Indonesia merupakan negara yang besar baik dari segi wilayahnya maupun dari segi
penduduknya. Indonesia merupakan negara kepualaian dengan jumlah lebih dari 17.000 yang
sudah cukup dapat dikatakan bahwa Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia.
Oleh karena itu, Indonesia mempunyai gagasan tentang otonomi daerah. Bersamaan dengan
bergulirnya era reformasi di Tahun 1998 yang memunculkan tuntutan dari masyarakat tentang
perlunya managemen pemerintahan yang baru. Hal tersebut disebabkan bahwa pemerintahan
yang sentralistik pada kenyataannya masih banyak kekurangan. Tuntutan tersebut kemudian
ditindak lanjuti dengan disahkannya UU No. 22 tahun 1999 Tentang Pemerintah daerah.
KESALAHAN STRATEGI
UU No. 22 Tahun 1999 tentang otonomi daerah diberlakukan pada suatu pemerintah daerah
sedang lemah. Pemerintah daerah diberikan kewenangan untuk melakukan sendiri apa yang
mereka butuhkan, tetapi dengan kemampuan yang sangat marjinal. Hal ini akibat dominasi
pemerintah pusat di daerah yang terlalu berlebihan, dan kurang memberikan peranan dan
kesempatan belajar bagi daerah. Model pembangunan yang dilakukan selama ini sangat
sentralistik birokratis yang berakibat penumpulan kreativitas pemerintah daerah dan aparatnya.
Lebih dari itu, ketidaksiapan dan ketidakmampuan daerah yang dahulu dipakai sebagai alasan
menunda otonomi kurang diperhatikan. Padahal untuk mewujudkan otonomi daerah merupakan
masalah yang kompleksitasnya tinggi dan dapat menimbulkan berbagai masalah baru, seperti
munculnya konflik antara masyarakat lokal dengan pemerintah dan hal ini dapat berdampak
sangat buruk pada integritas lembaga pemerintahan baik di pusat maupun di daerah. Sekurang-
kurangnya ada enam yang perlu diperhatikan dalam konteks pelaksanaan otonomi daerah ini,
yakni persiapan yang matang tidak artifisial, memberi kepercayaan, kejelasan visi, kesiapan
sumber daya, dan berbagai parameter tuntutan terhadap kinerja.
UU No. 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah, dalam beberapa hal mengandung kelemahan-
kelemahan, namun bagaimanapun juga UU ini merupakan suatu reformasi dalam sistem
pemerintahan daerah, yang telah menggeser paradigma lama ke paradigma baru, yaitu dari
sistem pemerintah “sentralistik” yang lebih berorientasi kepada Structural Efficiency Model”
berubah ke arah sistem pemerintahan “desentralistik” yang orientasinya lebih cenderung kepada
Local Democratic Model, yaitu yang lebih menekankan kepada prinsip-prinsip demokrasi, peran
serta masyarakat, pemerataan dan keadilan, serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman
daerah.
Dengan pemberian kewenangan yang luas kepada daerah dalam rangka penyelenggaraan
otonomi daerah, dibarengi dengan perimbangan keuangan yang memadai sampai saat ini,
sesungguhnya daerah sudah cukup mampu untuk berbuat sesuatu bagi peningkatan kesejahteraan
masyarakat setempat. Masalahnya sekarang adalah kurangnya SDM aparatur pemerintahan
daerah yang mampu menemukan talenta, potensi dan keunggulan daerahnya masing-masing.
Selain itu, pengertian otonomi ini sering dicampuradukkan (interchangeble) antara “otonomi
sebagai alat” (means) untuk mencapai tujuan dengan “tujuan otonomi” itu sendiri.
Dalam hubungan ini, seperti dikatakan oleh The Founding Father Moh. Hatta, bahwa
“memberikan otonomi daerah tidak saja berarti melaksanakan demokrasi, tetapi mendorong
berkembangnya auto-activiteit artinya tercapailah apa yang dimaksud dengan demokrasi, yaitu
pemerintahan yang dilaksanakan oleh rakyat, untuk rakyat. Rakyat tidak saja menentukan
nasibnya sendiri, melainkan juga dan terutama memperbaiki nasibnya sendiri. Inilah hakikat
otonomi menurut Hatta.