Anda di halaman 1dari 3

Tugas Kelompok II

Sosiologi Hukum

Dosen: Dr. Ratih Lestarini, S.H., M.H.

URGENSI PERADILAN ADAT

1. Dede (1906325280) (Presenter)


2. Indah Fitriani Sukri (1906325734)
3. Aloysius Eka Kurnia (1906409001) (Presenter)
4. Fahmi Ramadhan Firdaus (1906325551) (Presenter)
5. Ardyansyah Jintang (1906324990)
6. Moh. Mahrus (1906325974)
7. Christopher (1906409222)
8. Putri Nurmala Sari Siahaan (1906326264) (Presenter)
9. Ahmad Fauzi (1906408970)
10. Khalid Dahlan (1906325766)
11. Syifa Al Huzni (1906326541)
12. Syafrizal Latief (1906410211)
Pokok Diskusi

Dalam Pasal 18B UUD NRI Tahun 1945 Negara mengatur mengenai pengakuan
kesatuan hukum adat yang memisahkan dengan pengertian masyarakat adat. Pemisahan
masyarakat adat dan masyarakat hukum adat itu memiliki satu kesatuan yang sama yang
tidak dapat dipisahkan. Akan tetapi di dalam Pasal 24 UUD NRI Tahun 1945 tentang
Kekuasaan Kehakiman menjabarkan bahwa di Indonesia hanya memiliki peradilan umum,
peradilan agama, peradilan tata usaha negara dan peradilan militer dibawah wewenang
Mahkamah Agung serta Mahkamah Konstitusi. Selain daripada itu dalam UU Nomor 6
Tahun 2014 tentang Desa memasukkan kembali pengakuan masyarakat hukum adat
beserta pelaksaanaa peradilan adat. Hal ini menunjukkan disharmoni peraturan
perundang-undangan yang dibentuk oleh Legislator. Belajar dari sejarah konstitusi di
Indonesia bahwa sistem federal dalam konstitusi membuat pengaturan tentang
masyarakat hukum adat menjadi kacau, sehingga untuk menjalankan masyarakat hukum
adat yang efektif harus diatur dalam konstitusi yang terpusat.
Pengakuan masyarakat hukum adat lebih dikaitkan dengan kekuasaan kehakiman,
dimana Kekuasaan Kehakiman harus memutus perkara yang bersifat progresif tidak
sekedar putusan yang legalistic formalistik. Biasanya masyarakat adat lebih percaya
kepada peradilan adat karena dinilai lebih efektif dalam penyelesaian sengketa.
Pelaksanaan hukum adat ini sudah diberlakukan di Papua dan Aceh dan
dilembagakan secara formal dengan Peraturan Daerah Khusus, yang notabene nya kedua
daerah tersebut merupakan daerah dengan otonomi khusus. Oleh sebab itu kedua daerah
tersebut mengakui Peradilan Adat sebagai sarana dalam penyelesaian sengketa.
Lain halnya dengan daerah Samosir yang berada di Provinsi Sumatera Utara,
Peradilan Adat diakui sebagai lembaga penyelesaian sengketa baik Pidana maupau Perdata
meskipun tidak diinstitusionalkan di dalam peraturan daerah. Pemberlakuan peradilan
adat ini dibuktikan dengan adanya sanksi bagi para pelanggar baik ganti rugi maupun
sanksi sosial lainnya. Meski di daerah tersebut terdapat institusi penegak hukum seperti
kepolisian, namun tidak menegasikan eksistensi peradilan adat.
Naskah asli UUD 1945 sebenarnya tidak mengatur tentang peradilan adat dan
peradilan adat tidak mendesak untuk diinstitusionalkan. Karena peradilan konvensional
masih mengakomodir masyarakat adat untuk penyelesaian sengketa. Di daerah Sumatera
Utara Peradilan adat masih berlaku dan masyarakat adat itu diakuai keberadaannya,
namun tidak diinstitusionalkan yang berbeda dengan di daerah Aceh yang sudah
diinstitusionalkan. Peradilan adat masih diperlukan tapi tidak harus diinstitusionalkan
yang diatur sedemikan rupa oleh hukum negara.
Jadi dapat disimpulkan bahwa ketiadaan peradilan adat dalam regulasi yang diatur
secara eksplisit tidak mengurangi eksistensi norma hukum adat, yang mana penegak
hukum dalam putusannya tidak dapat mengabaikan nilai-nilai yang hidup dalam
masyarakat hukum adat (living law). Dengan mengakui keberadaan mekanisme
penyelesaian sengketa atau perkara melalui cara-cara adat, merupakan salah satu bentuk
konkrit bagaimana negara benar-benar memberi pengakuan dan penghormatan terhadap
masyarakat hukum adat.

Anda mungkin juga menyukai