4.1. PENDEKATAN
Perumusan sebuah kebijakan adalah tahap yang paling penting dalam membentuk
sebuah kebijakan publik. Menurut Charless Lindblom dan beberapa ahli yang lain,
dalam merumuskan sebuah kebijakan harus memahami orang-orang yang terlibat
dalam proses pembentukan sebuah kebijakan. Bahwa untuk memahami siapa yang
berhka merumuskan kebijakan maka harus dikaji terlebih dahulu sifat dan
karakter pemeran atau (participants) meliputi tupoksi apa saja yang harus mereka
lakukan, bagaimana cara merekaa bekerjasama antara satu dengan lainnya, serta
wewenang dan bentuk kekuasaan apa saja yang mereka miliki agar dapat
merumuskan sebuah kebijakan yang baik dan berkualitas.
Mengacu pada Hogwood dan Gunn, Bridgman dan Davis menyatakan bahwa
kebijakan publik sedikitnya mencakup hal-hal seperti:
1. Bidang kegiatan yang menggambarkan cita-cita dan harapan yang ingin
dicapai.
2. Proposal tertentu sebagai alat untuk menentukan keputusan pemerintah
terhadap bidang kegiatan yang telah dipilih
3. Kewenangan formal yang disampikan melalui undang-undang atau peraturan
pemerintah sebagai pedoman terhadap bidang kegiatan yang akan
dilaksanakan.
4. Program, yaitu sebuah bentuk kegiatan yang akan direalisasikan dengan
memanfaatkan sumber daya dan strategi yang tepat agar mencapai tujuan
yang diharapkan
5. Keluaran (output), yaitu hasil dari program yang dilaksanakan sebagai produk
akhir program tersebut.
Perjalanan otonomi daerah di Indonesia merupakan isu menarik untuk diamati dan
dikaji, karena semenjak para pendiri negara menyusun format negara, isu
menyangkut pemerintahan lokal telah diakomodasikan dalam Pasal 18 UUD 1945
beserta penjelasannya. Pemerintahan daerah dalam pengaturan Pasal 18 UUD
1945 yang telah diamandemen mengakui adanya keragaman dan hak asal- usul
yang merupakan bagian dari sejarah panjang bangsa Indonesia. Meskipun negara
Republik Indonesia menganut prinsip negara kesatuan dengan pusat kekuasaan
berada pada Pemerintah Pusat namun karena heterogenitas yang dimiliki bangsa
indonesia baik kondisi sosial, ekonomi, budaya, maupun keragaman tingkat
pendidikan masyarakat, maka otonomi daerah atau desentralisasi yang merupakan
distribusi kekuasaan/kewenangan dari Pemerintah pusat perlu dialirkan kepada
daerah yang berotonom.
Menurut E. Erikson dalam Save M. Dagun otonomi secara etimologi diambil dari
kata (autonomy : yun : autos=sendiri – nomos=hukum) terdapat tiga pengertian
yaitu: pertama, kemampuan /hak manusia untuk mengatur, memerintah dan
mengarahkan diri sendiri sesuai kehendaknya tanpa campur tangan orang lain.
Kedua, kekuasaan dan wewenang suatu lembaga atau wilayah untuk menjalankan
pemerintahan sendiri. Ketiga, keadaan munculnya perasaan bebas-lepas dan
kepercayaan diri yang kuat setelah seseorang berhasil melewati rintangan-
rintangan masa mudanya.
Dalam kamus politik otonomi adalah hak untuk mengatur kepentingan dan urusan
internal daerah atau organisasinya menurut hukum sendiri. Otonomi dalam batas
tertentu dapat dimiliki oleh wilayah-wilayah dari suatu negara untuk mengatur
pemerintahannya sendiri.
Otonomi daerah sendiri adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah untuk
mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai perundang-undangan
yang berlaku.
dan alokasi sumber-sumber dari pemerintah pusat dan agen-agenya kepada unit
kementrian pemerintah pusat, unit yang ada dibawah level pemerintah, otoritas
pemerintah pusat, unit yang ada dibawah level pemerintahan, otoritas atau
korporasi publik semi otonomi, otoritas regional atau fungsional dalam wilayah
yang luas, atau lembaga privat non pemeintah dan organisasi nirlaba.
Visi otonomi daerah itu sendiri dapat dirumuskan dalam tiga ruang lingkup
interaksinya yang utama yaitu: Politik, ekonomi, serta sosial dan budaya. Dalam
bidang politik, karena otonomi daerah adalah buah dari kebijakan desentralisasi
dan demokrasi, maka ia harus dipahami sebagai sebuah proses untuk membuka
ruang bagi lahirnya kepala pemerintahan daerah yang dipilih secara demokratis.
Demokratisasi pemerintah juga berarti transparasi kebijakan. Membangun sistem
dan pola karir politik dan administrasi yang kompetitif. Juga penguatan DPRD
dalam keberhasilan atau kegagalan kepemimpinan kepala daerah. DPRD juga
memiliki hak pengawasan politik terhadap jalannya pemerintahan daerah. Di
bidang ekonomi, otonomi daerah harus menjamin lancarnya pelaksanaan
kebijakan ekonomi nasional didaerah, serta terbukanya peluang bagi pemerintah
daerah mengembangkan kebijakan regional dan lokal untuk mengoptimalkan
pendayagunaan potensi ekonomi didaerahnya. Dan dalam bidang sosial dan
budaya, otonomi daerah harus dikelola sebaik mungkin demi menciptakan dan
memelihara harmoni sosial dan pada saat yang sama memelihara nilai-nilai lokal.
Pada dasarnya urusan daerah provinsi bersifat atau memiliki dampak dan manfaat
lintas kabupaten dan kota dan urusan yang belum mampu dijalankan oleh
kabupaten/kota. Urusan wajib yang menjadi kewenangan provinsi merupakan
urusan dalam skala provinsi, sementara urusan wajib bagi kabupaten/kota
merupakan urusan wajib bagi kabupaten/kota merupakan skala kabupaten/kota.
Urusan tersebut berupa perencanaan dan pengendalian pembangunan,
perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang, penyelenggaraan
ketertiban umum dan ketentraman masyarakat, penyediaan sarana dan prasarana
umum, penanganan bidang kesehatan, penyelenggaraan bidang pendidikan
(khusus provinsi ditambahkan pila urusan alokasi sumber daya manusia
potensial), penanggulangan masalah sosial, pelayanan bidang ketenaga kerjaan,
pengembangan koperasi, usaha kecil, dan menengah, pengendalian lingkungan
hidup, pelayanan pertahanan, kependudukan, dan catatan sipil, dan urusan wajib
lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan.
Otonomi daerah menjadi suatu hal yang sangat penting, bukan semata-mata
karena otonomi memberikan kewenangan yang besar kepada daerah, tetapi
dengan otonomi, sebuah pembangunan yang lebih terarah dan tepat sasaran akan
lebih dimungkinkan. Dan dengan otonomi, pemerintah suatu daerah lebih dapat
melaksanakan program ekonomi dan politik yang mandiri sesuai kondisi daerah
yang ada didepan mata pemerintah daerah.
Beberapa pendapat ahli yang dikutip Abdulrahman (1997) tentang apa itu otonomi
daerah, antara lain:
1. F. Sugeng Istianto, mengartikan otonomi daerah sebagai hak dan wewenang
untuk mengatur dan mengurus rumah tangga daerah.
2. Ateng Syarifuddin, mengemukakan bahwa otonomi mempunyai makna
kebebasan atau kemandirian tetapi bukan kemerdekaan (tidak terikat atau
tidak bergantung kepada orang lain atau pihak tertentu). Kebebasan yang
terbatas atau kemandirian itu terwujud pemberian kesempatan yang harus
dipertanggungjawabkan.
3. Syarif Saleh, berpendapat bahwa otonomi daerah adalah hak mengatur dan
memerintah daerah sendiri. Hak mana diperoleh dari pemerintah pusat.
4. Pendapat lain dikemukakan oleh Benyamin Hoesein (1993) bahwa otonomi
daerah adalah pemerintahan oleh dan untuk rakyat di bagian wilayah nasional
suatu Negara secara informal berada di luar pemerintah pusat.
5. Sedangkan Philip Mahwood (1983) mengemukakan bahwa otonomi daerah
adalah suatu pemerintah daerah yang mempunyai kewenangan sendiri yang
keberadaannya terpisah dengan otoritas (kekuasaan atau wewenang) yang
diserahkan oleh pemerintah guna mengalokasikan sumber sumber material
yang substansial (sesunggguhnya atau yang inti) tentang fungsi-fungsi yang
berbeda.
Berbagai definisi tentang Otonomi Daerah telah banyak dikemukakan oleh para
pakar, dan dapat disimpulkan bahwa otonomi daerah yaitu kewenangan daerah
otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut
prakarsa (inisiatif) sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan
peraturan perundang-undangan. Sedangkan daerah otonom itu sendiri adalah
kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas daerah tertentu berwenang
mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa
sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam Ikatan Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Berdasarkan Pasal 18 ayat (2), ayat (5), dan ayat (6) pemerintah daerah memiliki
kewenangan untuk menjalankan pemerintahan berdasarkan asas otonomi daerah
dan tugas pembantuan. Dalam Undang–Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah, disebutkan bahwa Otonomi Daerah adalah hak, wewenang,
dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri Urusan
Pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistem Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Kemudian asas otonomi adalah prinsip dasar
penyelenggaraan Pemerintahan Daerah berdasarkan Otonomi Daerah. Sedangkan
tugas pembantuan adalah penugasan dari Pemerintah Pusat kepada daerah otonom
untuk melaksanakan sebagian Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan
Pemerintah Pusat atau dari Pemerintah Daerah provinsi kepada Daerah
kabupaten/kota untuk melaksanakan sebagian Urusan Pemerintahan yang menjadi
kewenangan Daerah provinsi.
2. kesehatan;
3. pekerjaan umum dan penataan ruang;
4. perumahan rakyat dan kawasan permukiman;
5. ketenteraman, ketertiban umum, dan pelindungan masyarakat; dan
6. sosial.
Kemudian yang menjadi urusan pemerintahan wajib yang tidak berkaitan dengan
pelayanan dasar meliputi:
1. tenaga kerja;
2. pemberdayaan perempuan dan pelindungan anak;
3. pangan;
4. pertanahan;
5. lingkungan hidup;
6. administrasi kependudukan dan pencatatan sipil;
7. pemberdayaan masyarakat dan Desa;
8. pengendalian penduduk dan keluarga berencana;
9. perhubungan;
10. komunikasi dan informatika;
11. koperasi, usaha kecil, dan menengah;
12. penanaman modal;
13. kepemudaan dan olah raga;
14. statistik;
15. persandian;
16. kebudayaan;
17. perpustakaan; dan
18. kearsipan
Menurut Bagir Manan, otonomi dan tugas pembantuan adalah bentuk-bentuk dari
desentralisasi. Tugas pembantuan adalah bagian dari desentralisasi dan tidak ada
perbedaan pokok antara otonomi dengan tugas pembantuan. Baik otonomi
maupun tugas pembantuan sama-sama mengandung kebebasan dan kemandirian.
Perbedaan hanya pada tingkat kebebasan dan kemandirian. Pada otonomi,
kebebasan dan kemandirian itu penuh meliputi baik asas maupun cara
menjalankannya. Sedangkan pada tugas pembantuan, kebebasan dan kemandirian
hanya terbatas pada cara menjalankan. Karena sama-sama mengandung unsur
otonomi, perbedaan hanya pada tingkat kebebasan dan kemandirian, maka tidak
ada perbedaan mendasar antara otonomi dan tugas pembantuan.
Sedangkan otonomi nyata adalah suatu prinsip bahwa untuk menangani urusan
pemerintahan dilaksanakan berdasarkan tugas, wewenang, dan kewajiban yang
senyatanya telah ada dan berpotensi untuk tumbuh, hidup, dan berkembang sesuai
dengan potensi dan kekhasan daerah. Dengan demikian isi dan jenis otonomi
daerah bagi setiap daerah tidak selalu sama dengan daerah lainnya. Sedangkan
yang dimaksud dengan otonomi yang bertanggung jawab adalah otonomi yang
dalam penyelenggaraannya harus benar-benar sejalan dengan tujuan dan maksud
pemberian otonomi, yang pada dasarnya untuk memberdayakan daerah termasuk
meningkatkan kesejahteraan rakyat yang merupakan bagian utama dari tujuan
nasional.
Daerah untuk mencapai tujuan nasional tersebut di tingkat lokal yang pada
gilirannya akan mendukung pencapaian tujuan nasional secara keseluruhan.
Terkait kewenangan yang bersumber pada hak menguasai dari Negara pada
digunakan untuk mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, peran
Pemerintah Dareah dalam hal ini Kota Serang tidak terlepas dari pembagian
kewenangan yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
Tentang Pemerintahan Daerah. Pembagian Urusan Pemerintahan Bidang
Pertanahan untuk Kabupaten /Kota Antara lain:
1. Sub Urusan Izin Lokasi
Kewenangan Daerah Kabupaten/Kota: Pemberian izin lokasi dalam 1 (satu)
Daerah kabupaten/kota
2. Sub Urusan Sengketa Tanah Garapan
Kewenangan Daerah Kabupaten/Kota: Penyelesaian sengketa tanah garapan
dalam Daerah kabupaten/kota
3. Sub Urusan Ganti Kerugian dan Santunan Tanah Untuk Pembangunan
Kewenangan Daerah Kabupaten/Kota: Penyelesaian masalah ganti kerugian
dan santunan tanah untuk pembangunan oleh Pemerintah Daerah
kabupaten /kota.
4. Sub Urusan Subyek dan Obyek Redistribusi Tanah serta Ganti Kerugian
Tanah kelebihan maksimum dan Tanah Absente
Kewenangan Daerah Kabupaten/Kota: Penetapan subyek dan obyek
redistribusi tanah, serta ganti kerugian tanah kelebihan maksimum dan tanah
absentee dalam Daerah kabupaten/kota.
5. Sub Urusan Tanah Ulayat
Kewenangan Daerah Kabupaten/Kota: Penetapan tanah ulayat yang lokasinya
dalam Daerah kabupaten/kota.
6. Sub Urusan Tanah Kosong
Kewenangan Daerah Kabupaten/Kota:
a. Penyelesaian masalah tanah kosong dalam Daerah kabupaten/kota
b. Invetnarisasi dan pemanfaatan tanah kosong dalam daerah
Kabupaten/Kota
7. Sub Urusan Izin Membuka Tanah
Kewenangan Daerah Kabupaten/Kota: Penerbitan Izin Membuka Tanah
8. Sub Urusan Penggunaan Tanah
Kewenangan Daerah Kabupaten/Kota: Perencanaan penggunaan tanah yang
hamparannya dalam Dareah Kabupaten/Kota.
Pelayanan publik adalah salah satu implementasi otonomi daerah yang harus
diberikan oleh pemerintah daerah kepada warganya. Pelayanan publik merupakan
salah satu argumen dalam pelaksanaan otonomi daerah dimana pemerintah daerah
harus mampu menyediakan pelayanan publik sesuai dengan kebutuhan warganya.
Tingkat kesejahteraan masyarakat akan sangat tergantung pada tingkat pelayanan
publik yang disediakan oleh pemerintah daerah, dengan adanya otonomi yang luas
yang diberikan kepada daerah maka daerah khusunya kabupaten/kota mempunyai
tugas yang tinggi untuk menyediakan layanan-layanan publik yang sesuai dengan
kebutuhan masyarakat.
Menurut Lane, implementasi sebagai konsep dapat dibagi ke dalam dua bagian.
Pertama, implementation = F (Intention, Output, Outcome). Sesuai definisi
tersebut, implementasi merupakan fungsi yang terdiri dari maksud dan tujuan,
hasil sebagai produk dan hasil dari akibat. Kedua, implementasi merupakan
persamaan fungsi dari implementation = F (Policy, Formator, Implementor,
Initiator, Time). Penekanan utama kedua fungsi ini adalah kepada kebijakan itu
sendiri, kemudian hasil yang dicapai dan dilaksanakan oleh implementor dalam
kurun waktu tertentu (Sabatier, 1986: 21—48).
Menurut Sabatier (1986: 21—48), terdapat dua model yang berpacu dalam tahap
implementasi kebijakan, yakni model top down dan model bottom up. Kedua
model ini terdapat pada setiap proses pembuatan kebijakan. Model elit, model
proses dan model inkremental dianggap sebagai gambaran pembuatan kebijakan
berdasarkan model top down. Sedangkan gambaran model bottom up dapat dilihat
pada model kelompok dan model kelembagaan.
Gambar 4.1
Model implementasi kebijakan menurut Van Meter dan Van Horn
Gambar 4.2
Model implementasi kebijakan Grindle
Riant Nugroho mengatakan bahwa pelayanan publik adalah tugas dalam kebijakan
publik yang paling mendasar, karena memberikan pelayanan kepada umum tanpa
Atas dasar tersebut serta adanya tuntutan masyarakat yang semakin meningkat,
khususnya dibidang penyelenggaraan pelayanan publik yang semakin transparan
dan berkualitas, maka harus dibarengi tersedianya pedoman/ landasan bergerak
bagi setiap lembaga/organisasi penyelenggara pelayanan, termasuk perorangan
guna memenuhi kebutuhan masyarakat sesuai bidang pelayanan yang diinginkan.
Sebagai representasi rakyat di daerah maka DPRD harus beperan aktif dalam hal
pengembangan pelayanan publik melalui fungsi sebagai berikut :
1. Representation. Mengartikulasikan keprihatinan, tuntutan, harapan dan
melindungi kepentingan rakyat ketika kebijakan dibuat, sehingga DPRD
senantiasa berbicara “atas nama rakyat”;
2. Advokasi. Anggregasi aspirasi yang komprehensif dan memperjuangkannya
melalui negosiasi kompleks dan sering alot, serta tawar-menawar politik yang
sangat kuat. Hal ini wajar mengingat aspirasi masyarakat mengandung
banyak kepentingan atau tuntutan yang terkadang berbenturan satu sama lain.
Tawar menawar politik dimaksudkan untuk mencapai titik temu dari berbagai
kepentingan tersebut.
3. Administrative oversight. Menilai atau menguji dan bila perlu berusaha
mengubah tindakan-tindakan dari badan eksekutif. Berdasarkan fungsi ini
adalah tidak dibenarkan apabila DPRD bersikap “lepas tangan” terhadap
kebijakan pemerintah daerah yang bermasalah atau dipersoalkan oleh
masyarakat. DPRD dapat memanggil dan meminta keterangan, melakukan
angket dan interpelasi, bahkan pada akhirnya dapat meminta pertanggung
jawaban Kepala Daerah.
Gambar 4.3
Kerangka Pikir Kajian Pengendalian Izin Pemanfaatan Tanah Negara
4.3. METODOLOGI
Kajian ini menggunakan metode kajian normatif yang mengkaji norma dan asas-
asas hukum mengenai aset daerah berupa tanah sebagai hak menguasai dari
negara yang dikuasai oleh masyarakat. Dan sifat penelitian yang digunakan adalah
bersifat diskriptif analistis dimana data kajian diolah dan dianalisis dan disajikan
dengan pemberian gambaran yang lengkap mengenai pengelolaan aset Pemerintah
Daerah berupa tanah yang dilakukan dengan alat pengumpul data studi dokumen
untuk memperoleh data sekunder
Pengumpulan data dalam pekerjaan ini dilakukan dengan mencari pada 3 (tiga
sumber) yaitu:
1. Sumber Primer In-depth Interview
Pengumpulan data melalui sumber primer didapat melalu wawancara.
Wawancara atau interview adalah suatu bentuk komunikasi verbal jadi
semacam percakapan yang bertujuan memperoleh informasi. Wawancara
dapat berfungsi deskriptif maupun berfungsi eksploratif. wawancara yang
digunakan adalah wawancara semistruktural yang berarti perpaduan antara
wawancara berstruktur dan tak berstruktur. Hal yang dimaksud adalah
sebelum melakukan wawancara, pewawancara telah menyiapkan daftar
pertanyaan pokok terlebih dahulu untuk menjadi pedoman dalam
berkomunikasi dengan responden. Selanjutnya di dalam proses wawancara
tersebut dapat memunculkan pula berbagai pertanyaan baru yang diperoleh
dari jawaban yang diberikan oleh responden. Oleh sebab itu, dalam
wawancara yang berlangsung akan diperoleh data baru atau yang lebih luas
namun tetap terarah ke masalah penelitian yang sedang dikaji oleh
pewawancara.
Pertanyaan yang akan disampaikan mungkin tidak berurut dan pilihan kata-
kata dalam wawancara akan disesuaikan dengan konteks informan. Terhadap
informan yang mungkin mengalami kesulitan dalam penggunaan istilah-
istilah tertentu maka akan diupayakan mencari istilah sama yang dapat
dimengertinya. Kegunaan dari wawancara ini adalah sebagai pelengkap
metoda pengumpulan data lainnya.
2. Sumber Sekunder/instansional
Sumber sekunder diperoleh melalui studi dokumentasi. Studi dokumentasi
digunakan untuk menggali data sekunder yang diperlukan guna menunjang
penelitian ini, seperti tentang gambaran umum daerah penelitian. Selain itu
studi dokumentasi juga dilakukan mendapatkan berbagai macam dokumen
berupa buku-buku, laporan hasil penelitian, kertas kerja, majalah ilmiah,
bulletin, surat kabar, brosur-brosur yang berkaitan dengan tema penelitian.
Studi dokumentasi juga dilakukan pada instansi-instansi terkait.
3. Observasi
Observasi merupakan metode survey dengan mengamati langsung melalui
proses pemotretan yang telah ditentukan variabel dan batasan yang
merumuskan pemantauan.
4.3.2. Analisis
A. Analisis Kebijakan
Analisis kebijakan ini digunakan pada tahap inventarisasi dan analisis perumusan
yang didasarkan pada kerangka kebijakan pada tingkatan pemerintah pusat.
Lima kombinasi metode yang biasa digunakan pada analisis kebijakan antara lain
adalah :
1. Deskriptif,
Untuk dapat melakukan langkah hirarkis atau Hierarchical Steps diawali dengan
penggunaan Pendekatan Kerangka kerja logis atau bahasa populernya adalah
Logical Framework Approach merupakan suatu alat bantu (tool) yang bersifat
analitis yang dapat digunakan dengan pendekatan Focus Group Discussion.
Pendekatan tersebut digunakan antara lain :
Logical Framework Approach (LFA) pada umumnya terdiri dari empat elemen
utama, yaitu:
1. masukan (inputs),
2. keluaran (outputs),
3. hasil (outcomes), dan
4. dampak (impact)
Secara hirarki, keempat elemen dari kerangka kerja konseptual tersebut di atas
digambarkan dalam Gambar berikut. Masukan (input) berupa sumber daya,
seperti sumber daya manusia, finansial, dan sarana-sarana fisik lainnya,
merupakan prasyarat pelaksanaan kegiatan-kegiatan proyek. Kegiatan-kegiatan
tersebut menghasilkan keluaran (output) berupa barang dan jasa. Untuk melihat
kecukupan masukan dan volume hasil dari kegiatan-kegiatan yang dilakukan
Masukan dalam hal ini dapat berupa sumber daya manusia, finansial, dan fisik
yang tersedia. Elemen ini dapat diukur dengan indikator seperti nilai anggaran
atau pengeluaran untuk kesehatan lingkungan serta ketersediaan sarana prasarana
terkait.
C. Analisis Stakeholder
Analisis stakeholder digunakan untuk memetakan dan menganalis setiap
stakeholder yang terkait.
Stakeholder adalah pihak bisa individu atau kelompok atau
organisasi/lembaga yang terkait dengan kegiatan yang akan dilakukan.
Stakeholder utama adalah stakeholder yang berpengaruh langsung terhadap
kegiatan
Stakeholder sekunder adalah stakeholder yang berpengaruh tidak langsung
terhadap program/project.
Stakeholder tersier adalah stakeholder yang tidak terkait dengan program
tetapi akan dipengaruhi dampak dari program/project
D. Analisa Permasalahan
E. Analisis Hasil
Merupakan prosedur yang secara sistematis mengenali, memilah dan
menjelaskan secara rinci mengenai keterlibatan semua pihak dalam situasi
yang tertentu.
Dalam prakteknya dilakukan dengan membuat pohon hasil yang
dikembangkan dari pohon permasalahan yang diangkat dan melakukan
perincian lebih detail lagi dengan menuliskan pilihan pilihan dari hasil yang
akan dicapai.
Cara melakukannya adalah dengan mengacu pada pohon permasalahan, dan
mengubah kalimat negatif dari pohon permasalahan menjadi kalimat positif.
Setelah diubah menjadi kalimat positive maka harus diiperhatikan adalah
peryataan objective/hasil tersebut harus jelas. Kemudian jika diperlukan
untuk mendetailkan peryataan objective/hasil tersebut maka dapat dilakukan.
Analisis hasil juga harus jelas dan sudah mempertimbangkan resiko
Matrix Logical Frame Work akan menjelaskan keterkaitan hirarki logis mulai
dari input, aktifitas, output, purpose dan goal dari project. Matrix juga
menerangkan setiap hirarki logis tersebut dengan indikator, alat verifikasi
indikator dan asumsi yang digunakan.
Ada 2 analisis logis yang digunakan; yaitu analisis logis vertikal dan analisis
logis horizontal. Analisis vertikal dilakukan menjelaskan mengapa dan
Metode Pendekatan atau pola pemikiran secara ilmiah dalam analisa yuridis
normatif digunakan metode pendekatan yang meliputi:
1. Conceptual Approach
Conceptual Approach atau Pendekatan Konseptual adalah beranjak dari
pandangan dan doktrin yang berkembang didalam ilmu hukum. Dengan
mempelajari pandangan dan doktrin di dalam ilmu hukum, peneliti akan
memikirkan ide-ide yang melahirkan pengertian, konsep-konsep hukum dan
asas-asas hukum yang relevan dengan isu yang dihadapi.
2. Statute Approach
Metode Pendekatan Undang-Undang (Statute Approach) yang dilakukan
dengan menelaah Undang-Undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan
isu hukum yang ditangani.