Anda di halaman 1dari 10

PERADILAN AGAMA DI INDONESIA

HUBUNGAN PERADILAN AGAMA DENGAN MAHKAMAH AGUNG

Oleh: Putri Wulandari (S.As.1.2020.004) Dan Abdul Mujahid (S.As.1.2020.016)

A. PENDAHULUAN
Istilah Peradilan Agama (selanjutnya disingkat PA) Merupakan
terjemahan dari penyebutan dalam bahasa Belanda Godsdientige rechpraak.
Godsdient berarti ibadah atau agama. Rechpraak berarti peradilan, yang
maknanya yaitu “daya Upaya mencari keadilan atau penyelesaian perselisihan
hukum Yang dilakukan menurut peraturan-peraturan dan dalam Lembaga-
lembaga tertentu dalam pengadilan” (Taufiq Hamami, 2013:63-64).
Pengadilan Agama sering juga disebut Mahkamah Syar’iyah (A. Mukti Arto,
2012:102-106, 167-170 ) atau Kerapatan Qadhi (Abdul Gani Abdullah,
2015:38-82, Abdul Manan, 2010:212), yang artinya pengadilan atau
Mahkamah yang bertugas menyelesaikan perselisihan hukum Agama (Islam)
atau hukum syara (Basiq Djalil, 1996:4, Ija Suntana, 2014:258).Lembaga PA
(Roihan A. Rasyid, 1991:10) adalah salah Satu pelaku kekuasaan kehakiman
bagi rakyat pencari keadilan Yang beragama Islam mengenai perkara tertentu
sebagaimana Dimaksud dalam Undang-Undang (selanjutnya disingkat UU)
No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan terhadap UU No. 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama (Mardani, 2013:190).PA, berada dalam sistem peradilan
negara di Indonesia Disamping Peradilan Umum, Peradilan Militer, Peradilan
Tata Usaha Negara dan merupakan salah satu pelaksana kekuasaan
Kehakiman dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia(NKRI). Keempat
lembaga peradilan itu mempunyai Kedudukan yang sama dan sederajat
dengan kekuasaan yang Berbeda (Moh. Daud Ali, 2012:278-279). Kekuasaan
kehakiman di lingkungan PA sebagaimana Dimaksud dalam UU tersebut di
atas dilaksanakan oleh Pengadilan Agama sebagai Pengadilan Tingkat
Pertama danBanding yang berpuncak di Mahkamah Agung (MA) sebagai
Pengadilan kasasi atau terakhir sesuai dengan prinsip-prinsip Yang telah
ditentukan oleh UU No. 14 tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman (Pasal 6 UU No 7 Tahun 1989 dan Pasal 10 (2) UU
No. 14 Tahun 1970 Tentang Pokok Pokok Kekuasaan Kehakiman).
B. PEMBAHASAN
1. Sejarah mahkamah agung RI
Mahkamah agung sebagai lembaga peradilan tertinggi di Indonesia ini,
dalam perjalan sejarahnya tidak pernah lepas/mengalami citra yang tidak
baik terutama dasa-warsa akhir Orde baru. Sebagai sebuah lembaga
terakhir upaya hukum yang dilakukan oleh yang mohon keadilan walau
memang sulit untuk diimplementasikan pertanggung jawabnya. Tapi
semangat untuk mempertanggung jawabkan itu telah tertuang dalam TAP
MPR No.IV.MPR.1999 tentang garis-garis besar haluan Negara (Bab V
butir III) yang berbunyi: “semua lembaga tertinggi Negara berkewajiban
menyampaikan laporan-laporan garis-garis besar haluan Negara dalam
sidang tahunan MPR sesuai dengan fungsi,tugas,dan wewenangnya
berdasarkan undang-undang dasar 1945.
Ikatan hakim Indonesia (IKAHI) dan mahkamah agung menolak
adanya kontrol, terhadap mahkamah agung, sedang masyarakat
beranggapan bila dibiarkan mahkamah agung mengatur dirinya tanpa
boleh dikontrol, akan menciptakan oligarkhi ditubuh makmakah agung. 1
Mahkamah agung selama orde lama dan orde baru telah menjadi alat
kekuasaan politik pemerintah, secara terang-terangan seperti orde lama
dan dengan manupulasi-manipulasi dengan justifikasi formal seperti orde
baru hingga mahkamah agung dibawah system politik yang otoriter
menjadi hilang kemerdekaan karena diintervensi oleh kekuasaan politik.
1
Mahfud MD, “akuntabiliatas lemabaga peradilan dan restipulasi fungsi mahkamah agung dalam
ketatanegaraan Indonesia,”makalah disampaikan pada acara pengkajian bulanan di PPHIM.
Depag,Jakarta,2000,1.
Hasil suatu studi tentang politik dan hukum menyimpulkan bahwa
“System politik yang demokratis melahirkan hukum yang responsive dan
otonom, sedangkan system politik yang otoriter melahirkan hukum yang
ortodoks dan menindas”. Kalau perjalan mahkamah agung sampai era
orde baru (1998) dibagi tiga system politik, maka: periode pertama adalah
1945-1959; periode kedua adalah 1959-1966; periode ketiga adalah 1966-
1998.pada periode pertama system politik yang lahir adalah demokratis
pernah tampil dalam sub periode pendek (1966-1969). Yang terlihat pada
periode pertama hukum kita berkarakter resposif dan otonom, sedangkan
pada periode berikutnya hukum yang lahir adalah otonom dan menintas.
Sejarah peradilan kita mencatat pula bahwa pada periode demokratis
itu pejabat tinggi seperti meteri pun bisa diseret kepengadilan dan dijatuhi
hukuman oleh hakim tanpa kendala. Tapi pada dua periode berikutnya
lembaga peradilan telah diintervensi oleh kekuasaan politik. 2 Pada periode
1959-1966 yng otoriter, pemerintah keluarkan undang-undang secara
terang-terangan memberi peluang pada pemerintah untuk campur tangan
atas kekuasaan kehakiman disebut bahwa: “demi kehormatan revolusi,
negara dan bangsa atau kepentingan masyarakat yang sangat mendesak
persiden dapat turut atau campur tangan dalam soal-soal pengadilan”.3
Selanjutnya pasal 23 Ayat 1 Undang-undang No. 13 tahun 1965
tentang pengadilan dalam lingkungan peradilan dan mahkamah agung
dimuat ketentuan yang senada dengan pasal 19 Undang-undang 1965
bahwa “dalam hal presiden turun tangan, maka siding pengadilan harus
dihentikan seketika itu juga dan hakim harus mengumumkan keputusan
presiden didalam sidang terbuka dan mencantumkan catatan tentang itu
dalam berita acara serta melampirkan keputusan presiden itu dalam berkas

2
Ibid., 2
3
Lihat pasal 19 UU No. 19 tahun 1964 tentang pokok-pokok kekuasaan kehakiman.
tanpa menjatuh keputusan. Disini jelas dilihat campur tangan presiden
diwadahi dengan Undang-undang.
Interversi politik ketubuh mahkamah agung berlanjut apda masa orde
baru, hanya saja pada masa orde baru intervensinya dikemas, tidak terang-
terangan meniru Undang-undang No.19 tahun 1964 dan Undang-undang
No.13 tahun 1965. Disini pemerintah meneruskan kebijakan peletakan
hakim dibawah pembinaan pemerintah dalam bidang administrasi
organisasi dan finansial. Yang demikian secara politik pemerintah telah
menciptakan kondisi yang menyababkan lembaga peradilan menjadi
tergantung kepadanya, dan mudah diintervensi. Pengankatan hakim agung
dan ketua mahkamah agung bukan sekadar forma litas pengesahan
presiden sebagai kepala Negara, tapi sangat ditentukan oleh presiden, yang
berakibat maraknya korupsi kolusi dan nepotisme (KKN) dan mafia
peradilan.
Lahirnya Undang-undang No.14 tahun 1970 tentang ketentuan-
ketentuan pokok kekuasaan kehakiman disebutkan dalam poin menimbang
bahwa Undang-undang No.19 Tahun 1964 tentang ketentuan-ketentuan
pokok kekuasaan kehakiman memuat ketentuan yang bertantangan dengan
Undang-undang Dasar 1945 dan dalam ketentuan umum pasal 1
menyebutkan bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan Negara yang
merdeka. Dsb; kalimat tersebut dimuat juga dalam poin menimbang
Undang-undang No. 35 tahun 1999 tentang perubahan atas Undang-
undang No. 14 tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan
kehakiman. Demikian pula dalam poin menimbang Undang-undang No. 4
Tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman. Bahkan dalam penjelasannya
dengan tambahan “salah satu prinsip penting dalam Negara hukum adalah
adanya jaminan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka
yang mereka, bebas dalam pengaruh kekuasaan lainnya untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
Terakhir, dalam Undang-undang No. 5 tahun 2004 tentang perubahan
Undang-undang No. 18 Tahun 1985 tentang mahkamah agung, juga
menyebutkan bahwa “kekuasaan kehakiman addalah kekuasaan yang
merdeka yang dilaksanakan oleh sebuah mahkamah agung. Dan
seterusnya.”4
2. Hubungan peradilan agama dengan MA sampai Tahun 1977
Sebelum Undang-undang No. 4 Tahun 2004 tentang kekuasaan
kehakiman, bahwa sebelum dikeluarkannya UU No. 35 Tahun 1999
tentang perubahan atas Undan-undang No. 14 Tahun 1970 tentang
kekuasaan-kekuasaan pokok kehakiman, ketika itu yang berlaku adalah
Undang-undang No. 14 Tahun 1970. Pasal 10 Ayat 1-nya menyatakan
bahawa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh pengadilan dalam
lingkungan (a) peradilan umum; (b) peradilan agama; (c) peradilan
meliter; (d) peradilan usaha Negara.
Adapun mengenai proses penyelenggaraan peradilan (lingkungan
peradilan agama) yang terkait langsung dengan nahkamah agung adalah
mengenai upaya hukum kasasi. Tentang kasasi dinyatakan dalam pasal 20
Undang-undang No. 14 Tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan pokok
kekuasaan kehakiman dinyatakan bahwa:
“Atas putusan pengadilan dalam tingkat banding dapat dimintakan kasasi
kepada mahmakah agung oleh pihak-pihak yang berkepentingan yang di
atur dalam undang-undang”.
Ketentuan Undang-undang inilah yang dipegangi Departemen Agama
c.q. Ditbinpabera sehingga dengan edaran No. DIV/Ed/1989/1978.tanggal
1 Mei 1978, tetap memperhankan bahwa dilingkungan peradilan agama
tidak ada kasasi karena untuk untuk Undang-undang untuk itu belum
diterbitkan / belum lahir. Sedang dipihak mahkamah agung berpendapat

4
Penjelasan Undang-undang Nomor 4 tahun 2004 tentang kehakiman. Lemabaran Negara RI Nomor
4358.
bahwa hal-hal dilapngan yang berkaitan dengan hukum acara, yang kalau
dirasakan kebutuhannya, mahkamah agung berwewenang mengaturnya
yang selamaini diberi bentuk peraturan-peraturan mahkamah agung, Dasar
hukum kewenangan ini adalah pasal 131 Undang-undang No. 1 Tahun
1950 (Undang-undang mahkamah agung) mahkamah agung telah
beberapa kali menggunakan kewenangan ini pernah menambah psal dari
Undang-undang (peraturan mahkamah agung No. 1 Tahun 1950).5
Pihak mahkamah agung tetap bersikukuh tanpa Undang-undang yang
dikehendaki oleh pasal 20 Undang-undang No.14 Tahun 1970 tentang
ketentuan-ketentuan kehakiman, kasasi bisa dijalankan dengan peraturan
mahkamah agung. Sebagai tindak lanjut pendirian tersebut, mahkamah
agung pada tanggal 26 November 1977 mengeluarkan peraturan
mahkamah agung No. 1 Tahun 1977 tentang jalan pengadilan militer.
Alasan atau dasar yang dikemukakan mahkamah agung ada 6, seperti yang
tersebut dalam peraturan mahkamah agung tersebut.
Pada hari yang sama yakni 26 Nvember 1977, mahkamah agung
mengeluarkan edaran No. 4 Tahun 1977, perihal pelaksanaan pengadilan
pemeriksaan kasasi dalam perkara perdata dan pidan di peradilan agama
dan peradilan militer. Dalam edaran ini ditemukan alasan disamping
seperti yang tersebut pada peraturan mahkamah agung No. 1 Tahun 1977
diatas, di sini pada poin tiganya ditegaskan bahwa dengan mengingat pada
pasal 131 Undang-undangan mahkamah agung yakni untuk menentukan
sendiri bagaimana soal mengenai jalan pengadilan yang diatur dalam
Undang-undang seharusnya diselesaikan/dibicakan, maka dengan
keluarnya peraturan mahkamah agung No. 1 Tahun 1977 tanggal 26
November 1977 permohonan kasasi dari pengadilan dari lingkungan

5
Bustanul Arifin, laporan hasil symposium sejarah peradilan agama (Jakarta: proyek pembinaan
administrasi hukum dan pradilan agama,1982),57.
pengadilan agama dan militer sudah dapat diajukan kepada mahkamah
agung untuk dapat diselesaikan sebagaimana mestinya.
Selanjutnya, Departemen Agama c.q. Ditbinbapera pada tanggal 26-
06-1977 mengeluarkan ederan N0. EV/ED/1966/1979 ini berisi 9 poin.
Disini pada poin 9 (Sembilan) jelas terlihat bahwa ederan ini mencabut
ederan 01 Mei 1978 dan selanjutnya dalam menengani perkara kasasi
dikirim kemahkamah agung. Sejak inilah upaya hukum terakhir bagi para
pihak yang mohon keadilan dilanjutkan dimahkamah agung hinggga
datangnya Undang-undang No.7 Tahun 1989 tentang peralidan agama
yang elegitimasi hal tersebut, seperti yang dikehendaki oleh pasal 20
Undang-undang No. 14 Tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan pokok
kekuasaan kehakiman.
3. Hubungan peradilan agama dengan MA setelah Tahun 1977
Dengan keluarnya keputusan mahkamah agung No.1 Tahun 1977
tentang jalan pengadilan dalam pemeriksaan kasasi dalam perkara perdata
dan perkara perdana oleh pengadilan agama dan pengadilan meliter, dan
edaran mahkamah agung No.04/1977perihal peleksanaan jalan pengadilan
pemeriksaan aksasi dalam perkara perdata dan pidana oleh peradilan
agama dan peradilan meliter diatas, dan dengan dicabutnya edaran
ditbinbapera (Departemen Agama No. DIV/ED/1989/1978 tanggal 01
Mei 1978, maka terbukalah pintu kasasi mahkamah agung dari perkara-
perkara peradilan agama tersebut, maka menurut pakar hakim semakin
tampak keluar, bahwa lembaga peradilan Agama adalah lembaga yang
setaraf dengan pengadilan-pengadilan lain, yang semua lingkungan
peradilan tersebut adalah pemegang kekuasaan kehakiman menurut
Undang-undang Dasar 1945.6 Setelah kasasi dijalankan sebagai layaknya,
maka pembinaan hubungan Departemen Agama dan mahkamah agung

6
Ibid.
mengambil bentuk konkret (dengan direktur peradilan agama yang baru),
dalam bentuk raker.
Langkah yang pertama diadakan adalah rapat kerja bersama, rapat
kerja bersama ini yang pertama kalinya dalam sejarah peradilan agama di
Indonesia yang dihadiri oleh pihak mahkamah agung, Departemen agama
dan pengadilan tinggi agama se-indonesia, yakni pada tanggal 29 Mei di
hotel kartika candra Jakarta. Dalam rakel tersebut dapat diambil enam
kesimpulan. Disini kami sebutkan kesimpulan pertama dan kedua saja
yaitu:
Pertama, tentang pelaksanaan tuga pengawas,
a. Pengadilan tinggi agama bersedia/sanggup sebagai pelaksana
pengawasan didaerah masing-masing
b. Agar pelaksanaan pengawas tersebut berjalan dengan baik perlu
adanya juklak oleh mahkamah agung.
Kedua,
a. Dirasakan perlu adanya ahli-ahli hukum islam dimahkamah
agung,
b. Perkara-perkara nikah, talak,cerai, dan rujuk (NTCR) perlu diberi
prioritas penyelesaiannya;
c. Perlu segera dukeluarkan juklak tentang prosedur penyimpanan
berkas perkara oleh mahkamah agung.7
Selanjutnya pada tahun 1982 diadakan raker bersama yang kedua,
mahkamah agung dan Departemen agama dan pengadilan tinggi agama
se-indonesia pada tanggal 18 dan 19 tahun 1982 di Jakarta.
C. KESIMPULAN
1. Sejarah mahkamah agung

7
Tim Direktorat pembinaan badan peradilan, himpunan instruksi dan edaran pembinaan peradilan
agama (Jakarta: proyek pembinaan administrasi hukum dan peradilan agma, 1982), 196.
*Dalam TAP MPR No.IV/MPR/1999 tentang Garis-garis besar haluan
Negara (Bab V Butir III) yang berbunyi: “semua lembaga tertinggi Negara
berkewajiban menyampaikan laporan garis-garis besar haluan Negara dan
sidang tahunan MPR sesuai dengan fungsi, tugas, wewenangnya
berdasarkan Undang-undang Dasar 1945”.
2. Hubungan peradilan agama dam MA sampai tahun 1977
pasal 10 Ayat 1 menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan
oleh pengadilan dalam lingkungan :
a. Peradilan umum
b. Peradilan agama
c. Peradilan meliter
d. Peradilan tata usaha Negara
3. Hubungan peradilan agama dengan MA tahun 1977
*keluarnya keputusan mahkamah agung No.1 tahun 1977 tentang
jalan peradilan dalam pemeriksaan kasasi dalam perkara pidana dan
perkara perdata oleh pengadilan agama dan pengadilan meliter.
1. mahkamah agung sebagai lembaga tertinggi di Indonesia, walau
dalam periode 1945-1949 bersifat demokratik, bahka tanpa
kendala dalam megadili seorang menteri, walau dalam periode
selanjutnya terintervensi oleh pemerintah yang otoroter.
2. hingga tahun 1978 pihak depag bertahan untuk tidak ada kasasi di
pengadilan agama, karena Undang-undang yang mengaturnya
belum lahir. Sedang kan setelah itu dengan peraturan mahkamah
agung, kasasi dilaksanakan. Dan hubungan terjalin atntara
Departemen Agama dan peradilan agama diawali dengan rapat
kerja bersama di Jakarta.
D. DAFTAR PUSTAKA
Musthofa, 2005 . kepaniteraan peradilan agama, Jakarta: kencana.
Rafiq, Ahmad. 2000. Hukum islam di Indonesia. Jakarta: PT. Raja grafindo
persada;
Seopomo. 1983. System hukum di Indonesia perang dunia kedua. Bandung:
pradya paramita.
Sulaikin, 2005. Hukum acara perdata peradilan agama di Indonesia. Jakarta:
kencana.
Thesna. 1978.peradilan di Indonesia dari abad ke abad. Jakarta: vernius NV.
TIM Direktorat. 2000. Peradilan agama diindonesia., Jakarta: Direktorat.
Undang-ungang Nomor 3 tahun 2006 tentang peradilan agama
Undang-undang Nomor 4 tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman
Undang-undang Nomor 5 tahun 2004 tentang mahkamah agung

Anda mungkin juga menyukai