PEMERINTAHAN DAERAH
Oleh:
Dosen pada:
Jurusan : Ilmu Hukum
Fakultas : Fakultas Hukum
UNIVERSITAS PAMULANG
2019
i
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL .............................................................................................. i
KATA PENGANTAR ............................................................................................... ii
DAFTAR ISI .............................................................................................................. iii
BAB I. PROBLEMATIKA OTONOMI DAERAH
BAB II. TUGAS OTONOMI DAERAH DI ERA REFORMASI
BAB III. STUDI LEMBAGA-LEMBAGA PEMERINTAHAN DAERAH
BAB IV. PENGEMBANGAN PEMERINTAHAN UMUM DAN PEMBINAAN
WILAYAH DALAM OTONOMI DAERAH
BAB V. PENGAWASAN TERHADAP PEMERINTAHAN DAERAH
BAB VI. PEMERINTAHAN LOKAL DAN OTONOMI DAERAH DALAM
PERSPEKTIF GENDER DAN KEARIFAN LOKAL
BAB VII. DPRD DAN OTONOMI DAERAH DALAM PERSPEKTIF UUD 1945
DAN UU NOMOR 32 TAHUN 2004
BAB VIII. TEORI DAN PRAKTIK PEMERINTAHAN DAERAH DAN OTONOMI
DAERAH DI INDONESIA
BAB IX PEMILIHAN KEPALA DAERAH
BAB X SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL
BAB XI POKOK-POKOK RPJMN 2015-2019
BAB XII PEMBAHASAN KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
ii
BAB I PROBLEMATIKA OTONOMI DAERAH
2
menentukan susunan pemerintahannya harus dengan permusyawaratan dalam
sistem pemerintahan negara dan hak-hak asal-usul dalam daerah-daerah yang
bersifat istimewa (asli). Didalam negara kesatuan tanggung jawab pelaksanaan
tugas-tugas pemerintahan pada dasarnya tetap berada di tangan Pemerintah
Pusat. Akan tetapi karena sistem pemerintahan Indonesia salah satunya
menganut asas negara kesatuan yang didesentralisasikan, maka ada tugas-
tugas tertentu yang diurus sendiri, sehingga menimbulkan hubungan timbal
balik yang melahirkan adanya hubungan kewenangan dan pengawasan.
3
dalam jurnal Ilmu Politik Volume 1 Nomor 1 Tahun 2008 yaitu tujuan
desentralisasi dalam perspektif State Society-Relation.
Kepentingan nasional
5
public good and services, serta untuk meningkatkan efisiensi dan
efektivitas pembangunan ekonomi di daerah.
6
Pasal 18 ayat (2) menyebutkan, “Pemerintahan daerah provinsi, daerah
kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan
menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.” Selanjutnya, pada ayat (5)
tertulis, “Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluasluasnya kecuali
urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai
urusan pemerintah pusat.” Dan ayat (6) pasal yang sama menyatakan,
“Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-
peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.
7
berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara
Kesatuan Republik Indonesia”.
9
otonomi daerah memunculkan daerah-daerah otonam, sedangkan
dekonsentrasi adanya wilayah administratif sealain itu juga meunculkan asas
pembantuan. Yang kesemuaanya itu juga diatur dalam konstitusi negara kita
tepatnya pada Pasal 18.
10
Selain munculnya inkonsistensi dalam pelaksanaan pemilihan kepala
daerah, ada beberapa masalah yang sering muncul dalam wujud pelaksanaan
otonomi daerah. Beberapa masalah diantaranya adalah¹:
12
perwakilan rakyat daerah (DPRD). Undang-undang yang baru juga mengatur
bahwa setiap peraturan daerah dapat langsung dinyatakan berlaku setelah
disepakati sejauh tidak bertentangan dengan peraturan perundangan yang
lebih tinggi tingkatannya. Hal ini kontras berbeda dengan ketentuan
sebelumnya yang mensyaratkan adanya persetujuan dari penguasa
pemerintahan yang lebih tinggi bagi setiap perda yang akan diberlakukan.
13
Bagaimanapun, fenomena “putra daerah” itu begitu meruak di berbagai
daerah.
Di sisi lain, politik daerah yang dikembangkan pada era transisi ini
belum menempatkan daerah sebagai ruang politik tetapi sebagai ruang
kultural. Akibatnya, proses politik dan relasi kekuasaan di daerah pun
didasarkan pada pola-pola hubungan primordial. Keinginan untuk dipimpin
oleh putra daerah merupakan kewajaran dalam ruang kultural, tapi tidak dalam
ruang politik karena ruang politik mensyaratkan persamaan hak-hak warga
negara di mana pun ia berdomisili.
17
Pemaknaan otonomi secara kultural memandang politik lokal sebagai
kesatuan nilai, kultur, kustom, adat istiadat dan bukan sebagai konsep politik.
Perspektif ini juga mengakui kemajemukan masyarakat namun dalam arti
sosio-kultural, di mana setiap masyarakat dan lokalitas adalah unik sehingga
setiap masyarakat dan lokalitas memiliki hak-hak sosial, ekonomi, budaya,
dan identitas diri yang berbeda dengan identitas nasional. Pemahaman inilah
yang kemudian memunculkan berbagai kebijakan daerah yang bernuansa
etnisitas. Sedikit banyak karakteristik masyarakat Indonesia yang pluralistik
dan terfragmentasi, turut mempengaruhi tumbuh dan berkembangnya
etnonasionalisme.
Pola hubungan antar etnis dilakukan dalam proses yang linear tanpa
adanya potensi bagi terjadinya cross-cutting afiliation. Akibatnya, tidak ada
ruang bagi bertemunya berbagai etnis secara sosial. Sebagai misal, seorang
anak yang dibesarkan dalam lingkungan Muslim, pasti akan bersekolah di
pesantren atau sekolah yang berlatar agama (Madrasah Tsanawiyah, Madrasah
Alliyah, dsb), kemudian menempuh pendidikan tinggi di perguruan tinggi
Islam, dan secara sosial kemudian bergabung dengan organisasi-organisasi
bernuansa Islami, seperti HMI, dll. Secara politik, berlakunya politik aliran
menyebabkan sudah dapat dipastikan bahwa ia akan memilih partai Islam.
Dengan demikian, jelaslah bahwa pola interaksi antar etnis menjadi sulit
dilakukan karena tidak ada ruang baginya untuk mengenal etnis lain, apalagi
memahami etnis lain di luar stereotip yang selama ini mengemuka. Maka yang
kemudian timbul dan menguat adalah identitas etnisnya dan bukan identitas
kebangsaan yang inheren dalam nasionalisme.
20
Sulistiyani, pada hakikatnya pemberdayaan merupakan penciptaan suasana atau
iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang (enabling). Di
samping itu pemberdayaan hendaknya jangan menjebak masyarakat dalam
perangkap ketergantungan (charity), pemberdayaan sebaiknya harus
mengantarkan pada proses kemandirian (2004:79).
Tetapi tentunya dalam partisipasi dan pemberdayaan masyarakat di era
otonomi daerah, desain atau pola apapun yang digunakan sebaiknya mampu
memanfaatkan Sumber Daya Alam (SDA) dan meningkatkan Sumber Daya
Manusianya (SDM), serta dengan berdasarkan pada kondisi rill masyarakat
dengan potensi yang dimiliki. Untuk melaksanakan pembangunan dengan
pendekatan tersebut dibutuhkan tipologi masyarakat yang lebih terbuka,
inovatif, dan bersedia untuk kerja keras. Ciri masyarakat yang demokratis dan
terbuka sangat dibutuhkan untuk melakukan pembangunan yang berkiblat pada
partisipasi dan pemberdayaan masyarakat.
21
akses ke dalam sumber-sumber kemajuan ekonomi seperti modal, teknologi,
informasi, lapangan kerja, dan pasar. Masukan berupa pemberdayaan ini
menyangkut pembangunan prasarana dan sarana dasar fisik, seperti irigasi,
jalan, listrik, maupun sosial seperti sekolah dan fasilitas pelayanan kesehatan,
yang dapat dijangkau oleh masyarakat pada lapisan paling bawah, serta
ketersediaan lembaga-lembaga pendanaan, pelatihan, dan pemasaran di
perdesaan, dimana terkonsentrasi penduduk yang keberdayaannya amat kurang.
Untuk itu, perlu ada program khusus bagi masyarakat yang kurang berdaya,
karena program-program umum yang berlaku tidak selalu dapat menyentuh
lapisan masyarakat ini.
Oleh karena itu, perlindungan dan pemihakan kepada yang lemah amat
mendasar sifatnya dalam konsep pemberdayaan masyarakat. Melindungi tidak
berarti mengisolasi atau menutupi dari interaksi, karena hal itu justru akan
mengerdilkan yang kecil dan melunglaikan yang lemah. Melindungi harus
dilihat sebagai upaya untuk mencegah terjadinya persaingan yang tidak
seimbang, serta eksploitasi yang kuat atas yang lemah. Pemberdayaan
masyarakat bukan membuat masyarakat menjadi makin tergantung pada
berbagai program pemberian (charity). Pendekatan utama dalam konsep
pemberdayaan adalah bahwa masyarakat tidak dijadikan objek dari berbagai
22
proyek pembangunan, tetapi merupakan subjek dari upaya pembangunannya
sendiri.
1.6 Simpulan
Otonomi daerah adalah pemberian wewenang kepada pemerintah
daerah untuk mengatur pemerintahannya sendiri.
23
BAB II
24
Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Daerah (GaneC Swara, Volume 5, Nomor 1).
25
Pemerintah. Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan,
pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya untuk
mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas
otonomi dan tugas pembantuan.
26
f. penyelenggaraan pendidikan dan alokasi sumber daya manusia
potensial;
g. penanggulangan masalah sosial lintas kabupaten/kota;
h. pelayanan bidang ketenagakerjaan lintas kabupaten/kota;
i. fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil, dan menengah
termasuk lintas kabupaten/kota;
j. pengendalian lingkungan hidup;
k. pelayanan pertanahan termasuk lintas kabupaten/kota;
l. pelayanan kependudukan, dan catatan sipil;
m. pelayanan administrasi umum pemerintahan;
n. pelayanan administrasi penanaman modal termasuk
lintas kabupaten/kota;
o. penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya yang belum dapat
dilaksanakan oleh kabupaten/kota ; dan
p. urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan
perundangundangan.
27
f. penyelenggaraan pendidikan;
g. penanggulangan masalah sosial;
h. pelayanan bidang ketenagakerjaan;
i. fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah;
j. pengendalian lingkungan hidup;
k. pelayanan pertanahan;
l. pelayanan kependudukan, dan catatan sipil;
m. pelayanan administrasi umum pemerintahan;
n. pelayanan administrasi penanaman modal;
o. penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya; dan
p. urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan
perundangundangan.
29
Pada periode setelah orde baru, lahir dua undang-undang tentang
pemerintahan daerah yang dianggap aspiratif mengakomodasikan prinsip
demokrasi dalam sistem pemerintahan daerah di Indonesia. Kedua
undangundang tersebut adalah: UU No. 22 Tahun 1999 tentang pemerintahan
daerah dan UU No. 32 Tahun 2004 yang dianggap sebagai revisi terhadap UU
No. 22 Tahun 1999 (Erna Hayati).
30
kekuatan politik dalam penyelenggaraannya. Beberapa indikator yang
mewarnai penyelenggaraan sistem pemerintahan di era ini antara lain:
2.3.Kekuasaan Legislatif lebih besar dibanding kekuasaan eksekutif
2.4.Pemerintahan dikendalikan oleh kekuasaan politik
2.5.Pertanggungjawaban kepala daerah kepada lembaga legislati
2.6.Kepala daerah dapat diberhentikan oleh DPRD
2.7.Wewenang DPRD menetapkan belanja DPRD
2.8.Menjamurnya pemekaran daerah kabupaten / kota.
31
berdasarkan Pancasila dan kedudukannya sejajar (mitra) dari pemerintah
daerah, namun dalam praktek sering kali terjadi penafsiran berbeda.
32
perundangundangan lainnya. Keputusan pembatalan diberitahukan kepada
daerah yang bersangkutan dengan menyebutkan alasan-alasannya dalam
masa selambat-lambatnya satu minggu setelah keputusan pembatalan
pelaksanaan ditetapkan. Daerah yang tidak dapat menerima keputusan
pembatalan peraturan daerah dan keputusan kepala daerah tersebut dapat
mengajukan keberatan kepada Mahkamah Agung setelah mengajukannya
kepada pemerintah.
33
dapat digunakan sebagai bahan pemeriksaan oleh Badan Pemeriksa
Keuangan.
35
cukup luas dan diarahkan untuk menyerap serta menyalurkan aspirasi
masyarakat menjadi kebijakan daerah dan melakukan fungsi pengawasan.
36
dan DPRD merupakan hubungan kerja yang kedudukannya setara dan
bersifat kemitraan. Kedudukan yang setara bermakna bahwa di antara
lembaga pemerintahan daerah itu memiliki kedudukan yang sama dan
sejajar, tidak saling membawahi. Dengan demikian antarkedua lembaga
itu membangun suatu hubungan kerja yang sifatnya saling mendukung
dan bukan merupakan lawan ataupun pesaing dalam melaksanakan fungsi
masing-masing. Peraturan daerah dibuat oleh DPRD bersama pemerintah
daerah, artinya prakarsa dapat bermula dari DPRD maupun dari
pemerintah daerah. Khusus peraturan daerah tentang APBD,
rancangannya disipkan oleh pemerintah daerah yang telah mencakup
keuangan DPRD untuk dibahas bersama DPRD.
37
serta, prakarsa, dan penberdayaan masyarakat yang bertujuan pada
peningkatan kesejahteraan rakyat.
2.3. Simpulan
Kewenangan Daerah berdasarkan Pasal 7 UU No. 22 Tahun 1999
mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali
kewenangan dalam bidang politik luar negeri. Pembagian urusan
pemerintahan menurut Pasal 10 UU No. 32 Tahun 2004 pemerintahan daerah
menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya,
kecuali urusan pemerintahan yang oleh Undang-Undang ini ditentukan
menjadi urusan Pemerintah. Urusan pemerintahan berdasarkan Pasal 10 ayat
(3) UU No 32 Tahun 2004, meliputi politik luar negeri; pertahanan;
keamanan; yustisi; moneter dan fiskal nasional; dan agama.
39
BAB III STUDI LEMBAGA-LEMBAGA PEMERINTAHAN DAERAH
40
3.2 Lembaga Pemerintahan Kabupaten, Kota, dan Provinsi
3.2.1 Pemerintahan Kabupaten atau Kota
Setiap warga Negara mempunyai tanda identitas diri seperti Kartu Tanda
Penduduk (KTP), Surat Izin Mengemudi (SIM), dan Paspor. Dalam identitas tersebut
dicantumkan nama kabupaten atau kota. Misalnya, kamu lahir di kabupaten Sleman,
maka dalam identitasmu akan dicantumkan bahwa kamu lahir di Kabupaten
Sleman.Kabupaten adalah pembagian wilayah administratif di Indonesia di bawah
provinsi.Pemerintahan kabupaten terdiri atas pemerintah kabupaten dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) kabupaten.Pemerintah kabupaten terdiri atas
bupati dan perangkatnya. Selain kabupaten, pembagian wilayah administratif setelah
provinsi adalah kota. Bupati sebagai kepala daerah mempunyai tugas antara lain:
41
e) Memberikan saran dan pertimbangan kepada kepala daerah dalam
penyelenggaraan kegiatan pemerintah daerah.
Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah untuk kabupaten atau
kota merupakan urusan yang berskala kabupaten atau kota meliputi:
b) Pertahanan.
c) Keamanan.
42
d) Yustisi.
f) Agama.
Kabupaten atau kota merupakan gabungan dari beberapa kecamatan yang ada di
sekitarnya. Pemerintah Kabupaten (Pemkab) dipimpinoleh seorang
bupati.Pemerintahan Kota (Pemkot) dipimpin oleh seorang walikota. Kabupaten atau
kota merupakan daerah bagian langsung dari provinsi. Kabupaten atau kota dipimpin
oleh bupati atau walikota dan perangkat daerah lainnya. Dalam menyelenggarakan
pemerintahan, setiap kabupaten atau kota dibekali dengan hak dan kewajiban tertentu.
Hak-hak daerah tersebut berikut ini:
Pada dasarnya selain memiliki hak terdapat pula kewajiban yang harus
dijalankan. Di samping hak-hak tersebut, daerah juga dibebani beberapa kewajiban
yang harus dilakukan, antara lain sebagai berikut:
43
c) Kepolisian resort (polres), merupakan lembaga kepolisian yang berada di
tingkat kabupaten atau kota.
d) Komando distrik militer (kodim), adalah lembaga militer yang berada di tingkat
kabupaten atau kota.
a. Gubernur
45
2) Fungsi anggaran adalah fungsi DPRD provinsi bersama-sama dengan
pemerintah daerah untuk menyusun Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD).
Pemerintah daerah terdiri atas kepala daerah dan wakil kepala daerah.Kepala
daerah dibantu oleh seorang wakil daerah.Kepala daerah provinsi disebut gubernur,
dan wakilnya disebut wakil gubernur. Sementara itu, kepala daerah kabupaten atau
kota disebut bupati atau walikota dan wakilnya disebut wakil bupati atau wakil wali
kota. Bupati dan wakil wali kota dipilih oleh masyarakat dan dilantik oleh gubernur.
Dalam menjalankan tugasnya, wakil kepala daerah bertanggung jawab kepada kepala
daerah.Wakil kepala daerah dapat menggantikan kepala daerah apabila kepala daerah
tidak dapat menjalankan tugasnya selama enam bulan berturut-turut.
b. Perangkat Daerah.
46
Pemerintah daerah memiliki perangkat daerah. Adapun perangkat daerah kabupaten
kota adalah sebagai berikut:
1) Sekretariat Daerah
2) Sekretariat DPRD
3) Dinas Daerah
5) Kecamatan
6) Kelurahan
1) Sekretariat Daerah
2) Skretariat DPRD
3) Dinas Daerah
Dinas daerah merupakan unsur pelaksana otonomi daerah. Kepala dinas daerah
bertanggung jawab kepada kepala daerah melalui Sekretaris Daerah. Dan dinas
daerah juga merupakan unsur pelaksana pemerintahan daerah. Dinas daerah dipimpin
oleh kepala dinasyang diangkat dan diberhentikan kepala daerah, yang memenuhi
47
syarat atas usul sekretaris daerah. Kepala dinas dalam melaksanakan tugasnya
bertanggung jawab kepada kepala daerah melalui sekretaris daerah. Misalnya, dinas
oekerjaan umum yang bertugas mengurus dan membangun jalan raya atau jembatan.
5) Kecamatan
6) Kelurahan
b) Memberdayakan masyarakat.
5) Memilih wakil kepala daerah dalam hal terjadi kekosongan jabatan wakil kepala
daerah.
Selain mempunyai tugas dan wewenang, DPRD juga memiliki hak. Hak tersebut
antara lain sebagai berikut:
8) Mentaati peraturan, tata tertib, kode etik, dan sumpah atau janji anggota
DPRD. 9) Menjaga norma dan etika dalam hubungan kerja dengan lembaga
terkait.
50
Negara.Susunan MPR terdiri dari atas anggota Dewan Perwakilan Daerah yang dipih
melalui pemilihan umum.
b. Melantik presiden dan wakil presiden berdasarkan hasil pemilihan umum dalam
siding paripurna MPR.
e. Memilih wakil presiden dari dua calon yang diajukan presiden apabila terjadi
kekosongan jabatan wakil presiden dalam masa jabatannya, selambat-lambatnya
dalam waktu enam puluh hari.
51
d. Memperhatiakn pertimbangan DPD atas rancangan undang-undang Anggaran
Pendapatan Belanja Negara (APBN) dan rancangan undang-undang yang
berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama.
4. Presiden
52
c. Menjaga keamanan dan melindungi seluruh warga Negara Indonesia.
1) Menyiapkan calon hakim agung yang berakhlak mulia, jujur, berani, dan
kompeten.
2) Mendorong pengembangan sumber daya hakim menjadi insan yang mengabdi dan
menegakkan hokum dan keadilannya.
53
3) Melaksanakan pengawasan penyelengaraan kekuasaan kehakiman yang jujur,
bersih, transparan, dan professional.
Adapun anggota BPK berjumlah 9 orang yang terdiri atas seorang ketua, wakil
ketua, dan tujuh orang anggota.Anggota BPK dipilih oleh DPR dengan
memperhatikan pertimbangan DPD dan disahkan oleh presiden. Pemimpin BPK
memegang jabatan sealam lima tahun dan dapat dipilih kembali untuk satu kali masa
jabatan. Badan Pemeriksa Keuangan mempunyai kewenangan sebagai berikut:
b.Menyerahkan hasil pemeriksaan keuangan Negara kepada DPR, DPD, dan DPRD
sesuai dengan kewenangannya.
1. Presiden
Pasangan calon Presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau
gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pemilihan umum.
Presiden memiliki tugas yang besar demi kemajuan bangsa. Berikut ini yang termasuk
tugas-tugas presiden:
54
a. Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang.
b.Memberi amnesti atau pengampunan kepada orang yang telah dijauhi hukuman.
Duta adalah orang yang mewakili suatu Negara di Negara lain. Konsul adalah orang
yang mewakili suatu Negara di kota Negara lain. Konsul berada di bawah kedutaan
besar.
Dalam pengangkatan duta dan penerimaan duta Negara lain, presiden harus
memperhatikan pertimbangan DPR.Presiden Republik Indonesia selain selain sebagai
kepala pemerintahan juga berperan sebagai kepala Negara dan panglima tertinggi
angkatan memiliki kekuasaan membuat perjanjian dengan Negara lain dengan
persetujuan DPR. presiden juga dapat memberikan tanda jasa, gelar, dan tanda
kehormatan lainnya.
Seorang presiden diusulkan oleh para partai politik atau gabungan dalam satu
pasangan. Kemudian setelah terpilih presiden akan menjalankan jabatannya selama 5
tahun.
2. Wakil Presiden
Untuk membantu pelaksanaan tugas, wakil presiden dibantu oleh secretariat wakil
presiden (setwapres). Susunan aorganisasi setwapres antara lain:
3. Mentri
Mentri Negara ialah mentri yang menangani bidang khusus yang tidak ditangani
oleh mentri departemen. Misalnya, mentri neagra BUMN dan mentri lingkungan
hidup
4.Menyusun dan mengajukan rancangan Perda tentang APBD kepada DPRD untuk
dibahas dan ditetapkan bersama.
6.Mewakili daerahnya di dalam dan di luar pengadilan, dan dapat menunjuk kuasa
hukum untuk mewakilinya sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Di masa lalu tugas seorang wakil kepala daerah hanya digariskan secara umum,
yaitu membantu tugas kepala daerah, atau menggantikan tugas kepala daerah apabila
kepala daerah berhalangan. Oleh karena itu muncul ironi bahwa seorang wakil kepala
daerah hanya bertugas sebagai ban serep.
57
2. Membantu kepala daerah dalam mengkoordinasikan kegiatan-kegiatan instansi
vertical di daerah, menindaklanjuti laporan dan/atau temuan hasil pengawasan,
melaksanakan pemberdayaan perempuan dan pemuda, serta mengupayakan
pengembangan dan pelestarian sosial budaya dan lingkungan hidup.
Jika kepala daerah meninggal dunia, berhenti, diberhentikan atau tidak dapat
melakukan kewajiban selama enam bulan secara terus-menerus dalam masa
jabatannya, maka wakil kepala daerah akan menggantikan kepala daearh sampai habis
masa jabatannya. Ketentuan ini diatur dalam ayat 3 Pasal 26 Undang-undang Nomor
32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.
58
3. Memelihara ketentraman dan ketertiban masyarakat.
10. Menjalin hubungan kerja dengan seluruh instansi vertikal di daerah dan semua
perangkat daerah.
Selain itu, kepala daerah mempunyai kewajiban juga untuk memberikan laporan
penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada pemerintah, dan memberikan laporan
keterangan pertanggungjawaban kepada DPRD, serta menginformasikan laporan
penyelenggaraan pemerintah daerah kepada masyarakat.
59
BAB IV PENGEMBANGAN PEMERINTAHAN UMUM DAN PEMBINAAN
WILAYAH DALAM OTONOMI DAERAH
4.1 Latar Belakang
Secara etimologis kata otomi berasal dari bahasa latin auto bearti
sendiri dan nomein berarti peraturan atau undang-undang. Maka autonom berarti
60
mengatur sendiri atau memerintah sendiri atau dalam arti luas adalah hak untuk
mengatur dan mengurus rumah tangga daerah sendiri.
Dewasa ini, paling tidak terdapat empat perubahan mendasar yang akan
menentukan wujud tatanan politik dunia yang perlu di antisipasi dan didalami
implikasinya. Pertama, kecenderungan arah perubahan dalam konstelasi politik
global, dari suatu karangka bipolar ke kerangka multipolar.kedua,menguatnya
gajala saling keteragntungan antar negara dan saling keterkaitan antara maslah
global dibidang poliik,keaman,ekonomi,sosial,lingkungan hidup,dan lain-lain.
Seiring dengan itu,semakin menguat pola dampak globalisasi dengan segala
implikasinya,baik yang positif maupun yang negatif. Ketiga,meningkatnya peran
aktor-aktor non pemerintah dalam tata hubungan antar negara. Keempat,
munculnya isu-isu baru dalam agenda internasional, seperti masalah hak asasi
manusia, intrfensi humaniter, demokrasi dan demokratisasi, good governance,l
ingkungan hidup, dan lain-lain.
61
Menyadari manfaat desentralisasi dan otonomi maka sudah sewajarnya
apabila pemerintahan umum dapat mendukung kelancaran pelkasanaan otonomi
tersebut. Juga dapat membantu dan melengkapi kekurangan dan kelemahannya.
Hal tersebut sebagai pengejawantahan terhadap kondisi keseimbangan anatara
asas desentralisasi dengan asas dekonstentrasi dalam pelaksanaan otonomi
daerah.
62
benuk Negara Indonesia sebagai suatu Negara Kesatuan tidak menoleransikan
desentralisasi dan otonomi daerah, tidak ada mutu rancang bangun suatu
pemerintahan daerah atau suatu daerah otonom yang memiliki sifatsifat atau
ciriciri sebagai suatu negara tersendiri.
63
Daerah oleh sebagian Kepala Daerah misalnya saat ini telah menimbulkan kesan
bahwa seolah-olah otonomi hanya wewenang kabupaten/kota sehingga
mengabaikan peran provinsi.Padahal seharusnya pern provinsi tetap dibutuhkan
terutama dalam mengoordinasikan pendistribusian bagi hasil dari pusat ke daerah,
terutama pemerataan pendapatan kepada daerah yang miskin.Untuk itu dalam
konteks kehidupan negara kesatuan dalam pelaksanaan otonomi, perlu
dikembangkan hubungan kemitraan nasional yang berangkat dari silaturahmi
antarsesama kelompok masyarakat dalam lintas agama dan budaya guna
menumbuheratkan semangat kesatuan dan persatuan bangsa dan negara
mengingat dalam penerapan otonomi saat ini masih terdapat sejumlah daerah
yang minim sumber daya dan PAD.
64
juga menyangkut aspek-aspek kewilayahan yang merupakan pencerminan dari
tugas umum pemerintahan.
Prinsip negara kesatuan meletakkan kekuasaan/kewenangan
pemerintahan pada Pemerintah Pusat. Namun, dalam rangka efisiensi dan
efektivitas penyelenggaraan pemerintahan diperlukan daerah-daerah otonom
yang memiliki hak dan kewenangan otonom. Menyadari hal itu, maka
bagaimana pun luasnya otonomi yang diberikan ke daerah, tetap memiliki
batas, dengan kalimat lain otonomi daerah bbukan tanpa batas, masih tetap
tersedia bingkai kewenangan Pemerintah Pusat yang lebih dikenl di dalam
pengertian pemerintahan umum. Perbedaannya, jika masa lampau bingkai
tersebut sangat sempit maka dalam era otonomi luas, menjadi cukup luas,
sehingga daerah mempunyai kebebaan untuk berkreasi.
Dalam kepustakaan tentang pemerintahan umum istilah yang sepadan
dalam Bahasa Belanda adalah istilah algemeen bestuur dilaksanakan oleh
Gubernur Jendral dengan bantuan pejabat-pejabat tinggi yang diangkat sebagai
pimpinan dari berbagai cabang dari algemeen bestuur, yang diorganisasikan
dalam lembaga-lembaga yang dinamakan Departementen Van Algemeen
Bestuur (Departemen-departemen Pemerintahan Umum).
Apabila mencari padan dari istilah Belanda algemeen bestuur tersebut
dalam kepustakaan tentang pemerintahan yang tertulis dalam Bahasa Inggris,
maka terdapat istilah Public Government. Kegiatan-kegiatan dari Algemeen
Bestuur tersebut selanjutnya diklasifikasikan menjadi dua jenis kelompok
kegiatan, yaitu :
a. Kegiatan-kegiatan yang masuk lingkup de administratie.
b. Kegiatan-kegiatan yang masuk lingkup bestuur (pemerintahan).
Fungsi tipikal dari Binnenlandsch Besturur itu adalah tanggungjawabnya untuk
memelihara ketentraman umum, karena itu mempunyai hubungan yang erat
dengan dinas kepolisian. Juga memegang fungsi selaku arbiter di antara
kepentingan-kepentingan yang saling berbenturan, yang timbul dari kelompok-
kelompok ras dan sosial yang heterogen.Binnenlandsch Bestuur inilah yang
semenjak awal merupakan pendukung dari kebijakan dekonsentrasi, dan
65
selanjutnya juga merupakan salah satu dari ting-tiang penyangga kebijaksanaan
desentralisasi yang mulai diujicobakan semenjak tahun 1905.
Jika diamati penjelasan Pasal 18 UUD 1945 terlihat jelas bahwa ada dua
macam daerah, yang pertama adalah daerah otonom yang mempunyai hak
untuk mengurus rumah tangganya sendiri, dan yang kedua adalah daerah
administrative. Hal itu, merupakan pencerminan dari daerah desentralisasi dan
kemudian dekonsentrasi.Namiun kedua hal itu hanya pada tingkatan
administrasi, yang nyatanya kedua hal itu merupakan satu kesatuan yang
berwilayah dalam pemerintahan disebut sebagai teritorialle unit.Walaupun
dalam konstruksi UU Nomor 32 Tahun 2004, kedua jabatan itu disatukan dalam
lembaga Kepala Daerah, yang dalam pemerintahan sering disebut sebagai
personal unit. Dengan kalimat lain, konsekuensi dari adanya Pasal 18 UUD
1945 adalah pemerintah diwajibkan menerapkan politik desentralisasi dan
ekonsentrasi di bidang ketatanegaraan.
Hal yang berkaitan dengan hubungan anatar pelakanaan pemerintahan umum
itu dengan otonomi dari Pemerintah Daerah adalah asa keseimbangan yang
menuntut pengetahuan tentang seberapa jauh dekonsentrasi itu dapat
dilaksanakan sampai batas di mana pelaksanaan desentralisasi tidak dirugikan,
melainkan justru diuntungkan. Demikian pula halnya bahwa bagaimana
mencari keseimbangan antara pelaksanaan asas desentralisasi dengan
dekonsentrasi dalam suatu titik imbang yang memungkinkan efisiensi dan
efektivitas dalam pelayanan kepada masyarakat.Karena pada dasarnya
desentralisasi dan otonomi daerah adalah semata-mata instrument untuk
mencapai tujuan dan bukan tujuan itu sendiri. Sehingga ketika kewenangan
daerah menjadi sangat besar, adanya organisasi yang dibangun sesuai
kepentingan dan kebutuhan daerah, adanya sumber keuangan, personel,
peralatan, dan dokumentasi yang sepenuhnya diatur oleh daerah, maka
permasalahannya terletak pada bagaimana manajemen pemerintahan daerah
sehingga tujuan akhir, yaitu kesejahteraan masyarakat akan mengalami
peningkatan.
66
Dari beberapa landasan baik terotis maupun historis tersebut menyadrkan
bahwa di dalam prinsip negara kesatuan, penyerahan urusan atau kewenangan
kepada daerah otonom seberapa besar pun, tetap ada batasnya.Apalagi di dalam
negara kesatuan, kewenangan dari pemerintah Pusat tetap diperlukan demi
menjaga dan mengenal prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.Ungkapan
yang sangat tepat adalah diperlukan Pemerintah Pusat yang kuat dan Daerah
yang kuat.Sehingga dapat menjaga dan memelihara negara kesatuan dan
mencegah disintegrasi.Pada dasarnya kewenangan pemerintah itu selalu
berkembang dinamis sesuai perkembangan yang ada pada masyarakat
khususnya Pemerintah Daerah.Ini bearti kewenangan pemerintahan yang
dimiliki oleh masing-masing tingkat pemerintahan tidaklah statis melainkan
dinamis sesuai dengan kebutuhan.
Para pejabat yang bertugas menyelenggarakan pemerintahan umum haruslah
benar-benar menyadari, bahwa baik secara strukural maupun fungsional, tugas-
tugas mereka tidak boleh menghambat kelancaran otonomi daerah yang nyata
dan bertanggungjawab.
Pemerintah Pusat menerapkan otonomi daerah tanpa menghilangkan peran
kewilayahan termasuk di dalamnya pembinaan wilayah.Dalam arti luas tugas-
tugas Pemerintah dilaksanakan pula oleh daerah otonom.Jelasnya Pemerintah
Pusat mendelegasikan aspek pembinaan wilayah kepada daerah otonom dan
dilaksanakan oleh perangkat otonom dan pertanggungjawabannya melampaui
kewenangan daerah otonom itu sendiri.Walaupun pada prinsipnya tugas
pembinaan wilayah adalah untuk kesejahteraan daerah itu sendiri, tetapi sebagai
suatu negara kesatuan Pemerintah Pusat wajib mengontrol daerah sebagai
subsistem nasional sehingga entitas kebangsaan ytidak mengalami pembiasan
dalam wilayah daerah itu sendiri.
UU Nomor 32 Tahun 2004 tidak secara tegas mengatur tentang pemerintahan
umum.Beberapa pengaturan tentang dekonsentrasi, tugas pembantuan, wilayah
administrasi, instansi vertikal, dan urusan yang tidak menjadi kewenangan
daerah.Meskipun demikian nuansa UU Nomor 32 Tahun 2004 bukan tidak
67
mengakui adanya pemerintahan umum tetapi tidak mengatur secara rinci
tentang tugas pemerintahan umum tersebut.
Materi-materi yang menyangkut pemerintahan umum adalah sebagai berikut :
1. Mengembangkan konsep negara-bangsa yang sinergis dengan konsep
negara kepulauan dalam penyelenggaraan pemerintahan nasional di daerah
sehingga tercermin adanya sistem dan mekanisme pemerintahan dalam
bingkai NKRI.
2. Memfasilitasi dan mengupayakan terciptanya situasi yang kondusif untuk
terselenggaranya kebijakan pemerintahan secara nasional di daerah
sekaligus mengakomodasikan kebiajakan daerah sebagai penyangga
utamanya.
3. Memfasilitasi terwujudnya keselarasan hubungan antarstrata pemerintahan,
yaitu antara pemerintahan pusat dengan provinsi, provinsi dengan
kabupaten/kota serta antar daerah.
4. Memfasilitasi terciptanya iklim yang kondusif dalam mendukung
terwujudnya keterntraman dan ketertiban umum di seluruh daerah dengan
basis penegakan hukum serta norma yang berlaku.
5. Memfasilitasi tertibnya hubungan lintas batas dan kepastian batas wilayah
dengan negara tetangga, antar daerah yang meliputi batas anatarprovinsi,
antarkabupaten/kota dan antardesa.
6. Memfasilitasi terselenggaranya kewenangan daerah di kawasan tertentu
sehingga terciptanya keserasian dan keselarasan pelaksanaan kewenangan
baik dalam rangka desentralisasi maupun dekonsentrasi dan tugas
pembantuan.
7. Menangani tugas-tugas umum pemerintahan lainnya yang tidak menjadi
tugas komponen lain dan Pemerintah Daerah serta lintas instansi mana pun
seperti koordinasi pemerintahan lintas sector dan lintas wilayah,
administrasi dasr kependudukan dan catatan sipil, mengaktualkan nilai-nilai
Pancasila dan UUD 1945 menciptakan dan memelihara kerukunan
nasional/wawasan kebangsaan serta mengembangkan wawasan gender,
68
menampung Dan pengolah serta menyalurkan aspirasi masyarakat terutama
yang berkaitan dengan kewenangan gubernur selaku wakli pemerintah.
69
4.3.2 Pentingnya Pembinaan Wilayah
70
4.4 Pola Pembinaan Wilayah dan Tugas dan Fungsi Pembinaan Wilayah
71
4.4.2 Tugas dan Fungsi Pembinaan Wilayah
Secara jelas dapat dikatakan bahwa dimensi pembinaan wilayah dapat dirinci
sebagai berikut:
72
a. Pembinaan wilayah dalam arti proses pengintegrasian berbagai nilai
socialkultural yang terdapat pada berbagai sub-wilayah di suatu wilayah
tertentu.
b. Pembinaan wilayah dalam arti proses untuk menciptakan stabilitas dalam
dinamika politik, ekonomi, dan budaya di wilayah yang bersangkutan
c. Pembinaan wilayah dalam arti mengupayakan terwujudnya ketentraman dan
ketertiban sebab wilayah pemerintahan sebagai perwujudan kesejahteraan
rakyat.
d. Pembinaan wilayah dalam arti membangun manusia Indonesia dan
masyarakat Indonesia dalam kerangka satu bangsa, bangsa Indonesia.
Sejarahnya tugas dan fungsi pembinaan wilayah melekat pada pejabat pusat
atau pejabat pusat yang ada di daerah yang dikenal dengan sebutan Pamong
Praja. Dalam masa pemerintahan Orde Baru, pejabat didaerah yang memiliki
kewenangan tertinggi dalam tugas pembinaan wilayah disebut Kepala Wilayah.
73
yang tentunya berarti ada dua perangkat pelaksana dan berarti pula ada dua jenis
pejabat dan atau jabatan. Walaupun dalam konstruksi UU Nomor 32 Taahun
2004, kedua jabatan itu disatukan dalam lembaga Kepala Daerah, yang dalam
pemerintahan sering disebut sebagai personale unit.
Dalam konteks sekarang ini, di era reformasi dengan adanya otonomi daerah
bukan berarti bahwa dengan sendirinya urusan pemerintahan umum telah
kehilangan maknanya, atau denga kalimat lain bahwa dengan diberlakukannya
otonomi daerah maka tugas pemerintahan umum telah lenyap, hal ini tidak
mempengaruhi keberadaan tugas-tugas pemerintahan umum yang mana salah
satu perwujudannya adalah dalam aspek pembinaan wilayah, tetapi lebih dari itu
bahwa pelaksanaan otonomi daerah tetap berjalan dan segala kewenangan yang
menyangkut tugas pemerintahan umum termasuk di dalamnya menyangkut
pembinaan wilayah, tetap dilaksanakan walaupun dalam konteks otonomi daerah
dan karena melihat fungsi pertanggungjawaban tetap berada kepada pejabat
Pemerintah Pusat, sementara di daerah diemban oleh Kepala Daerah
4.6 Simpulan
75
5.1. Latar Belakang
76
Dalam konsep otonomi daerah pelaksanaan pengawasan tidak boleh
mengakibatkan pengurangan atau penggerogotan terhadap nilai-nilai yang berlaku
dan terkandung dalam dasar-dasar desentralisasi yaitu kebebasan dan inisiatif daerah
dalam berprakarsa. Tanpa pengawasan yang tepat maka disinyalir akan dapat
mengakibatkan terancamnya brandol kesatuan NKRI, dan kalau pengawasan terlalu
kuat justru akan membuat nafas desentralisasi menjadi tersengal-sengal.
78
daya saing daerah. Pelaksanaan Otonomi tersebut memerlukan pengawasan agar
selalu berada dalam koridor pencapaian tujuan otonomi daerah.
79
5.2.2 Ruang Lingkup Pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintah
daerah
Pasal 2 Permendagri 23/2007 tentang Pedoman Tata Cara Pengawasan atas
Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah menyatakan ruang lingkup pengawasan
yang dilakukan oleh Pengawas Pemerintahan meliputi:
Fungsi pengawasan umum dapat pula dilakukan melalui WASKAT yang hakekatnya
sama dengan WASNAL.
81
Inspektorat Jenderal mempunyai tugas melakukan pengawasan umum terhadap
pelaksanaan tugas pokok KEMDAGRI. Tetapi juga IRJEN merupakan aparat
pengawasan fungsional (APF) (Sujamto, 1986 : 73-74).
a. Pengawasan Langsung
c.Surat-surat pengaduan;
a. Pengawasan Formal
82
Pengawasan Formal adalah pengawasan yang dilakukan oleh instansi/pejabat yang
berwenang (resmi) baik yang berifat intern dan ekstern; Misal : pengawasan yang
dilakukan oleh BPK, BPKP dan ITJEN
b. Pengawasan Informal
Pengawasan Informal yakni pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat atau social
control, misalnya surat pengaduan masyarakat melalui media massa atau melalui
badan perwakilan rakyat.
Melihat definisi pemerintahan daerah seperti yang telah dikemukakan di atas, maka
yang dimaksud pemerintahan daerah adalah penyelenggaraan urusan-urusan yang
menjadi urusan daerah (provinsi atau kabupaten) oleh pemerintah daerah dan DPRD.
Penyelenggara Pemerintahan Daerah Penyelenggara pemerintahan daerah adalah
pemerintah daerah dan DPRD (Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004 sebagaimana telah diamandemen dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2008 Tentang Pemerintahan Daerah).
83
sebagaimana telah diamandemen dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008
Tentang Pemerintahan Daerah).
Pemerintah daerah adalah Gubernur, Bupati, atau Walikota, dan perangkat daerah
sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah. Sedangkan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah (DPRD) adalah lembaga perwakilan rakyat daerah sebagai unsur
penyelenggara pemerintahan daerah. Pemerintah daerah harus mampu mengelola
daerahnya sendiri dengan baik dengan penuh tanggung jawab dan jauh dari praktik-
praktik korupsi. Hak-hak dan Kewajiban Pemerintahan Daerah Dalam
menyelenggarakan fungsi-fungsi pemerintahan, terutama dalam penyelenggaraan
otonomi daerah dibekali dengan hak dan kewajiban tertentu.
6.Mendapatkan bagi hasil dari pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya
lainnya yang berada di daerah
84
8.Mendapatkan hak lainnya yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Seperti dipahami bersama, bahwa pemerintahan daerah adalah sub sistem dari
sistem pemerintahan nasional dalam struktur NKRI. Konsekwensi logisnya adalah
penyelenggaraan pemerintahan daerah tidak boleh menyimpang dari sistem nasional
(pusat). Pada tataran ideal pelaksanaan otonomi, berarti semua kegiatan kenegaraan di
daerah dilaksanakan oleh pemerintahan daerah yang bersangkutan, akan tetapi
85
kenyataannya di tataran implementasi masih banyak terjadi penyimpangan atau salah
tafsir atau perbedaan persepsi antara “das sollen” dan ”das sein”.
Dalam UU No. 32 Tahun 2004, pengawasan dapat dilihat dalam beberapa hal
yaitu evaluasi rancangan peraturan daerah dan peraturan kepala daerah tentang
APBD, perubahan APBD dan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD dan
rancangan Perda Provinsi tentang APBD yang telah disetujui bersama dan rancangan
peraturan gubernur tentang penjabaran APBD sebelum ditetapkan oleh gubernur
disampaikan kepada Mendagri untuk dievaluasi. Hasil evaluasi kemudian
disampaikan oleh Mendagri kepada gubernur.
86
bahan pembinaan selanjutnya oleh pemerintah dan dapat digunakan sebagai bahan
pemeriksaan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
87
kabupaten/kota. Mekanisme ini dilakukan agar pengaturan tentang hal-hal tersebut
dapat mencapai daya guna dan hasil guna yang optimal.
2.Pengawasan terhadap semua peraturan daerah di laur yang termasuk dalam angka 1,
yaitu setiap peraturan daerah wajib disampaikan pada Mendagri untuk provinsi dan
gubernur untuk kabupaten/kota untuk memperoleh klarifikasi. Terhadap peraturan
daerah yang bertentangan dengan kepentingan umum dan peraturan yang lebih tinggi
dapat dibatalkan sesuai dengan mekanisme yang berlaku.
5.6 SIMPULAN
88
“Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh
pemerintahan daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan
prinsip otonomi yang seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945”.
Dalam UU No. 32 Tahun 2004, pengawasan dapat dilihat dalam beberapa hal yaitu
evaluasi rancangan peraturan daerah dan peraturan kepala daerah tentang APBD,
perubahan APBD dan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD dan rancangan Perda
Provinsi tentang APBD yang telah disetujui bersama dan rancangan peraturan
gubernur tentang penjabaran APBD sebelum ditetapkan oleh gubernur disampaikan
kepada Mendagri untuk dievaluasi. Hasil evaluasi kemudian disampaikan oleh
Mendagri kepada gubernur.
BAB VI
PEMERINTAHAN LOKAL DAN OTOMONI DAERAH DALAM
89
PERSPEKTIF GENDER DAN KEARIFAN LOKAL
90
kesehatan, pemenuhan kebutuhan hidup minimal, prasarana lingkungan dasar;
sedangkan urusan pemerintahan yang bersifat pilihan terkait erat dengan potensi
unggulan dan kekhasan daerah. Penyelenggaraan pemerintahan daerah disesuaikan
dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yaitu
pemerintahan daerah, yang mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan
menurut asas otonomi dan tugas pembantuan, diarahkan untuk mempercepat
terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan, pelayanan,
pemberdayaan, dan peran serta masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah
dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan
kekhususan suatu daerah dalam sistem Negara Republik Indonesia.
Dalam pelaksanaan pemerintahan lokal dan pelaksanaan otonomi daerah, tidak
terlepas dari permasalahan gender dan kearifan lokal. Karena dua hal tersebut sangat
penting dalam penentuan – penentuan dalam pelaksanaan otonomi daerah. Oleh
karena itu dalam makalah ini akan membahas mengenai pemerintahan lokal dan
Otonomi Daerah dalam persepektif gender dan keafiran lokal.
6.2.Pemerintah Lokal
Pemerintahan lokal adalah institusi kuno dengan konsep baru. Ini
perwujudan aktivitas manusia dalam kelompok, merefleksikan semangat
kebebasan. Pemerintahan lokal adalah bagian dari badan politik suatu negara,
diakui dan dibuat dibawah hukum untuk mengatur isu-isu lokal manusia dengan
batas-batas geografis.
Bhenyamin Hoessein (2001:3) menjelaskan bahwa local government dapat
mengandung tiga arti. Pertama, berarti pemerintah lokal. Kedua, berarti
pemerintah lokal yang dilakukan oleh pemerintah lokal. Ketiga, berarti, daerah
otonom.
Local government dalam arti pertama menunjuk pada lembaga/organnya.
Maksudnya local government adalah organ/badan/organisasi pemerintah di
tingkat daerah atau wadah yang menyelenggarakan kegiatan pemerintahan di
daerah. Dalam arti ini istilah local government sering dipertukarkan dengan
istilah local authority (UN:1961). Baik local government maupun local authority,
91
keduanya menunjuk pada counsil dan major (dewan dan kepala daerah) yang
rekrutmen pejabatnya atas dasar pemilihan. Dalam konteks Indonesia local
government merujuk kepada kepala daerah dan DPRD masing-masing
pengisiannya dilakukan dengan cara dipilih, bukan ditunjuk.
Local government dalam arti kedua menunjuk pada fungsi kegiatannya.
Dalam arti ini local government sama dengan pemerintahan daerah. Dalam
konteks Indonesia pemerintah daerah dibedakan dengan istilah pemerintahan
daerah. Pemerintah daerah adalah badan atau organisasi yang lebih merupakan
bentuk pasifnya, sedangkan pemerintahan daerah merupakan bentuk aktifnya.
Dengan kata lain, pemerintahan daerah adalah kegiatan yang dilakukan oleh
pemerintah daerah.
Local government dalam pengertian organ maupun fungsi tidak sama
dengan pemerintah pusat yang mencakup fungsi legislatif, eksekusif, dan
judikatif. Pada local government hampir tidak terdapat cabang dan fungsi
judikatif (Antoft dan Novack:1998). Hal ini terkait dengan materi pelimpahan
yang diterima oleh pemerintah lokal. Materi pelimpahan wewenang kepada
pemerintah lokal hanyalah kewenangan pemerintahan. Kewenangan legistlatif
dan judikasi tidak diserahkan kepada pemerintah lokal. Kewenangan legislasi
tetap dipegang oleh badan legistlatif (MPR, DPR, dan BPD) di pusat sedangkan
kewenangan judikasi tetap dipegang oleh badan peradilan (Mahkamah Agung,
Pengadilan Tinggi, Peradilan Negri, dan lain-lain). Kalau toh di daerah terdapat
badan peradilan seperti Pengadilan Tinggi di provinsi dan Pengadilan Negeri di
Kabupaten/kota masing-masing bukan merupakan bagian dari pemerintah lokal.
Badan-badan peradilan tersebut adalah badan yang independen dan otonom di
bawah badan peradilan pusat.
Istilah legistlatif dan eksekutif juga tidak lazim digunakan pada local
government. Istilah yang lazim digunakan pada local government adalah fungsi
pembentukan kebijakan (policy making function) dan fungsi pelaksanaan
kebijakan (policy executing function). Fungsi pembentukan kebijakan dilakukan
oleh pejabat yang dipilih melalui pemilu, sedangkan fungsi pelaksanaan
92
kebijakan dilakukan oleh pejabat yang diangkat/birokorat lokal (Bhenyamin
Hoessein, 2001:10)
Local government dalam pengertian ketiga yaitu sebagai daerah otonom
dapat disimak dalam definisi yang diberikan oleh The United Nations of Public
Administration: yaitu subdivisi politik nasional yang diatur oleh hukum dan
secara substansial mempunyai kontrol atas urusan-urusan lokal, termasuk
kekuasaan untuk memungut pajak atau memecat pegawai untuk tujuan tertentu.
Badan pemerintah ini secara keseluruhan dipilih atau ditunjuk secara lokal
(UN:1961)
Dalam pengertian ini local government memiliki otonomi (lokal) dalam arti
self government. Yaitu mempunyai kewenangan untuk mengatur (rules making =
regelling) dan mengurus (rules application = bestuur) kepentingan masyarakat
setempat menurut prakarsa sendiri. Dalam istilah administrasi publik
masingmasing wewenang tersebut lazim disebut wewenang membentuk
kebijakan (policy making) dan wewenang melaksanakan kebijakan (policy
executing) (Bhenyamin Hoessein, 2002). Mengatur merupakan perbuatan
menciptakan norma hukum yang berlaku umum. Dalam konteks otonomi daerah,
norma hukum tertuang dalam Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah
yang bersifat pengaturan. Sedangkan mengurus merupakan perbuatan
menerapkan norma hukum yang berlaku umum pada situasi konkrit dan
individual (beschikking) atau perbuatan material berupa pelayanan dan
pembangunan obyek tertentu (Bhenyamin Hoessein, 2002).
93
pelaksanaan pemerintahan daerah daripada kesejahteraan masyarakat. Ketiga,
partisipasi aktif perempuan dalam pembuatan kebijakan masih sangat minim,
keterwakilan perempuan dalam institusi pengambilan keputusan yang seharusnya
sesuai dengan kuota 30 persen akhirnya menjadi turun signifikan, dan
kepemimpinan perempuan sebagai pemimpin daerah di tingkat lokal jumlahnya
nyaris tidak ada. Semakin menguatnya budaya yang sangat patriarkis setelah
Otonomi Daerah berjalan merupakan salah satu andil semakin termarjinalkannya
perempuan Indonesia.
Posisi perempuan dalam kondisi budaya seperti itu akan selalu
termarjinalkan. Subordinasi perempuan yang ditakutkan semakin bertambah
dalam era otonomi daerah adalah konsekuensi praktik pengelolaan politik yang
dipengaruhi empatfaktor utama dalam proses pengambilan kebijakan di daerah.
Pertama, ranah budaya memang dikuasai oleh kaum laki-laki. Kedua, ranah
agama juga dikuasai kaum laki-laki. Ketiga, ranah ekonomi juga dikuasaikaum
laki-laki, kendati dalam proses pengelolaan ekonomi, peran perempuan tidak
kalah pentingnya ketimbang kaum laki-laki. Keempat, dan ini yang paling
menentukan, ranah politik dikuasai oleh kaum laki-laki. Kenyataan seperti itu
menimbulkan ketegangan berkelanjutan karena berhadapan dengan
berkembangnya pemahaman HAM hasil globalisasi. Gerakan memperjuangkan
HAM membawa nilai universal yang pada tingkat tertentu dianggap bertentangan
dengan nilai lokal berupa identitas budaya. Gerakan feminisme yang membawa
ideologi gender merupakan salah satu wujudnya. Gerakan ini memperjuangkan
kesetaraan perempuan di berbagai lini kehidupan masyarakat, yang sekaligus
berarti berupaya melawan dominasi laki-laki dalam keempat ranah di atas.
6.3.1. Posisi Perempuan Era Otonomi Daerah
Untuk menyikapi berbagai permasalahan perempuan pada akhirnya harus
menentukan sikap akan seperti apa kesetaraan antara perempuan dan laki-laki
dalam otonomi daerah saat ini. Sikap perempuan itu sendiri akan sangat
menententukan derajat kesadaran perempuan itu sendiri. Dalam konteks ini akan
banyak kemungkinan yang terjadi, pertama, di dalam suatu masyarakat daerah
yang gerakan HAM-nya marak dilakukan, termasuk didalamnya menyentuh
94
aspek substansial posisi perempuan, maka akan terjadi dinamika yang
memungkinkan terakomodasinya kepentingan perempuan dalam kebijakan yang
berkaitan dengan syariat Islam. Kedua, dalam masyarakat daerah otonom yang
dominasi budaya lokalnya yang masih sangat kental dan tidak ada gerakan HAM
secara langsung, maka kaum perempuan hanya akan menerima segala keputusan
politik (kebijakan) yang dibuat tanpa dapat memperjuangkannya lebih jauh.
Kemungkinan kedua menjadi kemungkinan yang paling besar peluangnya
akan terjadi, mengingat daerah-daerah di Indonesia pada umumnya masih sangat
jauh dari sentuhan langsung penyadaran hak asasi manusia, hal yang paling
mendasar sebenarnya bahwa apa pun produk suatu kebijakan yang dikeluarkan
oleh suatu daerah otonom, tidak perlu dikhawatirkan apabila kebijakan tersebut
merupakan produk yang demokratis dan memang dutujukan untuk kepentingan
masyarakat pada daerah otonom itu sendiri. Memang sekarang ini, termasuk
(rancangan) Peraturan Daerah yang membatasi hak perempuan di Sumatera Barat
misalnya, lebih mengekspresikan kepentingan elite pada pemerintahan daerah
tersebut, karena prosesnya tidak berdasar kebutuhan elemen masyarakat sebagai
stake holders lokal, melainkan lebih berdasar kesepakatan para elite politik.
Terdapat beberapa hal yang perlu diperjuangkan oleh kaum perempuan
diantaranya adalah mencoba mengembangkan kesadaran pada masyarakat bahwa
proses pengambilan kebijakan pada tingkat lokal haruslah melibatkan semua
elemen yang ada. Kemudian harus adanya pembangunan kesadaran semua
lapisan masyarakat bahwa perempuan merupakan elemen masyarakat
yangmenjadi pilar utama dalam membangun demokrasi lokal. Karena itu,aspirasi
perempuan harus menjadi pertimbangan utama dalam proses pengambilan suatu
kebijakan.
6.3.2 Partisipasi Perempuan pada Tingkat Daerah
Komposisi gender pada anggota legislatif juga dapat dijadikan sebagai
salah satu acuan untuk melihat dan membandingkan peluang partisipasi politik
kedua gender melalui pemilihan umum. Di Indonesia, perempuan dianggap
sebagai warga negara, tanpa pembedaan yang tersurat dalam hak dan kewajiban
dengan warga negara laki-laki.Akan tetapi yang penting adalah untuk
95
membedakan antara peran aktif dan peran pasif sebagai warga negara. Lister
menyitir Mary Dietz yang menyatakan bahwa partisipasi politik adalah
terminologi yang menjadi lawan peran pasif warga negara sebagai ‘pemilik
hak’.Partisipasi politik berarti secara aktif melakukan sesuatu dalam kaitan
dengan kewajiban sebagai warga negara, yakni mempengaruhi kebijakan publik.
Meskipun pemerintah di beberapa daerah menyebutkan permasalahan gender
sebagai salah satu agenda yang harus dijalankan, namun tidak ditemukan
rumusan partisipasi perempuan dalam politik lokal yang eksplisit dalam teks
peraturan daerah. Rumusan yang eksplisit sangatlah penting mengingat
keterlibatan perempuan secara luas dalam pengambilan keputusan di tingkat
lokal sangat sedikit. Masalah ini bukanlah khas pemerintahan daerah karena kita
bisa melihat bahwa jumlah perempuan dalam lembaga politik di tingkat nasional
pun sangat sedikit. Jika hal ini tidak dirumuskan, maka identifikasi masalah yang
telah dilakukan pemerintah daerah berhenti sampai taraf menimbang peraturan
perundang-undangan tentang pengarusutamaan gender.
Posisi perempuan dalam lembaga politik formal jauh lebih sedikit
dibandingkan dengan laki-laki. Padahal, berdasarkan data statistik yang
dikeluarkan oleh Biro Pusat Statistik (BPS) 2002, jumlah perempuan Indonesia
sebanyak 51% dari seluruh jumlah penduduk Indonesia.
Keterbatasan akses membuat perempuan mengalami kesulitan untuk
menunjukkan bahwa kepentingannya tidak terwadahi dalam sistem politik yang
ada. Keterbatasan keterlibatan perempuan di ruang publik juga menjadi kendala
untuk mengembangkan organisasi perempuan untuk memformulasikan
kepentingan perempuan. Karenanya harus ada ruang untuk kemungkinan
berkembangnya kesempatan bagi perempuan untuk mendefinisikan sistem
partisipasinya yang memungkinkan hal-hal yang berada di luar maskulinitas bisa
diperhatikan.
Rumusan partisipasi politik perempuan yang tidak tertera dalam peraturan
daerah tidak serta merta berarti bahwa perempuan tidak memiliki akses untuk
berpartisipasi dalam politik.Terdapat beberapa peraturan yang dibuat dengan
intensi netral gender dan memberi ruang bagi perempuan untuk berpartisipasi
96
aktif dalam politik lokal seperti Perda No.Representasi Perempuan dalam
Kebijakan Publik di Era Otonomi Daerah – 927 Tahun 2001 (Mataram).
Ruang untuk partisipasi politik perempuan yang dimungkinkan melalui
jenis peraturan seperti ini harus terus menerus dinegosiasikan antara perempuan
dan para pemangku kepentingan lainnya. Negosiasi untuk memperoleh ruang
partisipasi yang lebih luas menuntut peran perempuan yang aktif dan terorganisir
sehingga mampu menghasilkan perbedaan dalam tata pemerintahan.Tanpa peran
aktif dan organisasi yang inklusif, perempuan hanya akan menjadi aktor karena
jenis kelaminnya, tapi membuat kebijakan yang tidak menguntungkan
perempuan. Tuntutan perempuan untuk terlibat dalam pengambilan keputusan
tidak berhenti pada jumlah perempuan yang masuk dalam struktur politik, tapi
juga pada visi dan agenda mereka untuk memperbaiki kondisi perempuan.
Kearifan lokal yang ada di seluruh suku bangsa di Indonesia ini tidak boleh
hilang atau punah, karena ia akan menjadi dasar dari kehidupan berbangsa dan
bernegara kita. kearifan lokal adalah bagian dari budaya daerah, di mana budaya
nasional adalah ejawantahan dari budaya-budaya daerah. Dengan kata lain,
penguatan unsur-unsur kearifan lokal dalam kehidupan masyarakat daerah,
tentunya di bawah supervisi dan bimbingan pemerintahan daerah, akan sangat
berguna bagi upaya-upaya penguatan NKRI.
97
bersikap sebagai hasil penilaian terhadap sesuatu, obyek, atau peristiwa yang
terjadi sehingga sering kali diartikan sebagai kearifan atau kebijaksanaan.
98
mereka dan menjaga keseimbangan lingkungan. Hanya saja, proses
pembangunan yang bersifat top-down, telah mengecilkan peran dan fungsi
nilainilai lokal melalui penerapan berbagai peraturan yang bersumber dari pusat
dan lebih mendahulukan kepentingan nasional, tanpa memperhatikan
kepentingan rakyat di tingkat bawah yang sebenarnya merupakan stakeholder
utama dari kebijakan yang ada.
Ekses jangka panjang yang sangat terasa dari marjinalisasi peran dan fungsi
kearifan lokal dalam proses pembangunan adalah menurunnya daya kreatifitas
masyarakat dan jiwa kewirausahaan, karena masyarakat telah terbiasa pada pola
“petunjuk dari atas” atau top-down. Implikasi mendasar dari situasi seperti ini
adalah terciptanya mentalitas subordinat, sehingga menjadi kendala budaya
terhadap implementasi berbagai progam pemberdayaan masyarakat. Kondisi ini
menyebabkan masyarakat sendiri tidak lagi terbiasa dengan program-program
bottom-up, yang disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat setempat itu sendiri.
6.5.Simpulan
Pemerintahan lokal adalah institusi kuno dengan konsep baru. Ini
perwujudan aktivitas manusia dalam kelompok, merefleksikan semangat
kebebasan. Pemerintahan lokal adalah bagian dari badan politik suatu negara,
diakui dan dibuat dibawah hukum untuk mengatur isu-isu lokal manusia dengan
batas-batas geografis. Bhenyamin Hoessein (2001:3) menjelaskan bahwa local
government dapat mengandung tiga arti. Pertama, berarti pemerintah lokal.
Kedua, berarti pemerintah lokal yang dilakukan oleh pemerintah lokal. Ketiga,
berarti, daerah otonom. Dalam kaitan dengan ketiga arti pemerintahan lokal
tersebut, terdapat salah satunya adalah derah otonom/otonomi daerah dapat
dilihat pula pelaksanaannya di Indonesia, dalam hal ini kaitannya dengan
perspektif gender.
Terdapat tiga catatan menyangkut dampak otonomi daerah terhadap
perempuan. Catatan pertama, kecenderungan menguatnya politik identitas,
politisasi agama, dan revitalisasi adat yang bernuansa pembatasan peran publik
99
perempuan. Kedua, otonomi daerah tidak serta-merta meningkatkan
kesejahteraan masyarakat. Ketiga, partisipasi aktif perempuan dalam pembuatan
kebijakan masih sangat minim,
Secara substansial, kearifan lokal adalah nilai-nilai yang berlaku dalam
suatu masyarakat, diyakini kebenarannya dan menjadi acuan dalam
bertingkahlaku sehari-hari masyarakat setempat. kearifan lokal secara praktek
merupakan upaya masyarakat untuk melestarikan sumber daya agar dapat terus
digunakan untuk menghidupi mereka dan menjaga keseimbangan lingkungan.
Ekses jangka panjang yang sangat terasa dari marjinalisasi peran dan fungsi
kearifan lokal dalam proses pembangunan adalah menurunnya daya kreatifitas
masyarakat dan jiwa kewirausahaan, karena masyarakat telah terbiasa pada pola
“petunjuk dari atas” atau top-down. Kondisi ini menyebabkan masyarakat sendiri
tidak lagi terbiasa dengan program-program bottom-up, yang disesuaikan dengan
kebutuhan masyarakat setempat itu sendiri.
BAB VII DPRD DAN OTONOMI DAERAH DALAM PERSPEKTIF UUD 1945
DAN UU NOMOR 32 TAHUN 2004
101
Undang-Undang Dasar 1945 tentang Pemerintahan Daerah, dalam Pasal 18,
dinyatakan sebagai berikut:
1. Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan
daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota yang tiap-tiap provinsi,
kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah yang diatur dengan
undang-undang.
2. Pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus
sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.
3. Pemerintah daerah provinsi, kabupaten dan kota memiliki Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah yang anggota-anggotanya dipilih memalui pemilihan umum.
4. Gubernur, bupati, dan walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah
daerah provinsi, kabupaten, dan kota dan dipilih secara demokratis.
5. Pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan
pemerintah yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan pemerintah
pusat.
6. Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan
peraturanperaturan lain, untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.
7. Susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur dalam
undang-undang.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa prinsip desentralisasi menguat
pada pasal 18 ayat 2, 5 dan 6 setelah Amandemen Kedua2.
Sedangakan secara keseluruhan, perubahan dan ameandemen UUD 1945
mulai dari perubahan pertama sampai ke empat, pasal 18 telah mengalami
perubahan dan penambahan-penambahan (suprihaini, 2008: 11). Untuk
mengetahui esensi dari pasal 18 tersebut, berikut bunyi pasal 18 UUD 1945
setelah amandemen :
Pasal 18
(1). Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan
daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi,
2 (http://windysitinjak.blogspot.com/2013/05/kemajuan-perubahan-pertama-kedua-ketiga.html).
102
kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur
dengan undang-undang.
(2). Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas
pembantuan.
(3). Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota memiliki Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah yang anggota-anggotanya dipilih melalui
pemilihan umum.
(4). Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai Kepala Pemerintah
Daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota dipilih secara demokratis.
(5). Pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan
pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan
Pemerintah Pusat.
(6). Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan
peraturanperaturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.
(7). Susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur dalam
undang-undang.
Pasal 18A
(1). Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah
provinsi, kabupaten, dan kota atau antara provinsi dan kabupaten dan kota,
diatur dengan Undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan
keragaman daerah.
(2). Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfatan sumber daya alam dan
sumber daya lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah diatur
dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan undang-undang.
Pasal 18B
(1). Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah
yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan Undang-
undang.
103
(2). Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum
adat serta hak-hak tradisonalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia,
yang diatur dalam undang-undang.
104
dan di Indonesia yang dimaksud dengan pemerintahan daerah adalah
penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD
menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi yang
seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia
Tahun 1945.
Dalam menyelenggarakan pemerintahan di daerah, diperlukan
perangkatperangkat dan lembaga-lembaga untuk menyelenggarakan jalannya
pemerintahan di daerah sehari-hari. Untuk memenuhi fungsi perwakilan dalam
menjalankan kekuasaan legislative daerah sebagaimana di pusat negara di daerah
dibentuk pula Lembaga Perwakilan Rakyat, dan lembaga ini biasa dikenal atau
dinamakan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
DPRD dalam UUD 1945 sebelum DPRD dalam UUD 1945 setelah
amandemen amandemen
105
Pasal 18 yang berbunyi “Pembagian Pasal 18 ayat (3) yang berbunyi
Daerah atas Daerah besar dan kecil, “Pemerintah daerah provinsi, daerah
dengan bentuk susunan
pemerintahannya ditetapkan dengan kabupaten, dan kota memiliki Dewan
undang-undang dengan memandang dan Perwakilan Rakyat Daerah yang
mengingat dasar permusyawaratan
anggotanya dipilih melalui pemilihan
dalam sidang pemerintahan Negara dan
hak-hak asal usul dalam daerah yang umum. (amandemen kedua)
bersifat istimewa. Pasal 23E ayat (2) yang berbunyi “Hasil
pemeriksaan keuangan negara
diserahkan kepada Dewan Perwakilan
Pasal 23 ayat (6) yang berbunyi “Hal Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan
pemeriksaan itu diberitahukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah,
Dewan Perwakilan Rakyat. sesuai dengan
kewenangannya.(amandemen ketiga)
DPRD dan Otonomi Daerah Sebelum DPRD dan Otonomi Daerah setelah
Amandemen amandemen
106
1. Kedudukan DPRD sebelum 1. Kedudukan DPRD: Dalam pasal
amandemen yaitu KNIP (komite 18 ayat 3 UUD 1945 (Amandemen
nasional indonesia pusat) yang Kedua) disebutkan,”Pemerintah
menjadi lembaga pembantu daerah provinsi, daerah kabupaten,
presiden. dan kota memiliki Dewan
2. Pelaksanaan Otonomi Daerah Perwakilan Rakyat Daerah yang
- Terjadi penyempitan otonomi anggotanya dipilih melalui
daerah menuju sentralisasi karena pemilihan umum.”
tidak ada pasal yang tercantum 2. Pelaksanaan Otonomi Daerah Satu-
secara jelas dan tegas mengenai satunya sumber konsitusional
pemerintah daerah adalah pasal 18,
pemerintahan daerah.
pasal 18A dan 18B. Untuk
Secara historis UUD 1945 memperjelas pembagian daerah
menhendaki otonomi seluas-luasnya, dalam negara kesatuan republik
tetapi karena tidak di cantumkan,
107
yang terjadi adalah penyempitan indonesia yang meliputi daerah
otonomi daerah menuju pemerintahan provinsi dan dala daerah provinsi
sentralisasi. terdapat daerah kabupaten dan kota.
Tidak ada lagi unsur pemerintah
sentralisasi dalam pemerintahan
daerah.
Pasal 18 (baru) menegaskan
pelaksanakan otonomi
seluasluasnya.
Prinsip kekhusukan dan keragaman
daerah (pasal 18A ayat
1). Prinsip mengakui dan
menghormati pemerintahan daerah
yang bersifat khusus dan istimewa
(pasal 18B ayat 1). Prinsip
perwakilan dipilih langsung dalam
suatu pemilihan umum (pasal 18
ayat 3). Prinsip hubungan pusat
dan daerah harus dilakukan secara
selaras dan adil
(pasal 18A ayat 2)
109
Meskipun DPRD bisa membuat peraturan daerah, ini tidak sama dengan
undangundang. Karena perda adalah turunan dari kebijakan pusat (Dwipayana,
2008: 7). Hasilnya akan berbeda jika desentralisasi politik dianggap bersumber
pada negara bukan sebatas ranah eksekutif.
Perubahan berikutnya adalah pilihan politik pilkada langsung . Dalam
pasal 6A ayat 1 UUD 1945 (Amandemen Ketiga) disebutkan,”Presiden dan wakil
presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat.”. Atas dasar
itu, mulai tahun 2004 dilakukan pilpres secara langsung. Perubahan ini
mendorong dilakukan pilkada secara langsung pula. Sehingga di UU No. 32
tahun 2004 kewenangan DPRD memilih kepala daerah, meminta
pertanggungjawaban, dan dapat mengusulkan untuk memberhentikan kepala
daerah juga dihapus. Kedudukan kepala daerah di UU No. 32 tahun 2004
menjadi sangat kuat dengan dikenalkannya sistem pilkada secara langsung.
Berikutnya, kewenangan DPRD untuk memilih anggota MPR dari utusan daerah
juga hapus seiring dengan perubahan susunan MPR menjadi lembaga yang
keanggotaannya gabungan anggota DPR dan anggota DPD, dimana keanggotaan
kedua lembaga itu dipilih melalui pemilu.
UU No. 32 tahun 2004 memang tidak lagi memberi tugas dan wewenang
kepada DPRD untuk memilih kepala daerah dan implikasinya kepala daerah
tidak bertanggung jawab kepada DPRD, maka seolah-olah tugas dan
kewenangan DPRD terpangkas dan menjadi “lemah”. Menurut pasal 27 (2) UU
No.32/2004, kepala daerah tidak lagi menyampaikan laporan pertanggung
jawaban (LPJ) kepada DPRD, namun kepala daerah menyusun Laporan
Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ) untuk DPRD pada setiap tahun
anggaran dan pada akhir masa jabatan. LKJP ini tidak ada ketentuan
diterima/ditolak DPRD. Selain itu, kepala daerah wajib menyusun Laporan
Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (LPPD) kepada pemerintah pusat dan
wajib memberi informasi LPPD kepada masyarakat melalui media
cetak/elektronik. Namun jika dicermati, sesungguhnya UU No. 32 tahun 2004
masih memberi DPRD peran strategis dalam pilkada. DPRD juga masih punya
peran dalam meloloskan rancangan APBD yang diajukan eksekutif. Pasal 42 (b)
110
(c) UU No. 32 tahun 2004 menyebutkan DPRD mempunyai kewenangan untuk
membahas dan menyetujui rancangan perda tentang APBD bersama dengan
kepala daerah dan melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan APBD.
UU No. 32 tahun 2004 masih menjadikan DPRD sebagai lembaga
penentu kebijakan daerah, yakni memberi persetujuan atas beberapa agenda
penting daerah, seperti persetujuan terhadap rencana kerjasama internasional, dan
terhadap rencana kerjasama antardaerah maupun dengan pihak ketiga yang
membebani masyarakat dan daerah. Sehingga pemerintah daerah harus selalu
berkonsultasi dengan DPRD mengenai keputusan-keputusan kebijakan daerah
yang penting. UU No. 32 tahun 2004 juga memperbaiki kinerja DPRD sebagai
lembaga perwakilan rakyat yang anggotanya dipilih melalui pemilu. Upaya
memposisikan DPRD sebagai lembaga representasi diatur di pasal 45 (7) yang
menegaskan bahwa anggota DPRD punya kewajiban untuk memberikan
pertanggungjawaban atas tugas dan kinerjanya sebagai wujud tanggung jawab
moral dan politis terhadap daerah pemilihannya. Anggota DPRD juga diwajibkan
untuk mendahulukan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi, kelompok
dan golongan (ayat 6).
7.6 Simpulan :
Otonomi Daerah dalam UUD 1945 Setelah Amandemen dalam
penyelenggaraan pemerintahan di daerah, dilaksanakan dengan asas
Desentralisasi, yaitu penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah
kepada daerah otonomi untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan
dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Di samping itu juga
melaksanakan Dekonsentrasi, yaitu pelimpahan wewenang pemerintahan oleh
Pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah dan / atau kepada
instansi vertikal, dan serta melaksanakan Tugas Pembantuan, yaitu penugasan
dari pemerintahan kepada daerah dan/atau desa dari pemerintahan propinsi
kepada kabupaten/kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu.
Di Indonesia yang dimaksud dengan pemerintahan daerah adalah
penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD
111
menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi yang
seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia
Tahun 1945. Eksistensi DPRD memperoleh pengaturan konstitusional secara
lebih konkrit dalam UUD 1945 pasca amandemen, khususnya amandemen kedua
yang secara tegas menyebutkan adanya lembaga DPRD.
Kedudukan DPRD setelah amandemen terjadi perubahan yang cukup
signifikan dengan dilakukan pimilu secara langsung. Tidak ada lagi unsur
pemerintah sentralisasi dalam pemerintahan daerah. Sedangakan mengenai
otonomi daerah, UUD 1945 menghendaki otonomi seluas-luasnya, tetapi karena
tidak di cantumkan, yang terjadi adalah penyempitan otonomi daerah menuju
pemerintahan sentralisasi.
UU No. 32 tahun 2004 adalah undang-undang yang mengatur
Pemerintahan Daerah. Dalam UU No. 32 tahun 2004 status dekonsentrasi
dihidupkan kembali. UU No. 32 tahun 2004 melakukan perubahan posisi DPRD
dari badan legislatif daerah menjadi sebagai unsur penyelenggara pemerintahan
daerah. Secara umum revisi UU No. 22 tahun 1999 menjadi UU No. 32 tahun
2004 oleh banyak pihak dinilai sebagai upaya resentralisasi atas hak-hak politik
yang dimiliki daerah yang diatur dalam UU No. 22 tahun 1999
8.1.Latar Belakang
Letak negara Republik Indonesia yang merupakan negara kepulauan
sangat mempengaruhi mekanisme pemerintahan di Indonesia. Dengan adanya
112
bentuk negara kepulauan ini menimbulkan adanya kesulitan untuk
mengkoordinasikan pemerintahan yang ada di daerah. Agar dapat memudahkan
pengaturan serta penataan pemerintahan maka diperlukan adanya berbagai sistem
pemerintahan yang efisien dan mandiri.
Hal tersebut sangat diperlukan agar tidak memunculkan ancaman terhadap
keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Seperti yang kita ketahui bersama
bahwa terdapat beberapa daerah yang pembangunannya lebih cepat daripada
daerah lain. Dengan hal ini pemerintah pusat membuat suatu sistem pengelolaan
pemerintahan di tingkat daerah yang disebut dengan otonomi daerah untuk
mengelola potensi-potensi dan sekaligus mengembangkannya.
Selama Indonesia merdeka, kebijakan penyelenggaraan pemerintahan
daerah telah mengalami perubahan dan perkembangan yang sangat dinamis.
Selama kurun waktu setengah abad lebih, sistem pemerintahan daerah sarat
dengan pengalaman yang panjang seiring dengan konfigurasi politik yang terjadi
pada tatanan pemerintahan negara. Pola hubungan kekuasaan, pembagian
kewenangan, dan perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dengan
pemerintahan daerah tidak dapat dipungkiri sangat bergantung pada konfigurasi
politik pemerintahan pada saat itu. Realitas demikian tentu mempengaruhi
formalitas penyelenggaraan pemerintahan daerah dan pemberian otonomi daerah
di Indonesia. Akan tetapi, terlepas dari semua pengaruh yang muncul dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah, semua kebijakan selalu dijiwai oleh
kesatuan pandang yang sama, yaitu seluruh daerah merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. (Sabarno, 2008:1)
Oleh karena itu, penulis akan mengkaji lebih dalam mengenai Teori dan
Praktik Otonomi daerah dan Pemerintahan daerah di Indonesia.
113
pada tatanan pemerintahan negara. Pola hubungan kekuasaan, pembagian
kewenangan, dan perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dengan
pemerintahan daerah tidak dapat dipungkiri sangat bergantung pada konfigurasi
politik pemerintahan pada saat itu. Realitas demikian tentu mempengaruhi
formalitas penyelenggaraan pemerintahan daerah dan pemberian otonomi daerah
di Indonesia. Akan tetapi, terlepas dari semua pengaruh yang muncul dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah, semua kebijakan selalu dijiwai oleh
kesatuan pandang yang sama, yaitu seluruh daerah merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sebenarnya konsepsi Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan
prinsip dasar dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Konsepsi tersebut di
satu sisi mengukuhkan keberadaan daerah sebagai bagian nasional, tetapi di sisi
lain memberikan stimulan bagi masyarakat daerah untuk mengartikulasikan
semua kepentingannya, termasuk masalah otonomi daerah dalam sistem hukum
dan kebijakan nasional. Oleh sebab itu, idealnya tidak ada dan tidak mungkin
terjadi suatu kebijakan nasional akan mengesampingkan otonomi daerah. Hal ini
disebabkan pemberian otonomi daerah sudah menjadi bagian yang tidak
terpisahkan dari kebijakan nasional. Sebaliknya, daerah juga tidak dapat
menafikan jatidirinya sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia
sehingga semua perilaku, kebijakan, dan tindakan daerah tidak dapat bertentangan
dengan kebijakan pusat.
Oleh karena itu, munculnya euforia daerah yang disebabkan oleh
perubahan sosial dan politik yang drastis sejak reformasi politik 1998 tidak dapat
dijadikan alasan untuk melepaskan konsepsi Negara Kesatuan Republik Indonesia
dari kebijakan penyelenggaraan pemerintahan daerah dan pelaksanaan otonomi
daerah. Dibentuk dan disahkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999
tentang Pemerintahan Daerah yang telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor
32 Tahun 2004 dan Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan
Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, yang telah diubah menjadi
Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 meskipun dianggap sebagai perubahan
114
fundamental dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, tetapi rumusan intinya
tetap mengacu pada konsepsi Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Ada sementara pandangan yang menyatakan konsepsi tersebut terasa
mengukuhkan sikap sentralistik dalam kebijakan pemerintahan daerah dan
otonomi daerah. Pandangan demikian tentu sangat keliru karena konsepsi Negara
Kesatuan Republik Indonesia adalah prinsip yang relevan dijadikan landasan bagi
daerah untuk berkiprah didalam lingkungan negara. Disamping Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia 1945 sebagai konstitusi dan fundamental,
hukum negara tetap meletakkan konsepsi Negara Kesatuan Republik Indonesia
sebagai prinsip dasar bernegara, juga karena konsepsi tersebut memposisikan
daerah sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari negara dan meletakkan negara
sebagai organisasi kekuasaan yang menampung kehendak daerah. Oleh sebab itu,
secara normatif maupun empiris, antara kepentingan nasional dan kepentingan
daerah dalam konsepsi Negara Kesatuan Republik Indonesia akan tetap
tertampung secara proporsional.
Dengan mendasarkan pada pemahaman yang demikian ideal tersebut,
dalam menghadapi gejala euforia yang begitu deras di daerah pemerintah
mempunyai pedoman yang tepat dalam memandu pelaksanaan otonomi daerah
ini. Pemerintah harus mampu memahami dan mengamati aspirasi dan kebijakan
yang berkembang di daerah agar tidak mengarah pada tuntunan yang destruktif
dan menggoyahkan konsepsi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Semua
aspirasi dan kebijakan daerah harus dipandu kearah aspirasi yang positif guna
memberdayakan daerah itu sendiri dalam kerangka Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Prinsip integrasi bangsa dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia 1945 harus tetap dipegang teguh dan dijadikan acuan dalam
suatu pengambilan kebijakan, baik ditingkat pemerintahan pusat maupun
pemerintahan daerah.
Negara Republik Indonesia sebagai negara kesatuan menganut asas
desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah, dengan
memberikan kesempatan dan keleluasaan kepada daerah untuk menyelenggarakan
otonomi. Pelaksanaan desentralisasi yang menghasilkan otonomi tersebut
115
dijalankan dan dikembangkan dalam dua nilai dasar, yaitu nilai unitaris dan nilai
desntralisasi territorial. Niali dasar unitaris diwujudkan dalam pandangan Negara
Kesatuan Republik Indonesia tidak akan mempunyai kesatuan pemerintah lain
didalamnya yang bersifat negara. Artinya, kedaulatan yang melekat pada rakyat,
bangsa, dan Negara Republik Indonesia tidak akan terbagi diantara kesatuan
pemerintahan. Sementara itu, nilai dasar desentralisasi territorial diwujudkan
dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah dalam bentuk otonomi.
Secara esensial sebenarnya dalam penyelenggaraan desentralisasi terdapat
dua elemen penting yang saling berkaitan, yaitu pembentukan daerah otonom dan
penyerahan kekuasaan secara hukum dari pemerintah pusat ke pemerintahan
daerah untuk mengatur dan menangani urusan pemerintahan tertentu yang
diserahkan. Peraturan perundang-undangan, khususnya Undang-undang Nomor
32 Tahun 2004 tentang pemerintaha daerah, yang merupakan perubahan
Undangundang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, telah secara
limitatif menentukan urusan pemerintahan yang tidak diserahkan kepada
pemerintahan pusat. Hal ini menunjukkan adanya penyerahan kekuasaan yng
dilandasi dengan hukum.
Dalam tataran yuridis-formatif, Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 telah menentukan konsep Indonesia sebagai Eenheidstaat
sehingga didalamnya tidak dimungkinkan adanya daerah yang bersifat staat juga.
Hal ini berarti pembentukan daerah otonomi di Indonesia diletakkan dalam
kerangka desentralisasi dengan tiga ciri utama, yaitu:
a. Tidak dimilikinya kedaulatan yang bersifat semu kepada daerah selayaknya
dalam negara bagian pada negara yang berbentuk federal;
b. Desentralisasi dimanifestasikan dalam bentuk penyerahan atas urusan
pemerintahan tertentu yang ditetapkan dalam suatu peraturan
perundangundangan tingkat nasional;
c. Penyerahan urusan tersebut dipresentasikan sebagai bentuk pengakuan
pemerintah pusat pada pemerintah daerah dalam rangka mengurus rumah
tangganya sendiri berdasarkan ciri khasnya masing-masing.
116
Dengan demikian, desentralisasi jelas merupakan sarana untuk mencapai
tujuan bernegara dalam mewujudkan kesatuan bangsa (national unity) yang
demokratis. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
sebagai konstitusi negara selalu menekankan konsepsi negara tersebut sebagai
bentuk keseimbangan antara kebutuhan menerapkan otonomi daerah dan
kebutuhan memperkuat persatuan nasional.
Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah selain merupakan panduan nyata dalam pelaksanaan otonomi daerah, juga
merupakan politik hukum otonomi daerah diwujudkan dalam kebijakan yang
terukur, terarah, dan terencana oleh pemerintahan pusat. Kebijakan demikian
perlu dilakukan agar konsep pelaksanaan otonomi daerah tetap berada pada
panduan dan garis politik hukum nasional.
Oleh sebab itu, otonomi daerah yang dijalankan selain bersifat nyata dan
luas, tetap harus dilaksanakan secara bertanggungjawab. Maksudnya otonomi
daerah harus dipahami sebagai perwujudan bertanggungjawab konsekuensi
pemberian hak dan kewenangan kepada daerah dalam wujud tugas dan kewajiban
yang harus dilaksanakan daerah. Tugas dan kewajiban dalam pelaksanaan
otonomi daerah adalah berupa peningkatan pelayanan dan kesejahteraan
masyarakat, pengembangan kehidupan demokrasi, penegakan keadilan dan
pemerataan, serta pemeliharaan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah
serta antar daerah dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
117
5. moneter dan fiskal nasional;
6. agama ;
7. norma ; dan
8. ekonomi
Penyelenggaraan urusan pemerintahan dibagi berdasarkan kriteria
eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi dengan memperhatikan keserasian
hubungan antar susunan pemerintahan. Urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangan pemerintahan daerah, yang diselenggarakan berdasarkan kriteria di
atas terdiri atas urusan wajib dan urusan pilihan.
Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah provinsi
merupakan urusan dalam skala provinsi yang meliputi 16 buah urusan. Urusan
pemerintahan provinsi yang bersifat pilihan meliputi urusan pemerintahan yang
secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat
sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan.
Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah kabupaten
atau daerah kota merupakan urusan yang berskala kabupaten atau kota meliputi 16
buah urusan. Urusan pemerintahan kabupaten atau kota yang bersifat pilihan
meliputi urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan
potensi unggulan daerah yang bersangkutan.
Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangan daerah, pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya
untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas
otonomi dan tugas pembantuan.
Pemerintahan daerah dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan
memiliki hubungan dengan pemerintah pusat dan dengan pemerintahan daerah
lainnya. Hubungan tersebut meliputi hubungan wewenang, keuangan, pelayanan
umum, pemanfaatan sumber daya alam, dan sumber daya lainnya. Hubungan
keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam, dan sumber daya
lainnya dilaksanakan secara adil dan selaras. Hubungan wewenang, keuangan,
pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya
118
menimbulkan hubungan administrasi dan kewilayahan antarsusunan
pemerintahan.
Urusan pemerintahan yang dibagi bersama antar tingkatan dan/atau
susunan pemerintahan adalah semua urusan pemerintahan di luar urusan
sebagaimana disebutkan di atas yang terdiri atas 31 (tiga puluh satu) bidang
urusan pemerintahan meliputi:
1. pendidikan;
2. kesehatan;
3. pekerjaan umum;
4. perumahan;
5. penataan ruang;
6. perencanaan pembangunan;
7. perhubungan;
8. lingkungan hidup;
9. pertanahan;
10. kependudukan dan catatan sipil;
11. pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak;
12. keluarga berencana dan keluarga sejahtera;
13. sosial;
14. ketenagakerjaan dan ketransmigrasian;
15. koperasi dan usaha kecil dan menengah;
16. penanaman modal;
17. kebudayaan dan pariwisata;
18. kepemudaan dan olah raga;
19. kesatuan bangsa dan politik dalam negeri;
20. otonomi daerah, pemerintahan umum, administrasi keuangan daerah,
perangkat daerah, kepegawaian, dan persandian;
21. pemberdayaan masyarakat dan desa;
22. statistik;
23. kearsipan;
24. perpustakaan;
119
25. komunikasi dan informatika;
26. pertanian dan ketahanan pangan;
27. kehutanan;
28. energi dan sumber daya mineral;
29. kelautan dan perikanan;
121
4. penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh daerah atau
yang dilimpahkan kewenangannya oleh Pemerintah; 5. ikut serta dalam
pemeliharaan keamanan; dan
6. ikut serta dalam pertahanan kedaulatan negara.
Kewenangan untuk mengelola sumber daya di wilayah laut paling jauh 12
(dua belas) mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah
perairan kepulauan untuk provinsi dan 1/3 (sepertiga) dari wilayah kewenangan
provinsi untuk kabupaten/kota. Apabila wilayah laut antara 2 (dua) provinsi
kurang dari 24 (dua puluh empat) mil, kewenangan untuk mengelola sumber
daya. Di wilayah laut dibagi sama jarak atau diukur sesuai prinsip garis tengah
dari wilayah antar 2 (dua) provinsi tersebut, dan untuk kabupaten/kota
memperoleh 1/3 (sepertiga) dari wilayah kewenangan provinsi dimaksud.
Model Hubungan Pusat dan Daerah
A. Hubungan kedudukan pemerintah daerah terhadap pusat menurut Dennis
Kavanagh:
1. Agency Model : pemerintah daerah dianggap sebagai pelaksana belaka
122
Lingkup hubungan pusat dan daerah antara lain meliputi hubungan
kewenangan, , organisasi, keuangan, dan pengawasan.
124
sosialisasi dan publikasi rancangan perda yang berasal dari DPRD,
penyebarluasannya dilakukan oleh sekretariat DPRD, sedangkan
penyebarluasan rancangan perda yang berasal dari gubernur atau bupati/wali
kota dilakukan oleh sekretariat daerah.
Agar perda berfungsi secara efektif, suatu perda dapat memuat sanksi
yang berupa:
1. Pembebanan biaya paksaan, penegakan hukum, seluruhnya atau sebagian
kepada pelanggar sesuai dengan peraturan perundang-undangan;
2. Pidana kurungan 6 bulan atau denda paling banyak Rp50.000.000,-.
3. Ancaman pidana atau denda selain dari yang telah disebutkan diatas sesuai
dengan yang diatur dalam perundang-undangan lainnya.
Proses penetapan suatu perda dilakukan dengan ketentuan sebagia berikut:
1. Rancangan perda yang telah disetujui bersama oleh DPRD dan gubernur
atau bupati/wali kota, disampaikan oleh pimpinan DPRD kepada gubernur
atau bupati/wali kota, untuk ditetapkan sebagai perda.
2. Penyampaian rancangan oleh pimpinan DPRD kepada gubernur atau
bupati/wali kota, dilakukan dalam jangka waktu paling lama tujuh hari,
terhitung sejak tanggal persetujuan bersama diberikan.
3. Rancangan perda dimaksud diberikan kepada gubernur atau bupati/wali
kota, paling lambat tiga puluh hari sejak rancanan tersebut mendapat
persetujuan bersama.
4. Apabia rancangan dimaksud tidak ditetapkan oleh gubernur atau
bupati/wali kota dalam waktu tiga puluh hari tersebut, rancangan tersebut
sah menjadi perda dan wajib diundangkan dengan memuatnya dalam
lembaran daerah.
5. Apabila suatu perda tidak ditetapkan oleh gubernur atau bupati/wali kota
dalam tenggang waktu tiga puluh hari tersebut diatas, perda tersebut
dinyatakan sah dengan mencantumkan kalimat pengesahannya pada
halaman terakhir perda yang bersangkutan, yang berbunyi “perda ini
dinyatakan sah” dan diundangkan sebagaimana mestinya dengan
memuatnya dalam lembaran daerah.
125
Perda yang sudah ditetapkan atau dinyatakan sah disampaikan kepada
pemerintah pusat selambat-lambatnya tujuh hari setelah ditetapkan. Apabila
perda dimaksud ternyata bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, dapat dibatalkan oleh
pemerintah pusat. Pembatalan perda tersebut, ditetapkan dengan peraturan
presiden, dan dilakukan dalam tenggang waktu paling lama enam puluh hari
sejak diterimanya perda tersebut. Kepala daerah yang bersangkutan, paling
lama tujuh hari setelah keputusan pembatalan, harus memberhentikan
pelaksanaan perda tersebut dan selanjutnya DPRD bersama kepala daerah
mencabut perda dimaksud.
Apabila provinsi/kabupaten/kota tidak dapat menerima keputusan
pembatalan perda tersebut, dengan alasan yang dapat dibenarkan oleh
peraturan perundang-undangan, kepala daerah yang bersangkutan dapat
mengajukan keberatan kepada Mahkamah Agung. Seandainya keberatan
tersebut dikabulkan sebagian atau seluruhnya, peraturan presiden tentang
pembatalan perda dimaksud dinyatakan tidak berlaku.
B. Peraturan Kepala Daerah
Peraturan kepala daerah, yang di dalam UU No. 22 Tahun 1999
disebut keputusan kepala daerah, pada dasarnya sama. Penyebutan kepala
daerah bertujuan untuk memperjelas bahwa keputusan kepala daerah yang
dimaksud, berisi ketentuan peraturan (keputusan yang bersifat in abstracto).
Hal ini untuk mencegah timbulnya kerancuan dengan keputusan kepala daerah
yang bersifat inkoncrito (keputusan berkenaan dengan objek tertentu atau
tidak bersifat mengatur secara umum).
Untuk melaksanakan suatu perda, kepala daerah berdasarkan kuasa
undang-undang, menetapkan peraturan kepala daerah. Sama halnya dengan
perda, peraturan kepala daerah juga tidak boleh bertentangan dengan
kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Peraturan kepala daerah baru mempunyai kekuatan mengikat setelah
diundangkan dengan dimuat dalam Berita Daerah oleh sekretaris daerah. Agar
126
perda dan peraturan kepala daerah bisa berfungsi secara efektif, harus
dilakukan hal diantaranya:
1. Mensosialisasi perda dan peraturan kepala daerah dengan
menyebarluaskan ke tengah-tengah masyarakat, terutama stake holders
yang bersangkutan;
2. Melakukan upaya penegakan hukum khusus perda. Untuk itu, dibentuk
Satuan Polisi Pamong Praja. Disamping tugasnya menyelenggarakan
ketertiban umum dan ketentraman masyarakat, Polisi Pamong Praja juga
bertugas melakukan upaya penegakan hukum, khusus perda. Pembentukan
Polisi Pamong Praja ini berpedoman pada peraturan pemerintah.
Anggota satuan Polisi Pamong Praja juga dapat diangkat sebagai
penyidik pegawai negeri sipil sesuai ketentuan perundang-undangan.
Penyidikan dan penuntutan terhadap pelanggaran perda dilakukan oleh pejabat
penyidik dan penuntut umum sesuai peraturan perundang-undangan, yaitu
penyidik dari Polri dan penuntut dari Kejaksaan. Di samping itu, melalui
perda dapat juga ditunjuk pejabat lain yang diberi tugas untuk melakukan
penyidikan terhadap pelanggaran atas ketentuan yang termuat dalam perda.
8.6. Penyelenggaraan Otonomi Daerah di Indonesia
Penyelenggaraan pemerintahan daerah adalah pemerintah daerah dan DPRD.
Dalam menyelenggarakan pemerintahan, pemerintah pusat menggunakan asas
desentralisasi, tugas pembantuan, serta dekonsentrasi sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Sementara itu, pemerintah daerah dalam
menyelenggarakan pemerintahan menggunakan asas desentralisasi dan tugas
pembantuan.
Dalam penyelenggaraan pemerintahan, pemerintah daerah
berpedoman pada Asas Umum Penyelenggaraan Negara, yang di dalam
Hukum Administrasi Negara dikenal dengan “Asas-asas umum pemerintahan
yang layak”. Di negeri Belanda, asas-asas umum pemerintahan yang layak ini
sudah diterima oleh penyelenggara pemerintahan, terutama Pejabat Tata Usaha
Negara, dalam membuat keputusan Tata Usaha Negara. Sebelumnya dalam
praktik penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia, asas-asas ini sudah mulai
127
diterima, walaupun secara formal belum diakui sebagai suatu norma hukum
tidak tertulis yang harus ditaati oleh penyelenggara pemerintahan, baik pusat
maupun di daerah. Secara yuridis formal, hal semacam ini baru diakui di
negara kita, dengan diundangkan UU No. 28 Tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Negara yang bersih, bebas dari Korupsi, Kolusi dan
Nepotisme (KKN), ditambah asas efisiensi dan asas efektivitas. Kemudian
dalam pasal 20 UU No. 32 Tahun 2004 ditegaskan bahwa asas-asas tersebut
dijadikan sebagai pedoman dalam penyelenggaraan pemerintah daerah. Asas
dimaksud disebut dengan “Asas Umum Penyelenggaraan Negara”, yang dirinci
antara lain: asas kepastian hukum, asas tertib penyelenggara negara, asas
kepentingan umum, asas keterbukaan, asas proporsionalitas, asas
profesionalitas, asas akuntabilitas, asas efisiensi, dan asas efektivitas.
Dalam menyelenggarakan fungsi-fungsi pemerintahan, terutama dalam
penyelenggaraan otonomi, daerah dibekali dengan hak dan kewajiban tertentu.
Hak-hak daerah tersebut antara lain: pertama, mengatur dan mengurusi sendiri
urusan pemerintahannya; kedua, memilih pemimpin daerah; ketiga, mengelola
aparatur daerah; keempat, mengelola kekayaan daerah; kelima, memungut
pajak daerah dan retribusi daerah; keenam, mendapatkan bagi hasil dari
pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya lainnnya yang berada di
daerah; ketujuh, mendapatkan sumber-sumber pendapatan lain yang sah; dan
kedelapan, mendapatkan hak lainnya yang diatur dalam peraturan
perundangundangan. Disamping hak-hak tersebut di atas, daerah juga dibebani
beberapa kewajiban, yaitu:
1. Melindungi masyarakat, menjaga persatuan, kesatuan dan kerukunan
nasional, serta keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
2. Meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat;
3. Mengembangkan kehidupan demokrasi;
4. Mewujudkan keadilan dan pemerataan;
5. Meningkatkan pelayanan dasar pendidikan;
6. Menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan;
7. Menyediakan fasilitas sosial dan fasilitas umum yang layak;
128
8. Mengembangkan sistem jaminan sosial;
9. Menyusun perencanaan dan tata ruang daerah;
10. Mengembangkan sumber daya produktif di daerah;
11. Melestarikan lingkungan hidup
12. Mengelola administrasi kependudukan;
13. Melestarikan nilai sosial budaya;
14. Membentuk dan menerapkan peraturan perundang-undangan sesuai dengan
kewenangan; dan
15. Kewajiban lainnya diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Pelaksanaan Otonomi Daerah di Indonesia
Sejak diberlakukannya UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah, banyak aspek positif yang diharapkan dalam pemberlakuan
UndangUndang tersebut. Otonomi Daerah memang dapat membawa perubahan
positif di daerah dalam hal kewenangan daerah untuk mengatur diri sendiri.
Kewenangan ini menjadi sebuah impian karena sistem pemerintahan yang
sentralistik cenderung menempatkan daerah sebagai pelaku pembangunan yang
tidak begitu penting atau sebagai pelaku pinggiran. Tujuan pemberian otonomi
kepada daerah sangat baik, yaitu untuk memberdayakan daerah, termasuk
masyarakatnya, mendorong prakarsa dan peran serta masyarakat dalam proses
pemerintahan dan pembangunan.
Pada masa lalu, pengerukan potensi daerah ke pusat terus dilakukan
dengan dalih pemerataan pembangunan. Alih-alih mendapatkan manfaat dari
pembangunan, daerah justru mengalami proses pemiskinan yang luar biasa.
Dengan kewenangan yang didapat daerah dari pelaksanaan Otonomi Daerah,
banyak daerah yang optimis bakal bisa mengubah keadaan yang tidak
menguntungkan tersebut. Beberapa contoh keberhasilan dari berbagai daerah
dalam pelaksanaan otonomi daerah yaitu:
1. Di Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah, masyarakat lokal dan LSM yang
mendukung telah berkerja sama dengan dewan setempat untuk merancang
suatu aturan tentang pengelolaan sumber daya kehutanan yang bersifat
kemasyarakatan. Aturan itu ditetapkan pada bulan Oktober yang
129
memungkinkan bupati mengeluarkan izin kepada masyarakat untuk
mengelola hutan milik negara dengan cara yang berkelanjutan.
2. Di Gorontalo, Sulawesi, masyarakat nelayan di sana dengan bantuan
LSMLSM setempat serta para pejabat yang simpatik di wilayah provinsi
baru tersebut berhasil mendapatkan kembali kontrol mereka terhadap
wilayah perikanan tradisional/adat mereka.
Kedua contoh di atas menggambarkan bahwa pelaksanaan Otonomi
Daerah dapat membawa dampak positif bagi kemajuan suatu daerah. Kedua
contoh diatas dapat terjadi berkat adanya Otonomi Daerah di daerah terebut.
Selain membawa dampak positif bagi suatu daerah otonom, ternyata
pelaksanaan Otonomi Daerah juga dapat membawa dampak negatif. Selain
karena kurangnya kesiapan daerah-daerah yang tidak kaya akan sumber daya
dengan berlakunya otonomi daerah, dampak negatif dari otonomi daerah juga
dapat timbul karena adanya berbagai penyelewengan dalam pelaksanaan
Otonomi Daerah tersebut.
Berbagai penyelewengan dalam pelaksanan otonomi daerah: Adanya
kecenderungan pemerintah daerah untuk mengeksploitasi rakyat melalui
pengumpulan pendapatan daerah, Penggunaan dana anggaran yang tidak
terkontrol, Rusaknya Sumber Daya Alam disebabkan karena adanya keinginan
dari Pemerintah Daerah untuk menghimpun pendapatan asli daerah (PAD), di
mana Pemerintah Daerah menguras sumber daya alam potensial yang ada,
tanpa mempertimbangkan dampak negatif/kerusakan lingkungan dan prinsip
pembangunan berkelanjutan, Bergesernya praktik korupsi dari pusat ke daerah,
Pemerintahan kabupaten juga tergoda untuk menjadikan sumbangan yang
diperoleh dari hutan milik negara dan perusahaan perkebunaan bagi budget
mereka.
Penyebab tidak optimalnya pelaksanaan Otonomi Daerah di Indonesia:
Lemahnya pengawasan maupun check and balances, Pemahaman terhadap
Otonomi Daerah yang keliru, baik oleh aparat maupun oleh warga masyarakat
menyebabkan pelaksanaan Otonomi Daerah menyimpang dari tujuan
mewujudkan masyarakat yang aman, damai dan sejahtera, Keterbatasan
130
sumberdaya dihadapkan dengan tuntutan kebutuhan dana (pembangunan dan
rutin operasional pemerintahan) yang besar, memaksa Pemda menempuh
pilihan yang membebani rakyat, Kesempatan seluas-luasnya yang diberikan
kepada masyarakat untuk berpartisipasi dan mengambil peran, juga sering
disalah artikan, seolah-olah merasa diberi kesempatan untuk mengekspolitasi
sumber daya alam dengan cara masing-masing semaunya sendiri, Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), yang seharusnya berperan mengontrol dan
meluruskan segala kekeliruan implementasi Otonomi Daerah tidak
menggunakan peran dan fungsi yang semestinya, Kurangnya pembangunan
sumber daya manusia / Sumber Daya Manusia (moral, spiritual intelektual dan
keterampilan) yang seharusnya diprioritaskan.
8.7. Kewenangan Daerah dalam Pelaksanaan Pemerintah Daerah
Daya tarik terpenting dari Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 yang
telah diubah dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemerintah
Daerah adalah ditetapkannya metode pemilihan langsung untuk memilih kepala
daerah. Pasal 24 ayat 5 Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 menegaskan kepala
daerah dan wakil kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat di daerah yang
bersangkutan. Kepala daerah terpilih, akan memikul tanggung jawab kekuasaaan
dengan melandaskan diri pada asas-asas penyelenggaraan negara.
Pasal 19 ayat 2 Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah
Daerah menegaskan bahwa penyelenggara pemerintah daerah adalah pemerintah
daerah dan DPRD. Memilih kepala daerah secara langsung merupakan satu dari
delapan hak yang dipunyai daerah. Pasal 21 undang-undang Nomor 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah menegaskan adanya delapan hak yang
dipunyai daerah dalam menyelenggarakan otonomi yaitu;
a. Mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya
b. Memilih pimpinan daerah.
c. Mengelola aparatur daerah.
d. Mengelolah kekayaan daerah
e. Memungut pajak daerah dan retribusi daerah.
131
f. Mendapatkan bagi hasil dari pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya
lainnya yang berada di daerah
g. Mendapatkan sumber-sumber pendapatan lain yang sah.
h. Mendapatkan hak lainnya yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Selain hak, daerah mempunyai kewajiban yang diatur dalam Pasal 2,
terdapat lima belas kewajiban yang dimilki oleh daerah yaitu:
a. Melindungi masyarakat, menjaga persatuan, kesatuan , dan kerukunan
nasional, serta keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia
b. Meningkatkatkan kualitas kehidupan masyarakat.
c. Mengembangkan kehidupan demokrasi.
d. Mewujudkan keadilan dan pemerataan.
e. Meningkatkan pelayanan dasar pendidikan.
f. Menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan.
g. Menyediakan fasilitas sosial dan fasilitas umum yang layak.
h. Mengembangkan sistem jaminan sosial.
i. Menyusun perencanaan dan tata ruang daerah.
j. Mengembangkan sumber daya produktif di daerah.
k. Melestarikan lingkungan hidup
l. Mengelolah administrasi kependudukan.
m. Melestarikan nilai sosial budaya.
n. Membentuk dan menerapkan peraturan perundang-undangan sesuai dengan
kewenangannya
o. Kewajiban lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan
Hak dan kewajiban daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dan
Pasal 22 diwujudkan dalam bentuk rencana kerja pemerintahan daerah dan
dijabarkan dalam bentuk pendapatan, belanja, , dan pembiayaan daerah yang
dikelola dalam sistem pengelolaan keuangan daerah. Pengelolaan keuangan
daerah tersebut dilakukan secara efesien, efektif, transparan, akunrabel, tertib,
adil, patut dan taat pada peraturan perundang-undangan.
Menurut Pasal 25 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 kepala daerah
mempunyai tugas dan kewenangan sebagai berikut:
132
a. Memimpin penyelenggaraan pemerintah daerah berdasarkan kebijakan yang
ditetapkan bersama DPRD.
b. Mengajukan rancangan Perda
c. Menetapakan Perda yang telah mendapat persetujuan bersama DPRD.
d. Menyusun dan mengajukan rancangan Perda tentang APBD kepada DPRD
untuk dibahas dan ditetapkan bersama.
e. Mengupayakan terlaksananya kewajiban daerah.
f. Mewakili daerahnya di dalam dan di luar pengadilan, dan dapat menunjuk
kuasa hukum untuk mewakilinya sesuai dengan peraturan
perundangundangan.
g. Melaksanakan tugas dan wewenang lain sesuai dengan peraturan
perundangundangan
Di masa lalu tugas seorang wakil kepala daerah hanya digariskan secara
umum, yaitu membantu tugas kepala daerah, atau menggantikan tugas kepala
daerah apabila kepala daerah berhalangan. Oleh karena itu muncul ironi bahwa
seorang wakil kepala daerah hanya bertugas sebagai ban serep.
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 menggariskan tugas-tugas wakil
kepala daerah secara lebih spesifik. Pasal 26 ayat 1 menjelaskan rincian tugas
seorang wakil kepala daerah, yaitu:
a. Membantu kepala daerah dalam menyelenggarakan pemerinthan daerah.
b. Membantu kepala daerah dalam mengkoordinasikan kegiatan-kegiatan
instansi vertical di daerah, menindaklanjuti laporan dan/atau temuan hasil
pengawasan, melaksanakan pemberdayaan perempuan dan pemuda, serta
mengupayakan pengembangan dan pelestarian sosial budaya dan lingkungan
hidup.
c. Memantau dan mengevaluasi penyelenggaraan pemerintah kabupaten dan
bagi wakil kepala daerah propinsi.
d. Memantau dan mengevaluasi penyelenggaraan pemerintahan di wilayah
kecamatan, kelurahan/dan atau desa bagi wakil kepala daerah kabupaten/kota.
e. Memberikan saran dan pertimbangan kepada kepala daerah dalam
penyelenggaraan kegiatan pemerintah daerah.
133
f. Melaksanakan tugas dan kewajiban pemerintahan lainnya yang diberikan oleh
kepala daerah.
g. Melaksanakan tugas dan wewenang kepala daerah apabila kepala daerah
berhalangan.
Pasal 26 ayat 2 mengatur ketentuan mengenai pertanggungjawaban tugas
seorang wakil kepala daerah. Dalam melaksanakan tugas-tugasnya seperti dirinci
di atas, wakil kepala daerah berttanggung jawab kepada kepala daerah. Prosedur
seperti itu berarti bahwa tugas-tugas seoarang wakil kepala daerah berada dalam
satu kesatuan yang utuh dan sinergitas dengan tugas-tugas kepala daerah, yang
kelak dipertanggungjawabkan bersama kepada DPRD.
Jika kepala daerah meninggal dunia, berhenti, diberhentikan atau tidak
dapat melakukan kewajiban selama enam bulan secara terus-menerus dalam masa
jabatannya, maka wakil kepala daerah akan menggantikan kepala daearh sampai
habis masa jabatannya. Ketentuan ini diatur dalam ayat 3 Pasal 26 Undang-
undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.
Dalam melaksanakan tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 25 dan Pasal 26, kepala daerah dan wakil kepala daerah mempunyai
kewajiban sebagai berikut:
a. Memegang teguh dan mengamalkan pancasila, melaksanakan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta mempertahankan dan
memelihara keutuhan Negara kesatuan republik Indonesia.
b. Meningkatkan kesejahteraan rakyat.
c. Memelihara ketentraman dan ketertiban masyarakat.
d. Melaksanakan kehidupan demokrasi.
e. Menaati dan menegakkan seluruh peraturan perundang-undangan.
f. Menjaga etika dan norma dalam penyelenggaraan pemerintah daerah.
g. Memajukan dan mengembangkan daya saing daerah.
h. Melaksanakan prinsip tata pemerintahan yang bersih dan baik.
i. Melaksanakan dan mempertanggungjawabkan pengelolaan keuangan daerah.
j. Menjalin hubungan kerja dengan seluruh instansi vertikal di daerah dan semua
perangkat daerah.
134
k. Menyampaikan rencana strategis penyelenggaraan pemerintahan daerah di
hadapan rapat paripurna DPRD.
Selain itu, kepala daerah mempunyai kewajiban juga untuk memberikan
laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada pemerintah, dan
memberikan laporan keterangan pertanggungjawaban kepada DPRD, serta
menginformasikan laporan penyelenggaraan pemerintah daerah kepada
masyarakat.
Laporan penyelenggaraan pemerintah daerah kepada pemerintah
disampaikan kepada presiden melaui Menteri Dalam Negeri untuk Gubernur, dan
kepada Menteri Dalam Negeri melalui Gubernur untuk Walikota satu kali dalam
satu tahun.
Laporan tersebut digunakan pemerintah sebagai dasar melakukan evaluasi
penyelenggaraan pemerintah daerah dan sebagai bahan pembinaan lebih lanjut
sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Ketentuan tentang laporan
penyelenggaraan pemerintah daerah ini tidak menutup adanya laporan lain baik
atas kehendak kepala daerah atau atas permintaan pemerintah.
8.8. Partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan Otonomi Daerah
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), partisipasi berarti
berperan serta (disuatu kegiatan), ikut serta: seluruh masyarakat harus
menyukseskan pembangunan bangsa dan negara. Pengertian otonomi daerah,
menurut Undang-Undang no. 32 tahun 2004, tentang pemerintah daerah pasal 1
ayat 5, otonomi daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah untuk
mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan
masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Partisipasi dalam pelaksanaan otonomi daerah dapat diartikan sebagai
kegiatan atau peran serta warga negara demi suksesnya pelaksanaan otonomi
daerah.Partisipasi warga negara tidak hanya mendukung ddan mendorong agar
daerah semakin maju dan mandiri tetapi juga membantu Negara atau pemerintah
hanya mampu mengatasi permasalahan-permasalahan yang timbul akibat
pelaksanaan otonomi daerah.
135
Pada dasarnya ,otonomi daerah merupakan pancaran kedaulatan rakyat.
Otonomi diseberikan oleh pemerintahan kepada masyarakat dan sama sekali
bukan kepada daerah ataupun pemerintahan daerah. Dengan demikian,
pernyataan bahwa otonomi merupaakan milik masyarakat tersebut sebagai subjek
dan bukannya objek.
Dengan adanya partisipasi proaktif masyarakat, baik kepada pemerintah
maupun DPRD, maka banyak sekali manfaat yang dirasakan oleh rakyatnya.
Disinilah pentingnya bila masyarakat selalu berpartisipasi, terlebih dalam
perumusan kebijakan public di daerah. Karena sesungguhnya masyarakat itu
sendiri yang lebih tahu akan kebutuhan dan permasalahannya. Pentingnya
partisipasi masyarakat dalam pemerintahan daerah
Sebagai warga negara Indonesia yang berdomisili atau bertempat tinggal
di suatu daerah, tent ki kita mempunyai hak dan kewajiban dalam upaya
mendukung suksesnya pembanguna di daerah. Disamping itu warga negara harus
tanggap terhadap ssegala kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintahan daerah.
Hal itu dimaksudkan
a. Agar kebijakan pemerintahan didaerah tidak menyompang dari peraturan
perundang-undangan yang berlaku
b. Agar pemerintahan di daerah sesuai dengan dasar negara pancasila dan UUD
1945
c. Agar pemerintahan di daerah selalu berpihak pada kepentingan rakyat
Dukungan warga negara terhadap pemerintahan di daerah dapat
diwujudkan dalam berbagai bentuk kegiatan, antara lain:
a. Mematuhi dan melaksanakan peraturan daerah
b. Melaksanakan kegiatan keamanan dan ketertiban masyarakat
c. Merawat keindahan lingkungan
d. Membayar pajak bumi dan bangunan
e. Membayar pajak kendaraan bermotor
Pentingnya partisipasi masyarakat dalam mendukung kinerja DPRD
Ada 2 faktor pendukung agar DPRD dapat menjalankan fungsi
pengawasannya dengan baik, yaitu
136
a. Faktor internal, yakni factor yang berasal dari dalam DPRD itu sendiri,
dalam arti bahwa anggota DPRD sebagai wakil rakyat, harus terus menerus
berusaha untuk meningkatkan kualitas kinerjanya. Adanya peningkatan
kualitas kinerjaini merupakan syarat agar kkepentingan rakyat terpenuhi.
b. Fator eksternal, yakni factor yang berasal dari luar DPRD, yang berupa
partisipasi masyarakat. Sebagai warga negara, hendaknya kita selalu
memberikan masukan kepada DPRD dalam berbagai bidang kehidupan
antara lain sebagai berikut:
1) Menyampaikan masukan tentang prmasalahan irigasi yang sangat
dibutuhkan masyarakat petani di desa
2) Menyampaikan masukan tentang permaslahan polotik uang ketika terjadi
pemilihan calon kepala daerah dan wakilnya.
3) Menyampaikan masukan tentang permasalahan keamanan dan ketrtiban
masyarakat.
Dukungan warga negara terhadap pemerintahan di daerah dapat
diwujudkan dalam berbagai bentuk kegiatan, antara lain:
1) Mematuhi dan melaksanakan peraturan daerah
2) Melaksanakan kegiatan keamanan dan ketertiban masyarakat
3) Merawat keindahan lingkungan
4) Membayar pajak bumi dan bangunan
5) Membayar pajak kendaraan bermotor
Apabila kebijakan publik itu hanya dibuat oleh pemerintah tanpa
melibatkan masyarakat dalam perumusan dan pelaksanaannya, kebijakan publik
itu akan dapat menimbulkan dampak negatif, antara lain: 1) Akan menimbulkan
protes atau penolakan dari masyarakat
2) Kebijakan tersebut tidak bisa dilaksanakan dengan baik
3) Bisa menimbulkan kecemasan dan keresahan masyarakat
4) Turunnya kewajiban pemerintah, serta
5) Turunnya kepercayaan masyarakat pada pemerintah.
Oleh karena dampak negatifnya sangat luas bila masyarakat tidak aktif
dalam perumusan dan pelaksanaan kebijakan publik, maka peran aktif dari
137
masyarakat sangat dibutuhkan. Konsekuensi dari tidak aktifnya masyarakat
dalam perumusan dan pelaksanaan kebijakan publik adalah sebagai berikut.
1) Kebijakan publik yang dibuat pemerintah belum tentu sesuai dengan
keinginan masyarakat.
2) Kebijakan tersebut dapat dimanfaatkan oleh orang-orang yang tidak
bertanggungjawab.
3) Kebijakan tersebut dapat dipergunakan kepentingan kelompok atau
golongannya.
4) Kebijakan publik itu tidak hanya diperuntukkan untuk kepentingan
masyarakat secara luas.
Apabila hal ini yang terjadi, maka masyarakat sendiri yang akan rugi.
Oleh karena itu, diperlukan partisipasi aktif masyarakat agar kebijakan yang
diambil pemerintah sesuai dengan harapan masyarakat. Kita sebagai warga
negara mempunyai tanggungjawab dan kewajiban turut serta mewujudkan
kemajuan bangsa dan negara. Bentuk partisipasi tersebut dapat dilakukan
dengan memberikan masukan kepada pemerintah dalam perumusan kebijakan
publik dan mengontrol pelaksaan kebijakan publik.
Kontrol masyarakat atas pelaksanaan kebijakan publik sangat penting
karena tanpa adanya kontrol dari masyarakat, kebijakan tersebut dapat
dimanfaatkan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab yang hanya
mengejar untuk kepentingan sendiri.
Masukan dari masyarakat sangat berharga bagi pemerintah. Daerah
banyaknya masukan dari masyarakat maka pemerintah dapat menyaring dan
memisahkan mana usulan atau saran yang hanya untuk perjuangan kepentingan
kelompok atau golongan, mana yang bertujuan untuk kesejahteraan seluruh
rakyat. Kita harus menghindari masuknya saran atau usul oleh orang-orang yang
tidak bertanggungjawab, yang hanya mengejar kepentingan sendiri atau
golongannya. Apabila hal ini terjadi maka pemerintah tidak dapat mewujudkan
suatu masyarakat yang adil dan makmur bagi seluruh rakyat.
138
8.9. Kesimpulan
Secara esensial dalam penyelenggaraan desentralisasi terdapat dua elemen
penting yang saling berkaitan, yaitu pembentukan daerah otonom dan penyerahan
kekuasaan secara hukum dari pemerintah pusat ke pemerintahan daerah untuk
mengatur dan menangani urusan pemerintahan tertentu yang diserahkan.
Dibentuk dan disahkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah yang telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 dan Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan
Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, yang telah diubah menjadi
Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 meskipun dianggap sebagai perubahan
fundamental dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, tetapi rumusan intinya
tetap mengacu pada konsepsi Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Urusan Pemerintahan Pusat Pemerintahan daerah menyelenggarakan
urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan
yang oleh Undang-undang ditentukan menjadi urusan pemerintah pusat. Urusan
pemerintahan yang menjadi urusan Pemerintah Pusat meliputi: (1) politik luar
negeri; (2) pertahanan; (3) keamanan; (4) yustisi; (5) moneter dan fiskal nasional;
(6) agama ; (7) norma ; dan (8) ekonomi. Pembagian urusan antar pemerintah,
pemprov dan pemkab diatur lebih lanjut dalam PP No 38 tahun 2007. Yang antara
lai mengenai Hubungan keuangan antara pempus dan pemda Pasal 15 ayat 1 UU
No.32/2004, hubungan dalam bidang keuangan antar pemerintahan daerah,
hubungan dalam bidang pelayanan umum, hubungan antara Pempus dan pemda
(vertikal), hubungan antar pemerintahan daerah (horisontal), dan hubungan dalam
bidang pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya
Kewenangan membuat peraturan daerah (perda), merupakan wujud nyata
pelaksanaan hak otonomi yang dimiliki oleh suatu daerah dan sebaliknya,
peraturan daerah merupakan satu sarana dalam penyelenggaraan otonomi daerah.
Peraturan kepala daerah, yang di dalam UU No. 22 Tahun 1999 disebut keputusan
kepala daerah, pada dasarnya sama. Penyebutan kepala daerah bertujuan untuk
memperjelas bahwa keputusan kepala daerah yang dimaksud, berisi ketentuan
peraturan (keputusan yang bersifat in abstracto). Hal ini untuk mencegah
139
timbulnya kerancuan dengan keputusan kepala daerah yang bersifat inkoncrito
(keputusan berkenaan dengan objek tertentu atau tidak bersifat mengatur secara
umum).
Penyelenggaraan pemerintahan daerah adalah pemerintah daerah dan
DPRD. Dalam menyelenggarakan pemerintahan, pemerintah pusat menggunakan
asas desentralisasi, tugas pembantuan, serta dekonsentrasi sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sementara itu, pemerintah daerah
dalam menyelenggarakan pemerintahan menggunakan asas desentralisasi dan
tugas pembantuan. Dalam penyelenggaraan pemerintahan, pemerintah daerah
berpedoman pada Asas Umum Penyelenggaraan Negara, yang di dalam Hukum
Administrasi Negara dikenal dengan “Asas-asas umum pemerintahan yang
layak”.
Dalam Pasal 19 ayat 2 Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang
Pemerintah Daerah menegaskan bahwa penyelenggara pemerintah daerah adalah
pemerintah daerah dan DPRD. Memilih kepala daerah secara langsung
merupakan satu dari delapan hak yang dipunyai daerah. Pasal 21 undang-undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menegaskan adanya delapan
hak yang dipunyai daerah dalam menyelenggarakan otonomi.
Dengan adanya partisipasi proaktif masyarakat, baik kepada pemerintah
maupun DPRD, maka banyak sekali manfaat yang dirasakan oleh rakyatnya.
Disinilah pentingnya bila masyarakat selalu berpartisipasi, terlebih dalam
perumusan kebijakan public di daerah. Karena sesungguhnya masyarakat itu
sendiri yang lebih tahu akan kebutuhan dan permasalahannya.
8.10. Saran
Masih banyak permasalahan yang terjadi dalam penyelenggaraan otonomi
daerah di Indonesia. Permasalahan tersebut harus segera diatasi agar pelaksanaan
otonomi daerah di Indonesia dapat terlaksana dengan baik.
140
BAB IX PEMILIHAN KEPALA DAERAH
142
2. Pilkada langsung merupakan perwujudan konstitusi dan UUD 1945. Seperti
telah diamanatkan Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945, Gubernur, Bupati dan Wali
Kota, masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah provinsi,
kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis. Hal ini telah diatur dalam UU
No 32 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan
Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.
3. Pilkada langsung sebagai sarana pembelajaran demokrasi (politik) bagi rakyat
(civic education). Ia menjadi media pembelajaran praktik berdemokrasi bagi
rakyat yang diharapkan dapat membentuk kesadaran kolektif segenap unsur
bangsa tentang pentingnya memilih pemimpin yang benar sesuai nuraninya.
4. Pilkada langsung sebagai sarana untuk memperkuat otonomi daerah.
Keberhasilan otonomi daerah salah satunya juga ditentukan oleh pemimpin
lokal. Semakin baik pemimpin lokal yang dihasilkan dalam pilkada langsung
2005, maka komitmen pemimpin lokal dalam mewujudkan tujuan otonomi
daerah, antara lain untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan
selalu memerhatikan kepentingan dan aspirasi masyarakat agar dapat
diwujudkan.
5. Pilkada langsung merupakan sarana penting bagi proses kaderisasi
kepemimpinan nasional. Disadari atau tidak, stock kepemimpinan nasional
amat terbatas. Dari jumlah penduduk Indonesia yang lebih dari 200 juta,
jumlah pemimpin nasional yang kita miliki hanya beberapa. Mereka sebagian
besar para pemimpin partai politik besar yang memenangi Pemilu 2004.
Karena itu, harapan akan lahirnya pemimpin nasional justru dari pilkada
langsung ini.
Pemilihan kepala daerah secara tidak langsung/oleh DPRD yang berarti
demokrasi yang dilaksanakan melalui sistem perwakilan/corak pemerintahan
demokrasi yang dilakukan melalui badan perwakilan rakyat yang dipilih oleh
rakyat dan bertanggung jawab kepada rakyat.
Di Indonesia pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah,
atau seringkali disebut Pilkada atau Pemilukada, adalah pemilihan umum untuk
memilih Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara langsung di Indonesia
oleh penduduk daerah setempat yang memenuhi syarat. Sebelumnya, kepala
daerah dan wakil kepala daerah dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
143
(DPRD). Dasar hukum penyelenggaraan pilkada adalah Undang-Undang Nomor
32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam undang-undang ini, Pilkada
(pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah) belum dimasukkan dalam
rezim pemilihan umum (Pemilu). Pemilihan umum kepala daerah dan wakil
kepala daerah (Pilkada) menjadi bagian dari rezim pemilu sejak 2007. Pilkada
pertama di Indonesia adalah Pilkada Kabupaten Kutai Kartanegara pada 1 Juni
2005.
145
tertentu dengan berarti bahwa rakyat dilibatkan secara langsung semua partisipasi
warga.
Sistem pemilihan kepala daerah secara langsung oleh kepala daerah
dilakukan langsung oleh rakyat, memberikan kepada siapapun memiliki
kemungkinan dan potensi menjadi kepala daerah, bukan hanya kandidat dari
partai-partai kecil, mereka yang bukan pengurus Parpol pun bisa menempuh jalur
independen.
Namun sistem ini memiliki kelemahan dari faktor finansial, yakni
menghabiskan biaya yang lebih banyak dan tidak sedikit. Selain untuk biaya
penyelenggaraannya, political cost yang harus dikeluarkan oleh kandidat juga
sangat besar, sebab mereka perlu menyiapkan anggaran untuk atribut, kampanye,
dan kegiatan sosial lainnya, bahkan tak jarang para kandidat juga membayar
langsung pada para pemilih agar bisa memenangkan pertarungan. Sehingga hal
ini juga dapat memicu tingginya tingkat kemungkinan korupsi oleh para kandidat
yang nantinya terpilih, untuk mengganti biaya yang sebelumnya telah ia
keluarkan.
Efektivitas Pilkada langsung dapat diterapkan pada suatu masyarakat
dengan kuantitas yang kecil dan dengan tingkat kesadaran politik yang tinggi.
Mengapa demikian, jika sistem ini diterapkan pada masyarakat yang kesadaran
dan partisipasi politiknya masih rendah akan menimbulkan banyak money
politics selain itu masyarakat akan memilih pemimpinnya jika mereka diberi
uang. Hal lain yang positif dari sistem ini yaitu pemimpin daerah lebih fokus
untuk mendengarkan aspirasi dari masyarakatnya karena mereka dipilih oleh
masyarakat sehingga kebijakan yang ia buat harus sesuai dengan aspirasi
masyarakat.
Sedangkan sistem peemilihan kepala daerah secara tidak langsung/oleh
DPRD merupakansistem pemilihan kepala daerah yang dilakukan melalui badan
perwakilan rakyat yang dipilih oleh rakyat dan bertanggung jawab kepada rakyat.
Sistem ini akan efektif jika diterapkan pada suatu masyarakat yang
plural dan kompleks serta dalam jumlah yang banyak. Karena dengan begitu
akan menghindarkan adanya konflik dalam masyarakat ketika pemilihan
berlangsung. Sistem ini juga dinilai lebih hemat biaya dalam penyelenggaraan
dan menghindari adanya politik uang selama pemilihan berlangsung.
146
9.3. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa :
1. Pemilihan kepala daerah secara langsung merupakan konsep dari demokrasi
langsung yang berarti demokrasi yang mengikutsertakan setiap warga
negaranya dalam permusyawaratan untuk menentukan kebijaksanaan umum
negara atau undang-undang. Sedangkan Pemilihan kepala daerah secara
tidak langsung/oleh DPRD yang berarti demokrasi yang dilaksanakan
melalui sistem perwakilan/corak pemerintahan demokrasi yang dilakukan
melalui badan perwakilan rakyat yang dipilih oleh rakyat dan bertanggung
jawab kepada rakyat.
2. Baik Pilkada langsung ataupun tidak langsung memiliki kekurangan dan
kelebihan masing-masing.
3. Keefektifan Pilkada langsung yaitu akan berjalan dengan baik pada suatu
masyarakat yang jumlahnya tidak terlalu besar dan dengan pengetahuan serta
kesadaran politik yang tinggi. Sedangkan Pilkada tidak langsung cocok
dengan kondisi masyarakat yang plural serta dalam jumlah yang besar,
sistem ini juga efektif dalam penghematan biaya penyelenggaraannya serta
menghindarkan adanya politik uang.
147
BAB X
SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL
A. Deskripsi
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan
Nasional telah mengamanatkan bahwa sistem perencanaan pembangunan nasional bertujuan untuk
menjamin terciptanya integrasi, sinkronisasi, dan sinergi baik antardaerah, antarruang, antarwaktu,
antarfungsi pemerintah maupun antara pusat dan daerah. Berdasarkan hal inilah maka penyusunan
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) harus memperhatikan Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang
Daerah (RPJPD). Bahkan evaluasi terhadap RPJMD Provinsi dapat dilakukan untuk menguji
kesesuaian dengan RPJPD provinsi dan RPJMN dan begitu juga untuk tingkat kabupaten/kota.
Dua landasan hukum yang menjadi dasar untuk penyusunan perencanaan pembangunan
pusat dan daerah adalah Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan
Pembangunan Nasional (SPPN) dan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah. Undang-undang No. 25 Tahun 2004 tentang SPPN Bab II pasal 2 menjelaskan mengenai
tujuan SPPN adalah untuk menjamin terciptanya integrasi, sinkronisasi, dan sinergi baik
antar daerah, antarruang, antarwaktu, antarfungsi pemerintah maupun antara pusat dan daerah.
Ditegaskan kemudian pada pasal 5 yang berbunyi bahwa RPJMD harus memperhatikan RPJP
Daerah dan RPJMN.
Sedangkan Undang-undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah Pada bagian
Kedua mengenai Perencanaan Pembangunan Daerah di Pasal 263 menyatakan bahwa Penyusunan
RPJMD harus berpedoman pada RPJPD dan RPJMN. Disusul pasal 264 menyatakan tentang
RPJMD dapat disesuaikan dengan terhadap kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah pusat.
Selanjutnya pasal 269 dan pasal 271 berbunyi tentang proses evaluasi RPJMD Provinsi dan
RPJMD Kabupaten/Kota yang dapat dilakukan uji kesesuaian dengan RPJMN atau RPJMD
Provinsi untuk Kabupaten.
Selain dua Undang-undang di atas, untuk perencanaan ditingkat daerah juga diatur dalam
Peraturan menteri dalam Negeri Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Peraturan Pemerintah
Nomor 8 Tahun 2008 tentang Tahapan, Tatacara Penyusunan, Pengedalian, dan Evaluasi
Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah. Upaya sinkronisasi RPJMD dan RPJMN telah diatur
148
dalam peraturan ini. Bab IV pasal 50-pasal 84 khusus membahas mengenai RPJMD; mengenai
hal-hal yang harus tertuang dalam RPJMD, prosesnya, dan keluaran dalam RPJMD berupa
penetapan peraturan daerah tentang RPJMD.
Sebagai bab 1 dalam pelatihan sinkronisasi RPJMD dan RPJMN Bidang Kesehatan, bab
ini akan mengantarkan sekaligus menjelaskan tentang sistem perencanaan pembangunan nasional
yang terjadi di pemerintah pusat. Akan dijelaskan juga bagaimana upaya sinkronisasi antara
pembuatan RPJMD dan RPJMN, serta penjelasan istilah-istilah terkait dalam proses pembelajaran
selanjutnya.
B. Peta Kedudukan
149
C. Materi: Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional
Deskripsi
Bab I sesi 1 ini membahas mengenai hubungan RPJMN dan RPJMD. Bagaimana
seharusnya amanat undang-undang dapat diterjemahkan dalam dua perencanaan ini.
Materi
RPJMN dan RPJMD merupakan dua hal yang saling berhubungan dan harus sinkron satau
sama lain. Hubungan RPJMN dan RPJMD menggambarkan hubungan proses perencanaan
pembangunan antara Pemerinata Pusat dan Pemerintah Daerah. Bab I sesi satu ini
menggambarkan proses hubungan RPJMN dan RPJMD. Dengan melihat proses ini maka dapat
diperhatikan aspek waktu dan momen dalam memberikan rekomendasi untuk RPJMN selanjutnya.
Hubungan RPJMN dan RPJMD ditegaskan dalam gambaran proses perencanaan pembangunan
sebagai berikut:
RPJM Nasional merupakan penjabaran dari visi, misi, dan program Presiden yang
penyusunannya berpedoman pada RPJP Nasional, yang memuat strategi pembangunan Nasional,
150
kebijakan umum, program Kementerian/Lembaga dan lintas Kementerian/Lembaga, kewilayahan
dan lintas kewilayahan, serta kerangka ekonomi makro yang mencakup gambaran perekonomian
secara menyeluruh termasuk arah kebijakan fiskal dalam rencana kerja yang berupa kerangka
regulasi dan kerangka pendanaan yang bersifat indikatif.
RPJMD adalah dokumen perencanaan Daerah untuk periode 5 (lima) tahun. Rencana
Pembangunan Tahunan Daerah yang selanjutnya disebut Rencana Kerja Pemerintah Daerah yang
selanjutnya disingkat RKPD adalah dokumen perencanaan Daerah untuk periode 1 (satu) tahun.
Pasal 263 ayat 2 UU No. 23 Tahun 2014 RPJPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
merupakan penjabaran dari visi, misi, arah kebijakan, dan sasaran pokok pembangunan Daerah
jangka panjang untuk 20 (dua puluh) tahun yang disusun dengan berpedoman pada RPJPN dan
rencana tata ruang wilayah. Pasal 263 ayat 3 UU No. 23 Tahun 2014 RPJMD merupakan
penjabaran dari visi, misi, dan program kepala daerah yang memuat tujuan, sasaran, strategi, arah
kebijakan, pembangunan Daerah dan keuangan Daerah, serta program Perangkat Daerah dan lintas
Perangkat Daerah yang disertai dengan kerangka pendanaan bersifat indikatif untuk jangka waktu
5 (lima) tahun yang disusun dengan berpedoman pada RPJPD dan RPJMN.
Tahun 2015, Indonesia memasuki tahap ketiga dalam rencana menengahnya yang tertuang
dalam RPJMN 2015-2019. Bertepatan dengan ini juga, Indonesia memiliki presiden baru dan
kemudian memiliki rumusan kerja untuk masa kerjanya yang tertuang dalam Nawa Cita.
Hubungan perencanaan nasional, pusat, dan daerah dalam periode jangka panjang (20 tahun) yang
kemudian dijabarkan dalam perencanaan menengah (RPJMN) (5 tahun). RPJP Nasional
digunakan selama 20 tahun dan diterjemahkan oleh kementerian atau lembaga terkait hingga
ketingkat daerah. RPJP kemudian dibagi menjadi RPJM baik nasional, tingkat pusat/kemeterian
atau lembaga, hinggga ke daerah. RPJMN pada tingkat kementerian atau lembaga juga
diterjemahkan sebagai rencana strategis atau Renstra kementerian/ lembaga. Renstra kementerian
atau lembaga inilah yang pada tingkat daerah diterjemahkan masing-masing oleh PD dalam bentuk
Rencana Strategis (Renstra) PD.
Berikut RPJPN Indonesia tahun 2005-2025 yang digunakan sebagai acuan pembangunan
diseluruh kementerian atau lembaga maupun ditingkat daerah.
151
Sumber: Bappenas (2015)
Gambar 4. RPJPN Indonesia 2005-2025
Sinopsis/ Rangkuman
Melihat bagan sistem perencanaan nasional, maka gambaran hubungan antara RPJMN dan
RPJMD lebih jelas. Dimana RPJMN menjadi acuan bagi RPJMD yang penyusunannya
berpedoman pada Undang-undang tentang Pemerintahan Daerah (Undang-undang 23 tahun 2014).
Dalam prosesnya antar RPJMN dan RPJMD haruslah terintegrasi, tersinkronisasi, dan besinergi
baik antar daerah, antarruang, antarwaktu, antarfungsi pemerintah maupun antara pusat dan
daerah. Hubungan tersebut menegaskan bahwa dari awal sampai akhir integrasi dan sinkronisasi
antara Pemerintah Pusat dan Daerah sudah ada.
152
Peta Kedudukan
Keterangan:
Alur peraturan sesuai dengan Undang-Undang mengenai SPN dan RPJMD
Alur atau hal-hal yang diharapkan tertuang dalam perencanaan kesehatan di
dalam RPJMD
Dokumen pendukung bidang kesehatan di dalam dokumen
RPJMD
Materi
Pengaturan mengenai harmonisasi dan sinkronisasi RPJMN dan RPJMD telah banyak
diatur dalam undang-undang dan peraturan pemerintah salah satunya dalam Undang-undang
Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah pun dijelaskan bahwa RPJMD haruslah
berpedoman pada RPJMN (pasal 263). Upaya harmonisasi dan sinkronisasi juga dilakukan dengan
mekanisme bilateral meeting, yaitu pertemuan antara pemerintah daerah dengan pemerintah pusat
yang diatur alam Peraturan Menteri PPN/Kepala Bappenas No.1 tahun 2014 tentang Pedoman
penyusunan RPJMN tahun 2015-2019.
Pada pelaksanaannya harmonisasi dan sinkronisasi RPJMN dan RPJMD belum
sepenuhnya terjadi. Diantaranya, masih ditemukannya RPJMD yang belum memuat kebijakan
153
kesehatan dengan baik. Kesenjangan lainnya mengenai sinkronisasi RPJMD dan RPJMD ditinjau
dari aspek waktu, masa berlaku, dan status hukum. Bagaimana upaya penyelarasan dan
penyerasian sasaran, kebijakan dan strategi, program, kegiatan dan indikator, serta target
pembangunan dalam bidang kesehatan antara RPJMD dan RPJMN sebagai upaya sinkronisasi
masih belum jelas baik secara vertikal (Pusat ke daerah atau sebaliknya) maupun secara horizontal
di daerah (antara provinsi, antar kab/ kota dalam satu provinsi, atau pun antar SKPD dalam
penyusunan RPJMD).
Gambar 5 di atas menjelaskan mengenai posisi RPJMD. Secara singkat, harapannya dalam
RPJMD tertuang dengan jelas mengenai perencanaan sektor kesehatan. Perencaaan sektor
kesehatan ini harapannya dapat sinkron dengan perencanaan sektor kesehatan yang tertuang dalam
RPJMN sub bidang keseatan, Renstra Kementerian Kesehatan, SPM dan atau dari RPJMD
ditingkat provinsi untuk RPJMD Kabupaten/kota. Bulatan merah menunjukkan upaya seharusnya
dalam mensinkronkan perencanaan sektor kesehatan daerah dengan nasional..
Pada intinya gambar 5 menjelaskan bahwa RPJMN merupakan acuan untuk RPJMD. Di
dalam RPJMD terdapat hal yang menjelaskan tentang kesehatan (bulatan merah). Hal yang
menjelasakan tentang kesehatan ini atau dokumen pendukung bidang kesehatan di dalam dokumen
RPJMD ini mengacu pada Renstra KL dalam hal ini kementerian kesehatan dan SPM. Dalam
penyusunan RPJMD, perlu diperhatikan juga untuk mengacu pada visi misi kepala daerah dan
kondisi daerah. Lebih jelasnya untuk memahami gambar 5 adalah sebagai berikut:
Pertama, berdasarkan peraturan bersama Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/
Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri
keuangan (masih dalam draft tahun 2015) maka diatur tentang penyelarasan rencana pembangunan
jangka menengah daerah dengan rencana pembangunan jangka menengah nasional tahun
20152019. Pada pasal dua disebutkan bahwa peraturan bersama ini bertujuan untuk (1)
mewujudkan keselarasan antara RPJMD Provinsi dengan RPJMN Tahun 2015-2019, (2)
mewujudkan keselarasan antara RPJMD Kabupaten/Kota dengan RPJMD Provinsi dan RPJMN
tahun 2015-2019, (3) mewujudkan dukungan dan peran pemerintah daerah dalam pencapaian
sasaran prioritas pembangunan nasional yang ditetapkan dalam RPJMN tahun 2015-2019, dan (4)
mewujudkan koordinasi perencanaan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Di
dalamnya juga diatur mengenai upaya penyelarasa antara Gubernur atau Bupati yang dilantik pada
saat atau sebelum 2015 dengan RPJMN tahun 2015-2019.
154
Kedua, Rencana Strategik (Renstra) Kementerian Kesehatan merupakan penjabaran yang
membuat visi, misi, tujuan, strategi, kebijakan, program, dan kegiatan pembangunan kesehatan
yang disusun dengan berpedoman pada RPJMN dan bersifat indikatif. Renstra ini akan
dilaksanakan oleh kementerian kesehatan dan menjadi acuan penyusunan perencanaan tahunan
baik pusat dan daerah untuk bidang kesehatan. Pada tingkat daerah maka renstra kementerian
kesehatan ini menjadi acuan dalam menyusun renstra Dinas Kesehatan. Kementerian Kesehatan
mengeluarkan indikator kesehatan berupa Standar Pelayanan Minimal (SPM). SPM juga
dipergunakan sebagai salah satu pedoman indicator kesehatan dalam penyusunan RPJMD. Tidak
hanya itu lintas sektor Perangkat Daerah (PD) juga berpedoman pada SPM Kesehatan untuk
bersamasama mewuhjudkan visi dan misi Kepala Daerah untuk bidang Kesehatan.
Ketiga, RPJMD merupakan penjabaran dari visi, misi, dan program kepala daerah yang
penyusunannya berpedoman pada RPJP daerah dan memperhatikan RPJMN, memuat arah
kebijakan keuangan daerah, strategi pembangunan daerah, kebijakan umum, lintas sektor SKPD
dan program kewilayahan disertai dengan rencana-rencana kerja dalam kerangka regulasi dan
kerangka pendanaan yang bersifat indikatif.
Keempat, harapannya dalam RPJMD terdapat wawasan pembangunan daerah yang
berwawasan kesehatan. Untuk itu, harusnya di dalam dokumen RPJMD terdapat kebijakan-
kebijakan yang mendukung sektor kesehatan secara khusus ataupun yang tersirat dalam lintas
program atau diperlukan tambahan dokumen pendukung bidang kesehatan. Pada gambar 3 di atas,
hal ini ditunjukkan oleh gambar bulatan merah.
Dalam upaya harmonisasi dan sinkronisasi perencanaan bidang kesehatan dalam RPJMD
dan RPJMN maka segala indikator, kegiatan, dan program yang tertuang dalam RPJMN bidang
kesehatan seharusnya tercermin dalam RPJMD. Meski demikian tetap memberikan ruang bagi
daerah untuk melaksanana pembangunan bidang kesehatan sesuai dengan karakteristik dan
kebutuhan daerah masing-masing.
Berdasarkan hal inilah RPJMN subbidang kesehatan dengan RPJMD bidang kesehatan di
daerah membutuhkan sinkronisasi untuk bersama-sama mencapai target yang telah ditentukan
dalam RPJMN dan RPJPN subbidang kesehatan. Pertanyaannya adalah bagaimana skema
penyesuaian indikator dan besaran target RPJMN di tingkat daerah? Sejauh mana wewenang
daerah dalam menambah indikator dan target pembangunan daerah? Serta bagaimana
dengan daerah yang memiliki periode RPJMD mendahului periode RPJMN?. Hal ini yang perlu
155
kita jawab bersama dalam mengupayakan sinkronisasi rencana pembangunan bidang kesehatan
pusat dan daerah
156
BAB XI
POKOK-POKOK RPJMN 2015-2019
A. Pendahuluan
Sebagai bagian dari serangkaian sesi pelatihan sinkronisasi RPJMN dan RPJMD, bab ini
akan menjelaskan tentang pokok-pokok Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional
(RPJMN) Tahun 2015-2019. Visi misi pembangunan nasional, permasalahan dan tantangan,
sampai dengan agenda pembangunan nasional juga dipaparkan dalam bab ini. Sebelum
mempelajari RPJMN Bidang Kesehatan, penting untuk mengetahui kerangka pelaksanaan; isu
strategis; dan kebijakan dalam perencanaan pembangunan nasional.
B. Peta Kedudukan
Gambar 6. Peta Kedudukan Bab II dalam Skema Sinkronisasi RPJMD dengan RPJMN
Bidang Kesehatan
Alur peraturan sesuai dengan Undang-Undang mengenai SPN dan RPJMD
Alur atau hal-hal yang diharapkan tertuang dalam
perencanaan kesehatan di dalam RPJMD
157
Pokok-Pokok RPJMN 2015 - 2019
Filosofi RPJMN 2015 – 2019
Deskripsi
Sebagai bagian dari serangkaian sesi pelatihan sinkronisasi RPJMN dan RPJMD, sesi
pertama Bab II akan memberikan gambaran tentang filosofi Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2015-2019. Tujuan pembangunan nasional, ideologi bangsa,
sasaran nasional, dan tantangan utama pembangunan nasional juga dipaparkan dalam sesi ini.
Peta Kedudukan
Gambar 7. Peta Kedudukan Bab II sesi 1 dalam Skema Sinkronisasi RPJMD dengan
RPJMN Bidang Kesehatan
Sesi pertama dalam Bab II akan menjadi pendahuluan yang menjelaskan filosofi RPJMN
tahun 2015 – 2019 sebelum mempelajari lebih dalam mengenai pokok-pokok RPJMN 2015-2019
sub bidang kesehatan dan gizi masyarakat.
Materi
Tujuan pembangunan nasional secara khusus telah digariskan dalam Pembukaan Undang
Undang Dasar (UUD) 1945, yaitu : melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah
Indonesia; memajukan kesejahteraan umum; mencerdaskan kehidupan bangsa; dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan
sosial. Jika tujuan yang dimandatkan oleh Konstitusi ini disarikan, akan tampak bahwa mandat
158
yang diberikan Negara pada pemangku kepentingan, khususnya penyelenggara negara dan
pemerintahan di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), adalah untuk memuliakan manusia
dan kehidupan bermasyarakat mulai dari lingkup terkecil hingga ke lingkup dunia.
Daya tahan suatu bangsa terhadap gelombang sejarah tergantung pada ideologi. Ideologi sebagai
penuntun; ideologi sebagai penggerak; ideologi sebagai pemersatu perjuangan; dan ideologi
sebagai bintang pengarah. Ideologi itu adalah PANCASILA 1 JUNI 1945 dan TRISAKTI. Prinsip
dasar TRISAKTI menjadi basis dan arah perubahan berdasarkan pada mandat konstitusi dan
menjadi pilihan sadar dalam pengembangan daya hidup kebangsaan Indonesia, yang menolak
ketergantungan dan diskriminasi, serta terbuka dan sederajat dalam membangun kerjasama yang
produktif dalam tataran pergaulan internasional.
Untuk menuju sasaran jangka panjang dan tujuan hakiki dalam membangun, pembangunan
nasional Indonesia lima tahun ke depan perlu memprioritaskan pada upaya mencapai kedaulatan
pangan, kecukupan energi dan pengelolaan sumber daya maritim dan kelautan. Seiring dengan itu,
pembangunan lima tahun ke depan juga harus makin mengarah kepada kondisi peningkatan
kesejahteraan berkelanjutan, warganya berkepribadian dan berjiwa gotong royong, dan
masyarakatnya memiliki keharmonisan antarkelompok sosial, dan postur perekonomian makin
mencerminkan pertumbuhan yang berkualitas, yakni bersifat inklusif, berbasis luas, berlandaskan
keunggulan sumber daya manusia serta kemampuan iptek sambil bergerak menuju keseimbangan
antar sektor ekonomi dan antar wilayah, serta makin mencerminkan keharmonisan antara manusia
dan lingkungan.
Pada tahun 2013, pendapatan perkapita Indonesia telah mencapai USD 3.500 yang
menempatkan Indonesia berada pada lapis bawah negara-negara berpenghasilan menengah. Tujuan
pembangunan nasional adalah mencapai kemakmuran dan kesejahteraan rakyat setara dengan
negara maju. Pada saat yang sama, batas antara negara berpenghasilan rendah dan berpengasilan
tinggi juga bergerak karena perekonomian global juga tumbuh. Agar Indonesia mampu menjadi
negara berpendapatan tinggi, tentu memerlukan pertumbuhan yang lebih tinggi dari pertumbuhan
global. Untuk mencapai negara berpenghasilan tinggi pada tahun 2030, perekonomian nasional
dituntut tumbuh rata-rata antara 6 – 8 % pertahun, inilah tantangan utama pembangunan ekonomi.
Agar berkelanjutan, pertumbuhan yang tinggi tersebut harus bersifat inklusif, serta tetap menjaga
kestabilan ekonomi.
159
160
Hayati, Erna. Tanpa Tahun. Sistem Pemerintahan Daerah Indonesia Dalam Era
Reformasi. Aceh: Universitas Syah Kuala Banda Aceh.
Hidayat, Syarif. 2008. Desentralisasi dan Otonomi Daerah dalam Perspektif
StateSociety Relation. Jurnal POLITIK Vol.1 No.1 2008.
Huda, Ni’matul. 2013. Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers.
.Implementasi Kebijakan Otonomi Daerah Terhadap Pelayanan Publik Bidang
Perizinan di Kabupaten Deli Serdang. Tesis. Sumatera Utara: Universitas
Sumatera Utara.
Indra Perwira. 2006. Tinjauan Umum Peran dan Fungsi DPRD. Jakarta: KPK.
Jaweng, Robert Endi. ”Posisi DPRD Dalam UU Parlemen yang Baru”. Harian Jurnal
Indonesia, 18 Agustus 2009.
Jon Pierre & B. Guy Peters. Governance, Politics and the State. (New York:
Published Martin’s Press, 2000).
Kaloh. 2007. Mencari Bentuk Otonomi Daerah. Jakarta : Rineka Cipta.
Kansil, Christine.S.T. 2008. Hukum Tata Negara Republik Indonesia. Jakarta: Rineka
Cipta.
Kustiawan. Otonomi Daerah dan Desentralisasi dalam Bingkai Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Jurnal. Universitas Maritim Raja Ali Haji..
Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) Inspektorat Pemerintah
Kota Bandung Tahun 2012 (LAKIP INSPEKTORAT 2012).
Marbun, BN. (2005). Otonomi Daerah 1945-2005 Proses
dan Realita, Perkembangan Otda Sejak Zaman Kolonial Sampai Saat Ini.
Jakarta:Pustaka
Muhadi Prabowo dan Widyaiswara Madya. Jabatan Fungsional Pengawas
Penyelenggaraan Urusan Pemerintahan Di Daerah (Jfp2upd) Dan Jabatan
Fungsional Auditor (Jfa). STAN (Sekolah Tinggi Akuntansi Negara).
Nurma A. Ridwan. 2007, “Landasan Keilmuan Kearifan Lokal” dalam Ibda’ (Jurnal
Studi Islam dan Budaya) Vol. 5 No.1, Jan-Jun 2007, P3M STAIN
Purwokerto. Hlm. 2.
Radjab, Dasril. 2005. Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta. R.
Tresna. 2000. Bertamasya ke Taman Ketatanegaraan. Bandung: Dibya.
161
Sabarno, Hari. 2008. Memandu Otonomi Daerah, Menjaga Kesatuan Bangsa.
Jakarta: Sinar Grafika.
Sheldon S. Steinberg; David T. Austern. 1999. Government Ethics, and
Managers; Penyelewengan Aparat Pemerintah (terjemahan Suroso).
Bandung: Remaja Rosdakarya.
Sunarno, Siswanto.2008. Hukum Pemerintahan Daerah. Jakarta: Sinar Grafika
Suprihaini, Amin. 2008. Otonomi Daerah dari Masa ke Masa.Klaten:Cempaka Putih.
Widjaja, Haw. 2012. Otonomi Desa Merupakan Otonomi yang Asli, Bulat dan Utuh.
Jakarta : Raja Grafindo Persada.
repository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/.../Jurnal-04.pdf
164