Anda di halaman 1dari 4

KPK Tak Akan Tumbang

Fahmi Ramadhan Firdaus


Faculty of Law, University of Jember, Indonesia
fhmiramadhan@gmail.com

Tak ada yang mengira sebelumnya, di subuh pagi yang tenang tiba-tiba 2 orang dengan
berkendara sepeda motor menyiramkan air keras ke wajah Novel Baswedan. Penyidik KPK itu
mengalami luka serius dan mengganggu penglihatannya, pelaku biadab itu lalu melarikan diri.
Untung saja air keras tadi tak sampai membuat penglihatan Novel buta, tak bisa lagi Novel
menanyai saksi, membaca berkas dan mungkin pengusutan kasus e-KTP berhenti, stop.
Jika melihat dengan teori kausalitas ( sebab – akibat ) Sulit rasanya jika mengelak, serangan
terhadap Novel tak terkait dengan apa yang ditanganinya saat ini, Mega Korupsi e-KTP. Rapi
dan terorganisir, serangan ini bisa dimaknai sebagai “Serangan Balik Koruptor”. Koruptor
sepertinya sudah mulai tidak nyaman dengan barisan pemberantasan korupsi di KPK. Bagi
mereka tak cukup rasanya jika hanya melakukan serangan secara institusional melalui revisi
UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK. Dewan Pengawas, izin penyadapan, dan pelarangan
merekrut penyidik independen, misalnya, adalah poin-poin yang mau dimasukkan dalam
rencana perubahan undang-undang. Penyadapan dan penyidik independen merupakan tar.
Revisi terhadap UU No. 30 Tahun 2002 dengan mengubah institusi penasehat KPK menjadi
Dewan Pengawas, penyadapan yang memerlukan izin administratif Dewan Pengawas dalam
menyadap, dan tidak diperbolehkannya penyidik independen adalah usaha licik. Yang kulitnya
seolah-olah memperkuat KPK, namun isinya ingin membunuh KPK dengan perlahan.
Pelemahan institusional dan pelemahan secara fisik sudah dilancarkan oleh oknum-oknum
yang tak ingin KPK ada. Apa yang terjadi pada Novel, sangat mungkin terjadi kepada setiap
orang yang kontra terhadap korupsi.
Tugas Komisioner KPK sekarang adalah harus lebih berfokus pada kondisi internal dan
penindakan seperti apa yang diamanatkan undang-undang, menghabiskan waktu bersama
penyelidik dan penyidik untuk menyelesaikan banyak kasus, tak hanya e-KTP saja. Hal-hal
yang bersifat seremonial seperti seminar, undangan dari perguruan tinggi dan kerjasama
dengan berbagai pihak atau segala hal yang berkaitan dengan pencegahan bisa didelegasikan
kepada direktorat yang memang didesain untuk itu, intinya KPK harus menindak, menindak
dan evaluasi.
Terkait penanganan masalah Novel, kepolisian harus bisa menyelesaikan kasus ini secepatnya.
Bukan bermaksud berfikiran buruk, tapi sepanjang perjalanan sejarah kepolisian tak pernah
serius menyelesaikan perkara yang menyerang aktivis, penyidik KPK namun selalu ngebut jika
mengurusi perkara yang merugikan penguasa. Nangkap yang mau makar dan terduga teroris
saja tak sampai satu jam, masa yang menyiram air saja sampai berhari-hari tak bisa tertangkap
pelakunya. Kita semua berharap pelaku segera tertangkap, tapi tidak sampai disitu saja. Semua
harus tuntas, siapa aktor intelektualnya apakah ada keterkaitan dengan kasus korupsi e-KTP.
Lalu bagaimana dengan peran negara? Negara wajib untuk turun tangan, karena ini adalah
perintah konstitusi. Penyerangan terhadap Novel bukanlah hal yang membuat gerakan
pemberantasan korupsi melemah, malah menjadi momentum kebangkitan yang lebih kuat
gerakan melawan korupsi dari semua elemen. Cepat sembuh Novel, doa kami tak akan putus.
Kembali kepada pembahasan bagaimana dampak terhadap KPK atas kasus e-KTP yang
ditangani sekarang sangat rentan terhadap intervensi politik. Sidang perdana kasus korupsi
pengadaan Kartu Tanda Penduduk berbasis elektronik (kasus korupsi e-KTP) pada 2011-2012
telah dilangsungkan pada Kamis (9/3/2017)1. Seperti yang diperkirakan dan dibicarakan
sebelumnya, dakwaan yang dibacakan akan menimbulkan kegaduhan baru. Benar saja,
ternyata ada lebih dari 35 nama yang disebutkan dalam dakwaan dan diperkirakan menerima
aliran uang panas anggaran e-KTP yang merugikan negara sebesar 2.3 Triliun ( diperkirakan
lebih ).
Kasus ini sebenarnya bukan kasus baru, dimulai di Era SBY tahun 2010. Proyek ini banyak
kejanggalannya, ditemukan pada 2 September 2011, Dugaan penyimpangan dan keraguan
terkait proyek pendataan penduduk melalui E-KTP mulai muncul di DPR. Namun tanggal 27
Januari 2012, Kejaksaan Agung menghentikan penyidikan kasus dugaan korupsi pengadaan
perangkat lunak, perangkat keras dan sistem blanko dalam uji coba E-KTP. Penyidikan
dihentikan karena Kejaksaan tidak mendapat alat bukti yang cukup.
Pada 22 April 2012, KPK menelusuri dugaan keterlibatan sejumlah anggota DPR dalam kasus
E-KTP. Dugaan ini diungkapkan mantan Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad
Nazaruddin. KPK menetapkan Pejabat pembuat pembuat Komitmen di Direktorat Jendral
Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri Sugiharto sebagai tersangka.
2 Tahun melakukan pemeriksaan, barulah pada 24 April 2014, KPK menemukan sejumlah
bukti kejanggalan dalam proyek pengadaan paket penerapan E-KTP. Selain dugaan
penggelumbungan dana proyek pengadaan paket penerapan E-KTP, KPK juga menemukan
dugaan penyelewengan proses tender. Tepatnya 19 November 2014, KPK kembali
menggeledah kantor Direktorat Jendral Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kemendagri.
30 September 2016, KPK menetapkan mantan Direktur Jendral Kependudukan dan Pencatatan
Sipil Kemendagri, Irwan sebagai tersangka.
Sidang perdana pada 6 Maret 2017, KPK membacakan dakwaan setebal 121 halaman terkait
kasus korupsi pengadaan E-KTP serta menyebutkan peran dan posisi ke 23 Pejabat
Penyelenggara Negara yang diduga menerima aliran dana dalam kasus itu. Namun, penetapan
status dari 23 nama itu menunggu pengungkapan fakta yang akan digelar selang beberapahari.
Terjawab sudah keraguan dan tanda tanya besar warga negara Indonesia yang belum
mendapatkan e-KTP karena blangkonya kosong, atau yang sudah mendapatkan e-KTP tapi
belum setahun digunakan sudah rusak.

1
https://news.detik.com/foto-news/d-3442441/sidang-perdana-kasus-proyek-e-ktp ( Diakses pada 23 Maret
2017, pukul 19.20 WIB )
Dan terjawab pula mengapa akhir-akhir ini DPR RI menggalakan kembali upaya revisi UU
KPK bahkan sudah sosialisasi ke kampus – kampus. Tentu saja hal ini untuk memberikan
pressure kepada KPK dan upaya DPR memberikan warning “Jangan macam – macam dengan
kami”. Hal senada juga diungkapkan Ketua DPR, Papa Novanto agar KPK tidak membuat
kegaduhan. Kita lihat manuver apa yang Novanto lakukan berikutnya, ia memiliki track record
yang buruk sebagai pejabat publik dan tak etis menjadi Ketua DPR. Dimulai dari Kasus Bank
Bali, dia lolos. Kasus penyelendupan beras vietnam dan limbah beracun, dia kembali lolos.
Kasus PON Riau 2012, padahal sudah cukup alat bukti dia masih lolos2. Terakhir, kasus e-KTP
ada kerugian triliun, akankah Papa masih lolos?
Inilah yang dikhawatirkan, serangan balik oleh pihak – pihak lawan yang dirugikan kepada
KPK. Revisi UU KPK merupakan upaya nyata para politisi parlemen untuk mengebiri KPK.
Kedepan, tak ada yang tahu akan seperti apa upaya – upaya pelemahan KPK. Apakah akan
sama seperti yang dulu, dimana para pimpinan KPK seperti Antasari Azhar dan Abraham
Samad cs yang dikriminalisasi saat menyentuh kasus yang berkaitan langsung dengan
penguasa dan orang – orang besar dibaliknya.
Revisi UU KPK sudah lama masuk dalam program legislasi DPR. Setidaknya ada empat poin
yang dianggap melemahkan :
• KPK harus minta izin Dewan Pengawas dalam penyadapan;
• KPK nantinya akan diawasi oleh Dewan Pengawas;
• KPK dapat menghentikan perkara (SP3);
• KPK hanya diberi kewenangan menangani perkara korupsi di atas Rp 50 miliar.
Terkait masalah penyadapan, sebenarnya Mahkamah Konstitusi sudah memberikan wewenang
penyadapan kepada KPK, hal ini didasari karena kepentingan yang jauh lebih besar. Yaitu
kepentingan negara. Alasan Hak Asasi Manusia sudah tidak bisa lagi dijadikan dasar untuk
mengebiri kewenangan penyedapan, yah karena kepentingan nasional yang dilindungi.
Penyadapan ibarat taringnya KPK, jika kewenangan ini dibatasi maka kekuatan lembaga ini
hampir hilang separuh. KPK juga tak main-main dalam membutunti seseorang, tidak 1 atau 2
hari, bahkan bisa sampai bertahun-tahun.
Pemberian SP3 juga tidak ada urgensinya. Dalam setiap menangani kasus, KPK selalu
berhati-hati melakukan penyelidikan. Adalah wewenang hakim yang memutuskan di
pengadilan.

2
https://m.tempo.co/read/news/2015/11/17/078719654/5-kasus-yang-membelit-setya-novanto ( Diakses
pada 23 Maret 2017, pukul 20.10 WIB )
Adapun dengan dewan penasehat, ini bisa membahayakan posisi KPK dalam setiap
penanganan kasus tindak pidana korupsi. Tidak ada dasar filosofis kalau selalu ada izin dalam
menindak korupsi. Karena apabila dewan pengawas masuk substansi ini bisa berbahaya.
Padahal sejak awal berdiri KPK sudah punya independensi dan bebas dari intervensi dalam
menangani kasus korupsi. Jika ada pengawas tak ada lagi kemandirian, harus lapor sana sini.
Lebih baik DPR dan Pemerintah menyelesaikan Revisi Undang – Undang Terorisme, Revisi
Undang – Undang Tindak Pidana Korupsi dan RUU KUHP ver. Indonesia yang lebih
mendesak bagi kepentingan bangsa dan negara, daripada sibuk membredel KPK.
Perubahan atas UU No 30 Tahun 2002 ini harus benar-benar dikaji secara matang. Selain dari
pihak KPK, DPR dan Pemerintah juga harus melibatkan para ahli dan tokoh akademisi, terjun
ke kampus - kampus untuk menyelesaikan masalah konsep tersebut.
Jadi naskah akademik itu nantinya akan tersusun secara komprehensif dan menguntungkan
semua pihak. Harus ada komunikasi dan duduk bersama serta tidak membawa kepentingan
politik partai. Jangan malah jalan sendiri-sendiri dan memikirkan partai. Revisi itu perlu untuk
memperbaiki, bukan melemahkan
Sementara ini ada 14 pihak terkait yang sudah mengembalikan uangnya ke KPK dan bertindak
kooperatif namun ada juga pihak yang tidak kooperatif dan diduga menerima dana lebih besar
namun tidak dikembalikan kepada negara.
Banyaknya nama besar yang terlibat dan lamanya waktu pemeriksaan serta besarnya kerugian,
cukup membuktikan bahwa kasus ini masuk dalam kategori “Mega Korupsi” yang masif.
Namun jangan terlalu bahagia jika kasus KTP-el disebut "Mega Korupsi". Dalam catatam
historis, kasus-kasus besar biasanya berakhir "too big to fail". BLBI (1998), Bank Bali (1999),
Century (2008), Hambalang (2009). Ada semacam konsensus untuk "stop sampai di dia saja".

Fahmi Ramadhan Firdaus, Bachelor of Law Student at Faculty of Law, University of


Jember

Anda mungkin juga menyukai