PEMBAHASAN
3) Legalitas dalam arti hukum, yaitu bahwa baik pemerintah/negara maupun warga negara dalam
bertindak harus berdasar atas melalui hukum.
2) Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang
berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama,
lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah
Mahkamah Konstitusi.
Berdasarkan Pasal di atas, ada beberapa hal penting berkenaan dengan Kekuasaan
Kehakiman, yaitu sebagai berikut:
Kesatu, kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka dalam menjalankan peradilan;
1[1] Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun1945.
2[2] Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Panduan Pemasyarakatan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI, 2008),
hlm. 46.
Kedua, tujuan dari penyelenggaran kekuasaan kehakiman adalah untuk menegakkan hukum
dan keadilan; dan
Ketiga, pelaksanaan kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung dan badan
peradilan dibawahnya, serta Mahkamah Konstitusi.
Tugas terpenting seorang hakim yaitu menjatuhkan putusan terhadap kasus yang
diterima dan diperiksanya. Putusan hakim akan terasa begitu dihargai dan mempunyai nilai
kewibawaan, jika putusan tersebut merefleksikan rasa keadilan hukum masyarakat dan juga
merupakan sarana bagi masyarakat pencari keadilan untuk mendapat kebenaran dan keadilan.
Maka, dalam putusannya hakim harus mempertimbangkan segala aspek yang bersifat yuridis,
sosiologis dan filosofis, sehingga keadilan yang ingin dicapai dapat terwujud, dan
dipertanggungjawabkan dalam putusan hakim yang berkeadilan dan berorientasi pada keadilan
hukum (legal justice), keadilan masyarakat (social justice), dan keadilan moral (moral
justice).4[4]
Upaya menciptakan kehakiman yang mandiri dan merdeka sudah tertulis sejak Undang-
Undang No. 19 Tahun 1948 tentang Susunan dan Kekuasaan Badan-badan Kehakiman dan
Kejaksaan. Undang-undang ini menyatakan bahwa peradilan hanya dilaksanakan oleh badan-
badan kehakiman dan hanya tunduk pada undang-undang.5[5] Para hakim merdeka dalam
melaksanakan kekuasaan kehakiman dan hanya tunduk pada undang-undang.6[6] Pemegang
3[3] Antonius Sudirman, Hati Nurani Hakim dan Putusannya (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2007),
hlm. 78.
4[4] Ahmad Rifai, Penemuan Hukum oleh Hakim, Dalam Persfektif Hukum Progresif (Jakarta: Sinar
Grafika, 2010), hlm. 104
5[5] Pasal 2 Undang-Undang No. 19 Tahun 1948.
6[6] Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang No. 19 Tahun 1948.
kekuasaan pemerintahan dilarang untuk turut campur dalam urusan kehakiman, kecuali yang
telah disebutkan dalam undang-undang.7[7]
Namun, setelah adanya Dekret Presiden 5 Juli 1959 di masa orde lama ini, terbitlah
Undang-Undang No. 19 Tahun 1964 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman sebagai pengganti Undang-Undang No. 19 Tahun 1948. Pada Undang-Undang No.
19 Tahun 1964 ini, terdapat perubahan yang mencolok, sehingga tujuan terciptanya kehakiman
yang mandiri dan merdeka menjadi terhambat.
Kehakiman yang mandiri dan merdeka merupakan cita-cita luhur sesuai dengan Pasal
24 dan Pasal 25 UUD NRI 1945. Kemandirian kekuasaan kehakiman menjadi terkebiri setelah
terbitnya Undang-Undang No. 19 Tahun 1964. Undang-Undang No. 19 tahun 1964 banyak
dipengaruhi alam revolusi dengan Manipolnya yang bertujuan untuk menciptakan
masyarakat sosialis Indonesia.8[8] Sebagaimana Pasal 19, isinya menyatakan bahwa:
Demi kepentingan revolusi, kehormatan Negara dan Bangsa atau kepentingan masyarakat
yang sangat mendesak, Presiden dapat turut atau campur tangan dalam soal-soal pengadilan.
Pengadilan adalah tidak bebas dari pengaruh kekuasaan eksekutif dan kekuasaan membuat
Undang-undang. Sandaran yang terutama bagi pengadilan sebagai alat Revolusi adalah
Pancasila dan Manipol/Usdek. Segala sesuatu yang merupakan persoalan hukum berbentuk
perkara-perkara yang diajukan, wajib diputus dengan sandaran itu dengan mengingat fungsi
Hukum sebagai pengayoman. Akan tetapi adakalanya, bahwa Presiden/Pemimpin Besar
Revolusi harus dapat turun atau campur tangan baik dalam perkara perdata maupun dalam
perkara pidana. Hal ini disebabkan karena adanya kepentingan-kepentingan Negara dan
Bangsa yang lebih besar.
8[8] Al. Wisnubroto, Hakim dan Peradilan di Indonesia (Yogyakarta: Univ. Atmajaya, 1997), hlm. 8
memperlihatkan kecenderungan ke arah otoriterisme, hal ini dapat terlihat dengan berlakunya
proses pemusatan kekuasaan negara pada kekuasaan presiden, dimana kekuasaan legislatif,
eksekutif, legislatif berada pada satu tangan. 9[9]
Setelah runtuhnya rezim orde lama pada tahun 1965, maka terjadilah pergantian
pemeritahan menjadi rezim orde baru yang dipimpin oleh Soeharto. Orde baru melakukan
upaya pengkoreksian total terhadap kebijakan-kebijakan orde lama yang tidak sesuai dengan
Pancasila dan UUD NRI 1945. Salah satu langkah yang ditempuh, yakni melakukan
pencabutan dan penggantian terhadap semua peraturan perundang-undangan yang
inkonstitusional, termasuk Undang-Undang No. 19 Tahun 1964 tentang Ketentuan-ketentuan
Pokok Kekuasaan Kehakiman, karena undang-undang tersebut tidak menjamin kebebasan
kekuasaan kehakiman. Lalu, terbitlah Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-
ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman sebagai perundang-undangan yang memberikan
pemurnian agar kekuasaan kehakiman kembali bebas dan merdeka sesuai Pasal 24 UUD NRI
1945.
Di sini perlu ditegaskan, bahwa agar supaya Pengadilan dapat menaikan tugasnya dengan
sebaik-baiknya, yakni memberikan keputusan yang sematamata berdasarkan kebenaran,
keadilan dan kejujuran, maka tidak dapat dibenarkan adanya tekanan-tekanan atau pengaruh-
pengaruh dari luar yang akan menyebabkan para Hakim tidak bebas lagi dalam mengambil
keputusan yang seadil-adilnya.
1. Kekuasaan kehakiman yang merdeka adalah kebebasan dalam urusan peradilan atau kebebasan
menyelenggarakan fungsi peradilan (fungsi yustisial). Kebebasan ini mencakup kebebasan
memeriksa, mengadili, dan memutus perkara. Hal-hal di luar fungsi peradilan (fungsi non-
yustisial) tidak termasuk kandungan pengertian kekuasaan kehakiman yang merdeka. Namun,
tidak pula serta merta berarti bahwa terhadap fungsi non-yustisial dapat dicampuri secara tanpa
batas. Fungsi-fungsi non-yustisial yang bertalian erat dengan perwujudan kebebasan fungsi
yustisial harus selalu mendapat perhatian yang seksama. Tata cara pengaturan atau campur
tangan terhadap fungsi non-yustisial tanpa memperhatikan fungsi yustisial dapat mengurangi
atau memudarkan kebebasan fungsi yustisial.
2. Kekuasaan kehakiman yang merdeka mengandung makna larangan bagi kekuasaan extra
yustisial mencampuri urusan proses penyelenggaraan peradilan. Hal ini, merupakan penegasan
dar bunyi penjelasan UUD 1945 yang secara umum menyebutkan terlepas dari pengaruh
kekuasaan pemerintah. Dengan demikian, kekuasaan pemerintah itu tidak semata-mata
kekuasaan eksekutif, tetapi juga meliputi kekuasaan lainnya, yaitu: MPR, DPR, BPK dan
kekuasaan ekstra yustisial lainnya. Karena larangan hanya berlaku terhadap kekuasaan ekstra
yustisial, maka kekuasaan kehakiman tertentu dimungkinkan untuk mencampuri pelaksanaan
fungsi kekuasaan kehakiman lainnya, seperti kewenangan pengadilan tinggi untuk memeriksa
perkara banding, kewenangan Mahkamah Agung untuk melakukan pemeriksaan pada tingkat
10[10] Pontang Moerad, Pembentukan Hukum Melalui Putusan Pengadilan Dalam Perkara Pidana
(Bandung: Alumni, 2005), hlm. 157-158.
kasasi merupakan campur tangan atas putusan yang telah diambil oleh suatu kekuasaan
kehakiman yang lebih rendah tingkatannya.
3. Zaman Reformasi
Zaman reformasi dimulai sejak runtuhnya rezim orde baru pada 21 Mei 1998.
Penegakan supremasi hukum dan penataan sistem peradilan merupakan salah satu agenda
reformasi yang harus dijalankan oleh pemerintah. Upaya yang dilakukan pemerintah pada masa
reformasi yaitu melakukan amandemen terhadap UUD NRI 1945 dan perundang-undangan
yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman yang mandiri dan bebas.
Pasal 11 ayat (1) inilah yang pada kenyataannya memberikan wewenang kepada
pemerintah (Departemen Kehakiman, Departemen Agama dan Departemen Pertahanan) untuk
memberikan kekuasaan judicial di bidang organisatoris, administratif, dan keuangan.
Kemudian untuk menghindari adanya intervensi Pemerintah dalam kekuasaan kehakiman,
maka pertimbangan lahirnya Undang-Undang No. 35 Tahun 1999, adalah:
a. bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka dan oleh karena itu untuk
mewujudkan kekuasaan kehakiman yang mandiri dan terlepas dari kekuasaan pemerintah
dipandang perlu melaksanakan pemisahan yang jelas antar fungsi-fungsi yudikatif dari
eksekutif.
Setelah itu, terjadi pergantian dengan terbitnya Undang-Undang No. 4 Tahun 2004
tentang Kekuasaan Kehakiman. Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 ini menunjukkan adanya
suatu langkah maju dari sistem peradilan, yaitu berupa pertanggungjawaban lembaga peradilan
kepada masyarakat. Ketentuan yang dimaksud adalah adanya kewajiban bagi hakim untuk
menyampaikan pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap perkara yang sedang diperiksa
dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari putusan.
1) Mendengar dan memperlakukan kedua belah pihak berpekara secara berimbang dengan tidak
memihak (impartial). Ketidak berpihakan seorang hakim terhadap pihak-pihak yang
berp[erkara tidak boleh terpengaruh karena adanya hubungan keluarga, teman baik, karena
pihak yang dihadapi tokoh masyarakat, ataupun ketidak berpihakan disebabkan oleh adanya
tawaran-tawaran materi.
2) Sopan dalam bertutur dan bertindak. Tindakan dan tutur kata yang sopan tidak hanya di
tunjukan dalam kerangka menjalankan tugasnya osebagai hakim tetapi juga dalam hubungan
dan interaksi dengan masyarakat.
3) Memeriksa perkara dengan arif, cermat dan sabar. Hal ini akan menghindarkan hakim dari
kesalahan-kesalahan dalam mengambil keputusan, karena setiap persoalan yang dihadapi
selalu diplajari dengan cermat dan penuh kehati-hatian.
4) Memutus perkara berdasarkan atas hokum dan rasa keadilan. Keputusan diambil bukan karena
pertimbangan suka atau tidak suka tetapi betul-betul didasarkan atas aturan hokum yang ada.
Tindakan ini merupakan bagian dari upaya penegakan supremasi hokum. Sedangkan rasa
keadilan bahwa orang-orang yang tertindas, tidak berdaya dan selalu menjadi korban atas
berbagai bentuk kesewenang-wenangan secara moral harus diperjuangkan, tanpa melihat posisi
dan kedudukannya sebagai warganegara.
5) Menjaga martabat, kedudukan dan kehormatan hakim. Seorang hakim harus mampu
menghindari tindakan-tindakan negative yang dapat merusak citra profesi hakim di
masyarakat.
Hal-hal yang tidak diperbolehkan seorang hakim dalam menjalankan profesinya yaitu:
1) Melakukan kolusi dengan siapapun yang berkaitan dengan perkara yang akan dan sedang
ditangani.
4) Mengeluarkan pendapat atas suatu kasus yang ditanganinya baik dalam persidangan maupun
diluar persidangan mendahului putusan.
5) Melecehkan sesama hakim,jaksa, penasehat hokum,para pihak berperkara, ataupun pihak lain.
6) Memberikan komentar terbuka atas putusan hakim lain, kecuali dilakukan dalam rangka
pengkajian ilmiah.
legisme sejalan dengan Trias Politika dari Montesquieu, yang menyatakan bahwa hanya
apa yang dibuat oleh badan legislatif saja yang dapat membuat hukum, jadi suatu kaidah yang
12[12] Sudikno Mertokusumo dan Pitlo, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum (Yogyakarta: Citra
Aditya Bakti, 1993), hlm. 42-44
13[13] Pontang Moerad, Op.Cit., hlm. 164.
tidak ditentukan oleh badan legislatif bukanlah merupakan suatu kaidah hakim dan
kewenangan pengadilan hanya menerapkan undang-undang saja.14[14]
2. Hakim Otonom/Bebas
Aliran hakim ini muncul sebagai reaksi penentangan terhadap aliran legisme, yang
mendewakan undang-undang sebagai satu-satunya sumber hukum. Aliran ini muncul pada
awal abad ke 20, yang mengajarkan tentang kebebasan hakim (Freirechtslehre) yang
berpendapat bahwa hukum lahir karena peradilan.15[15] Titik tolak pandangan ini ialah bahwa
undang-undang bukanlah satu-satunya sumber hukum, undang-undang itu selalu tidak lengkap
dan selalu terdapat kesenjangan di dalamnya.16[16] Undang-undang sebagai buatan manusia
besifat statis, dan selalu tertinggal dengan keadaan manusia yang selalu berkembang. Dalam
kondisi seperti ini, undang-undang memiliki kelemahan dan kekosongan hukum karena tidak
bisa mengikuti kebutuhan zaman.
3. Hakim Progresif
Hakim progresif adalah hakim yang menganut pada aliran hukum progresif. Kata
progresif berasal dari progressi yang berarti adalah kemajuan. Jadi di sini diharapkan hukum
itu hendaknya mampu mengikuti perkembangan zaman, mampu menjawab perubahan zaman
dengan segala dasar didalamnya, serta mampu melayani masyarakat dengan menyandar pada
aspek moralitas dan sumber daya manusia penegak hukum itu sendiri. Satjipto Raharjo dalam
bukunya menyatakan, Selain itu konsep hukum progresif tidak lepas dari konsep
progresivisme, yang bertitik tolak pada pandangan kemanusiaan, bahwa manusia itu pada
dasarnya adalah baik, memiliki kasih sayang kepedulian terhadap sesama sebagai modal
16[16] Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia (Jakarta: CV. Shapta artha jaya,1996) hlm. 115.
17[17] Satjipto Raharjo, Membedah Hukum Progresif (Jakarta: Kompas, 2003), hal. 228.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Hakim sebagai pejabat peradilan negara yang berwewenang untuk menerima,
memeriksa, dan memutus perkara yang dihadapkan kepadanya. Pada, hakikatnya, tugas hakim
untuk mengadili mengandung dua pengertian, yakni menegakkan keadilan dan menegakkan
hukum. Oleh karena itu, hakim dalam menjalankan tugasnya diberikan kebebasan dan
kemandirian yang dijamin oleh undang-undang. Hal ini sangatlah penting, dengan tujuan untuk
menciptakan penegakan hukum yang berkeadilan serta menjamin hak-hak asasi manusia.
Saran
Demikianlah makalah yang dapat kami susun dan kami sangat menyadari makalah ini
masih jauh dari kesempurnaan. Maka kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun
demi perbaikan dan pengembangan, untuk mengetahui lebih dalam lagi setidaknya banyak-
banklah berdiskusi di dalam atau di luar kampus. semoga makalah ini dapat menambah
pengetahuan dan bermanfaat bagi kita semua.
A. Profesi Hakim dan Karakteristiknya
Sebagai sebuah profesi yang berkaitan dengan proses di pengadilan, definisi hakim
tercantum dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana atau
yang biasa disebut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Pasal 1 angka 8
KUHAP menyebutkan, hakim adalah pejabat peradilan negara yang diberi wewenang oleh
undang-undang untuk mengadili. Sedangkan mengadili diartikan sebagai serangkaian tindakan
hakim untuk menerima, memeriksa, dan memutus perkara berdasarkan asas bebas, jujur, dan
tidak memihak di sidang pengadilan dalam hal dan menurut tata cara yang diatur dalam
undang-undang.(Kamil, Iskandar, 2006)
Hakim memiliki kedudukan dan peranan yang penting demi tegaknya negara hukum.
Oleh karena itu, terdapat beberapa nilai yang dianut dan wajib dihormati oleh penyandang
profesi hakim dalam menjalankan tugasnya. Nilai di sini diartikan sebagai sifat atau kualitas
dari sesuatu yang bermanfaat bagi kehidupan manusia, baik lahir maupun batin. Bagi manusia,
nilai dijadikan landasan, alasan, atau motivasi dalam bersikap dan bertingkah laku, baik
disadari maupun tidak. Nilai-nilai itu adalah sebagai berikut :
1. Profesi hakim adalah profesi yang merdeka guna menegakkan hukum dan keadilan
berdasarkan Pancasila demi terselenggaranya negara hukum Republik Indonesia. Di sini
terkandung nilai kemerdekaan dan keadilan.
2. Selanjutnya, nilai keadilan juga tercermin dari kewajiban hakim untuk menyelenggarakan
peradilan secara sederhana, cepat, dan biaya ringan, agar keadilan tersebut dapat dijangkau
semua orang. Dalam mengadili, hakim juga tidak boleh membeda-bedakan orang dan wajib
menghormati asas praduga tak bersalah. Kewajiban menegakkan keadilan ini tidak hanya
dipertanggungjawabkan secara horizontal kepada sesama manusia, tetapi juga secara vertikal
kepada Tuhan Yang Maha Esa.
3. Hakim tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara yang diajukan
dengan dalih bahwa hukumnya tidak ada atau kurang jelas. Apabila hakim melihat adanya
kekosongan hukum karena tidak ada atau kurang jelasnya hukum yang mengatur suatu hal,
maka ia wajib menggali nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Nilai ini dinamakan
sebagai nilai keterbukaan.
4. Hakim wajib menjunjung tinggi kerja sama dan kewibawaan korps. Nilai kerja sama ini
tampak dari persidangan yang berbentuk majelis, dengan sekurang-kurangnya terdiri dari tiga
orang hakim. Sebelum menjatuhkan putusannya, para hakim ini melakukan musyawarah secara
tertutup.
Segala putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan tersebut, memuat
pula pasal tertentu dari perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis
yang dijadikan dasar untuk mengadili.
6. Hakim wajib menjunjung tinggi nilai obyektivitas. Hal ini tercermin dalam Pasal 29 ayat
(3) yang menyatakan bahwa hakim wajib mengundurkan diri dalam pemeriksaan suatu perkara
apabila ia mempunyai hubungan darah dengan pihak-pihak yang terlibat dalam proses
pemeriksaan perkara tersebut, baik dengan terdakwa, jaksa, penasihat hukum, panitera,
maupun sesama majelis hakim.
Profesi hakim sebagai salah satu bentuk profesi hukum sering digambarkan sebagai
pemberi keadilan. Oleh karena itu, hakim juga digolongkan sebagai profesi luhur (officium
nobile), yaitu profesi yang pada hakikatnya merupakan pelayanan pada manusia dan
masyarakat. Setiap profesi memiliki etika yang pada prinsipnya terdiri dari kaidah-kaidah
pokok sebagai berikut. (Kamil, Iskandar, 2006)
1. Profesi harus dipandang sebagai pelayanan, oleh karenanya, sifat tanpa pamrih menjadi
ciri khas dalam mengembangkan profesi.
2. Pelayanan profesional dalam mendahulukan kepentingan pencari keadilan mengacu pada
nilai-nilai luhur.
3. Pengembanan profesi harus selalu berorientasi pada masyarakat sebagai keseluruhan.
4. Persaingan dalam pelayanan berlangsung secara sehat sehingga dapat menjamin mutu dan
peningkatan mutu pengemban profesi.
Sebagai suatu profesi di bidang hukum yang secara fungsional merupakan pelaku utama
dalam penyelenggaraan kekuasaan kehakiman, hakim dituntut untuk memiliki suatu keahlian
khusus sekaligus memahami secara mendalam mengenai ruang lingkup tugas dan
kewajibannya. Salah satu unsur yang membedakan profesi hakim dengan profesi lainnya
adalah adanya proses rekrutmen serta pendidikan bersifat khusus yang diterapkan bagi setiap
orang yang akan mengemban profesi ini.
Pada dasarnya, terdapat setidaknya tiga unsur pokok yang harus ada dalam pelaksanaan
suatu fungsi dalam profesi dan bidang apapun. Unsur-unsur tersebut adalah sebagai berikut.
Tugas, yaitu kewajiban dan kewenangan atau kekuasaan yang harus dilaksanakan untuk
kemudian diperinci lebih lanjut tentang cara melaksanakannya. Aparat, yaitu pelaksana tugas
tersebut yang terdiri atas komponen pelaksana, pendukung, dan penunjang.
Lembaga, yaitu wadah (struktur dan organisasi) beserta sarana dan prasarana tempat para
aparat melaksanakan tugasnya. Bagi seorang aparat, mendapat suatu tugas berarti memperoleh
sebuah tanggung jawab yang terkait tiga hal, yaitu:
1. mendapat kepercayaan untuk dapat mengemban tugas;
2. merupakan suatu kehormatan sebagai pengemban tugas; dan merupakan suatu amanat yang
harus dijaga dan dijalankan.
Tanggung jawab dapat dibedakan atas tiga jenis, yaitu tanggung jawab
moral, tanggung jawab hukum, dan tanggung jawab teknis profesi. Tanggung jawab moral
adalah tanggung jawab sesuai dengan nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku dalam
lingkungan kehidupan profesi yang bersangkutan, baik bersifat pribadi maupun bersifat
kelembagaan bagi suatu lembaga yang merupakan wadah para aparat bersangkutan. Sementara
tanggung jawab hukum diartikan sebagai tanggung jawab yang menjadi beban aparat untuk
dapat melaksanakan tugasnya dengan tidak melanggar rambu-rambu hukum. Sedangkan
tanggung jawab teknis profesi merupakan tuntutan bagi aparat untuk melaksanakan tugasnya
secara profesional sesuai dengan kriteria teknis yang berlaku dalam bidang profesi yang
bersangkutan, baik bersifat umum maupun ketentuan khusus dalam lembaganya. (Mahkamah
Agung RI, 2005)
Secara filosofis, tujuan akhir profesi hakim adalah ditegakkannya keadilan. Cita hukum
keadilan yang terapat dalam das sollen (kenyataan normatif) harus dapat diwujudkan dalam
das sein (kenyataan alamiah) melalui nilai-nilai yang terdapat dalam etika profesi. Salah satu
etika profesi yang telah lama menjadi pedoman profesi ini sejak masa awal perkembangan
hukum dalam peradaban manusia adalah The Four Commandments for Judges dari Socrates.
Kode etik hakim tersebut terdiri dari empat butir di bawah ini.
Hakim dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya didasari oleh Kode Etik dan
Pedoman Perilaku Hakim yang tertuang dalam Keputusan Bersama antara Mahkamah Agung
dan Komisi Yudisial No 047/KMA/SKB/IV/2009. Di dalam Kode Etik dan Pedoman Perilaku
Hakim terdapat 10 prinsip dasar: (1) berperilaku adil, (2) berperilaku jujur, (3) berprilaku arif
dan bijaksana, (4) bersikap mandiri, (5) berintegritas tinggi, (6) bertanggung jawab, (7)
menjunjung tinggi harga diri, (8) berdisiplin tinggi, (9) berperilaku rendah hati, (10) bersikap
profesional
Dalam bertingkah laku, sikap dan sifat hakim tercermin dalam lambang kehakiman
dikenal sebagai Panca Dharma Hakim, yaitu:
Sebagai perwujudan dari sikap dan sifat di atas, maka sebagai pejabat hukum, hakim
harus memiliki etika kepribadian, yakni:
1) bahwa hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan
yang hidup dalam masyarakat (Pasal 28 ayat (1));
2) bahwa dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana, hakim wajib memperhatikan pula
sifat yang baik dan jahat dari terdakwa (Pasal 28 ayat (2); dan
3) bahwa hakim wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila terikat hubungan keluarga
sedarah atau semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami isteri meskipun telah
bercerai, dengan ketua, salah seorang Hakim Anggota, Jaksa, Advokat, atau Panitera (Pasal 29
ayat (3).
a. Pasal 10 ayat (1) menyatakan bahwa Hakim Agung tidak boleh merangkap menjadi:
pelaksana putusan Mahkamah Agung;
wali, pengampu, dan pejabat yang berkaitan dengan suatu perkara yang akan atau sedang
diperiksa olehnya
penasehat hukum; dan
pengusaha
b. Pasal 12 ayat (1) menyatakan bahwa Hakim Anggota Mahkamah Agung dapat diberhentikan
tidak dengan hormat dengan alasan:
dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan karena melakukan tindak pidana
yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih
melakukan perbuatan tercela;
terus menerus melalaikan kewajiban dalam menjalankan tugas pekerjaannya;
melanggar sumpah atau janji jabatan; dan
melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10.
c. Pasal 41 ayat (1) menyatakan bahwa hakim wajib mengundurkan diri dari
suatu persidangan apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat
ketiga, atau hubungan suami atau isteri meskipun telah bercerai dengan salah seorang Hakim
Anggota atau Panitera pada majelis hakim.
d. Pasal 41 ayat (4) menyatakan jika seorang hakim yang memutus perkara dalam tingkat
pertama atau tingkat banding, kemudian telah menjadi Hakim Agung, maka Hakim Agung
tersebut dilarang memeriksa perkara yang sama.
e. Pasal 42 ayat (1) menyatakan bahwa seorang hakim tidak diperkenankan mengadili suatu
perkara yang ia sendiri berkepentingan, baik langsung maupun tidak langsung. Di samping
kedua undang-undang di atas, peraturan berbentuk undang- undang lainnya yang
mencantumkan ketentuan mengenai tanggung jawab profesi hakim adalah:
h. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang- Undang Nomor 2
Tahun 1986 tentang Peradilan Umum;
i. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang- Undang Nomor 5
Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara;
Jenis tanggung jawab yang terakhir adalah tanggung jawab teknis profesi. Pada jenis
tanggung jawab ini, penilaian terhadap sesuai atau tidaknya tindakan yang dilakukan oleh
hakim dengan ketentuan yang berlaku menjadi hal yang paling diutamakan. Selain itu,
penilaian terhadap kinerja dan profesionalisme hakim dalam menjalankan tugasnya juga
menjadi perhatian.
Setiap hakim dituntut mampu mempertanggungjawabkan tindakannya sebagai
profesional di bidang hukum, baik di dalam maupun di luar kedinasan, secara materi dan
formil. Oleh karena itu, adalah suatu hal yang mutlak bagi para hakim untuk memahami secara
mendalam aturan-aturan mengenai hukum acara di persidangan. Ketidak mampuan hakim
dalam mempertanggungjawabkan tindakannya secara teknis atau dikenal dengan
istilah unprofessional conduct dianggap sebagai pelanggaran yang harus dijatuhi sanksi.
C. Penegakkan Hukum
Berkaitan dengan tanggung jawab Hakim seperti dipaparkan di atas, Hakim memiliki
peran penting dalam penegakan hukum di Indonesia. Oleh karenanya sebagai penegak hukum,
Hakim merupakan pejabat kunci keberhasilan penegakan hukum, maksudnya penentu bagi
penjatuhan sanksi terhadap pelanggar hukum dengan tidak membedakan status pelaku. Inilah
sebagai kunci hukum benar-benar ditegakkan dengan tidak pandang bulu. Oleh karenanya
dalam menjatuhkan putusan atas suatu perkara, Hakim harus benar-benar menemukan suatu
kebenaran akan peristiwanya sehingga dapat menentukan sanksi yang dijatuhkan bersamaan
putusan yang dijatuhkan pula. Dengan dijatuhkannya putusan berarti suatu bentuk keadilan
harus terwujud diantara berbagai pihak terutama yang terlibat suatu perkara yang bersangkutan,
dikarenakan setiap putusan Hakim pasti berkepala Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa.
Namun tak bisa dipungkiri masih terdapat beberapa kelemahan dalam pelaksanaan
fungsinya. Selain mengalami masalah pada profesionalisme dan integritas para Hakim serta
aparat penegak hukum yang lain, masalah juga terjadi pada sistem penegakan hukum di
Indonesia dikenal sangat tidak efektif. Jalur yang rumit, disertai syarat-syarat birokratis yang
panjang, menciptakan situasi yang tidak kondusif bagi program penegakan hukum yang efisien
dan efektif. (Mahendra, Yusril Ihza, 2002)
Putusan Hakim mempertaruhkan citra Hakim di mata masyarakat. Putusan yang tidak
menimbulkan rasa keadilan akan memunculkan cemoohan bagi Hakim, meskipun dengan dalih
berdasarkan bukti-bukti yang diajukan beserta keyakinannya Hakim sudah maksimal
memeriksa perkara yang bersangkutan. Sering Hakim lupa dalam memeriksa suatu perkara,
dianggapnya perkara tersebut adalah perkara-perkara yang sama saja satu dengan yang lain.
Dalam hal ini Hakim sering memeriksa suatu perkara secara individual dengan mengacu pada
perkara-perkara yang sejenis yang telah diputuskan oleh Hakim yang lalu karena putusannya
itu dianggapnya sebagai yuriprudensi. Namun Hakim yang demikian sebenarnya telah
melupakan bahwa situasi sosial telah berubah. Kondisi sosial masyarakat mengalami
perubahan seiring dengan berkembangnya kebutuhan masyarakat akan pemenuhan hidup
sehari-hari. Perubahan sosial berpengaruh pula pada pola hidup dan sikap tindak setiap anggota
masyarakat, dan yang paling utama kadang hukum tertinggal dari perubahan masyarakat. Oleh
karenanya tidaklah mudah untuk menentukan bahwa suatu perkara yang sejenis yang telah
diputus dianggap sama dengan perkara yang sedang diperiksa.
Hakim sering mengabaikan keadilan yang diharapkan ada saat menghadapi perkara.
Bahkan kadang dengan dalih benar atau salah Hakim melupakan rasa keadilan yang
diinginkan oleh pihak-pihak yang terlibat perkara yang bersangkutan. Apalagi Hakim
dihadapkan pada aneka macam hukum (hukum adat) yang tersebar di banyak suku di negeri
ini. Jiwa berani memutus perkara dengan adil masih kurang mewarnai hati nurani Hakim. Hal
ini seringnya terjadi suatu putusan Hakim diprotes oleh sebagian rakyat yang merasa Hakim
kurang adil dalam memeriksa dan menjatuhkan putusan.
Dalam kaitannya dengan penegakan hukum, keberhasilan penegakan hukum sangat
terkait dengan penerapan serasi antara nilai-nilai yang berkembang dan diyakini kebenarannya
oleh masyarakat dengan kaidah serta dengan perilaku nyata manusia. (Soerjono Soekanto,
1986: 13). Oleh karenanya agar hukum berfungsi dengan baik, maka diperlukan keserasian
dalam hubungan kelima faktor di atas (faktor hukumnya, faktor mentalitas penegak hukum,
faktor fasilitas, faktor kesadaran hukum masyarakat dan faktor budaya), dan kelima faktor
tersebut saling berkaitan serta merupakan inti dari sistem penegakan hukum. Dengan demikian
perilaku Hakim dalam menjatuhkan putusan juga haruslah memperhatikan nilai-nilai yang
berkembang dalam masyarakat. Dengan beragamnya adat istiadat suku bangsa yang ada di
Indonesia, Hakim harus cermat dalam memahami setiap kasus yang diperiksanya. Untuk itu
putusan yang dijatuhkan merupakan putusan kasuistis yang tidak dapat disamakan dengan
kasus-kasus yang mirip dan sudah pernah terjadi. Apalagi menyangkut kasus pidana,
kecermatan dan wawasan yang luas akan nilai-nilai adat yang berkembang dalam masyarakat
menjadi keharusan bagi seorang Hakim agar citranya tidak tercoreng di mata masyarakat,
lebih-lebih soal kehati-hatian dan non diskriminan serta tidak melakukan jual-beli perkara
menjadi harga mati yang harus dilakukan oleh seorang Hakim.
DAFTAR PUSTAKA
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun1945.
Undang-Undang No. 19 Tahun 1948.
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia
2008, Panduan Pemasyarakatan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI.
Sudirman, Antonius
2007, Hati Nurani Hakim dan Putusannya, Bandung: Citra Aditya Bakti.
Rifai Ahmad
2010, Penemuan Hukum oleh Hakim Dalam Persfektif Hukum Progresif , Jakarta: Sinar
Grafika.
Wisnubroto, Al
1997, Hakim dan Peradilan di Indonesia, Yogyakarta: Univ. Atmajaya
Moerad, Pontang
2005, Pembentukan Hukum Melalui Putusan Pengadilan Dalam Perkara Pidana,
Bandung: Alumni
Mertokusumo, Sudikno dan Pitlo
1993, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum, Yogyakarta: Citra Aditya Bakti.
Hamzah, Andi
1996, Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta: CV. Shapta artha jaya.
Raharjo, Satjipto
2003, Membedah Hukum Progresif , Jakarta: Kompas.