Anda di halaman 1dari 33

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Otonomi daerah selanjutnya disebut dengan desentralisasi adalah pelimpahan

wewenang pada badan-badan dan golongan dalam masyarakat dalam daerah tertentu

untuk mengurus rumah tangganya sendiri1.

Berdasarkan Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang

Pemerintahan Daerah, desentralisasi diartikan sebagai penyerahan wewenang

pemerintah kepada Daerah Otonom untuk mengatur dan mengurus urusan

pemerintahan dalam system Negara Kesatuan Republik Indonesia. Berdasarkan Pasal

ini tampak bahwa Indonesia menganut desentralisasi teritorial dalam

penyelenggaraan pemerintahan.

Soewargono berpendapat bahwa dimensi filosofi, formulasi dan implementasi

otonomi harus berorientasi pada;2 pertama, realisasi dan implementasi demokrasi;

kedua realisasi kemandirian daerah; ketiga, membiasakan daerah untuk

membiasakan diri dalam memanage permasalahan dan kepentingannya sendiri;

keempat, menyiapkan political schooling untuk masyarakat; kelima, menyediakan

saluran bagi aspirasi dan partisipasi daerah; dan keenam, membangun efesiensi dan
1
efektifitas pemerintahan.

1
Amran Muslimin dalam Ridwan Juniarso, 2009, Hukum Administrasi Negara dan
Kebijakan Pelayanan Publik. Bandung: Nuansa, hlm. 16
2
Mahfud MD, 1999, Hukum dan PilarPilar Demokrasi, Yogyakarta: Gama Media, hlm. 188
2

Desentralisasi merupakan asas yang penting dalam penyelenggaraan

pemerintah. Keberhasilan penyelenggaraan tugas-tugas pemerintah salah satunya

ditentukan oleh bagaimana Pemerintah Pusat mampu mendelegasikan kewenangan

yang dimiliki secara tepat kepada Pemerintah Daerah. Dikemukakan oleh Ryaas

Rasyid bahwa “secara teoritis kemampuan pemerintah antara lain terbentuk melalui

penerapan asas desentralisasi, yaitu adanya pelimpahan wewenang dari tingkat

organisasi kepada bawahannya secara hirarkis”.3

Pelimpahan wewenang secara tepat dapat menciptakan optimalisasi

keberhasilan tugas pemerintah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat

karena Pemerintah Daerah adalah lembaga yang paling mengetahui situasi dan

kondisi serta potensi di wilayahnya.

Selanjutnya, menurut Rondinelli bahwa melalui desentralisasi atau

pelimpahan wewenang itulah pemerintah pada tingkat bawah diberi kesempatan

untuk mengambil insiatif dan mengembangkan kreatifitas, mencari solusi terbaik atas

setiap masalah yang dihadapi dalam pelaksanaan tugas-tugas sehari-hari. 4 Selain itu,

desentralisasi dapat juga dipahami sebagai penyerahan wewenang politik dan

perundang-undangan untuk perencanaan, pengambilan keputusan dan manajemen

pemerintahan dari pemerintah (pusat) kepada unit-unit sub fungsional

(daerah/wilayah) Administrasi Negara atau kepada kelompok-kelompok fungsional

atau organisasi non pemerintah/swasta.


3
Ryaas Rasyid, 1998. Makna Pemerintahan: Tinjauan Dari Segi Etika dan Kepemimpinan,
Yarif Watampone, Jakarta, hlm. 1
4
Rondinelli, D.A., 2008, Decentralizing the Governance of Education. Washington, D.C.,
hlm. 55
3

Desentralisasi merupakan media dalam pelaksanaan hubungan antara level

pemerintahan (intergoverment relation) dalam lingkup suatu negara. Sistem negara

kesatuan (unitary state), hubungan antar rel pemerintahan berlangsung secara inklusif

(inclusif authority model) di mana otoritas pemerintah daerah dalam melaksanakan

urusan-urusan pemerintahan tetap diatasi oleh pemerintah pusat melalui suatu sistem

kontrol yang berkaitan dengan pemeliharaan kesatuan.

M.C. Burkens berpendapat bahwa Otonomi daerah adalah kebebasan dan

kemandirian (vrijheid en zelfstandigheid) untuk mengatur dan mengurus sebagian

urusan pemerintahan. Kebebasan dan kemandirian dalam hal ini mengandung arti

“atas nama dan tanggung jawab sendiri” (op eigen naam enverantwooddelijkheid).5

Dalam berbagai peraturan perundang-undangan dan dalam perbincangan

tentang sistem pemerintahan daerah, istilah otonomi sering di sebut dengan otonomi

seluas-luasnya, otonomi khusus, otonomi riil, otonomi yang nyata dan bertanggung

jawab. Otonomi seluas-luasnya dalam arti daerah diberikan kewenangan untuk

mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan, diluar yang menjadi urusan

pemerintah yang ditetapkan dalam undang-undang.

Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberi

pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang

bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat. Sedangkan otonomi nyata adalah

suatu prinsip bahwa untuk menangani urusan pemerintahan dilaksanakan berdasarkan


5
Ridwan, Hukum Administrasi Negara dan Kebijakan Pelayanan Publik, Grafika: Bandung.,
hlm. 26
4

tugas, wewenang dan kewajiban yang senyatanya telah ada dan berpotensi untuk

tumbuh, hidup dan berkembang sesuai dengan potensi dan kekhasan daerah.

Pelaksanaannya otonomi daerah merupakan desentralisasi sebagian

kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk dilaksanakan

menjadi urusan rumah tangganya sendiri. Pemberian otonomi kepada daerah haruslah

didasarkan kepada faktor-faktor yang dapat menjamin daerah yang bersangkutan

mampu mengurus rumah tangganya. Diantara faktor-faktor tersebut yang mendukung

terselenggaranya otonomi daerah diantaranya adalah kemampuan sumber daya

manusia yang ada, serta ketersediaan sumber daya alam dan peluang ekonomi daerah

tersebut.

Salah satu kunci kesuksesan penyelenggaraan otonomi daerah sangatlah

bergantung pada sumber daya manusianya. Disamping perlunya aparatur yang

kompeten, pembangunan daerah juga tidak mungkin dapat berjalan lancar tanpa

adanya kerjasama antara pemerintah dan masyarakat. Untuk itu tidak hanya kualitas

aparatur yang harus ditingkatkan tetapi juga kualitas partisipasi masyarakat. Guna

menyukseskan pembangunan dibutuhkan masyarakat yang berpengetahuan tinggi,

keterampilan tinggi, dan kemauan tinggi.

Pembentukan peraturan perundang-undangan atau biasa disebut dengan

legislasi yaitu proses perencanaan, penulisan dan pengundangan suatu kebijakan

dalam peraturan perundang-undangan. Proses pembentukan peraturan perundang-


5

undangan memiliki aspek antara lain: (1) proses pembentukan hukum (perundang-

undangan), dan juga bisa berarti (2) produk hukum (perundang- undangan). Namun,

berdasarkan pembacaan dan penelusuran berbagai kamus, ternyata masing-masing

kamus tidaklah sama dalam memberikan pengertian legislasi ini. Ada yang memberi

makna ganda dan ada yang memberi makna tunggal ditentukan tujuannnya oleh

pemerintah; dan kedua, partisipasi sebagai bentuk kerjasama yang erat antara

perencana/pemerintah dan rakyat dalam merencanakan, melaksanakan, melestarikan,

dan mengembangkan hasil pembangunan yang telah dicapai.

Pengertian demikian ini berbeda dengan yang diutarakan Satjipto Rahardjo

yang menyamakan legislasi (wetgeving, legislation) sebagai “pembuatan undang-

undang”.6

Menurut M. Solly Lubis, “... yang dimaksud dengan Perundang-undangan itu

ialah proses pembuatan peraturan negara. Dengan kata lain tata cara mulai dari

perencanaan (rancangan), pembahasan, pengesahan atau penetapan dan akhirnya

pengundangan peraturan yang bersangkutan”.7 Sementara itu, Andang L Binawan

menyebutkan bahwa legislasi, seperti halnya banyak kata serapan yang berakhiran

‘asi’, menunjuk pada suatu proses, untuk menghasilkan hukum (dalam arti UU).

6
Satjipto Rahardjo, 2002, Sosiologi Hukum, Perkembangan Metode dan Pilihan Masalah,
Surakarta, Muhammadiyah University Press. hlm.. 123
7
M. Solly Lubis, 1995 Landasan dan Teknik Perundang-undangan, Bandung: Penerbit
Alumni, hlm. 1
6

Dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, lembaga yang membentuk

hukum perundang-undangan tersebut adalah lembaga legislatif baik yang ada di pusat

(Dewan Perwakilan Rakyat/DPR) maupun yang ada di daerah (Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah/DPRD). UUD Tahun 1945 maupun UUP3 dan UU No. 32 Tahun

2004 secara tegas menentukan bahwa fungsi legislasi (fungsi pembentukan peraturan

perundang-undangan) adalah berada pada DPR dan DPRD. Namun, fungsi legislasi

ini bukan merupakan fungsi mandiri yang dimiliki lembaga legislatif Indonesia,

melainkan lembaga tersebut harus bekerja sama dengan eksekutif baik di pusat

maupun di daerah pada saat melaksanakan fungsi legislasinya.

Dalam kacamata sosiologis, organ pembentuk hukum tersebut tidak sekedar

dilihat sebagai pabrik hukum (pabrik undang-undang), “melainkan merupakan medan

dimana berlaga berbagi kepentingan dan kekuatan yang ada dalam masyarakat”.

Berdasarkan optik demikian, maka organ pembentuk hukum jelas mencerminkan

konfigurasi kekuatan dan kepentingan yang ada dalam masyarakat tersebut.8

DPRD adalah Lembaga Perwakilan Rakyat Daerah dan berkedudukan sebagai

unsur penyelenggara Pemerintah Daerah. Anggota DPRD terdiri atas anggota partai

peserta Pemilihan Umum (Pemilu) yang dipilih berdasarkan Pemilu. Anggota DPRD

Kabupaten/Kota berjumlah sekurang-kurangnya dua puluh (20) – empat puluh lima

(45) orang. Anggota DPRD Kabupaten/Kota diresmikan dengan Keputusan Gubernur

atas nama Presiden.


8
Satjipto Rahardjo, 2002, Sosiologi Hukum, Perkembangan Metode dan Pilihan Masalah,
Surakarta, Muhammadiyah University Press, hlm. 28
7

Disebutkan di dalam UU No 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah,

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah ( DPRD) merupakan wahana untuk melaksanakan

demokrasi berdasarkan Pancasila, yang secara artificial dalam era reformasi ini telah

mengalami pergeseran, baik dalam peran maupun fungsi eksekutif cukup dominan

bahkan fungsi legeslatif pun diperankan oleh eksekutif. Seperti ditegaskan oleh

Miriam Budiarto: “telah menjadi gejala umum bahwa titik berat dibidang legeslatif

telah bergeser ketangan eksekutif”.9

Era reformasi juga membawa perubahan pada menguatnya kelembagaan

DPRD (lembaga legislatif), dimana peran DPRD sebagai posisi sentral yang biasanya

tercermin dalam doktrin kedaulatan rakyat di era otonomi daerah ini.Pergeseran akan

peran dan fungsi lembaga legislatif di era otonomi daerah ini di tandai dengan

penegasan akan peran tugas dan wewenang DPRD, yakin selain menyerap dan

menyalurkan aspirasi masyarakat menjadi sebuah kebijakan pemerintah daerah juga

melakukan fungsi pengawasan. Lebih tegas lagi dinyatakan dalam penjelasan umum

UU No 32 Tahun 2004, bahwa DPRD harus menyatu dengan masyarakat daerah dan

dipisahkan dari pemerintah dearah.

Dalam memperlihatkan peran DPRD kepada masyarakat dan berperan

tidaknya menjalankan roda pemerintahan. Maka, kepada DPRD di berikan fungsi.

Fungsi adalah mengubah atau menjabarkan pola orientasi ideologi menjadi orientasi

program berdasarkan tugas, wewenang, tanggung jawab dan profesionalisasi. Berikut


9
Abdul Hakim G. Nusantara, 1988, Politik Hukum Indonesia, Yayasan Lembaga Bantuan
Hukum Indonesia, Jakarta, hlm. 27.
8

adalah Fungsi DPRD dalam menjalankan tugasnya: “(1). Fungsi Legslasi; (2). Fungsi

Anggaran; (3). Fungsi Pengawasan” (Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2004

tentang Pemerintahan Daerah Pasal 41, 2005:32).

Fungsi Legislasi yaitu DPRD berperan dalam membentuk Peraturan Daerah

bersama Kepala Daerah, dalam hal ini Peraturan daerah adalah peraturan yang dibuat

oleh daerah. Sebelum peraturan dibuat dan ditetapkan sebelumnya harus

direncanakan dulu dan mempunyai tujuan yang jelas.

Pengawasan merupakan salah satu fungsi pokok yang harus dilaksanakan

dalam suatu kerja sama agar kesinambungan di suatu kegiatan dapat terjaga sehingga

sasaran dan tujuan yang telah ditetapkan dapat tercapai, selain itu pengawasan

dilaksanakan untuk mengetahui adanya penyimpangan dalam suatu pekerjaan.

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka penulis tertarik

untuk menulis skripsi dengan judul : “Kewenangan dan Fungsi Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah Kabupaten Ogan Ilir Dalam Sistem Otonomi Daerah di

Indonesia”.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimanakah kewenangan dan fungsi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

Kabupaten Ogan Ilir dalam melaksanakan otonomi daerah?


9

2. Apakah yang menjadi hambatan dalam pelaksanaan fungsi dan kewenangan

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabuaten Ogan Ilir dalam era otonomi

daerah?

C. Ruang Lingkup dan Tujuan Penelitian

C.1. Ruang Lingkup :

Ruang lingkup dalam penulisan skripsi ini pada hakikatnya adalah membahas

tentang fungsi dan kewenangan DPRD kabupaten Ogan Ilir dalam pelaksanaan sistem

otonomi daerah di Indonesia serta hambatan-hambatan yang dihadapi dalam

kewenangan dan fungsi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dalam era otonomi di

Indonesia.

C.2. Tujuan :

Tujuan penelitian skripsi ini adalah untuk mengetahui bagaimana kewenangan

dan fungsi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Ogan Ilir dalam

sistem Otonomi Daerah di Indonesia, serta apa saja yang menjadi hambatan dalam

pelaksanaan kewenangan dan fungsi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)

dalam melaksanakan era otonomi daerah.

D. Kerangka Konseptual
10

1. Kewenangan (authority) adalah hak untuk melakukan sesuatu atau

memerintah orang lain melakukan atau tidak melakukan sesuatu agar tercapai

tujuan tertentu.10

2. Fungsi adalah rincian tugas yang sejenis atau erat hubungannya satu sama lain

untuk dilakukan oleh seorang tertentu.11

3. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah lembaga perwakilan rakyat daerah

yang berkedudukan sebagai unsur penyelenggara pemerintah atau wilayah di

provinsi/daerah kabupaten/kota di Indonesia.12

4. Otonomi daerah adalah wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk

mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan

masyarakat lokal sesuai dengan peraturan perundang-undangan.13

A. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini termasuk jenis penelitian hukum Yuridis Empiris terdiri dari

penelitian terhadap azas-azas hukum, sistematika hukum, sikronisasi hukum dan

perbandingan hukum yang dipergunakan untuk penelitian skripsi ini ialah penelitian

hukum normatif. Penelitian hukum normatif adalah suatu proses untuk menemukan

suatu aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna


10
Sirajuddin. 2016. Hukum Administrasi Pemerintahan Daerah: Sejarah Asas Kewenangan
dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah, (Malang: Setara Press,) hlm. 161.
11
Nining Naslinda Zainal. 2008. Analisis Kesesuaian Tugas Pokok dan Fungsi Dengan
Kompetensi Pada Sekretariat Pemerintah Kota. Universitas Hasanuddin, hlm. 22
12
C.S.T. Kansil, Chiristine S.T.Kansil, 2008. Pemerintahan Daerah di Indonesia. (Jakarta:
Sinar Grafika), hlm. 41.
13
Syaukani. 2012. Pelaksanaan Otonomi Daerah Negara Kesatuan. Pustaka Belajar,
Yogyakarta. hlm. 31
11

menjawab isu hukum yang dihadapi. dengan skripsi yang berjudul Kewenangan dan

Fungsi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Ogan ilir dalam sistem otonomi

daerah di Indonesia. yang hanya menggunakan data sekunder. Tipe penelitian

hukumnya adalah kajian komprehensif analisis terhadap bahan hukum primer dan

bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Hasil kajian dipaparkan secara

lengkap, rinci, jelas dan sistematis sebagai karya ilmiah.14

2. Sumber/jenis Data

a. Data Primer

Data primer ialah merupakan data yang di dapatkan melalui penelitian lapangan

(Field Research) yang di gunakan untuk memperoleh data keterangan atau

informasi yang langsung dari responden yang bersangkutan mengenai tentang

otonomi daerah.

b. Data Sekunder

Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang tertulis atas buku-buku teks

yang ditulis oleh ahli hukum yang berpengaruh, jurnal-jurnal hukum, pendapat

sarjana, kasus-kasus hukum, yurisprudensi, dan hasil-hasil simosium mutakhir

yang berkaitan dengan topik penelitian.

3. Teknik pengumpulan data

a. Penelitian Kepustakaan (Library Research). Penelitian kepustakaan yaitu

melakukan pengkajian terhadap data sekunder berupa bahan hukum primer

14
Bambang Waluyo, 2015, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Jakarta: PT. Sinar Grafika,
hlm. 8
12

(peraturan perundang-undangan), bahan hukum sekunder (literatur, laporan

hasil penelitian, makalah, karya ilmiah yang dimuat.

b. Penelitian Lapangan (Field Research). Penelitian lapangan yaitu

pengumpulan data primer dengan melakukan observasi dan wawancara

dengan pihak-pihak terkait yaitu di kantor DPRD Kabupaten Ogan Ilir

Sumatera Selatan.

4. Teknik Analisis Data

Penulis menganalisis data menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif, yaitu

data-data tersebut dijelaskan secara sistematis dengan menghubungkan data

yang satu dengan yang lain sehingga permasalahan dalam penelitian skripsi

ini dapat terjawab semua.15

5. Teknik Penarikan Kesimpulan

Pada penelitian ini, setelah dilakukan analisis dengan data-data hukum

kemudian penulis menarik kesimpulan yang dilakukan secara deduktif, yaitu

cara berfikir dengan menarik kesimpulan dari fakta yang bersifat umum

menuju fakta yang bersifat khusus sesuai dengan pokok permasalahan

tersebut.16

B. Sistematika Penulisan

15
H.M. Burhan Bungin, 2014. Penelitian Kualitatif, Jakarta: Persada Media Group, hlm. 149
16
Jazim Hamidi, 2015, Makna dan Kedudukan Hukum Naskah Proklamasi 17 Agustus 1945
dalam Sistem Ketatanegaraan RI, (Bandung: disertai UNPAD), hlm. 29
13

Adapun sistematika penyusunan penulisan skripsi ini, akan di bagi ke dalam 4

(Empat) Bab yang mana dengan susunan sebagai berikut :

BAB I : PENDAHULUAN

Pada bab ini penulis berusaha menguraikan gambaran awal tentang

penelitian yang meliputi latar belakang, rumusan masalah, tujuan dan

manfaat penelitian, ruang lingkup penelitian, metode penelitian, dan

sistematika penulisan.

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

Pada bab ini penulis berusaha menguraikan tinjauan pustaka penelitian

terdahulu yang berisi tentang Kewenangan dan Fungsi Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah Kabupaten Ogan Ilir dalam sistem otonomi daerah di

Indonesia.

BAB III : HASIL DAN PEMBAHASAN

Dalam bab ini penulisan membahas tentang hasil penelitian dan

pembahasannya yaitu mengenai lebih lanjut kewenangan dan fungsi DPRD

Kabupaten Ogan Ilir dalam sistem otonomi daerah di Indonesia.

BAB IV : PENUTUP

Dalam bab ini merupakan bab terakhir yang berisi kesimpulan dan saran

pembahasan yang di uraikan di atas berdasarkan analisis bahan yang di

lakukan sebagai jawaban atas permasalahan yang telah di rumuskan dan

saran-saran di tunjukan kepada para pihak terkait.


14
15

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Otonomi Daerah

Otonomi atau autonomy berasal dari bahasa Yunani, auto yang berarti sendiri
dan nomos yang berarti hukum atau peraturan. Menurut Encyclopedia of Social
Science, bahwa otonomi dalam pengertian orisinal adalah the legal self sufficiency of
social body and its actual independence. Jadi ada 2 ciri hakikat dari otonomi yakni
legal self sufficiency dan actual independence. Dalam kaitannya dengan politik atau
pemerintahan, otonomi daerah berarti self government atau the condition of living
under one’s own laws.

Jadi otonomi daerah adalah daerah yang memiliki legal self sufficiency yang
bersifat self government yang diatur dan diurus oleh own laws. Karena itu, otonomi
lebih menitik-beratkan aspirasi daripada kondisi.17
Koesoemahatmadja sebagaimana dikutip I Nyoman S berpendapat bahwa
menurut perkembangan sejarah di Indonesia, otonomi selain mengandung arti
perundangan (regeling), juga mengandung arti pemerintahan (bestuur). Namun
demikian, walaupun otonomi ini sebagai self government, self sufficiency dan actual
independence, keotonomian tersebut tetap berada pada batas yang tidak melampaui
wewenang pemerintah pusat yang menyerahkan urusan kepada daerah.18

Otonomi daerah, menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5


Tahun 1974, adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah untuk mengatur dan
mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku. Sedangkan menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22
Tahun 1999, otonomi daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan

17
I Nyoman S, 2005, Efektifitas Implementasi Kebijakan Otonomi Daerah, Citra Utama,
Jakarta, hlm. 39
18
Ibid, hlm. 40
16

mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan


aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan

Daerah mendefinisikan otonomi daerah sebagai wewenang dan kewajiban daerah

otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan

masyarakat lokal sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Dengan demikian, dapat dikemukakan bahwa otonomi daerah pada

hakikatnya adalah :19

a) Hak mengurus rumah tangga sendiri bagi suatu daerah otonom. Hak

tersebut bersumber dari wewenang pangkal dan urusan-urusan pemerintah

(pusat) yang diserahkan kepada daerah. Istilah sendiri dalam mengatur dan

mengurus rumah tangga merupakan inti keotonomian suatu daerah;

penetapan kebijaksanaan sendiri, pelaksanaan sendiri, serta pembiayaan

dan pertanggungjawaban daerah sendiri, maka hak itu dikembalikan

kepada pihak yang memberi, dan berubah kembali menjadi urusan

pemerintah (pusat);

b) Dalam kebebasan menjalankan hak mengurus dan mengatur rumah tangga

sendiri, daerah tidak dapat menjalankan hak dan wewenang otonominya

itu di luar batas-batas wilayah daerahnya;

19
H.A.W Widjaja, 2005. Op, Cit, hlm. 35
17

c) Daerah tidak boleh mencampuri hak mengatur dan mengurus rumah

tangga daerah lain sesuai dengan wewenang pangkal dan urusan yang

diserahkan kepadanya.

Otonomi tidak membawahi otonomi daerah lain, hak mengatur dan mengurus

rumah tangga sendiri tidak merupakan subordinasi hak mengatur dan mengurus

rumah tangga daerah lain. Dengan demikian suatu daerah otonom adalah daerah yang

self goverment, self sufficiency, self authority, dan self regulation maupun horisontal

karena daerah otonom memiliki actual independence.

Indikator suatu daerah menjadi otonom setelah melaksanakan kebijakan

otonomi daerah meliputi makna daerah itu telah secara nyata menjadi satuan

masyarakat hukum, satuan unit ekonomi publik, satuan unit sosial budaya, satuan unit

lingkungan hidup (lebensraum) dan menjadi satuan subsistem politik nasional.20

Pengertian otonomi daerah adalah keleluasaan dalam bentuk hak dan

wewenang serta kewajiban dan tanggung jawab badan pemerintah daerah untuk

mengurus dan mengatur rumah tangga daerahnya sebagai manivestasi dari

desentralisasi.21

Berdasarkan berbagai pemikiran teoritik tentang otonomi daerah,

desentralisasi dan ukuran besaran pemberian otonomi daerah kepada daerah otonomi

di atas, telah menjadi jelas bahwa formulasi maupun implementasi kebijakan otonomi

20
Taliziduhu Ndraha, 2003, Kybernology (Ilmu Pemerintahan Baru), Rineka Cipta, Jakarta,
hlm 23

21
Ibid, hlm. 50
18

daerah seyogyanya sudah mempertimbangkan berbagai input teoritik ini sehingga

dapat dieliminir pedangkalan-pendangkalan makna otonomi daerah demi tercapainya

tujuan desentralisasi itu sendiri.

Inti dari pelaksanaan otonomi daerah adalah terdapatnya keleluasaan

pemerintah daerah (discretionary power) untuk menyelenggarakan pemerintah sendiri

atas dasar prakarsa, kreativitas dan peranserta aktif masyarakat dalam rangka

mengembangkan dan memajukan daerahnya.22

Otonomi daerah sebagai suatu konsep desentralisasi pemerintahan pada

hakikatnya ditujukan untuk memenuhi kepentingan bangsa secara keseluruhan, yaitu

upaya untuk lebih mendekati tujuan-tujuan penyelenggaraan pemerintahan untuk

mewujudkan cita-cita masyarakat yang lebih baik, serta suatu masyarakat yang lebih

adil dan makmur.

B. Pengertian Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (disingkat DPRD) adalah lembaga

perwakilan rakyat daerah yang berkedudukan sebagai unsur penyelenggara

pemerintahan daerah di Provinsi/Kabupaten/Kota di Indonesia. Sebagai unsur

Lembaga Pemerintahan Daerah mempunyai tanggung jawab yang sama dengan

Pemerintahan Daerah dalam membentuk suatu Peraturan Daerah untuk kesejahteraan

rakyat.

22
Ekom Koswara K., Op.Cit, hlm. 26
19

Seperti diketahui bahwa Pemerintah Daerah provinsi, Daerah Kabupaten dan

kota memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) yang anggotanya dipilih

melalui pemilihan umum. Ini berarti dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah

juga mengikut sertakan seluruh rakyat untuk mewujudkan demokrasi dan

demokratisasi di Daerah melalui wakil-wakilnya di DPRD. Hal itu merupakan

manifestasi bahwa negara dibentuk berdasarkan suatu perinsip demokrasi sebagai

mana formulasi yang terkenal dari Abraham Lincoln disebut “ The Gettysburg

Formula“ yakni “government of the people, for the people“ (Pemerintahan dari, oleh

dan untuk rakyat).

Selanjutnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan

Daerah mengamanatkan bawah Pemerintah Daerah adalah penyelenggara Urusan

Pemerintahan oleh Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

(DPRD). Dapat juga diartikan bahwa DPRD sebagai salah satu unsur penyelenggara

Pemerintahan Daerah. DPRD berkedudukan sebagai mitra sejajar dengan Kepala

Daerah dalam melaksanakan fungsinya masing masing.

Dari beberapa pengertian tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa : “DPRD

merupakan lembaga perwakilan rakayat yang berada di Daerah dan sebagai unsur

penyelenggara Pemerintahan Daerah“. Sebagai lembaga perwakilan rakyat yang

anggotanya dipilih melalui pemilihan umum maka DPRD harus memperhatikan,

menyerap aspirasi masyarakat, mengagregasi kepentingan rakyat, dan

memperjuangkan aspirasi masyarakat dalam proses berPemerintahan dan bernegara.


20

Sedangkan sebagai Unsur Penyelenggara Pemerintahan Daerah maka DPRD

berkedudukan sebagai mitra sejajar dengan Kepala Daerah. Dan dalam melaksanakan

fungsi, tugas dan wewenang serta hak DPRD berpedoman pada peraturan perundang-

undangan yang berlaku.

Menurut amandemen UUD 1945, kekuasaan penyelenggaraan negara tidak

lagi terpusat pada presiden, ini setidaknya ditandai dengan tidak lagi kekuasaan

membentuk undang-undang dipegang presiden, tetapi kekuasaan dipegang oleh DPR.

Dalam hal ini presiden hanya kebagian mengajukan rancangan undangundang. Begitu

juga dalam dataran pemerintah daerah, DPRD lebih memiliki kewenangan

membentuk peraturan perundang-undangan dibandingkan kepala daerah.

Produk hukum daerah bukan merupakan monopoli Kepala Daerah. Pasal 40

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang perubahan kedua atas Undang-

Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menyebutkan bahwa

DPRD Merupakan lembaga perwakilan rakyat daerah dan berkedudukan sebagai

unsur penyelenggaraan pemerintahan daerah. Salah satu tugas dan wewenang DPRD

adalah membentuk Perda yang dibahas dengan kepala daerah untuk mendapat

persetujuan bersama sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 42 ayat (1) huruf a

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang perubahan Undang-Undang Nomor

32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah berasarkan tugas dan kewenangan

tersebut, maka dimungkinkan bagi DPRD untuk mengajukan suatu rancangan Perda

kepada kepala daerah guna dibahas bersama.


21

Pengajuan rancangan Perda oleh DPRD dapat dilakukan atas usul anggota

DPRD yang kemudian disetujui oleh rapat paripurna DPRD. Namun kenyataannya

masih ada anggota DPRD yang kurang memiliki pengetahuan dan pemahaman yang

memadai sehingga fungsi legislasi tidak maksimal.

Peningkatan fungsi legislasi atau fungsi pengaturan DPRD tidak hanya dilihat

dari pengaturan yang dihasilkan, yang berasal dari hak inisiatif DPRD.Kualitas

DPRD dalam menjalankan fungsinya juga diukur dari muatan peraturan daerah yang

seharusnya lebih banyak dari kepentingan masyarakat luas.

Dalam penyusunan peraturan daerah, anggota DPRD harus lebih banyak

berperan sebagai sumber ide dan gagasan, sesuai kedudukannya sebagai insan politik.

Anggota DPRD tidak dituntut untuk menguasai secara teknis materi dan bahasa

hukum peraturan daerah, karena hal tersebut dapat diserahkan kepada para ahli dalam

bidangnya masing-masing. Praktek pemerintahan daerah seringkali menggambarkan

bagaimana para anggota DPRD sibuk menyusun peraturan daerah sampai pada hal

yang sangat rinci dan substantif, tanpa didasari dengan keahlian yang cukup.

Akhirnya yang muncul adalah perdebatan berkepanjangan tentang suatu hal

oleh mereka yang sama-sama tidak paham mengenai substansinya sehingga

menghabiskan waktu tanpa dapat menyelesaikannya dengan baik.23

23
Sadu Wasistiono, Yonata Wiyoso, 2010, Meningkatkan Kinerja Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah (DPRD), Fokusmedia, Bandung, hlm. 57
22

Indikasi tidak maksimalnya fungsi legislasi DPRD dapat dilihat dari kuantitas

maupun kualitas produk hukum yang dihasilkan oleh pemerintah daerah. Dari segi

kuantitas, belum banyak perda baru yang berorientasi pada kesejahteraan masyarakat

yang dihasilkan pemerintah daerah. Kepala Daerah dan DPRD masih berkutat pada

perda-perda lama yang perlu direvisi dan disesuaikan dengan kondisi sekarang, tapi

mandul dalam memproduksi produk hukum yang baru.

Indikasi dari tidak maksimalnya fungsi legislasi DPRD adalah kurangnya

inisiatif DPRD dalam mengajukan rancangan undang-undang. Perda yang dihasilkan

pemerintah daerah kebanyakan inisiatif dari Kepala Daerah.24

Sedangkan DPRD hanya urun rembu atas usulan undang-undang tersebut dan

ikut mengesahkan. Sehingga fungsi legislasi anggota DPRD tidak memuaskan publik.

Fenomena di atas memberikan gambaran bahwa kompetensi anggota dewan dibidang

legal dan perundangan lemah.

Memang banyak tantangan yang harus dihadapi oleh DPRD dalam

melaksanakan fungsinya, diantaranya situasi dan kondisi daerah, kelemahan iternal

DPRD dan benturan kepentingan antara wewenang pusat yang belum diserahkan dan

keharusan membawakan aspirasi rakyat daerah.25

24
Djoko Prakorso, 1995, Proses Pembuatan Peraturan Daerah dan Beberapa Usaha
Penyempurnaannya, Ghalia Indonesia, Jakarta, hlm. 72

25
Sarundajang, 2002, Pemerintah Daerah Diberbagai Negara, Pustaka Sinar Harapan,
Jakarta, hlm. 125
23

Tantangan - tantangan seperti ini nampaknya perlu dicarikan alternatif

pemecahannya secara proporsional, sehingga DPRD dapat mengakomodir terhadap

tuntunan rakyat dan suportif terhadap kebijakan nasional.

Dalam perkembangannya, fungsi legislasi DPRD belum berjalan dengan


lancar, dibeberapa daerah masih mengalami berbagai permasalahan. Misalnya diKota
Semarang, dari 12 raperda yang masuk di DPRD semuanya berasal dari inisiatif
eksekutif dan diakhir tahun 2006 DPRD Kota semarang lebih banyak menggunakan
hak budgeting dan pengawasan, padahal diharapkan dewan dapat mengajukan
raperda atas inisiatif dari pihak legislatif sehingga tidak hanya mengandalkan raperda
dari pihak eksekutif.26
C. Kewenangan Dan Fungsi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

C.1. Kewenangan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

Kewenangan atau wewenang memiliki kedudukan penting dalam kajian

hukum tata Negara dan hukum administrasi. Sebegitu pentingnya kewenangan ini

sehingga F.A.M. Stroink dan J.G Steenbeek menyatakan: “Het Begrip bevoegdheid is

dan ook een kembegrip in he staats-en administratief recht”.27

Dari pernyataan ini dapat ditarik suatu pengertian bahwa wewenang

merupakan konsep inti dari hukum tata Negara dan hukum administrasi.

Pada Kamus Besar Bahasa Indonesia memberi pengertian kewenangan

sebagai hak dan kekuasaan yang dipunyai untuk melakukan sesuatu.28

26
Suara Merdeka Cyber News, Perekat Komunitas Jawa Tengah, www.suaramerdeka.com.
diakses pada tanggal 09 Oktober 2023 Pukul 11.25

27
Nur Basuki Winanrno, 2014, Penyalahgunaan Wewenang dan Tindak Pidana Korupsi,
Laksbang Mediatama, Yogyakarta, hlm.65
28
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1991, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai
Pustaka Jakarta, Jakarta, hlm.170
24

Wewenang artinya hak dan kekuasaan untuk bertindak atau kekuasaan untuk

membuat keputusan, memerintah dan melimpahkan kepada orang lain. Sedangkan

arti kewenangan itu sendiri adalah hak dan kekuasaan yang dipunyai untuk

melakukan sesuatu.

“Kewenangan” adalah apa yang disebut “kekuasaan formal”, kekuasaan yang

berasal dari kekuasaan yang diberikan oleh Undang-undang atau legislatif dari

kekuasaan eksekutif atau administratif. Karenanya, merupakan kekuasaan dari

segolongan prang tertentu atau kekuasaan terhadap suatu bidang pemerintahan atau

urusan pemerintahan tertentu yang bulat.

Menurut Philipus M. Hadjon (disebut juga dengan istilah kompetensi) terdiri


dari atribusi, delegasi, dan mandat. Atribusi adalah wewenang yang melekat pada
suatu jabatan. Delegasi wewenang adalah pemindahan atau pengalihan suatu
kewenangan yang ada. Dalam hal mandat, tidak ada sama sekali pengakuan
kewenangan atau pengalih tanganan kewenangan, artinya orang yang diberi mandat
menjalankan kewenangan untuk dan atas nama pemberi mandat atau orang yang
mempunyai kewenangan.29
Indonesia memiliki badan perwakilan, salah satunya adalah Dewan

Perwakilan Rakyat atau yang disingkat dengan DPR. Selanjutnya, DPR disebut

dengan lembaga tinggi negara karena wewenangnya diberi langsung oleh UUD 1945

dan dikategorikan sebagai lembaga legislatif.

Dalam konteks sejarah legislasi terkait otonomi daerah di Indonesia,

pengaturan tentang pemerintahan daerah yang mencakup badan legislatif daerah

29
Philipus M. Hadjon, 1997, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gajah Mada
University Press, Yogyakarta,hlm.130
25

dalam peraturan perundang-undangan pada dasarnya telah beberapa kali dilakukan.

Ketentuan ini pertama kali diundangkan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun

1945 Tentang Peraturan Mengenai Kedudukan Komite Nasional Daerah.

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah merupakan lembaga perwakilan rakyat

daerah yang berkedudukan sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah yang

mempunyai peran dan tanggung jawab dalam mewujudkan efisiensi, efektifitas,

produktivitas dan akuntabilitas penyelenggaraan Pemerintah Daerah melalui

pelaksanaan hak, kewajiban, tugas, wewenang dan fungsi Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah sesuai ketentuan Peraturan Perundang-Undangan.

Di Indonesia peraturan yang mengatur tentang kedudukan DPRD terdapat

dalam UU No. 18 Tahun 1965, UU No.5 Tahun 1974, UU No. 22 Tahun 1999, UU

No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 23 Tahun 2014.

Dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 terdapat dalam Pasal 5 Ayat

(1) yang menentukan bahwa: “pemerintah daerah terdiri dari kepala daerah dan

dewan perwakilan daerah”. Sehingga dalam hal ini kedudukan DPRD merupakan

bagian dari organ pemerintah daerah (sub-ordinasi) pemerintah daerah.

Undang-undang Nomor 18 Tahun 1965 tentang pokok-pokok pemerintahan

daerah tidak secara tegas menyatakan kedudukan DPRD secara kelembagaan, apakah

DPRD diletakan sebagai lembaga legislatif yang ada di daerah atau sebagai unsur

penyelenggara pemerintah daerah dan berada pada satu rezim yang sama bersama
26

pemerintah daerah. Namun secara jelas bahwa DPRD memilki tugas menetapkan

peraturan daerah, melakukan pembahasan terkait dengan APBD dan sebagai wahana

melaksanakan demokrasi demi membela kepentingan rakyatnya di daerah.

Dalam tugas dan wewenang DPRD Provinsi dan kabupaten/Kota diatur dalam

Pasal 101 dan Pasal 154 meliputi membentuk Perda bersama kepala daerah,

membahas dan memberikan persetujuan Rancangan Perda tentang APBD yang

diajukan oleh kepala daerah, melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan Perda

dan APBD, memilih kepala daerah dan wakil kepala daerah dalam hal terjadi

kekosongan jabatan untuk meneruskan sisa masa jabatan, mengusulkan pengangkatan

dan pemberhentian Gubernur kepada Presiden melalui Menteri untuk mendapatkan

pengesahan pengangkatan dan pemberhentian (untuk DPRD Provinsi), mengusulkan

pengangkatan dan pemberhentian Bupati/Walikota kepada Menteri melalui Gubernur

sebagai wakil Pemerintah Pusat untuk mendapatkan pengesahan pengangkatan

dan/atau pemberhentian (untuk DPRD Kabupaten/Kota).

Serta memberikan pendapat dan pertimbangan kepada Pemerintah Daerah

terhadap rencana perjanjian Internasional di Daerah, memberikan persetujuan

terhadap rencana kerja sama Internasional yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah,

meminta laporan keterangan pertanggungjawaban kepala daerah dalam

penyelenggaraan Pemerintah daerah, memberikan persetujuan terhadap rencana kerja

sama dengan daerah lain atau dengan pihak ketiga yang membebani masyarakat dan
27

Daerah, dan melaksanakan tugas dan wewenang lain yang diatur dalam ketentuan

peraturan perundang-undangan.

Dalam hal memberdayakan DPRD dalam pelaksanaan otonomi daerah, DPRD

diberikan hak-hak dan kewajiban yang tidak ada dalam perundang-undangan

sebelumnya yaitu Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974, antara lain hak DPRD

untuk: meminta pertanggungjawaban kepada kepala daerah atas pelaksanaan

kebijakan pemerintah daerah, meminta keterangan kepada kepala daerah atas suatu

rencana kebijakan atau akibat dari pelaksanaan kebijakan atau atas suatu masalah

yang menurut hukum atau etika yang berlaku termasuk dalam lingkup tanggungjawab

kepala daerah, mengadakan penyelidikan termasuk meminta pejabat dan atau warga

masyarakat yang diperlukan untuk memberikan keterangan tentang suatu hal demi

kepentingan daerah.

C.2. Fungsi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

DPRD mempunyai fungsi :

a) Legislasi

Fungsi legislasi diwujudkan dalam bentuk peraturan daerah bersama-

sama bupati.

b) Anggaran

Fungsi anggaran diwujudkan dalam membahas dan menyetujui

Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah bersama-sama Bupati.


28

c) Pengawasan

Fungsi pengawasan diwujudkan dalam bentuk pengawasan terhadap

pelaksanaan peraturan perundang-undangan.

Peraturan Bupati, Keputusan Bupati dan Kebijakan yang ditetapkan oleh

Pemerintah Daerah.

Ketiga Fungsi tersebut dijalankan dalam rangka representasi rakyat di

daerah.

D. Pengertian Sistem Otonomi Daerah di Indonesia

Ketika bola reformasi bergulir dan ketika system politik Negara berubah

secara mendasar serta dalam rangka menghadapi tuntunan globalisasi yang

syaratakan berbagai perubahan, tidak ada cara lain bagi pemerintah daerah untuk

tetap survive, eksis pada abad 21 ini. Selain harus berbenah diri mereka juga

(Pemda) harus akomodatif terhadap perubahan dan perkembangan. Daerah harus

mampu menyerasikan gerak langkah organisasi Pemda dengan tuntunan organisasi

dan manajemen masa depan.

Tuntunan reformasi yang diusung oleh masyarakat dimana mahasiswa berada

pada barisan terdepan menuntut dilakukannya reformasi total sebagai koreksi

terhadap berbagai kelemahan dalam penyelenggaraan pemerintahan masa Orde Baru.

Isu- isu demokratisasi pemerintahan ternyata bukan hanya mampu melengserkan


29

rezim Soeharto namun juga berimbas pada terbukanya “Kran Air” yang selama ini

tersumbat atau bahkan sengaja disumbat.


30
31

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Abdul Hakim G. Nusantara, 1988, Politik Hukum Indonesia, Yayasan Lembaga


Bantuan Hukum Indonesia; Jakarta

Amran Muslimin dalam Ridwan Juniarso, 2009, Hukum Administrasi Negara dan
Kebijakan Pelayanan Publik. Bandung;Nuansa.

Bambang Waluyo, 2015, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Jakarta: PT. Sinar
Grafika
32

Burhan Bungin, 2014. Penelitian Kualitatif, Jakarta: Persada Media Group

Jazim Hamidi, 2015, Makna dan Kedudukan Hukum Naskah Proklamasi 17 Agustus
1945 dalam Sistem Ketatanegaraan RI, (Bandung: disertai UNPAD)

C.S.T. Kansil, Chiristine S.T.Kansil, 2008. Pemerintahan Daerah di Indonesia. (Jakarta:


Sinar Grafika).

Mahfud MD, 1999, Hukum dan PilarPilar Demokrasi, Yogyakarta: Gama Media.

Nining Naslinda Zainal. 2008. Analisis Kesesuaian Tugas Pokok dan Fungsi Dengan
Kompetensi Pada Sekretariat Pemerintah Kota. Universitas Hasanuddin.

Ridwan, Hukum Administrasi Negara dan Kebijakan Pelayanan Publik.


Bandung;Grafika
Rondinelli, D.A., 2008, Decentralizing the Governance of Education. Washington,
D.C.
Satjipto Rahardjo, 2002, Sosiologi Hukum, Perkembangan Metode dan Pilihan
Masalah, Surakarta;Muhammadiyah University Press.
Satjipto Rahardjo, 2002, Sosiologi Hukum, Perkembangan Metode dan Pilihan
Masalah, Surakarta;Muhammadiyah University
Sirajuddin. 2016. Hukum Administrasi Pemerintahan Daerah: Sejarah Asas Kewenangan dan
Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah, (Malang: Setara Press,)

Solly Lubis, 1995 Landasan dan Teknik Perundang-undangan, Bandung: Penerbit


Alumni
Syaukani. 2012. Pelaksanaan Otonomi Daerah Negara Kesatuan. Pustaka Belajar,
Yogyakarta.

15
B. Jurnal

Faizal Liky. 2011. Fungsi Pengawasan DPRD di Era Otonomi Daerah. Jurnal TAPIs,
vol 7 no. 1.

Kemas Arsyad Somad. 2011. Kedudukan Dprd Dalam Pemerintahan Daerah di


Indonesia. Jurnal MMH, Jilid 40.
33

C. Undang-Undang

Undang-Undang Republik Indonesia No.32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah


Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2009 Tentang Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
DPRD disebutkan dalam UUD 1945 pasal 18 ayat 3: “Pemerintah daerah provinsi,
daerah kabupaten, dan kota memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang
anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum. Kemudian diatur lebih
lanajut dengan undang-undang, terakhir melalui Undang-Undang Nomor 17
Tahun 2004.

Anda mungkin juga menyukai