalah Hakim Agung.Jika masalah hokum
tidak selesai di pengadilan negeri dapat diselesaikan di Mahkamah Agung.

6. Mahkamah Konstitusi (MK)

Mahkamah Konstitusi (MK) merupakan salah satu lembaga Negara yang


melakukan kekuasaan kehakiman.Susunan Mahkamah Konstitusi terdiri atas
seseorang ketua merangkap anggota, seorang wakil ketua merangkap anggota, dan
tujuh orang anggota hakim konstitusi. Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili
pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat untuk:

a.Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik


Indonesia Tahun 1945.

b. Meutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya diberikan


oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

c. Memutus pembubaran partai politik

d. Memutus perselisihan tentang hasil politik.

e. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.

7. Komisi Yudisial (KY)

Komisi Yudisial merupakan lembaga Negara yang bersifat mendiri.Dalam


pelaksanaan wewenangnya, Komisi Yudisial bebas dari campur tangan atau pengaruh
kekuasaan lainnya.Pimpinan Komisi Yudisial terdiri atas seoarang ketua dan seorang
wakil ketua yang merangkap anggota.Komisi Yudisial mempunyai tujuh orang
anggota komisi. Komisi Yudisial mempunyai wewenang sebagai berikut:

a. Mengusulkan pengangkatan Hakim Agung kepada DPR.

b. Menegakan lehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim.

1) Menyiapkan calon hakim agung yang berakhlak mulia, jujur, berani, dan
kompeten.

2) Mendorong pengembangan sumber daya hakim menjadi insan yang mengabdi dan
menegakkan hokum dan keadilannya.

53
3) Melaksanakan pengawasan penyelengaraan kekuasaan kehakiman yang jujur,
bersih, transparan, dan professional.

8. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)

Badan Pemeriksa Keuangan adalah badan yang bertugas memeriksa tentang


keuangan Negara.Dalam pelaksanaan tugasnya, BPK terlepas dari pengaruh
kekuasaan pemerintah.Hal tersebut dinyatakan dalam Pasal 23 E Ayat 1 UUD 1945
bahwa untuk memeriksa keuangan yang bebas dan mandiri.

Adapun anggota BPK berjumlah 9 orang yang terdiri atas seorang ketua, wakil
ketua, dan tujuh orang anggota.Anggota BPK dipilih oleh DPR dengan
memperhatikan pertimbangan DPD dan disahkan oleh presiden. Pemimpin BPK
memegang jabatan sealam lima tahun dan dapat dipilih kembali untuk satu kali masa
jabatan. Badan Pemeriksa Keuangan mempunyai kewenangan sebagai berikut:

a.Memeriksa pengeloaan dan tanggung jawab keuangan Negara

b.Menyerahkan hasil pemeriksaan keuangan Negara kepada DPR, DPD, dan DPRD
sesuai dengan kewenangannya.

Dengan demikian, lembaga BPK merupakan lembaga yang mangawasi keluar


dan masuknya keuangan yang mengawasi keluar dan mausknya keuangan Negara,
melalui adanya pengawasan BPK, diharapkan pelaksanaan pembangunan di seluruh
Indonesia berjalan sesuai dengan anggaran yang telah diteta[kan oleh presiden dan
DPR. dengan demikian, tidak terjadi penyimpangan dalam penggunaan anggaran
Negara.

Setelah memahami dan mengenal lembaga-lembaga Negara dlam pemerintahan pusat,


sekarang akan dipelajari lembaga ekskutif, yaitu presiden, wakil presiden, dan mentri.

1. Presiden

Presiden republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut


undang-undang dasar.Dalam melakukan kewajibannya, presiden dibantu oleh satu
orang wakil presiden.Presiden dan wakil presiden dipilih dalam satu pasangan secara
lansung oleh rakyat.

Pasangan calon Presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau
gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pemilihan umum.

Presiden memiliki tugas yang besar demi kemajuan bangsa. Berikut ini yang termasuk
tugas-tugas presiden:

54
a. Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang.

b. Menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang jika


keadaan meminta.

c. Presiden berhak menetapkan peraturan untuk melaksanakan undang-undang.

Dalam bidang kehakiman, presiden mempunyai kewenangan sebagai berikut:

a.Memberi grasi atau pengurangan massa hukuman bagi narapidana.

b.Memberi amnesti atau pengampunan kepada orang yang telah dijauhi hukuman.

c.Memberi abolisi atau penghapusan suatu tuntutan pidana.

d.Memberikan rehabilitasi atau pemulihan nama baik seseorang.

e.Menetapkan hakim agung.

f. Menetapkan hakim konstitusi.

g.Mengangkat dan memberhentikan anggota komisi yudisial dengan persetujuan


DPR.

Presiden mempunyai kewenangan yang lain di antaranya sebagai berikut:

a. Mengangkat duta konsul.

Duta adalah orang yang mewakili suatu Negara di Negara lain. Konsul adalah orang
yang mewakili suatu Negara di kota Negara lain. Konsul berada di bawah kedutaan
besar.

b. Menerima penempatan duta lain.

Dalam pengangkatan duta dan penerimaan duta Negara lain, presiden harus
memperhatikan pertimbangan DPR.Presiden Republik Indonesia selain selain sebagai
kepala pemerintahan juga berperan sebagai kepala Negara dan panglima tertinggi
angkatan memiliki kekuasaan membuat perjanjian dengan Negara lain dengan
persetujuan DPR. presiden juga dapat memberikan tanda jasa, gelar, dan tanda
kehormatan lainnya.

Sebagai seorang panglima tertinggi angkatan bersenjata, presiden mempunyai


kekuasaan untuk menyatakan keadaa bahaya, menyatakan perang, dan membuat
perdagangan dengan persetujuan DPR.oleh karena itu, kita harus mempunyai presiden
yang dapat menjalankan tugasnya dengan baik. Hal ini demi kesejahteraan seluruh
55
memilih presiden secara langsung untuk pertama kalinya pada pemilu 2004.Pada
pemilu 2004, setiap warga Negara secara langsung memilih presiden dan wakilnya.

Seorang presiden diusulkan oleh para partai politik atau gabungan dalam satu
pasangan. Kemudian setelah terpilih presiden akan menjalankan jabatannya selama 5
tahun.

2. Wakil Presiden

Wakil presiden mempunyai tugas sebagai berikut:

a. Melaksanakan tugas teknis pemerintahan sehari-hari.

b. Melaksanakan tugas- tugas khusus kenegaraan yang diberikan presiden, jika


presiden berhalangan.

c. Menggantikan jabatan presiden apabila presiden berhenti, diberhentikan, atau


meninggal dunia.

Untuk membantu pelaksanaan tugas, wakil presiden dibantu oleh secretariat wakil
presiden (setwapres). Susunan aorganisasi setwapres antara lain:

a.Sekretaris wakil presiden.

b.Deputi bidang politik.

c.Deputi bidang ekonomi.

d.Deputi bidang kesra.

e.Deputi bidang dukungan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan dan


pembangunan.

f. Deputi bidang administrasi.

3. Mentri

Dalam menjalankan tugasnya presiden dibantu oleh mentri-mentri Negara, yang


diangkat oleh presiden.Mentri dibagi tiga, yaitu mentri koordinator, mentri
departemen, dan mentri Negara.

Mentri koordinator mempunyai tugas untuk menghubungkan atau melakukan


kerja sama antara satu mentri dengan mentri lainnya. Misalnya mentri koordinator
perekonomian.

Mentri departemen ialah mentri yang memimpin departemen.Deoartemen


merupakan badan pelaksanan pemerintah yang dibagi menurut bidang-bidangnya
56
masing-masing atau per departemen.Misalnya, mentri yang menangani bidang khsus
yang tidak ditangani oleh mentri departemen.Misalnya, mentri perhubungan dan
mentri perdagangan.

Mentri Negara ialah mentri yang menangani bidang khusus yang tidak ditangani
oleh mentri departemen. Misalnya, mentri neagra BUMN dan mentri lingkungan
hidup

3. Pembagian Wewenang dari Lembaga Pemerintahan Kabupaten, Kota, dan Provinsi


Menurut Pasal 25 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 kepala daerah mempunyai
tugas dan kewenangan sebagai berikut:

1.Memimpin penyelenggaraan pemerintah daerah berdasarkan kebijakan yang


ditetapkan bersama DPRD.

2. Mengajukan rancangan Perda.

3.Menetapakan Perda yang telah mendapat persetujuan bersama DPRD.

4.Menyusun dan mengajukan rancangan Perda tentang APBD kepada DPRD untuk
dibahas dan ditetapkan bersama.

5.Mengupayakan terlaksananya kewajiban daerah.

6.Mewakili daerahnya di dalam dan di luar pengadilan, dan dapat menunjuk kuasa
hukum untuk mewakilinya sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

7.Melaksanakan tugas dan wewenang lain sesuai dengan peraturan


perundangundangan

Di masa lalu tugas seorang wakil kepala daerah hanya digariskan secara umum,
yaitu membantu tugas kepala daerah, atau menggantikan tugas kepala daerah apabila
kepala daerah berhalangan. Oleh karena itu muncul ironi bahwa seorang wakil kepala
daerah hanya bertugas sebagai ban serep.

Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 menggariskan tugas-tugas wakil kepala


daerah secara lebih spesifik. Pasal 26 ayat 1 menjelaskan rincian tugas seorang wakil
kepala daerah, yaitu:

1. Membantu kepala daerah dalam menyelenggarakan pemerinthan daerah.

57
2. Membantu kepala daerah dalam mengkoordinasikan kegiatan-kegiatan instansi
vertical di daerah, menindaklanjuti laporan dan/atau temuan hasil pengawasan,
melaksanakan pemberdayaan perempuan dan pemuda, serta mengupayakan
pengembangan dan pelestarian sosial budaya dan lingkungan hidup.

3. Memantau dan mengevaluasi penyelenggaraan pemerintah kabupaten dan bagi


wakil kepala daerah propinsi.

4. Memantau dan mengevaluasi penyelenggaraan pemerintahan di wilayah


kecamatan, kelurahan/dan atau desa bagi wakil kepala daerah kabupaten/kota.

5. Memberikan saran dan pertimbangan kepada kepala daerah dalam


penyelenggaraan kegiatan pemerintah daerah.

6. Melaksanakan tugas dan kewajiban pemerintahan lainnya yang diberikan oleh


kepala daerah.

7. Melaksanakan tugas dan wewenang kepala daerah apabila kepala daerah


berhalangan.

Pasal 26 ayat 2 mengatur ketentuan mengenai pertanggungjawaban tugas


seorang wakil kepala daerah.Dalam melaksanakan tugas-tugasnya seperti dirinci di
atas, wakil kepala daerah berttanggung jawab kepada kepala daerah. Prosedur seperti
itu berarti bahwa tugas-tugas seoarang wakil kepala daerah berada dalam satu
kesatuan yang utuh dan sinergitas dengan tugas-tugas kepala daerah, yang kelak
dipertanggungjawabkan bersama kepada DPRD.

Jika kepala daerah meninggal dunia, berhenti, diberhentikan atau tidak dapat
melakukan kewajiban selama enam bulan secara terus-menerus dalam masa
jabatannya, maka wakil kepala daerah akan menggantikan kepala daearh sampai habis
masa jabatannya. Ketentuan ini diatur dalam ayat 3 Pasal 26 Undang-undang Nomor
32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.

Dalam melaksanakan tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal


25 dan Pasal 26, kepala daerah dan wakil kepala daerah mempunyai kewajiban
sebagai berikut:

1. Memegang teguh dan mengamalkan pancasila, melaksanakan Undang-undang


Dasar Negara republik Indonesia Tahun 1945 serta mempertahankan dan
memelihara keutuhan Negara kesatuan republik Indonesia.

2. Meningkatkan kesejahteraan rakyat.

58
3. Memelihara ketentraman dan ketertiban masyarakat.

4. Melaksanakan kehidupan demokrasi.

5. Menaati dan menegakkan seluruh peraturan perundang-undangan.

6. Menjaga etika dan norma dalam penyelenggaraan pemerintah daerah.

7. Memajukan dan mengembangkan daya saing daerah.

8. Melaksanakan prinsip tata pemerintahan yang bersih dan baik.

9. Melaksanakan dan mempertanggungjawabkan pengelolaan keuangan daerah.

10. Menjalin hubungan kerja dengan seluruh instansi vertikal di daerah dan semua
perangkat daerah.

11. Menyampaikan rencana strategis penyelenggaraan pemerintahan daerah di


hadapan rapat paripurna DPRD.

Selain itu, kepala daerah mempunyai kewajiban juga untuk memberikan laporan
penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada pemerintah, dan memberikan laporan
keterangan pertanggungjawaban kepada DPRD, serta menginformasikan laporan
penyelenggaraan pemerintah daerah kepada masyarakat.

Laporan penyelenggaraan pemerintah daerah kepada pemerintah disampaikan


kepada presiden melaui Menteri Dalam Negeri untuk Gubernur, dan kepada Menteri
Dalam Negeri melalui Gubernur untuk Walikota satu kali dalam satu tahun.

Laporan tersebut digunakan pemerintah sebagai dasar melakukan evaluasi


penyelenggaraan pemerintah daerah dan sebagai bahan pembinaan lebih lanjut sesuai
dengan peraturan perundang-undangan. Ketentuan tentang laporan penyelenggaraan
pemerintah daerah ini tidak menutup adanya laporan lain baik atas kehendak kepala
daerah atau atas permintaan pemerintah.

59
BAB IV PENGEMBANGAN PEMERINTAHAN UMUM DAN PEMBINAAN
WILAYAH DALAM OTONOMI DAERAH
4.1 Latar Belakang

Negara Republik Indonesia sebagai negara kesatuan menganut asas


desentralisasi dalam menyelenggarakan pemerintahan dengan memberikan
kesempatan dan keleluasaan kepada daerah untuk menyelenggarakan otonomi
daerah karena itu, pasal 18 Undang-undang Dasar 1945 antara lain menyatakan
bahwa pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil dengan bentuk
dan susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang. Dalam
penjelasan tersebut antara lain dikemukakan bahwa “oleh karena Negara
Indonesia itu suatu eenheidsstaat, maka Indonesia tidak akan mempunyai daerah
dalam lingkungannya yang bersifat staat juga. Daerah Indonesia akan dibagi
dalam daerah provinsi dan daerah provinsi akan dibagi dalam daerah yang lebih
kecil. Daerah-daerah yang bersifat otonom (streek enlocale
rechtgemeenschappen) atau bersifat administrasi belaka, semuanya menurut
aturan yang akan ditetapkan dengan undang-undang”.

Secara etimologis kata otomi berasal dari bahasa latin auto bearti
sendiri dan nomein berarti peraturan atau undang-undang. Maka autonom berarti

60
mengatur sendiri atau memerintah sendiri atau dalam arti luas adalah hak untuk
mengatur dan mengurus rumah tangga daerah sendiri.

Dewasa ini, paling tidak terdapat empat perubahan mendasar yang akan
menentukan wujud tatanan politik dunia yang perlu di antisipasi dan didalami
implikasinya. Pertama, kecenderungan arah perubahan dalam konstelasi politik
global, dari suatu karangka bipolar ke kerangka multipolar.kedua,menguatnya
gajala saling keteragntungan antar negara dan saling keterkaitan antara maslah
global dibidang poliik,keaman,ekonomi,sosial,lingkungan hidup,dan lain-lain.
Seiring dengan itu,semakin menguat pola dampak globalisasi dengan segala
implikasinya,baik yang positif maupun yang negatif. Ketiga,meningkatnya peran
aktor-aktor non pemerintah dalam tata hubungan antar negara. Keempat,
munculnya isu-isu baru dalam agenda internasional, seperti masalah hak asasi
manusia, intrfensi humaniter, demokrasi dan demokratisasi, good governance,l
ingkungan hidup, dan lain-lain.

Desentralisasi dan otonomi di pandnag dapat memperbaiki dan


meningkatkan efisiensi. Penyerahan urusan kepada pemerintah daerah dipandnag
dapat mempersingkat jalur dari proses input,sebaliknya akan memperbesar dan
mengefektifkan nilai output,sebab wakil-wakil rakyat dan para pejabat
pemerintah daerah akan lebih sensitif terhadap kondisi-kondisi lokal dan
responsif terhadap kebutuhan lokal.

Dari segi politik, desentralisasi, dan otonomi, dinilai dapat memperkuat


rasa tanggung jawab, meningkatkan kemampuan politik masyarakat daerah dan
dapat memelihara integritas nasional. Desentralisasi dan otonomi berperan
mendekatkan pemerintah kepada rakyatnya, atau menjadi pelayan masyarakat
yang baik,dan dapat meningkatkan aspek-aspek keterbukaan dan kesejahteraan.
Dengan demikian,desentralisasi dan otonomi pada dasarnya merupakan wahana
bagi tersalurkannya aspirasi masyarakat dan terbentuknya kepemimpinan
politik,baik untuk tingkat daerah maupun tingkat nasional.

61
Menyadari manfaat desentralisasi dan otonomi maka sudah sewajarnya
apabila pemerintahan umum dapat mendukung kelancaran pelkasanaan otonomi
tersebut. Juga dapat membantu dan melengkapi kekurangan dan kelemahannya.
Hal tersebut sebagai pengejawantahan terhadap kondisi keseimbangan anatara
asas desentralisasi dengan asas dekonstentrasi dalam pelaksanaan otonomi
daerah.

4.2 Pemerintahan Umum

Tujuan nasional sebagaimana ditegaskan dalam Pembukaan UUD 1945


diwujudkan melalui pelaksanaan penyelenggaraan Negara berkedaulatan rakyat
dan demokratis dengan mengutamakan persatuan dan kesatuan bangsa,
berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Luasnya wilayah Indonesia dan kondisinya
yang demikian beragam, merupakan keadaan yang berada diluar kapasitas
pemerintah pusat untuk mengelolanya secara efisien.Indonesia yang sedemikian
luas wilayahnya beraneka kondisinya, maka pengelolaan dari layanan-layanan
yang berkaitan dengan urusan-urusan yang menyangkut kesejahteraan rakyat itu
memang harus tetap terdesentralisasi.Sebab penjaabaran dari urusan-urusan
tersebut dalam bentuk aneka jenis pelayanan merupakan sesuatu yang
fundamental bagi kesejahteraan hidup penduduk.

Suatu hal yang tidak kalah pentingnya adalah menumbuh kembangkan


semangat kebangsaan yang pada intinya setiap individu menjadi sadar sebagai
warga bangsa, walaupun mereka diciptakan Tuhan Yang Maha Kuasa
darikeluarga yang tidak sama, dari suku bangsa yang berlainan, daribagian
wilayah Negara yang berbeda, dengan adt istiadat dan budaya yang beragam, dan
dengan tutur kata yang menggunakan bahasa yang tidak sama, kemudian
memeluk agama yang berbeda, namun tetap satu sebagai bagiandari bangsa
Indonesia yang ada dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Penjelasan pasal 18 UUD 1945 mengemukakan bahwa “ oleh karena Negara


Indonesia itu suatu ‘eenheidstaat’ maka Indonesia tidak akan mempunyai daerah
di dalam lingkungan yang bersifat ‘staat’ juga…”. Hal ini menunjukan bahwa

62
benuk Negara Indonesia sebagai suatu Negara Kesatuan tidak menoleransikan
desentralisasi dan otonomi daerah, tidak ada mutu rancang bangun suatu
pemerintahan daerah atau suatu daerah otonom yang memiliki sifatsifat atau
ciriciri sebagai suatu negara tersendiri.

Dengan kalimat lain peran Pemerintah Pusat dalam menjabarkan amanat


UUD 1945 teteap harus dijaga, mengingat Negara Indonesia sebagai suatu
lingkungan geografis-sosiologis yang memiliki batas-batas tertentu dalam konteks
geografis-teritorial perlu terus dipelihara, sebab segala potensi kependukukan
(demografi), sosial ekonomi, sosial budaya, sosial politik, dan pertahanan
keamanan serta kehidupan religiositass harus berada dalam entitas yang tidak
terpisahkan. Mengingat segala potensi tersebut dianggap sebagai suatu wilayah
(geografis-sosiologis) yang berpadu dengan aspek statis yang mencakup potensi
sumber daya alam dan ruang geografis (geografis-teritorial) sebagai
batasbatasnya.

Penerapan Otonomi Daerah melalui UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang


Pemerintahan Daerah telah memberikan beberapa pemikiran ke depan bahwa
daerah memperoleh kewenangan yang sangat luas tetapi harus diletakkan dalam
konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Ketika penyelenggaraan negara dilakukan dengan sentralistis, tawaran


otonomi luas dan desentralisasi seakan menjadi penyejuk hampir semua
daerah.Pemberian otonomi luas dianggap mampu mencegah terjadinya
disintegrasi bangsa, secara ideal Otonomi Daerah dapat menciptakan
pembangunan daerah yang berkeadilan serta berbagai hal yang
indahindah.Namun, perlu diwaspadai bahwa otonomi daerah tidak seindah
harapan yang dibanyangkan.

Selain menjanjikanharapan kemakmuran dan kemandirian daerah, ternyata


tersembunyi ancaman bahaya karena penyakit “keakuan” dapat muncul dalam
wujud konfilk antara kabupaten/kota atau anata provinsi atau antara pusat dan
daerah. Masalah lemahnya pemahaman makna dan esensi mengenai Otonomi

63
Daerah oleh sebagian Kepala Daerah misalnya saat ini telah menimbulkan kesan
bahwa seolah-olah otonomi hanya wewenang kabupaten/kota sehingga
mengabaikan peran provinsi.Padahal seharusnya pern provinsi tetap dibutuhkan
terutama dalam mengoordinasikan pendistribusian bagi hasil dari pusat ke daerah,
terutama pemerataan pendapatan kepada daerah yang miskin.Untuk itu dalam
konteks kehidupan negara kesatuan dalam pelaksanaan otonomi, perlu
dikembangkan hubungan kemitraan nasional yang berangkat dari silaturahmi
antarsesama kelompok masyarakat dalam lintas agama dan budaya guna
menumbuheratkan semangat kesatuan dan persatuan bangsa dan negara
mengingat dalam penerapan otonomi saat ini masih terdapat sejumlah daerah
yang minim sumber daya dan PAD.

Hal-hal yang rawan konflik seperti :

1. Eksploitasi sumber daya alam di daerah perbatasan


antar proovinsi/kabupaten/koa.
2. Diisparitas antara satu daerah dengan daerah lainnya.
3. Egoisme “keakuan” dari masing-masing daerah yang tidak menyadari
eksistensinya di antara daerah lainnya.
4. Disparitas anataretnis, antar wilayah, anatartingkat pendidikan, tingkat sosial,
dan tingkat budaya.
5. Bentuk dan jenis pelayanan masyarakat yang dipengaruhi secara ketat oleh
batas wilayah (tempat kir, rumah sakit, tingkat pendidikan, kependudukan,
dan lain-lain).

Hal tersebut tadi dapat berubah menjadi berencana jika persepsi


penyelnggara pemerintahan di Pusat, Provinsi, Kabupaten, dan Kota
berbedabeda.
Ditinjau dari struktur ketatanegaraan bahwa Indonesia adalah suatu
negara kesatuan.Dalam konteks ini sebagimana pencerminan Pasal 18 UUD
1945, maka dalam dimensi local-nasional politik ketatanegaraan tidak hanya
mengenal satu bentuk politik pemerintahan atau desentralisasi semata, tetapi

64
juga menyangkut aspek-aspek kewilayahan yang merupakan pencerminan dari
tugas umum pemerintahan.
Prinsip negara kesatuan meletakkan kekuasaan/kewenangan
pemerintahan pada Pemerintah Pusat. Namun, dalam rangka efisiensi dan
efektivitas penyelenggaraan pemerintahan diperlukan daerah-daerah otonom
yang memiliki hak dan kewenangan otonom. Menyadari hal itu, maka
bagaimana pun luasnya otonomi yang diberikan ke daerah, tetap memiliki
batas, dengan kalimat lain otonomi daerah bbukan tanpa batas, masih tetap
tersedia bingkai kewenangan Pemerintah Pusat yang lebih dikenl di dalam
pengertian pemerintahan umum. Perbedaannya, jika masa lampau bingkai
tersebut sangat sempit maka dalam era otonomi luas, menjadi cukup luas,
sehingga daerah mempunyai kebebaan untuk berkreasi.
Dalam kepustakaan tentang pemerintahan umum istilah yang sepadan
dalam Bahasa Belanda adalah istilah algemeen bestuur dilaksanakan oleh
Gubernur Jendral dengan bantuan pejabat-pejabat tinggi yang diangkat sebagai
pimpinan dari berbagai cabang dari algemeen bestuur, yang diorganisasikan
dalam lembaga-lembaga yang dinamakan Departementen Van Algemeen
Bestuur (Departemen-departemen Pemerintahan Umum).
Apabila mencari padan dari istilah Belanda algemeen bestuur tersebut
dalam kepustakaan tentang pemerintahan yang tertulis dalam Bahasa Inggris,
maka terdapat istilah Public Government. Kegiatan-kegiatan dari Algemeen
Bestuur tersebut selanjutnya diklasifikasikan menjadi dua jenis kelompok
kegiatan, yaitu :
a. Kegiatan-kegiatan yang masuk lingkup de administratie.
b. Kegiatan-kegiatan yang masuk lingkup bestuur (pemerintahan).
Fungsi tipikal dari Binnenlandsch Besturur itu adalah tanggungjawabnya untuk
memelihara ketentraman umum, karena itu mempunyai hubungan yang erat
dengan dinas kepolisian. Juga memegang fungsi selaku arbiter di antara
kepentingan-kepentingan yang saling berbenturan, yang timbul dari kelompok-
kelompok ras dan sosial yang heterogen.Binnenlandsch Bestuur inilah yang
semenjak awal merupakan pendukung dari kebijakan dekonsentrasi, dan

65
selanjutnya juga merupakan salah satu dari ting-tiang penyangga kebijaksanaan
desentralisasi yang mulai diujicobakan semenjak tahun 1905.
Jika diamati penjelasan Pasal 18 UUD 1945 terlihat jelas bahwa ada dua
macam daerah, yang pertama adalah daerah otonom yang mempunyai hak
untuk mengurus rumah tangganya sendiri, dan yang kedua adalah daerah
administrative. Hal itu, merupakan pencerminan dari daerah desentralisasi dan
kemudian dekonsentrasi.Namiun kedua hal itu hanya pada tingkatan
administrasi, yang nyatanya kedua hal itu merupakan satu kesatuan yang
berwilayah dalam pemerintahan disebut sebagai teritorialle unit.Walaupun
dalam konstruksi UU Nomor 32 Tahun 2004, kedua jabatan itu disatukan dalam
lembaga Kepala Daerah, yang dalam pemerintahan sering disebut sebagai
personal unit. Dengan kalimat lain, konsekuensi dari adanya Pasal 18 UUD
1945 adalah pemerintah diwajibkan menerapkan politik desentralisasi dan
ekonsentrasi di bidang ketatanegaraan.
Hal yang berkaitan dengan hubungan anatar pelakanaan pemerintahan umum
itu dengan otonomi dari Pemerintah Daerah adalah asa keseimbangan yang
menuntut pengetahuan tentang seberapa jauh dekonsentrasi itu dapat
dilaksanakan sampai batas di mana pelaksanaan desentralisasi tidak dirugikan,
melainkan justru diuntungkan. Demikian pula halnya bahwa bagaimana
mencari keseimbangan antara pelaksanaan asas desentralisasi dengan
dekonsentrasi dalam suatu titik imbang yang memungkinkan efisiensi dan
efektivitas dalam pelayanan kepada masyarakat.Karena pada dasarnya
desentralisasi dan otonomi daerah adalah semata-mata instrument untuk
mencapai tujuan dan bukan tujuan itu sendiri. Sehingga ketika kewenangan
daerah menjadi sangat besar, adanya organisasi yang dibangun sesuai
kepentingan dan kebutuhan daerah, adanya sumber keuangan, personel,
peralatan, dan dokumentasi yang sepenuhnya diatur oleh daerah, maka
permasalahannya terletak pada bagaimana manajemen pemerintahan daerah
sehingga tujuan akhir, yaitu kesejahteraan masyarakat akan mengalami
peningkatan.

66
Dari beberapa landasan baik terotis maupun historis tersebut menyadrkan
bahwa di dalam prinsip negara kesatuan, penyerahan urusan atau kewenangan
kepada daerah otonom seberapa besar pun, tetap ada batasnya.Apalagi di dalam
negara kesatuan, kewenangan dari pemerintah Pusat tetap diperlukan demi
menjaga dan mengenal prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.Ungkapan
yang sangat tepat adalah diperlukan Pemerintah Pusat yang kuat dan Daerah
yang kuat.Sehingga dapat menjaga dan memelihara negara kesatuan dan
mencegah disintegrasi.Pada dasarnya kewenangan pemerintah itu selalu
berkembang dinamis sesuai perkembangan yang ada pada masyarakat
khususnya Pemerintah Daerah.Ini bearti kewenangan pemerintahan yang
dimiliki oleh masing-masing tingkat pemerintahan tidaklah statis melainkan
dinamis sesuai dengan kebutuhan.
Para pejabat yang bertugas menyelenggarakan pemerintahan umum haruslah
benar-benar menyadari, bahwa baik secara strukural maupun fungsional, tugas-
tugas mereka tidak boleh menghambat kelancaran otonomi daerah yang nyata
dan bertanggungjawab.
Pemerintah Pusat menerapkan otonomi daerah tanpa menghilangkan peran
kewilayahan termasuk di dalamnya pembinaan wilayah.Dalam arti luas tugas-
tugas Pemerintah dilaksanakan pula oleh daerah otonom.Jelasnya Pemerintah
Pusat mendelegasikan aspek pembinaan wilayah kepada daerah otonom dan
dilaksanakan oleh perangkat otonom dan pertanggungjawabannya melampaui
kewenangan daerah otonom itu sendiri.Walaupun pada prinsipnya tugas
pembinaan wilayah adalah untuk kesejahteraan daerah itu sendiri, tetapi sebagai
suatu negara kesatuan Pemerintah Pusat wajib mengontrol daerah sebagai
subsistem nasional sehingga entitas kebangsaan ytidak mengalami pembiasan
dalam wilayah daerah itu sendiri.
UU Nomor 32 Tahun 2004 tidak secara tegas mengatur tentang pemerintahan
umum.Beberapa pengaturan tentang dekonsentrasi, tugas pembantuan, wilayah
administrasi, instansi vertikal, dan urusan yang tidak menjadi kewenangan
daerah.Meskipun demikian nuansa UU Nomor 32 Tahun 2004 bukan tidak

67
mengakui adanya pemerintahan umum tetapi tidak mengatur secara rinci
tentang tugas pemerintahan umum tersebut.
Materi-materi yang menyangkut pemerintahan umum adalah sebagai berikut :
1. Mengembangkan konsep negara-bangsa yang sinergis dengan konsep
negara kepulauan dalam penyelenggaraan pemerintahan nasional di daerah
sehingga tercermin adanya sistem dan mekanisme pemerintahan dalam
bingkai NKRI.
2. Memfasilitasi dan mengupayakan terciptanya situasi yang kondusif untuk
terselenggaranya kebijakan pemerintahan secara nasional di daerah
sekaligus mengakomodasikan kebiajakan daerah sebagai penyangga
utamanya.
3. Memfasilitasi terwujudnya keselarasan hubungan antarstrata pemerintahan,
yaitu antara pemerintahan pusat dengan provinsi, provinsi dengan
kabupaten/kota serta antar daerah.
4. Memfasilitasi terciptanya iklim yang kondusif dalam mendukung
terwujudnya keterntraman dan ketertiban umum di seluruh daerah dengan
basis penegakan hukum serta norma yang berlaku.
5. Memfasilitasi tertibnya hubungan lintas batas dan kepastian batas wilayah
dengan negara tetangga, antar daerah yang meliputi batas anatarprovinsi,
antarkabupaten/kota dan antardesa.
6. Memfasilitasi terselenggaranya kewenangan daerah di kawasan tertentu
sehingga terciptanya keserasian dan keselarasan pelaksanaan kewenangan
baik dalam rangka desentralisasi maupun dekonsentrasi dan tugas
pembantuan.
7. Menangani tugas-tugas umum pemerintahan lainnya yang tidak menjadi
tugas komponen lain dan Pemerintah Daerah serta lintas instansi mana pun
seperti koordinasi pemerintahan lintas sector dan lintas wilayah,
administrasi dasr kependudukan dan catatan sipil, mengaktualkan nilai-nilai
Pancasila dan UUD 1945 menciptakan dan memelihara kerukunan
nasional/wawasan kebangsaan serta mengembangkan wawasan gender,

68
menampung Dan pengolah serta menyalurkan aspirasi masyarakat terutama
yang berkaitan dengan kewenangan gubernur selaku wakli pemerintah.

4.3 Pembinaan Wilayah dan Pentingnya Pembinaan Wilayah

4.3.1 Pembinaan Wilayah

Pelaksanaan otonomi daerah tidak secara otomatis mengeliminasikan tugas,


peran dan tanggug jawab pemerintah pusat, otonomi daerah bukan berarti
otonomi tanpa batas, oleh karena itu, sebagai perwujudan dari semangat UUD
1945, eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia perlu dipertahankan dalam
arti bahwa semangat dan cita-cita reformasi terus dimantapkan tanpa harus
mengorbankan Persatuan dan Kesatuan Nasional dan perwujudan negara
Indonesia sebagai suatu entitas ideologi, politik, sosial budaya dan pertahanan
kemanan. Dalam konteks ini maka urgensi perlunya pengaturan pembinaan
wilayah perlu di kedepankan mengingat kesadaran suatu bangsa/negara (nation
state) perlu diaplikasikan dalam fungsi-fungsi pemerintahan sebagai perekat
keutuhan bangsa. Oleh karena itu,aspek pembinaan wilayah perlu dilegalisasi
sebagai dasar dalam menerapakan tugas-tugas pemerintahan umum yang mana
bukan merupakan hal baru dalam fungsi pemerintahan.

Pembinaan wilayah sebagai suatu kegiatan adalah merupakan refleksi dari


tugas-tugas pemerintahan umum yang termanifestasi dalam unit administrasi dan
fungsi yang dijalankannya. Dalam sejarah perundnag-undangan di indonesia
bahkan sejak zaman hindia belanda fungsi-fungsi kewilayahan ini sudah ada dan
dijalankan di segenap pelosok nusantara yang kemudian setelah Indonesia
merdeka sangat dikenal dengan tugas-tugas kepamomgprajaan yang dilaksankan
oleh pejabat pamong praja.

69
4.3.2 Pentingnya Pembinaan Wilayah

Dalam kalimat pertama penjelasan pasal 18 UUD 1945 dikemukan bahwa


“oleh karena negara Indonesia itu suatu eenheidstaat maka indonesia tidak akan
mempunyai daerah di dalam lingkungan yang bersifat stat juga. “Hal ini
menunjukkan bahwa bentuk negara indonesia sebagai suatu Negara Kesatuan
tidak menoleransi adanya negara dalam negara sehingga dalam pelaksaan
kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah tidak ada suatu rancang bangunan
suatu pemerintahan daerah atau suatu daerah otonom yang memiliki sifat-sifat
atau ciri-ciri sebagai suatu nengara sendiri. Dengan kalimat lain, peran
pemerintahan pusat dalam menjabarkan amanat UUD 1945 tetap harus
dijaga,mengingat Negara Indonesia sebagai suatu lingkungan geofrafi-sosiologis
yang memiliki batas-batas tertentu dalam konteks geografis-teritorial perlu terus
dipelihara, sebab segala potensi dan sumber daya yang mencakup potensi
kependudukan (demografi),sosial ekonomi,sosial budaya,sosial politik dan
pertahanan kemanan,serta kehidupan religionitas harus berada dalam entilas yang
tidak terpisahkan. Mengingat segala potensi tersebut dianggap sebagai suatu
dinamika dari suatu wilayah (geografis-sosilogis) yang berpadu dengan aspek
statis yang mencakup potensi sumber daya alam dan ruang geografis
(geografisteritorial) sebagai batas-batas.

Jadi dapat dikatakan, bahwa urgensi pembinaan wilayah adalah bagaimana


mengelolah dan mempertahankan segala potensi wilayah yang bersangkutan
untuk didayagunakan secara terpadu guna mewujudkan kesejahteraan rakyat.
Proses pendayagunaan itu biasanya berupa kombinasi dari pengarahan bebrapa
faktor tadi yang saling menunjang terhadap satu sama lain, sehingga darinya
dapat diperoleh hasil tertentu. Dengan demikian,dapat dikatakn bahwa
pentingnya pembinaan wilayah adalah bagaimana mewujudkan segala potensi
yang ada yang terkandung dalam aspek-aspek kewilayahan geografis-sosilogis
dan geografis-teritorial serta demografinya yang kemudian menghasilkan output
yang maksimal guna kepentingan seluruh masyarakat dan Negara Indonesia.

70
4.4 Pola Pembinaan Wilayah dan Tugas dan Fungsi Pembinaan Wilayah

4.4.1 Pola Pembinaan Wilayah

Pola pembinaan wilayah yang dilaksanakan di Negara kita pada prinsipnya


mengacu pada system yang berlaku berdasarkan struktur ketatanegaraan yang
menyebutkan bahwa Indonesia adalah suatu Negara Kesatuan. Dalam konteks ini
sebagaimana pencerminan Pasal 18 UUD 1945, makadalam dimensi
localnasional politik ketatanegaraan tidak hanya mengenal satu bentuk politik
pemerintahan atau desentralisasi semata, tetapi juga menyangkut aspek-aspek
kewilayahan yang merupakan pencerminan dari tugas umum pemerintahan.
Penerapan otonomi tanpa menghilangkan peran kewilayahan termasuk
didalamnya pembinaan wilayah. Dalam arti bahwa tugas-tugas Pemerintah Pusat
dilaksanakan pula oleh daerah otonom. Jelasnya Pemerintah Pusat
mendelegasikan aspek pembinaan wilayah kepadadaerah otonom dan
dilaksanakan oleh perangkat otonom dan pertanggungjawabannya melampaui
kewenangan daerah otonom itu sendiri. Walaupun pada prinsipnya tugas
pembinaan wilayah adalah untuk kesejahteraan daerah itu sendiri, tetapi sebagai
suatu negara kesatuan, Pemerintah Pusat wajib mengontrol daerah sebagai
subsistem nasional sehingga entitas kebangsaan tidak
mengalamipembiasandalam wilayah daerah itu sendiri.

Ringkasnya bahwa dalam kerangka Negara Kesatuan, Pemerintah Pusat


melaksanakan fungsi pembinaan wilayah yang dilakukan sampai ke
daerahdaerah, oleh perangkat pusat dan daerah, sebagai fungsi pemerintahan
umum untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat untuk daerah itu sendiri,
dan selanjutnya bagi pemantapan ketahanan nasional.

71
4.4.2 Tugas dan Fungsi Pembinaan Wilayah

Pada prinsipnya tugas dan fungsi pembinaan wilayah merupakan


manifestasi dari tugas-tugas pemerintahan umum, yang pada mulanya jika kita
meninjauke zaman pemerintah Hindia Belanda adalah tugas yang dilaksanakan
oleh Pangreh Praja dari bupati sampai camat yang sifatnya khas dan disebut
politieke politioneel beleid, yaitu suatu tugas di bidang kepolisian yang
bersangkutan dengan pemeliharaan keamanan dan ketertiban. Tetapi karena tidak
terdapatnya definisi yang jelas dari pihak pemerintah colonial maka pelaksanaan
tugas tersebut sebagian besar harus dijabarkan sendiri oleh pejabat yang
bersangkutan. Tetapi jelasnya hal tersebut bersangkutan dengan bidang
kepolisian, keamanan dan ketertiban. Disamping itu suatu hal yang tidak kalah
pentingnya adalah menumbuhkembangkan semangat kebangsaan, yang pada
intinya setiap idividu menjadi sadar sebagai warga bangsa, walau senyatanya
mereka diciptakan Tuhan Yang Mahakuasa, muncul dari keluarga yang
berbeda,dari suku bangsa yang tidak sama, dengan adat istiadat dan budaya yang
beragam,dan dengan tutur kata yang menggunakan bahasa yang berbeda, namun
tetap satu sebagai bagian dari bangsa yang ada dalam wilayah Negara kesatuan,
yang disebut Indonesia.

Perkembangan selanjutnya menempatkan pembinaan wilayah dalam


konotasi politik-ideologis yang mana juga dijumpai dalam struktur kekuatan
pertahanan-pertahanan yang dikenal dengan pembinaan territorial, dan lebih
bersifat intelijen yang sangat kental dalam masa kekuasaan Orde Baru.Tetapi
yang jelas dapat dikatakan aspek dinamis lingkungan geografis-sosiologis yang
mengandung potensi-potensi kependudukan, social ekonomi,social budaya, social
politik, dan pertahanan keamanan di satu pihak dan fungsi aspek statis lingkungan
geografis sebagai ruang pembatas di pihak lain.

Secara jelas dapat dikatakan bahwa dimensi pembinaan wilayah dapat dirinci
sebagai berikut:

72
a. Pembinaan wilayah dalam arti proses pengintegrasian berbagai nilai
socialkultural yang terdapat pada berbagai sub-wilayah di suatu wilayah
tertentu.
b. Pembinaan wilayah dalam arti proses untuk menciptakan stabilitas dalam
dinamika politik, ekonomi, dan budaya di wilayah yang bersangkutan
c. Pembinaan wilayah dalam arti mengupayakan terwujudnya ketentraman dan
ketertiban sebab wilayah pemerintahan sebagai perwujudan kesejahteraan
rakyat.
d. Pembinaan wilayah dalam arti membangun manusia Indonesia dan
masyarakat Indonesia dalam kerangka satu bangsa, bangsa Indonesia.

4.5 Pejabat Pembina Wilayah

Sejarahnya tugas dan fungsi pembinaan wilayah melekat pada pejabat pusat
atau pejabat pusat yang ada di daerah yang dikenal dengan sebutan Pamong
Praja. Dalam masa pemerintahan Orde Baru, pejabat didaerah yang memiliki
kewenangan tertinggi dalam tugas pembinaan wilayah disebut Kepala Wilayah.

Adanya daerah otonom dan daerah administratif sebagaimana dimaksud


dalam penjelasan Pasal 18 UUD 1945, merupakan pencerminan dari daerah
desentralisasi dan kemudian dekonsentrasi, walaupun kedua hal tersebut hanya
saja pada tingkatan administrasi, karena kedua hal itu merupakan satu kesatuan
yang tidak terpisahkan, yang dalam pemerintahan disebut sebagai teritorialle
unit. Dengan kalimat lain bahwa konsekuensi dari pasal 18 UUD 1945 adalah
Pemerintahan diwajibkan menerapkan politik desentralisasi dan dekonsentrasi di
bidang ketatanegaraan.

Perlu diperhatikan pelaksanaan desentralisasi dan dekonsentrasi adalah


bersamaan dan yang satu bukan pelengkap bagi yang lain. Berdasarkan pasal 18
UUD 1945 beserta penjelasannya, terlihat jelas bahwa ada dua macam urusan
pemerintahan, yaitu urusan daerah dan satunya lagi urusan pemerintahan umum,

73
yang tentunya berarti ada dua perangkat pelaksana dan berarti pula ada dua jenis
pejabat dan atau jabatan. Walaupun dalam konstruksi UU Nomor 32 Taahun
2004, kedua jabatan itu disatukan dalam lembaga Kepala Daerah, yang dalam
pemerintahan sering disebut sebagai personale unit.

Dalam konteks sekarang ini, di era reformasi dengan adanya otonomi daerah
bukan berarti bahwa dengan sendirinya urusan pemerintahan umum telah
kehilangan maknanya, atau denga kalimat lain bahwa dengan diberlakukannya
otonomi daerah maka tugas pemerintahan umum telah lenyap, hal ini tidak
mempengaruhi keberadaan tugas-tugas pemerintahan umum yang mana salah
satu perwujudannya adalah dalam aspek pembinaan wilayah, tetapi lebih dari itu
bahwa pelaksanaan otonomi daerah tetap berjalan dan segala kewenangan yang
menyangkut tugas pemerintahan umum termasuk di dalamnya menyangkut
pembinaan wilayah, tetap dilaksanakan walaupun dalam konteks otonomi daerah
dan karena melihat fungsi pertanggungjawaban tetap berada kepada pejabat
Pemerintah Pusat, sementara di daerah diemban oleh Kepala Daerah

4.6 Simpulan

Prinsip negara kesatuan meletakkan kekuasaan/kewenangan pemerintahan


pada Pemerintah Pusat. Namun, dalam rangka efisiensi dan efektivitas
penyelenggaraan pemerintahan diperlukan daerah-daerah otonom yang memiliki
hak dan kewenangan otonom. Pola pembinaan wilayah yang dilaksanakan di
Negara kita pada prinsipnya mengacu pada system yang berlaku berdasarkan
struktur ketatanegaraan yang menyebutkan bahwa Indonesia adalah suatu Negara
Kesatuan. Dalam konteks ini sebagaimana pencerminan Pasal 18 UUD 1945,
dalam kerangka Negara Kesatuan, Pemerintah Pusat melaksanakan fungsi
pembinaan wilayah yang dilakukan sampai ke daerah-daerah, oleh perangkat
pusat dan daerah, sebagai fungsi pemerintahan umum untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat untuk daerah itu sendiri, dan selanjutnya bagi
pemantapan ketahanan nasional.
Tugas Pebinaaan wilayah yang dilaksanakan oleh Pangreh Praja dari
bupati sampai camat yang sifatnya khas dan disebut politieke politioneel beleid,
74
yaitu suatu tugas di bidang kepolisian yang bersangkutan dengan pemeliharaan
keamanan dan ketertiban. Tetapi jelasnya hal tersebut bersangkutan dengan
bidang kepolisian, keamanan dan ketertiban menumbuhkembangkan semangat
kebangsaan. dasar dalam menerapakan tugas-tugas pemerintahan umum yang
mana bukan merupakan hal baru dalam fungsi pemerintahan.

Aspek pembinaan wilayah perlu dilegalisasi sebagai urgensi pembinaan


wilayah adalah bagaimana mengelolah dan mempertahankan segala potensi
wilayah yang bersangkutan untuk didayagunakan secara terpadu guna
mewujudkan kesejahteraan rakyat. pejabat didaerah yang memiliki kewenangan
tertinggi dalam tugas pembinaan wilayah disebut Kepala Wilayah.

BAB V PENGAWASAN TERHADAP PEMERINTAHAN DAERAH

75
5.1. Latar Belakang

Negara Indonesia sebagai negara kesatuan yang berbentuk republik melandasi


pelaksanaan pemerintahan di daerah pada asas desentralisasi. Kaidah asas inilah yang
kemudian melahirkan makna otonom, dengan substansi penyerahan kewenangan
dalam pelaksanaan pemerintahan di daerah. Di samping asas desentralisasi dikenal
juga asas dekonsentrasi dengan substansi yang agak berbeda yaitu penugasan dari
pemerintah pusat. Makna kewenangan yang diserahkan, dilimpahkan dan ditugaskan
sifatnya untuk mengatur dan mengurus pelaksanaan pemerintahan di daerah.

Penyerahan, pelimpahan dan penugasan kewenangan kepada pemerintah daerah


dari waktu ke waktu selalu mengalami dinamika yang secara langsung mempengaruhi
konsep hubungan pusat dan daerah dalam pelaksanaan pemerintahan. Terkadang,
daerah diposisikan hanya sebagai “wakil” pemerintah pusat di daerah dan bukan
sebagai “institusi otonom” yang berfungsi sebagai penyalur aspirasi rakyat di daerah.

Formulasi hubungan yang demikian memberikan ruang penonjolan asas


dekonsentrasi daripada desentralisasi dalam pelaksanaan pemerintahan di daerah.
Kenyataan ini kemudian membawa pemahaman ekstrim bahwasannya otonomi
daerah hanya merupakan bentuk manipulasi dari demokrasi atau justru merupakan
penguatan sentralisasi yang terbingkai dalam demokrasi.

Hal tersebut menjadi sangat vital karena sesungguhnya roh desentralisasi


merupakan sendi pemerintahan demokratis, yang secara langsung akan memberikan
kesempatan atau keleluasaan pada daerah yang dimaknai dengan kebebasan
berotonomi. Kewenangan daerah tidak terlepas dari ikatan kesatuan pemerintah di
pusat yang harus diatur secara tegas dalam bingkai aturan hukum mengenai
pendelegasian kewenangan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah dalam
pelaksanaan pemerintahan. Implikasi penyerahan atau pelimpahan kewenangan
tersebut tidak melepaskan campur tangan secara intensif dari pemerintah pusat dalam
mengawasi perkembangan pelaksanaan pemerintahan di daerah karena hal tersebut
merupakan prinsip yang tersimpul pada negara kesatuan.

76
Dalam konsep otonomi daerah pelaksanaan pengawasan tidak boleh
mengakibatkan pengurangan atau penggerogotan terhadap nilai-nilai yang berlaku
dan terkandung dalam dasar-dasar desentralisasi yaitu kebebasan dan inisiatif daerah
dalam berprakarsa. Tanpa pengawasan yang tepat maka disinyalir akan dapat
mengakibatkan terancamnya brandol kesatuan NKRI, dan kalau pengawasan terlalu
kuat justru akan membuat nafas desentralisasi menjadi tersengal-sengal.

5.2. PENGERTIAN DAN RUANG LINGKUP PENGAWASAN

5.2.1 Pengertian Pengawasan Terhadap Penyelenggaraan Pemerintah Daerah

Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 23 Tahun 2007 tentang


Pedoman Tata Cara Pengawasan atas Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor
8 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 23
Tahun 2007 tentang Pedoman Tata Cara Pengawasan atas Penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah, pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan
daerah dilakukan terhadap administrasi umum pemerintahan dan urusan
pemerintahan.

Dalam Permendagri tersebut, pengawasan dilaksanakan oleh Pejabat


Pengawas Pemerintah, yang berkoordinasi dengan Inspektur Provinsi dan
Inspektur Kabupaten/Kota. Selanjutnya dalam Peraturan Menteri Pendayagunaan
Aparatur Negara Nomor : 15 Tahun 2009 tentang Jabatan Fungsional Pengawas
Penyelenggaraan Urusan Pemerintahan di Daerah dan Angka Kreditnya
disebutkan dalam Pasal 4 ayat (1), bahwa tugas pokok Pengawas
Penyelenggaraan Urusan Pemerintahan Daerah yang selanjutnya disebut
Pengawas Pemerintah adalah melaksanakan pengawasan atas penyelenggaraan
teknis urusan pemerintahan di daerah di luar pengawasan keuangan, yang meliputi
pengawasan atas pembinaan pelaksanaan urusan pemerintahan, pengawasan atas
pelaksanaan urusan pemerintahan, pengawasan atas peraturan daerah dan
peraturan kepala daerah, pengawasan atas dekonsentrasi dan tugas pembantuan,
77
pengawasan untuk tujuan tertentu dan melaksanakan evaluasi penyelenggaraan
teknis pemerintahan di daerah. Pengawasan dilakukan melalui kegiatan
pemeriksaan, monitoring dan evaluasi. Kegiatan pemeriksaan meliputi :

1.Pemeriksaan secara berkala dan komprehensif terhadap kelembagaan, pegawai


daerah, keuangan daerah, barang daerah, urusan pemerintahan
2.Pemeriksaan dana dekonsentrasi
3.Pemeriksaan tugas pembantuan
4.Pemeriksaan terhadap kebijakan pinjaman dan hibah luar negeri
Pasal 218 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah
menyebutkan bahwa pengawasan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah
dilaksanakan oleh Pemerintah yang meliputi:

(a) pengawasan atas pelaksanaan urusan pemerintahan di daerah; dan

(b) pengawasan terhadap peraturan daerah dan peraturan kepala daerah.


Selanjutnya, UU tersebut juga mengatur bahwa pengawasan atas pelaksanaan
urusan pemerintahan di daerah dilaksanakan oleh Aparat Pengawas Intern
Pemerintahsesuai peraturan perundang-undangan.

Pengawasan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah adalah proses kegiatan yang


ditujukan untuk menjamin agar pemerintahan daerah berjalan secara efektif dan
efisien sesuai dengan rencana dan ketentuan peraturan perundangundangan.

Dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, Pemerintah Pusat telah


memberikan kepada Pemerintah Daerah untuk melaksanakan azas-azas
pemerintahan dengan prinsip demokrasi, keadilan, pemerataan, keistimewaan,
kekhususan, memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah, serta partisipasi
masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Prinsip-prinsip
tersebut telah membuka peluang dan kesempatan yang sangat luas kepada
daerah otonom untuk melaksanakan kewenangannya secara mandiri, luas, nyata,
dan bertanggungjawab dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat melalui
peningkatan mutu pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat serta

78
daya saing daerah. Pelaksanaan Otonomi tersebut memerlukan pengawasan agar
selalu berada dalam koridor pencapaian tujuan otonomi daerah.

Pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah dilaksanakan dengan tetap


memperhatikan asas sentralisasi dan desentralisasi secara bersama-sama, dengan
penekanan yang bergeser secara dinamis dari waktu ke waktu dengan
penjaminan eksistensi sistem pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah oleh
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

Dalam rangka mengoptimalkan fungsi pengawasan, Pemerintah dapat


menerapkan sanksi kepada penyelenggaraan pemerintahan daerah apabila
diketemukan adanya penyimpangan dan pelanggaran.

Pengawasan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah dilaksanakan oleh


Aparat Pengawas Intern Pemerintah yang meliputi Inspektorat Jenderal
Kementerian, Unit Pengawasan Lembaga Pemerintah Non Kementerian,
Inspektorat Provinsi, dan Inspektorat Kabupaten/Kota sesuai fungsi dan
kewenangannya.

Untuk mewujudkan integrasi kebijakan pengawasan penyelenggaraan


pemerintahan daerah, maka:

a.Pembinaan Aparat Pengawas Intern Pemerintah dilakukan secara terus


menerus (series of actions and on going basis).
b.Diperlukan perubahan pola pikir (mind set) Aparat Pengawas Intern
Pemerintah sebagai pemberi peringatan dini (early warning) terhadap temuan
pelanggaran atau penyimpangan yang berindikasi korupsi, kolusi dan nepotisme.
Dalam rangka mewujudkan pemerintahan yang bersih dan bebas dari korupsi,
kolusi dan nepotisme, maka pengawasan dilakukan secara efektif, efisien,
preventif danberkelanjutan antar Aparat Pengawas Intern Pemerintah dan tidak
terbatas pada satu tahun anggaran.

79
5.2.2 Ruang Lingkup Pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintah
daerah
Pasal 2 Permendagri 23/2007 tentang Pedoman Tata Cara Pengawasan atas
Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah menyatakan ruang lingkup pengawasan
yang dilakukan oleh Pengawas Pemerintahan meliputi:

1. Pengawasan administrasi umum pemerintahan meliputi :


a. Kebijakan daerah
b. Kelembagaan
c. Pegawai daerah
d. Keuangan daerah (kebijakan anggaran)
e. Barang daerah
2. Pengawasan urusan pemerintahan meliputi :
a. Urusan Wajib
b. Urusan Pilihan

c. Pengawasan lainnya, meliputi :


d. Dana Dekonsentrasi;
e. Tugas Pembantuan;
f. Review atas Laporan Keuangan; dan
g. Kebijakan Pinjaman Hibah Luar Negeri.

5.3. JENIS-JENIS PENGAWASAN

5.3.1 Pengawasan Ekstern dan Intern


a) Pengawasan Ekstern (external control)
Pengasan ektern atau pengawasan dari luar, yakni pengawasan yang menjadi subyek
pengawas adalah pihak luar dari organisasi obyek yang diawasi, misalnya, BPK
(Badan Pemeriksa Keuangan) adalah perangkat pengawasan ekstern terhadap
Pemerintah, karena ia berada di luar susunan organisasi Pemerintah (dalam arti yang
sempit). Ia tidak mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugasnya kepada Kepala
Pemerintah (Presiden) tetapi kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI (Sujamto,
1986 : 81-82)
80
b) Pengawasan Intern
Pengawasan intern merupakan pengawasan yang dilakukan dari dalam organisasi
yang bersangkutan, misalnya; Inspektur Wilayah Kabupaten/Kota yang mengawasi
pelaksanaan Pemerintahan di Kabupaten/Kota tersebut. (Sujamto, 1986 : 81-82)
Di dalam pasal 218 UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah diatur :
(1) Pengawasan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah dilaksanakakan oleh
Pemerintah yang meliputi :
a. Pengawasan atas pelaksanaan urusan pemerintah di daerah;
b. Pengawasan terhadap peraturan daerah dan peraturan kepala daerah.
(2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) buruf a dilaksanakan oleh
aparat pengawas intern Pemerintah sesuai peraturan perundang-undangan

5.3.2 Pengawasan Preventif, Represif dan Umum


a) Pengawasan Preventif
Pengawasan Preventif adalah pengawasan yang dilakukan sebelum pelaksanaan,
yakni pengawasan yang dilakukan terhadap sesuatu yang bersifat rencana. (Sujamto,
1986 : 85). b) Represif
Pengawasan Represif merupakan pengawasan yang dilakukan setelah pekerjaan atau
kegiatan dilaksanakan. Dapat pula dikatakan bahwa pengawasan represif sebagai
salah satu bentuk pengawasan atas jalannya pemerintahan (Sujamto, 1986 : 87).
misalnya : penangguhan dan atau pembatalan PERDA, PERBW, KEPBW yang
bertentangan dengan kepentingan umum.
5.3.3 Pengawasan Umum
Pengawasan umum adalah jenis pengawasan yang dilakukan oleh Pemerintah
terhadap segala kegiatan pmemerintah daerah untuk menjamin penyelenggaraan
pemerintahan daerah dengan baik. Pengawasan umum dilakukan oleh MENDAGRI
terhadap pemerintahan daerah. Pengawasan umum adalah pengawasan terhadap
seluruh aspek pelaksanaan tugas pokok organisasi.

Fungsi pengawasan umum dapat pula dilakukan melalui WASKAT yang hakekatnya
sama dengan WASNAL.

81
Inspektorat Jenderal mempunyai tugas melakukan pengawasan umum terhadap
pelaksanaan tugas pokok KEMDAGRI. Tetapi juga IRJEN merupakan aparat
pengawasan fungsional (APF) (Sujamto, 1986 : 73-74).

5.3.4 Pengawasan Langsung dan Pengawasan Tidak Langsung

a. Pengawasan Langsung

Pengawasan Langsung adalah pengawasan yang dilakukan dengan cara mendatangi


dan melakukan pemeriksaan di tempat (on the spot) terhadap obyek yang diawasi.
Jika pengawasan langsung ini dilakukan terhadap proyek pembangunan fisik maka
yang dimaksud dengan pemeeriksaan ditempat atau pemeriksaan setermpat itu dapat
berupa pemeriksaan administratif atau pemeriksaan fisik di lapangan.

b. Pengawasan tidak langsung

Pengawasan Tidak Langsung merupakan pengawasan yang dilakukan tanpa


mendatangi tempat pelaksanaan pekerjaan atau obyek yang diawasi atau pengawasan
yang dilakukan dari jarak jauh yaitu dari belakang meja. Dokumen yang diperlukan
dalam pengawasan tidak langsung antara lain :

a.Laporan pelaksanaan pekerjaan baik laporan berkala maupun laporan


insidentil;

b.Laporan hasil pemeriksaan (LHP) dari pengawan lain;

c.Surat-surat pengaduan;

d.Berita atau artikel di mass media;

e. Dokumen lain yang terkait. 5.3.5

Pengawasan Formal dan Informal

a. Pengawasan Formal

82
Pengawasan Formal adalah pengawasan yang dilakukan oleh instansi/pejabat yang
berwenang (resmi) baik yang berifat intern dan ekstern; Misal : pengawasan yang
dilakukan oleh BPK, BPKP dan ITJEN

b. Pengawasan Informal

Pengawasan Informal yakni pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat atau social
control, misalnya surat pengaduan masyarakat melalui media massa atau melalui
badan perwakilan rakyat.

5.4. PENGERTIAN PEMERINTAHAN DAERAH

Pemerintahan Daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 sebagaimana


telah diamandemen dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008
Tentang Pemerintahan Daerah Pasal 1 ayat (2) adalah sebagai berikut :
“Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh
pemerintahan daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan
prinsip otonomi yang seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945”.

Melihat definisi pemerintahan daerah seperti yang telah dikemukakan di atas, maka
yang dimaksud pemerintahan daerah adalah penyelenggaraan urusan-urusan yang
menjadi urusan daerah (provinsi atau kabupaten) oleh pemerintah daerah dan DPRD.
Penyelenggara Pemerintahan Daerah Penyelenggara pemerintahan daerah adalah
pemerintah daerah dan DPRD (Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004 sebagaimana telah diamandemen dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2008 Tentang Pemerintahan Daerah).

Dalam menyelenggarakan pemerintahan, Pemerintah menggunakan asas


desentralisasi, tugas pembantuan, dan dekosentrasi sesuai dengan peraturan
perundang-undangan (Pasal 20 ayat (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004

83
sebagaimana telah diamandemen dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008
Tentang Pemerintahan Daerah).

Sementara itu, dalam menyelenggarakan pemerintahan daerah, pemerintahan daerah


menggunakan asas otonomi dan tugas pembantuan (Pasal 19 ayat (3) UndangUndang
No 32 Tahun 2004 sebagaimana telah diamandemen dengan Undang-Undang Nomor
12 Tahun 2008 Tentang Pemerintahan Daerah). Dengan demikian penyelenggara
pemerintah daerah terdiri dari pemerintahan daerah dan DPRD.

Pemerintah daerah adalah Gubernur, Bupati, atau Walikota, dan perangkat daerah
sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah. Sedangkan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah (DPRD) adalah lembaga perwakilan rakyat daerah sebagai unsur
penyelenggara pemerintahan daerah. Pemerintah daerah harus mampu mengelola
daerahnya sendiri dengan baik dengan penuh tanggung jawab dan jauh dari praktik-
praktik korupsi. Hak-hak dan Kewajiban Pemerintahan Daerah Dalam
menyelenggarakan fungsi-fungsi pemerintahan, terutama dalam penyelenggaraan
otonomi daerah dibekali dengan hak dan kewajiban tertentu.

Hak-hak daerah tersebut menurut Pasal 21 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004


sebagaimana telah diamandemen dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008
Tentang Pemerintahan Daerah :

1.Mengatur dan mengurusi sendiri urusan pemerintahannya

2.Memilih pemimpin daerah

3.Mengelola aparatur daerah

4.Mengelola kekayan daerah

5.Memungut pajak daerah dan retribusi daerah

6.Mendapatkan bagi hasil dari pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya
lainnya yang berada di daerah

7.Mendapatkan sumber-sumber pendapatan lain yang sah dan

84
8.Mendapatkan hak lainnya yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.

5.5 PENGAWASAN YANG DILAKUKAN PEMERINTAH PUSAT


TERHADAP PEMERINTAH DAERAH MENURUT UU No. 32 Tahun
2004
Aspek pengawasan seyogyanya memperhatikan du hal yang mendasar yaitu
aspek yang mengancam keutuhan kesatuan dan aspek pembelengguan desentralisasi
dihilangkan. Karena pengawasan kekuasaan pemerintahan merupakan tujuan
dasardari konstitusi yang merupakan usaha pembatasan kekuasaan yang cendrung
mengarah pada kesewenang-wenangan. Pembatasan kekuasaan dengan sistem
constitutionalism memiliki tiga makna yang berbeda; pertama, suatu negara hukum,
kekuasaan yang digunakan di dalam negara menyesuaikan diri pada aturan dan
prosedur hukum yang pasti; kedua, struktur pemerintahan harus memastikan bahwa
kekuasaan terletak dengan atau di antara cabang kekuasaan yang berbeda yang saling
mengawasi penggunaan kekuasaannya dan yang berkewajiban untuk bekerja sama.
Ketiga, hubungan antara pemerintah dengan rakyatnya harus diatur dengan
menyerahkan hak-hak dasar dengan tidak mengurangi kebebasan individu.

Sesuai konsep tersebut, dalam usaha menjembatani keutuhan NKRI dan


penguatan pemerintahan daerah, maka akan menjadi unsur yang memegang peranan
penting adalah aspek pengawasan dalam pelaksanaan pemerintahan, baik di tingkat
pemerintahan pusat maupun di tingkat pemerintahan daerah. Pengawasan ini akan
menjadi wadah dalam menciptakan check and balances system pelaksanaan
pemerintahan sampai pada tingkat terendah.

Seperti dipahami bersama, bahwa pemerintahan daerah adalah sub sistem dari
sistem pemerintahan nasional dalam struktur NKRI. Konsekwensi logisnya adalah
penyelenggaraan pemerintahan daerah tidak boleh menyimpang dari sistem nasional
(pusat). Pada tataran ideal pelaksanaan otonomi, berarti semua kegiatan kenegaraan di
daerah dilaksanakan oleh pemerintahan daerah yang bersangkutan, akan tetapi

85
kenyataannya di tataran implementasi masih banyak terjadi penyimpangan atau salah
tafsir atau perbedaan persepsi antara “das sollen” dan ”das sein”.

Berdasarkan fakta tersebut yaitu bahwa selama pelaksanaan UU No 22 tahun


1999 dan UU No 25 Tahun 1999, hingga 2004, terdapat begitu banyak Peraturan
Daerah, praktek birokrasi di daerah yang salah kaprah, maka dalam UU No 32 tahun
2004 dan UU No 33 Tahun 2004, hal itu dicoba diatasi dengan rumusan pengawasan
dari pusat yang lebih jelas dengan diikuti oleh program pembinaan.

Dalam UU No. 32 Tahun 2004, pengawasan dapat dilihat dalam beberapa hal
yaitu evaluasi rancangan peraturan daerah dan peraturan kepala daerah tentang
APBD, perubahan APBD dan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD dan
rancangan Perda Provinsi tentang APBD yang telah disetujui bersama dan rancangan
peraturan gubernur tentang penjabaran APBD sebelum ditetapkan oleh gubernur
disampaikan kepada Mendagri untuk dievaluasi. Hasil evaluasi kemudian
disampaikan oleh Mendagri kepada gubernur.

Pembinaan atas penyelenggaraan pemerintah daerah dilaksanakan oleh


pemerintah pusat. Koordinasi dilakukan secara berkala pada tingkat nasional, regional
dan provinsi. Pemberian pedoman dan standar mencakup aspek perencanaan,
pelaksanaan, tata laksana, pendanaan, kualitas, pengendalian dan pengawasan,
pemberian bimbingan, sipervisi dan konsultasi dilaksanakan secara berkala dan
sewaktu-waktu, baik secara menyeluruh kepada seluruh daerah maupun kepada
daerah tertentu sesuai dengan kebutuhan.

Pengawasan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah dilaksanakan oleh


pemerintah (pusat) yaitu oleh aparat pengawas intern pemerintah sesuai dengan
peraturan perundang-undangan. Dalam hal ini pemerintah berkewajiban memberikan
penghargaan dalam menyelenggarakan pemerintahan daerah (Pasal 185 UU No 33
Tahun 2004). Sedangkan sanksi diberikan pemerintah dalam rangka pengawasan
penyelenggaraan pemerintahan daerah. Sanksi dapat diberikan kepada pemerintahan
daerah, kepala daerah atau wakil kepala daerah, anggota DPRD, perangkat daerah,
PNS daerah, dan kepala desa. Hasi lpembinaan dan pengawasan digunakan sebagai

86
bahan pembinaan selanjutnya oleh pemerintah dan dapat digunakan sebagai bahan
pemeriksaan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

Pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah secara


nasional dikoordinasikan oleh Mendagri. Pembinaan dan pengawasan
penyelenggaraan pemerintahan daerah untuk kabupaten/kota dikoordinasikan oleh
gubernur. Pembinaan dan pengawasan untuk penyelenggaraan pemerintahan desa
dikoordinasikan oleh Bupati/Walikota. Bupati dan walikota dalam pembinaan dan
pengawasan dapat melimpahkannya pada camat. Pedoman pembinaan dan
pengawasan yang meliputi standar, norma, prosedur, penghargaan dan sanksi diatur
dalam peraturan pemerintah.

Pembinaan dan pengawasan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah adalah


upaya yang dilakukan oleh pemerintah dan atau gubernur selaku wakil pemerintah di
daerah untuk mewujudkan tercapainya tujuan penyelenggaraan otonomi daerah.
Dalam rangka pembinaan oleh pemerintah, menteri dan pimpinan lembaga
pemerintah nondepartemen melakukan pembinaan sesuai dengan fungsi dan
kewenangan masing-masing yang dikoordinasikan oleh Mendagri untuk pembinaan
dan pengawasan provinsi serta oleh gubernur untuk pembinaan dan pengawasan
kabupaten/kota.

Pengawasan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah adalah proses kegiatan


yang ditujukan untuk menjamin agar pemerintah daeah berjalan sesuai dengan
rencana dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pengawasan
yang dilaksanakan oleh pemerintah terkait dengan penyelengaraan urusan
pemerintahan dan utamanya terhadap peraturan daerah dan peraturan kepala daerah.
Dalam hal pengawasan terhadap rancangan peraturan daerah dan peraturan daerah,
pemerintah melakukan dengan dua cara yaitu:

1.Pengawasan terhadap rancangan peraturan daerah (Raperda) yaitu terhadap


rancangan peraturan daerah yang mengatur pajak daerah, retribusi daerah, APBD, dan
RUTR sebelum disahkan oleh kepala daerah, terlebih dahulu dievaluasi oleh
Mendagri untuk Raperda Provinsi dan oleh gubernur terhadap Raperda

87
kabupaten/kota. Mekanisme ini dilakukan agar pengaturan tentang hal-hal tersebut
dapat mencapai daya guna dan hasil guna yang optimal.

2.Pengawasan terhadap semua peraturan daerah di laur yang termasuk dalam angka 1,
yaitu setiap peraturan daerah wajib disampaikan pada Mendagri untuk provinsi dan
gubernur untuk kabupaten/kota untuk memperoleh klarifikasi. Terhadap peraturan
daerah yang bertentangan dengan kepentingan umum dan peraturan yang lebih tinggi
dapat dibatalkan sesuai dengan mekanisme yang berlaku.

Sedangkan untuk optimalisasi fungsi pembinaan dan pengawasan, pemerintah dapat


menerapkan sanksi kepada penyelenggara pemerintahan daerah apabila ditemukan
adanya penyimpangan dan pelanggaran oleh penyelenggara pemerintahan daerah
tersebut.

5.6 SIMPULAN

Dari pembahasan di atas dapat di tarik kesimpulan bahwa pengawasan atas


penyelenggaraan pemerintahan daerah adalah proses kegiatan yang ditujukan untuk
menjamin agar pemerintahan daerah berjalan secara efektif dan efisien sesuai
dengan rencana dan ketentuan peraturan perundang-undangan. Kemudian Pasal 2
Permendagri 23/2007 tentang Pedoman Tata Cara Pengawasan atas
Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah menyatakan ruang lingkup pengawasan
yang dilakukan oleh Pengawas Pemerintahan meliputi Pengawasan administrasi
umum pemerintahan dan Pengawasan urusan pemerintahan.
Jenis-jenis pengawasan ada lima yaitu pengawasan ekstern dan intern, pengawasan
preventif, represif dan umum, pengawasan umum, pengawasan langsung dan
pengawasan tidak langsung, pengawasan formal dan informal.
Pemerintahan Daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
sebagaimana telah diamandemen dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008
Tentang Pemerintahan Daerah Pasal 1 ayat (2) adalah sebagai berikut :

88
“Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh
pemerintahan daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan
prinsip otonomi yang seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945”.
Dalam UU No. 32 Tahun 2004, pengawasan dapat dilihat dalam beberapa hal yaitu
evaluasi rancangan peraturan daerah dan peraturan kepala daerah tentang APBD,
perubahan APBD dan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD dan rancangan Perda
Provinsi tentang APBD yang telah disetujui bersama dan rancangan peraturan
gubernur tentang penjabaran APBD sebelum ditetapkan oleh gubernur disampaikan
kepada Mendagri untuk dievaluasi. Hasil evaluasi kemudian disampaikan oleh
Mendagri kepada gubernur.

BAB VI
PEMERINTAHAN LOKAL DAN OTOMONI DAERAH DALAM

89
PERSPEKTIF GENDER DAN KEARIFAN LOKAL

6.1 . Latar Belakang


Negara Republik Indonesia adalah Negara yang sangat luas dan pluralis,
sehingga tidak mungkin pemerintah pusat dapat mengatur semua urusan baik pusat
maupun daerah. Karena luasnya Indonesia maka urusan yang bersangkutan dengan
daerah diserahkan kepada pemerintah lokal. Dalam penyelenggaraan pemerintahan,
Indonesia memberikan kesempatan dan keleluasaan kepada daerah untuk
menyelengarakan otonomi daerah. Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan
kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan
dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 18 UUD 1945 dan perubahannya menyatakan pembagian daerah Indonesia atas
daerah besar dan daerah kecil, dengan bentuk dan susunan pemerintahannya
ditetapkan dengan undang-undang.
Secara anatomis, urusan pemerintah dibagi dua yakni absolut yang merupakan
urusan mutlak pemerintah pusat (hankam, moneter, yustisi, politik luar negeri, dan
agama), serta Concurrent (urusan bersama pusat, provinsi dan kabupaten/kota).
Urusan pemerintah yang bersifat concurrent artinya urusan pemerintahan yang
penanganannya dapat dilaksanakan bersama antara pemerintah pusat dan pemerintah
daerah. Dengan demikian setiap urusan yang bersifat concurrent senantiasa ada
bagian urusan yang menjadi kewenangan pemerintah pusat, ada bagian urusan yang
diserahkan kepada provinsi, dan ada bagian urusan yang diserahkan kepada
kabupaten/kota. Pemerintah pusat berwenang membuat norma-norma, standar,
prosedur, monitoring dan evaluasi, supervisi, fasilitasi dan urusan-urusan
pemerintahan dengan eksternalitas nasional. Pemerintah provinsi berwenang
mengatur dan mengurus urusan-urusan pemerintahan dengan eksternal regional, dan
kabupaten/kota berwenang mengatur dan mengurus urusan-urusan pemerintahan
dengan eksternalitas lokal. Urusan yang menjadi kewenangan daerah, meliputi urusan
wajib dan urusan pilihan. Urusan pemerintahan wajib adalah suatu urusan
pemerintahan yang berkaitan dengan pelayanan dasar seperti pendidikan dasar,

90
kesehatan, pemenuhan kebutuhan hidup minimal, prasarana lingkungan dasar;
sedangkan urusan pemerintahan yang bersifat pilihan terkait erat dengan potensi
unggulan dan kekhasan daerah. Penyelenggaraan pemerintahan daerah disesuaikan
dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yaitu
pemerintahan daerah, yang mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan
menurut asas otonomi dan tugas pembantuan, diarahkan untuk mempercepat
terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan, pelayanan,
pemberdayaan, dan peran serta masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah
dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan
kekhususan suatu daerah dalam sistem Negara Republik Indonesia.
Dalam pelaksanaan pemerintahan lokal dan pelaksanaan otonomi daerah, tidak
terlepas dari permasalahan gender dan kearifan lokal. Karena dua hal tersebut sangat
penting dalam penentuan – penentuan dalam pelaksanaan otonomi daerah. Oleh
karena itu dalam makalah ini akan membahas mengenai pemerintahan lokal dan
Otonomi Daerah dalam persepektif gender dan keafiran lokal.

6.2.Pemerintah Lokal
Pemerintahan lokal adalah institusi kuno dengan konsep baru. Ini
perwujudan aktivitas manusia dalam kelompok, merefleksikan semangat
kebebasan. Pemerintahan lokal adalah bagian dari badan politik suatu negara,
diakui dan dibuat dibawah hukum untuk mengatur isu-isu lokal manusia dengan
batas-batas geografis.
Bhenyamin Hoessein (2001:3) menjelaskan bahwa local government dapat
mengandung tiga arti. Pertama, berarti pemerintah lokal. Kedua, berarti
pemerintah lokal yang dilakukan oleh pemerintah lokal. Ketiga, berarti, daerah
otonom.
Local government dalam arti pertama menunjuk pada lembaga/organnya.
Maksudnya local government adalah organ/badan/organisasi pemerintah di
tingkat daerah atau wadah yang menyelenggarakan kegiatan pemerintahan di
daerah. Dalam arti ini istilah local government sering dipertukarkan dengan
istilah local authority (UN:1961). Baik local government maupun local authority,

91
keduanya menunjuk pada counsil dan major (dewan dan kepala daerah) yang
rekrutmen pejabatnya atas dasar pemilihan. Dalam konteks Indonesia local
government merujuk kepada kepala daerah dan DPRD masing-masing
pengisiannya dilakukan dengan cara dipilih, bukan ditunjuk.
Local government dalam arti kedua menunjuk pada fungsi kegiatannya.
Dalam arti ini local government sama dengan pemerintahan daerah. Dalam
konteks Indonesia pemerintah daerah dibedakan dengan istilah pemerintahan
daerah. Pemerintah daerah adalah badan atau organisasi yang lebih merupakan
bentuk pasifnya, sedangkan pemerintahan daerah merupakan bentuk aktifnya.
Dengan kata lain, pemerintahan daerah adalah kegiatan yang dilakukan oleh
pemerintah daerah.
Local government dalam pengertian organ maupun fungsi tidak sama
dengan pemerintah pusat yang mencakup fungsi legislatif, eksekusif, dan
judikatif. Pada local government hampir tidak terdapat cabang dan fungsi
judikatif (Antoft dan Novack:1998). Hal ini terkait dengan materi pelimpahan
yang diterima oleh pemerintah lokal. Materi pelimpahan wewenang kepada
pemerintah lokal hanyalah kewenangan pemerintahan. Kewenangan legistlatif
dan judikasi tidak diserahkan kepada pemerintah lokal. Kewenangan legislasi
tetap dipegang oleh badan legistlatif (MPR, DPR, dan BPD) di pusat sedangkan
kewenangan judikasi tetap dipegang oleh badan peradilan (Mahkamah Agung,
Pengadilan Tinggi, Peradilan Negri, dan lain-lain). Kalau toh di daerah terdapat
badan peradilan seperti Pengadilan Tinggi di provinsi dan Pengadilan Negeri di
Kabupaten/kota masing-masing bukan merupakan bagian dari pemerintah lokal.
Badan-badan peradilan tersebut adalah badan yang independen dan otonom di
bawah badan peradilan pusat.
Istilah legistlatif dan eksekutif juga tidak lazim digunakan pada local
government. Istilah yang lazim digunakan pada local government adalah fungsi
pembentukan kebijakan (policy making function) dan fungsi pelaksanaan
kebijakan (policy executing function). Fungsi pembentukan kebijakan dilakukan
oleh pejabat yang dipilih melalui pemilu, sedangkan fungsi pelaksanaan

92
kebijakan dilakukan oleh pejabat yang diangkat/birokorat lokal (Bhenyamin
Hoessein, 2001:10)
Local government dalam pengertian ketiga yaitu sebagai daerah otonom
dapat disimak dalam definisi yang diberikan oleh The United Nations of Public
Administration: yaitu subdivisi politik nasional yang diatur oleh hukum dan
secara substansial mempunyai kontrol atas urusan-urusan lokal, termasuk
kekuasaan untuk memungut pajak atau memecat pegawai untuk tujuan tertentu.
Badan pemerintah ini secara keseluruhan dipilih atau ditunjuk secara lokal
(UN:1961)
Dalam pengertian ini local government memiliki otonomi (lokal) dalam arti
self government. Yaitu mempunyai kewenangan untuk mengatur (rules making =
regelling) dan mengurus (rules application = bestuur) kepentingan masyarakat
setempat menurut prakarsa sendiri. Dalam istilah administrasi publik
masingmasing wewenang tersebut lazim disebut wewenang membentuk
kebijakan (policy making) dan wewenang melaksanakan kebijakan (policy
executing) (Bhenyamin Hoessein, 2002). Mengatur merupakan perbuatan
menciptakan norma hukum yang berlaku umum. Dalam konteks otonomi daerah,
norma hukum tertuang dalam Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah
yang bersifat pengaturan. Sedangkan mengurus merupakan perbuatan
menerapkan norma hukum yang berlaku umum pada situasi konkrit dan
individual (beschikking) atau perbuatan material berupa pelayanan dan
pembangunan obyek tertentu (Bhenyamin Hoessein, 2002).

6.3.Otonomi Daerah dalam Perspektif Gender


Terdapat tiga catatan menyangkut dampak otonomi daerah terhadap
perempuan. Catatan pertama, kecenderungan menguatnya politik identitas,
politisasi agama, dan revitalisasi adat yang bernuansa pembatasan peran publik
perempuan.Kedua, otonomi daerah tidak serta-merta meningkatkan kesejahteraan
masyarakat, hal ini ditandai dengan alokasi APBD lebih banyak untuk biaya

93
pelaksanaan pemerintahan daerah daripada kesejahteraan masyarakat. Ketiga,
partisipasi aktif perempuan dalam pembuatan kebijakan masih sangat minim,
keterwakilan perempuan dalam institusi pengambilan keputusan yang seharusnya
sesuai dengan kuota 30 persen akhirnya menjadi turun signifikan, dan
kepemimpinan perempuan sebagai pemimpin daerah di tingkat lokal jumlahnya
nyaris tidak ada. Semakin menguatnya budaya yang sangat patriarkis setelah
Otonomi Daerah berjalan merupakan salah satu andil semakin termarjinalkannya
perempuan Indonesia.
Posisi perempuan dalam kondisi budaya seperti itu akan selalu
termarjinalkan. Subordinasi perempuan yang ditakutkan semakin bertambah
dalam era otonomi daerah adalah konsekuensi praktik pengelolaan politik yang
dipengaruhi empatfaktor utama dalam proses pengambilan kebijakan di daerah.
Pertama, ranah budaya memang dikuasai oleh kaum laki-laki. Kedua, ranah
agama juga dikuasai kaum laki-laki. Ketiga, ranah ekonomi juga dikuasaikaum
laki-laki, kendati dalam proses pengelolaan ekonomi, peran perempuan tidak
kalah pentingnya ketimbang kaum laki-laki. Keempat, dan ini yang paling
menentukan, ranah politik dikuasai oleh kaum laki-laki. Kenyataan seperti itu
menimbulkan ketegangan berkelanjutan karena berhadapan dengan
berkembangnya pemahaman HAM hasil globalisasi. Gerakan memperjuangkan
HAM membawa nilai universal yang pada tingkat tertentu dianggap bertentangan
dengan nilai lokal berupa identitas budaya. Gerakan feminisme yang membawa
ideologi gender merupakan salah satu wujudnya. Gerakan ini memperjuangkan
kesetaraan perempuan di berbagai lini kehidupan masyarakat, yang sekaligus
berarti berupaya melawan dominasi laki-laki dalam keempat ranah di atas.
6.3.1. Posisi Perempuan Era Otonomi Daerah
Untuk menyikapi berbagai permasalahan perempuan pada akhirnya harus
menentukan sikap akan seperti apa kesetaraan antara perempuan dan laki-laki
dalam otonomi daerah saat ini. Sikap perempuan itu sendiri akan sangat
menententukan derajat kesadaran perempuan itu sendiri. Dalam konteks ini akan
banyak kemungkinan yang terjadi, pertama, di dalam suatu masyarakat daerah
yang gerakan HAM-nya marak dilakukan, termasuk didalamnya menyentuh

94
aspek substansial posisi perempuan, maka akan terjadi dinamika yang
memungkinkan terakomodasinya kepentingan perempuan dalam kebijakan yang
berkaitan dengan syariat Islam. Kedua, dalam masyarakat daerah otonom yang
dominasi budaya lokalnya yang masih sangat kental dan tidak ada gerakan HAM
secara langsung, maka kaum perempuan hanya akan menerima segala keputusan
politik (kebijakan) yang dibuat tanpa dapat memperjuangkannya lebih jauh.
Kemungkinan kedua menjadi kemungkinan yang paling besar peluangnya
akan terjadi, mengingat daerah-daerah di Indonesia pada umumnya masih sangat
jauh dari sentuhan langsung penyadaran hak asasi manusia, hal yang paling
mendasar sebenarnya bahwa apa pun produk suatu kebijakan yang dikeluarkan
oleh suatu daerah otonom, tidak perlu dikhawatirkan apabila kebijakan tersebut
merupakan produk yang demokratis dan memang dutujukan untuk kepentingan
masyarakat pada daerah otonom itu sendiri. Memang sekarang ini, termasuk
(rancangan) Peraturan Daerah yang membatasi hak perempuan di Sumatera Barat
misalnya, lebih mengekspresikan kepentingan elite pada pemerintahan daerah
tersebut, karena prosesnya tidak berdasar kebutuhan elemen masyarakat sebagai
stake holders lokal, melainkan lebih berdasar kesepakatan para elite politik.
Terdapat beberapa hal yang perlu diperjuangkan oleh kaum perempuan
diantaranya adalah mencoba mengembangkan kesadaran pada masyarakat bahwa
proses pengambilan kebijakan pada tingkat lokal haruslah melibatkan semua
elemen yang ada. Kemudian harus adanya pembangunan kesadaran semua
lapisan masyarakat bahwa perempuan merupakan elemen masyarakat
yangmenjadi pilar utama dalam membangun demokrasi lokal. Karena itu,aspirasi
perempuan harus menjadi pertimbangan utama dalam proses pengambilan suatu
kebijakan.
6.3.2 Partisipasi Perempuan pada Tingkat Daerah
Komposisi gender pada anggota legislatif juga dapat dijadikan sebagai
salah satu acuan untuk melihat dan membandingkan peluang partisipasi politik
kedua gender melalui pemilihan umum. Di Indonesia, perempuan dianggap
sebagai warga negara, tanpa pembedaan yang tersurat dalam hak dan kewajiban
dengan warga negara laki-laki.Akan tetapi yang penting adalah untuk

95
membedakan antara peran aktif dan peran pasif sebagai warga negara. Lister
menyitir Mary Dietz yang menyatakan bahwa partisipasi politik adalah
terminologi yang menjadi lawan peran pasif warga negara sebagai ‘pemilik
hak’.Partisipasi politik berarti secara aktif melakukan sesuatu dalam kaitan
dengan kewajiban sebagai warga negara, yakni mempengaruhi kebijakan publik.
Meskipun pemerintah di beberapa daerah menyebutkan permasalahan gender
sebagai salah satu agenda yang harus dijalankan, namun tidak ditemukan
rumusan partisipasi perempuan dalam politik lokal yang eksplisit dalam teks
peraturan daerah. Rumusan yang eksplisit sangatlah penting mengingat
keterlibatan perempuan secara luas dalam pengambilan keputusan di tingkat
lokal sangat sedikit. Masalah ini bukanlah khas pemerintahan daerah karena kita
bisa melihat bahwa jumlah perempuan dalam lembaga politik di tingkat nasional
pun sangat sedikit. Jika hal ini tidak dirumuskan, maka identifikasi masalah yang
telah dilakukan pemerintah daerah berhenti sampai taraf menimbang peraturan
perundang-undangan tentang pengarusutamaan gender.
Posisi perempuan dalam lembaga politik formal jauh lebih sedikit
dibandingkan dengan laki-laki. Padahal, berdasarkan data statistik yang
dikeluarkan oleh Biro Pusat Statistik (BPS) 2002, jumlah perempuan Indonesia
sebanyak 51% dari seluruh jumlah penduduk Indonesia.
Keterbatasan akses membuat perempuan mengalami kesulitan untuk
menunjukkan bahwa kepentingannya tidak terwadahi dalam sistem politik yang
ada. Keterbatasan keterlibatan perempuan di ruang publik juga menjadi kendala
untuk mengembangkan organisasi perempuan untuk memformulasikan
kepentingan perempuan. Karenanya harus ada ruang untuk kemungkinan
berkembangnya kesempatan bagi perempuan untuk mendefinisikan sistem
partisipasinya yang memungkinkan hal-hal yang berada di luar maskulinitas bisa
diperhatikan.
Rumusan partisipasi politik perempuan yang tidak tertera dalam peraturan
daerah tidak serta merta berarti bahwa perempuan tidak memiliki akses untuk
berpartisipasi dalam politik.Terdapat beberapa peraturan yang dibuat dengan
intensi netral gender dan memberi ruang bagi perempuan untuk berpartisipasi

96
aktif dalam politik lokal seperti Perda No.Representasi Perempuan dalam
Kebijakan Publik di Era Otonomi Daerah – 927 Tahun 2001 (Mataram).
Ruang untuk partisipasi politik perempuan yang dimungkinkan melalui
jenis peraturan seperti ini harus terus menerus dinegosiasikan antara perempuan
dan para pemangku kepentingan lainnya. Negosiasi untuk memperoleh ruang
partisipasi yang lebih luas menuntut peran perempuan yang aktif dan terorganisir
sehingga mampu menghasilkan perbedaan dalam tata pemerintahan.Tanpa peran
aktif dan organisasi yang inklusif, perempuan hanya akan menjadi aktor karena
jenis kelaminnya, tapi membuat kebijakan yang tidak menguntungkan
perempuan. Tuntutan perempuan untuk terlibat dalam pengambilan keputusan
tidak berhenti pada jumlah perempuan yang masuk dalam struktur politik, tapi
juga pada visi dan agenda mereka untuk memperbaiki kondisi perempuan.

6.4.Otonomi Daerah dalam Perspektif Kearifan Lokal

Kearifan lokal yang ada di seluruh suku bangsa di Indonesia ini tidak boleh
hilang atau punah, karena ia akan menjadi dasar dari kehidupan berbangsa dan
bernegara kita. kearifan lokal adalah bagian dari budaya daerah, di mana budaya
nasional adalah ejawantahan dari budaya-budaya daerah. Dengan kata lain,
penguatan unsur-unsur kearifan lokal dalam kehidupan masyarakat daerah,
tentunya di bawah supervisi dan bimbingan pemerintahan daerah, akan sangat
berguna bagi upaya-upaya penguatan NKRI.

Bicara tentang kearifan lokal, Amirrachman, menyebutkan bahwa kearifan


lokal mengacu pada berbagai kekayaan budaya yang bertumbuh kembang di
dalam sebuah masyarakat, serta dikenal, dipercayai dan diakui sebagai
elemenelemen penting yang mampu mempertebal kohesi sosial di antara warga
masyarakat. Kearifan lokal dapat dipahami sebagai usaha manusia dengan
menggunakan akal budi (kognisi) untuk bertindak dan bersikap terhadap sesuatu,
objek, atau peristiwa yang terjadi dalam ruang tertentu, dan dipahami sebagai
kemampuan seseorang dalam menggunakan akal pikirannya dalam bertindak atau

97
bersikap sebagai hasil penilaian terhadap sesuatu, obyek, atau peristiwa yang
terjadi sehingga sering kali diartikan sebagai kearifan atau kebijaksanaan.

Lebih lanjut, Ridwan menyebutkan bahwa terminologi “lokal” pun secara


spesifik merujuk pada ruang interaksi terbatas dengan sistem nilai yang terbatas
pula. Ruang interaksi yang sudah didesain sedemikian rupa dan di dalamnya
melibatkan suatu pola hubungan antara manusia dengan manusia atau manusia
dengan lingkungan fisiknya ini disebut settting. Setting sebagai ruang interaksi
membuat seseorang dapat menyusun hubungan berhadap-hadapan di dalam
lingkungannya, sehingga akan memproduksi nilai-nilai yang menjadi landasan
dalam hubungan sosial serta acuan bagi tingkah laku masyarakat dalam
lingkungan tersebut.

Kearifan lokal merupakan pengetahuan eksplisit yang muncul dari periode


panjang evolusi masyarakat beserta lingkungannya dalam suatu sistem lokal yang
dialami bersama-sama. Proses evolusi yang begitu panjang dan melekat dalam
masyarakat ini kemudian menjadikan kearifan lokal sebagai sumber energi
potensial dari sistem pengetahuan kolektif masyarakat untuk dapat hidup
bersama secara dinamis dan damai. Dalam hal ini, kearifan lokal tidak sekadar
acuan tingkah-laku seseorang, namun mampu mendinamisasi kehidupan
masyarakat yang penuh keadaban.

Secara substansial, kearifan lokal adalah nilai-nilai yang berlaku dalam


suatu masyarakat, diyakini kebenarannya dan menjadi acuan dalam
bertingkahlaku sehari-hari masyarakat setempat, sehingga Greertz menyatakan
bahwa kearifan lokal adalah entitas yang sangat menentukan harkat dan martabat
manusia dalam komunitasnya. Oleh sebab itu, Amirudin mengungkapkan bahwa
kearifan lokal pun berisi unsur kecerdasan kreativitas dan pengetahuan lokal para
elit serta masyarakat yang diayominya sehingga dapat digunakan sebagai
landasan pembangunan peradaban masyarakatnya.

Selain itu, kearifan lokal secara praktek merupakan upaya masyarakat


untuk melestarikan sumber daya agar dapat terus digunakan untuk menghidupi

98
mereka dan menjaga keseimbangan lingkungan. Hanya saja, proses
pembangunan yang bersifat top-down, telah mengecilkan peran dan fungsi
nilainilai lokal melalui penerapan berbagai peraturan yang bersumber dari pusat
dan lebih mendahulukan kepentingan nasional, tanpa memperhatikan
kepentingan rakyat di tingkat bawah yang sebenarnya merupakan stakeholder
utama dari kebijakan yang ada.

Ekses jangka panjang yang sangat terasa dari marjinalisasi peran dan fungsi
kearifan lokal dalam proses pembangunan adalah menurunnya daya kreatifitas
masyarakat dan jiwa kewirausahaan, karena masyarakat telah terbiasa pada pola
“petunjuk dari atas” atau top-down. Implikasi mendasar dari situasi seperti ini
adalah terciptanya mentalitas subordinat, sehingga menjadi kendala budaya
terhadap implementasi berbagai progam pemberdayaan masyarakat. Kondisi ini
menyebabkan masyarakat sendiri tidak lagi terbiasa dengan program-program
bottom-up, yang disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat setempat itu sendiri.

6.5.Simpulan
Pemerintahan lokal adalah institusi kuno dengan konsep baru. Ini
perwujudan aktivitas manusia dalam kelompok, merefleksikan semangat
kebebasan. Pemerintahan lokal adalah bagian dari badan politik suatu negara,
diakui dan dibuat dibawah hukum untuk mengatur isu-isu lokal manusia dengan
batas-batas geografis. Bhenyamin Hoessein (2001:3) menjelaskan bahwa local
government dapat mengandung tiga arti. Pertama, berarti pemerintah lokal.
Kedua, berarti pemerintah lokal yang dilakukan oleh pemerintah lokal. Ketiga,
berarti, daerah otonom. Dalam kaitan dengan ketiga arti pemerintahan lokal
tersebut, terdapat salah satunya adalah derah otonom/otonomi daerah dapat
dilihat pula pelaksanaannya di Indonesia, dalam hal ini kaitannya dengan
perspektif gender.
Terdapat tiga catatan menyangkut dampak otonomi daerah terhadap
perempuan. Catatan pertama, kecenderungan menguatnya politik identitas,
politisasi agama, dan revitalisasi adat yang bernuansa pembatasan peran publik

99
perempuan. Kedua, otonomi daerah tidak serta-merta meningkatkan
kesejahteraan masyarakat. Ketiga, partisipasi aktif perempuan dalam pembuatan
kebijakan masih sangat minim,
Secara substansial, kearifan lokal adalah nilai-nilai yang berlaku dalam
suatu masyarakat, diyakini kebenarannya dan menjadi acuan dalam
bertingkahlaku sehari-hari masyarakat setempat. kearifan lokal secara praktek
merupakan upaya masyarakat untuk melestarikan sumber daya agar dapat terus
digunakan untuk menghidupi mereka dan menjaga keseimbangan lingkungan.
Ekses jangka panjang yang sangat terasa dari marjinalisasi peran dan fungsi
kearifan lokal dalam proses pembangunan adalah menurunnya daya kreatifitas
masyarakat dan jiwa kewirausahaan, karena masyarakat telah terbiasa pada pola
“petunjuk dari atas” atau top-down. Kondisi ini menyebabkan masyarakat sendiri
tidak lagi terbiasa dengan program-program bottom-up, yang disesuaikan dengan
kebutuhan masyarakat setempat itu sendiri.

BAB VII DPRD DAN OTONOMI DAERAH DALAM PERSPEKTIF UUD 1945
DAN UU NOMOR 32 TAHUN 2004

7.1. Latar Belakang


Sistem pemerintahan daerah di Indonesia, menurut konstitusi
UndangUndang Dasar 1945, berdasarkan penjelasan dinyatakan bahwa daerah
Indonesia akan dibagi dalam daerah provinsi dan daerah provinsi akan dibagi
pula dalam daerah yang lebih kecil. Di daerah-daerah yang bersifat otonom
(streek and local rechtsgemeenschappen) atau bersifat daerah administrasi
belaka, semuanya menurut aturan yang akan ditetapkan dengan undang-undang.
Eksistensi pemerintahan di daerah didasarkan atas legitimasi undang-undang
yang memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah unntuk menjalankan
urusan pemerintahan berdasarkan kreativitasnya sendiri. Elemen pemerintahan
daerah meliputi pemerintah daerah dan lembaga DPRD sebagai
unsurpeneyelenggara pemerintah daerah.
Perkembangan otonomi daerah memang mengalami pasang surut dan
dengan aksentuasi yang berbeda, yang awalnya masih sangat kental dengan
100
kendali Pemerintah pusat.namun dalam perkembangannya kemudian, khususnya
sejak tahun 1973 terdapat perubahan tentang otonomi daerah, beralih dari
otonomi riil yang seluas-luasnya ke otonomi yang nyata dan bertanggungjawab
dan ditegaskan dalam UU No.5 Tahun 1974. Setelah berjalan lebih dari 25 tahun
dari tahun 1945 sampai tahun 1999 dirasakan kesumpekan-kesumpekan daerah
untuk menyalurkan inisiatif daerah dalam mengembangkan Pemerintah Daerah
dan makin tersa ketergantungan Pemerintah Daerah kepada Pemerintah Pusat.
Hubungan antar pemerintahan, yakni hubungan antara pemerintah pusat,
pemerintah daerah provinsi dengan pemerintah kabupaten/kota di era awal
pemberlakuan otonomi daerah, kebiasaan-kebiasaan penyelenggaraan
pemerintahan daerah telah terjadi salah tafsir yang berimplikasi pada hubungan
msing-masing kepala daerah. Adapun hubungan antarpemerintahan daerah,
khususnya hubungan antara pemerintah daerah dengan Badan Legislatif Daerah
sering terjadi disharmonisasi sehingga mengganggu sistem kemitraan antara
pemerintah daerah dan legislasi daerah. Untuk itulah perlu adanya pergantian
peraturan perundangan tentang Pemerintah Daerah yang sesuai dengan
perkembangan keadaan, ketatanegaraan, dan tuntutan otonomi daerah sehingga
perlu diganti dengan UU No.32 Tahun 2004.

7.2.Otonomi Daerah dalam UUD 1945 Setelah Amandemen


UUD 1945 merupakan konstitusi Negara Indonesia, semua aspek
kehidupan berbangsa dan bernegara di atur didalamnya. UUD 1945 telah
mengalami 4 (empat) kali amandemen yaitu amandemen perubahan pertama
pada tanggal 19 Oktober 1999, perubahan kedua tanggal 18 Agustus 2000,
perubahan ketiga pada tanggal 10 November 2001, dan perubahan keempat pada
tanggal 10 Agustus 2002.
Sebelum Amandemen Kedua pasal 18 berbunyi “Pembagian daerah
Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya
ditetapkan dengan undang- undang, dengan memandang dan mengingati dasar
permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara, dan hak-hak asal-usul
dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa”. Sedangkan perubahan kedua

101
Undang-Undang Dasar 1945 tentang Pemerintahan Daerah, dalam Pasal 18,
dinyatakan sebagai berikut:
1. Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan
daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota yang tiap-tiap provinsi,
kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah yang diatur dengan
undang-undang.
2. Pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus
sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.
3. Pemerintah daerah provinsi, kabupaten dan kota memiliki Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah yang anggota-anggotanya dipilih memalui pemilihan umum.
4. Gubernur, bupati, dan walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah
daerah provinsi, kabupaten, dan kota dan dipilih secara demokratis.
5. Pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan
pemerintah yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan pemerintah
pusat.
6. Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan
peraturanperaturan lain, untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.
7. Susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur dalam
undang-undang.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa prinsip desentralisasi menguat
pada pasal 18 ayat 2, 5 dan 6 setelah Amandemen Kedua2.
Sedangakan secara keseluruhan, perubahan dan ameandemen UUD 1945
mulai dari perubahan pertama sampai ke empat, pasal 18 telah mengalami
perubahan dan penambahan-penambahan (suprihaini, 2008: 11). Untuk
mengetahui esensi dari pasal 18 tersebut, berikut bunyi pasal 18 UUD 1945
setelah amandemen :
Pasal 18
(1). Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan
daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi,

2 (http://windysitinjak.blogspot.com/2013/05/kemajuan-perubahan-pertama-kedua-ketiga.html).

102
kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur
dengan undang-undang.
(2). Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas
pembantuan.
(3). Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota memiliki Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah yang anggota-anggotanya dipilih melalui
pemilihan umum.
(4). Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai Kepala Pemerintah
Daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota dipilih secara demokratis.
(5). Pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan
pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan
Pemerintah Pusat.
(6). Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan
peraturanperaturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.
(7). Susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur dalam
undang-undang.

Pasal 18A
(1). Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah
provinsi, kabupaten, dan kota atau antara provinsi dan kabupaten dan kota,
diatur dengan Undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan
keragaman daerah.
(2). Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfatan sumber daya alam dan
sumber daya lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah diatur
dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan undang-undang.

Pasal 18B
(1). Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah
yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan Undang-
undang.

103
(2). Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum
adat serta hak-hak tradisonalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia,
yang diatur dalam undang-undang.

Berdasarkan bunyi pasal-pasal tersebut dapat diketahui esensi yang


tedapat dalam pasal 18 ayat (1) sampai (7), pasal 18A ayat (1) dan (2), serta pasal
18B ayat (1) dan (2) yaitu sebagai berikut (suprihaini, 2008 :13) :
1. Memperjelas pembagian daerah dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia
yang meliputi daerah provinsi, dan dalam daerah provinsi terdapat daerah
kabupaten dan kota.
2. Menegaskan bahwa negara Indonesia adalah negara kesatuan dimana
kedaulatan negara berada dipusat. Hal ini mengisyaratkan bahwa meskipun
daerah diberi otonomi seluas-luasnya, tetapi tetap mempunyai hubungan
dengan pemerintah pusat yang bermacam-macam bentuknya, seperti
disebutkan dalam pasal 18A.
3. Menegaskan prinsip-prinsip dalam penyelenggaraan otonomi daerah, sebagai
berikut :
a. Prinsip otomomi seluas-luasnya
b. Prinsip otonomi yang nyata dan bertanggung jawab
c. Prinsip demokratisasi dan dengan memperhatikan potensi dan
keanekaragaman daerah.
d. Pelaksanaan otonomi daerah sesuai dengan konstitusi negara, sehingga
tetap terjalin hubungan yang serasi antara pemerintah pusat dan
daerah.

7.3.Kedudukan, Peran dan Fungsi DPRD dalam UUD 1945 Setelah


Amandemen
Penyelenggaraan pemerintahan dalam suatu negara tidak hanya terdapat
di pusat pemerintahan saja. Pemerintahan pusat memberikan wewenangnya
kepada pemerintah daerah untuk menyelenggarakan pemerintahannya sendiri,

104
dan di Indonesia yang dimaksud dengan pemerintahan daerah adalah
penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD
menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi yang
seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia
Tahun 1945.
Dalam menyelenggarakan pemerintahan di daerah, diperlukan
perangkatperangkat dan lembaga-lembaga untuk menyelenggarakan jalannya
pemerintahan di daerah sehari-hari. Untuk memenuhi fungsi perwakilan dalam
menjalankan kekuasaan legislative daerah sebagaimana di pusat negara di daerah
dibentuk pula Lembaga Perwakilan Rakyat, dan lembaga ini biasa dikenal atau
dinamakan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Eksistensi DPRD memperoleh pengaturan konstitusional secara lebih


konkrit dalam UUD 1945 pasca amandemen, khususnya amandemen kedua yang
secara tegas menyebutkan adanya lembaga DPRD. Pada amandemen kedua UUD
1945 menghasilkan beberapa pasal yang berkaitan dengan DPRD. Dalam pasal
18 ayat (3), disebutkan; “Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan
kota memiliki DPRD yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan
umum”; Pasal 18 ayat ayat (6) “Pemerintahan daerah berhak menetapkan
peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan
tugas pembantuan” serta pasal 18 ayat (7) yang berbunyi “Susunan dan tata cara
penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur dalam undang-undang”. Secara
lebih rinci, maka dapat diamati dalam tabel berikut.

DPRD dalam UUD 1945 sebelum DPRD dalam UUD 1945 setelah
amandemen amandemen

105
Pasal 18 yang berbunyi “Pembagian Pasal 18 ayat (3) yang berbunyi
Daerah atas Daerah besar dan kecil, “Pemerintah daerah provinsi, daerah
dengan bentuk susunan
pemerintahannya ditetapkan dengan kabupaten, dan kota memiliki Dewan
undang-undang dengan memandang dan Perwakilan Rakyat Daerah yang
mengingat dasar permusyawaratan
anggotanya dipilih melalui pemilihan
dalam sidang pemerintahan Negara dan
hak-hak asal usul dalam daerah yang umum. (amandemen kedua)
bersifat istimewa. Pasal 23E ayat (2) yang berbunyi “Hasil
pemeriksaan keuangan negara
diserahkan kepada Dewan Perwakilan

Pasal 23 ayat (6) yang berbunyi “Hal Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan
pemeriksaan itu diberitahukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah,
Dewan Perwakilan Rakyat. sesuai dengan
kewenangannya.(amandemen ketiga)

7.4. Perbandingan Kedudukan DPRD dan Otonomi Daerah setelah


Amandemen UUD 1945.

DPRD dan Otonomi Daerah Sebelum DPRD dan Otonomi Daerah setelah
Amandemen amandemen

106
1. Kedudukan DPRD sebelum 1. Kedudukan DPRD: Dalam pasal
amandemen yaitu KNIP (komite 18 ayat 3 UUD 1945 (Amandemen
nasional indonesia pusat) yang Kedua) disebutkan,”Pemerintah
menjadi lembaga pembantu daerah provinsi, daerah kabupaten,
presiden. dan kota memiliki Dewan
2. Pelaksanaan Otonomi Daerah Perwakilan Rakyat Daerah yang
- Terjadi penyempitan otonomi anggotanya dipilih melalui
daerah menuju sentralisasi karena pemilihan umum.”
tidak ada pasal yang tercantum 2. Pelaksanaan Otonomi Daerah Satu-
secara jelas dan tegas mengenai satunya sumber konsitusional
pemerintah daerah adalah pasal 18,
pemerintahan daerah.
pasal 18A dan 18B. Untuk
Secara historis UUD 1945 memperjelas pembagian daerah
menhendaki otonomi seluas-luasnya, dalam negara kesatuan republik
tetapi karena tidak di cantumkan,

107
yang terjadi adalah penyempitan indonesia yang meliputi daerah
otonomi daerah menuju pemerintahan provinsi dan dala daerah provinsi
sentralisasi. terdapat daerah kabupaten dan kota.
Tidak ada lagi unsur pemerintah
sentralisasi dalam pemerintahan
daerah.
Pasal 18 (baru) menegaskan
pelaksanakan otonomi
seluasluasnya.
Prinsip kekhusukan dan keragaman
daerah (pasal 18A ayat
1). Prinsip mengakui dan
menghormati pemerintahan daerah
yang bersifat khusus dan istimewa
(pasal 18B ayat 1). Prinsip
perwakilan dipilih langsung dalam
suatu pemilihan umum (pasal 18
ayat 3). Prinsip hubungan pusat
dan daerah harus dilakukan secara
selaras dan adil
(pasal 18A ayat 2)

7.5 DPRD dan Otonomi Daerah dalam UU NO 32 Tahun 2004


Peraturan perundangan-undangan mengenai otonomi daerah, UU No. 22
Tahun 1999 mendudukkan DPRD sebagai badan legislatif daerah, namun dalam
revisinya pada UU No. 32 Tahun 2004 diubah menjadi unsur pemerintahan
daerah. DPRD sebagai unsur eksekutif dapat dilihat pada pasal 19 tentang
penyelenggara pemerintahan, yang menyatakan bahwa penyelenggara
pemerintahan adalah Presiden dibantu oleh 1 (satu) orang wakil Presiden, dan
oleh menteri negara (ayat1), dan penyelenggara pemerintahan daerah adalah
108
pemerintah daerah dan DPRD (ayat 2). Sedangkan di UU No. 22 tahun 1999
kedudukan DPRD dipisahkan dari pemerintah daerah sesuai dengan bunyi pasal
14 (1). Undang-undang ini menyatakan bahwa di daerah dibentuk DPRD sebagai
badan legislatif daerah dan pemerintah daerah sebagai badan eksekutif daerah.
Sedangkan pemerintah daerah terdiri atas kepala daerah beserta perangkat daerah
lainnya.
Revisi UU No. 22 tahun 1999 menjadi UU No. 32 tahun 2004 tidak
dipungkiri didorong oleh kecenderungan lahirnya penyimpangan kekuasaan
(abuses of powers) dari DPRD. Kecenderungan penyimpangan kekuasaan
terutama karena adanya hak DPRD meminta pertanggungjawaban kepala daerah
yang bisa berakhir dengan pemakzulan (impeachment) kepala daerah, sehingga
menimbulkan pemerintahan daerah menjadi tidak efektif. Contoh: DPRD
Surabaya memberhentikan Walikota Sunarto Sumoprawiro dan mengangkat
Bambang DH sebagi pelaksana walikota. Selanjutnya DPRD Surabaya memecat
Bambang DH yang baru menjalankan tugasnya secara penuh selama 1 bulan.
Keputusan ini berkaitan dengan LPJ Walikota atas pelaksanaan APBD tahun
anggaran 2001 yang menjadi tanggung jawab walikota pendahulunya. Contoh
lain, DPRD Kampar secara aklamasi memberhentikan Jefri Noor dan A. Zakir
dari jabatannya sebagai Bupati dan Wakil Bupati karena dianggap gagal
menyelenggarakan pembangunan,. DPRD Kabupaten Buleleng memberhentikan
Bupati Wirata Sindu dengan alasan LPJ-nya sudah dua kali ditolak, dan
Gubernur Kalsel, Sjachriel Darham dan Wagub Husin Kasah dipecat oleh DPRD
dengan alas kebijakannya banyak yg tidak memuaskan masyarakat (Kompas, tgl.
22-7-2002; tgl. 23-9-2002; tgl. 23-11-2002).
Dalam diskusi-diskusi yang dilakukan muncul pendapat dominan yang
menempatkan DPRD sebagai unsur dan bukan legislative daerah. Argumen yang
digunakan adalah: pertama keberadaan Indonesia sebagai Uniatrain State tidak
mensyaratkan adanya legislatif daerah. Kedua, pemencaran kewenangan adalah
milik eksekutif (Presiden), kewenangan legislatif maupun yudikatif tidak
diturunkan ke daerah. Sebagai kosekuensinya tidak ada istilah legislatif daerah.
Sehingga, DPRD tidak mewakili karakter state yang memiliki kedaulatan.

109
Meskipun DPRD bisa membuat peraturan daerah, ini tidak sama dengan
undangundang. Karena perda adalah turunan dari kebijakan pusat (Dwipayana,
2008: 7). Hasilnya akan berbeda jika desentralisasi politik dianggap bersumber
pada negara bukan sebatas ranah eksekutif.
Perubahan berikutnya adalah pilihan politik pilkada langsung . Dalam
pasal 6A ayat 1 UUD 1945 (Amandemen Ketiga) disebutkan,”Presiden dan wakil
presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat.”. Atas dasar
itu, mulai tahun 2004 dilakukan pilpres secara langsung. Perubahan ini
mendorong dilakukan pilkada secara langsung pula. Sehingga di UU No. 32
tahun 2004 kewenangan DPRD memilih kepala daerah, meminta
pertanggungjawaban, dan dapat mengusulkan untuk memberhentikan kepala
daerah juga dihapus. Kedudukan kepala daerah di UU No. 32 tahun 2004
menjadi sangat kuat dengan dikenalkannya sistem pilkada secara langsung.
Berikutnya, kewenangan DPRD untuk memilih anggota MPR dari utusan daerah
juga hapus seiring dengan perubahan susunan MPR menjadi lembaga yang
keanggotaannya gabungan anggota DPR dan anggota DPD, dimana keanggotaan
kedua lembaga itu dipilih melalui pemilu.
UU No. 32 tahun 2004 memang tidak lagi memberi tugas dan wewenang
kepada DPRD untuk memilih kepala daerah dan implikasinya kepala daerah
tidak bertanggung jawab kepada DPRD, maka seolah-olah tugas dan
kewenangan DPRD terpangkas dan menjadi “lemah”. Menurut pasal 27 (2) UU
No.32/2004, kepala daerah tidak lagi menyampaikan laporan pertanggung
jawaban (LPJ) kepada DPRD, namun kepala daerah menyusun Laporan
Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ) untuk DPRD pada setiap tahun
anggaran dan pada akhir masa jabatan. LKJP ini tidak ada ketentuan
diterima/ditolak DPRD. Selain itu, kepala daerah wajib menyusun Laporan
Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (LPPD) kepada pemerintah pusat dan
wajib memberi informasi LPPD kepada masyarakat melalui media
cetak/elektronik. Namun jika dicermati, sesungguhnya UU No. 32 tahun 2004
masih memberi DPRD peran strategis dalam pilkada. DPRD juga masih punya
peran dalam meloloskan rancangan APBD yang diajukan eksekutif. Pasal 42 (b)

110
(c) UU No. 32 tahun 2004 menyebutkan DPRD mempunyai kewenangan untuk
membahas dan menyetujui rancangan perda tentang APBD bersama dengan
kepala daerah dan melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan APBD.
UU No. 32 tahun 2004 masih menjadikan DPRD sebagai lembaga
penentu kebijakan daerah, yakni memberi persetujuan atas beberapa agenda
penting daerah, seperti persetujuan terhadap rencana kerjasama internasional, dan
terhadap rencana kerjasama antardaerah maupun dengan pihak ketiga yang
membebani masyarakat dan daerah. Sehingga pemerintah daerah harus selalu
berkonsultasi dengan DPRD mengenai keputusan-keputusan kebijakan daerah
yang penting. UU No. 32 tahun 2004 juga memperbaiki kinerja DPRD sebagai
lembaga perwakilan rakyat yang anggotanya dipilih melalui pemilu. Upaya
memposisikan DPRD sebagai lembaga representasi diatur di pasal 45 (7) yang
menegaskan bahwa anggota DPRD punya kewajiban untuk memberikan
pertanggungjawaban atas tugas dan kinerjanya sebagai wujud tanggung jawab
moral dan politis terhadap daerah pemilihannya. Anggota DPRD juga diwajibkan
untuk mendahulukan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi, kelompok
dan golongan (ayat 6).

7.6 Simpulan :
Otonomi Daerah dalam UUD 1945 Setelah Amandemen dalam
penyelenggaraan pemerintahan di daerah, dilaksanakan dengan asas
Desentralisasi, yaitu penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah
kepada daerah otonomi untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan
dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Di samping itu juga
melaksanakan Dekonsentrasi, yaitu pelimpahan wewenang pemerintahan oleh
Pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah dan / atau kepada
instansi vertikal, dan serta melaksanakan Tugas Pembantuan, yaitu penugasan
dari pemerintahan kepada daerah dan/atau desa dari pemerintahan propinsi
kepada kabupaten/kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu.
Di Indonesia yang dimaksud dengan pemerintahan daerah adalah
penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD

111
menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi yang
seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia
Tahun 1945. Eksistensi DPRD memperoleh pengaturan konstitusional secara
lebih konkrit dalam UUD 1945 pasca amandemen, khususnya amandemen kedua
yang secara tegas menyebutkan adanya lembaga DPRD.
Kedudukan DPRD setelah amandemen terjadi perubahan yang cukup
signifikan dengan dilakukan pimilu secara langsung. Tidak ada lagi unsur
pemerintah sentralisasi dalam pemerintahan daerah. Sedangakan mengenai
otonomi daerah, UUD 1945 menghendaki otonomi seluas-luasnya, tetapi karena
tidak di cantumkan, yang terjadi adalah penyempitan otonomi daerah menuju
pemerintahan sentralisasi.
UU No. 32 tahun 2004 adalah undang-undang yang mengatur
Pemerintahan Daerah. Dalam UU No. 32 tahun 2004 status dekonsentrasi
dihidupkan kembali. UU No. 32 tahun 2004 melakukan perubahan posisi DPRD
dari badan legislatif daerah menjadi sebagai unsur penyelenggara pemerintahan
daerah. Secara umum revisi UU No. 22 tahun 1999 menjadi UU No. 32 tahun
2004 oleh banyak pihak dinilai sebagai upaya resentralisasi atas hak-hak politik
yang dimiliki daerah yang diatur dalam UU No. 22 tahun 1999

BAB VIII TEORI DAN PRAKTIK PEMERINTAHAN DAERAH DAN


OTONOMI DAERAH DI INDONESIA

8.1.Latar Belakang
Letak negara Republik Indonesia yang merupakan negara kepulauan
sangat mempengaruhi mekanisme pemerintahan di Indonesia. Dengan adanya
112
bentuk negara kepulauan ini menimbulkan adanya kesulitan untuk
mengkoordinasikan pemerintahan yang ada di daerah. Agar dapat memudahkan
pengaturan serta penataan pemerintahan maka diperlukan adanya berbagai sistem
pemerintahan yang efisien dan mandiri.
Hal tersebut sangat diperlukan agar tidak memunculkan ancaman terhadap
keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Seperti yang kita ketahui bersama
bahwa terdapat beberapa daerah yang pembangunannya lebih cepat daripada
daerah lain. Dengan hal ini pemerintah pusat membuat suatu sistem pengelolaan
pemerintahan di tingkat daerah yang disebut dengan otonomi daerah untuk
mengelola potensi-potensi dan sekaligus mengembangkannya.
Selama Indonesia merdeka, kebijakan penyelenggaraan pemerintahan
daerah telah mengalami perubahan dan perkembangan yang sangat dinamis.
Selama kurun waktu setengah abad lebih, sistem pemerintahan daerah sarat
dengan pengalaman yang panjang seiring dengan konfigurasi politik yang terjadi
pada tatanan pemerintahan negara. Pola hubungan kekuasaan, pembagian
kewenangan, dan perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dengan
pemerintahan daerah tidak dapat dipungkiri sangat bergantung pada konfigurasi
politik pemerintahan pada saat itu. Realitas demikian tentu mempengaruhi
formalitas penyelenggaraan pemerintahan daerah dan pemberian otonomi daerah
di Indonesia. Akan tetapi, terlepas dari semua pengaruh yang muncul dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah, semua kebijakan selalu dijiwai oleh
kesatuan pandang yang sama, yaitu seluruh daerah merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. (Sabarno, 2008:1)
Oleh karena itu, penulis akan mengkaji lebih dalam mengenai Teori dan
Praktik Otonomi daerah dan Pemerintahan daerah di Indonesia.

8.2. Esensi Dasar Otonomi Daerah


Selama Indonesia merdeka, kebijakan penyelenggaraan pemerintahan
daerah telah mengalami perubahan dan perkembangan yang sangat dinamis.
Selama kurun waktu setengah abad lebih, sistem pemerintahan daerah sarat
dengan pengalaman yang panjang seiring dengan konfigurasi politik yang terjadi

113
pada tatanan pemerintahan negara. Pola hubungan kekuasaan, pembagian
kewenangan, dan perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dengan
pemerintahan daerah tidak dapat dipungkiri sangat bergantung pada konfigurasi
politik pemerintahan pada saat itu. Realitas demikian tentu mempengaruhi
formalitas penyelenggaraan pemerintahan daerah dan pemberian otonomi daerah
di Indonesia. Akan tetapi, terlepas dari semua pengaruh yang muncul dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah, semua kebijakan selalu dijiwai oleh
kesatuan pandang yang sama, yaitu seluruh daerah merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sebenarnya konsepsi Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan
prinsip dasar dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Konsepsi tersebut di
satu sisi mengukuhkan keberadaan daerah sebagai bagian nasional, tetapi di sisi
lain memberikan stimulan bagi masyarakat daerah untuk mengartikulasikan
semua kepentingannya, termasuk masalah otonomi daerah dalam sistem hukum
dan kebijakan nasional. Oleh sebab itu, idealnya tidak ada dan tidak mungkin
terjadi suatu kebijakan nasional akan mengesampingkan otonomi daerah. Hal ini
disebabkan pemberian otonomi daerah sudah menjadi bagian yang tidak
terpisahkan dari kebijakan nasional. Sebaliknya, daerah juga tidak dapat
menafikan jatidirinya sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia
sehingga semua perilaku, kebijakan, dan tindakan daerah tidak dapat bertentangan
dengan kebijakan pusat.
Oleh karena itu, munculnya euforia daerah yang disebabkan oleh
perubahan sosial dan politik yang drastis sejak reformasi politik 1998 tidak dapat
dijadikan alasan untuk melepaskan konsepsi Negara Kesatuan Republik Indonesia
dari kebijakan penyelenggaraan pemerintahan daerah dan pelaksanaan otonomi
daerah. Dibentuk dan disahkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999
tentang Pemerintahan Daerah yang telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor
32 Tahun 2004 dan Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan
Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, yang telah diubah menjadi
Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 meskipun dianggap sebagai perubahan

114
fundamental dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, tetapi rumusan intinya
tetap mengacu pada konsepsi Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Ada sementara pandangan yang menyatakan konsepsi tersebut terasa
mengukuhkan sikap sentralistik dalam kebijakan pemerintahan daerah dan
otonomi daerah. Pandangan demikian tentu sangat keliru karena konsepsi Negara
Kesatuan Republik Indonesia adalah prinsip yang relevan dijadikan landasan bagi
daerah untuk berkiprah didalam lingkungan negara. Disamping Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia 1945 sebagai konstitusi dan fundamental,
hukum negara tetap meletakkan konsepsi Negara Kesatuan Republik Indonesia
sebagai prinsip dasar bernegara, juga karena konsepsi tersebut memposisikan
daerah sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari negara dan meletakkan negara
sebagai organisasi kekuasaan yang menampung kehendak daerah. Oleh sebab itu,
secara normatif maupun empiris, antara kepentingan nasional dan kepentingan
daerah dalam konsepsi Negara Kesatuan Republik Indonesia akan tetap
tertampung secara proporsional.
Dengan mendasarkan pada pemahaman yang demikian ideal tersebut,
dalam menghadapi gejala euforia yang begitu deras di daerah pemerintah
mempunyai pedoman yang tepat dalam memandu pelaksanaan otonomi daerah
ini. Pemerintah harus mampu memahami dan mengamati aspirasi dan kebijakan
yang berkembang di daerah agar tidak mengarah pada tuntunan yang destruktif
dan menggoyahkan konsepsi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Semua
aspirasi dan kebijakan daerah harus dipandu kearah aspirasi yang positif guna
memberdayakan daerah itu sendiri dalam kerangka Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Prinsip integrasi bangsa dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia 1945 harus tetap dipegang teguh dan dijadikan acuan dalam
suatu pengambilan kebijakan, baik ditingkat pemerintahan pusat maupun
pemerintahan daerah.
Negara Republik Indonesia sebagai negara kesatuan menganut asas
desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah, dengan
memberikan kesempatan dan keleluasaan kepada daerah untuk menyelenggarakan
otonomi. Pelaksanaan desentralisasi yang menghasilkan otonomi tersebut

115
dijalankan dan dikembangkan dalam dua nilai dasar, yaitu nilai unitaris dan nilai
desntralisasi territorial. Niali dasar unitaris diwujudkan dalam pandangan Negara
Kesatuan Republik Indonesia tidak akan mempunyai kesatuan pemerintah lain
didalamnya yang bersifat negara. Artinya, kedaulatan yang melekat pada rakyat,
bangsa, dan Negara Republik Indonesia tidak akan terbagi diantara kesatuan
pemerintahan. Sementara itu, nilai dasar desentralisasi territorial diwujudkan
dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah dalam bentuk otonomi.
Secara esensial sebenarnya dalam penyelenggaraan desentralisasi terdapat
dua elemen penting yang saling berkaitan, yaitu pembentukan daerah otonom dan
penyerahan kekuasaan secara hukum dari pemerintah pusat ke pemerintahan
daerah untuk mengatur dan menangani urusan pemerintahan tertentu yang
diserahkan. Peraturan perundang-undangan, khususnya Undang-undang Nomor
32 Tahun 2004 tentang pemerintaha daerah, yang merupakan perubahan
Undangundang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, telah secara
limitatif menentukan urusan pemerintahan yang tidak diserahkan kepada
pemerintahan pusat. Hal ini menunjukkan adanya penyerahan kekuasaan yng
dilandasi dengan hukum.
Dalam tataran yuridis-formatif, Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 telah menentukan konsep Indonesia sebagai Eenheidstaat
sehingga didalamnya tidak dimungkinkan adanya daerah yang bersifat staat juga.
Hal ini berarti pembentukan daerah otonomi di Indonesia diletakkan dalam
kerangka desentralisasi dengan tiga ciri utama, yaitu:
a. Tidak dimilikinya kedaulatan yang bersifat semu kepada daerah selayaknya
dalam negara bagian pada negara yang berbentuk federal;
b. Desentralisasi dimanifestasikan dalam bentuk penyerahan atas urusan
pemerintahan tertentu yang ditetapkan dalam suatu peraturan
perundangundangan tingkat nasional;
c. Penyerahan urusan tersebut dipresentasikan sebagai bentuk pengakuan
pemerintah pusat pada pemerintah daerah dalam rangka mengurus rumah
tangganya sendiri berdasarkan ciri khasnya masing-masing.

116
Dengan demikian, desentralisasi jelas merupakan sarana untuk mencapai
tujuan bernegara dalam mewujudkan kesatuan bangsa (national unity) yang
demokratis. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
sebagai konstitusi negara selalu menekankan konsepsi negara tersebut sebagai
bentuk keseimbangan antara kebutuhan menerapkan otonomi daerah dan
kebutuhan memperkuat persatuan nasional.
Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah selain merupakan panduan nyata dalam pelaksanaan otonomi daerah, juga
merupakan politik hukum otonomi daerah diwujudkan dalam kebijakan yang
terukur, terarah, dan terencana oleh pemerintahan pusat. Kebijakan demikian
perlu dilakukan agar konsep pelaksanaan otonomi daerah tetap berada pada
panduan dan garis politik hukum nasional.
Oleh sebab itu, otonomi daerah yang dijalankan selain bersifat nyata dan
luas, tetap harus dilaksanakan secara bertanggungjawab. Maksudnya otonomi
daerah harus dipahami sebagai perwujudan bertanggungjawab konsekuensi
pemberian hak dan kewenangan kepada daerah dalam wujud tugas dan kewajiban
yang harus dilaksanakan daerah. Tugas dan kewajiban dalam pelaksanaan
otonomi daerah adalah berupa peningkatan pelayanan dan kesejahteraan
masyarakat, pengembangan kehidupan demokrasi, penegakan keadilan dan
pemerataan, serta pemeliharaan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah
serta antar daerah dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.

8.3.Pembagian urusan Pemerintahan Pusat dan Pemerintahan Daerah


Urusan Pemerintahan Pusat Pemerintahan daerah menyelenggarakan
urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan
yang oleh Undang-undang ditentukan menjadi urusan pemerintah pusat. Urusan
pemerintahan yang menjadi urusan Pemerintah Pusat meliputi:
1. politik luar negeri;
2. pertahanan;
3. keamanan;
4. yustisi;

117
5. moneter dan fiskal nasional;
6. agama ;
7. norma ; dan
8. ekonomi
Penyelenggaraan urusan pemerintahan dibagi berdasarkan kriteria
eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi dengan memperhatikan keserasian
hubungan antar susunan pemerintahan. Urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangan pemerintahan daerah, yang diselenggarakan berdasarkan kriteria di
atas terdiri atas urusan wajib dan urusan pilihan.
Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah provinsi
merupakan urusan dalam skala provinsi yang meliputi 16 buah urusan. Urusan
pemerintahan provinsi yang bersifat pilihan meliputi urusan pemerintahan yang
secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat
sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan.
Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah kabupaten
atau daerah kota merupakan urusan yang berskala kabupaten atau kota meliputi 16
buah urusan. Urusan pemerintahan kabupaten atau kota yang bersifat pilihan
meliputi urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan
potensi unggulan daerah yang bersangkutan.
Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangan daerah, pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya
untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas
otonomi dan tugas pembantuan.
Pemerintahan daerah dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan
memiliki hubungan dengan pemerintah pusat dan dengan pemerintahan daerah
lainnya. Hubungan tersebut meliputi hubungan wewenang, keuangan, pelayanan
umum, pemanfaatan sumber daya alam, dan sumber daya lainnya. Hubungan
keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam, dan sumber daya
lainnya dilaksanakan secara adil dan selaras. Hubungan wewenang, keuangan,
pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya

118
menimbulkan hubungan administrasi dan kewilayahan antarsusunan
pemerintahan.
Urusan pemerintahan yang dibagi bersama antar tingkatan dan/atau
susunan pemerintahan adalah semua urusan pemerintahan di luar urusan
sebagaimana disebutkan di atas yang terdiri atas 31 (tiga puluh satu) bidang
urusan pemerintahan meliputi:
1. pendidikan;
2. kesehatan;
3. pekerjaan umum;
4. perumahan;
5. penataan ruang;
6. perencanaan pembangunan;
7. perhubungan;
8. lingkungan hidup;
9. pertanahan;
10. kependudukan dan catatan sipil;
11. pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak;
12. keluarga berencana dan keluarga sejahtera;
13. sosial;
14. ketenagakerjaan dan ketransmigrasian;
15. koperasi dan usaha kecil dan menengah;
16. penanaman modal;
17. kebudayaan dan pariwisata;
18. kepemudaan dan olah raga;
19. kesatuan bangsa dan politik dalam negeri;
20. otonomi daerah, pemerintahan umum, administrasi keuangan daerah,
perangkat daerah, kepegawaian, dan persandian;
21. pemberdayaan masyarakat dan desa;
22. statistik;
23. kearsipan;
24. perpustakaan;

119
25. komunikasi dan informatika;
26. pertanian dan ketahanan pangan;
27. kehutanan;
28. energi dan sumber daya mineral;
29. kelautan dan perikanan;

8.4. Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah


Urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan
perundangundangan. Pemerintahan daerah provinsi dan pemerintahan daerah
kabupaten/kota dalam melaksanakan urusan pemerintahan wajib dan pilihan
berpedoman kepada norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh
Menteri/kepala lembaga pemerintah non departemen untuk pelaksanaan urusan
wajib dan urusan pilihan. Pembagian urusan antar pemerintah, pemprov dan
pemkab diatur lebih lanjut dalam PP No 38 tahun 2007.
A. Hubungan keuangan antara pempus dan pemda Pasal 15 ayat 1 UU
No.32/2004 meliputi :
a. Pemberian sumber-sumber keuangan untuk menyelenggarakan urusan
pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah;
b. pengalokasian dana perimbangan kepada pemerintahan daerah; dan
c. pemberian pinjaman dan/atau hibah kepada pemerintahan daerah
B. Hubungan dalam bidang keuangan antar pemerintahan daerah meliputi :
a. bagi hasil pajak dan nonpajak antara pemerintahan daerah provinsi dan.
pemerintahan daerah kabupaten/kota;
b. pendanaan urusan pemerintahan yang menjadi tanggung jawab bersama;
c. pembiayaan bersama atas kerja sama antar daerah; dan
d. pinjaman dan/atau hibah antar pemerintahan daerah.
C. Hubungan dalam bidang pelayanan umum
Antara Pempus dan pemda (vertikal) meliputi :
a. kewenangan, tanggung jawab, dan penentuan standar pelayanan minimal;
b. pengalokasian pendanaan pelayanan umum yang menjadi kewenangan
daerah; dan
120
c. fasilitasi pelaksanaan kerja sama antar pemerintahan daerah dalam
penyelenggaraan pelayanan umum.
D. Antar pemerintahan daerah (horisontal) meliputi :
a. pelaksanaan bidang pelayanan umum yang menjadi kewenangan daerah;
b. kerja sama antar pemerintahan daerah dalam penyelengaraan pelayanan
umum; dan
c. pengelolaan perizinan bersama bidang pelayanan umum.
E. Hubungan dalam bidang pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya
lainnya
F. Antara Pemerintah dan pemerintahan daerah
a. kewenangan, tanggung jawab, pemanfaatan, pemeliharaan, pengendalian
dampak, budidaya, dan pelestarian;
b. bagi hasil atas pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya;
dan
c. penyerasian lingkungan dari tata ruang serta rehabilitasi lahan G. Antar
pemerintahan daerah (horisontal) meliputi :
a. Pelaksanaan pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya
yang menjadi kewenangan daerah;
b. Kerja sama dan bagi hasil atas pemanfaatan sumber daya alam. dan
sumber daya lainnya antar pemerintahan daerah; dan
c. Pengelolaan perizinan bersama dalam pemanfaatan sumber daya alam dan
sumber daya lainnya.

Daerah yang memiliki wilayah laut diberikan kewenangan untuk


mengelola sumber daya di wilayah laut. Daerah mendapatkan bagi hasil atas
pengelolaan sumber daya alam di bawah dasar dan/atau di dasar laut sesuai
dengan peraturan perundang-undangan. Kewenangan daerah untuk mengelola
sumber daya di wilayah laut) meliputi:
1. eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut;
2. pengaturan administratif;
3. pengaturan tata ruang;

121
4. penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh daerah atau
yang dilimpahkan kewenangannya oleh Pemerintah; 5. ikut serta dalam
pemeliharaan keamanan; dan
6. ikut serta dalam pertahanan kedaulatan negara.
Kewenangan untuk mengelola sumber daya di wilayah laut paling jauh 12
(dua belas) mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah
perairan kepulauan untuk provinsi dan 1/3 (sepertiga) dari wilayah kewenangan
provinsi untuk kabupaten/kota. Apabila wilayah laut antara 2 (dua) provinsi
kurang dari 24 (dua puluh empat) mil, kewenangan untuk mengelola sumber
daya. Di wilayah laut dibagi sama jarak atau diukur sesuai prinsip garis tengah
dari wilayah antar 2 (dua) provinsi tersebut, dan untuk kabupaten/kota
memperoleh 1/3 (sepertiga) dari wilayah kewenangan provinsi dimaksud.
Model Hubungan Pusat dan Daerah
A. Hubungan kedudukan pemerintah daerah terhadap pusat menurut Dennis
Kavanagh:
1. Agency Model : pemerintah daerah dianggap sebagai pelaksana belaka

2. Partnership Model : pemerintah daerah memiliki kebebasan untuk melakukan


local choice
B. Sistem Hubungan Pusat dan Daerah menurut Nimrod Raphaeli:

1. Comprehensive Local Government System : pemerintah pusat banyak sekali


menyerahkan urusan dan wewenangnya kepada pemerintah daerah.
Pemerintah Daerah memiliki kekuasaan yang besar.
2. Partnership System : beberapa urusan yang jumlahnya cukup memadai
diserahkan oleh pusat kepada daerah, wewenang lain tetap di pusat.
3. Dual System : imbangan kekuasaan pusat dan daerah telah mulai lebih banyak
dimiliki pusat pada daerah yang bersangkutan.
4. Integrated Administrative System : Pusat mengatur secara langsung daerah
bersangkutan mengenai segala pelayanan teknis melalui koordinatornya yang
berada di daerah/wilayah.

122
Lingkup hubungan pusat dan daerah antara lain meliputi hubungan
kewenangan, , organisasi, keuangan, dan pengawasan.

8.5. Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah


A. Peraturan Daerah (Perda)
Kewenangan membuat peraturan daerah (perda), merupakan wujud
nyata pelaksanaan hak otonomi yang dimiliki oleh suatu daerah dan
sebaliknya, peraturan daerah merupakan satu sarana dalam penyelenggaraan
otonomi daerah.
Perda ditetapkan oleh kepala daerah setelah mendapat persetujuan
bersama DPRD, untuk penyelenggaraan otonomi yang dimiliki oleh
provinsi/kabupaten/kota, serta tugas pembantuan. Perda pada dasarnya
merupakan penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang
lebih tinggi, dengan memperhatikan ciri khas masing-masing daerah. Perda
yang dibuat oleh satu daerah, tidak boleh bertentangan dengan kepentingan
umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, dan baru
mempunyai kekuatan mengikat setelah diundangkan dengan dimuat dalam
lembaran daerah.
Pengertian “bertentangan dengan kepentingan umum” dalam hal ini
adalah kebijakan yang berakibat, terganggunya kerukunan anatarwarga
masyarakat, terganggunya ketentraman/ketertiban umum, serat kebijakan yang
berifat diskriminatif. Perda yang ternyata bertentangan dengan kepentingan
umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dapat
dibatalkan oleh pemerintah pusat dan hal dilakukan dalam rangka
melaksanakan fungsi pengawasan yang dimiliki oleh pemerintah pusat.
Karena perda merupakan bagian dari perundang-undangan,
pembentukan suatu perda harus berdasarkan pada asas pembentukkan
peraturan perundang-undangan pada umumnya yang terdiri dari: pertama,
Kejelasan tujuan; kedua, Kelembagaan atau organ pembentukan yang tepat;
ketiga, Kesesuaian antara jenis dan materi muatan; keempat, Dapat
dilaksanakan; kelima, Kedayagunaan dan kehasilgunaan; keenam, Kejelasan
rumusan; dan ketujuh, Keterbukaan.
123
Semetara itu, materi muatan suatu perda mengandung asas: 1)
Pengayoman; 2) Kemanusiaan; 3) Kebangsaan; 4) Kenusantaraan; 5) Bhineka
Tunggal Ika; 6) Keadilan; 7) Kesamaan kedudukan dalam hukum dan
pemerintahan; 8) Ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau 9) Keseimbangan,
keserasian dan keselarasan.
Disamping asas tersebut diatas, perda juga dapat memuat asas lain
dengan substansi perda yang bersangkutan. Dari beberapa asas tersebut diatas,
dapat disimpulkan bahwa perda yang baik itu adalah yang memuat ketentuan,
antara lain:
1. Memihak kepada kepentingan rakyat banyak;
2. Menjunjung tinggi hak asasi manusia;
3. Berwawasan lingkungan dan budaya.
Sementara itu, tujuan utama dari suatu perda adalah untuk
mewujudkan kemandirian daerah dan memberdayakan masayarakat. Dalam
proses pembentukan suatu perda, masyarakat berhak untuk memberikan
masukan, baik secara lisan maupun tertuis. Keterlibatan masyarakat ini,
dimulai dari proses penyiapan sampai pada waktu pembahasan rancangan
perda. Penggunaan hak masyarakat ini dalam pelaksanaannya diatur dalam
peraturan tata tertib DPRD.
Rancangan perda dapat berasal dari DPR (hak inisiatif) juga dapat
berasal dari gubernur atau bupati/wali kota. Apabila dalam suatu masa
persidangan, DPRD dan gubernur atau bupati/wali kota menyampaikan
rancangan perda mengenai materi yang sama, yang dibahas adalah rancangan
yang disampaikan DPRD, sedangkan rancangan yang disampaikan gubernur
atau bupati/wali kota digunakan sebagai bahan untuk diperbandingkan.
Mengenai tata cara mempersiapkan rancangan perda yang berasal dari
gubernur atau bupati/wali kota, diatur dengan peraturan presiden. Rancangan
perda yang berasal dari DPRD disampaikan oleh anggota komisi, gabungan
komisi atau alat kelengkapan DPRD yang khusus menangani bidang legislasi.
Mengenai tata cara mempersiapkan rancangan perda, yang merupakan hak
inisiatif DPRD, diatur dalam peraturan tata tertib DPRD. Dalam rangka

124
sosialisasi dan publikasi rancangan perda yang berasal dari DPRD,
penyebarluasannya dilakukan oleh sekretariat DPRD, sedangkan
penyebarluasan rancangan perda yang berasal dari gubernur atau bupati/wali
kota dilakukan oleh sekretariat daerah.
Agar perda berfungsi secara efektif, suatu perda dapat memuat sanksi
yang berupa:
1. Pembebanan biaya paksaan, penegakan hukum, seluruhnya atau sebagian
kepada pelanggar sesuai dengan peraturan perundang-undangan;
2. Pidana kurungan 6 bulan atau denda paling banyak Rp50.000.000,-.
3. Ancaman pidana atau denda selain dari yang telah disebutkan diatas sesuai
dengan yang diatur dalam perundang-undangan lainnya.
Proses penetapan suatu perda dilakukan dengan ketentuan sebagia berikut:
1. Rancangan perda yang telah disetujui bersama oleh DPRD dan gubernur
atau bupati/wali kota, disampaikan oleh pimpinan DPRD kepada gubernur
atau bupati/wali kota, untuk ditetapkan sebagai perda.
2. Penyampaian rancangan oleh pimpinan DPRD kepada gubernur atau
bupati/wali kota, dilakukan dalam jangka waktu paling lama tujuh hari,
terhitung sejak tanggal persetujuan bersama diberikan.
3. Rancangan perda dimaksud diberikan kepada gubernur atau bupati/wali
kota, paling lambat tiga puluh hari sejak rancanan tersebut mendapat
persetujuan bersama.
4. Apabia rancangan dimaksud tidak ditetapkan oleh gubernur atau
bupati/wali kota dalam waktu tiga puluh hari tersebut, rancangan tersebut
sah menjadi perda dan wajib diundangkan dengan memuatnya dalam
lembaran daerah.
5. Apabila suatu perda tidak ditetapkan oleh gubernur atau bupati/wali kota
dalam tenggang waktu tiga puluh hari tersebut diatas, perda tersebut
dinyatakan sah dengan mencantumkan kalimat pengesahannya pada
halaman terakhir perda yang bersangkutan, yang berbunyi “perda ini
dinyatakan sah” dan diundangkan sebagaimana mestinya dengan
memuatnya dalam lembaran daerah.

125
Perda yang sudah ditetapkan atau dinyatakan sah disampaikan kepada
pemerintah pusat selambat-lambatnya tujuh hari setelah ditetapkan. Apabila
perda dimaksud ternyata bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, dapat dibatalkan oleh
pemerintah pusat. Pembatalan perda tersebut, ditetapkan dengan peraturan
presiden, dan dilakukan dalam tenggang waktu paling lama enam puluh hari
sejak diterimanya perda tersebut. Kepala daerah yang bersangkutan, paling
lama tujuh hari setelah keputusan pembatalan, harus memberhentikan
pelaksanaan perda tersebut dan selanjutnya DPRD bersama kepala daerah
mencabut perda dimaksud.
Apabila provinsi/kabupaten/kota tidak dapat menerima keputusan
pembatalan perda tersebut, dengan alasan yang dapat dibenarkan oleh
peraturan perundang-undangan, kepala daerah yang bersangkutan dapat
mengajukan keberatan kepada Mahkamah Agung. Seandainya keberatan
tersebut dikabulkan sebagian atau seluruhnya, peraturan presiden tentang
pembatalan perda dimaksud dinyatakan tidak berlaku.
B. Peraturan Kepala Daerah
Peraturan kepala daerah, yang di dalam UU No. 22 Tahun 1999
disebut keputusan kepala daerah, pada dasarnya sama. Penyebutan kepala
daerah bertujuan untuk memperjelas bahwa keputusan kepala daerah yang
dimaksud, berisi ketentuan peraturan (keputusan yang bersifat in abstracto).
Hal ini untuk mencegah timbulnya kerancuan dengan keputusan kepala daerah
yang bersifat inkoncrito (keputusan berkenaan dengan objek tertentu atau
tidak bersifat mengatur secara umum).
Untuk melaksanakan suatu perda, kepala daerah berdasarkan kuasa
undang-undang, menetapkan peraturan kepala daerah. Sama halnya dengan
perda, peraturan kepala daerah juga tidak boleh bertentangan dengan
kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Peraturan kepala daerah baru mempunyai kekuatan mengikat setelah
diundangkan dengan dimuat dalam Berita Daerah oleh sekretaris daerah. Agar

126
perda dan peraturan kepala daerah bisa berfungsi secara efektif, harus
dilakukan hal diantaranya:
1. Mensosialisasi perda dan peraturan kepala daerah dengan
menyebarluaskan ke tengah-tengah masyarakat, terutama stake holders
yang bersangkutan;
2. Melakukan upaya penegakan hukum khusus perda. Untuk itu, dibentuk
Satuan Polisi Pamong Praja. Disamping tugasnya menyelenggarakan
ketertiban umum dan ketentraman masyarakat, Polisi Pamong Praja juga
bertugas melakukan upaya penegakan hukum, khusus perda. Pembentukan
Polisi Pamong Praja ini berpedoman pada peraturan pemerintah.
Anggota satuan Polisi Pamong Praja juga dapat diangkat sebagai
penyidik pegawai negeri sipil sesuai ketentuan perundang-undangan.
Penyidikan dan penuntutan terhadap pelanggaran perda dilakukan oleh pejabat
penyidik dan penuntut umum sesuai peraturan perundang-undangan, yaitu
penyidik dari Polri dan penuntut dari Kejaksaan. Di samping itu, melalui
perda dapat juga ditunjuk pejabat lain yang diberi tugas untuk melakukan
penyidikan terhadap pelanggaran atas ketentuan yang termuat dalam perda.
8.6. Penyelenggaraan Otonomi Daerah di Indonesia
Penyelenggaraan pemerintahan daerah adalah pemerintah daerah dan DPRD.
Dalam menyelenggarakan pemerintahan, pemerintah pusat menggunakan asas
desentralisasi, tugas pembantuan, serta dekonsentrasi sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Sementara itu, pemerintah daerah dalam
menyelenggarakan pemerintahan menggunakan asas desentralisasi dan tugas
pembantuan.
Dalam penyelenggaraan pemerintahan, pemerintah daerah
berpedoman pada Asas Umum Penyelenggaraan Negara, yang di dalam
Hukum Administrasi Negara dikenal dengan “Asas-asas umum pemerintahan
yang layak”. Di negeri Belanda, asas-asas umum pemerintahan yang layak ini
sudah diterima oleh penyelenggara pemerintahan, terutama Pejabat Tata Usaha
Negara, dalam membuat keputusan Tata Usaha Negara. Sebelumnya dalam
praktik penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia, asas-asas ini sudah mulai

127
diterima, walaupun secara formal belum diakui sebagai suatu norma hukum
tidak tertulis yang harus ditaati oleh penyelenggara pemerintahan, baik pusat
maupun di daerah. Secara yuridis formal, hal semacam ini baru diakui di
negara kita, dengan diundangkan UU No. 28 Tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Negara yang bersih, bebas dari Korupsi, Kolusi dan
Nepotisme (KKN), ditambah asas efisiensi dan asas efektivitas. Kemudian
dalam pasal 20 UU No. 32 Tahun 2004 ditegaskan bahwa asas-asas tersebut
dijadikan sebagai pedoman dalam penyelenggaraan pemerintah daerah. Asas
dimaksud disebut dengan “Asas Umum Penyelenggaraan Negara”, yang dirinci
antara lain: asas kepastian hukum, asas tertib penyelenggara negara, asas
kepentingan umum, asas keterbukaan, asas proporsionalitas, asas
profesionalitas, asas akuntabilitas, asas efisiensi, dan asas efektivitas.
Dalam menyelenggarakan fungsi-fungsi pemerintahan, terutama dalam
penyelenggaraan otonomi, daerah dibekali dengan hak dan kewajiban tertentu.
Hak-hak daerah tersebut antara lain: pertama, mengatur dan mengurusi sendiri
urusan pemerintahannya; kedua, memilih pemimpin daerah; ketiga, mengelola
aparatur daerah; keempat, mengelola kekayaan daerah; kelima, memungut
pajak daerah dan retribusi daerah; keenam, mendapatkan bagi hasil dari
pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya lainnnya yang berada di
daerah; ketujuh, mendapatkan sumber-sumber pendapatan lain yang sah; dan
kedelapan, mendapatkan hak lainnya yang diatur dalam peraturan
perundangundangan. Disamping hak-hak tersebut di atas, daerah juga dibebani
beberapa kewajiban, yaitu:
1. Melindungi masyarakat, menjaga persatuan, kesatuan dan kerukunan
nasional, serta keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
2. Meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat;
3. Mengembangkan kehidupan demokrasi;
4. Mewujudkan keadilan dan pemerataan;
5. Meningkatkan pelayanan dasar pendidikan;
6. Menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan;
7. Menyediakan fasilitas sosial dan fasilitas umum yang layak;

128
8. Mengembangkan sistem jaminan sosial;
9. Menyusun perencanaan dan tata ruang daerah;
10. Mengembangkan sumber daya produktif di daerah;
11. Melestarikan lingkungan hidup
12. Mengelola administrasi kependudukan;
13. Melestarikan nilai sosial budaya;
14. Membentuk dan menerapkan peraturan perundang-undangan sesuai dengan
kewenangan; dan
15. Kewajiban lainnya diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Pelaksanaan Otonomi Daerah di Indonesia
Sejak diberlakukannya UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah, banyak aspek positif yang diharapkan dalam pemberlakuan
UndangUndang tersebut. Otonomi Daerah memang dapat membawa perubahan
positif di daerah dalam hal kewenangan daerah untuk mengatur diri sendiri.
Kewenangan ini menjadi sebuah impian karena sistem pemerintahan yang
sentralistik cenderung menempatkan daerah sebagai pelaku pembangunan yang
tidak begitu penting atau sebagai pelaku pinggiran. Tujuan pemberian otonomi
kepada daerah sangat baik, yaitu untuk memberdayakan daerah, termasuk
masyarakatnya, mendorong prakarsa dan peran serta masyarakat dalam proses
pemerintahan dan pembangunan.
Pada masa lalu, pengerukan potensi daerah ke pusat terus dilakukan
dengan dalih pemerataan pembangunan. Alih-alih mendapatkan manfaat dari
pembangunan, daerah justru mengalami proses pemiskinan yang luar biasa.
Dengan kewenangan yang didapat daerah dari pelaksanaan Otonomi Daerah,
banyak daerah yang optimis bakal bisa mengubah keadaan yang tidak
menguntungkan tersebut. Beberapa contoh keberhasilan dari berbagai daerah
dalam pelaksanaan otonomi daerah yaitu:
1. Di Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah, masyarakat lokal dan LSM yang
mendukung telah berkerja sama dengan dewan setempat untuk merancang
suatu aturan tentang pengelolaan sumber daya kehutanan yang bersifat
kemasyarakatan. Aturan itu ditetapkan pada bulan Oktober yang

129
memungkinkan bupati mengeluarkan izin kepada masyarakat untuk
mengelola hutan milik negara dengan cara yang berkelanjutan.
2. Di Gorontalo, Sulawesi, masyarakat nelayan di sana dengan bantuan
LSMLSM setempat serta para pejabat yang simpatik di wilayah provinsi
baru tersebut berhasil mendapatkan kembali kontrol mereka terhadap
wilayah perikanan tradisional/adat mereka.
Kedua contoh di atas menggambarkan bahwa pelaksanaan Otonomi
Daerah dapat membawa dampak positif bagi kemajuan suatu daerah. Kedua
contoh diatas dapat terjadi berkat adanya Otonomi Daerah di daerah terebut.
Selain membawa dampak positif bagi suatu daerah otonom, ternyata
pelaksanaan Otonomi Daerah juga dapat membawa dampak negatif. Selain
karena kurangnya kesiapan daerah-daerah yang tidak kaya akan sumber daya
dengan berlakunya otonomi daerah, dampak negatif dari otonomi daerah juga
dapat timbul karena adanya berbagai penyelewengan dalam pelaksanaan
Otonomi Daerah tersebut.
Berbagai penyelewengan dalam pelaksanan otonomi daerah: Adanya
kecenderungan pemerintah daerah untuk mengeksploitasi rakyat melalui
pengumpulan pendapatan daerah, Penggunaan dana anggaran yang tidak
terkontrol, Rusaknya Sumber Daya Alam disebabkan karena adanya keinginan
dari Pemerintah Daerah untuk menghimpun pendapatan asli daerah (PAD), di
mana Pemerintah Daerah menguras sumber daya alam potensial yang ada,
tanpa mempertimbangkan dampak negatif/kerusakan lingkungan dan prinsip
pembangunan berkelanjutan, Bergesernya praktik korupsi dari pusat ke daerah,
Pemerintahan kabupaten juga tergoda untuk menjadikan sumbangan yang
diperoleh dari hutan milik negara dan perusahaan perkebunaan bagi budget
mereka.
Penyebab tidak optimalnya pelaksanaan Otonomi Daerah di Indonesia:
Lemahnya pengawasan maupun check and balances, Pemahaman terhadap
Otonomi Daerah yang keliru, baik oleh aparat maupun oleh warga masyarakat
menyebabkan pelaksanaan Otonomi Daerah menyimpang dari tujuan
mewujudkan masyarakat yang aman, damai dan sejahtera, Keterbatasan

130
sumberdaya dihadapkan dengan tuntutan kebutuhan dana (pembangunan dan
rutin operasional pemerintahan) yang besar, memaksa Pemda menempuh
pilihan yang membebani rakyat, Kesempatan seluas-luasnya yang diberikan
kepada masyarakat untuk berpartisipasi dan mengambil peran, juga sering
disalah artikan, seolah-olah merasa diberi kesempatan untuk mengekspolitasi
sumber daya alam dengan cara masing-masing semaunya sendiri, Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), yang seharusnya berperan mengontrol dan
meluruskan segala kekeliruan implementasi Otonomi Daerah tidak
menggunakan peran dan fungsi yang semestinya, Kurangnya pembangunan
sumber daya manusia / Sumber Daya Manusia (moral, spiritual intelektual dan
keterampilan) yang seharusnya diprioritaskan.
8.7. Kewenangan Daerah dalam Pelaksanaan Pemerintah Daerah
Daya tarik terpenting dari Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 yang
telah diubah dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemerintah
Daerah adalah ditetapkannya metode pemilihan langsung untuk memilih kepala
daerah. Pasal 24 ayat 5 Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 menegaskan kepala
daerah dan wakil kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat di daerah yang
bersangkutan. Kepala daerah terpilih, akan memikul tanggung jawab kekuasaaan
dengan melandaskan diri pada asas-asas penyelenggaraan negara.
Pasal 19 ayat 2 Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah
Daerah menegaskan bahwa penyelenggara pemerintah daerah adalah pemerintah
daerah dan DPRD. Memilih kepala daerah secara langsung merupakan satu dari
delapan hak yang dipunyai daerah. Pasal 21 undang-undang Nomor 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah menegaskan adanya delapan hak yang
dipunyai daerah dalam menyelenggarakan otonomi yaitu;
a. Mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya
b. Memilih pimpinan daerah.
c. Mengelola aparatur daerah.
d. Mengelolah kekayaan daerah
e. Memungut pajak daerah dan retribusi daerah.

131
f. Mendapatkan bagi hasil dari pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya
lainnya yang berada di daerah
g. Mendapatkan sumber-sumber pendapatan lain yang sah.
h. Mendapatkan hak lainnya yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Selain hak, daerah mempunyai kewajiban yang diatur dalam Pasal 2,
terdapat lima belas kewajiban yang dimilki oleh daerah yaitu:
a. Melindungi masyarakat, menjaga persatuan, kesatuan , dan kerukunan
nasional, serta keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia
b. Meningkatkatkan kualitas kehidupan masyarakat.
c. Mengembangkan kehidupan demokrasi.
d. Mewujudkan keadilan dan pemerataan.
e. Meningkatkan pelayanan dasar pendidikan.
f. Menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan.
g. Menyediakan fasilitas sosial dan fasilitas umum yang layak.
h. Mengembangkan sistem jaminan sosial.
i. Menyusun perencanaan dan tata ruang daerah.
j. Mengembangkan sumber daya produktif di daerah.
k. Melestarikan lingkungan hidup
l. Mengelolah administrasi kependudukan.
m. Melestarikan nilai sosial budaya.
n. Membentuk dan menerapkan peraturan perundang-undangan sesuai dengan
kewenangannya
o. Kewajiban lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan
Hak dan kewajiban daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dan
Pasal 22 diwujudkan dalam bentuk rencana kerja pemerintahan daerah dan
dijabarkan dalam bentuk pendapatan, belanja, , dan pembiayaan daerah yang
dikelola dalam sistem pengelolaan keuangan daerah. Pengelolaan keuangan
daerah tersebut dilakukan secara efesien, efektif, transparan, akunrabel, tertib,
adil, patut dan taat pada peraturan perundang-undangan.
Menurut Pasal 25 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 kepala daerah
mempunyai tugas dan kewenangan sebagai berikut:

132
a. Memimpin penyelenggaraan pemerintah daerah berdasarkan kebijakan yang
ditetapkan bersama DPRD.
b. Mengajukan rancangan Perda
c. Menetapakan Perda yang telah mendapat persetujuan bersama DPRD.
d. Menyusun dan mengajukan rancangan Perda tentang APBD kepada DPRD
untuk dibahas dan ditetapkan bersama.
e. Mengupayakan terlaksananya kewajiban daerah.
f. Mewakili daerahnya di dalam dan di luar pengadilan, dan dapat menunjuk
kuasa hukum untuk mewakilinya sesuai dengan peraturan
perundangundangan.
g. Melaksanakan tugas dan wewenang lain sesuai dengan peraturan
perundangundangan
Di masa lalu tugas seorang wakil kepala daerah hanya digariskan secara
umum, yaitu membantu tugas kepala daerah, atau menggantikan tugas kepala
daerah apabila kepala daerah berhalangan. Oleh karena itu muncul ironi bahwa
seorang wakil kepala daerah hanya bertugas sebagai ban serep.
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 menggariskan tugas-tugas wakil
kepala daerah secara lebih spesifik. Pasal 26 ayat 1 menjelaskan rincian tugas
seorang wakil kepala daerah, yaitu:
a. Membantu kepala daerah dalam menyelenggarakan pemerinthan daerah.
b. Membantu kepala daerah dalam mengkoordinasikan kegiatan-kegiatan
instansi vertical di daerah, menindaklanjuti laporan dan/atau temuan hasil
pengawasan, melaksanakan pemberdayaan perempuan dan pemuda, serta
mengupayakan pengembangan dan pelestarian sosial budaya dan lingkungan
hidup.
c. Memantau dan mengevaluasi penyelenggaraan pemerintah kabupaten dan
bagi wakil kepala daerah propinsi.
d. Memantau dan mengevaluasi penyelenggaraan pemerintahan di wilayah
kecamatan, kelurahan/dan atau desa bagi wakil kepala daerah kabupaten/kota.
e. Memberikan saran dan pertimbangan kepada kepala daerah dalam
penyelenggaraan kegiatan pemerintah daerah.

133
f. Melaksanakan tugas dan kewajiban pemerintahan lainnya yang diberikan oleh
kepala daerah.
g. Melaksanakan tugas dan wewenang kepala daerah apabila kepala daerah
berhalangan.
Pasal 26 ayat 2 mengatur ketentuan mengenai pertanggungjawaban tugas
seorang wakil kepala daerah. Dalam melaksanakan tugas-tugasnya seperti dirinci
di atas, wakil kepala daerah berttanggung jawab kepada kepala daerah. Prosedur
seperti itu berarti bahwa tugas-tugas seoarang wakil kepala daerah berada dalam
satu kesatuan yang utuh dan sinergitas dengan tugas-tugas kepala daerah, yang
kelak dipertanggungjawabkan bersama kepada DPRD.
Jika kepala daerah meninggal dunia, berhenti, diberhentikan atau tidak
dapat melakukan kewajiban selama enam bulan secara terus-menerus dalam masa
jabatannya, maka wakil kepala daerah akan menggantikan kepala daearh sampai
habis masa jabatannya. Ketentuan ini diatur dalam ayat 3 Pasal 26 Undang-
undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.
Dalam melaksanakan tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 25 dan Pasal 26, kepala daerah dan wakil kepala daerah mempunyai
kewajiban sebagai berikut:
a. Memegang teguh dan mengamalkan pancasila, melaksanakan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta mempertahankan dan
memelihara keutuhan Negara kesatuan republik Indonesia.
b. Meningkatkan kesejahteraan rakyat.
c. Memelihara ketentraman dan ketertiban masyarakat.
d. Melaksanakan kehidupan demokrasi.
e. Menaati dan menegakkan seluruh peraturan perundang-undangan.
f. Menjaga etika dan norma dalam penyelenggaraan pemerintah daerah.
g. Memajukan dan mengembangkan daya saing daerah.
h. Melaksanakan prinsip tata pemerintahan yang bersih dan baik.
i. Melaksanakan dan mempertanggungjawabkan pengelolaan keuangan daerah.
j. Menjalin hubungan kerja dengan seluruh instansi vertikal di daerah dan semua
perangkat daerah.

134
k. Menyampaikan rencana strategis penyelenggaraan pemerintahan daerah di
hadapan rapat paripurna DPRD.
Selain itu, kepala daerah mempunyai kewajiban juga untuk memberikan
laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada pemerintah, dan
memberikan laporan keterangan pertanggungjawaban kepada DPRD, serta
menginformasikan laporan penyelenggaraan pemerintah daerah kepada
masyarakat.
Laporan penyelenggaraan pemerintah daerah kepada pemerintah
disampaikan kepada presiden melaui Menteri Dalam Negeri untuk Gubernur, dan
kepada Menteri Dalam Negeri melalui Gubernur untuk Walikota satu kali dalam
satu tahun.
Laporan tersebut digunakan pemerintah sebagai dasar melakukan evaluasi
penyelenggaraan pemerintah daerah dan sebagai bahan pembinaan lebih lanjut
sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Ketentuan tentang laporan
penyelenggaraan pemerintah daerah ini tidak menutup adanya laporan lain baik
atas kehendak kepala daerah atau atas permintaan pemerintah.
8.8. Partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan Otonomi Daerah
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), partisipasi berarti
berperan serta (disuatu kegiatan), ikut serta: seluruh masyarakat harus
menyukseskan pembangunan bangsa dan negara. Pengertian otonomi daerah,
menurut Undang-Undang no. 32 tahun 2004, tentang pemerintah daerah pasal 1
ayat 5, otonomi daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah untuk
mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan
masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Partisipasi dalam pelaksanaan otonomi daerah dapat diartikan sebagai
kegiatan atau peran serta warga negara demi suksesnya pelaksanaan otonomi
daerah.Partisipasi warga negara tidak hanya mendukung ddan mendorong agar
daerah semakin maju dan mandiri tetapi juga membantu Negara atau pemerintah
hanya mampu mengatasi permasalahan-permasalahan yang timbul akibat
pelaksanaan otonomi daerah.

135
Pada dasarnya ,otonomi daerah merupakan pancaran kedaulatan rakyat.
Otonomi diseberikan oleh pemerintahan kepada masyarakat dan sama sekali
bukan kepada daerah ataupun pemerintahan daerah. Dengan demikian,
pernyataan bahwa otonomi merupaakan milik masyarakat tersebut sebagai subjek
dan bukannya objek.
Dengan adanya partisipasi proaktif masyarakat, baik kepada pemerintah
maupun DPRD, maka banyak sekali manfaat yang dirasakan oleh rakyatnya.
Disinilah pentingnya bila masyarakat selalu berpartisipasi, terlebih dalam
perumusan kebijakan public di daerah. Karena sesungguhnya masyarakat itu
sendiri yang lebih tahu akan kebutuhan dan permasalahannya. Pentingnya
partisipasi masyarakat dalam pemerintahan daerah
Sebagai warga negara Indonesia yang berdomisili atau bertempat tinggal
di suatu daerah, tent ki kita mempunyai hak dan kewajiban dalam upaya
mendukung suksesnya pembanguna di daerah. Disamping itu warga negara harus
tanggap terhadap ssegala kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintahan daerah.
Hal itu dimaksudkan
a. Agar kebijakan pemerintahan didaerah tidak menyompang dari peraturan
perundang-undangan yang berlaku
b. Agar pemerintahan di daerah sesuai dengan dasar negara pancasila dan UUD
1945
c. Agar pemerintahan di daerah selalu berpihak pada kepentingan rakyat
Dukungan warga negara terhadap pemerintahan di daerah dapat
diwujudkan dalam berbagai bentuk kegiatan, antara lain:
a. Mematuhi dan melaksanakan peraturan daerah
b. Melaksanakan kegiatan keamanan dan ketertiban masyarakat
c. Merawat keindahan lingkungan
d. Membayar pajak bumi dan bangunan
e. Membayar pajak kendaraan bermotor
Pentingnya partisipasi masyarakat dalam mendukung kinerja DPRD
Ada 2 faktor pendukung agar DPRD dapat menjalankan fungsi
pengawasannya dengan baik, yaitu

136
a. Faktor internal, yakni factor yang berasal dari dalam DPRD itu sendiri,
dalam arti bahwa anggota DPRD sebagai wakil rakyat, harus terus menerus
berusaha untuk meningkatkan kualitas kinerjanya. Adanya peningkatan
kualitas kinerjaini merupakan syarat agar kkepentingan rakyat terpenuhi.
b. Fator eksternal, yakni factor yang berasal dari luar DPRD, yang berupa
partisipasi masyarakat. Sebagai warga negara, hendaknya kita selalu
memberikan masukan kepada DPRD dalam berbagai bidang kehidupan
antara lain sebagai berikut:
1) Menyampaikan masukan tentang prmasalahan irigasi yang sangat
dibutuhkan masyarakat petani di desa
2) Menyampaikan masukan tentang permaslahan polotik uang ketika terjadi
pemilihan calon kepala daerah dan wakilnya.
3) Menyampaikan masukan tentang permasalahan keamanan dan ketrtiban
masyarakat.
Dukungan warga negara terhadap pemerintahan di daerah dapat
diwujudkan dalam berbagai bentuk kegiatan, antara lain:
1) Mematuhi dan melaksanakan peraturan daerah
2) Melaksanakan kegiatan keamanan dan ketertiban masyarakat
3) Merawat keindahan lingkungan
4) Membayar pajak bumi dan bangunan
5) Membayar pajak kendaraan bermotor
Apabila kebijakan publik itu hanya dibuat oleh pemerintah tanpa
melibatkan masyarakat dalam perumusan dan pelaksanaannya, kebijakan publik
itu akan dapat menimbulkan dampak negatif, antara lain: 1) Akan menimbulkan
protes atau penolakan dari masyarakat
2) Kebijakan tersebut tidak bisa dilaksanakan dengan baik
3) Bisa menimbulkan kecemasan dan keresahan masyarakat
4) Turunnya kewajiban pemerintah, serta
5) Turunnya kepercayaan masyarakat pada pemerintah.
Oleh karena dampak negatifnya sangat luas bila masyarakat tidak aktif
dalam perumusan dan pelaksanaan kebijakan publik, maka peran aktif dari

137
masyarakat sangat dibutuhkan. Konsekuensi dari tidak aktifnya masyarakat
dalam perumusan dan pelaksanaan kebijakan publik adalah sebagai berikut.
1) Kebijakan publik yang dibuat pemerintah belum tentu sesuai dengan
keinginan masyarakat.
2) Kebijakan tersebut dapat dimanfaatkan oleh orang-orang yang tidak
bertanggungjawab.
3) Kebijakan tersebut dapat dipergunakan kepentingan kelompok atau
golongannya.
4) Kebijakan publik itu tidak hanya diperuntukkan untuk kepentingan
masyarakat secara luas.
Apabila hal ini yang terjadi, maka masyarakat sendiri yang akan rugi.
Oleh karena itu, diperlukan partisipasi aktif masyarakat agar kebijakan yang
diambil pemerintah sesuai dengan harapan masyarakat. Kita sebagai warga
negara mempunyai tanggungjawab dan kewajiban turut serta mewujudkan
kemajuan bangsa dan negara. Bentuk partisipasi tersebut dapat dilakukan
dengan memberikan masukan kepada pemerintah dalam perumusan kebijakan
publik dan mengontrol pelaksaan kebijakan publik.
Kontrol masyarakat atas pelaksanaan kebijakan publik sangat penting
karena tanpa adanya kontrol dari masyarakat, kebijakan tersebut dapat
dimanfaatkan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab yang hanya
mengejar untuk kepentingan sendiri.
Masukan dari masyarakat sangat berharga bagi pemerintah. Daerah
banyaknya masukan dari masyarakat maka pemerintah dapat menyaring dan
memisahkan mana usulan atau saran yang hanya untuk perjuangan kepentingan
kelompok atau golongan, mana yang bertujuan untuk kesejahteraan seluruh
rakyat. Kita harus menghindari masuknya saran atau usul oleh orang-orang yang
tidak bertanggungjawab, yang hanya mengejar kepentingan sendiri atau
golongannya. Apabila hal ini terjadi maka pemerintah tidak dapat mewujudkan
suatu masyarakat yang adil dan makmur bagi seluruh rakyat.

138
8.9. Kesimpulan
Secara esensial dalam penyelenggaraan desentralisasi terdapat dua elemen
penting yang saling berkaitan, yaitu pembentukan daerah otonom dan penyerahan
kekuasaan secara hukum dari pemerintah pusat ke pemerintahan daerah untuk
mengatur dan menangani urusan pemerintahan tertentu yang diserahkan.
Dibentuk dan disahkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah yang telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 dan Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan
Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, yang telah diubah menjadi
Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 meskipun dianggap sebagai perubahan
fundamental dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, tetapi rumusan intinya
tetap mengacu pada konsepsi Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Urusan Pemerintahan Pusat Pemerintahan daerah menyelenggarakan
urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan
yang oleh Undang-undang ditentukan menjadi urusan pemerintah pusat. Urusan
pemerintahan yang menjadi urusan Pemerintah Pusat meliputi: (1) politik luar
negeri; (2) pertahanan; (3) keamanan; (4) yustisi; (5) moneter dan fiskal nasional;
(6) agama ; (7) norma ; dan (8) ekonomi. Pembagian urusan antar pemerintah,
pemprov dan pemkab diatur lebih lanjut dalam PP No 38 tahun 2007. Yang antara
lai mengenai Hubungan keuangan antara pempus dan pemda Pasal 15 ayat 1 UU
No.32/2004, hubungan dalam bidang keuangan antar pemerintahan daerah,
hubungan dalam bidang pelayanan umum, hubungan antara Pempus dan pemda
(vertikal), hubungan antar pemerintahan daerah (horisontal), dan hubungan dalam
bidang pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya
Kewenangan membuat peraturan daerah (perda), merupakan wujud nyata
pelaksanaan hak otonomi yang dimiliki oleh suatu daerah dan sebaliknya,
peraturan daerah merupakan satu sarana dalam penyelenggaraan otonomi daerah.
Peraturan kepala daerah, yang di dalam UU No. 22 Tahun 1999 disebut keputusan
kepala daerah, pada dasarnya sama. Penyebutan kepala daerah bertujuan untuk
memperjelas bahwa keputusan kepala daerah yang dimaksud, berisi ketentuan
peraturan (keputusan yang bersifat in abstracto). Hal ini untuk mencegah

139
timbulnya kerancuan dengan keputusan kepala daerah yang bersifat inkoncrito
(keputusan berkenaan dengan objek tertentu atau tidak bersifat mengatur secara
umum).
Penyelenggaraan pemerintahan daerah adalah pemerintah daerah dan
DPRD. Dalam menyelenggarakan pemerintahan, pemerintah pusat menggunakan
asas desentralisasi, tugas pembantuan, serta dekonsentrasi sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sementara itu, pemerintah daerah
dalam menyelenggarakan pemerintahan menggunakan asas desentralisasi dan
tugas pembantuan. Dalam penyelenggaraan pemerintahan, pemerintah daerah
berpedoman pada Asas Umum Penyelenggaraan Negara, yang di dalam Hukum
Administrasi Negara dikenal dengan “Asas-asas umum pemerintahan yang
layak”.
Dalam Pasal 19 ayat 2 Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang
Pemerintah Daerah menegaskan bahwa penyelenggara pemerintah daerah adalah
pemerintah daerah dan DPRD. Memilih kepala daerah secara langsung
merupakan satu dari delapan hak yang dipunyai daerah. Pasal 21 undang-undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menegaskan adanya delapan
hak yang dipunyai daerah dalam menyelenggarakan otonomi.
Dengan adanya partisipasi proaktif masyarakat, baik kepada pemerintah
maupun DPRD, maka banyak sekali manfaat yang dirasakan oleh rakyatnya.
Disinilah pentingnya bila masyarakat selalu berpartisipasi, terlebih dalam
perumusan kebijakan public di daerah. Karena sesungguhnya masyarakat itu
sendiri yang lebih tahu akan kebutuhan dan permasalahannya.

8.10. Saran
Masih banyak permasalahan yang terjadi dalam penyelenggaraan otonomi
daerah di Indonesia. Permasalahan tersebut harus segera diatasi agar pelaksanaan
otonomi daerah di Indonesia dapat terlaksana dengan baik.

140
BAB IX PEMILIHAN KEPALA DAERAH

9.1. Latar Belakang

Pengesahan Rancangan Undang-Undang mengenai Pemilihan Kepala


Daerah (Pilkada) oleh Dewan Perwakilan Rakyat yang disahkan beberapa waktu
lalu oleh DPR masih menyisakan polemik di dalam masyarakat. Banyak
masyarakat yang setuju/pro dengan disahkannya RUU tersebut dan banyak pula
yang tidak setuju/kontra dengan disahkannya RUU tersebut atau dengan kata lain
setuju dengan Pilkada langsung.
141
Polemik ini makin memanas di akhir pemerintahan pemerintah beberapa
bulan lalu, yang UU Pilkada Tidak Langsung ini adalah produk yang
menimbulkan banyak perbedaan pendapat. Para pihak yang setuju/pro pada
Pilkada tidak langsung/oleh DPR berasumsi bahwa menurut mereka Pancasila
sila keempat mengamanatkan demikian. Bagi mereka demokrasi perwakilan
adalah yang sesuai dengan bangsa Indonesia menilik sila keempat Pancasila.
Sedangkan para pihak yang setuju dengan Pilkada langsung berasumsi
bahwa Pilkada tidak langsung merupakan kemunduran demokrasi di Indonesia
adan mencederai kedaulatan rakyat. Mereka juga menyoroti bahwa bila Indonesia
menerapkan hal ini lagi maka apa bedanya Indonesia dengan pemerintahan orde
baru. Indonesia pernah menerapkan sistem ini dan menurut mereka tidak bagus.
Bagaimana efektivitas antara keduanya yaitu pemilihan kepala daerah
secara langsung dan melalui DPRD secara lebih lanjut akan dibahas pada bab
selanjutnya.

9.2. Pemilihan Kepala Daerah secara Langsung dan Melalui DPRD


Demokrasi merupakan salah satu bentuk atau mekanisme sistem
pemerintahan suatu negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat atau
negara yang dijalankan oleh pemerintah. Semua warga negara memiliki hak yang
setara dalam pengambilan keputusan yang dapat mengubah hidup mereka.
Demokrasi mengizinkan warga negara berpartisipasi baik secara langsung atau
melalui perwakilan dalam perumusan, pengembangan, dan pembuatan
hukum.Demokrasi berdasarkan cara menyampaikan pendapat terdiri atas
demokrasi langsung dan demokrasi tidak langsung atau demokrasi perwakilan.

Pemilihan kepala daerah secara langsung merupakan konsep dari


demokrasi langsung yang berarti demokrasi yang mengikutsertakan setiap warga
negaranya dalam permusyawaratan untuk menentukan kebijaksanaan umum
negara atau undang-undang. Demokrasi langsung juga dikenal dengan demokrasi
bersih. Disinilah rakyat memiliki kebebasan secara mutlak memberikan
pendapatnya dan semua aspirasi mereka dimuat dengan segera didsedangkan
alam satu pertemuan.
Ada lima pertimbangan penting penyelenggaraan pilkada langsung bagi
perkembangan demokrasi di Indonesia.
1. Pilkada langsung merupakan jawaban atas tuntutan aspirasi rakyat karena
pemilihan presiden dan wakil presiden, DPR, DPD, bahkan kepala desa
selama ini telah dilakukan secara langsung.

142
2. Pilkada langsung merupakan perwujudan konstitusi dan UUD 1945. Seperti
telah diamanatkan Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945, Gubernur, Bupati dan Wali
Kota, masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah provinsi,
kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis. Hal ini telah diatur dalam UU
No 32 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan
Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.
3. Pilkada langsung sebagai sarana pembelajaran demokrasi (politik) bagi rakyat
(civic education). Ia menjadi media pembelajaran praktik berdemokrasi bagi
rakyat yang diharapkan dapat membentuk kesadaran kolektif segenap unsur
bangsa tentang pentingnya memilih pemimpin yang benar sesuai nuraninya.
4. Pilkada langsung sebagai sarana untuk memperkuat otonomi daerah.
Keberhasilan otonomi daerah salah satunya juga ditentukan oleh pemimpin
lokal. Semakin baik pemimpin lokal yang dihasilkan dalam pilkada langsung
2005, maka komitmen pemimpin lokal dalam mewujudkan tujuan otonomi
daerah, antara lain untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan
selalu memerhatikan kepentingan dan aspirasi masyarakat agar dapat
diwujudkan.
5. Pilkada langsung merupakan sarana penting bagi proses kaderisasi
kepemimpinan nasional. Disadari atau tidak, stock kepemimpinan nasional
amat terbatas. Dari jumlah penduduk Indonesia yang lebih dari 200 juta,
jumlah pemimpin nasional yang kita miliki hanya beberapa. Mereka sebagian
besar para pemimpin partai politik besar yang memenangi Pemilu 2004.
Karena itu, harapan akan lahirnya pemimpin nasional justru dari pilkada
langsung ini.
Pemilihan kepala daerah secara tidak langsung/oleh DPRD yang berarti
demokrasi yang dilaksanakan melalui sistem perwakilan/corak pemerintahan
demokrasi yang dilakukan melalui badan perwakilan rakyat yang dipilih oleh
rakyat dan bertanggung jawab kepada rakyat.
Di Indonesia pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah,
atau seringkali disebut Pilkada atau Pemilukada, adalah pemilihan umum untuk
memilih Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara langsung di Indonesia
oleh penduduk daerah setempat yang memenuhi syarat. Sebelumnya, kepala
daerah dan wakil kepala daerah dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

143
(DPRD). Dasar hukum penyelenggaraan pilkada adalah Undang-Undang Nomor
32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam undang-undang ini, Pilkada
(pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah) belum dimasukkan dalam
rezim pemilihan umum (Pemilu). Pemilihan umum kepala daerah dan wakil
kepala daerah (Pilkada) menjadi bagian dari rezim pemilu sejak 2007. Pilkada
pertama di Indonesia adalah Pilkada Kabupaten Kutai Kartanegara pada 1 Juni
2005.

9.2.1.Kelebihan dan Kelemahan Pilkada secara Langsung dan Melalui DPRD

1. Pilihan Kepala Daerah secara langsung


Kelebihan pemilihan kepala daerah secara langsung diantaranya:
a) Rakyat memiliki kontrol terhadap kekusaan politik,
b) Demokrasi ini mampu meningkatkan kesadaran politik rakyatnya, serta
merangsang mereka untuk meningkatkan pengetahuan dan kapasitas
pribadinya,
c) Menurunkan kebergantungan rakyat kepada elite politik,
d) Mudah diterapkan pada komunitas dengan jumlah kecil.
Sedangkan kelemahan pemilihan kepala daerah secara langsung yaitu:
a) Sulit untuk diterapkan pada sebuah komunitas yang besar
b) Menguras banyak waktu untuk setiap kebijakan yang butuh diselesaikan
secara bersama sehingga dapat memicu apatisme

c) Tidak mudah untuk menghidari kelompok yang mayoritas atau dominan


d) Terdapatnya money politic dalam Pilkada
e) masyarakat lebih dekat dengan(konflik) politik dan karenanya berpotensi
melahirkan kehidupan bersama yang tidak stabil
2. Pemilihan kepala daerah secara tidak langsung atau oleh DPRD
Kelebihan pemilihan Kepala Daerah secara tidak langsung atau melalui
DPRD :
a) Lebih mudah digunakan untuk masyarakat yang plural
b) Meringankan beban masyarakat dari tugas yang berhubungan dengan
kebijakan bersama(perumusan dan pelaksanaan).
c) Kekuasaan dan fungsi-fungsi kenegaraan dipegang oleh orang yang lebih
berkapasitas
144
d) Tidak ada kerusuhan & kebencian antar pendukung kandididat kepala
daerah
e) Tidak ada politik uang untuk menyuap rakyat
f) Tidak ada demonstrasi anarkis dari massa calon kepala daerah yang kalah
atau merasa dicurangi
g) Tidak banyak menghabiskan anggaran daerah (APBD) untuk biaya
penyelenggaraan Pilkada
h) Tidak ada gugat menggugat di MK
Sedangkan kekurangan pemilihan kepala daerah secara tidak langsung atau
melalui DPRD :
a) Mungkin terjadi perbedaan kepentingan antara rakyat yang mendukung
dan wakil rakyat yang mewakili
b) Rakyat mudah kecewa karena wakil rakyat tidak membawa amanah
ketika mereka berkampanye sebelum terpilih
c) Kepala daerah diibaratkan seperti boneka yang manut kepada DPRD
karena telah terpilih menjadi kepala daerah
d) Ada celah anggota DPRD minta uang suap agar kepala daerah tersebut
terpilih
e) Kepala daerah lebih melayani DPRD ketimbang kepentingan rakyat

9.2.2. Efektivitas Pilkada secara Langsung dan Melalui DPRD


Penyelenggaraan demokrasi atau kedaulatan rakyat Indonesia adalah
secara langsung melalui sistem perwakilan. Perwujudan demokrasi di Indonesia
ditunjukkan dalam 3 cabang kekuasaan, yaitu legislatif (Majelis Perwalikan
Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah
(DPD)), ekaekutif (Presiden dan Wakil Presiden), dan serta yudikatif (Mahkamah
Agung dan Mahkamah Konstitusi). Kedaulatan rakyat dapat disalurkan melalui
hak atas kebebasan pers, kebebeasan berpendapat, hak atas kebebasan
beroganisasi dan berserikat, hak atas kebebasan informasi, serta hak lainnya yang
dijamin dalam Konstitusi.
Bagaimanakah keefektifan pemilihan daerah secara langsung dan tidak
langsung?
Sistem pemilihan kepala daerah secara langsung merupakan sebuah
sistem pemilihan kepala daerah secara langsung oleh rakyat pada suatu daerah

145
tertentu dengan berarti bahwa rakyat dilibatkan secara langsung semua partisipasi
warga.
Sistem pemilihan kepala daerah secara langsung oleh kepala daerah
dilakukan langsung oleh rakyat, memberikan kepada siapapun memiliki
kemungkinan dan potensi menjadi kepala daerah, bukan hanya kandidat dari
partai-partai kecil, mereka yang bukan pengurus Parpol pun bisa menempuh jalur
independen.
Namun sistem ini memiliki kelemahan dari faktor finansial, yakni
menghabiskan biaya yang lebih banyak dan tidak sedikit. Selain untuk biaya
penyelenggaraannya, political cost yang harus dikeluarkan oleh kandidat juga
sangat besar, sebab mereka perlu menyiapkan anggaran untuk atribut, kampanye,
dan kegiatan sosial lainnya, bahkan tak jarang para kandidat juga membayar
langsung pada para pemilih agar bisa memenangkan pertarungan. Sehingga hal
ini juga dapat memicu tingginya tingkat kemungkinan korupsi oleh para kandidat
yang nantinya terpilih, untuk mengganti biaya yang sebelumnya telah ia
keluarkan.
Efektivitas Pilkada langsung dapat diterapkan pada suatu masyarakat
dengan kuantitas yang kecil dan dengan tingkat kesadaran politik yang tinggi.
Mengapa demikian, jika sistem ini diterapkan pada masyarakat yang kesadaran
dan partisipasi politiknya masih rendah akan menimbulkan banyak money
politics selain itu masyarakat akan memilih pemimpinnya jika mereka diberi
uang. Hal lain yang positif dari sistem ini yaitu pemimpin daerah lebih fokus
untuk mendengarkan aspirasi dari masyarakatnya karena mereka dipilih oleh
masyarakat sehingga kebijakan yang ia buat harus sesuai dengan aspirasi
masyarakat.
Sedangkan sistem peemilihan kepala daerah secara tidak langsung/oleh
DPRD merupakansistem pemilihan kepala daerah yang dilakukan melalui badan
perwakilan rakyat yang dipilih oleh rakyat dan bertanggung jawab kepada rakyat.
Sistem ini akan efektif jika diterapkan pada suatu masyarakat yang
plural dan kompleks serta dalam jumlah yang banyak. Karena dengan begitu
akan menghindarkan adanya konflik dalam masyarakat ketika pemilihan
berlangsung. Sistem ini juga dinilai lebih hemat biaya dalam penyelenggaraan
dan menghindari adanya politik uang selama pemilihan berlangsung.

146
9.3. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa :
1. Pemilihan kepala daerah secara langsung merupakan konsep dari demokrasi
langsung yang berarti demokrasi yang mengikutsertakan setiap warga
negaranya dalam permusyawaratan untuk menentukan kebijaksanaan umum
negara atau undang-undang. Sedangkan Pemilihan kepala daerah secara
tidak langsung/oleh DPRD yang berarti demokrasi yang dilaksanakan
melalui sistem perwakilan/corak pemerintahan demokrasi yang dilakukan
melalui badan perwakilan rakyat yang dipilih oleh rakyat dan bertanggung
jawab kepada rakyat.
2. Baik Pilkada langsung ataupun tidak langsung memiliki kekurangan dan
kelebihan masing-masing.
3. Keefektifan Pilkada langsung yaitu akan berjalan dengan baik pada suatu
masyarakat yang jumlahnya tidak terlalu besar dan dengan pengetahuan serta
kesadaran politik yang tinggi. Sedangkan Pilkada tidak langsung cocok
dengan kondisi masyarakat yang plural serta dalam jumlah yang besar,
sistem ini juga efektif dalam penghematan biaya penyelenggaraannya serta
menghindarkan adanya politik uang.

147
BAB X
SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL

A. Deskripsi
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan
Nasional telah mengamanatkan bahwa sistem perencanaan pembangunan nasional bertujuan untuk
menjamin terciptanya integrasi, sinkronisasi, dan sinergi baik antardaerah, antarruang, antarwaktu,
antarfungsi pemerintah maupun antara pusat dan daerah. Berdasarkan hal inilah maka penyusunan
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) harus memperhatikan Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang
Daerah (RPJPD). Bahkan evaluasi terhadap RPJMD Provinsi dapat dilakukan untuk menguji
kesesuaian dengan RPJPD provinsi dan RPJMN dan begitu juga untuk tingkat kabupaten/kota.
Dua landasan hukum yang menjadi dasar untuk penyusunan perencanaan pembangunan
pusat dan daerah adalah Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan
Pembangunan Nasional (SPPN) dan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah. Undang-undang No. 25 Tahun 2004 tentang SPPN Bab II pasal 2 menjelaskan mengenai
tujuan SPPN adalah untuk menjamin terciptanya integrasi, sinkronisasi, dan sinergi baik
antar daerah, antarruang, antarwaktu, antarfungsi pemerintah maupun antara pusat dan daerah.
Ditegaskan kemudian pada pasal 5 yang berbunyi bahwa RPJMD harus memperhatikan RPJP
Daerah dan RPJMN.
Sedangkan Undang-undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah Pada bagian
Kedua mengenai Perencanaan Pembangunan Daerah di Pasal 263 menyatakan bahwa Penyusunan
RPJMD harus berpedoman pada RPJPD dan RPJMN. Disusul pasal 264 menyatakan tentang
RPJMD dapat disesuaikan dengan terhadap kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah pusat.
Selanjutnya pasal 269 dan pasal 271 berbunyi tentang proses evaluasi RPJMD Provinsi dan
RPJMD Kabupaten/Kota yang dapat dilakukan uji kesesuaian dengan RPJMN atau RPJMD
Provinsi untuk Kabupaten.

Selain dua Undang-undang di atas, untuk perencanaan ditingkat daerah juga diatur dalam
Peraturan menteri dalam Negeri Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Peraturan Pemerintah
Nomor 8 Tahun 2008 tentang Tahapan, Tatacara Penyusunan, Pengedalian, dan Evaluasi
Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah. Upaya sinkronisasi RPJMD dan RPJMN telah diatur
148
dalam peraturan ini. Bab IV pasal 50-pasal 84 khusus membahas mengenai RPJMD; mengenai
hal-hal yang harus tertuang dalam RPJMD, prosesnya, dan keluaran dalam RPJMD berupa
penetapan peraturan daerah tentang RPJMD.

Sebagai bab 1 dalam pelatihan sinkronisasi RPJMD dan RPJMN Bidang Kesehatan, bab
ini akan mengantarkan sekaligus menjelaskan tentang sistem perencanaan pembangunan nasional
yang terjadi di pemerintah pusat. Akan dijelaskan juga bagaimana upaya sinkronisasi antara
pembuatan RPJMD dan RPJMN, serta penjelasan istilah-istilah terkait dalam proses pembelajaran
selanjutnya.
B. Peta Kedudukan

Gambar 1. Skema Sinkronisasi Perencanaan Sektor Kesehatan untuk Daerah dan


Nasional dalam RPJMD

Alur peraturan sesuai dengan Undang-Undang mengenai SPN dan RPJMD


Alur atau hal-hal yang diharapkan tertuang dalam perencanaan kesehatan di
dalam RPJMD

Dokumen pendukung bidang kesehatan di dalam dokumen


RPJMD
Gambar 1 di atas menunjukkan sesi yang akan dipelajari hingga akhir
sesi. Kotak-kotak yang diberi tanda merah merupakan Dokumen pendukung Bidang Kesehatan di
dalam Dokumen RPJMD. Dalam bab 1 ini kita akan membahas tidak saja mengenai perencanaan
pembangunan pusat tetapi juga di tingkat daerah yang saling berhubungan sehingga menjadi
rencana pembangunan nasional.

149
C. Materi: Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional

Hubungan RPJMN dengan RPJMD

Deskripsi
Bab I sesi 1 ini membahas mengenai hubungan RPJMN dan RPJMD. Bagaimana
seharusnya amanat undang-undang dapat diterjemahkan dalam dua perencanaan ini.

Materi
RPJMN dan RPJMD merupakan dua hal yang saling berhubungan dan harus sinkron satau
sama lain. Hubungan RPJMN dan RPJMD menggambarkan hubungan proses perencanaan
pembangunan antara Pemerinata Pusat dan Pemerintah Daerah. Bab I sesi satu ini
menggambarkan proses hubungan RPJMN dan RPJMD. Dengan melihat proses ini maka dapat
diperhatikan aspek waktu dan momen dalam memberikan rekomendasi untuk RPJMN selanjutnya.

Hubungan RPJMN dan RPJMD ditegaskan dalam gambaran proses perencanaan pembangunan
sebagai berikut:

Sumber: UU SPPN 25/2004 dan UU KeuNeg No 17/2003


Gambar 3. Skema Rencana Pembangunan Pusat dan Daerah

RPJM Nasional merupakan penjabaran dari visi, misi, dan program Presiden yang
penyusunannya berpedoman pada RPJP Nasional, yang memuat strategi pembangunan Nasional,

150
kebijakan umum, program Kementerian/Lembaga dan lintas Kementerian/Lembaga, kewilayahan
dan lintas kewilayahan, serta kerangka ekonomi makro yang mencakup gambaran perekonomian
secara menyeluruh termasuk arah kebijakan fiskal dalam rencana kerja yang berupa kerangka
regulasi dan kerangka pendanaan yang bersifat indikatif.
RPJMD adalah dokumen perencanaan Daerah untuk periode 5 (lima) tahun. Rencana
Pembangunan Tahunan Daerah yang selanjutnya disebut Rencana Kerja Pemerintah Daerah yang
selanjutnya disingkat RKPD adalah dokumen perencanaan Daerah untuk periode 1 (satu) tahun.
Pasal 263 ayat 2 UU No. 23 Tahun 2014 RPJPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
merupakan penjabaran dari visi, misi, arah kebijakan, dan sasaran pokok pembangunan Daerah
jangka panjang untuk 20 (dua puluh) tahun yang disusun dengan berpedoman pada RPJPN dan
rencana tata ruang wilayah. Pasal 263 ayat 3 UU No. 23 Tahun 2014 RPJMD merupakan
penjabaran dari visi, misi, dan program kepala daerah yang memuat tujuan, sasaran, strategi, arah
kebijakan, pembangunan Daerah dan keuangan Daerah, serta program Perangkat Daerah dan lintas
Perangkat Daerah yang disertai dengan kerangka pendanaan bersifat indikatif untuk jangka waktu
5 (lima) tahun yang disusun dengan berpedoman pada RPJPD dan RPJMN.
Tahun 2015, Indonesia memasuki tahap ketiga dalam rencana menengahnya yang tertuang
dalam RPJMN 2015-2019. Bertepatan dengan ini juga, Indonesia memiliki presiden baru dan
kemudian memiliki rumusan kerja untuk masa kerjanya yang tertuang dalam Nawa Cita.
Hubungan perencanaan nasional, pusat, dan daerah dalam periode jangka panjang (20 tahun) yang
kemudian dijabarkan dalam perencanaan menengah (RPJMN) (5 tahun). RPJP Nasional
digunakan selama 20 tahun dan diterjemahkan oleh kementerian atau lembaga terkait hingga
ketingkat daerah. RPJP kemudian dibagi menjadi RPJM baik nasional, tingkat pusat/kemeterian
atau lembaga, hinggga ke daerah. RPJMN pada tingkat kementerian atau lembaga juga
diterjemahkan sebagai rencana strategis atau Renstra kementerian/ lembaga. Renstra kementerian
atau lembaga inilah yang pada tingkat daerah diterjemahkan masing-masing oleh PD dalam bentuk
Rencana Strategis (Renstra) PD.
Berikut RPJPN Indonesia tahun 2005-2025 yang digunakan sebagai acuan pembangunan
diseluruh kementerian atau lembaga maupun ditingkat daerah.

151
Sumber: Bappenas (2015)
Gambar 4. RPJPN Indonesia 2005-2025

Sinopsis/ Rangkuman
Melihat bagan sistem perencanaan nasional, maka gambaran hubungan antara RPJMN dan
RPJMD lebih jelas. Dimana RPJMN menjadi acuan bagi RPJMD yang penyusunannya
berpedoman pada Undang-undang tentang Pemerintahan Daerah (Undang-undang 23 tahun 2014).
Dalam prosesnya antar RPJMN dan RPJMD haruslah terintegrasi, tersinkronisasi, dan besinergi
baik antar daerah, antarruang, antarwaktu, antarfungsi pemerintah maupun antara pusat dan
daerah. Hubungan tersebut menegaskan bahwa dari awal sampai akhir integrasi dan sinkronisasi
antara Pemerintah Pusat dan Daerah sudah ada.

Permasalahan Sinkronisasi RPJMD dan RPJMN


Deskripsi
Bab I sesi 2 ini akan mengantarkan kita pada pemahaman mengenai permasalahan dalam
sinkronisasi. Berbagai peraturan dan pedoman telah menjelaskan kepada banyak pihak mengenai
harmonisasi dan sinkronisasi RPJMD dan RPJMN. Namun, beberapa hal masih menjadi
permasalahan harmonisasi dan sinkronisasi. Bab ini mencoba menjelaskan lebih lanjut
permasalahan tersebut.

152
Peta Kedudukan

Gambar 5. Peta Kedudukan Bab I Sesi 2 dalam Skema


Sinkronisasi RPJMD dengan RPJMN Bidang Kesehatan

Keterangan:
Alur peraturan sesuai dengan Undang-Undang mengenai SPN dan RPJMD
Alur atau hal-hal yang diharapkan tertuang dalam perencanaan kesehatan di
dalam RPJMD
Dokumen pendukung bidang kesehatan di dalam dokumen
RPJMD

Materi
Pengaturan mengenai harmonisasi dan sinkronisasi RPJMN dan RPJMD telah banyak
diatur dalam undang-undang dan peraturan pemerintah salah satunya dalam Undang-undang
Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah pun dijelaskan bahwa RPJMD haruslah
berpedoman pada RPJMN (pasal 263). Upaya harmonisasi dan sinkronisasi juga dilakukan dengan
mekanisme bilateral meeting, yaitu pertemuan antara pemerintah daerah dengan pemerintah pusat
yang diatur alam Peraturan Menteri PPN/Kepala Bappenas No.1 tahun 2014 tentang Pedoman
penyusunan RPJMN tahun 2015-2019.
Pada pelaksanaannya harmonisasi dan sinkronisasi RPJMN dan RPJMD belum
sepenuhnya terjadi. Diantaranya, masih ditemukannya RPJMD yang belum memuat kebijakan

153
kesehatan dengan baik. Kesenjangan lainnya mengenai sinkronisasi RPJMD dan RPJMD ditinjau
dari aspek waktu, masa berlaku, dan status hukum. Bagaimana upaya penyelarasan dan
penyerasian sasaran, kebijakan dan strategi, program, kegiatan dan indikator, serta target
pembangunan dalam bidang kesehatan antara RPJMD dan RPJMN sebagai upaya sinkronisasi
masih belum jelas baik secara vertikal (Pusat ke daerah atau sebaliknya) maupun secara horizontal
di daerah (antara provinsi, antar kab/ kota dalam satu provinsi, atau pun antar SKPD dalam
penyusunan RPJMD).
Gambar 5 di atas menjelaskan mengenai posisi RPJMD. Secara singkat, harapannya dalam
RPJMD tertuang dengan jelas mengenai perencanaan sektor kesehatan. Perencaaan sektor
kesehatan ini harapannya dapat sinkron dengan perencanaan sektor kesehatan yang tertuang dalam
RPJMN sub bidang keseatan, Renstra Kementerian Kesehatan, SPM dan atau dari RPJMD
ditingkat provinsi untuk RPJMD Kabupaten/kota. Bulatan merah menunjukkan upaya seharusnya
dalam mensinkronkan perencanaan sektor kesehatan daerah dengan nasional..
Pada intinya gambar 5 menjelaskan bahwa RPJMN merupakan acuan untuk RPJMD. Di
dalam RPJMD terdapat hal yang menjelaskan tentang kesehatan (bulatan merah). Hal yang
menjelasakan tentang kesehatan ini atau dokumen pendukung bidang kesehatan di dalam dokumen
RPJMD ini mengacu pada Renstra KL dalam hal ini kementerian kesehatan dan SPM. Dalam
penyusunan RPJMD, perlu diperhatikan juga untuk mengacu pada visi misi kepala daerah dan
kondisi daerah. Lebih jelasnya untuk memahami gambar 5 adalah sebagai berikut:
Pertama, berdasarkan peraturan bersama Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/
Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri
keuangan (masih dalam draft tahun 2015) maka diatur tentang penyelarasan rencana pembangunan
jangka menengah daerah dengan rencana pembangunan jangka menengah nasional tahun
20152019. Pada pasal dua disebutkan bahwa peraturan bersama ini bertujuan untuk (1)
mewujudkan keselarasan antara RPJMD Provinsi dengan RPJMN Tahun 2015-2019, (2)
mewujudkan keselarasan antara RPJMD Kabupaten/Kota dengan RPJMD Provinsi dan RPJMN
tahun 2015-2019, (3) mewujudkan dukungan dan peran pemerintah daerah dalam pencapaian
sasaran prioritas pembangunan nasional yang ditetapkan dalam RPJMN tahun 2015-2019, dan (4)
mewujudkan koordinasi perencanaan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Di
dalamnya juga diatur mengenai upaya penyelarasa antara Gubernur atau Bupati yang dilantik pada
saat atau sebelum 2015 dengan RPJMN tahun 2015-2019.

154
Kedua, Rencana Strategik (Renstra) Kementerian Kesehatan merupakan penjabaran yang
membuat visi, misi, tujuan, strategi, kebijakan, program, dan kegiatan pembangunan kesehatan
yang disusun dengan berpedoman pada RPJMN dan bersifat indikatif. Renstra ini akan
dilaksanakan oleh kementerian kesehatan dan menjadi acuan penyusunan perencanaan tahunan
baik pusat dan daerah untuk bidang kesehatan. Pada tingkat daerah maka renstra kementerian
kesehatan ini menjadi acuan dalam menyusun renstra Dinas Kesehatan. Kementerian Kesehatan
mengeluarkan indikator kesehatan berupa Standar Pelayanan Minimal (SPM). SPM juga
dipergunakan sebagai salah satu pedoman indicator kesehatan dalam penyusunan RPJMD. Tidak
hanya itu lintas sektor Perangkat Daerah (PD) juga berpedoman pada SPM Kesehatan untuk
bersamasama mewuhjudkan visi dan misi Kepala Daerah untuk bidang Kesehatan.
Ketiga, RPJMD merupakan penjabaran dari visi, misi, dan program kepala daerah yang
penyusunannya berpedoman pada RPJP daerah dan memperhatikan RPJMN, memuat arah
kebijakan keuangan daerah, strategi pembangunan daerah, kebijakan umum, lintas sektor SKPD
dan program kewilayahan disertai dengan rencana-rencana kerja dalam kerangka regulasi dan
kerangka pendanaan yang bersifat indikatif.
Keempat, harapannya dalam RPJMD terdapat wawasan pembangunan daerah yang
berwawasan kesehatan. Untuk itu, harusnya di dalam dokumen RPJMD terdapat kebijakan-
kebijakan yang mendukung sektor kesehatan secara khusus ataupun yang tersirat dalam lintas
program atau diperlukan tambahan dokumen pendukung bidang kesehatan. Pada gambar 3 di atas,
hal ini ditunjukkan oleh gambar bulatan merah.
Dalam upaya harmonisasi dan sinkronisasi perencanaan bidang kesehatan dalam RPJMD
dan RPJMN maka segala indikator, kegiatan, dan program yang tertuang dalam RPJMN bidang
kesehatan seharusnya tercermin dalam RPJMD. Meski demikian tetap memberikan ruang bagi
daerah untuk melaksanana pembangunan bidang kesehatan sesuai dengan karakteristik dan
kebutuhan daerah masing-masing.
Berdasarkan hal inilah RPJMN subbidang kesehatan dengan RPJMD bidang kesehatan di
daerah membutuhkan sinkronisasi untuk bersama-sama mencapai target yang telah ditentukan
dalam RPJMN dan RPJPN subbidang kesehatan. Pertanyaannya adalah bagaimana skema
penyesuaian indikator dan besaran target RPJMN di tingkat daerah? Sejauh mana wewenang
daerah dalam menambah indikator dan target pembangunan daerah? Serta bagaimana
dengan daerah yang memiliki periode RPJMD mendahului periode RPJMN?. Hal ini yang perlu

155
kita jawab bersama dalam mengupayakan sinkronisasi rencana pembangunan bidang kesehatan
pusat dan daerah

156
BAB XI
POKOK-POKOK RPJMN 2015-2019

A. Pendahuluan
Sebagai bagian dari serangkaian sesi pelatihan sinkronisasi RPJMN dan RPJMD, bab ini
akan menjelaskan tentang pokok-pokok Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional
(RPJMN) Tahun 2015-2019. Visi misi pembangunan nasional, permasalahan dan tantangan,
sampai dengan agenda pembangunan nasional juga dipaparkan dalam bab ini. Sebelum
mempelajari RPJMN Bidang Kesehatan, penting untuk mengetahui kerangka pelaksanaan; isu
strategis; dan kebijakan dalam perencanaan pembangunan nasional.
B. Peta Kedudukan

Gambar 6. Peta Kedudukan Bab II dalam Skema Sinkronisasi RPJMD dengan RPJMN
Bidang Kesehatan
Alur peraturan sesuai dengan Undang-Undang mengenai SPN dan RPJMD
Alur atau hal-hal yang diharapkan tertuang dalam
perencanaan kesehatan di dalam RPJMD

Dokumen pendukung bidang kesehatan di dalam dokumen RPJMD

157
Pokok-Pokok RPJMN 2015 - 2019
Filosofi RPJMN 2015 – 2019

Deskripsi

Sebagai bagian dari serangkaian sesi pelatihan sinkronisasi RPJMN dan RPJMD, sesi
pertama Bab II akan memberikan gambaran tentang filosofi Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2015-2019. Tujuan pembangunan nasional, ideologi bangsa,
sasaran nasional, dan tantangan utama pembangunan nasional juga dipaparkan dalam sesi ini.

Peta Kedudukan

Gambar 7. Peta Kedudukan Bab II sesi 1 dalam Skema Sinkronisasi RPJMD dengan
RPJMN Bidang Kesehatan
Sesi pertama dalam Bab II akan menjadi pendahuluan yang menjelaskan filosofi RPJMN
tahun 2015 – 2019 sebelum mempelajari lebih dalam mengenai pokok-pokok RPJMN 2015-2019
sub bidang kesehatan dan gizi masyarakat.

Materi
Tujuan pembangunan nasional secara khusus telah digariskan dalam Pembukaan Undang
Undang Dasar (UUD) 1945, yaitu : melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah
Indonesia; memajukan kesejahteraan umum; mencerdaskan kehidupan bangsa; dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan
sosial. Jika tujuan yang dimandatkan oleh Konstitusi ini disarikan, akan tampak bahwa mandat
158
yang diberikan Negara pada pemangku kepentingan, khususnya penyelenggara negara dan
pemerintahan di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), adalah untuk memuliakan manusia
dan kehidupan bermasyarakat mulai dari lingkup terkecil hingga ke lingkup dunia.
Daya tahan suatu bangsa terhadap gelombang sejarah tergantung pada ideologi. Ideologi sebagai
penuntun; ideologi sebagai penggerak; ideologi sebagai pemersatu perjuangan; dan ideologi
sebagai bintang pengarah. Ideologi itu adalah PANCASILA 1 JUNI 1945 dan TRISAKTI. Prinsip
dasar TRISAKTI menjadi basis dan arah perubahan berdasarkan pada mandat konstitusi dan
menjadi pilihan sadar dalam pengembangan daya hidup kebangsaan Indonesia, yang menolak
ketergantungan dan diskriminasi, serta terbuka dan sederajat dalam membangun kerjasama yang
produktif dalam tataran pergaulan internasional.
Untuk menuju sasaran jangka panjang dan tujuan hakiki dalam membangun, pembangunan
nasional Indonesia lima tahun ke depan perlu memprioritaskan pada upaya mencapai kedaulatan
pangan, kecukupan energi dan pengelolaan sumber daya maritim dan kelautan. Seiring dengan itu,
pembangunan lima tahun ke depan juga harus makin mengarah kepada kondisi peningkatan
kesejahteraan berkelanjutan, warganya berkepribadian dan berjiwa gotong royong, dan
masyarakatnya memiliki keharmonisan antarkelompok sosial, dan postur perekonomian makin
mencerminkan pertumbuhan yang berkualitas, yakni bersifat inklusif, berbasis luas, berlandaskan
keunggulan sumber daya manusia serta kemampuan iptek sambil bergerak menuju keseimbangan
antar sektor ekonomi dan antar wilayah, serta makin mencerminkan keharmonisan antara manusia
dan lingkungan.
Pada tahun 2013, pendapatan perkapita Indonesia telah mencapai USD 3.500 yang
menempatkan Indonesia berada pada lapis bawah negara-negara berpenghasilan menengah. Tujuan
pembangunan nasional adalah mencapai kemakmuran dan kesejahteraan rakyat setara dengan
negara maju. Pada saat yang sama, batas antara negara berpenghasilan rendah dan berpengasilan
tinggi juga bergerak karena perekonomian global juga tumbuh. Agar Indonesia mampu menjadi
negara berpendapatan tinggi, tentu memerlukan pertumbuhan yang lebih tinggi dari pertumbuhan
global. Untuk mencapai negara berpenghasilan tinggi pada tahun 2030, perekonomian nasional
dituntut tumbuh rata-rata antara 6 – 8 % pertahun, inilah tantangan utama pembangunan ekonomi.
Agar berkelanjutan, pertumbuhan yang tinggi tersebut harus bersifat inklusif, serta tetap menjaga
kestabilan ekonomi.

159

Gambar 8. Strategi Pembangunan


DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Rozali. 2004. Pelaksanaan Otonomi Luas dengan Pemilihan Kepala


Daerah Secara Langsung. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Adisubrata, Winarna Surya.2003. Perkrmbangan Otonomi Daerah Di
Indonesia.Semarang: Aneka Ilmu.
Agussalim A. Gadjong. 2007. Pemerintahan Daerah: Kajian Politik dan Hukum.
Bogor: Ghalia Indonesia.
Agus Santoso, HM. 2013, Menyingkap Tabir. Otonomi Daerah di Indonesia, Pustaka.
Alpha Amirrachman. 2007. Revitalisasi Kearifan Lokal: Studi Resolusi Konflik di
Kalimantan Barat, Maluku dan Poso. Jakarta: International Center for Islam
and Pluralism (ICIP) and European Commission (EC). Hlm. 11.
Ardika, Gede Tusan. 2011. Konsep Dasar Otonomi Daerah Dalam Era Reformasi.
GaneC Swara, Volume 5, Nomor 1.
Asshiddiqie, Jimly. 2005.Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia. Edisi Revisi.
Jakarta: Konstitusi Press.
Asshiddqie, Jimly. 2005. HUKUM TATA NEGARA DAN PILAR-PILAR
DEMOKRASI. Jakarta: Konstitusi Press.
B.N. Marbun. Otonomi Daerah 1945-2010 Proses dan Relita: Perkembangan Otda
sejak Zaman Kolonial sampai Saat ini. (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan; 2010).
Chalid, Pheni. 2005. OTONOMI DAERAH (MASALAH, PEMBERDAYAAN,
DAM KONFLIK). Perpustakaan Nasional RI: Katalog Dalam Terbitan.
Dwipayana, AA GN Ari. ”Arah Dan Agenda Reformasi DPRD: Memperkuat
Kedudukan dan Kewenangan DPRD”. DRSP-Usaid, Jakarta, 2008.
http://www.drspusaid.org/publications/index.cfm?fuseaction=throwpub.(Diak
ses pada tanggal 23 Oktober 2014)
Handoyo, Hestu Cipto.1998. Otonomi Daerah Titik Berat Otonomi dan Urusan
Rumah Tangga Daerah. Yogyakarta: ANDI Offset.

160
Hayati, Erna. Tanpa Tahun. Sistem Pemerintahan Daerah Indonesia Dalam Era
Reformasi. Aceh: Universitas Syah Kuala Banda Aceh.
Hidayat, Syarif. 2008. Desentralisasi dan Otonomi Daerah dalam Perspektif
StateSociety Relation. Jurnal POLITIK Vol.1 No.1 2008.
Huda, Ni’matul. 2013. Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers.
.Implementasi Kebijakan Otonomi Daerah Terhadap Pelayanan Publik Bidang
Perizinan di Kabupaten Deli Serdang. Tesis. Sumatera Utara: Universitas
Sumatera Utara.
Indra Perwira. 2006. Tinjauan Umum Peran dan Fungsi DPRD. Jakarta: KPK.
Jaweng, Robert Endi. ”Posisi DPRD Dalam UU Parlemen yang Baru”. Harian Jurnal
Indonesia, 18 Agustus 2009.
Jon Pierre & B. Guy Peters. Governance, Politics and the State. (New York:
Published Martin’s Press, 2000).
Kaloh. 2007. Mencari Bentuk Otonomi Daerah. Jakarta : Rineka Cipta.
Kansil, Christine.S.T. 2008. Hukum Tata Negara Republik Indonesia. Jakarta: Rineka
Cipta.
Kustiawan. Otonomi Daerah dan Desentralisasi dalam Bingkai Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Jurnal. Universitas Maritim Raja Ali Haji..
Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) Inspektorat Pemerintah
Kota Bandung Tahun 2012 (LAKIP INSPEKTORAT 2012).
Marbun, BN. (2005). Otonomi Daerah 1945-2005 Proses
dan Realita, Perkembangan Otda Sejak Zaman Kolonial Sampai Saat Ini.
Jakarta:Pustaka
Muhadi Prabowo dan Widyaiswara Madya. Jabatan Fungsional Pengawas
Penyelenggaraan Urusan Pemerintahan Di Daerah (Jfp2upd) Dan Jabatan
Fungsional Auditor (Jfa). STAN (Sekolah Tinggi Akuntansi Negara).
Nurma A. Ridwan. 2007, “Landasan Keilmuan Kearifan Lokal” dalam Ibda’ (Jurnal
Studi Islam dan Budaya) Vol. 5 No.1, Jan-Jun 2007, P3M STAIN
Purwokerto. Hlm. 2.
Radjab, Dasril. 2005. Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta. R.
Tresna. 2000. Bertamasya ke Taman Ketatanegaraan. Bandung: Dibya.
161
Sabarno, Hari. 2008. Memandu Otonomi Daerah, Menjaga Kesatuan Bangsa.
Jakarta: Sinar Grafika.
Sheldon S. Steinberg; David T. Austern. 1999. Government Ethics, and
Managers; Penyelewengan Aparat Pemerintah (terjemahan Suroso).
Bandung: Remaja Rosdakarya.
Sunarno, Siswanto.2008. Hukum Pemerintahan Daerah. Jakarta: Sinar Grafika
Suprihaini, Amin. 2008. Otonomi Daerah dari Masa ke Masa.Klaten:Cempaka Putih.
Widjaja, Haw. 2012. Otonomi Desa Merupakan Otonomi yang Asli, Bulat dan Utuh.
Jakarta : Raja Grafindo Persada.

repository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/.../Jurnal-04.pdf

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1999. Tentang Pemerintahan


Daerah.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004. Tentang Pemerintahan
Daerah.
Undang-undang Dasar Republik Indonesia 1945
Undang-undang nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah
Undang-undang Otonomi Daerah Terbaru
Undang-Undang Dasar 1945
UU No. 22 tahun 1999
Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 51 Tahun 2010 Tentang Pedoman
Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Tahun 2011
http://dedetzelth.blogspot.com/2013/03/jenis-jenis-pengawasan.html diakses
pada tanggal 20 Oktober 2014 pukul 16.53 http://www.bandung.go.id/index.php?
fa=sitedownload.category&id=44.

Diaksestangaal 27 Oktober 2014 pukul 20.45 WIB.


162
http://www.adzkiyacentre.com/2013/04/kemiskinan-dan-kebijakan-
prokearifan_3.html (diunduh pada 26 Desember 2014, pukul 21.01 WIB)
http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/lamanbahasa/artikel/1366 (diunduh pada 26
Desember 2014, pukul 21.30 WIB)
http://www.negarahukum.com/hukum/tugas-dan-kewenangan-
pemerintahandaerah.html
http://sriargarini.blogspot.com/2012/05/otonomi-daerah.html (21-10-14 20.07 wib)
http://nissa2601.blogspot.com/2011/05/partisipasi-masyarakat-dalam-pelaksaan.html
(21-10-14 19.59 WIB) http://kantongteh.wordpress.com/2011/05/23/pembagian-
urusan-pemerintahanberdasarkan-peraturan-pemerintah-ri-nomor-38-tahun-2007/
http://kotajabung.blogspot.com/2012/09/conto-makalah-otonomi-daerah.html
Kompas. (2014, 27 September).
KelebihandanKekuranganPilkadaTakLangsung.Kompas
[online].Tersedia: http://politik.kompasiana.com/2014/09/27/kelebihan-dan-
kekurangan-pilkadatak-langsung-681515.html[18 Oktober 2014]
Sistem Pemerintahan Indonesia. 2014. Kelebihan dan Kekurangan Demokrasi.
Tersedia: http://sistempemerintahan-indonesia.blogspot.com/2013/05/kelebihan-
dan-kekurangan-demokrasi.html[15 Oktober 2014]
Suara Surabaya. (2014, 27
September).KelebihandanKekuranganPilkadaLangsungMaupunTakLangsung.S
uara Surabaya,
[online].Tersedia:http://politik.suarasurabaya.net/news/2014/140349-
Kelebihandan-Kekurangan-Pilkada-Langsung-Maupun-Tak-Langsung[18
Oktober 2014]
Windy Sitinjak “kemajuan-perubahan-pertama-kedua-ketiga UUD 1945 dalam
prespektif demokrasi”
http://windysitinjak.blogspot.com/2013/05/kemajuan-
perubahanpertama-kedua-ketiga.html (diakses pada 23 Oktober 2014)
Kompas, 22 Juli 2002

Kompas, 23 September 2002


Kompas, 23 Nopember 2002
163
Kompas, 16 Juli 2005

View publication stats

164

Anda mungkin juga menyukai