Anda di halaman 1dari 46

PERBAIKAN

UNIVERSITAS INDONESIA

Akuntabilitas dan Pengawasan yang Ideal dalam mewujudkan

Good Governance

(Pencegahan Korupsi dalam Pelaksanaan Pemerintahan

Daerah)

TUGAS MATA KULIAH BIROKRASI & GOOD GOVERNANCE

Dosen: Dr. Tri Hayati S.H., M.H.

Kelompok III

1. Fahmi Ramadhan Firdaus (1906325551)

2. Reydonaldo Thomas Sidabutar (1906410016)

Kelas : Hukum Kenegaraan (Pagi)

PROGRAM PASCASARJANA

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS INDONESIA

Oktober 2019
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Negara Indonesia adalah negara hukum, hal ini dengan tegas dinyatakan dalam

Pasal 1 ayat (3) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Rumusan tersebut memberikan arti bahwa kekuasaan tertinggi di Indonesia adalah

hukum, dengan demikian hukum digunakan dalam kehidupan bernegara dan

bermasyarakat.

Dalam penyelenggaraan pemerintahan, baik di pusat maupun di daerah UUD

1945 telah memuat ataupun menggariskan tentang pembagian kekuasaan baik

kekuasaan vertikal maupun secara horisontal. Pada pemisahan kekuasaan secara

horizontal (ke samping) melahirkan lembaga-lembaga negara di tingkat pusat yang

berkedudukan sejajar yaitu legislatif, eksekutif dan yudikatif yang diatur dengan

mekanisme check and balance. menunjuk pada pembagian fungsi–fungsi antara

organ kenegaraan. Sedangkan pembagian kekuasaan secara vertikal lazim dikenal

dengan pembagian kekuasaan secara teritoril, menunjuk pada pembagian kekuasaan

antara beberapa tingkat pemerintahan. Hal ini selanjutnya memunculkan konsep

pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Sejarah tata pemerintahan Indonesia

senantiasa ditandai oleh usaha yang terus menerus untuk mencari titik keseimbangan

yang tepat dalam memberi bobot otonomi atau bobot desentralisasi. Sejak

kemerdekaan sampai saat ini, distribusi kekuasaan /kewenangan dari pemerintah

pusat ke pemerintah daerah selalu bergerak pada titik keseimbangan yang berbeda.

Perbedaan ini menurut Johannes Kalloh dapat dijelaskan dengan menggunakan

konsep bandul yang selalu bergerak secara simetris pada dua sisi yaitu Pusat dan

1
Daerah. Pada suatu waktu bobot kekuasaan terletak pada Pemerintah Pusat dan pada

kesempatan lain bobot kekuasaan yang lebih berat ada pada Pemerintah Daerah.1

Sedangkan Sadu Wasisitiono mengambil perumpamaan seperti pendulum, bergerak

dari kutub satu ke kutub lain, dari kutub sangat yang berkuasa ke kutub yang sangat

lemah . Demikian pula perubahanya, bergerak sangat dinamis dari satu kutub yang

bersifat sentralistik ke kutub lain yang bersifat desentralistik. Pilihan kebijakan yang

diambil tergantung pada situasi dan kondisi politik pada zamanya masing – masing.2

Kepada hal demikian pemerintah memberi respon yuridis yang bervariasi dari

waktu ke waktu tergantung tergantung dari konfigurasi konstitusional dan

konfigurasi politik pada waktu tertentu. Sejalan dengan hal tersebut, ternyata bahwa

asas – asas yang dipakai dalam otonomi daerah juga senantiasa bergeser mengikuti

konfigurasi pergeseran konfigurasi politik, mulai dari asas otonomi formal, otonomi

material, otonomi yang seluas – luasnya, otonomi yang nyata dan bertanggungjawab

sampai ke otonomi yang nyata, dinamis dan bertanggungjawab. Menurut Moeljatno

Tjokrowinoto, perubahan perundangan tentang pemerintahan daerah sampai

beberapa kali, pada hakikatnya juga mencerminkan pergeseran imbangan kekuatan

di antara kekuatan – kekuatan sosial politik dalam saling berinteraksi. Pergeseran

tersebut melahirkan berbagai bentuk perundang - undangan yang mengatur

hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah .3

Reformasi yang terjadi di Indonesia telah membawa cakrawala baru dalam sistem

politik dan pemerintahan yang selama 32 tahun tidak berubah dan cenderung

stagnan. Karena itu perubahan yang terjadi dipandang sebagai suatu langkah baru

bagi terciptanya Indonesia di masa depan dengan dasar – dasar demokratisasi dalam
1
J Kaloh, Mencari Bentuk Otonomi Daerah, (Jakarta: Rineka Cipta, 2002), hal.1
2
Sadu Wasistiono, Kapita Selekta Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, (Bandung: Fokus
Media, 2003), hal. 1
3
Moh. Mahfud MD, Hukum dan Pilar – Pilar Demokrasi, (Yogyakarta: Penerbit Gama Media,
1999), hal. 272

2
penyelenggaraan pemerintah daerah . Pilihan demokratisasi menjadi pilihan wajib

bagi kegiatan bernegara berdasarkan bahwa hanya pemerintahan yang demokratislah

yang dapat menempatkan manusia pada jati dirinya. Proses demokratisasi itu sendiri

akhirnya berlangsung di Indonesia dengan telah dibukanya saluran –saluran

demokrasi yang yang dulunya terhambat.4

Isu desentralisasi selalu dikaitkan dengan efisiensi dan inovasi, karena melalui

desentralisasi akan dapat memotong beberapa tahap birokrasi. Inovasi terbuka,

karena adanya kekuasaan untuk dapat melakukan keputusan yang paling rendah. Di

mana ada desentralisasi/keleluasaan untuk mengambil keputusan , maka di situ ada

peluang untuk mengembangkan inovasi. Secara lebih rinci, Sarundajang

mengemukakan beberapa keuntungan penerapan sistem desentralsiasi antara lain,

mengurangi bertumpuknya pekerjaan pusat di daerah, tidak perlu menunggu

instruksi dari pusat untuk pekerjaan yang segera diselesaikan, mengurangi birokrasi

dalam arti yang buruk, mengurangi kesewanang-wenangan dari pemerintah pusat

dan akan memperbaiki kualitas pelayanan.5

Perubahan paradigma hubungan pemerintah pusat dan daerah pasca reformasi

yang dimulai dari dikeluarkanya Undang - Undang Nomor 22 Tahun 1999 adalah

merupakan upaya melakukan reformasi total penyelenggaraan negara di daerah.

Dampak dari reformasi total ini ditinjau dari segi politik kenegaraan menurut Saldi

Isra membuktikan telah terjadi pergeseran paradigma dari pemerintahan yang

bercorak high centralized menjadi pola yang lebih terdesentralisasi dengan

memberikan keleluasaan kepada daerah untuk mewujudkan otonomi daerah secara

lebih luas sesuai dengan karakter khas yang dimiliki daerah. Hal ini dilakukan untuk

4
S.H Sarundajang, Arus Balik Kekuasaan Pusat ke Daerah, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan 2002),
hal. 124
5
Ibid. hal. 63-64

3
megatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan aspirasi yang

berkembang di tengah masyarakat sesuai dengan potensi wilayahnya.6

Perubahan yang dilakukan ini menurut Koeswara sebagaimana dikutip oleh Saldi

Isra adalah untuk mewujudkan masyarakat madani dalam kehidupan

berpemerintahan, bermasyarakat dan bernegara yang memiliki nilai – nilai good

governance atau behoorlijk bestuur. Hal ini sangat diperlukan karena berkurangnya

secara signifikan peranan pusat di daerah terutama dalam melakukan pengawasan

preventif. Oleh karena itu unsur – unsur pelaksanaan pemerintahan yang baik dan

benar dapat memainkan peranan penting di daerah. 7 Menurut Sedarmayanti, perlu

diperhatikan pula adanya mekanisme untuk meregulasi akuntabilitas pada setiap

instansi pemerintah dan memperkuat peran dan kapasitas parlemen serta tersedianya

akses yang sama pada informasi masyarakat luas.8

Pada dasarnya pemerintah mulai level pusat sampai daerah sebagai agen

pelaksanaan penyelenggaraan pemerintah diserahi “kekuasaan” oleh rakyat untuk

melaksanakan pemerintahan demi mewujudkan peranya sebagai pelaksana

pembangunan, pembuat regulasi, pemberi layanan kepada masyarakat dan

pemberdaya masyarakat. Oleh karena itu pemerintah sebagai pihak yang diberi

kekuasaan hendaknya memiliki kewajiban untuk membertanggungjawabkan

kekuasaan yang diberikan rakyat kepada mereka. Jika tidak demikian maka

pemerintahanya akan menjadi taruhanya.9 Dentralisasi menyebabkan akuntabilitas

diperbaiki dengan dibawanya pemerintah lebih dekat kepada warganya yang

dimungkinkan warga untuk memantau lebih baik akan penyajian layanan dan

6
Saldi Isra, Reformasi Hukum Tata Negara, (Padang: Andalas Univ. Press, 2006), hal 225
7
Ibid. hal. 226
8
Sedarmayanti, Good Governance (Kepemerintahan Yang Baik) Dalam Rangka Otonomi Daerah,,
(Bandung: Mandar Maju, 2003), hal. 2
9
Hendrikus Triwibawanto Dedeona, “Akuntabilitas Kelembagaan Eksekutif”, Jurnal Ilmu
Adminsitrasi, STIA LAN , Bandung, Vol.4 No 1 Maret 2007, hal 16

4
diizinkanya pemerintah pusat, sebagai para warga untuk memantau pemerintah –

pemerintah daerah.10

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana fenomena korupsi dalam pemerintahan daerah?

2. Bagaimana mewujudkan akuntabilitas dan pengawasan yang ideal guna mencegah

korupsi di pemerintahan daerah?

BAB II

KERANGKA TEORI & KONSEPTUAL

10
The World Bank Office, “Memerangi Korupsi di Indonesia” (Memperkuat Akuntabilitas Untuk
Kemajuan), (Jakarta, World Bank, 2004)

5
A. Teori Akuntabilitas

Menurut Taliziduhu Ndraha, konsep akuntabilitas berawal dari konsep

pertanggungjawaban, konsep pertanggungjawaban sendiri dapat dijelasakan dari

adanya wewenang. Wewenang di sini berarti kekuasaan yang sah. Menurut Weber

ada tiga macam tipe ideal wewenang, pertama wewenang tradisional kedua

wewenang karismatik dan ketiga wewenang legal rational. Yang ketigalah ini yang

menjadi basis wewenang pemerintah. Dalam perkembanganya, muncul konsep

baru tentang wewenang yang dikembangkan oleh Chester I. Barnard, yang

bermuara pada prinsip bahwa penggunaan wewenang harus dapat

dipertanggungjawabkan.11

Darwin sebagaimana dikutip Joko Widodo, membedakan konsep

pertanggungjawaban menjadi tiga .Pertama , akuntabilitas (accountability), kedua,

responsibilitas (responsibility) dan ketiga responsivitas (responsiveness). Sebelum

menjelaskan tentang pertanggungajawaban sebagai akuntabilitas (accountability),

di sini akan dijelaskan lebih dahulu pertanggungjawaban sebagai responsibilitas

(responsibility) dan sebagai responsivitas (responsiveness). Responsibilitas

(responsibility) merupakan konsep yang berkenaan dengan standar profesional dan

kompetensi teknis yang dimiliki administrator (birokrasi publik) dalam

menjalankan tugasnya. Administrasi negara dinilai responsibel apabila pelakunya

memiliki standard profesionalisme atau kompetensi teknis yang tinggi. Sedangkan

konsep responsivitas (responsiveness) merupakan pertanggungjawaban dari sisi

yang menerima pelayanan (masyarakat). Seberapa jauh mereka melihat

administrasi negara (birokrasi publik) bersikap tanggap (responsive) yang lebih

11
Taliziduhu Ndraha, Kybernologi (Ilmu Pemerintahan Baru), (Jakarta: Rineka Cipta, 2003), hal. 85

6
tinggi terhadap apa yang menjadi permasalahan, kebutuhan, keluhan dan aspirasi

mereka.

Pertanggungjawaban sebagai akuntabilitas (accountability) merupakan suatu

istilah yang pada awalnya diterapkan untuk mengukur apakah dana publik telah

digunakan secara tepat untuk tujuan di mana dana publik tadi ditetapkan dan tidak

digunakan secara ilegal. Dalam perkembanganya akuntabilitas digunakan juga bagi

pemerintah untuk melihat akuntabilitas efisiensi ekonomi program. Usaha – usaha

tadi berusaha untuk mencari dan menemukan apakah ada penyimpangan staf atau

tidak, tidak efisien atau ada prosedur yang tidak diperlukan. Akuntabilitas

menunjuk pada pada institusi tentang “checks and balance” dalam sistem

administrasi.12

Mohamad Mahsun membedakan akuntabilitas dan responsibilitas, menururtnya

keduanya merupakan hal yang saling berhubungan tetapi akuntabilitas lebih baik

dan berbeda dengan responsibilitas. Akuntabilitas didasarkan pada catatan/laporan

tertulis sedangkan responsibilitas didasarkan atas kebijaksanaan. Akuntabilitas

merupakan sifat umum dari hubungan otoritasi asimetrik misalnya yang diawasai

dengan yang mengawasi, agen dengan prinsipal atau antara yang mewakil dengan

yang diwakili. Dari segi fokus dan cakupanya, responsibility lebih bersifat internal

sedangkan akuntabilitas lebih bersifat eksternal.13

Mohamad Mahsun juga membedakan akuntabilitas dalam arti sempit dan arti

luas, akuntabilitas dalam pengertian yang sempit dapat dipahami sebagai bentuk

pertanggungjawban yang mengacu pada siapa organisasi (atau pekerja individu)

bertangungjawab dan untuk apa organisasi bertanggngjawab. Sedang pengertian

12
Joko Widodo, Good Governance (Telaah dan Dimensi Akuntabilitas dan Kontrol Birokrasi Pada Era
Desentralisasi dan Otonomi Daerah), (Surabaya: Insan Cendekia, 2001), hal. 148.
13
Mohamad Mahsun, Pengukuran Kinerja Sektor Publik , (Yogyakarta: BPFE, 2006), hal. 84

7
akuntabilitas dalam arti luas dapat dipahami sebagai kewajiban pihak pemegang

amanah (agen) untuk meberikan pertanggungjawaban, menyajikan, melaporkan

dan mengungkapkan segala aktivitas dan kegiatan yang menjadi tanggungjawabnya

kepada pihak pemberi amanah (principal) yang memiliki hak dan kewenangan

untuk meminta pertanggungjawaban tersebut.14

Menurut The Oxford Advance Learner’s Dictionary sebagaimana dikutip oleh

Lembaga Administrasi Negara, akuntabilitas diartikan sebagai “required or

excpected to give an explanation for one’s action” Akuntabilitas diperlukan atau

diharapkan untuk meberikan penjelasan atas apa yang telah dilakukan. Dengan

demikian akuntabilitas merupakan kewajiban untuk memberikan

pertanggungajwaban atau menjawab dan menerangkan kinerja atas tindakan

seseorang/badan hukum/pimpinan suatu organisasi kepada pihak yang memiliki

hak atau kewenangan untuk meminta keterangan atau pertanggungjawaban.

Miriam Budiarjo mendefinisikan akuntabilitas sebagai pertanggungjawaban

pihak yang diberi kuasa mandat untuk memerintah kepada yang membeeri mereka

mandat Akuntabilitas bermakna pertanggungjawaban dengan menciptakan

pengawasan melalui distribusi kekuasaan pada berbagai lembaga pemerintah

sehingga mengurangi penumpukkan kekuasaan sekaligus menciptakan kondisi

saling mengawasi .15

14
Ibid, hal. 83.
15
Miriam Budiarjo, Menggapai Kedaulatan Rakyat, (Jakarta: Mizan, 1998), hal.78

8
1. Orientasi Pelaksanaan Akuntabilitas

Studi administrasi publik terutama bila dikaitkan dengan apa yang seharusnya

pemerintah lakukan ternyata lebih kompleks bila dibandingkan dengan abad dua

puluh sebelumnya, karena ia merefleksikan perluasan secara substansial dari

tanggungjawab sosial dan ekonomi pemerintahan modern. Karena itu, bentuk

tradisional pemerintahan pada awalnya berasal dari teori klasik birokrasi yang

diperkenalkan oleh ahli sosiologi Jerman yang dipelopori oleh Max Weber.

Birokrasi klasik lebih berfokus pada sistem administrasi, dan secara esensial terdiri

dari analisis struktur formal dan institusi pemerintahan, dimana secara konseptual

melakukan pemisahan antara administrasi dan politik.

Kerangka analisis tersebut selanjutnya diperluas dan dikritisi lebih jauh oleh dua

perspektif lainnya yaitu perspektif kebijakan publik dan administrasi/manajemen

pubik. Perspektif kebijakan publik lebih berkonsentrasi pada proses kebijakan

daripada institusi formal. Perspektif ini memiliki perhatian utama pada: konteks

politik dimana administrasi publik berlangsung; organisasi dan jaringan pribadi

yang mencakup formulasi dan penyampaian kebijakan; kesuksesan, kegagalan dan

keinginan mengenai kebijakan aktual, terkait dalam mekanisme implementasi

sampai kepada hasilnya; konsep utama dari negara, esensinya untuk memahami

hubungan antara administrasi dan sistem politik, dan antara politik, ekonomi dan

masyarakat.16

Perspektif manajemen publik pada dasarnya terbentuk dari prinsip-prinsip

ekonomi neo-klasik, telah diarahkan pada pertanyaan penting mengenai ukuran,

peran dan struktur sektor publik, termasuk pada negara-negara yang sedang

16
Minogue, Martin, Charles Poliano, dan David Hume. Beyond the New Piblic Managment :
Changing Ideas and Practices in Governance, (Northampton: Edward Elgar Publishing, 1998).
hal. 3

9
membangun. Hasil penilaian menunjukkan bahwa dibeberapa negara sektor publik

justru telah gagal menjadi mesin pembangunan nasional. Di beberapa negara

bahkan menjadi penghambat bagi pembangunan. Birokrasi publik dianggap tidak

mampu mengelola dengan efektif sarana yang terkait dengan kepentingan publik

seperti suplai listrik atau telekomunikasi. Pegawai dipandang sangat tidak fleksibel

dan terlalu berdasar pada aturan untuk merespon kebutuhan perubahan, sehingga

kebijakan industri yang dicanangkan justru menghalangi perusahaan berkembang

daripada membantu mempromosikan perusahaan. Sebaliknya sektor swasta justru

dipandang lebih memiliki kapasitas manajerial, lebih fleksibel karena didorong

oleh tingkat persaingan untuk lebih efisien dan efektif dalam menyediakan

berbagai aktivitas yang sebelumnya diasumsikan menjadi bagian sektor publik.

Pemerintahan di berbagai negara, baik yang sudah maju maupun yang masih

berkembang selanjutnya melakukan review terhadap peran pegawai, kewenangan

pemerintah daerah, dan perusahaan publik. Banyak fungsi-fungsi sebelumnya

dijalankan oleh organisasi sektor publik diprivatisasi agar lebih menguntungkan.

Kewenangan pemerintah daerah kemudian diperkuat terutama dalam kegiatan-

kegiatan seperti tender (procurement), namun dengan catatan harus mampu

bersaing dengan pemasok dari swasta. Perubahan dramatik ini didorong oleh

konsensus ideologi global, dan di banyak negara perubahan ini justru menjadi satu

masalah namun sekaligus juga menantang. Isu-isu mengenai nilai-nilai

institusional, kepercayaan, norma-norma serta sikap individual, mengarah kepada

satu fokus yakni pada kultur organisasi, dan bagaimana hal ini dapat dirubah oleh

pembuat kebijakan dan pimpinan tertinggi.17

17
UNDP, Public Sector Management, Governance, and Sustainable Human Development, (New
York: UNDP, 1995)

10
Meskipun orientasi privatisasi dari reformasi di dalam pemerintahan diakui

penting, namun peran penting pemerintah di negara-negara yang sudah maju atau

negara yang terlebih dahulu menerapkannya ternyata masih tetap ada dalam kaitan

dengan upaya mengelola responsivitas dengan efektif terutama kebutuhan sosial

dan ekonomi dari masyarakatnya, atau dengan kata lain terkait dengan manajemen

pembangunan.18 Pemerintah di negara maju nampaknya telah mampu mengurangi

terpusatnya kebijakan ekonomi, namun pusat masih akan terus bertanggungjawab

dalam mendesain dan menerapkan kebijakan publik secara efektif, terutama dalam

hubungannya dengan transformasi ekonomi, mengurangi kemiskinan,

peningkatkan kinerja pertanian, penyediaan lapangan kerja, pasokan layanan sosial

yang lebih baik dan perlindungan terhadap lingkungan.19

2. Bentuk Akuntabilitas

Akuntabilitas dibedakan dalam beberapa macam tipe Brautigam sebagaimana

dikutip Nisjar, membedakan akuntabilitas dalam 3 jenis yaitu :

a) Akuntabilitas Politik

Berkaitan dengan sistem politik dan sistem pemilu. Sistem politik “Multi Partai”

dinilai lebih mampu menjamin akuntabilitas politik pemerintah terhadap rakyatnya

daripada pemerintahan dengan sistem politik “satu partai”.

b) Akuntabilitas Keuangan

Aparat pemerintah wajib mempertanggungjawabkan setiap rupiah uang rakyat dalam

anggaran belanjanya yang bersumber dari penerimaan pajak dan retribusi.

c) Akuntabilitas Hukum

18
World Bank, World Development Report, 1997: the State in a Changing World, (Oxford:
Oxford University Press, 1997)
19
UNDP, Op.Cit.

11
Mengandung arti bahwa rakyat harus memiliki keyakinan bahwa unit-unit

pemerintahan dapat bertanggungjawab secara hukum atas segala tindakannya.20

Sedangkan Chandler dan Plano membedakan akuntabilitas dalam 5 macam yaitu :

a) Fiscal accountability, merupakan tanggungjawab atas dana publik yang digunakan;

b) Legal accountability, tanggungjawab atas ketaatan terhadap peraturan prundang-

undangan;

c) Program accountability, adalah tanggung jawab atas pelaksanaan program;

d) Process accountability, tanggungjawab atas pelaksanaan prosedure.

e) Outcome accountability, tanggungjawab atas hasil pelaksanaan tugas.21

Yango dalam Lembaga Administrasi Negara membedakan akuntabilitas ke dalam 4

macam yaitu :

a) Traditional atau Regularity Accountability

Memfokuskan pada transaksi-transaksi regular atau transaksi-transaksi fiscal untuk

mendapatkan informasi mengenai kepatuhan pada peraturan yang berlaku terutama

yang terkait dengan peraturan fiskal dan peraturan pelaksanaan administrasi.

b) Managerial accountability

Menitikberatkan pada efisiensi dan kehematan penggunaan dana, harta kekayaan,

sumber daya manusia, dan sumber daya lainnya.

c) Program accountability

Memfokuskan pada pencapaian hasil operasi pemerintah

d) Process accountability

Memfokuskan pada informasi mengenai tingkat pencapaian kesehjahteraan sosial atas

pelaksanaan kebijakan dan aktivitas-aktivitas organisasi.

20
Nisjar S.Karhi, 1997, Beberapa Catatan Tentang “Good Governance”, Jurnal Administrasi
Dan Pembangunan,Vol.1 No.2, hal.119
21
Chandler Ralph C, and Plano Jack C, 1982, The Public Administration Dictionary, John Wiley
& Sons, New York, Brisbane, Toronto, Singapore, hal.107

12
Lembaga administrasi Negara sendiri juga membedakan akuntabilias dalam 3

macam akuntabilitas yaitu :

a) Akuntabilitas Keuangan

Merupakan pertanggungjawaban mengenai integritas keuangan, pengungkapan dan

ketaatan terhadap peraturan perundangan.

b) Akuntabilitas Manfaat

Pada dasarnya memberi perhatian kepada hasil kegiatan-kegiatan pemerintah.

c) Akuntabilitas Prosedural

Merupakan pertanggungjawaban mengenai apakah suatu prosedur penetapan dan

pelaksanaan suatu kebijakan telah mempertimbangkan masalah moralitas,etika,

kepastian hukum, dan ketaatan pada keputusan politis untuk mendukung pencapaian

tujuan akhir yang telah ditetapkan.

Jabra dan Dwivedi dalam Islamy membedakan akuntabilitas ke dalam 5 macam,

yaitu :

a) Akuntabilitas Administratif/Organisasional

Untuk ini diperlukan adanya hubungan hierakhis yang tegas di antara pusat-pusat

pertanggungjawaban dengan unit-unit dibawahnya. Hubungan hierarkhis ini

biasanya telah ditetapkan dengan jelas, baik dalam bentuk aturan-aturan organisasi

yang disampaikan secara formal ataupun dalam bentku jaringan hubungan informal.

Prioritas pertanggungjawaban lebih diutamakan pada jenjang pimpinan atas dan

diikuti terus kebawah, dan pengawasan dilakukan secara intensif agar aparat tetap

menuruti perintah yang diberikan.

b) Akuntabilitas Legal

Adalah bentuk pertanggungjawaban setiap tindakan administratif dari aparat

pemerintah di badan legislatif dan atau di depan pengadilan.

13
c) Akuntabilitas Politik

Para administrator yang terikat dengan kewajiban menjalankan tugas-tugasnya harus

mengakui adanya kewenangan pemegang kekuasaan politik untuk mengatur,

menetapkan prioritas dan pendistibusian sumber-sumber dan menjamin adanya

kepatuhan pelaksanaan tanggungjawab administratif dan legal karena mereka punya

kewajiban untuk menjalankan tugas-tugasnya dengan baik.

d) Akuntabilitas Profesional

Sehubunagn dengan semakin meluasnya profesionalisme di organisai publik, para

aparat profesional, berharap dapat memperoleh kebebasan yang lebih besar dalam

melaksanakan tugas-tugasnya dan dalam menetapkan kepentingan publik.

e) Akuntabilitas Moral

Telah banyak diterima bahwa pemerintah memang selayaknya bertanggungjawab

secara moral atas tindakannya. Landasan bagi setiap tindakan pegawai pemerintah

seharusnya diletakkan pada prinsip-prinsip moral dan etika sebagaimana diakui oleh

konstitusi dan peraturan-peraturan lainnya serta diterima oleh publik sebagai norma

dan perilaku sosial yang telah mapan.22

Carino membedakan akuntabilitas ke dalam 4 macam tipe, yaitu :

a) Akuntabilitas Tradisional

Akuntabilitas tradisional memfokuskan kepada pengaturan transaksi fiskal dan

ketepatan kepatuhan yang sesuai dengan persyaratan legal dan kebijakan

administratif. Akuntabilitas tradisional adalah suatu tanggung jawab birokrat yang

telah diberikn kewenangan untuk melaksanakan fungsi tertentu sebagaimana yang

dinyatakan pada tingkatan hierarkhi tanggungjawab legal.23

b) Akuntabilitas Manajerial

22
Jabra J.G. dan Dwivedi, Public Accountability, (Kumarian: Press Inc, 1989), hal.17- 18
23
Joko Widodo, Op. Cit, hal.156

14
Fokus utama Akuntabilitas manajerial adalah efisiensi dan ekonomis penggunaan

dana publik, property, tenaga kerja dan sumber daya lainnya. Akuntabilitas

manajerial menghendaki pejabat publik harus bertanggungjawab ketimbang hanya

sekedar mematuhi. Akuntabilitas manajerial fokus pada sisi inputs dan

menganjurkan perlunya perhatian terus menerus untuk menghindari pemborosan dan

pengeluaran yang tidak perlu dan mendorong penggunaan sumber daya publik yang

tepat.

c) Akuntabilitas Program

Berkaitan dengan hasil dari operasi-operasi pemerintah , dengan demikian

Akuntabilitas program berkaitan dengan kepemilikan unit-unit dan birokrat secara

individual yang melakukan aktivitas bersama untuk mencapai efektivitas program.24

d) Akuntabilitas Proses

Akuntabilitas proses lebih menekankan pada metode dan prosedur operasi dari suatu

sistem yang mentransformasikan inputs menjadi outputs. Karenanya, tipe

akuntabilitas proses menegaskan bahwa beberapa tujuan bisa jadi tidak dapat diukur

dan diganti secara langsusng, namun menyajikan bagaimana kegiatan diarahkan

pada pencapaian tujuan.25

Jika dicermati beberapa tipe akuntabilitas sebagaimana dikemukakan oleh Carino,

Plano, Yango, Jabra, dan LAN, di atas, maka dapat diidentifikasi tipe akuntabilitas

antara lain sebagai berikut :

a) Akuntabilitas Tradisional

b) Akuntabilitas Fiscal

c) Akuntabilitas Manajerial

d) Akuntabilitas Legal

24
Ibid. hal. 157
25
Ibid. hal. 159

15
e) Akuntabilitas Program

f) Akuntabilitas Outcomes

g) Akuntabilitas Manfaat

h) Akuntabilitas Proses

i) Akuntabilitas Profesional

j) Akuntabilitas Moral

Beberapa tipe akuntabilitas di atas, hanya nomenklaturnya saja yang berbeda,

namun maksud dari substansi tipe akuntabilitas tertentu memiliki makna yang

sama.

B. Teori Pengawasan

Istilah pengawasan dan pengendalian dalam bahasa Indonesia jelas sekali

bedanya, meskipun dalam literatur manajemen yang berbahasa Inggris, kedua

pengertian tersebut tidak dibedakan dan tercakup dalam kata ”controlling” yang

diterjemahkan dengan istilah pengawasan dan pengendalian, sehingga istilah

controlling lebih luas artinya dari pengawasan. Jadi pengawasan adalah termasuk

pengendalian. Pengendalian berasal dari kata kendali, sehingga pengendalian

mengandung arti mengarahkan, memperbaiki, kegiatan, yang salah arah dan

meluruskannya menuju arah yang benar.26

Pengawasan secara umum diartikan sebagai suatu kegiatan administrasi yang

bertujuan mengandalkan evaluasi terhadap pekerjaan yang sudah diselesaikan

apakah sesuai dengan rencana atau tidak. Karena itu bukanlah dimaksudkan untuk

mencari siapa yang salah satu yang benar tetapi lebih diarahkan kepada upaya

untuk melakukan koresi terhadap hasil kegiatan. Dengan demikian jika terjadi

kesalahan atau penyimpangan-penyimpangan yang tidak sesuai dengan sasaran


26
Viktor M. Situmorang dan Jusuf Juhir, Aspek Hukum Pengawasan Melekat Dalam Lingkungan
Aparatur Pemerintah, (Jakarta:, Rineka Cipta, 1998), hal. 18

16
yang ingin dicapai, maka segera diambil langkah-langkah yang dapat meluruskan

kegiatan berikutnya sehingga terarah pelaksanaannya. Untuk mewujudkan sistem

pengawasan yang optimal maka harus ditetapkan pendekatan terstruktur dan

terintegrasi mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, pelaporan dan tindak lanjut

hasil pengawasan oleh semua pihak dan unit kerja yang berkepentingan.

Pengawasan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah adalah proses kegiatan

yang ditujukan untuk menjamin agar pemerintah daerah sesuai dengan rencana dan

ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.27

Pengawasan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah adalah proses kegiatan

yang ditujukan untuk menjamin agar pemerintah daerah sesuai dengan rencana dan

ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.28 Siagian mendefinisikan

bahwa pengawasan adalah proses pengamatan dari pelaksanaan seluruh kegiatan

organisasi untuk menjamin agar supaya semua pekerjaan yang sedang dilaksanakan

berjalan sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan sebelumnya.29 Soekarno

mendefinisikan pengawasan adalah suatu proses yang menentukan tentang apa

yang harus dikerjakan, agar apa yang diselenggarakan sejalan dengan rencana.30

Dalam bukunya yang berjudul dasar-dasar manajemen, Manulang mengutip

pendapat beberapa penulis asing tentang definisi pengawasan,sebagaimana dikutif

oleh Sujamto.31 Goerge R. Terry mendefenisikan pengawasan adalah “Control is to

determine what is accomplished, evaluate it, and apply corrective measures, if

needed result in keeping with the plan. (Pengawasan adalah untuk menentukan apa

yang telah dicapai, mengadakan evaluasi atasnya, dan mengambil tindakan-

27
Lembaga Adiministrasi Negara, Modul Pendidikan dan Pelatihan Kepemimpinan Tingkat IV,
Sistem Administrasi Negara Republik Indonesia (SANRI), (Jakarta, LAN RI, 2008) hal.115
28
Ibid.
29
Sujamto, Beberapa Pengertian di Bidang Pengawasan, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986) hal.
14.
30
Viktor M. Situmorang dan Jusuf Juhir, Op. Cit, hal 20
31
Sujamto, Op. Cit, hal 17

17
tindakan korektif, bila diperlukan untuk menjamin agar hasilnya sesuai dengan

rencana)”.32

Ir. Suyamto, menyatakan “pengawasan adalah segala usaha atau kegiatan untuk

mengetahui dan menilai kenyataan yang sebenarnya mengenai pelaksanaan tugas

atau kegiatan, apakah sesuai dengan semestinya atau tidak”.33 Henry Fayol,

menyatakan “control consist in vervying wheter everything accur in comformity

with the plan adopted, the instruction issued and principles established. It has for

object to point out weaknesses and errors in order to reactivity then and prevent

recurrence”(pengawasan hakekatnya adalah suatu tindakan menilai atau menguji

apakah sesuatu telah berjalan sesuai dengan rencana yang telah ditentukan. Dengan

pengawasan tersebut akan dapat ditemukan kesalahankesalahan yang pada

akhirnya akan dapat diperbaiki dan yang terpenting jangan sampai kesalahan

tersebut terulang kembali).

Bintoro Tjokroamidjojo, menyatakan bahwa kepemerintahan yang baik lebih

dapat berjalan dalam suatu sistem politik yang demokratis, dalam masyarakat yang

berkesadaran hukum, tegaknya hukum untuk semua secara sama dan dalam

ekonomi dimana berjalan mekanisme pasar secara sehat.34

1. Ruang Lingkup dan Tujuan Pengawasan

Pengawasan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah dilakukan oleh

Inspektorat Provinsi, Kabupaten/Kota. Pengawasan atas penyelenggaraan

pemerintah daerah merupakan amanat dari ketentuan Pasal 218 Undang-Undang

Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang menyatakan :

32
Ibid, hal.18
33
Lembaga Adiministrasi Negara, Op. Cit. hal.37
34
Lembaga Adiministrasi Negara, Op. Cit. hal. 53

18
a) Pengawasan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah dilaksanakan oleh pemerintah

yang meliputi :

I. Pengawasan atas pelaksanaan urusan pemerintahan di daerah

II. Pengawasan terhadap peraturan daerah dan peraturan kepala daerah

b) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilaksanakan oleh aparat

pengawas intern pemerintah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Ketentuan Pasal 218 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 ini, dijabarkan

lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 tentang Pedoman

Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.

Pengawasan bertujuan agar hasil pelaksanaan kegiatan-kegiatan diperoleh

secara berdaya guna dan berhasil guna, sesuai dengan rencana yang telah ditentukan

sebelumnya, hal ini sesuai dengan pendapat Handayaningrat yang mengatakan

bahwa ”Pengawasan bertujuan agar hasil pelaksanaan pekerjaan diperoleh secara

berdaya guna (efisien) dan berhasil guna (efektif), sesuai dengan rencana yang telah

ditentukan sebelumnya”.35 Pengawasan bertujuan untuk mengetahui apakah

pelaksanaan kerja sesuai dengan yang direncanakan, apakah segala instruksi telah

dilaksanakan dan untuk mengetahui kesulitan-kesulitan apa yang dihadapi. Hal ini

sesuai dengan pendapat Soekarno sebagai berikut :

Tujuan pengawasan adalah

a) Untuk mengetahui apakah sesuatu berjalan sesuai dengan rencana yang telah

digariskan;

b) Untuk mengetahui apakah segala sesuatu dilaksanakan dengan instruksi serta azas-

azas yang telah diinstruksikan;

c) Untuk mengetahui kesulitan-kesulitan, kelemahan-kelemahan dalam pekerjaan;


35
Soewarno Handayaningrat, Pengantar Studi Ilmu Administrasi dan Manajemen, (Jakarta:
Gunung Agung, 1996) hal. 143

19
d) Untuk mengetahui segala sesuatu apakah berjalan efisien;

e) Untuk mencari jalan keluar, bila ternyata dijumpai kesulitankesulitan, kelemahan atau

kegagalan kearah perbaikan.36

Abdurrahman mengemukakan secara terperinci beberapa aspek yang menjadi

tujuan pengawasan yaitu :

a) Mencegah penyimpangan;

b) Memperbaiki kesalahan-kesalahan dan kelemahan;

c) Mendinamisir organisasi serta segenap kegiatan manajemen yang lain;

d) Mempertebal rasa tanggung jawab;

e) Mendidik tenaga kerja.

Tugas pengawasan sebenarnya merupakan tugas yang terberat karena memerlukan

energi dan banyak waktu. Perencanaan dan pengorganisasian dapat dibuat satu kali,

tetapi pengawasan tidak cukup satu kali melainkan terus menerus sampai perencanaan

selesai. Pengawasan dalam administrasi negara diantaranya meliputi :

a) Pengawasan anggaran (budgeting control);

b) Pengawasan barang inventaris (inventory control);

c) Pengawasan pemeliharaan (maintenance control);

d) Pengawasan kualitas hasil kerja (quality control);

e) Pengawasan jumlah hasil kerja (quantity control);

f) Pengawasan gaji pegawai (salary control);

g) Pengawasan biaya (cost control);

Pengawasan terhadap perbuatan aparat pemerintah dapat dilakukan oleh sesama

aparat pemerintah dan atau aparat lain diluar tubuh eksekutif secara fungsional, dapat

36
Soekarno, Dasar-Dasar Manajemen, (Jakarta: Miswar, 1986) hal. 105

20
pula dilakukan oleh kekuasaan kehakiman. Adapun unsur-unsur yang diperlukan untuk

adanya tindakan pengawasan yaitu :

a) Adanya kewenangan yang jelas yang dimiliki oleh aparat pengawas;

b) Adanya suatu rencana yang mantap sebagai alat penguji terhadap pelaksanaan suatu

tugas yang akan diawasi;

c) Tindakan pengawasan dapat dilakukan terhadap suatu proses kegiatan yang sedang

berjalan maupun terhadap hasil yang dicapai dari kegiatan tersebut;

d) Tindakan pengawasan berakhir dengan disusunnya evaluasi akhir terhadap kegiatan

yang dilaksanakan serta pencocokkan hasil yang dicapai dengan rencana sebagai tolak

ukur; dan

e) Tindakan pengawasan akan diteruskan dengan tindak lanjut baik secara administrasi

maupun yuridis.

Pengawasan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah adalah proses kegiatan yang

ditujukan untuk menjamin agar pemerintah daerah sesuai dengan rencana dan ketentuan

peraturan perundang-undangan yang berlaku.37 Penguatan pengawasan bertujuan untuk

meningkatkan penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan bebas KKN pada masing-

masing instansi pemerintah. Target yang ingin dicapai melalui program ini adalah :38

a) Meningkatnya kepatuhan terhadap pengelolaan keuangan negara oleh masing-masing

instansi pemerintah;

b) Meningkatnya efektivitas pengelolaan keuangan negara pada masing-masing instansi

pemerintah;

c) Meningkatnya status opini bpk terhadap pengelolaan keuangan negara pada masing-

masing instansi pemerintah; dan


37
Lembaga Adiministrasi Negara, Op. Cit. hal.115
38
Lihat Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Dan Reformasi Birokrasi Republik
Indonesia No.10 Tahun 2019, Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Pendayagunaan
Aparatur Negara Dan Reformasi Birokrasi No.52 Tahun 2014 Tentang Pedoman Pembangunan
Zona Integritas Menuju Wilayah Bebas Dari Korupsi Dan Wilayah Birokrasi Bersih Dan
Melayani Di Lingkungan Instansi Pemerintah

21
d) Menurunnya tingkat penyalahgunaan wewenang pada masingmasing instansi

pemerintah.39

Atas dasar hal tersebut, maka terdapat beberapa indikator yang perlu dilakukan untuk

menerapkan penguatan pengawasan, yaitu:

a) Pengendalian Gratifikasi

Pengukuran indikator ini dilakukan dengan mengacu pada kondisi yang seharusnya

dilakukan, seperti :

1) unit kerja telah memiliki public campaign tentang pengendalian gratifikasi; dan

2) unit kerja telah mengimplementasikan pengendalian gratifikasi.

b) Penerapan Sistem Pengawasan Internal Pemerintah (SPIP)

Pengukuran indikator ini dilakukan dengan mengacu pada kondisi yang

seharusnya dilakukan, seperti :

1) unit kerja telah membangun lingkungan pengendalian;

2) unit kerja telah melakukan penilaian risiko atas unit kerja;

3) unit kerja telah melakukan kegiatan pengendalian untuk meminimalisir risikoyang

telah diidentifikasi; dan

4) unit kerja telah mengkomunikasikan dan mengimplementasikan SPI kepada seluruh

pihak terkait.

c) Pengaduan Masyarakat

Pengukuran indikator ini dilakukan dengan mengacu pada kondisi yang seharusnya

dilakukan, seperti :

1) unit kerja telah mengimplementasikan kebijakan pengaduan masyarakat;

2) unit kerja telah melaksanakan tindak lanjut atas hasil penanganan pengaduan

masyarakat;

39
Ibid

22
3) unit kerja telah melakukan monitoring dan evaluasi atas penanganan pengaduan

masyarakat; dan

4) unit kerja telah menindaklanjuti hasil evaluasi atas penanganan pengaduan

masyarakat.

d) Whistler Blowing System

Pengukuran indikator ini dilakukan dengan mengacu pada kondisi yang seharusnya

dilakukan, seperti :

1) unit kerja telah menerapkan whistler blowing system;

2) unit kerja telah melakukan evaluasi atas penerapan whistle blowing system; dan

3) unit kerja menindaklanjuti hasil evaluasi atas penerapan whistle blowing system.40

e) Penanganan Benturan Kepentingan

Pengukuran indikator ini dilakukan dengan mengacu pada kondisi yang seharusnya

dilakukan, seperti :

1) Unit kerja telah mengidentifikasi benturan kepentingan dalam tugas fungsi utama;

2) Unit kerja telah menyosialisasikan penanganan benturan kepentingan;

3) Unit kerja telah mengimplementasikan penanganan benturan kepentingan;

4) Unit kerja telah melakukan evaluasi atas penanganan benturan kepentingan; dan

5) Unit kerja telah menindaklanjuti hasil evaluasi atas penanganan benturan

kepentingan.

f) Penyampaian Laporan Harta Kekayaan pegawai

Pengukuran indikator ini dilakukan dengan mengacu pada kondisi

40
Ibid.

23
1) Tingkat kepatuhan penyampaian Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara

(LHKPN) ke KPK bagi pegawai yang wajib LHKPN;

2) Tingkat kepatuhan penyampaian Laporan Harta Kekayaan Aparatur Sipil Negara

(LHKASN) melalui aplikasi Sistem Informasi Pelaporan Harta Kekayaan

(SiHARKA) bagi pegawai yang tidak wajib LHKPN.41

2. Jenis Pengawasan
I. Pengawasan Ekstern dan Intern
1) Pengawasan Ekstern (external control)

Pengasan ektern atau pengawasan dari luar, yakni pengawasan yang menjadi

subyek pengawas adalah pihak luar dari organisasi obyek yang diawasi, misalnya,

BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) adalah perangkat pengawasan ekstern

terhadap Pemerintah, karena ia berada di luar susunan organisasi Pemerintah

(dalam arti yang sempit). Ia tidak mempertanggungjawabkan pelaksanaan

tugasnya kepada Kepala Pemerintah (Presiden) tetapi kepada Dewan Perwakilan

Rakyat (DPR) RI (Sujamto, 1986 : 81-82)

2) Pengawasan Intern

Pengawasan intern merupakan pengawasan yang dilakukan dari dalam

organisasi yang bersangkutan, misalnya; Inspektur Wilayah Kabupaten/Kota yang

mengawasi pelaksanaan Pemerintahan di Kabupaten/Kota tersebut. (Sujamto,

1986 : 81-82) Di dalam pasal  218  UU No 32 Tahun 2004 tentang  Pemerintahan

Daerah diatur :

I. Pengawasan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah dilaksanakakan

oleh Pemerintah yang meliputi  :

a) Pengawasan atas pelaksanaan urusan pemerintah di daerah;

b) Pengawasan terhadap peraturan daerah dan peraturan kepala daerah. 

41
Ibid, hal.14

24
II. Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) buruf a dilaksanakan

oleh aparat pengawas intern Pemerintah sesuai peraturan perundang-

undangan 

II. Pengawasan Preventif, Represif dan Umum


1) Pengawasan Preventif

Pengawasan Preventif adalah pengawasan yang dilakukan sebelum

pelaksanaan, yakni pengawasan yang dilakukan terhadap sesuatu yang bersifat

rencana. (Sujamto, 1986 : 85).

2) Pengawasan Represif

Pengawasan Represif merupakan pengawasan yang dilakukan setelah

pekerjaan atau kegiatan dilaksanakan. Dapat pula dikatakan bahwa pengawasan

represif  sebagai salah satu bentuk pengawasan atas jalannya pemerintahan

(Sujamto, 1986 : 87).  misalnya  : penangguhan dan atau pembatalan PERDA,

PERBW, KEPBW yang bertentangan dengan kepentingan umum.

3) Pengawasan Umum 

Pengawasan umum adalah jenis pengawasan yang dilakukan oleh Pemerintah

terhadap segala kegiatan pmemerintah daerah untuk menjamin penyelenggaraan

pemerintahan daerah dengan baik. Pengawasan umum dilakukan oleh

MENDAGRI terhadap pemerintahan daerah. Pengawasan umum adalah

pengawasan terhadap seluruh aspek pelaksanaan tugas pokok organisasi. 

Fungsi pengawasan umum dapat pula dilakukan melalui WASKAT yang

hakekatnya sama dengan WASNAL.  Inspektorat Jenderal mempunyai tugas

melakukan pengawasan umum terhadap pelaksanaan tugas pokok

KEMDAGRI.Tetapi juga IRJEN merupakan aparat pengawasan fungsional (APF)

(Sujamto, 1986 : 73-74).   

25
III. Pengawasan Langsung dan Pengawasan Tidak Langsung

1) Pengawasan Langsung

Pengawasan Langsung adalah pengawasan yang dilakukan dengan cara

mendatangi dan melakukan pemeriksaan di tempat (on the spot) terhadap obyek

yang diawasi. Jika pengawasan langsung ini dilakukan terhadap proyek

pembangunan fisik maka yang dimaksud dengan pemeeriksaan ditempat atau

pemeriksaan setermpat itu dapat berupa pemeriksaan administratif atau

pemeriksaan fisik di lapangan.

2) Pengawasan tidak langsung

Pengawasan Tidak Langsung merupakan pengawasan yang dilakukan tanpa

mendatangi tempat pelaksanaan pekerjaan atau obyek yang diawasi atau

pengawasan yang dilakukan dari jarak jauh yaitu dari belakang meja. Dokumen

yang diperlukan dalam pengawasan tidak langsung antara lain :

a. Laporan pelaksanaan pekerjaan baik laporan berkala maupun laporan

insidentil; 

b. Laporan hasil pemeriksaan (LHP) dari pengawas lain;

c. Surat-surat pengaduan;

d. Berita atau artikel di media massa;

e. Dokumen lain yang terkait.

IV. Pengawasan Formal dan Informal

A. Pengawasan Formal

Pengawasan Formal adalah pengawasan yang dilakukan oleh instansi/pejabat

yang berwenang (resmi) baik yang berifat intern dan ekstern; Misal : pengawasan

yang dilakukan oleh BPK, BPKP dan ITJEN

B. Pengawasan Informal

26
Pengawasan Informal yakni pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat

atau social control, misalnya surat pengaduan masyarakat melalui media massa

atau melalui badan perwakilan rakyat.42

C. Good Governance dalam Pemerintah Daerah

Kepemerintahan yang baik (good governance) merupakan isu sentral yang paling
mengemuka dalam pengelolaan administrasi publik dewasa ini. Menurut
Sedarmayanti hal ini dikarenakan adanya tuntutan gencar yang dilakukan oleh
masyarakat kepada pemerintah untuk menyelenggarakan pemerintahan yang baik
adalah sejalan dengan meningkatnya tingkat pengetahuan dan pendidikan masyarakat,
selain adanya pengaruh globalisasi.43
Good Governance telah menjadi wacana baru dalam penyelenggaraan pemerintahan
di dunia yang tidak dapat dilepaskan dari tulisan David Osborne dan Ted Gaebler
dalam bukunya “Reinventing Government How the Enterpreneurial Spirit the Public
Sector” pada tahun 1992. Melalui bukunya tersebut, Osborne dan Gaebler
mengajukan konsep yang berisi 10 (sepuluh) prinsip Reinventing Government sebagai
konsep kewirausahaan yang bisa dijalankan oleh lembaga publik maupun lembaga –
lembaga non profit lainya. Konsep ini pada dasarnya menggeser spectrum semangat
kewirausahaan ke birokrasi. Lahirnya konsep ini bagi Osborne dan Gaebler lebih
banyak didasari dari latar belakang fundamental lembaga birokrasi (public) yang
berseberangan dengan lembaga bisnis (privat) . Bagi lembaga bisnis , pendapatan
terbesar mereka diperoleh dari pelanggan (konsumen), sedangkan bagi birokrasi
sebagaian besar diperoleh dari pajak. Bagi lembaga bisnis (private) persaingan adalah
segalanya sedangkan bagi birokrasi (public) lebih banyak mengandalkan monopoli.44
Melalui bukunya Reinventing Government tersebut, Osborne dan Gaebler berpendapat
bahwa kegagalan utama pemerintahan saat ini adalah karena kelemahan
manajemenya. Masalahnya bukan terletak pada apa yang dikerjakan pemerintah
melainkan bagaimana cara pemerintah mengerjakanya. Selanjutnya bagaimana cara
mengembangkan konsep yang berisi sepuluh prinsip di muka, Davis Osborne
berkaloborasi dengan Peter Plastrik pada tahun 1996 menulis buku “Banishing

42
Jenis-Jenis Pengawasan: https://inspektoratdaerah.bulelengkab.go.id/artikel/jenis-jenis-
pengawasan-76. Diakses tanggal 15 Oktober 2019.
43
Sedarmayanti, Good Governance (Kepemerintahan Yang Baik) Dalam Rangka Otonomi
Daerah,,hlm.4
44
Ibid, hlm. 6

27
Bureaucracy” : The five Strategies for Reinventing Government”, menyampaikan 5
(lima) strategi untuk melaksanakan “reinventing government”. Dalam bukunya
tersebut menarankan agar birokrasi pemerintah dipangkas supaya menjadi lebih
efektif dan efisien. Prinsipnya “the least government is the best government”45
Seiring dengan perubahan paradigma di atas, muncul pula gerakan baru yang
dinamakan “gerakan masyarakat sipil” (civil society movement). Inti dari gerakan ini
adalah bagaimana membuat masyarakat lebih mampu dan mandiri untuk memenuhi
sebagian besar kepentingannya sendiri. Konsekuensi logis dari berkembangnya
masyarakat sipil adalam semakin rampingnya bangunan birokrasi, karena sebagian
besar pekerjaan pemerintah dapat dijalankan sendiri oleh masyarakat maupun
dilaksanakan melalui pola kemitraan dalam rangka privatisasi.46
Good dalam good governence menurut LAN mengandung dua pengertian.
Pertama , nilai – nilai yang menjunjung tinggi keinginan /kehendak rakyat, dan nilai –
nilai yang dapat meningkatkan kemampuan rakyat yang dalam pencapaian tujuan
(nasional) kemandirian pembangunan berkelanjutan dan berkeadilan sosial. Kedua,
aspek aspek fungsional dari pemerintahan yang efektif dan efisien dalam pelaksanaan
tugas-tugasnya untuk mencapai tujuan – tujuan tersebut.Berdasarkan pengertian ini,
LAN kemudian mengemukakan bahwa good governance berorientasi pada dua hal
yaitu, Pertama orientasi ideal negara yang diarahkan pada pencapaian tujuan nasional
dan Kedua aspek – aspek fungsional dari pemerintahan yang efektif dan efisien dalam
pelaksanaan tugasnya untuk mencapai tujuan–tujuan tersebut.47
United Nation Development Program (UNDP) sebagaimanan yang dikutip oleh
Lembaga Administrasi Negara (LAN) mengajukan karakteristik good governance
sebagai berikut ;
1) Partisipasi (Participation) : setiap warga masyarakatmempunyai suara dalam
pembuatan keputusan, baik secara langsung maupun melalui intermediasi
institusi legitimasi yang mewakili kepentinganya. Partisipasi ini dibangun atas
dasar kebeasan berasosiasi dan berbicara serta berpartisipasi secara
konstruktif.
2) Aturan hukum (Rule of law) : kerangka hukum harus adil dan dilaksanakan
tanpa pandang buku, terutama hukum untuk hak asasi manusia.

45
Ibid, hlm.9
46
Sadu Wasistiono, Op.Cit., hal.28
47
Lembaga Administrasi Negara dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, Op.Cit.,
hal.6

28
3) Transparansi (Transparency) : Transparansi dibangun atas dasar kebebasan
arus informasi. Proses – proses, lembaga – lembaga dan informasi secara
langsung dapat diterima oleh mereka yang membutuhkan. Informasi harus
dapat dipahami dan dapat dimonitor.
4) Daya tangkap (responsiveness) : Lembaga – lembaga dan proses – proses
harus mencoba untuk melayani setiap “stakeholders”
5) Berorientasi Konsensus ( Consensus Orientation) : Good governance menjadi
perantara kepentingan yang berbeda utki memperoleh pilihanpilihan terbaik
bagi kepentingan yang lebih luas baik dalam hal kebijakan–kebijakan maupun
prosedur – prosedur.
6) Berkeadilan (Equity) : Semua warga negara, baik laki – laki maupun
perempuan , mempunyai kesempatan untuk meningkatkan atau menjaga
kesejahteraan mereka.
7) Efektivitas dan efisien (Efektiveness and dan efisiency) : Proses – proses dan
lembaga – lebaga sebaik mungkin menghasilkan sesuai dengan apa yang
digariskan dengan menggunakan sumber – sumber yang tersedia.
8) Akuntabilitas (Accountability) : Para pembuat keputusan dalam pemerintahan,
sektor swasta dan masyarakat (civil society) bertanggungjawab) kepada publik
dan lembaga – lembaga. Akuntabilitas ini tergantung pada organisasi dan sifat
keputusan yang dibuat, apakah keputusan tersebut untuk kepentingan internal
atau eksternal organisasi.
9) Visi Strategi (Strategi Vision) : Para pemimpin dan masyarakat memiliki
perspektif good governance dan pengembangan manusia yang luas dan jauh
ke depan sejalan dengan apa yang diperlukan untuk pembangunan semacam
ini.
I. Perwujudan Good Governance dalam Peemerintahan Daerah
Dari beberapa pengertian good governance dan karakteristiknya, Joko Widodo
menyimpulkan bahwa pemerintahan yang baik adalah pemerintahan yang mampu
mempertanggungjawabkan segala sikap, perilaku dan kebijakan yang dibuat secara
politik, hukum, maupun ekonomi dan diinformasikan secara terbuka kepada
publik, serta membuka kesempatan publik untuk melakukan pengawasan (kontrol)
dan jika dalam prakteknya telah merugikan rakyat, dengan demikian harus mampu
mempertanggungjawabkan dan menerima tuntutan hukum atas tindakan tersebut.

29
Sedang sebagai perwujudan konkrit dari implementasi good governance di daerah
adalah :
a. Pemerintah daerah administrasi publik diharapkan dapat berfungsi dengan
baik dan tidak memboroskan uang rakyat
b. Pemerintah daerah dapat menjalankan fungsinya berdasarkan norma dan etika
moralitas pemerintahan yang berkeadilan
c. Aparatur pemerintah daerah mampu menghormati legitimasi konvensi
konstitusional yang mencerminkan kedaulatan rakyat
d. Pemerintah daerah memiliki daya tanggap terhadap berbagai variasi yang
berkembang dalam masyarakat.
Good Governance berkaitan dengan tata penyelenggaran pemerintahan yang
baik. Pemerintahan sendiri dapat diartikan secara sempit dan luas. Dalam arti
sempit penyelenggaraan pemerintahan yang baik bertalian dengan pelaksanaan
fungsi administrasi negara.48

BAB III

PEMBAHASAN

A. Kasus Korupsi oleh Pemerintah Daerah

Bila dikaji secara mendalam praktik korupsi yang dilakukan oleh elit local di

level pemerintah daerah mempunyai modus korupsi bermacam-macam. Banyaknya

modus korupsi yang dijalankan membuktikan kelihaian para kepala daerah maupun

anggota DPRD dalam mencuri uang negara. Dari tracking berbagai sumber

48
Joko Widodo, Op.Cit., hal. 30

30
terekam setidaknya ada delapan modus korupsi yang dijalankan oleh para anggota

DPRD dan Walikota/Bupati.49

Pertama, korupsi pos APBD. Metode ini dilakukan dengan mencuri uang APBD

melalui rekayasa pos-pos penggunaan anggaran. Misalnya pos eksekutif direkayasa

sedemikian rupa sehingga dimanipulasi menjadi pos legislatif.

Kedua, penambahan mata anggaran dalam APBD yang tidak tercantum dalam

PP No. 110/2000.

Ketiga, penggelembungan atau mark-up terhadap dana proyek. Dana proyek

pembangunan dianggarkan lebih tinggi dan tidak sesuai dari nilai yang

sesungguhnya, sehingga selisih anggaran tersebut dimaling oleh eksekutif dan

legislatif.

Keempat, biaya operasional fiktif. Salah satu modus ini banyak dilakukan pada

dana kunjungan kerja atau studi banding. Hasil kunker tersebut tidak sebanding

dengan biaya yang dikeluarkan sehingga tidak menimbulkan manfaat. Kadangkala

ada kunker fiktif, artinya tidak pernah dilakukan tetapi dana dicairkan dengan bukti

fiktif, misalnya tiket pesawat fiktif.

Kelima, penyelewengan bantuan-bantuan dan program lembaga lain semisal

bank dunia.

Keenam, dengan cara melakukan kegiatan fiktif selain kunker atau meminta

bagian dari bantuan yang diterima oleh masyarakat.

Ketujuh, menggelapkan hibah atau bantuan yang diterima.

49
Muflihul Hadi, Undercover: Peradilan Skandal Korupsi di DPRD Kota Surabaya, (Surabaya:
ICW, 2004), hal. 9-10

31
Kedelapan, sebagian besar anggota DPRD yang terlibat kasus korupsi APBD

dan penyelewengan uang rakyat dalam bentuk lainnya adalah anggota baru.

Mereka mencari celah terhadap suatu aturan yang memungkinkan tindakan

korupsi. Caranya adalah bermain pada pasal aturan tata tertib dewan dengan

menafsirkan sewenang-wenang yang bertujuan untuk memuluskan kepentingannya.

Bisa jadi, delapan modus ini hanya bagian kecil dari yang ada di lapangan.

Meski demikian, dapat kita tangkap dari delapan modus korupsi ini kita bisa belajar

betapa liciknya para kepala daerah dan anggota DPRD dalam berjamaah korupsi.

Tidak hanya itu, kemampuan mereka dalam membuat serangkaian ”kegiatan

fiktif”, ”biaya operasi fiktif” hingga ”menggelapkan bantuan” yang sebenarnya

untuk masyarakat membuktikan bahwa para kepala daerah dan anggota DPRD

benar-benar sudah tidak mementingkan masyarakat.

Untuk menguatkan bahwa para kepala daerah dan DPRD sangat korup tidaklah

sulit. Data yang lansir KPK menyebutkan sepanjang tahun 2018 KPK meraih rekor

terbanyak operasi tangkap tangan (OTT). Paling banyak dibanding tahun-tahun

sebelumnya. Sebanyak 30 OTT dilaksanakan dengan 28 kepala daerah yang

terlibat.50 Di satu sisi prestasi tersebut patut disyukuri karena membuktikan KPK

bisa berperan dengan baik dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. Namun, di

sisi lain, hal itu sangat memprihatinkan karena menegaskan penyakit korupsi belum

bisa diberantas. Bahkan semakin mewabah di Indonesia.

B. Penyebab Korupsi di Pemerintahan Daerah

Berdasarkan kajian dan pengalaman setidaknya ada tiga penyebab terjadinya

korupsi di Indonesia, yaitu sebagai berikut:

a. Lemahnya Akuntabilitas
50
Melawan Korupsi di Pemerintahan Daerah: https://news.detik.com/kolom/d-4369597/melawan-
korupsi-di-pemerintah-daerah. Diakses pada 5 November 2019

32
Sebagaimana konsepnya, akuntabilitas merupakan pertanggungjawaban

terhadap penggunaan dana publik yang digunakan pemerintah untuk menjalankan

aktivitas pemerintahan. Terhadap akuntabilitas, ternyata masih banyak daerah yang

masih buruk akuntabilitasnya, baik dari kebijakan, pengelolaan anggaran dan

pengadaan. Berkaca dari kasus suap mantan Bupati Jombang, Nyono Suharli di

tahun 2018. Pada kasus tersebut ia menggunakan dana perizinan dan jasa

pelayanan kesehatan atau dana kapitasi pusat kesehatan masyarakat (puskesmas).51

Tidak hanya di sektor kesehatan, praktik korupsi juga dilakukan terhadap

sektor-sektor lain yang strategis, misalnya saja pendidikan. Hal ini terjadi di Jawa

Tengah,52 Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jawa Tengah menetapkan empat orang

tersangka kasus dugaan korupsi dana bantuan keuangan Pemerintah Provinsi Jawa

Tengah 2018 bidang pendidikan 2018 untuk Kendal dan Pekalongan senilai Rp8,2

miliar. Ditemukan fakta bahwa adanya mark up harga laptop yang akan diberikan

kepada sekolah-sekolah di kedua daerah tersebut.

Publik selama ini tidak mengetahui bagaimana dana itu dikelola dan

dipertanggungjawabkan oleh pemerintah daerah karena tidak melibatkan

masyarakat dalam pengelolaan anggaran.

b. Pengawasan yang tidak efektif

Sudah menjadi rahasia umum bahwa dana desa seringkali menjadi “kue” yang

rawan diselewengkan untuk dibagi-bagi kepada banyak oknum. Di tahun 2017

publik dikejutkan dengan OTT KPK terhadap 5 orang yang terjadi di Pamekasan,

Madura.

51
Suap Bupati Jombang: https://www.cnnindonesia.com/nasional/20180205093717-12-
273815/suap-bupati-jombang-cermin-buruknya-transparansi-di-daerah. Diakses pada 26
November 2019
52
Korupsi bantuan keuangan Pendidikan:
https://www.gatra.com/detail/news/443773/politik/kejati-jateng-tetapkan-4-tersangka-korupsi-
bankeu-pendidikan. Diakses pada 26 November 2019

33
Kelima orang tersebut yakni, Bupati Pamekasan Achmad Syafii dan Kepala

Kejaksaan Negeri Pamekasan Rudi Indra Prasetya sebagai tersangka. Kemudian,

Kepala Inspektorat Kabupaten Pamekasan, Sucipto Utomo, Kepala Desa Dassok

Agus Mulyadi, dan Kepala Bagian Administrasi Inspektorat Kabupaten

Pamekasan Noer Solehhoddin.53

Dari kasus tersebut dapat kita lihat bagaimana korupsi dana desa terjadi secara

sistemik dan struktural, praktik korupsi terjadi mulai dari level bawah hingga atas

(bupati). Padahal pengawasan yang dilakukan terhadap penyerapan dana desa

sebetulnya sudah berlapis-lapis baik di pusat maupun daerah selain itu didukung

dengan regulasi, namun fakta berkata lain. Ironisnya aparat penegak hukum yang

harusnya berfungsi sebagai pengawas formal malah ikut terlibat dalam pusaran

korupsi dana desa.

Selain itu, lemahnya pengawasan informal yang dilakukan oleh masyarakat

dapat dikatakan masih lemah sehingga menjadi celah bagi oknum-oknum korup

yang ingin menikmati dana desa.

Padahal dana desa bertujuan untuk menciptakan kesejahteraan melalui

pemerataan pembangunan. Namun hal ini masih sulit tercapai mengingat aparat

pengawas formal yang ikut bermain maupun pengawasan informal yang kurang

partisipatif sehingga dana desa rawan disalahgunakan.

c. Hukuman yang ringan terhadap Koruptor

Disebabkan Law Enfocement yang tidak berjalan dimana aparat penegak hukum

bisa dibayar, mulai dari polisi, jaksa, hakim, dan pengacara, maka hukuman yang

dijatuhkan kepada para koruptor sangat ringan, sehingga tidak menimbulkan efek

53
Penyelewengan Dana Desa: https://nasional.kompas.com/read/2017/08/10/22103691/pemerintah-
kecewa-ada-penyelewengan-dana-desa. Diakses pada 26 November 2019

34
jera bagi koruptor. Bahkan tidak menimbulkan rasa takut dalam masyarakat,

sehingga pejabat dan pengusaha tetap melakukan proses KKN.

Menurut hasil riset Indonesia Corruption Watch (ICW) pada 2018, rata-rata

vonis hukuman penjara bagi koruptor di pengadilan tingkat pertama adalah 2 tahun

3 bulan. Sementara di pengadilan tinggi rata-rata 2 tahun 8 bulan dan di tingkat

Kasasi, Mahkamah Agung (MA), rata-rata 5 tahun 9 bulan. Secara umum, angka

rata-rata lama hukuman penjara dalam vonis untuk koruptor di ketiga tingkat

pengadilan tersebut selama tahun 2018 adalah 2 tahun 5 bulan.54

Angka tersebut sesungguhnya masih relatif rendah dan tidak adil mengingat

kejahatan korupsi yang dilakukan menimbulkan dampak kerugian yang langsung

dirasakan oleh masyarakat. Sehingga hukuman yang ringan tidak akan

menimbulkan efek jera dan rasa takut terhadap koruptor atau orang yang berpikir

untuk korupsi.

BAB IV

ANALISIS

A. Peran Pemerintah Pusat

Dalam rangka menjamin akuntabilitas kinerja instansi pemerintah, telah


dikembangkan sistem pertanggungjawaban yang jelas, tepat, teratur, dan efektif yang
dikenal dengan Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (SAKIP). 55 SAKIP
tersebut kemudian diterapkan melalui pembuatan target kinerja disertai dengan
indikator kinerja yang menggambarkan keberhasilan instansi pemerintah (Wakhyudi,
2007).

54
Vonis Ringan Koruptor: https://tirto.id/riset-icw-tren-vonis-ringan-bagi-koruptor-berlanjut-pada-
2018-dngr. Diakses pada 26 November 2019
55
Akuntabilitas menuju Indonesia Berkinerja: https://rbkunwas.menpan.go.id/artikel/artikel-
rbkunwas/426-akuntabilitas-menuju-indonesia-berkinerja Diakses pada 29 November 2019

35
Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah merupakan suatu tatanan,
instrumen, dan metode pertanggungjawaban yang intinya meliputi tahap-tahap
sebagai berikut (Wakhyudi, 2007):
1) Penetapan perencanaan stratejik, perencanaan kinerja, dan penetapan rencana kerja,
meliputi pembuatan visi, misi, tujuan, sasaran, kebijakan, dan program. Pada tahap
inilah, instansi pemerintah menghasilkan rencana kerja jangka menengah lima tahunan
(RPJM/RPJMD) yang kemudian diturunkan menjadi rencana kinerja tahunan
(RKP/RKPD), rencana anggrannya (RKA), Perjanjian Kinerja (PK), SOP, dan lain
sebagainya;
2) Pengukuran kinerja, meliputi pengukuran indikator kinerja, pengumpulan data kinerja,
membandingkan realisasi dengan recana kerja, kinerja tahun sebelumnya, atau
membandingkan dengan organisasi lain sejenis yang terbaik di bidangnya;
3) Pelaporan kinerja, berupa pembuatan Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi
Pemerintahan (LAKIP) dengan format standar laporan yang telah ditetapkan (rinci
dengan berbagai indikator, bukti, dan capaiannya); dan
4) Pemanfaatan informasi kinerja untuk perbaikan kinerja berikutnya secara
berkesinambungan.

Pada dasarnya, penerapan Sistem AKIP bertujuan agar penyelenggaraan


pemerintahan dan pembangunan dapat berlangsung secara berdaya guna, berhasil
guna, bertanggung jawab dan bebas dari praktik-praktik kolusi, korupsi, dan
nepotisme (KKN). Artinya, SAKIP merupakan salah satu instrument dalam
mewujudkan konsep good governance. Meskipun aparat pemerintah telah cukup
memahami perubahan yang dikehendaki dari sistem ini, namun yang menjadi
persoalan besar adalah adanya kesenjangan antara pemahaman tersebut dengan
kemauan untuk berubah. Isu good governance di kalangan pemerintah sudah
mengemuka, akan tetapi dalam praktiknya masih menghadapi banyak resistensi dan
kendala di beberapa instansi pemerintah.

Keberadaan SAKIP sebagai sistem manajemen kinerja instansi pemerintah di


Indonesia sebenarnya merupakan bentuk amanat Undang-Undang Nomor 17 Tahun
2003 tentang Keuangan Negara yang didalamnya memberikan amanat untuk
mengintegrasikan informasi keuangan dan kinerja dalam sebuah sistem. Sistem ini
dibutuhkan dalam rangka mendorong terciptanya anggaran berbasis kinerja yang
diyakini sebagai paradigma pengelolaan keuangan paling efektif untuk mendorong

36
terciptanya pemerintahan yang berkinerja tinggi. SAKIP mencoba mengintegrasikan
berbagai sistem dalam manajemen pemerintahan di Indonesia. Berbagai sistem
tersebut antara lain sistem perencanaan, sistem penganggaran, sistem pengukuran,
sistem pelaporan, dan sistem evaluasi yang kelimanya diatur dengan berbagai
peraturan perundangan dan oleh berbagai instansi yang berbeda.

Perbaikan pemerintahan dan sistem manajemen merupakan agenda penting


dalam reformasi birokrasi yang sedang dijalankan oleh pemerintah saat ini. Sistem
manajemen pemerintahan diharapkan berfokus pada peningkatan akuntabilitas serta
sekaligus peningkatan kinerja yang berorientasi pada hasil (outcome). Maka
pemerintah telah menetapkan kebijakan untuk penerapan sistem
pertanggungjawaban yang jelas dan teratur dan efektif yang disebut dengan Sistem
Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (SAKIP).

Akuntabilitas merupakan kata kunci dari sistem tersebut yang dapat diartikan
sebagai perwujudan dari kewajiban seseorang atau instansi pemerintah untuk
mempertanggungjawabkan pengelolaan sumber daya dan pelaksanaan kebijakan
yang dipercayakan kepadanya dalam rangka pencapaian tujuan yang telah ditetapkan
melalui media pertanggungjawaban dan berupa laporan akuntabilitas yang disusun
secara periodik.

Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah atau disingkat dengan SAKIP


tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 29 Tahun 2014 tentang Sistem
Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah yang mana didalamnya menyebutkan
SAKIP merupakan rangkaian sistematik dari berbagai aktivitas, alat dan prosedur
yang dirancang untuk tujuan penetapan dan pengukuran, pengumpulan data,
pengklarifikasian, pengikhtisaran, dan pelaporan kinerja pada instansi pemerintah,
dalam rangka pertanggungjawaban dan peningkatan kinerja instansi pemerintah.

Tujuan Sistem AKIP adalah untuk mendorong terciptanya akuntabilitas kinerja


instansi pemerintah sebagai salah satu prasyarat untuk terciptanya pemerintah yang
baik dan terpercaya. Sedangkan sasaran dari Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi
Pemerintah adalah:
1) Menjadikan instansi pemerintah yang akuntabel sehingga dapat beroperasi secara
efisien, efektif dan responsif terhadap aspirasi masyarakat dan lingkungannya.
2) Terwujudnya transparansi instansi pemerintah.

37
3) Terwujudnya partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan pembangunan nasional.
4) Terpeliharanya kepercayaan masyarakat kepada pemerintah.

Penyelenggaraan SAKIP ini dilaksanakan untuk menghasilkan sebuah laporan


kinerja yang berkualitas serta selaras dan sesuai dengan tahapan-tahapan meliputi:56

I. Rencana Strategis

Rencana strategis merupakan dokumen perencanaan instansi pemerintah dalam


periode 5 (lima) tahunan. Rencana strategis ini menjadi dokemen perencanaan untuk
arah pelaksanaan program dan kegiatan dan menjadi landasan dalam
penyelenggaraan SAKIP.

II. Perjanjian Kerja

Perjanjian kinerja adalah lembar/dokumen yang berisikan penugasan dari


pimpinan instansi yang lebih tinggi kepada pimpinan instansi yang lebih rendah
untuk melaksanakan program/kegiatan yang disertai dengan indikator kinerja.
Perjanjian kinerja selain berisi mengenai perjanjian penugasan/pemberian amanah,
juga terdapat sasaran strategis, indikator kinerja dan target yang diperjanjikan untuk
dilaksanakan dalam 1 (satu) tahun serta memuat rencana anggaran untuk program
dan kegiatan yang mendukung pecapaian sasaran strategis.

III. Pengukuran Kinerja

Pengukuran kinerja merupakan langkah untuk membandingkan realisasi kinerja


dengan sasaran (target) kinerja yang dicantumkan dalam lembar/dokumen perjanjian
kinerja dalam rangka pelaksanaan APBN/APBD tahun berjalan. Pengukuran kinerja
dilakukan oleh penerima tugas atau penerima amanah pada seluruh instansi
pemerintah. Penjelasan lebih lanjut mengenai pengukuran akan ditulis pada posting
selanjutnya.

IV. Pengelolaan Kinerja

Pengelolaan kinerja merupakan proses pencatatan/registrasi, penatausahaan dan


penyimpanan data kinerja serta melaporkan data kinerja. Pengelolaan data kinerja
56
Lihat Peraturan Presiden Nomor 29 Tahun 2014 tentang Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi
Pemerintah j.o Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Dan Reformasi Birokrasi
Republik Indonesia Nomor 53 Tahun 2014 Tentang Petunjuk Teknis Perjanjian Kinerja, Pelaporan
Kinerja Dan Tata Cara Reviu Atas Laporan Kinerja Instansi Pemerintah

38
mempertimbangkan kebutuhan instansi pemerintah sebagai kebutuhan manajerial,
data/laporan keuangan yang dihasilkan dari sistem akuntansi dan statistik
pemerintah. Penjelasan lebih lanjut mengenai pengelolaan kinerja akan ditulis pada
posting selanjutnya.

V. Pelaporan Kinerja

Pelaporan kinerja adalah proses menyusun dan menyajikan laporan kinerja atas
prestasi kerja yang dicapai berdasarkan Penggunaan Anggaran yang telah
dialokasikan. Laporan kinerja tersebut terdiri dari Laporan Kinerja Interim dan
Laporan Kinerja Tahunan. Laporan Kinerja Tahunan paling tidak memuat
perencanaan strategis, pencapaian sasaran strategis instansi pemerintah, realisasi
pencapaian sasaran strategis dan penjelasan yang memadai atas pencapaian kinerja.

VI. Review Dan Evaluasi Kinerja

Review merupakan langkah dalam rangka untuk meyakinkan keandalan


informasi yang disajikan sebelum disampaikan kepada pimpinan. Review tersebut
dilaksanakan oleh Aparat pengawasan intern pemerintah (inspektorat) dan hasil
reviu berupa surat pernyataan telah direview yang ditandatangani oleh Aparat
pengawasan intern pemerintah. Sedangkan evalusi kinerja merupakan evaluasi
dalam rangka implementasi SAKIP di instansi pemerintah.

B. Undang-Undang No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik


untuk mendorong Partisipasi Aktif Masyarakat terhadap Jalannya
Pemerintahan

Sebelum era reformasi atau tepatnya pada era orde baru, hampir tidak ada ruang
bagi masyarakat dalam melakukan pengawasan terhadap jalannya pemerintahan,
apabila ada masyarakat yang mencoba untuk menggali informasi khusunya terkait
anggaran atau transparansi pelaksanaan kebijakan kebanyakan berakhir di balik
jeruji. Hingga yang terjadi pemerintahan yang korup karena pengawasan yang
kurang.

Pasca era orde baru, keran demokratisasi mulai dibuka dengan kebebasan pers
dan berpendapat masyarakat. Hal ini memberi ruang bagi masyarakat untuk
berpartisipasi dalam jalannya pemerintahan melalui pengawasan. Pengawasan aktif

39
masyarakat bisa menjadi instrument penting dalam menjaga agar roda pemerintahan
benar-benar berjalan on the track.

Terlebih dengan adanya UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan


Informasi Publik (KIP) maka pemerintah diamanatkan untuk membuka informasi
terkait penyelenggaraan pemerintahan kepada masyarakat.

Menurut UU KIP, yang dimaksud dengan informasi publik adalah informasi


yang dihasilkan, disimpan, dikelola, dikirim, dan/atau diterima oleh suatu badan
publik yang berkaitan dengan penyelenggara dan penyelenggaraan negara dan/atau
penyelenggara dan penyelenggaraan badan publik lainnya yang sesuai dengan
Undang-Undang ini serta informasi lain yang berkaitan dengan kepentingan publik.57

Dengan adanya amanat UU Keterbukaan Informasi Publik maka seluruh


instansi pemerintah baik pemerintah pusat dan pemerintah daerah (Provinsi dan
Kabupaten/kota) diwajibkan untuk memberikan informasi kepada masyarakat
melalui media penyebaran informasi terkecuali jenis informasi yang mendapatkan
pengecualian oleh undang-undang. Penyediaan informasi oleh badan publik
pemerintah dilaksanakan oleh Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID).
Pejabat PPID bertanggung jawab pada penyimpanan, pendokumentasian, penyedian,
dan/atau pelayanan informasi.

Agar keterbukaan informasi publik berjalan sebagaimana mestinya, maka


dibentuklah Komisi Informasi. Komisi Informasi ini juga merupakan pelaksanaan
lanjutan terkait UU KIP. Komisi ini bertugas untuk menyelesaikan sengketa
informasi publik melalui mediasi dan/atau ajudikasi nonlitigasi disamping berfungsi
menjalankan undang-undang dan peraturan pelaksanaannya.58
Demi mencapai Terselenggaranya good governance merupakan prasyarat utama
untuk mewujudkan aspirasi masyarakat mencapai tujuan dan cita – cita bangsa dan
negara. Untuk mewujudkan hal tersebut maka menurut Sedarmayanti diperlukan
sistem pertanggungjawaban yang tepat, jelas dan nyata sehingga penyelenggaraan
pemerintahan dan pembangunan dapat lebih berdaya guna dan berhasil guna dan
bertanggungjawab.59

57
Pasal 1 ayat (2) UU KIP
58
Pasal 23 UU KIP
59
Sedarmayanti, Good Governance (Kepemerintahan Yang Baik) Dalam Rangka Otonomi Daerah,, Loc.Cit,
hal.2

40
Apabila kita melihat sistem pertanggungjawaban pemerintah daerah yang
dilaskanakan berdasarkan Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintah Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2007 maka terlihat
bahwa pertanggungjawaban yang dilaksanakan terdiri dari 3 (tiga) jenis
pertanggungjawaban yaitu pertanggungajwaban vertical ke pemerintah pusat,
pertanggungjawaban horisontal kepada DPRD dan pertanggungjawaban kepada
masyarakat. Bila kita melihat bahwa ketiga unsur dalam good governance yaitu
pemerintah, swasta dan masyarakat maka terlihat bahwa ketiga unsur tersebut sudah
dilibatkan dalam pertanggungjawaban pemerintah daerah.

Keterbukaan informasi memberi peluang bagi rakyat untuk berpartisipasi dalam


berbagai kebijakan publik. Kondisi ini sekaligus dapat mendorong terciptanya clean
and good governance karena pemerintah dan badan-badan publik dituntut untuk
menyediakan informasi yang lengkap mengenai apa yang dikerjakannya secara
terbuka, transparan dan akuntabel.

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Maraknya kasus korupsi di berbagai pemerintah daerah dapat ditemukan fakta

salah satunya faktor penyebabnya adalah pengawasan yang tidak dijalankan

dengan efektif. Sehingga akuntabilitas tidak berjalan dengan baik. Pemerintahan

yang dijalankan tanpa pengawasan yang maksimal akan menghasilkan

pemerintahan yang rentan melakukan praktik korupsi. Pengawasan dan

pertanggungjawaban saling berkaitan erat satu sama lain. Idealnya, pengawasan

yang efektif akan menimbulkan pertanggungjawaban yang maksimal, begitupun

sebaliknya. Kemudian hukuman yang rendah terhadap koruptor rata-rata 2 tahun

41
5 bulan menyebabkan hilangnya efek jera dan rasa takut terhadap koruptor dan

orang yang ingin melakukan korupsi.

2. Untuk mendorong terwujudnya good governance maka langkah yang harus

dilakukan dengan akuntabilitas yang baik dan transparan. Hal ini sebetulnya

sudah diinisiasi oleh pemerintah pusat melalui Sistem Akuntabilitas Kinerja

Instansi Pemerintah (SAKIP) yang disusun secara periodik dan dapat diakses

publik. Kemudian partisipasi aktif masyarakat dalam pengawasan pemerintahan

juga berdampak signifikan untuk mencegah timbulnya korupsi. Peran

masyarakat sesungguhnya sudah dilindungi melalui Undang-Undang No. 14

Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik yang mengharuskan

pemerintahan menyampaikan transparansi informasi kepada publik, dengan

begitu setiap kebijakan dapat diawasi publik.

B. Saran

1. Masih adanya penyelewengan dana desa harus menjadi sektor prioritas yang

harus diperbaiki. Pengawasan yang bertingkat ternyata tidak menjamin dana

desa digunakan sebagaimana mestinya, bahkan aparat pengawas juga ikut

bermain. Idealnya pencairan dana desa tidak langsung diberikan begitu saja,

harus ada formulasi preventif yang mencegah penyelewengan sejak awal.

Misalnya, apabila desa ingin dana desa itu dicairkan, maka desa tersebut harus

sudah memiliki perencanaan untuk apa saja anggaran tersebut dan bagaimana

mekanisme pengawasannya nanti.

2. Apatisme masyarakat terhadap penyelenggaraan kebijakan pemerintahan akan

menimbulkan kerugian bagi masyarakat itu sendiri karena tanpa pengawasan,

potensi untuk penyelewengan itu besar. Apatisme tersebut sebenarnya bisa

42
diatasi dengan sosialisasi Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik

sebagai instrument yang menjamin masyarakat dalam mengawasi pemerintah.

Sehingga rasa memiliki masyarakat terhadap pemerintah akan muncul.

43
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Budiarjo, M. (1998). Menggapai Kedaulatan Rakyat. Jakarta: Mizan.
Hadi, M. (2004). Undercover: Peradilan Skandal Korupsi di DPRD Kota Surabaya.
Surabaya: ICW.
Handayaningrat, S. (1996). Pengantar Studi Ilmu Administrasi dan Manajemen.
Jakarta: Gunung Agung.
Isra, S. (2006). Reformasi Hukum Tata Negara. Padang: Andalas Univ. Press.
J.G, J., & Dwivedi. (1989). Public Accountability. Kumarian: Press Inc.
Kaloh, J. (2002). Mencari Bentuk Otonomi Daerah. Jakarta: Rineka Cipta.
Mahsun, M. (2006). Pengukuran Kinerja Sektor Publik. Yogyakarta: BPFE.
MD, M. M. (1999). Hukum dan Pilar – Pilar Demokrasi. Yogyakarta: Gama Media.
Minogue, M. C., & Hume, D. (1998). Beyond the New Public Managment : Changing
Ideas and Practices in Governance. Northampton: Edward Elgar Publishing.
Ndraha, T. (2003). Kybernologi (Ilmu Pemerintahan Baru). Jakarta: Rineka Cipta.
Office, T. W. (2004). Memerangi Korupsi di Indonesia (Memperkuat Akuntabilitas
Untuk Kemajuan. Jakarta: World Bank.
Sarundajang, S. (2002). Arus Balik Kekuasaan Pusat ke Daerah. Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan.
Sedarmayanti. (2003). Good Governance (Kepemerintahan Yang Baik) Dalam Rangka
Otonomi Daerah. Bandung: Mandar Maju.
Situmorang, V. M., & Juhir, J. (1998). Aspek Hukum Pengawasan Melekat Dalam
Lingkungan Aparatur Pemerintah. Jakarta: Rineka Cipta.
Soekarno. (1986). Dasar-Dasar Manajemen. Jakarta: Miswar.
Sujamto. (1986). Beberapa Pengertian di Bidang Pengawasan. Jakarta: Ghalia
Indonesia.
UNDP. (1995). Public Sector Management, Governance, and Sustainable Human
Development. New York: UNDP.
Wasistiono, S. (2003). Kapita Selekta Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.
Bandung: Fokus Media.
Widodo, J. (2001). Good Governance (Telaah dan Dimensi Akuntabilitas dan
Kontrol Birokrasi Pada Era Desentralisasi dan Otonomi Daerah). Surabaya:
Insan Cendekia

Jurnal:
S.Karhi, N. (1997). Beberapa Catatan Tentang Good Governance. Jurnal Administrasi
Dan Pembangunan, 1(2), 119.
Dedeona, H. T. (2007, Maret). Akuntabilitas Kelembagaan Eksekutif. Jurnal Ilmu
Adminsitrasi, 4(1), 16.

Anda mungkin juga menyukai