Anda di halaman 1dari 11

Rahmat - 044359126 - Tugas 3 Pendidikan Kewarganegaraan

Indonesia merupakan negara yang besar baik dari segi wilayahnya maupun dari segi
penduduknya. Indonesia merupakan negara kepualaian dengan jumlah lebih dari 17.000 yang
sudah cukup dapat dikatakan bahwa Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia.
Oleh karena itu, Indonesia mempunyai gagasan tentang otonomi daerah. Bersamaan dengan
bergulirnya era reformasi di Tahun 1998 yang memunculkan tuntutan dari masyarakat tentang
perlunya managemen pemerintahan yang baru. Hal tersebut disebabkan bahwa pemerintahan
yang sentralistik pada kenyataannya masih banyak kekurangan. Tuntutan tersebut kemudian
ditindak lanjuti dengan disahkannya UU No. 22 tahun 1999 Tentang Pemerintah daerah.

Soal 1 (skor 25)


Dari uraian di atas lakukanlah analisis faktor-faktor yang dapat memperngaruhi keberhasilan
otonomi daerah di Indonesia!
Jawab:
Secara umum, faktor-faktor yang akan menentukan dan mempengaruhi keberhasilan
pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia, antara lain yaitu (Kaho, 2002: 60): (i) faktor
manusia sebagai subjek penggerak (faktor dinamis) dalam penyelenggaraan otonomi
daerah; (ii) faktor keuangan yang merupakan tulang punggung bagi terselenggaranya
aktivitas pemerintahan daerah; (iii) faktor peralatan yang merupakan sarana pendukung
bagi terselenggaranya aktivitas pemerintahan daerah; serta (iv) faktor organisasi dan
manajemen yang merupakan sarana untuk melakukan penyelenggaraan pemerintahan daerah
secara baik, efisien, dan efektif. Dari paparan di atas jelaslah bahwa faktor kemampuan
untuk mengelola keuangan daerah merupakan faktor yang sangat menentukan bagi
keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah. Dengan kata lain, salah satu ciri dari daerah
otonom terletak pada kemampuan self supporting-nya dalam bidang keuangan, termasuk di
dalamnya adalah kemampuan daerah dalam menggali sumber-sumber keuangan dengan
baik dan menggunakannya secara tepat dan benar. Daerah harus mempunyai
sumbersumber keuangan yang memadai untuk membiayai penyelenggaran otonominya.

Soal 2 (skor 25)


Dari uraian di atas lakukanlah analisis faktor apa saja hambatan dalam melaksanakan otonomi
daerah di Indonesia!
Jawab:
PERBEDAAN KONSEP DAN PARADIGMA OTONOMI DAERAH
a. Perbedaan Konsep
Dalam perbincangan otonomi daerah ini, terdapat perbedaan persepsi di kalangan cendekiawan,
dan para pejabat birokrasi. Di antara mereka ada yang mempersepsikan otonomi daerah sebagai
prinsip penghormatan, terhadap kehidupan masyarakat sesuai riwayat adat-istiadat dan sifat-
sifatnya dalam konteks negara kesatuan (lihat Prof. Soepomo dalam Abdullah 2000: 11). Ada
juga yang mempersepsikan otonomi daerah sebagai upaya berperspektif Ekonomi-Politik, di
mana daerah diberikan peluang untuk berdemokrasi dan untuk berprakarsa memenuhi
kepentingannya sehingga mereka dapat menghargai dan menghormati kebersamaan dan
persatuan dan kesatuan dalam konteks NKRI.
Setelah diberlakukan UU No. 22 Tahun 1999, aksi dari berbagai pihak sangat beragam, sebagai
akibat dari perbedaan interpretasi istilah otonomi. Terdapat kelompok yang menafsirkan otonomi
sebagai kemerdekaan atau kebebasan dalam segala urusan yang sekaligus menjadi hak daerah.
Mereka yang mempunyai persepsi ini biasanya mencurigai intervensi pemerintah pusat, otonomi
daerah dianggap sebagai kemerdekaan daerah dari belenggu Pemerintah Pusat.
Ada kelompok lain yang menginterpretasikan sebagai pemberian “otoritas kewenangan” dalam
mengambil keputusan sesuai dengan kepentingan dan aspirasi masyarakat lokal. Di sini otonomi
diartikan atau dipersepsikan pembagian otoritas semata (lihat UU No. 22/1999); memaknai
otonomi sebagai kewenangan, daerah Otonomi (Kabupaten/Kota) untuk mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat lokal, menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat.
Wujudnya adalah pembagian kewenangan kepada daerah dalam seluruh bidang pemerintahan,
kecuali dalam bidang pertahanan dan keamanan peradilan, moneter dan fiskal, agama dan politik
luar negeri serta kewenangan bidang lain, yakni perencanaan nasional pengendalian
pembangunan nasional; perubahan keuangan, sistem administrasi negara dan lembaga;
perekonomian negara, pembinaan, dan pemberdayaan sumber daya manusia; pendayagunaan
sumber daya alam dan teknologi tinggi strategis, serta konservasi dan standarisasi nasional.
Ada juga kelompok yang menafsirkan otonomi daerah sebagai suatu mekanisme empowerment
(pemberdayaan). Menurut kelompok ini menafsirkan otonomi harus lebih mengakomodasikan
berbagai kepentingan lokal dan lembaga lokal dan untuk itu diperlukan otoritas. Jadi, diambil
kesepakatan khusus dalam pembagian tugas/urusan yang ditangani oleh Pemerintah Pusat dan
ditangani oleh Daerah (lokal).
Variasi interpretasi konsep otonomi tersebut karena adanya perbedaan referensi teoretis. Secara
teoretis istilah autonomy memiliki banyak arti yang kemudian menimbulkan berbagai
interpretasi.
b. Perbedaan Paradigma
Variasi makna tersebut berkaitan pula dengan paradigma utama dalam kaitannya dengan
otonomi, yaitu paradigma politik dan paradigma organisasi yang bernuansa pertentangan.
Menurut paradigma politik, otonomi birokrasi publik tidak mungkin ada dan tidak akan
berkembang karena adanya kepentingan politik dari rezim yang berkuasa. Rezim ini tentunya
membatasi kebebasan birokrat level bawah dalam membuat keputusan sendiri. Pemerintah
daerah (kabupaten, kota) merupakan subordinasi pemerintah pusat, dan secara teoretis
subordinasi dan otonomi bertentangan. Karena itu menurut paradigma politik, otonomi tidak
dapat berjalan selama posisi suatu lembaga merupakan subordinasi dari lembaga yang lebih
tinggi.
Berbeda dengan paradigma politik, paradigma organisasi justru mewujudkan betapa pentingnya
“otonomi tersebut untuk menjamin kualitas birokrasi yang diinginkan”. Untuk menjamin kualitas
birokrasi maka inisiatif, terobosan, inovasi, dan kreativitas harus dikembangkan dalam hal ini
akan dapat diperoleh apabila institusi birokrasi itu memiliki otonomi. Dengan kata lain,
paradigma “organisasi” melihat bahwa harus ada otonomi agar suatu birokrasi dapat tumbuh dan
berkembang menjaga kualitasnya sehingga dapat memberikan yang terbaik bagi masyarakat.
Kedua paradigma di atas benar adanya. Otonomi diperlukan bagi suatu organisasi untuk dapat
tumbuh dan berkembang mempertahankan eksistensi dan integritasnya, akan tetapi “otonomi”
juga sulit dilaksanakan karena birokrasi daerah merupakan subordinasi birokrasi pusat (negara).
Oleh karena itu kompromi harus ditemukan agar otonomi tersebut dapat berjalan. Respons
terhadap kedua paradigma tersebut dikemukakan oleh Terry (1995, 52) yang menyarankan agar
otonomi harus dilihat dalam paradigma “kontekstual”, yaitu mengaitkan otonomi dengan sistem
politik yang berlaku dan sekaligus kebutuhan masyarakat daerah. Oleh karena dalam konteks
otonomi di Indonesia harus dilihat juga sebagai upaya menjaga kesatuan dan persatuan di satu
sisi dan di sisi lainnya sebagai upaya birokrasi Indonesia untuk merespons kebhinnekaan
Indonesia agar mampu memberikan layanan terbaik bagi masyarakat.
UU No. 22 Tahun 1999 menganut paradigma ini, dengan menggunakan pendekatan
“kewenangan”. Hal ini dapat dilihat dari makna “otonomi sebagai kewenangan daerah otonomi
(kabupaten/kota) untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut
prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan
dalam konteks negara kesatuan RI.” Hal ini sangat tepat, namun dalam kasus Indonesia
dipandang kurang realistis karena persoalan otonomi daerah bukan hanya persoalan kewenangan
semata, tetapi banyak hal yang terkait dengan sumber daya dan infrastruktur yang ada di daerah
masih sangat lemah.

KUATNYA PARADIGMA BIROKRASI


Sampai sekarang aparat pemerintah daerah belum berani melakukan terobosan yang dibutuhkan.
Dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah dan untuk memberikan pelayanan yang terbaik bagi
masyarakat karena masih kuatnya pengaruh paradigma birokrasi.
Paradigma ini ditandai dengan ciri organisasi yang berstruktur sangat hierarkis dengan tingkat
diferensiasi yang tinggi, dispersi otoritas yang sentrali dan formalisasi yang tinggi (standarisasi,
prosedur, dan aturan yang ketat).
Dalam praktik di Indonesia, penentuan hierarki dan pembagian unit organisasi, standarisasi,
prosedur dan aturan-aturan daerah sangat ditentukan oleh pemerintah pusat, dan pemerintah
daerah harus loyal terhadap aturan tersebut. Dalam bidang manajemen telah disiapkan oleh
pemerintah pusat, berbagai pedoman, petunjuk dalam menangani berbagai tugas pelayanan dan
pembangunan di daerah. Dalam bidang kebijakan publik, program dan proyek-proyek serta
kegiatan-kegiatan yang diusulkan harus mendapat persetujuan pemerintah pusat. Implikasinya
masih banyak pejabat di daerah harus menunggu perintah dan petunjuk dari pusat. Paradigma
birokrasi yang sentralistik ini telah terbina begitu lama dan mendalam dan bahkan menjadi
“kepribadian” beberapa aparat kunci di instansi pemerintah daerah. Untuk itu perlu dilakukan
reformasi administrasi publik di daerah, meninggalkan kelemahan-kelemahan paradigma lama,
dan mempelajari, memahami serta mengadopsi paradigma baru seperti Post Bureaucratic (lihat
Barzelay, 1992) atau reinventing government, 1992, 1997).
LEMAHNYA KONTROL WAKIL RAKYAT DAN MASYARAKAT
Selama orde baru tidak kurang dari 32 tahun peranan wakil rakyat dalam mengontrol eksekutif
sangat tidak efektif karena terkooptasi oleh elit eksekutif. Birokrasi di daerah cenderung
melayani kepentingan pemerintah pusat, dari pada melayani kepentingan masyarakat lokal.
Kontrol terhadap aparat birokrasi oleh lembaga legislatif dan masyarakat tampak artifisial dan
fesudo demokratik. Kelemahan ini kita sadari bersama, perubahan telah dilakukan segera setelah
pergantian rezim “orde baru” orde reformasi. UU. Politik dan otonomi daerah diberlakukan,
semangat dan proses demokrasi menjanjikan, dan kontrol terhadap birokrasi dimulai walaupun
terkadang kebablasan. Sayang, semangat demokrasi yang timbul dan berkembang di era
reformasi ini tidak diikuti oleh strategi peningkatan kemampuan dan kualitas wakil rakyat. Wakil
rakyat yang ada masih kurang mampu melaksanakan tugasnya melakukan kontrol terhadap
pemerintah. Ketidakmampuan ini memberikan peluang bagi eksekutif untuk bertindak leluasa
dan sebaliknya legislatif bertindak ngawur mengorbankan kepentingan publik yang justru
dipercaya mewakili kepentingannya.

KESALAHAN STRATEGI
UU No. 22 Tahun 1999 tentang otonomi daerah diberlakukan pada suatu pemerintah daerah
sedang lemah. Pemerintah daerah diberikan kewenangan untuk melakukan sendiri apa yang
mereka butuhkan, tetapi dengan kemampuan yang sangat marjinal. Hal ini akibat dominasi
pemerintah pusat di daerah yang terlalu berlebihan, dan kurang memberikan peranan dan
kesempatan belajar bagi daerah. Model pembangunan yang dilakukan selama ini sangat
sentralistik birokratis yang berakibat penumpulan kreativitas pemerintah daerah dan aparatnya.

Lebih dari itu, ketidaksiapan dan ketidakmampuan daerah yang dahulu dipakai sebagai alasan
menunda otonomi kurang diperhatikan. Padahal untuk mewujudkan otonomi daerah merupakan
masalah yang kompleksitasnya tinggi dan dapat menimbulkan berbagai masalah baru, seperti
munculnya konflik antara masyarakat lokal dengan pemerintah dan hal ini dapat berdampak
sangat buruk pada integritas lembaga pemerintahan baik di pusat maupun di daerah. Sekurang-
kurangnya ada enam yang perlu diperhatikan dalam konteks pelaksanaan otonomi daerah ini,
yakni persiapan yang matang tidak artifisial, memberi kepercayaan, kejelasan visi, kesiapan
sumber daya, dan berbagai parameter tuntutan terhadap kinerja.
UU No. 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah, dalam beberapa hal mengandung kelemahan-
kelemahan, namun bagaimanapun juga UU ini merupakan suatu reformasi dalam sistem
pemerintahan daerah, yang telah menggeser paradigma lama ke paradigma baru, yaitu dari
sistem pemerintah “sentralistik” yang lebih berorientasi kepada Structural Efficiency Model”
berubah ke arah sistem pemerintahan “desentralistik” yang orientasinya lebih cenderung kepada
Local Democratic Model, yaitu yang lebih menekankan kepada prinsip-prinsip demokrasi, peran
serta masyarakat, pemerataan dan keadilan, serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman
daerah.
Dengan pemberian kewenangan yang luas kepada daerah dalam rangka penyelenggaraan
otonomi daerah, dibarengi dengan perimbangan keuangan yang memadai sampai saat ini,
sesungguhnya daerah sudah cukup mampu untuk berbuat sesuatu bagi peningkatan kesejahteraan
masyarakat setempat. Masalahnya sekarang adalah kurangnya SDM aparatur pemerintahan
daerah yang mampu menemukan talenta, potensi dan keunggulan daerahnya masing-masing.
Selain itu, pengertian otonomi ini sering dicampuradukkan (interchangeble) antara “otonomi
sebagai alat” (means) untuk mencapai tujuan dengan “tujuan otonomi” itu sendiri.
Dalam hubungan ini, seperti dikatakan oleh The Founding Father Moh. Hatta, bahwa
“memberikan otonomi daerah tidak saja berarti melaksanakan demokrasi, tetapi mendorong
berkembangnya auto-activiteit artinya tercapailah apa yang dimaksud dengan demokrasi, yaitu
pemerintahan yang dilaksanakan oleh rakyat, untuk rakyat. Rakyat tidak saja menentukan
nasibnya sendiri, melainkan juga dan terutama memperbaiki nasibnya sendiri. Inilah hakikat
otonomi menurut Hatta.

Soal 3 (skor 25)


Pada kurun waktu lebih dari satu dasawarsa berjalannya otonomi daerah sejak disahkan UU No.
22 Tahun 1999 Tentang Otonomi Daerah sudah banyak yang dicapai, namun amsih banyak hal
yang belum bisa ditangani terkait dengan upaya dalam mengatasi implementasi kebijakan
otonomi daerah. Contoh keberhasilan dari otonomi daerah dalah semakin luasnya kewenangan
dari DPRD selaku Lembaga legeslatif serta kewenangan kepala daerah selaku eksekutif dan
semakin terbukanya informasi serta partisipasi dari masyarakan dalam hal pengambilan
keputusan dan penagwasan terhadap jalannya pemerintahan di tingkat daerah. Namun,
keberhasilan tersebut juga diiringi dengan hambatan seperti munculnya istilah raja-raja kecil di
daerah dan banyak kasus korupsi yang melibatkan kepala daerah sehingga menyebabkan
anggaran yang seharusnya untuk membangun daerahnya dikorupsi dan pembangunan menjadi
terhambat.
Dari uraian di atas lakukanlah telaah terkait dengan solusi nyata kita sebagai masyarakat untuk
menanggulangi hambatan pelaksanaan otonomi daerah!
Jawab:
1. Prinsip-prinsip yang harus dipegang dalam pemberian otonomi daerah:
a. Penyelenggaraan otonomi daerah dilaksanakan dengan memperhatikan aspek demokrasi,
keadilan, pemerataan serta potensi dan keanekaragaman daerah.
b. Pelaksanaan otonomi daerah didasarkan pada otonomi luas, nyata dan bertanggung
jawab.
c. Pelaksanaan otonomi daerah yang luas dan utuh diletakkan pada daerah kabupaten dan
daerah kota sedang pada daerah propinsi merupakan otonomi yang terbatas.
d. Pelaksanaan otonomi daerah harus sesuai dengan konstitusi negara.
e. Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih mengikatkan kemandirian daerah otonomi.
f. Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan peran dan fungsi badan legislatif
daerah.
g. Pelaksanaan asas dekonsentrasi diletakkan pada daerah propinsi dalam kedudukannya
sebagai daerah administrasi.
h. Pelaksanaan asas tugas pembantuan dari pemerintah dan daerah ke desa disertai
pembiayaan sarana dan prasarana serta SDM dengan kewajiban melaporkan dan
bertanggung jawab kepada yang menugaskan.
2. Kendala/ketimpangan-ketimpangan yang sering terjadi dalam penerapan kebijakan otonomi
daerah :
a. High Cost Economic dalam bentuk pungutan-pungutan yang membabi buta. Otonomi
daerah dapat berubah sifat menjadi “Anarkisme Financial”.
b. High Cost Economic dalam bentuk KKN.
c. Orientasi Pemda pada Cash Inflow, bukan pendapatan.
d. Pemda bisa menjadi “drakula” bagi anak-anak mereka sendiri yaitu BUMD-BUMD
yang berada dibawah naungannya. Modusnya bisa jadi bukan melalui penjualan aset,
melainkan melalui kebijakan penguasa daerah yang sulit ditolak oleh jajaran pimpinan
BUMD.
e. Karena terfokus pada penerimaan dana Pemda bisa melupakan kriteria pembuktian
berkelanjutan.
f. Munculnya hambatan bagi mobilitas sumber daya.
g. Potensi konflik antar daerah menyangkut pembagian hasil pungutan.
h. Bangkitnya egosentrisme.
i. Karena derajat keberhasilan otonomi lebih dilandaskan pada aspek-aspek finansial
pemerintah daerah bisa melupakan misi dan visi otonomi sebenarnya.
j. Munculnya bentuk hubungan kolutif antara eksekutif dan legislatif di daerah.
3. Upaya pejabat daerah untuk mengatasi ketimpangan yang terjadi.
a. Pejabat harus dapat melakukan kebijakan tertentu sehingga SDM yang berada di pusat
dapat terdistribusi ke daerah
b. Pejabat harus melakukan pemberdayaan politik warga masyarakat dilakukan melalui
pendidikan politik dan keberadaan organisasi swadaya masyarakat, media massa dan
lainnya.
c. Pejabat daerah harus bisa bertanggung jawab dan jujur.
d. Adanya kerjasama antara pejabat dan masyarakat.
e. Dan yang menjadi prioritas adalah pejabat daerah harus bisa memahami prinsip-prinsip
otonomi daerah.
4. Analisis langkah-langkah yang harus diambil pemerintah dalam mengontrol otonomi daerah:
a. Merumuskan kerangka hukum yang memenuhi aspirasi untuk otonomi di tingkat propinsi
dan sejalan dengan strategi desentralisasi secara bertahap.Untuk itu perlu dipersiapkan
revisi UU No.22 dan No.25 ,termasuk usaha sosialisasi besar-besaran pada masyarakat
dan parlemen di tingkat pusat maupun daerah.
b. Menyusun sebuah rencana implementasi desentralisasi dengan memperhatikan faktor-
faktor yang menyangkut penjaminan kesinambungan pelayanan pada
masyarakat,perlakuan perimbangan antara daerah-daerah,dan menjamin kebijakan fiskal
yang berkelanjutan.
c. Untuk mempertahankan momentum desentralisasi,pemerintah pusat perlu menjalankan
segera langkah desentralisasi,akan tetapi terbatas pada sektor-sektor yang jelas
merupakan kewenangan Kabupaten dan Kota dan dapat segera diserahkan.
d. Proses otonomi tidak dapat dilihat sebagai semata-mata tugas dan tanggung jawab dari
menteri negara otonomi atau menteri dalam negeri,akan tetapi menuntut koordinasi dan
kerjasama dari seluruh bidang dalam kabinet (Ekuin,Kesra & Taskin, dan Polkam).

Soal 4 (skor 25)


Pada praktek good governance menyaratkan harus terdapat transparasi dalam proses
penyelenggaraan pemerintah secara keseluruhan. Transparasi merupakan konsep yang penting
yang mengringi kuatnyakeinginan untuk praktek good governance. Masyarakat diberikan
kesempatan yang luas untuk mengetahui informasi mengenai penyelenggaraan pemerintahan,
sehingga masyarakat dapat memberikan penilaian keberpihakan pemerintah terhadap
kepentingan public. Oleh karena itu, masyarakat dapat dengan mudah menetukan apakah akan
memerikan dukungan kepada pemerintah atau malah sebaliknya.
Dari uaraian di atas lakukanlah telaah terkait peran mahasiswa dalam upaya mewujudkan praktek
good governance!
Jawab:
Mahasiswa memiliki tiga peran penting yang harus dilakukan mahasiswa terhadap masyarakat
diantaranya :
Agent Of Change,
Sebagaimana yang sudah di jelaskan didalam Surah Ar Ra’d :11 Bahwa dimana bahwa suatu
kaum harus mau berubah bila mereka menginginkan sesuatu keadaan yang lebih baik. Dengan
adanya mahasiswa sebagai kaum intelektual, maka mahasiswa dituntut untuk melakukan suatu
perubahan ke arah yang lebih baik. Mahasiswa tidak hanya “diam” melihat kondisi di sekitarnya.
Mahasiswa harus merubah kondisi sekitarnya menjadi lebih baik
Mahasiswa juga bisa berperan sebagai control terhadap kebijakan yang dibuat menyangkut hajat
hidup orang banyak, mahasiswa dapat menjadi peran penting dalam mewujudkan good
governance dalam system pemerintahan.
Iron Stock
Mahasiswa adalah asset atau cadangan untuk masa depan. Mahasiswa diharapkan menjadi
generasi yang tangguh dan juga harus memiliki kemampuan dan moralitas yang baik sehingga
dapat menggantkan generasi sebelumnya. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya organisasi
yang setiap akhir kepengurusan akan di tandai dengan pergiliran tongkat estafet dari golongan
tua yang sudah penah memimpin ke golongan muda yang mempunyai jiwa kempemimpinan.
Dan disinilah saatnya yang muda yang memimpin.
Sebagai mahasiswa juga harus mengerti fungsi mahasiswa yang harus dijalankan. Berdasarkan
tugas perguruan tinggi yang di ungkapkan oleh M. Hatta membentuk manusia susila dan
demokrat yang:
a. Memiliki keinsafan tanggung jawab atas kesejahteraan masyarakat
b. Cakap dan mandiri dalam memelihara dan memajukan ilmu pengetahuan
c. Cakap memangku jabatan atau pekerjaan di masyarakat.
Berdasarkan pemikiran M.Hatta tersebut, dapat kita sederhanakan bahwa tugas perguruan tinggi
adalah membentuk insan akademis, yang selanjutnya hal tersebut akan menjadi sebuah fungsi
bagi mahasiswa itu sendiri. Insan akademis itu sendiri memiliki dua ciri yaitu : memiliki sense of
crisis, dan selalu mengembangkan dirinya. Insan akademis harus memiliki sense of crisis yaitu
peka dan kritis terhadap masalah-masalah yang terjadi di sekitarnya saat ini. Hal ini akan tumbuh
dengan sendirinya bila mahasiswa itu mengikuti watak ilmu, yaitu selalu mencari pembenaran-
pembenaran ilmiah. Dengan mengikuti watak ilmu tersebut maka mahasiswa diharapkan dapat
memahami berbagai masalah yang terjadi dan terlebih lagi menemukan solusi-solusi yang tepat
untuk menyelesaikannya.
Peran mahasiswa sebagai kaum terpelajar dalam Good Governance diantaranya:
a. Memberikan pencerahan kepada seluruh masyarakat supaya berpartisiapsi dalam pemilu
dengan menggunakan hak pilih sebaik-baiknya, guna membawa bangsa dan NKRI maju
seperti negara lain di dunia.
b. Memdorong dan memandu masyarakat secara langsung atau pun tidak untuk memilih parpol
dan calon walik rakyat yang jujur, amanah, cerdas, pejuang, berani, dan mempunyai track
record yang baik di masayrakat.
c. Memberikan infermasi kepada masyarakat tentang parpol dan calon wakil rakyat yang baik
dan pantas untuk dipilih, supaya hasil pemilu dapat membawa bangsa ini semakin maju di
bawah pemimpin yang tepat.

Anda mungkin juga menyukai