Anda di halaman 1dari 6

POLITIK LOKAL DAN OTONOMI DAERAH

Review Jurnal

Urgensi Desentralisasi Politik dan Otonomi Daerah di Indonesia: : Perspektif


Lokal

OLEH:

SYAHRUL MAULANA

E052192004

PROGRAM PASCASARJANA

PROGRAM STUDI ILMU POLITIK (POLITIK LOKAL)

UNIVERSITAS HASANUDDIN

2020
Mata Kuliah : Politik Lokal dan Otonomi Daerah
Dosen : Drs. .A A. . Yakub, ., M. . Si. . Ph. .D D. .
Tugas : Syahrul Maulana
NIM : E052192004

Urgensi Desentralisasi Politik dan Otonomi Daerah di Indonesia: : Perspektif


Lokal

Sejarah ketatanegaraan Indonesia menunjukkan bahwa pemerintah telah


berupaya secara terus menerus untuk mencari titik keseimbangan yang tepat dalam
meletakkan bobot desentralisasi dan otonomi daerah. Secara formal jurisdiksi
pemerintah daerah bergeser di antara dua kutub nilai, yaitu nilai pembangunan bangsa
(nation building) dan stabilitas nasional disatu fihak, dan nilai otonomi daerah di lain
fihak. Nilai yang pertama mewujudkan sentripetal dan nilai yang kedua
mengejawantahkan sentrifugal. Respon juridis formal pemerintah Indonesia terhadap
dilema ini, ternyata bervariasi dari waktu ke waktu, tergantung kepada konfigurasi
konstitusional dan konfigurasi politik pada suatu waktu tertentu.

Istilah otonomi daerah dan desentralisasi dalam konteks bahasan sistem


penyelenggaraan pemerintahan atau ketatanegaraan sering digunakan secara campur-
aduk (interchangeably). Kedua istilah ini secara praktis penyelenggaraan
pemerintahan tidak dapat dipisahkan sehingga tidak mungkin masalah otonomi
daerah dibahas tanpa melihat konteksnya dengan konsep desentalisasi.

Konsep desentralisasi sering dibahas dalam konteks pembahasan mengenai


sistem penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan. Pada masa sekarang,
hampir setiap negara (nation state) menganut desentralisasi sebagai suatu asas dalam
sistem penyelenggaraan pemerintahan negara. Desentralisasi bukan merupakan
rangkaian kesatuan dari suatu sistem yang lebih besar. Suatu negara menganut
desentralisasi bukan merupakan alternatif dari sentralisasi, karena antara
desentralisasi dan sentralisasi tidak bersifat dikotomis, melainkan merupakan sub-sub
sistem dalam kerangka sistem organisasi negara. Akan tetapi, pengertian
desentralisasi tersebut sering dikacaukan dengan istilah-istilah dekonsentrasi,
devolusi, desentralisasi politik, desentralisasi teritorial, desentralisasi administratif,
desentralisasi jabatan, desentralisasi fungsional, otonomi dan tugas pembantuan, dan
sebagainya.
Adapun point yang dijelaskan dalam jurnal tersebut adalah sebagai berikut :

1. Pendekatan Model Desentralisasi Politik / Demokrasi Lokal


Model demokrasi lokal berawal dari teori pemerintahan daerah itu
dikembangkan berdasarkan teori politik, Hambleton, (1994). Model demokrasi
lokal Menurut Stoker, (1990, 2017) memiliki sejumlah nilai. Pertama, pemerintah
daerah yang dilandasi kepercayaan memiliki nilai dalam arti penyebaran
kekuasaan dan keterlibatan berbagai pengambil keputusan di tingkat daerah.
Kedua, pandangannya tentang kekuatan dalam keberagaman. responsif terhadap
keragaman kepentingan. Ketiga, pemerintah daerah berbasis lokal itu
memfasilitasi akses dan tanggap terhadap masyarakat lokal karena
penyelenggaraannya dekat dengan masyarakat sekitar. Keempat, penyebaran
kekuasaan merupakan nilai fundamental dan Pemerintah daerah yang terdiri dari
lembaga berbasis pemilihan akan dapat mewakili penyebaran (sentrifugal)
kekuatan politik yang sah di kalangan masyarakat lokal. Fakta tentang
desentralisasi politik dan kebijakan otonomi daerah yang disuguhkan UU No. 22
Tahun 1999 terkait UU No. 32 dua Tahun 2004 terkait UU No. 23 Tahun Tahun
2014 tentang Pemerintahan Daerah, menjunjung tinggi prinsip demokrasi dan
keberagaman masyarakat selain itu dalam menjaga desentralisasi politik, termasuk
pasal 18 UUD 1945 dasar konstitusional; pembagian wilayah di Indonesia menurut
besar kecilnya wilayah dengan struktur pemerintahan yang ditetapkan oleh
undang-undang, dengan melihat dan mengingat konsultasi kebijakan dalam sistem
pemerintahan nasional, dan hak asal usul khusus daerah. Itu pernyataan
“Kebijakan Konsultasi dalam Sistem Administrasi Nasional” mengandung arti
demokrasi kita, dengan keyakinan bahwa dalam kondisi terbatas, desentralisasi
demokratisasi tidak diragukan lagi memiliki kualitas sesuai konteks dan
keberlanjutan demokrasi desentralisasi ditentukan oleh orang-orang yang
memperjuangkan transformasi nasional. Kelanjutan dari desentralisasi proses
demokratisasi tidak akan mudah diserahkan kepada negara atau otoritas.

2. Pendekatan Desentralisasi Pemerintah / Model Efisiensi Struktural


Model ini menyoroti pentingnya layanan yang efisien distribusi kepada
masyarakat lokal dalam mewujudkan desentralisasi politik. Di terciptanya
keseragaman dan kesesuaian mekanisme pelayanan yang efisien dan ekonomis,
Model ini mendorong keterlibatan penguasa yang lebih tinggi untuk mengontrol
pemerintah daerah (Aulich, 1998). Secara umum, model efisiensi struktural
mencakup skala prioritas. Tujuan politik desentralisasi adalah menciptakan
administrasi yang efisien dalam sistem persatuan bangsa. Di sebuah negara, ada
kelompok yang merangkul model efisiensi struktural dengan skala prioritas,
melalui tujuan desentralisasi yang efisien dan mengupayakan persatuan bangsa
yang bercorak sentrifugal otoritas. Pertama, adanya kecenderungan memangkas
sejumlah struktur otonomi daerah. Kedua, ada kecenderungan untuk
mengorbankan demokrasi dengan membatasi peran dan partisipasi masyarakat
lokal Perwakilan sebagai pembuat kebijakan dan lembaga kontrol. Ketiga, ada
kecenderungan pemerintah pusat untuk menolak menyerahkan kekuasaan dan
keleluasaan kepada pemerintah daerah. Keempat, kecenderungan untuk
memprioritaskan dekonsentrasi daripada desentralisasi. Kelima, terjadinya
Paradoks: dari satu segi, efisiensi membutuhkan daerah yang memiliki otonomi
yang luas kekuasaan untuk menyediakan sumber daya alam yang dapat menopang
lingkaran pemerintahan daerah. Namun, dari sisi lain, dikhawatirkan daerah yang
memiliki otonomi luas potensi untuk mengalami gerakan separatis. Makanya,
untuk mengurangi struktur wilayah otonomi, otonomi daerah dengan wilayah yang
luas menjadi sasaran utama untuk dilikuidasi. Kecenderungan ini terjadi dalam
kurun waktu Undang-Undang No. 5 Tahun 1974. Namun demikian efek empiris
yang sebenarnya masih dirasakan hingga saat ini.

3. Apa Urgensi Desentralisasi Politik dan Otonomi Daerah?


Secara umum, urgensi desentralisasi politik dapat dibedakan berdasarkan
sudut pandang peneliti. Beberapa peneliti mempersepsikannya dari politik,
ekonomi, perspektif pembangunan makro-mikro, dan bahkan sosial budaya.
Desentralisasi politik dari segi dimensi ekonomi adalah untuk memperkuat
kemampuan lokal pemerintah dalam menyediakan barang dan jasa publik, serta
meningkatkan efisiensi dan efektivitas pembangunan ekonomi di suatu wilayah.
Pandangan ini mengimplikasikan bahwa desentralisasi politik berfungsi sebagai
instrumen untuk memperluas masyarakat ruang bagi orang-orang yang membuat
pilihan atas barang dan jasa publik di mana pada akhirnya berkontribusi terhadap
adanya keseimbangan antara hak individu dan harmoni kolektif. Sejalan dengan
Ruland, Hidayat, desentralisasi politik dimana konsekuensinya dengan sendirinya
akan mencabut kebutuhan otonomi daerah karena akan meningkatkan politik
rakyat partisipasi pada gilirannya untuk mendukung pembangunan sosial, ekonomi
dan politik. Dengan demikian, Kimlicka menyebutkan bahwa ada enam aspek
utama yang berhubungan dengan prinsipal nilai urgensi desentralisasi politik.
Yaitu: pertama, Kepercayaan terhadap kesetaraan dan keadilan, kedua,
Kepercayaan terhadap konsultasi dan dialog, ketiga, Pentingnya adaptasi dan
toleransi, keempat Partisipasi dalam kesatuan dalam keberagaman, kelima,
Empati, yaitu cinta dan kemurahan hati, komitmen terhadap kebebasan dan
perdamaian, dan keenam Perubahan tanpa kekerasan.

4. Bhineka Tunggal Ika: Menciptakan Persatuan Dan Harmoni


Pada dasarnya permasalahan yang muncul dalam proses persatuan bangsa
adalah karena terjadinya ketegangan pada struktur kekuasaan yang disebabkan
oleh didirikannya negara bangsa. Oleh karena itu, persatuan nasional menyangkut
masalah kedaulatan, terutama yang berkaitan dengan itu proses peralihan
kekuasaan dalam kelompok masyarakat dan proses pembagian, pemanfaatan dan
mendistribusikan kekuatan di antara mereka. Dari perspektif otoritas, persatuan
nasional pada dasarnya terdiri dari dua masalah utama yaitu: pertama, Cara untuk
memastikan bahwa orang, kedua, cara untuk meningkatkan konsensus normatif /
lunak yang mengatur sikap politik masyarakat atau individu yang berpartisipasi.
Untuk mengatasi masalah ini dalam komunitas yang heterogen, diusulkan dua
strategi Pertama, asimilasi. Kedua, Bhineka Tunggal Ika (di Indonesia disebut
Bhineka Tunggal Ika). Asimilasi merupakan pencapaian persatuan bangsa dengan
mengangkat etnis dominan budaya di suatu negara sebagai budaya nasional.
Metode ini dapat dilakukan dengan menundukkan gagasan tentang entitas atau
kelompok minoritas menjadi etnis budaya yang dominan. Selain itu, strategi
Bhineka Tunggal Ika diartikan sebagai upaya mewujudkan loyalitas bangsa tanpa
menghilangkan budaya kelompok minoritas. Strategi Bhineka Tunggal Ika atau
Bhineka Tunggal Ika secara luas dipandang sebagai penekanan pada persatuan
(tunggal ika) tanpa pengorbanan keberagaman (bhinneka). Banyak elit lokal Bugis
percaya bahwa dalam praktiknya persatuan telah menjadi sebuah bagian sentral
dari wacana hegemoni era orde baru, dan pengakuan yang dibatalkan mengenai
kebutuhan keragaman osialbudaya (pluralisme) berupa kearifan lokal di kalangan
masyarakat Indonesia sampai rezim orde reformasi.

5. Stabilitas Nasional: Pengaturan Hubungan Pusat dan Daerah


Hubungan pusat dan daerah menekankan pada pemerataan dipembangunan
dan sumbernya, disertai dengan pertumbuhan ekonomi yang sehat dan dinamis dan
stabilitas politik.. Dilihat dari perspektif sosial, Indonesia merupakan negara yang
banyak mengalami kontras masalah. Bagi masyarakat daerah, masyarakat tengah
(Jawa) merupakan kelompok yang dominan secara sosial itu cenderung dipandang
sebagai perwakilan Indonesia. Meskipun demikian, ini adalah fakta di mana 300
etnis kelompok yang tersebar luas di seluruh Indonesia mengingat letak
geografisnya sebagai kepulauan. Menjadi negara kepulauan Indonesia, konfirmasi
geografis telah menjadi menjadi kendala bagi perkembangan komunikasi antar
berbagai daerah yang berbeda yang dianggap vital untuk mengakhiri keterasingan
yang ada dan menjembatani perbedaan. Tepat setelah yang baru ketertiban
diperpanjang sistem jalan raya, navigasi laut dan navigasi udara ke semua wilayah
itu komunikasi menjadi lebih lancar dan isolasi regional dicegah. Secara ekonomi,
Jawa bergantung pada daerah di luar Jawa yang terhitung hampir 50% dari Gross
Produk Domestik (PDB). Jadi, daerah di luar Jawa seperti Kalimantan, Sulawesi
dan Papua kaya dengan sumber daya alam seperti tambang emas, nikel, batu bara,
semen, rotan dan bahan lainnya yang merupakan produk ekspor utama Indonesia.
Keuntungan yang didapat dari luar wilayah Pulau Jawa yang menyebabkan
langsung disalurkan ke Jakarta itu kekecewaan daerah terhadap pusat di masa lalu.
Hal tersebut juga menimbulkan ketimpangan antara Jawa dan orang luar. Akibat
kebijakan itu, tak jarang terjadi sejumlah perubahan pola hubungan antara pusat
dan daerah terjadi sepanjang sejarah Indonesia. Namun demikian, di sana
merupakan salah satu syarat yang tidak pernah berubah sejak awal, yaitu dominasi
Jawa; pemerintah pusat diberi kekuasaan sentrifugal dalam hal politik dan
administratif wewenang. Fakta bahwa meskipun banyak provinsi yang kaya
dengan sumber daya alam, tetapi masih miskin adalah penyebabnya menimbulkan
perlawanan masyarakat lokal dan banyak kritik terhadap pemerintah pusat.
Sentralisasi yang berlebihan dianggap sebagai penyebab ketidaksadaran dan
pendekatan nonempatetik oleh pemerintah pusat dan menimbulkan rasa
keterasingan di dalam masyarakat setempat pengembangan. Pembangunan dari
Pinggiran: Desentralisasi Politik dan Kebijakan Otonomi Daerah Persoalan
mengenai dominasi pemerintah pusat atau biasa disebut “Jakarta” as Nama ibu
kota Indonesia tetap fundamental menurut daerahnya. Masalah yang disebutkan
akan pembahasan urgensi desentralisasi politik dan kebijakan otonomi daerah di
Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai