Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH PERADILAN AGAMA DI INDONESIA

LATAR BELAKANG TERKAIT LAHIRNYA PASAL-PASAL


MENGENAI PERADILAN AGAMA DI INDONESIA

Dosen Pengampu :
Sri Asmita,S.H.I.,MA.Hk
Disusun oleh:
Kelompok 3

Sari Damayanti (2130101158)


Wilhi Mina (2130101148)
Mutiara Maharani (2130101134)
Debi Candra (2130301139)
Adellia Safitri (2130101130)

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM


FAKULTAS SYARIAH & HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN FATAH PALEMBANG
2023
PEMBAHASAN

A. Lahirnya UU No.14 Tahun 1970 Tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman


Kelahiran UU No.14 Tahun 1970 tentang pokok-pokok Kekuasaan kehakiman itu
sendiri ditandai dengan perdebatan-perdebatan tentang negara hukum, yang pada saat
Sukarno berkuasa, konsepsinya dijadikan justifikasi. Daniel S Lev mengatakan bahwa
Negara Hukum di Indonesia mengalami pasang surut. Pada era Demokrasi Parlementer
tahun 1950-1957, negara hukum menjadi ideologi pengabsah republik konstitusional. Pada
era Demokrasi Terpimpin, negara hukum tenggelam di bawah tekanan patrimonialisme
rezim dan ideologinya yang radikal populis dan pada era oder baru, perbincangan negara
hukum menguat seiring menguatnya reaksi atas praktek Demokrasi Terpimpin. Ada
optimisme untuk membangun kembali negara hukum Indonesia, tetapi seiring dengan
diundangkannya UU No.14 tahun 1970, optimisme itu berubah ke pesimisme. Sebab
tuntutan para hakim dan advokat untuk mewujudkan kekuasaan kehakiman yang bebas dari
campur tangan eksekutif seperti pupus dengan adanya dualisme kekuasaan kehakiman yang
di adopsi dalam UU No.14 tahun 1970, dimana hakim secara organisatoris, administratif
dan keuangan dibawah eksekutif, sementara di bidang peradilan dibawah Mahkamah
Agung. Meskipun demikian, gagasan untuk mendukung negara hukum tetap kuat.1
Dalam rangka memenuhi ketentuan Pasal 24 Undang-Undang Dasar 1945, pada
tahun 1964 keluarlah Undang-Undang No. 19 Tahun 1964, tentang Ketentuan-ketentuan
Pokok Kekuasaan Kehakiman. Yang kemudian diganti dan disempurnakan dengan
Peraturan Pemerintah No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman. Pasal 10 Peraturan Pemerintah No. 14 Tahun 1970 menentukan bahwa
Kekuasaan Kehakiman dilaksanakan oleh empat lingkungan peradilan, yaitu:
1. Peradilan Umum;
2. Peradilan Agama;
3. Peradilan Militer;
4. Peradilan Tata Usaha Negara.
Dalam proses pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Pokok-pokok
Kekuasaan Kehakiman ini, masalah peradilan agama menjadi lingkungan sendiri yang
melaksanakan sebagian kekuasaan kehakiman telah dibahas secara mendalam. Fraksi
Partai MURBA melalui juru bicaranya Sahat M. Nainggolan menyampaikan pendapat

1
Daniel S. Lev, Politik dan Hukum di Indonesia, Kesinambungan dan Perubahan, Jakarta:LP3ES, 1990 h. 384-
385.
bahwa, "... hukum adat dan hukum agama pada kenyataannya sama kuat dalam masyarakat
maka peradilan agama supaya diserahkan kepada lembaga-lembaga agama yang
bersangkutan. Jadi bukan diatur oleh negara. Negara hanya sekadar memberikan bimbingan
dan pengawasan. Dari segi teknis organisatoris, jika terlalu banyak macam peradilan, maka
akan makin kacaulah peradilan. 2 "Fraksi Partai Katholik menyarankan agar peradilan
hanya terdiri dari dua macam peradilan, yakni Peradilan Umum dan Peradilan Militer
dengan kemampuan masing-masing mengadakan diferensiasi secara limitatif dan
berdasarkan asas efisiensi. Dan, beberapa fraksi lainnya berpendapat bahwa adanya empat
lingkungan peradilan yang berbeda-beda dalam Rancangan Undang-Undang tersebut
dianggap sebagai kurang sejalan dengan prinsip equality before the law. Terhadap
pandangan fraksi-fraksi, Menteri Kehakiman Prof. Omar Senoadji, S.H., selaku wakil
pemerintah dalam jawaban menyatakan:3

Prinsip "equality before the law" adalah salah satu hak asasi manusia di mana setiap
orang berpihak atasnya. Meskipun demikian, tidak akan mungkin serta tidak akan
adil apabila prinsip ini akan diterapkan pada semua warga negara tanpa membedakan
dan dalam semua perundang-undangan yang ada, sebab tanpa memperkecil arti dari
prinsip equality before the law ini, perbedaan-perbedaan asasi yang ada di antara
warga negara kita yang bertalian dengan: usja, ras, jenis kelamin, jabatan, agama dan
kondisi lainnya, dapat dan seharusnya mendapatkan peraturan-peraturan yang
berlainan dengan hukum bukankah setiap "legal distinction" itu harus dipandang
sebagai "inequality before the law". Sebaliknya tidak dapat pula dikatakan bahwa
asas inequality before the law itu hanya dapat dianggap sah apabila factual
conditions sama secara keseluruhan, oleh karena itu selalu dapat dipikirkan suatu
pengaturan hukum yang mengenai suatu golongan.4

Pada hakikatnya, prinsip equality before the law ini mengandung suatu nilai yang
esensial yang meletakkan kewajiban pada pembuat undang-undang untuk menjauhkan diri
dari tindakan diskriminatif, sehingga menguntungkan atau merugikan suatu golongan, atau
secara umum meremehkan nilai-nilai moral. Perundang-undangan khusus mengenai

2
Tim Ditbinbapera, Peradilan Agama di Indonesia, cetakan ke-1, Jakarta: Ditjen Binbaga Islam Depag RI, 199,
h.29.
3
Ibid.
4
Ibid.
golongan-golongan agama itu bukanlah dimaksudkan sebagai suatu pengaturan menteri
secara sewenang-wenang, ataupun bermaksud untuk mengurangi martabat manusia dengan
adanya ciri-ciri yang karakteristik yang ada pada golongan agama yang bersangkutan. la
menimbulkan legal disction bukan suatu diskriminasi sewenang-wenang, sehingga ia tidak
dapat dipandang sebagai suatu equality before the law.5
Sebenarnya peradilan agama dapat menentukan mengenai wewenangnya dilihat dari
segi yuridisnya adalah ketentuan penjelasan Pasal 10 Undang-Undang No. 14 Tahun 1970
yang menyebutkan bahwa undang-undang ini membedakan antara empat lingkungan
wewenangnya mengadili perkara tertentu dan meliputi badan-badan peradilan tingkat
pertama dan banding. Peradilan agama, militer, dan tata usaha negara merupakan peradilan
khusus, karena pengadilan perkara-perkara tertentu, sedangkan peradilan umum adalah
peradilan bagi rakyat pada umumnya mengenai baik perkara perdata maupun pidana.
Perbedaan dalam empat lingkungan peradilan ini, tidak menutup adanya pengkhususan
(diferensi/spesialisasi) dalam masing-masing lingkungan, misalnya dalam peradilan umum
dapat diadakan pengkhususan dengan pengadilan lalu lintas, pengadilan anak-anak,
pengadilan ekonomi, dan sebagainya dengan undang-undang.
Artinya bahwa empat lingkungan peradilan, masing-masing mempunyai
lingkungan wewenang mengadili perkara-perkara tertentu atau mengenai golongan
tertentu, sedangkan pengadilan umum adalah peradilan untuk semua warga negara baik
perdata maupun pidana. Dengan adanya undang-undang peradilan khusus, yakni
pengadilan agama, pengadilan militer dan pengadilan tata usaha negara, maka harus
diambil kewenangan-kewenangan itu dari Peradilan Umum. Oleh sebab itu, dalam
menentukan kewenangan peradilan agama harus ditentukan secara jelas sehingga tidak ada
lagi kemungkinan yuridische Gechil antara Peradilan Umum dan Peradilan Khusus dengan
cara seperti Undang-Undang Pengadilan Ekonomi. Menurut anggota panitia Mahkamah
Agung, Muhammad Iskak Sumoanidjojo, S.H., bahwa pengadilan/peradilan agama dan
militer masing-masing merupakan jenis pengadilan/peradilan yang khas, yaitu khusus
bagi/mengenai golongan manusia yang terikat pada suatu kedudukan khusus pula, yaitu
peradilan agama adalah hukum agama dan bagi Peradilan Militer hukum militer.
Di Indonesia Kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh sebuah Mahkamah Agung
dan badan peradilan yang ada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan
peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara dan

5
Ibid.
oleh sebuah Mahkamah Konstitusi (pasal 24 ayat (2) UUD 1945 setelah perubahan).
Sebelumnya Undang-Undang yang secara khusus mengatur tentang kekuasaan kehakiman
adalah Undang-Undang No.14 Tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman dan Undang-Undang No. 35 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas UU No.14
Tahun 1970. Undang-Undang No.14 Tahun 1970 merupakan induk dan kerangka umum
yang meletakan dasar, asas dan pedoman bagi lingkungan peradilan di Indonesia.6
B. Lahirnya UU No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
Sebelum diiberlakukannya Undang-undang Nomor 1 tahun 1974, hukum
perkawinan di Indonesia masih beragam. Seperti yang ditinggalkan oleh penjajah Belanda,
penduduk Indonesia terbagi atas empat golongan, yaitu golongan Eropa, golongan Timur
Asing bukan Cina, golongan Timur Asing dan golongan Bumiputera. Golongan
Bumiputera dipisahkan lagi menjadi penganut agama Kristen (agama yang sama dengan
penjajah Belanda) dan bukan Kristen. Dalam hukum perkawinan, golongan Cina
ditundukkan pada hukum perkawinan yang berlaku buat golongan Eropa (Buku 1 Kitab
Undang-undang Hukum Perdata, BW), golongan Bumiputera Kristen dibuatkan Ordonansi
(undang-undang) tersendiri, yaitu Huwelijks Ordonnantie Christen Indonesia (HOCI)
tahun 1933. Hanya hukum perkawinan untuk penduduk yang beragama Islam dan agama
lain (dari agama Kristen) yang tidak diatur oleh pemerintah Hindia Belanda7.

Lahirnya Undang-undang perkawinan tidak terlepas dari tuntutan masyarakat


Indonesia. Tuntutan ini telah dikumandangkan sejak Kongres Perempuan Indonesia
pertama tahun 1928 yang kemudian secara intensif dikedepankan dalam kesempatan-
kesempatan lainnya berupa harapan perbaikan kedudukan wanita dalam perkawinan.
Perbaikan yang didambakan itu terutama diperuntukkan bagi golongan “Indonesia Asli”
yang beragama Islam yang hak dan kewajibannya dalam perkawinannya tidak diatur dalam
hukum yang tertulis. Hukum perkawinan orang Islam di Indonesia yang tercantum dalam
kitab-kitab fikih, menurut sistem hukum nasional tidak dapat digolongkan ke dalam
kategori hukum tertulis karena tidak tertulis dalam bentuk peraturan perundang-
undangan.8

6
Bambang Sutiyoso, Sri Hastuti Puspitasari, Aspek-Aspek Perkembangan Kekuasaan Kehakiman Di Indonesia,
Yogyakarta: UII Press Yogyakarta, 2005, h.11-12.
7
Busthanul Arifin, Transformasi Hukum Islam ke Hukum Nasional, Jakarta: Yayasan Al-Hikmah, 2001, h. 60.
8
Mohammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002, h. 20-21.
Masalah-masalah yang menjadi pusat perhatian pergerakkan wanita pada waktu itu
adalah soal-soal
1. perkawinan paksa,
2. poligami dan
3. talak yang sewenang-wenang. Karena itu pulalah arah tuntutan perbaikan
ditujukan kepada ketiga persoalan pokok tersebut9

Setelah Indonesia merdeka, proses pembentukan hukum perkawinan nasional


diawali dengan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1956 tentang Pencatatan Nikah Talak
Rujuk (NTR) yang berlaku untuk daerah Jawa dan Madura. Ketentuan itu diberlakukan
untuk seluruh Indonesia melalui Undang-undang Nomor 24 tahun 1964.10

Pada tahun 1952 juga telah diatur oleh Menteri Agama tentang wali hakim di Jawa
dan Madura dan di luar Jawa dan Madura. Ketentuan itu mengatur prosedur pencatatan
nikah, talak, rujuk serta masalah wali, tetapi undang-undang mengenai perkawinan sendiri
belum ada. Pada tahun 1950 pemerintah membentuk sebuah panitia yang bernama Panitia
Penyelidik Peraturan dan Hukum Perkawinan, talak dan Rujuk yang diketuai oleh Teuku
Mohammad Hasan.

Pada tahun 1952, akhirnya panitia itu telah selesai membuat RUU Perkawinan.
Namun rencana tersebut tidak jadi dilangsungkan ke DPR pada waktu itu karena banyak
dikritik oleh beberapa golongan. Panitia tersebut kemudian menyusun undang-undang
perkawinan yang bersifat khusus bagi golongan Islam, Katolik, Protestan, dan sebagainya.
Akhir tahun 1954 panitia yang dimaksud telah menyelesaikan rencana undang-undang
tentang pernikahan menurut Islam, tetapi panitia tersebut bukan lagi diketuai oleh Mr.
Mohammad Hasan, melainkan Mr. Purwosutjipto dari Departemen Agama, RUU
pernikahan umat Islam ini diajukan ke DPR, tetapi pada waktu yang bersamaan muncul
RUU atas inisiatif Ny. Sumari dkk yang bersifat nasional.11

Tetapi Pada tahun 1968 RUU perkawinan umat Islam dan RUU yang diajukan oleh
pemerintah itu mengalami nasib yang sama seperti RUU sebelumnya, karena fraksi
Katolik yang ada di DPRGR waktu itu menolak untuk membahas RUU yang ada

9
Ibid.
10
Warkum Sumito, Perkembangan Hukum Islam di Tengah Kehiduppan Sosial Politik di Indonesia, Malang:
Bayumedia, 2005, h. 121.
11
Ibid.
hubungannya dengan agama. Menurut mereka, berdasarkan dua bilah pedang untuk ajaran
Nasrani, pemerintah dan DPR tidak berhak membicarakan RUU tersebut.12

Pada bulan Juli 1973, Pemerintah kembali memajukan sebuah RUU yang terkenal
dengan Rencana Undang-undang Perkawinan kepada DPR dan setelah mendapat banyak
sekali tanggapan pro dan kontra mengenai beberapa bagian penting materi RUUP tersebut
baik di dalam DPR maupun masyarakat, akhirnya dicapailah suatu konsensus yang
membawa pengaruh pada siding-sidang selanjutnya, sehingga tercapai juga kata mufakat
di antara para anggota DPR.13

Akhirnya dengan mengadakan berbagai perubahan materi dan perumusan


redaksional, maka pada tanggal 18 Desember 1973 seluruh pasal RUU Perkawinan telah
selesai dibicarakan dan disepakati. Pada keesokan harinya, yaitu pada tanggal 19
Desember 1973 juga telah diselesaikan penjelasannya. Kemudian pada hari yang sama,
dibicarakan pasal demi pasal oleh semua fraksi di dalam DPR dan akhirnya semua fraksi
menerima RUU Perkawinan itu dengan sistematika dan isinya seperti yang ada sekarang.14

Setelah mendapat persetujuan dari DPR, Pemerintah mengundangkan Undang-


undang Perkawinan pada tanggal 2 Januari 1974 dalam Lembaran Negara yang kebetulan
nomor dan tahunnya sama dengan nomor dan tahun Undang-undang Perkawinan tersebut
yaitu Nomor 1 Tahun 1974.

Pada tanggal 1 April 1975 setelah satu tahun tiga bulan Undang-Undang
Perkawinan itu diundangkan, lahir Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 yang
memuat peraturan pelaksanaan Undang-undang Peerkawinan tersebut. Dengan demikian,
sejak tanggal 1 Oktober 1975, Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 itu telah dapat
berjalan secara efektif.15

C. Lahirnya PP No.28 Tahun 1977


Perkembangan berikutnya sehubungan dengan peranan Pengadilan Agama dalam
periode 1974-1989 ini adalah lahirnya Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977 tentang
Perwakafan Tanah Milik. Dalam konsiderans Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977
bahwa wakaf adalah suatu lembaga keagamaan yang dapat digunakan sebagai salah satu

12
Ibid.
13
Mohammad Daud Ali, Op.Cit, h. 22.
14
Warkum Sumitro, Op.Cit, h. 127-128.
15
Mohammad Daud Ali, Op.Cit, h. 22-23.
sarana guna pengembangan kehidupan keagamaan dalam rangka mencapai kesejahteraan
spiritual dan materiel menuju masyarakat adil Makmur berdasarkan Pancasila. Hingga
1977 peraturan tentang perwakafan tanah milik selain belum memenuhi kebutuhan akan
cara-cara perwakafan, juga membuka kemungkinan timbulnya hal-hal yang tidak
dimungkinkan karena tidak adanya data lengkap tanah yang diwakafkan. Karena itu perlu
cara pendaftaran tanah wakaf yang teratur. Atas dasar pertimbangan tersebut lahirlah
Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977 tanggal 17 Mei 1977 yang dimuat dalam LN. No.
38, 1977. Peraturan pelaksanaannya dilaksanakan melalui Peraturan Menteri Agama No. 1
Tahun 1978 tentang Perwakafan Tanah Milik. Sebelum itu telah dikeluarkan Peraturan
Menteri Dalam Negeri No. 6 Tahun 1977 tentang Tata Pendaftaran Tanah mengenai
Perwakafan Tanah Milik yang dikeluarkan 26 November 1977. Pada 9 Agustus 1978,
Menteri Agama mengeluarkan Surat KeputusanNo. 73 Tahun 1978 tentang Pendelegasian
wewenang kepada Kanwil Depag se-Indonesia untuk mengangkat/memberhentikan setiap
Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan sebagai pejabat pembuat akta ikrar wakaf.
Sebelumnya pada 23 Januari 1978 dikeluarkan instruksi bersama Menteri Agama dan
Menteri Dalam Negeri No. 1 Tahun 1978 tentang Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No.
28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik. Instruksi tersebut diajukan kepada
Gubernur/Kepala Daerah se-Indonesia dan para Kakanwil Depag se-Indonesia. Isinya
sebagai berikut:
1. Melaksanakan dengan sebaik-baiknya ketentuan Peraturan Pemerintah No. 28
Tahun 1977 dan Peraturan Mendagri No. 6 Tahun 1977 tentang Pendaftaran Tanah
mengenai Perwakafan Tanah Milik serta Permenag No. 178 tentang Peraturan
Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977;
2. Memerintahkan kepada instansi dan pejabat bawahannya untuk menaati dan
melaksanakan instruksi ini serta segenap peraturan pelaksanaannya yang ditetapkan
Menag dan Mendagri sesuai bidang masing-masing;
3. Mengamankan dan mendaftar Perwakafan Tanah Milik yang terjadi sebelum
berlakunya Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977 tanpa biaya apa pun kecuali
biaya pengukuran dan meterai;
4. Memberi laporan tentang pelaksanaan instruksi ini kepada Menag dan Mendagri.
Pada 10 Juni 1991 dikeluarkan Instruksi Presiden RI kepada Menteri Agama agar
menyebarluaskan Kompilasi Hukum Islam yang terdiri dari tiga buku, termasuk Buku 3
tentang Perwakafan. 16
Dalam Pasal 12 peraturan pemerintah ini dinyatakan:
Penyelesaian perselisihan sepanjang yang menyangkut persoalan perwakafan
tanah, disalurkan melalui Pengadilan Agama setempat sesuai dengan keten-
tuan peraturan perundang-undangan.
Penjelasan Pasal 12 ini menyatakan:
Penyelesaian perselisihan yang dimaksud dalam pasal ini yang termasuk yuris-
diksi Pengadilan Agama masalah sah atau tidaknya perbuatan mewakafkan
seperti dimaksud dalam peraturan pemerintah ini dan lain-lain masalah yang
menyangkut masalah wakaf berdasarkan syariat Islam, dengan demikian jelas-
lah bahwa masalah-masalah lainnya yang menyangkut hukum pidana disele-
saikan melalui hukum acara dalam Pengadilan Negeri.
Dengan diundangkannya UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Beserta
Peraturan Pelaksanaannya, diundangkan lagi PP No. 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan
Tanah Milik wewenang adalah semakin luas dan mantap. Apabila diperinci dari ketentuan
pasal-pasal dan peraturan perundang-undangan tersebut, maka wewenang Pengadilan
Agama di bidang perkawinan dan perwakafan meliputi hal-hal sebagai berikut:
1. Bidang Perkawinan mengenai:
a. Izin beristri lebih dari seorang;
b. Izin melangsungkan perkawinan bagi orang yang belum berusia 21 (dua puluh satu)
tahun, dalam hal orang tua atau wali atau keluarga dalam garis lurus ada perbedaan
pendapat;
c. Dispensasi perkawinan;
d. Pencegahan perkawinan;
e. Penolakan perkawinan oleh pegawai pencatat nikah;
f. Pembatalan perkawinan;
g. Gugatan kelalaian atas kewajiban suami atau istri;
h. Perceraian karena talak;
i. Gugatan perceraian;
j. Penyelesaian harta bersama;

16
Ahmad Rafiq, Hukum Islam di Indonesia, Cetakan ke-4, Jakarta:PT RajaGrafindo Persada, 200, h.487.
k. Mengenai penguasaan anak-anak;
l. Ibu dapat memikul biaya pemeliharaan dan pendidikan anak bilamana bapak yang
seharusnya bertanggung jawab tidak memenuhinya;
m. Penentuan kewajiban memberi biaya penghidupan oleh suami kepada bekas istri
atau penentuan suatu kewajiban bagi bekas istri;
n. Putusan tentang sah atau tidaknya seorang anak;
o. Putusan tentang pencabutan kekuasaan orang tua;
p. Pencabutan kekuasaan wali;
q. Penunjukan orang lain sebagai wali oleh pengadilan dalam hal kekuasaan seorang
wali dicabut;
r. Menunjuk seorang wali dalam hal seorang anak yang belum cukup umur 18
(delapan belas) tahun ditinggal kedua orangtuanya padahal tidak ada penunjukan
wali oleh orangtuanya;
s. Pembebanan kewajiban ganti kerugian terhadap wali yang telah menyebabkan
kerugian atas harta benda anak yang ada di bawah kekuasaannya;
t. Penetapan asal usul seorang anak;
u. Penetapan tentang hal penolakan pembenaran keterangan untuk melakukan
perkawinan campuran;
v. Pernyataan tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum Undang-Undang No.
1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan dijalankan menurut peraturan lainnya.
2. Bidang Perwakafan
Bidang perwakafan yang menjadi wewenang peradilan agama yang dimaksud
adalah, penyelesaian perselisihan masalah sah atau tidaknya perbuatan mewakafkan dan
masalah wakaf lainnya yang berdasarkan syariat Islam. Peningkatan perkembangan
Pengadilan Agama pada periode ini dapat dilihat dari bertambahnya Pengadilan Agama
untuk melayani kebutuhan hukum pencari keadilan yang beragama Islam. Gambaran
perkembangan peradilan agama setelah berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan
Tanah Milik
dapat dilihat dari data statistik sebagai berikut. Pada 1980 di seluruh Indonesia terdapat 258
Pengadilan Agama dan 10 Pengadilan Tinggi Agama dengan 571 hakim tetap, 1628 hakim
honorer. Pada 1980 tersebut ada 291.535 kasus yang ditangani oleh pengadilan agama. Dari
kasus-kasus tersebut, 88 persen atau 258.393 adalah kasus-kasus baru tahun itu juga
sebanyak 219.159 (75 persen) dari kasus-kasus itu adalah perkara yang berhubungan
dengan perceraian. Pada 1988 jumlah pengadilan agama meningkat menjadi 301 kantor dan
pengadilan tinggi agama 18 kantor. Hakim tetap pada 1988 meningkat menjadi 1223 orang,
sedangkan hakim honorer tidak bertambah. Ketika cetakan III sebelum ini masih dalam
bentuk naskah akan diketik ulang, telah keluar Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 tentang
Wakaf. Seperti kita ketahui bahwa, wakaf di samping telah diatur dalam Peraturan
Pemerintah No. 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan, juga telah diatur dalam Kompilasi
Hukum Islam Pasal 215 hingga Pasal 227, sekalipun isinya tidak terdapat perubahan yang
prinsip. Namun ada beberapa hal yang perlu dicatat berkaitan dengan Undang-Undang No.
41 Tahun 2004 tentang Wakaf: pertama, dalam perumusan wakaf baik dalam Peraturan
Pemerintah No. 28 Tahun 1977 maupun Kompilasi Hukum Islam, wakaf dilembagakan
untuk selamanya. 17Adapun dalam Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf
yang baru, dinyatakan "... untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu
sesuai dengan kepentingannya ..." 18 Kedua, dalam Undang-Undang Wakaf Baru tentang
Hukum Pidana bagi yang Melanggarnya lebih terperinci bentuk dan besar hukumnya.
D. Lahirnya UU no 7 tahun 1989 tentang PA

Lahirnya UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama telah mempertegas


kedudukan dan kekuasaan Peradilan Agama sebagaimana dimaksud dalam pasal 10 UU No.14
tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman juga memurnikan fungsi
dan susunan organisasinya agar dapat mencapai tingkat sebagai lembaga kekuasaan kehakiman
yang sebenarnya tidaklah lumpuh dan semu sebagaimana masa sebelumnya. Disamping itu
lahirnya UU tersebut menciptakan kesatuan hukum Peradilan Agama dan tidak lagi berbeda-
beda kewenangan dimasing-masing daerah di lingkungan Peradilan Agama. Peradilan Agama
baik di Jawa-Madura maupun diluar Jawa-Madura adalah sama kedudukan dan kewenangan
baik hukum formil maupun materiilnya.

Dengan demikian Peradilan Agama telah sama kedudukannya dengan Peradilan lainnya
sebagaimana dalam pasal 10 (1) UU No.14 tahun 1970

sebagai Peradilan yang mandiri (Court of Law). Sebagai Peradilan yang Court of Law
mempunyai ciri-ciri antara lain :

1. Hukum Acara dan Minutasi dilaksanakan dengan baik dan benar.

17
Lihat Komplikasi Hukum Islam pasal 215 ayat (1).
18
Lihat Pasal Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf.
2. Tertib dalam melaksanakan administrasi perkara.

3. Putusan dilaksanakan sendiri oleh Peradilan yang memutus.

4. Dengan berlakunya UU No. 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas Undang-Undang


No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.

Sesuai dengan pasal 49 UU No. 3 tahun 2006 adalah : Pengadilan Agama bertugas dan
berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara ditingkat pertama antara orang-
orang yang beragama Islam dibidang :

1. Perkawinan

2. Waris

3. Wasiat

4. Hibah

5. Wakaf

6. Zakat

7. Infaq

8. Shodaqoh

9. Ekonomi Syariah

Seiring dengan telah disahkan dan diundangkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang
perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tenang Peradilan Agama pada tanggal
20 Maret 2006 ada perubahan solusif tentang penetapan pengangkatan anak berdasarkan
Hukum Islam menjadi kewenangan absolut pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama .
Secara prinsip yuridis Pengadilan Agama mempunyai kewenangan untuk menangani perkara
permohonan pengangkatan anak berdasarkan Hukum Islam.

E. Lahirnya Inpres No.1 Tahun 1991 tentang KHI

Kompilasi Hukum Islam (KHI) adalah merupakan ”hukum terapan” pada lingkungan
peradilan agama di Indonesia yang mulai dilaksanakan pada tahun 1991. pelaksanaannya
didasarkan pada instruksi presiden RI tanggal 10 Juni 1991 No. 1 tahun 1991 yang ditujukan
kepada Menteri Agama RI untuk menyebarluaskan Kompilasi Hukum Islam sebagaimana telah
diterima baik oleh alim ulama indonesia tentang pelaksanaan instruksi presiden RI No. 1 tahun
1991 tanggal 10 Juni 1991, dan semenjak itu ia mulai dipergunakan dilingkungan peradilan
agama sebagai dasar dan landasan formal dalam menyelesaikan dan memutus berbagai
sengketa tentang perkawinan, kewarisan, dan perwakafan yang terjadi dikalangan umat Islam
di Indonesia.19

Kompilasi Hukum Islam adalah fikih Indonesia karena disusun dengan memperhatikan
kondisi kebutuhan hukum umat Islam Indonesia. Adapun tujuan perumusan Kompilasi Hukum
Islam di Indonesia adalah menyiapkan pedoman yang seragam (unifikasi) bagi hakim
Pengadilan Agama dan menjadi hukum positif yang wajib dipatuhi oleh seluruh bangsa
Indonesia yang beragama Islam.20

Setelah penyusunan selesai untuk pemberlakuan Kompilasi Hukum Islam maka harus
melalui proses positivisasi dan akhirnya menjadi hukum materil, yaitu Instruksi Presiden
Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. Pada tanggal 10 Juni 1991, Presiden
menandatangani Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991. Sejak saat itu,
secara formal berlaku Kompilasi Hukum Islam di Indonesia sebagai hukum materil yang
dipergunakan di lingkungan Peradilan Agama. Kemudian pada tanggal 22 Juli 1991, Menteri
Agama mengeluarkan Keputusan Nomor 154 Tahun 1991 tentang pelaksanaan Instruksi
Presiden RI No.1 Tahun 1991.

Untuk meningkatkan Instruksi Pressiden Nomor 1 tahun 1991 tentang Kompilasi


Hukum Islam menjadi materi peraturan yang bisa dibuat oleh presiden berdasarkan pada
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
secara tersirat menyebutkan bahwa, bukan hanya bersifat pengaturan (regeling), 21 namun juga
non pengaturan, seperti keputusan (beschikking). Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu
penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi
tindakan hukum Tata Usaha Negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi
seseorang atau badan hukum perdata.22

19
Mardani, kumpulan peraturan tentang hukum Islam diIndonesia, Jakarta: kencana,2015, h.124.
20
Ibid., h. 20.
21
Indonesia, Tentang Pembentukan Peraturan PerundangUndangan, UU Nomor 10 Tahun 2004.
22
Indonesia, Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, UU Nomor 5 Tahun 1986.
KESIMPULAN

• Kelahiran UU No.14 Tahun 1970 tentang pokok-pokok Kekuasaan kehakiman itu


sendiri ditandai dengan perdebatan-perdebatan tentang negara hukum, yang pada saat
Sukarno berkuasa, konsepsinya dijadikan justifikasi.
• Lahirnya Undang-undang perkawinan tidak terlepas dari tuntutan masyaraka Indonesia.
Hukum perkawinan orang Islam di Indonesia yang tercantum dalam kitab-kitab fikih,
menurut sistem hukum nasional tidak dapat digolongkan ke dalam kategori hukum
tertulis karena tidak tertulis dalam bentuk peraturan perundang-undangan.
• Perkembangan berikutnya sehubungan dengan peranan Pengadilan Agama dalam
periode 1974-1989 ini adalah lahirnya Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977
tentang Perwakafan Tanah Milik. Dalam konsiderans Peraturan Pemerintah No. 28
Tahun 1977 bahwa wakaf adalah suatu lembaga keagamaan yang dapat digunakan
sebagai salah satu sarana guna pengembangan kehidupan keagamaan dalam rangka
mencapai kesejahteraan spiritual dan materiel menuju masyarakat adil Makmur
berdasarkan Pancasila.
• Lahirnya UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama telah mempertegas kedudukan
dan kekuasaan Peradilan Agama sebagaimana dimaksud dalam pasal 10 UU No.14
tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman juga memurnikan
fungsi dan susunan organisasinya agar dapat mencapai tingkat sebagai lembaga
kekuasaan kehakiman yang sebenarnya tidaklah lumpuh dan semu sebagaimana masa
sebelumnya.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Rafiq, Hukum Islam di Indonesia, Cetakan ke-4, Jakarta:PT RajaGrafindo
Persada, 200, h.487.
Bambang Sutiyoso, Sri Hastuti Puspitasari, Aspek-Aspek Perkembangan Kekuasaan
Kehakiman Di Indonesia, Yogyakarta: UII Press Yogyakarta, 2005, h.11-12.
Busthanul Arifin, Transformasi Hukum Islam ke Hukum Nasional, Jakarta: Yayasan
Al-Hikmah, 2001, h. 60.
Daniel S. Lev, Politik dan Hukum di Indonesia, Kesinambungan dan Perubahan,
Jakarta:LP3ES, 1990 h. 384-385.
Indonesia, Tentang Pembentukan Peraturan PerundangUndangan, UU Nomor 10
Tahun 2004.
Indonesia, Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, UU Nomor 5 Tahun 1986
Lihat Komplikasi Hukum Islam pasal 215 ayat (1).
Lihat Pasal Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf.
Mardani, kumpulan peraturan tentang hukum Islam diIndonesia, Jakarta: kencana,
2015, h.124.
Mohammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama, Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2002.
Tim Ditbinbapera, Peradilan Agama di Indonesia, cetakan ke-1, Jakarta: Ditjen
Binbaga Islam Depag RI, 199, h.29.
Warkum Sumito, Perkembangan Hukum Islam di Tengah Kehiduppan Sosial Politik
di Indonesia, Malang: Bayumedia, 2005.

Anda mungkin juga menyukai