Anda di halaman 1dari 30

BAB 4

PENDEKATAN DAN METODOLOGI

4.1. PENDEKATAN

4.1.1. Pendekatan Kebijakan

Perumusan sebuah kebijakan adalah tahap yang paling penting dalam membentuk
sebuah kebijakan publik. Menurut Charless Lindblom dan beberapa ahli yang lain,
dalam merumuskan sebuah kebijakan harus memahami orang-orang yang terlibat
dalam proses pembentukan sebuah kebijakan. Bahwa untuk memahami siapa yang
berhka merumuskan kebijakan maka harus dikaji terlebih dahulu sifat dan
karakter pemeran atau (participants) meliputi tupoksi apa saja yang harus mereka
lakukan, bagaimana cara merekaa bekerjasama antara satu dengan lainnya, serta
wewenang dan bentuk kekuasaan apa saja yang mereka miliki agar dapat
merumuskan sebuah kebijakan yang baik dan berkualitas.

Kebijakan yang telah ditetapkan harus memiliki kebijaksanaan karena menurut


Carl Friedrich menyatakan bahwa kebijaksanaan merupakan sesuatu yang dicita-
citakan oleh semua orang khususnya kebijaksanaan dalam sebuah kebijakan,
sehingga adanya kebijaksanaan dalam sebuah kebijkana dapat mengatasi adanya
hambatan-hambatan dan permasalahan yang muncul agar dapat mencapai tujuan
dan dapat melaksanaan kebijakan sebagaimana mestinya, Maka kebijakan publik
menurut pakar kebijakan yaitu Robbert Eyestone merupakan sebagai hubungan
suatu unit pemerintah deengan lingkungannya. Apa yang telah dijealskan oleh
Robbert Eyestone sejalan dengan pemikiran Thomas R. Dyeyang menyatakan
bahwa kebijakaan publik merupakan segala sesuatu yang dipilih oleh pemerintah
untuk dilakukan atau tidak dilakukan. Kebijakan menurut Mustopadidjaya adalah
suatu bentuk pengamatan untuk menemukan sebuah permasalahan yang ada di
masyarakat dengan memberikan sebuah solusi yang tepat terhadap permasalahan
tersebut.

Kajian Pengendalian Izin Pemanfaatan Tanah Negara IV - 1


BAB 4. PENDEKATAN DAN METODOLOGI

Mengacu pada Hogwood dan Gunn, Bridgman dan Davis menyatakan bahwa
kebijakan publik sedikitnya mencakup hal-hal seperti:
1. Bidang kegiatan yang menggambarkan cita-cita dan harapan yang ingin
dicapai.
2. Proposal tertentu sebagai alat untuk menentukan keputusan pemerintah
terhadap bidang kegiatan yang telah dipilih
3. Kewenangan formal yang disampikan melalui undang-undang atau peraturan
pemerintah sebagai pedoman terhadap bidang kegiatan yang akan
dilaksanakan.
4. Program, yaitu sebuah bentuk kegiatan yang akan direalisasikan dengan
memanfaatkan sumber daya dan strategi yang tepat agar mencapai tujuan
yang diharapkan
5. Keluaran (output), yaitu hasil dari program yang dilaksanakan sebagai produk
akhir program tersebut.

4.1.2. Pendekatan Otonomi Daerah

Perjalanan otonomi daerah di Indonesia merupakan isu menarik untuk diamati dan
dikaji, karena semenjak para pendiri negara menyusun format negara, isu
menyangkut pemerintahan lokal telah diakomodasikan dalam Pasal 18 UUD 1945
beserta penjelasannya. Pemerintahan daerah dalam pengaturan Pasal 18 UUD
1945 yang telah diamandemen mengakui adanya keragaman dan hak asal- usul
yang merupakan bagian dari sejarah panjang bangsa Indonesia. Meskipun negara
Republik Indonesia menganut prinsip negara kesatuan dengan pusat kekuasaan
berada pada Pemerintah Pusat namun karena heterogenitas yang dimiliki bangsa
indonesia baik kondisi sosial, ekonomi, budaya, maupun keragaman tingkat
pendidikan masyarakat, maka otonomi daerah atau desentralisasi yang merupakan
distribusi kekuasaan/kewenangan dari Pemerintah pusat perlu dialirkan kepada
daerah yang berotonom.

Kajian Pengendalian Izin Pemanfaatan Tanah Negara IV - 2


BAB 4. PENDEKATAN DAN METODOLOGI

Menurut E. Erikson dalam Save M. Dagun otonomi secara etimologi diambil dari
kata (autonomy : yun : autos=sendiri – nomos=hukum) terdapat tiga pengertian
yaitu: pertama, kemampuan /hak manusia untuk mengatur, memerintah dan
mengarahkan diri sendiri sesuai kehendaknya tanpa campur tangan orang lain.

Kedua, kekuasaan dan wewenang suatu lembaga atau wilayah untuk menjalankan
pemerintahan sendiri. Ketiga, keadaan munculnya perasaan bebas-lepas dan
kepercayaan diri yang kuat setelah seseorang berhasil melewati rintangan-
rintangan masa mudanya.

Dalam kamus politik otonomi adalah hak untuk mengatur kepentingan dan urusan
internal daerah atau organisasinya menurut hukum sendiri. Otonomi dalam batas
tertentu dapat dimiliki oleh wilayah-wilayah dari suatu negara untuk mengatur
pemerintahannya sendiri.

Otonomi daerah sendiri adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah untuk
mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai perundang-undangan
yang berlaku.

Otonomi daerah sebagai bentuk desentralisasi pemerintahan ditujukan untuk


memenuhi kepentingan bangsa secara keseluruhan, yaitu upaya untuk lebih
mendekati tujuan penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka mewujudkan cita-
cita masyarakat yang lebih baik, masyarakat yang lebih adil dan makmur,
pemberian, pelimpahan dan penyerahan tugas-tugas kepada daerah.

M. Turner dan D. Hulme dalam Dede Rosyada berpandangan bahwa yang


dimaksud dengan otonomi daerah adalah transfer kewenangan untuk
menyelenggarakan beberapa pelayanan kepada publik dari seseorang atau agen
pemerintah pusat kepada beberapa individu atau agen lain yang lebih dekat
kepada publik yang dilayani. Landasan yang menjadi transfer ini adalah teritorial
dan fungsional. Pendapat lain di kemukakan oleh Rondinelli yang mendefinisikan
otonomi daerah sebagai transfer tanggung jawab dalam perencanaan. Manajemen

Kajian Pengendalian Izin Pemanfaatan Tanah Negara IV - 3


BAB 4. PENDEKATAN DAN METODOLOGI

dan alokasi sumber-sumber dari pemerintah pusat dan agen-agenya kepada unit
kementrian pemerintah pusat, unit yang ada dibawah level pemerintah, otoritas
pemerintah pusat, unit yang ada dibawah level pemerintahan, otoritas atau
korporasi publik semi otonomi, otoritas regional atau fungsional dalam wilayah
yang luas, atau lembaga privat non pemeintah dan organisasi nirlaba.

Negara Indonesia, sebagai negara kesatuan republik, dengan penyelenggaraan


pemerintahan daerah dengan asas desentralisasi, telah menjadi bahan pembicaraan
jauh sebelum proklamasi 17 Agustus 1945, Murtir Jeddawi dalam bukunya
mengutip tulisan Mohammad Hatta dalam tulisan ke arah Indonesia merdeka
(1933) menyebutkan: “ Oleh karena Indonesia terbagi atas beberapa pulau dan
golongan bangsa, mendapat hak menentukan nasib sendiri, asal saja peraturan
masing-masing tidak berlawanan dengan dasar-dasar pemerintahan umum” dan ia
menegaskan pembentukan pemerintahan daerah (pemerintahan yang berotonomi),
merupakan salah satu aspek pelaksanaan paham kedaulatan rakyat.

Visi otonomi daerah itu sendiri dapat dirumuskan dalam tiga ruang lingkup
interaksinya yang utama yaitu: Politik, ekonomi, serta sosial dan budaya. Dalam
bidang politik, karena otonomi daerah adalah buah dari kebijakan desentralisasi
dan demokrasi, maka ia harus dipahami sebagai sebuah proses untuk membuka
ruang bagi lahirnya kepala pemerintahan daerah yang dipilih secara demokratis.
Demokratisasi pemerintah juga berarti transparasi kebijakan. Membangun sistem
dan pola karir politik dan administrasi yang kompetitif. Juga penguatan DPRD
dalam keberhasilan atau kegagalan kepemimpinan kepala daerah. DPRD juga
memiliki hak pengawasan politik terhadap jalannya pemerintahan daerah. Di
bidang ekonomi, otonomi daerah harus menjamin lancarnya pelaksanaan
kebijakan ekonomi nasional didaerah, serta terbukanya peluang bagi pemerintah
daerah mengembangkan kebijakan regional dan lokal untuk mengoptimalkan
pendayagunaan potensi ekonomi didaerahnya. Dan dalam bidang sosial dan
budaya, otonomi daerah harus dikelola sebaik mungkin demi menciptakan dan
memelihara harmoni sosial dan pada saat yang sama memelihara nilai-nilai lokal.

Kajian Pengendalian Izin Pemanfaatan Tanah Negara IV - 4


BAB 4. PENDEKATAN DAN METODOLOGI

Dalam Otonomi daerah ada pembagian kekuasaan yang menyangkut urusan


pemerintahan pusat dan pemerintah daerah. Dan urusan pusat meliputi: politik
luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter atau fiskal nasional dan
agama.

Dalam Otonomi daerah ada pembagian kekuasaan yang menyangkut urusan


pemerintahan pusat dan pemerintah daerah. Dan urusan pusat meliputi: politik
luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter atau fiskal nasional dan
agama.

Urusan pemerintah Provinsi (Dekonsentrasi) berwenang mengatur dan mengurus


urusan-urusan pemerintahan dengan eksternalitas regional (lintas kabupaten/kota),
sedangkan urusan kabupaten/kota ( Desentralisasi) berwenang mengatur dan
mengurus urusan-urusan pemerintahan dengan eksternalitas lokal (dalam suatu
kabupaten/kota).

Pada dasarnya urusan daerah provinsi bersifat atau memiliki dampak dan manfaat
lintas kabupaten dan kota dan urusan yang belum mampu dijalankan oleh
kabupaten/kota. Urusan wajib yang menjadi kewenangan provinsi merupakan
urusan dalam skala provinsi, sementara urusan wajib bagi kabupaten/kota
merupakan urusan wajib bagi kabupaten/kota merupakan skala kabupaten/kota.
Urusan tersebut berupa perencanaan dan pengendalian pembangunan,
perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang, penyelenggaraan
ketertiban umum dan ketentraman masyarakat, penyediaan sarana dan prasarana
umum, penanganan bidang kesehatan, penyelenggaraan bidang pendidikan
(khusus provinsi ditambahkan pila urusan alokasi sumber daya manusia
potensial), penanggulangan masalah sosial, pelayanan bidang ketenaga kerjaan,
pengembangan koperasi, usaha kecil, dan menengah, pengendalian lingkungan
hidup, pelayanan pertahanan, kependudukan, dan catatan sipil, dan urusan wajib
lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan.

Memberi otonomi kepada daerah sama seperti dengan mengizinkan “negara


mini”. Rakyat akan membentuk organisasi pemerintahan daerahnya sendiri selaras

Kajian Pengendalian Izin Pemanfaatan Tanah Negara IV - 5


BAB 4. PENDEKATAN DAN METODOLOGI

dengan kondisi daerah setempat. Pemerintahan daerah itu masing-masing akan


membuat dan menjalankan kebijakan berdasarkan kehendak masyarakat.
Meskipun demikian, kebijakan daerah tersebut tidak boleh bertentangan dengan
perundang- undangan negara, dan harus sesuai dengan kewenangan yang
diserahkan oleh pemerintah pusat.

Otonomi daerah menjadi suatu hal yang sangat penting, bukan semata-mata
karena otonomi memberikan kewenangan yang besar kepada daerah, tetapi
dengan otonomi, sebuah pembangunan yang lebih terarah dan tepat sasaran akan
lebih dimungkinkan. Dan dengan otonomi, pemerintah suatu daerah lebih dapat
melaksanakan program ekonomi dan politik yang mandiri sesuai kondisi daerah
yang ada didepan mata pemerintah daerah.

Otonomi dalam makna sempit dapat diartikan sebagai “mandiri”. Sedangkan


makna yang lebih luas diartikan sebagai “berdaya”. Otonomi daerah dengan
demikian berarti kemandirian suatu daerah dalam kaitan pembuatan dan
pengambilan keputusan mengenai kepentingan daerahnya sendiri. Jika daerah
sudah mampu mencapai kondisi sesuai yang dibutuhkan daerah maka dapat
dikatakan bahwa daerah sudah berdaya (mampu) untuk melakukan apa saja secara
mandiri tanpa tekanan dan paksaan dari pihak luar dan tentunya disesuaikan
dengan kondisi dan kebutuhan daerah.

Beberapa pendapat ahli yang dikutip Abdulrahman (1997) tentang apa itu otonomi
daerah, antara lain:
1. F. Sugeng Istianto, mengartikan otonomi daerah sebagai hak dan wewenang
untuk mengatur dan mengurus rumah tangga daerah.
2. Ateng Syarifuddin, mengemukakan bahwa otonomi mempunyai makna
kebebasan atau kemandirian tetapi bukan kemerdekaan (tidak terikat atau
tidak bergantung kepada orang lain atau pihak tertentu). Kebebasan yang
terbatas atau kemandirian itu terwujud pemberian kesempatan yang harus
dipertanggungjawabkan.

Kajian Pengendalian Izin Pemanfaatan Tanah Negara IV - 6


BAB 4. PENDEKATAN DAN METODOLOGI

3. Syarif Saleh, berpendapat bahwa otonomi daerah adalah hak mengatur dan
memerintah daerah sendiri. Hak mana diperoleh dari pemerintah pusat.
4. Pendapat lain dikemukakan oleh Benyamin Hoesein (1993) bahwa otonomi
daerah adalah pemerintahan oleh dan untuk rakyat di bagian wilayah nasional
suatu Negara secara informal berada di luar pemerintah pusat.
5. Sedangkan Philip Mahwood (1983) mengemukakan bahwa otonomi daerah
adalah suatu pemerintah daerah yang mempunyai kewenangan sendiri yang
keberadaannya terpisah dengan otoritas (kekuasaan atau wewenang) yang
diserahkan oleh pemerintah guna mengalokasikan sumber sumber material
yang substansial (sesunggguhnya atau yang inti) tentang fungsi-fungsi yang
berbeda.

Berbagai definisi tentang Otonomi Daerah telah banyak dikemukakan oleh para
pakar, dan dapat disimpulkan bahwa otonomi daerah yaitu kewenangan daerah
otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut
prakarsa (inisiatif) sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan
peraturan perundang-undangan. Sedangkan daerah otonom itu sendiri adalah
kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas daerah tertentu berwenang
mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa
sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam Ikatan Negara Kesatuan Republik
Indonesia.

Dalam Pasal 18 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia


Tahun 1945 menyatakan bahwa pemerintah daerah provinsi, daerah kabupaten,
dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas
otonomi dan tugas pembantuan, kemudian ayat (5) yang menyatakan bahwa
pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan
pemerintahan yang oleh undang- undang ditentukan sebagai urusan pemerintahan
pusat, dan ayat (6) yang menyatakan pemerintahan daerah berhak menetapkan
peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan
tugas pembantuan.

Kajian Pengendalian Izin Pemanfaatan Tanah Negara IV - 7


BAB 4. PENDEKATAN DAN METODOLOGI

Berdasarkan Pasal 18 ayat (2), ayat (5), dan ayat (6) pemerintah daerah memiliki
kewenangan untuk menjalankan pemerintahan berdasarkan asas otonomi daerah
dan tugas pembantuan. Dalam Undang–Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah, disebutkan bahwa Otonomi Daerah adalah hak, wewenang,
dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri Urusan
Pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistem Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Kemudian asas otonomi adalah prinsip dasar
penyelenggaraan Pemerintahan Daerah berdasarkan Otonomi Daerah. Sedangkan
tugas pembantuan adalah penugasan dari Pemerintah Pusat kepada daerah otonom
untuk melaksanakan sebagian Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan
Pemerintah Pusat atau dari Pemerintah Daerah provinsi kepada Daerah
kabupaten/kota untuk melaksanakan sebagian Urusan Pemerintahan yang menjadi
kewenangan Daerah provinsi.

Urusan pemerintahan terdiri atas urusan pemerintahan absolut, urusan


pemerintahan konkuren, dan urusan pemerintahan umum. Urusan pemerintahan
absolut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah urusan pemerintahan yang
sepenuhnya menjadi kewenangan pemerintah pusat. Sedangkan urusan
pemerintahan konkuren adalah urusan pemerintahan yang dibagi antara
pemerintah pusat dan daerah provinsi dan daerah kabupaten/kota. Urusan
pemerintahan konkuren yang diserahkan ke daerah inilah yang menjadi dasar
pelaksanaan otonomi daerah.

Urusan pemerintahan konkuren yang menjadi kewenangan daerah terdiri atas


urusan pemerintahan wajib dan urusan pemerintahan pilihan. Urusan
pemerintahan wajib terdiri atas urusan pemerintahan yang berkaitan dengan
pelayanan dasar dan urusan pemerintahan yang tidak berkaitan dengan pelayanan
dasar. Urusan pemerintahan wajib yang berkaitan dengan pelayanan dasar adalah
urusan pemerintahan wajib yang sebagian substansinya merupakan pelayanan
dasar. Urusan pemerintahan wajib yang berkaitan dengan pelayanan dasar
meliputi:
1. pendidikan;

Kajian Pengendalian Izin Pemanfaatan Tanah Negara IV - 8


BAB 4. PENDEKATAN DAN METODOLOGI

2. kesehatan;
3. pekerjaan umum dan penataan ruang;
4. perumahan rakyat dan kawasan permukiman;
5. ketenteraman, ketertiban umum, dan pelindungan masyarakat; dan
6. sosial.

Kemudian yang menjadi urusan pemerintahan wajib yang tidak berkaitan dengan
pelayanan dasar meliputi:
1. tenaga kerja;
2. pemberdayaan perempuan dan pelindungan anak;
3. pangan;
4. pertanahan;
5. lingkungan hidup;
6. administrasi kependudukan dan pencatatan sipil;
7. pemberdayaan masyarakat dan Desa;
8. pengendalian penduduk dan keluarga berencana;
9. perhubungan;
10. komunikasi dan informatika;
11. koperasi, usaha kecil, dan menengah;
12. penanaman modal;
13. kepemudaan dan olah raga;
14. statistik;
15. persandian;
16. kebudayaan;
17. perpustakaan; dan
18. kearsipan

urusan pemerintahan pilihan meliputi:


1. kelautan dan perikanan;
2. pariwisata;
3. pertanian;
4. kehutanan;

Kajian Pengendalian Izin Pemanfaatan Tanah Negara IV - 9


BAB 4. PENDEKATAN DAN METODOLOGI

5. energi dan sumber daya mineral;


6. perdagangan;
7. perindustrian; dan
8. transmigrasi

Salah satu kewenangan pemerintah daerah yaitu melaksanakan tugas pembantuan


ditujukan sebagai pemberian kemungkinan kepada pemerintah pusat atau
pemerintah daerah yang tingkatnya lebih atas untuk minta bantuan kepada
pemerintah daerah atau pemerintah daerah yang tingkatnya lebih rendah di dalam
menyelenggarakan tugas-tugas atau kepentingan-kepentingan yang termasuk
dalam urusan rumah tangga daerah yang diminta bantuan tersebut. Artinya untuk
urusan pusat yang memerlukan pelaksanaan di daerah dapat diserahkan
pelaksanaannya kepada satuan pemerintahan otonomi melalui tugas pembantuan.

Menurut Bagir Manan, otonomi dan tugas pembantuan adalah bentuk-bentuk dari
desentralisasi. Tugas pembantuan adalah bagian dari desentralisasi dan tidak ada
perbedaan pokok antara otonomi dengan tugas pembantuan. Baik otonomi
maupun tugas pembantuan sama-sama mengandung kebebasan dan kemandirian.
Perbedaan hanya pada tingkat kebebasan dan kemandirian. Pada otonomi,
kebebasan dan kemandirian itu penuh meliputi baik asas maupun cara
menjalankannya. Sedangkan pada tugas pembantuan, kebebasan dan kemandirian
hanya terbatas pada cara menjalankan. Karena sama-sama mengandung unsur
otonomi, perbedaan hanya pada tingkat kebebasan dan kemandirian, maka tidak
ada perbedaan mendasar antara otonomi dan tugas pembantuan.

Dalam berbagai peraturan perundang-undangan dan dalam perbincangan tentang


sistem pemerintahan daerah, isitilah otonomi sering diberi tambahan kata sifat
seperti otonomi yang seluas-luasnya, otonomi riil, otonomi khusus, otonomi yang
nyata dan bertanggung jawab. Disebutkan bahwa otonomi seluas-luasnya itu
dalam arti daerah diberi kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan
pemerintahan, diluar yang menjadi urusan pemerintah yang ditetapkan dalam
undang-undang ini. Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah

Kajian Pengendalian Izin Pemanfaatan Tanah Negara IV - 10


BAB 4. PENDEKATAN DAN METODOLOGI

untuk memberi pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa, dan pemberdayaan


masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat.

Sedangkan otonomi nyata adalah suatu prinsip bahwa untuk menangani urusan
pemerintahan dilaksanakan berdasarkan tugas, wewenang, dan kewajiban yang
senyatanya telah ada dan berpotensi untuk tumbuh, hidup, dan berkembang sesuai
dengan potensi dan kekhasan daerah. Dengan demikian isi dan jenis otonomi
daerah bagi setiap daerah tidak selalu sama dengan daerah lainnya. Sedangkan
yang dimaksud dengan otonomi yang bertanggung jawab adalah otonomi yang
dalam penyelenggaraannya harus benar-benar sejalan dengan tujuan dan maksud
pemberian otonomi, yang pada dasarnya untuk memberdayakan daerah termasuk
meningkatkan kesejahteraan rakyat yang merupakan bagian utama dari tujuan
nasional.

Pemberian otonomi yang seluas-luasnya kepada Daerah diarahkan untuk


mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan
pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat. Di samping itu melalui
otonomi yang luas, daerah diharapkan mampu meningkatkan daya saing dengan
memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan
kekhususan serta potensi dan keanekaragaman daerah dalam sistem Negara
Kesatuan Republik Indonesia.

Pemberian otonomi yang seluas-seluasnya kepada Daerah dilaksanakan


berdasarkan prinsip negara kesatuan. Dalam negara kesatuan kedaulatan hanya
ada pada pemerintahan negara atau pemerintahan nasional dan tidak ada
kedaulatan pada Daerah. Oleh karena itu, seluas apa pun otonomi yang diberikan
kepada Daerah, tanggung jawab akhir penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
akan tetap ada ditangan Pemerintah Pusat. Untuk itu Pemerintahan Daerah pada
negara kesatuan merupakan satu kesatuan dengan Pemerintahan Nasional. Sejalan
dengan itu, kebijakan yang dibuat dan dilaksanakan oleh Daerah merupakan
bagian integral dari kebijakan nasional. Pembedanya adalah terletak pada
bagaimana memanfaatkan kearifan, potensi, inovasi, daya saing, dan kreativitas

Kajian Pengendalian Izin Pemanfaatan Tanah Negara IV - 11


BAB 4. PENDEKATAN DAN METODOLOGI

Daerah untuk mencapai tujuan nasional tersebut di tingkat lokal yang pada
gilirannya akan mendukung pencapaian tujuan nasional secara keseluruhan.

Daerah sebagai satu kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai otonomi


berwenang mengatur dan mengurus derahnya sesuai aspirasi dan kepentingan
masyarakatnya sepanjang tidak bertentangan dengan tatanan hukum nasional dan
kepentingan umum. Dalam rangka memberikan ruang yang lebih luas kepada
Daerah untuk mengatur dan mengurus kehidupan warganya maka Pemerintah
Pusat dalam membentuk kebijakan harus memperhatikan kearifan lokal dan
sebaliknya Daerah ketika membentuk kebijakan Daerah baik dalam bentuk Perda
maupun kebijakan lainnya hendaknya juga memperhatikan kepentingan nasional.
Dengan demikian akan tercipta keseimbangan antara kepentingan nasional yang
sinergis dan tetap memperhatikan kondisi, kekhasan, dan kearifan lokal dalam
penyelenggaraan pemerintahan secara keseluruhan.

Terkait kewenangan yang bersumber pada hak menguasai dari Negara pada
digunakan untuk mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, peran
Pemerintah Dareah dalam hal ini Kota Serang tidak terlepas dari pembagian
kewenangan yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
Tentang Pemerintahan Daerah. Pembagian Urusan Pemerintahan Bidang
Pertanahan untuk Kabupaten /Kota Antara lain:
1. Sub Urusan Izin Lokasi
Kewenangan Daerah Kabupaten/Kota: Pemberian izin lokasi dalam 1 (satu)
Daerah kabupaten/kota
2. Sub Urusan Sengketa Tanah Garapan
Kewenangan Daerah Kabupaten/Kota: Penyelesaian sengketa tanah garapan
dalam Daerah kabupaten/kota
3. Sub Urusan Ganti Kerugian dan Santunan Tanah Untuk Pembangunan
Kewenangan Daerah Kabupaten/Kota: Penyelesaian masalah ganti kerugian
dan santunan tanah untuk pembangunan oleh Pemerintah Daerah
kabupaten /kota.

Kajian Pengendalian Izin Pemanfaatan Tanah Negara IV - 12


BAB 4. PENDEKATAN DAN METODOLOGI

4. Sub Urusan Subyek dan Obyek Redistribusi Tanah serta Ganti Kerugian
Tanah kelebihan maksimum dan Tanah Absente
Kewenangan Daerah Kabupaten/Kota: Penetapan subyek dan obyek
redistribusi tanah, serta ganti kerugian tanah kelebihan maksimum dan tanah
absentee dalam Daerah kabupaten/kota.
5. Sub Urusan Tanah Ulayat
Kewenangan Daerah Kabupaten/Kota: Penetapan tanah ulayat yang lokasinya
dalam Daerah kabupaten/kota.
6. Sub Urusan Tanah Kosong
Kewenangan Daerah Kabupaten/Kota:
a. Penyelesaian masalah tanah kosong dalam Daerah kabupaten/kota
b. Invetnarisasi dan pemanfaatan tanah kosong dalam daerah
Kabupaten/Kota
7. Sub Urusan Izin Membuka Tanah
Kewenangan Daerah Kabupaten/Kota: Penerbitan Izin Membuka Tanah
8. Sub Urusan Penggunaan Tanah
Kewenangan Daerah Kabupaten/Kota: Perencanaan penggunaan tanah yang
hamparannya dalam Dareah Kabupaten/Kota.

4.1.3. Pendekatan Pelayanan Publik

Pelayanan publik adalah salah satu implementasi otonomi daerah yang harus
diberikan oleh pemerintah daerah kepada warganya. Pelayanan publik merupakan
salah satu argumen dalam pelaksanaan otonomi daerah dimana pemerintah daerah
harus mampu menyediakan pelayanan publik sesuai dengan kebutuhan warganya.
Tingkat kesejahteraan masyarakat akan sangat tergantung pada tingkat pelayanan
publik yang disediakan oleh pemerintah daerah, dengan adanya otonomi yang luas
yang diberikan kepada daerah maka daerah khusunya kabupaten/kota mempunyai
tugas yang tinggi untuk menyediakan layanan-layanan publik yang sesuai dengan
kebutuhan masyarakat.

Kajian Pengendalian Izin Pemanfaatan Tanah Negara IV - 13


BAB 4. PENDEKATAN DAN METODOLOGI

Implementasi merupakan suatu rangkayan aktifitas dalam rangka mengantarkan


kebijaksanaan pada masyarakat sehingga kebijaksanaan tersebut dapat membawa
hasil sebagaimana di harapkan (H. Syaukani,dkk 2009:295). Selanjutnya di
jelaskan bahwa suatu rangkaian tersebut mencakup pertama, persiapan
seperangkat peraturan lanjutan yang merupakan interpretasi dari kebijaksanaan
tersebut. Ditempu dari sejumlah Undang-undang muncul sejumlah peraturan
pemerintah, keputusan presiden, peraturan daerah dan lain-lainnya. Kedua,
menyiapkan sumber daya guna menggerakkan kegiatan implementasi termasuk
didalamnya sarana dan prasarana, sumber daya keuangan, dan tentu saja
penetapan siapa yang bertanggung jawab melaksanakan kebijakan tersebut. Ketiga
adalah bagaimana mengantarkan kebijaksanaan secara konkrit kepada masyarakat.

Lebih lanjut tentang pencapaian keberhasilan implementasi kebijakan publik,


Edward dalam Indiahono (2009:48) memberikan empat variabel yang berperan
penting, yaitu :
1. Komunikasi, yaitu menunjuk bahwa setiap kebijakan akan dapat dilaksanakan
dengan baik jika terjadi komunikasi efektif antara pelaksana program
(kebijakan) dengan para kelompok saran (target group).
2. Sumber daya, yaitu menunjuk setiap kebijakan harus didukung oleh sumber
daya yang memadai, baik sumber daya manusia maupun sumber daya
finansial.
3. Disposisi, yaitu menunjuk karakteristik yang menempel erat kepada
implementor kebijakan/program. Karakter yang penting dimiliki oleh
implementor adalah kejujuran, komitmen dan demokratis.
4. Struktur birokrasi, menunjuk bahwa struktur birokrasi menjadi penting dalam
implementasi kebijakan. Aspek struktur birokrasi ini mencakup dua hal
penting pertama adalah mekanisme dan struktur organisasi pelaksana sendiri.

Grindle (1980: 7) menyatakan, implementasi merupakan proses umum tindakan


administratif yang dapat diteliti pada tingkat program tertentu. Sedangkan Van
Meter dan Horn (Wibawa, dkk., 1994: 15) menyatakan bahwa implementasi
kebijakan merupakan tindakan yang dilakukan oleh pemerintah dan swasta baik

Kajian Pengendalian Izin Pemanfaatan Tanah Negara IV - 14


BAB 4. PENDEKATAN DAN METODOLOGI

secara individu maupun secara kelompok yang dimaksudkan untuk mencapai


tujuan. Grindle (1980: 7) menambahkan bahwa proses implementasi baru akan
dimulai apabila tujuan dan sasaran telah ditetapkan, program kegiatan telah
tersusun dan dana telah siap dan telah disalurkan untuk mencapai sasaran.

Menurut Lane, implementasi sebagai konsep dapat dibagi ke dalam dua bagian.
Pertama, implementation = F (Intention, Output, Outcome). Sesuai definisi
tersebut, implementasi merupakan fungsi yang terdiri dari maksud dan tujuan,
hasil sebagai produk dan hasil dari akibat. Kedua, implementasi merupakan
persamaan fungsi dari implementation = F (Policy, Formator, Implementor,
Initiator, Time). Penekanan utama kedua fungsi ini adalah kepada kebijakan itu
sendiri, kemudian hasil yang dicapai dan dilaksanakan oleh implementor dalam
kurun waktu tertentu (Sabatier, 1986: 21—48).

Implementasi kebijakan menghubungkan antara tujuan kebijakan dan realisasinya


dengan hasil kegiatan pemerintah. Hal ini sesuai dengan pandangan Van Meter
dan Horn (Grindle, 1980: 6) bahwa tugas implementasi adalah membangun
jaringan yang memungkinkan tujuan kebijakan publik direalisasikan melalui
aktivitas instansi pemerintah yang melibatkan berbagai pihak yang
berkepentingan (policy stakeholders).

Menurut Sabatier (1986: 21—48), terdapat dua model yang berpacu dalam tahap
implementasi kebijakan, yakni model top down dan model bottom up. Kedua
model ini terdapat pada setiap proses pembuatan kebijakan. Model elit, model
proses dan model inkremental dianggap sebagai gambaran pembuatan kebijakan
berdasarkan model top down. Sedangkan gambaran model bottom up dapat dilihat
pada model kelompok dan model kelembagaan.

Grindle (1980: 6-10) memperkenalkan model implementasi sebagai proses politik


dan administrasi. Model tersebut menggambarkan proses pengambilan keputusan
yang dilakukan oleh beragam aktor, dimana keluaran akhirnya ditentukan oleh
baik materi program yang telah dicapai maupun melalui interaksi para pembuat
keputusan dalam konteks politik administratif. Proses politik dapat terlihat melalui

Kajian Pengendalian Izin Pemanfaatan Tanah Negara IV - 15


BAB 4. PENDEKATAN DAN METODOLOGI

proses pengambilan keputusan yang melibatkan berbagai aktor kebijakan,


sedangkan proses administrasi terlihat melalui proses umum mengenai aksi
administratif yang dapat diteliti pada tingkat program tertentu.

Kajian Pengendalian Izin Pemanfaatan Tanah Negara IV - 16


BAB 4. PENDEKATAN DAN METODOLOGI

Gambar 4.1
Model implementasi kebijakan menurut Van Meter dan Van Horn

Gambar 4.2
Model implementasi kebijakan Grindle

Riant Nugroho mengatakan bahwa pelayanan publik adalah tugas dalam kebijakan
publik yang paling mendasar, karena memberikan pelayanan kepada umum tanpa

Kajian Pengendalian Izin Pemanfaatan Tanah Negara IV - 17


BAB 4. PENDEKATAN DAN METODOLOGI

membeda-bedakan dan diberikan secara cuma-cuma atau dengan biaya


sedemikian rupa sehingga kelompok paling tidak mampu pun mampu
menjangkaunya.

Dengan adanya Otonomi Daerah membuka wacana penyelenggaraan publik yang


harus dilaksanakan pemerintah daerah untuk mensejahterakan warganya. Karena
tugas dari pemerintah daerah dengan adanya otonomi daerah adalah memberikan
pelayanan, yaitu berupa pelayanan umum atau pelayanan publik. Publik disini
adalah masyarakat yang berhak menerima pelayanan yang baik tanpa memandang
status warganya.

Penyelenggaraan pelayanan publik didaerah menjadi suatu kemutlakan oleh


karena kewajiban pemerintah baik pusat maupun didaerah sebagai penyelenggara
pelayanan publik untuk memenuhi kebutuhan dasar masyarakat. Dan memenuhi
kebutuhan dasar dan hak-hak sipil setiap warga negara atas barang, jasa, dan
pelayanan administrasi maka penyelenggaraan pelayanan publik harus
memberikan perhatian dan penanganan yang sungguh-sungguh. Dalam rangka
meningkatkan kualitas pelayanan publik upaya yang dilakukan antara lain
menertibkan berbagai landasan peraturan perundang-undangan di bidang
pelayanan publik.

Atas dasar tersebut serta adanya tuntutan masyarakat yang semakin meningkat,
khususnya dibidang penyelenggaraan pelayanan publik yang semakin transparan
dan berkualitas, maka harus dibarengi tersedianya pedoman/ landasan bergerak
bagi setiap lembaga/organisasi penyelenggara pelayanan, termasuk perorangan
guna memenuhi kebutuhan masyarakat sesuai bidang pelayanan yang diinginkan.

Disadari bahwa kondisi penyelenggaraan pelayanan publik didaerah masih belum


efektif bahkan cenderung kurang berkualitas, termasuk aspek sumber daya
manusia dan aparatur pemerintahan yang belum memadai. Untuk mengatasi
kondisi tersebut perlu dilakukan upaya perbaikan kualitas penyelenggaraan
pelayanan publik secara berkesinambungan demi mewujudkan pelayanan publik
yang prima. Dalam usaha perbaikan kualitas pelayanan dimaksud dilakukan

Kajian Pengendalian Izin Pemanfaatan Tanah Negara IV - 18


BAB 4. PENDEKATAN DAN METODOLOGI

melalui pembenahan sistem pelayanan publik secara menyeluruh dan terintegrasi


yang dituangkan dalam peraturan perundang-undangan berupa peraturan daerah.

Dalam UU 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah selain perlunya


diterapkan Standar Pelayanan Minimum (SPM) dalam penyelenggaraan
pemerintahan daerah , juga perlu menerapkan norma, standar, prosedur, dan
kriteria dalam rangka penyelenggaraan Urusan Pemerintahan.

Sebagai representasi rakyat di daerah maka DPRD harus beperan aktif dalam hal
pengembangan pelayanan publik melalui fungsi sebagai berikut :
1. Representation. Mengartikulasikan keprihatinan, tuntutan, harapan dan
melindungi kepentingan rakyat ketika kebijakan dibuat, sehingga DPRD
senantiasa berbicara “atas nama rakyat”;
2. Advokasi. Anggregasi aspirasi yang komprehensif dan memperjuangkannya
melalui negosiasi kompleks dan sering alot, serta tawar-menawar politik yang
sangat kuat. Hal ini wajar mengingat aspirasi masyarakat mengandung
banyak kepentingan atau tuntutan yang terkadang berbenturan satu sama lain.
Tawar menawar politik dimaksudkan untuk mencapai titik temu dari berbagai
kepentingan tersebut.
3. Administrative oversight. Menilai atau menguji dan bila perlu berusaha
mengubah tindakan-tindakan dari badan eksekutif. Berdasarkan fungsi ini
adalah tidak dibenarkan apabila DPRD bersikap “lepas tangan” terhadap
kebijakan pemerintah daerah yang bermasalah atau dipersoalkan oleh
masyarakat. DPRD dapat memanggil dan meminta keterangan, melakukan
angket dan interpelasi, bahkan pada akhirnya dapat meminta pertanggung
jawaban Kepala Daerah.

4.2. KERANGKA PIKIR

Penyusunan Kajian Pengendalian Izin Pemanfaatan Tanah Negara dilakukan


memalui beberapa pendekatan yaitu antara lain:
1. Pendekatan Kebijakan

Kajian Pengendalian Izin Pemanfaatan Tanah Negara IV - 19


BAB 4. PENDEKATAN DAN METODOLOGI

Kebijakan terkait dengan tanah negara dan pemanfaatannya mempengaruhi


aktifitas terkait pengendalian izin pemanfaatan tanah negara di Kota Serang.
2. Pendekatan Otonomi Daerah
Pendekatan Otonomi daerah untuk melihat pembatasan kewenangan yang
dimiliki Pemerintah Kota Serang terkait pelaksanaan tugas bidan pertanahan
3. Pendekatan Pelayanan Publik
Merupakan upaya Pemerintah Kota Serang memberikan pelayanan ke
masyarakatnya sesuai dengan kebutuhan warga masyarakatnya itu sendiri.

Dengan ketiga pendekatan tersebut diatas maka dikaji pengendalian izin


pemanfaatan Tanah Negara melalui kerangka pikir berikut:

Gambar 4.3
Kerangka Pikir Kajian Pengendalian Izin Pemanfaatan Tanah Negara

4.3. METODOLOGI

Kajian ini menggunakan metode kajian normatif yang mengkaji norma dan asas-
asas hukum mengenai aset daerah berupa tanah sebagai hak menguasai dari
negara yang dikuasai oleh masyarakat. Dan sifat penelitian yang digunakan adalah
bersifat diskriptif analistis dimana data kajian diolah dan dianalisis dan disajikan
dengan pemberian gambaran yang lengkap mengenai pengelolaan aset Pemerintah

Kajian Pengendalian Izin Pemanfaatan Tanah Negara IV - 20


BAB 4. PENDEKATAN DAN METODOLOGI

Daerah berupa tanah yang dilakukan dengan alat pengumpul data studi dokumen
untuk memperoleh data sekunder

Kajian Pengendalian Izin Pemanfaatan Tanah Negara IV - 21


BAB 4. PENDEKATAN DAN METODOLOGI

4.3.1. Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam pekerjaan ini dilakukan dengan mencari pada 3 (tiga
sumber) yaitu:
1. Sumber Primer In-depth Interview
Pengumpulan data melalui sumber primer didapat melalu wawancara.
Wawancara atau interview adalah suatu bentuk komunikasi verbal jadi
semacam percakapan yang bertujuan memperoleh informasi. Wawancara
dapat berfungsi deskriptif maupun berfungsi eksploratif. wawancara yang
digunakan adalah wawancara semistruktural yang berarti perpaduan antara
wawancara berstruktur dan tak berstruktur. Hal yang dimaksud adalah
sebelum melakukan wawancara, pewawancara telah menyiapkan daftar
pertanyaan pokok terlebih dahulu untuk menjadi pedoman dalam
berkomunikasi dengan responden. Selanjutnya di dalam proses wawancara
tersebut dapat memunculkan pula berbagai pertanyaan baru yang diperoleh
dari jawaban yang diberikan oleh responden. Oleh sebab itu, dalam
wawancara yang berlangsung akan diperoleh data baru atau yang lebih luas
namun tetap terarah ke masalah penelitian yang sedang dikaji oleh
pewawancara.

Pertanyaan yang akan disampaikan mungkin tidak berurut dan pilihan kata-
kata dalam wawancara akan disesuaikan dengan konteks informan. Terhadap
informan yang mungkin mengalami kesulitan dalam penggunaan istilah-
istilah tertentu maka akan diupayakan mencari istilah sama yang dapat
dimengertinya. Kegunaan dari wawancara ini adalah sebagai pelengkap
metoda pengumpulan data lainnya.

Wawancara dilakukan terhadap responden dengan teknik purposive sampling


yaitu dengan pemilihan responden sesuai dengan jenis informasi yang
didapatkan. Responden yang akan dijadikan narasumber terkait dengan

Kajian Pengendalian Izin Pemanfaatan Tanah Negara IV - 22


BAB 4. PENDEKATAN DAN METODOLOGI

pengelolaan pembangunan daerah. Beberapa pihak yang akan dijadikan


sumber adalah pengambil dan penentu kebijakan, akademisi dan praktisi.

2. Sumber Sekunder/instansional
Sumber sekunder diperoleh melalui studi dokumentasi. Studi dokumentasi
digunakan untuk menggali data sekunder yang diperlukan guna menunjang
penelitian ini, seperti tentang gambaran umum daerah penelitian. Selain itu
studi dokumentasi juga dilakukan mendapatkan berbagai macam dokumen
berupa buku-buku, laporan hasil penelitian, kertas kerja, majalah ilmiah,
bulletin, surat kabar, brosur-brosur yang berkaitan dengan tema penelitian.
Studi dokumentasi juga dilakukan pada instansi-instansi terkait.
3. Observasi
Observasi merupakan metode survey dengan mengamati langsung melalui
proses pemotretan yang telah ditentukan variabel dan batasan yang
merumuskan pemantauan.

4.3.2. Analisis

A. Analisis Kebijakan

Analisis kebijakan ini digunakan pada tahap inventarisasi dan analisis perumusan
yang didasarkan pada kerangka kebijakan pada tingkatan pemerintah pusat.

Tujuan dari analisis kebijakan ini antara lain :


1. Sejauh mana kebijakan-kebijakan pusat yang ada.
2. Untuk melihat kebijakan yang akan dibuat apakah sesuai dengan petunjuk
teknis dan pelaksanaan yang telah ditentukan.
3. Melihat pelaksanaan dari kebijakan-kebijakan terkait pemanfaatan tanah
negara

Lima kombinasi metode yang biasa digunakan pada analisis kebijakan antara lain
adalah :
1. Deskriptif,

Kajian Pengendalian Izin Pemanfaatan Tanah Negara IV - 23


BAB 4. PENDEKATAN DAN METODOLOGI

Merupakan metode yang bersifat monitoring yang menghasilkan informasi


sebab dan akibat kebijakan yang telah dirasakan
2. Prediktif
Merupakan metode yang bersifat forecasting yang meramalkan akibat suatu
kebijakan dimasa mendatang
3. Evaluatif
Merupakan metode yang bersifat evaluation yang memberikan informasi
tentang manfaat suatu kebijakan
4. Preskriptif
Merupakan metode yang bersifat rekommendation dan pertanyaan advokatif
yang memberikan informasi tentang kemungkinan bahwa serangkaian
tindakan yang akan datang akan mendatangkan manfaat yang bernilai
5. Perumusan masalah
Perumusan masalah menjadi dasar dalam melakukan pengkajian-pengkajian

Didalam melakukan analisis kebijakan harus mempunyai kepekaan terhadap


masalah dan kepekaan adanya solusi terhadap masalah tersebut.

Pada prinsipnya analisis kebijakan merupakan pengkajian praktis yang akan


menghasilkan kesimpulan bagaimana menyelesaikan masalah tersebut.

Pada prinsipnya penggunaan analisis kebijakan ini adalah untuk mengetahui


apakah perubahan kontribusi sektoral yang terjadi telah di dasarkan kepada
strategi kebijakan yang tepat, yaitu strategi yang memberikan dampak yang
optimal.

B. Analisis Pendekatan Hierarchical Steps

Untuk dapat melakukan langkah hirarkis atau Hierarchical Steps diawali dengan
penggunaan Pendekatan Kerangka kerja logis atau bahasa populernya adalah
Logical Framework Approach merupakan suatu alat bantu (tool) yang bersifat
analitis yang dapat digunakan dengan pendekatan Focus Group Discussion.
Pendekatan tersebut digunakan antara lain :

Kajian Pengendalian Izin Pemanfaatan Tanah Negara IV - 24


BAB 4. PENDEKATAN DAN METODOLOGI

1. melakukan analisis situasional pada tahap penyiapan materi,


2. menetapkan suatu hirarki logis dari tujuan yang ingin dicapai,
3. mengidentifikasi potensi risiko upaya pencapaian tujuan dan hasil yang
berkelanjutan,
4. menetapkan suatu cara agar keluaran dan hasil program dan kegiatan dapat
dimonitor dan dievaluasi dengan baik,
5. menyajikan rangkuman proyek dalam format yang standar, dan
6. memonitor dan mengkaji ulang pelaksanaan kebijakan

Logical Framework Approach (LFA) mencakup analisis masalah (problem


analysis), analisis pemangku kepentingan (stakeholder analysis), pengembangan
suatu hirarki logis dari objektif (objective analysis), identifikasi risiko yang
mungkin terjadi, dan pemilihan strategi implementasi yang diunggulkan. Hasil
pendekatan analitis ini berupa suatu matriks yang biasa disebut matriks kerangka
kerja logis (logical framework matrix LFM). Matriks ini merupakan rangkuman
apa saja yang akan dilakukan dan bagaimana melakukannya, asumsi-asumsi yang
digunakan, dan bagaimana keluaran dan hasil dari kegiatan-kegiatan akan
dimonitor dan dievaluasi

Logical Framework Approach (LFA) pada umumnya terdiri dari empat elemen
utama, yaitu:
1. masukan (inputs),
2. keluaran (outputs),
3. hasil (outcomes), dan
4. dampak (impact)

Secara hirarki, keempat elemen dari kerangka kerja konseptual tersebut di atas
digambarkan dalam Gambar berikut. Masukan (input) berupa sumber daya,
seperti sumber daya manusia, finansial, dan sarana-sarana fisik lainnya,
merupakan prasyarat pelaksanaan kegiatan-kegiatan proyek. Kegiatan-kegiatan
tersebut menghasilkan keluaran (output) berupa barang dan jasa. Untuk melihat
kecukupan masukan dan volume hasil dari kegiatan-kegiatan yang dilakukan

Kajian Pengendalian Izin Pemanfaatan Tanah Negara IV - 25


BAB 4. PENDEKATAN DAN METODOLOGI

diperlukan ukuran, yaitu indikator, yang pada kedua tahapan/fase ini


menggunakan indikator antara (intermediate indicators). Dari rangkaian proses
tersebut, selanjutnya diperoleh hasil (outcomes) dan dampak (impact) yang pada
umumnya baru dapat dilihat setelah kurun waktu tertentu tergantung dari jenis
proyek. Untuk mengukur dua element terakhir tersebut digunakan indikator akhir
(final indicators).

Masukan dalam hal ini dapat berupa sumber daya manusia, finansial, dan fisik
yang tersedia. Elemen ini dapat diukur dengan indikator seperti nilai anggaran
atau pengeluaran untuk kesehatan lingkungan serta ketersediaan sarana prasarana
terkait.

Adapun elemen hasil yang menggambarkan akses, pemanfaatan, dan tingkat


kepuasan pelayanan kesehatan dapat dilihat dari indikator-indikator seperti tingkat
partisipasi masyarakat. Adapun dampak dari semua proses di atas dapat diukur
dengan menggunakan indikator akhir pada tingkatan atau cakupan yang lebih luas,
misalnya tingkat Angka Harapan Hidup.

C. Analisis Stakeholder
 Analisis stakeholder digunakan untuk memetakan dan menganalis setiap
stakeholder yang terkait.
 Stakeholder adalah pihak bisa individu atau kelompok atau
organisasi/lembaga yang terkait dengan kegiatan yang akan dilakukan.
 Stakeholder utama adalah stakeholder yang berpengaruh langsung terhadap
kegiatan
 Stakeholder sekunder adalah stakeholder yang berpengaruh tidak langsung
terhadap program/project.
 Stakeholder tersier adalah stakeholder yang tidak terkait dengan program
tetapi akan dipengaruhi dampak dari program/project

D. Analisa Permasalahan

Kajian Pengendalian Izin Pemanfaatan Tanah Negara IV - 26


BAB 4. PENDEKATAN DAN METODOLOGI

 Menyusun list permasalahan yang akan menjadi dasar dalam penyusunan


program/project.
 Menyusun dalam bentuk pohon permasalahan dimulai dengan menentukan
permasalahan kunci atau permasalahan utama.
 Menyusun penyebab dari permasalahan tersebut muncul. Disusun secara
bertingkat mulai dari satu tingkat ke tingkat lainnya.
 Menyusun akibat dari adanya permasalahan tersebut. Juga disusun secara
bertingkat.
 Pohon permasalahan memberikan gambaran mulai dari akar sampai pucuk
permasalahannya dan akan menjadi panduan untuk menyusun logframe

E. Analisis Hasil
 Merupakan prosedur yang secara sistematis mengenali, memilah dan
menjelaskan secara rinci mengenai keterlibatan semua pihak dalam situasi
yang tertentu.
 Dalam prakteknya dilakukan dengan membuat pohon hasil yang
dikembangkan dari pohon permasalahan yang diangkat dan melakukan
perincian lebih detail lagi dengan menuliskan pilihan pilihan dari hasil yang
akan dicapai.
 Cara melakukannya adalah dengan mengacu pada pohon permasalahan, dan
mengubah kalimat negatif dari pohon permasalahan menjadi kalimat positif.
 Setelah diubah menjadi kalimat positive maka harus diiperhatikan adalah
peryataan objective/hasil tersebut harus jelas. Kemudian jika diperlukan
untuk mendetailkan peryataan objective/hasil tersebut maka dapat dilakukan.
 Analisis hasil juga harus jelas dan sudah mempertimbangkan resiko
 Matrix Logical Frame Work akan menjelaskan keterkaitan hirarki logis mulai
dari input, aktifitas, output, purpose dan goal dari project. Matrix juga
menerangkan setiap hirarki logis tersebut dengan indikator, alat verifikasi
indikator dan asumsi yang digunakan.
 Ada 2 analisis logis yang digunakan; yaitu analisis logis vertikal dan analisis
logis horizontal. Analisis vertikal dilakukan menjelaskan mengapa dan

Kajian Pengendalian Izin Pemanfaatan Tanah Negara IV - 27


BAB 4. PENDEKATAN DAN METODOLOGI

bagaimana kegiatan akan dilakukan dalam mencapai target secara bertingkat.


Analisis horizontal dilakukan untuk menjelaskan prasyarat apa yang
dibutuhkan supaya setiap kegiatan dapat dilakukan

F. Analisa Peraturan Perundang-undangan

Analisa peraturan perundang-undangan melalui Penelitian Yuridis Normatif.


Penelitian Yuridis Normatif adalah Metode penelitian hukum yang dilakukan
dengan cara meneliti bahan pustaka atau bahan sekunder. Penelitian ini dilakukan
untuk mengidentifikasi konsep dan asas-asas serta prinsip-prinsip yang digunakan
untuk mengatur terkait pengendalian pemanfaatan tanah negara. Metode berpikir
yang digunakan adalah metode berpikir deduktif (cara berpikir dalam penarikan
kesimpulan yang ditarik dari sesuatu yang sifatnya umum yang sudah dibuktikan
bahwa dia benar dan kesimpulan itu ditujukan untuk sesuatu yang sifatnya
khusus)

Metode Pendekatan atau pola pemikiran secara ilmiah dalam analisa yuridis
normatif digunakan metode pendekatan yang meliputi:
1. Conceptual Approach
Conceptual Approach atau Pendekatan Konseptual adalah beranjak dari
pandangan dan doktrin yang berkembang didalam ilmu hukum. Dengan
mempelajari pandangan dan doktrin di dalam ilmu hukum, peneliti akan
memikirkan ide-ide yang melahirkan pengertian, konsep-konsep hukum dan
asas-asas hukum yang relevan dengan isu yang dihadapi.
2. Statute Approach
Metode Pendekatan Undang-Undang (Statute Approach) yang dilakukan
dengan menelaah Undang-Undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan
isu hukum yang ditangani.

G. Metode Penelitian Hukum

Metode penelitian merupakan instrumen atau cara yang sistematis untuk


menyelidiki dan menelusuri masalah tertentu dengan benar dan dapat

Kajian Pengendalian Izin Pemanfaatan Tanah Negara IV - 28


BAB 4. PENDEKATAN DAN METODOLOGI

dipertanggungjawabkan keilmiahannya. Adapun sistematika penelitian terdiri


dari:
1. Macam dan Jenis Penelitian
a. Macam Penelitian
i. Eksploratoris;
ii. Deskriptif; atau
iii. Eksplanatoris.
b. Jenis Penelitian
i. Penelitian Normatif/doctrinal
ii. Penelitian Empiris/non doktrinal
2. Jenis dan Sifat Data Penelitian
a. Jenis data penelitian
i. Data primer; dan/atau
ii. Data sekunder.
b. Sifat data penelitian
i. Bahan hukum primer;
ii. Bahan hukum sekunder; dan/atau
iii. Bahan hukum tersier.
3. Alat Pengumpulan Data
a. Studi dokumen atau bahan pustaka;
b. Pengamatan atau observasi; dan/atau
c. Wawancara atau interview.
4. Analisa Data
a. data kualitatif; dan/atau
b. data kuantitatif.
5. Pendekatan dan Analisa Data
a. pendekatan yuridis normatif;
b. pendekatan sejarah hukum;
c. pendekatan politik hukum; dan/atau
d. pendekatan perbandingan hukum

Kajian Pengendalian Izin Pemanfaatan Tanah Negara IV - 29


BAB 4. PENDEKATAN DAN METODOLOGI

Kajian Pengendalian Izin Pemanfaatan Tanah Negara IV - 30

Anda mungkin juga menyukai