Anda di halaman 1dari 23

“PENGAWASAN OLEH KOMISI YUDISIAL”

OLEH :

MUH FAWWAZ ABIYYU ABYAN AHKAM

B021191047

HUKUM ADMINISTRASI NEGARA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2021

1
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI..........................................................................................................2

PEMBAHASAN.....................................................................................................3

1. Mengenal Komisi Yudisial...........................................................................3

2. Kedudukan Komisi Yudisial........................................................................7

3. Wewenang Komisi Yudisial........................................................................9

4. Tugas dan Fungsi Komisi Yudisial Terhadap Pengawasan Hakim.........10

5. Penjatuhan Sanksi Terhadap Hakim Agung............................................17

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................19

2
PEMBAHASAN

1. Mengenal Komisi Yudisial

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD

NRI Tahun 1945) setelah perubahan menegaskan Negara Indonesia adalah

negara yang berdasarkan atas hukum (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas

kekuasaan belaka (machtsstaat). Penegasan Indonesia sebagai negara hukum

itu dimuat dalam ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945. Dengan

demikian, Indonesia menerima hukum sebagai ideologi untuk menciptakan

ketertiban, keamanan, keadilan serta kesejahteraan bagi warga negaranya.

Konsekuensinya adalah bahwa hukum mengikat setiap tindakan yang dilakukan

oleh setiap warga negara Indonesia tanpa ada pengecualiannya.

Dalam konteks negara hukum setidaknya ada dua prinsip yang harus

ada dalam sebuah negara hukum yaitu adanya pembatasan kekuasaan negara

dan organ-organ negara dengan cara menerapkan prinsip pembagian

kekuasaan secara vertikal atau pemisahan kekuasaan secara horizontal.

Kekuasaan selalu harus dibatasi dengan cara memisah-misahkan kekuasaan

ke dalam cabang- cabang yang bersifat ‘checks and balances’ dalam

kedudukan yang sederajat dan saling mengimbangi dan mengendalikan satu

sama lainnya. Dengan begitu, kekuasaan tidak tersentralisasi dan

terkonsentrasi dalam satu organ atau satu tangan yang memungkinkan

terjadinya kesewenang-wenangan. Prinsip lain yang harus ada dalam suatu

negara hukum adalah prinsip peradilan yang bebas dan tidak memihak

(independent and impartial judiciary).

Peradilan bebas dan tidak memihak ini mutlak harus ada dalam setiap

Negara Hukum. Dengan demikian, dalam menjalankan tugas yudisialnya,


3
hakim

4
tidak boleh dipengaruhi oleh siapapun juga. Untuk menjamin tegaknya keadilan,

tidak diperkenankan adanya intervensi ke dalam proses pengambilan putusan

pengadilan oleh hakim, baik intervensi dari lingkungan kekuasaan eksekutif

maupun legislatif ataupun dari kalangan masyarakat dan media massa. Dalam

menjalankan tugasnya, hakim tidak boleh memihak kepada siapapun juga

kecuali hanya kepada kebenaran dan keadilan. Dalam memeriksa, mengadili

dan memutus suatu perkara, hakim harus menghayati nilai-nilai keadilan yang

hidup di tengah-tengah masyarakat. Hakim tidak hanya bertindak sebagai

‘mulut’ undang-undang atau peraturan perundang-undangan, melainkan juga

‘mulut’ keadilan yang menyuarakan perasaan keadilan yang hidup di tengah-

tengah masyarakat.

Prinsip pembatasan kekuasaan negara dan organ-organ negara, dan

prinsip peradilan yang bebas dan tidak memihak secara konstitusional itu telah

diterapkan dalam perubahan sistem kekuasaan kehakiman sebagaimana diatur

dalam Pasal 24, 24A, 24B, 24C, dan 25 UUD 1945. Pasal 24 menyatakan

bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk

menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.

Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung (MA) dan

badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum,

lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh

sebuah Mahkamah Konstitusi (MK). MA dan MK sebagai pelaku kekuasaan

kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka, namun demikian sebagai

lembaga, penyelenggaraan pelayanan publik yang dilakukan MA dan MK harus

dapat dipertanggungjawabkan (akuntabel).

5
Dalam Pasal 24B hasil Amandemen Ketiga UUD 1945, ditegaskan

adanya ide pembentukan Komisi Yudisial sebagai lembaga konstitusional baru

yang sederajat kedudukannya dengan lembaga konstitusional lainnya. 1 Komisi

Yudisial dibentuk dengan harapan untuk menegakkan kehormatan dan perilaku

para hakim. Dalam hal ini Komisi Yudisial berfungsi sebagai pengawas.

Berkaitan dengan fungsi Komisi Yudisial, maka perlu melakukan langkah-

langkah pembaharuan yang berorientasi kepada terciptanya lembaga peradilan

yang sungguh-sungguh bersih dan berwibawa guna menjamin masyarakat dan

para pencari keadilan memperoleh keadilan dan diperlakukan secara adil

sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Sejalan dengan itu, Komisi Yudisial memang mempunyai peranan

penting dalam upaya mewujudkan kekuasaan kehakiman yang merdeka

melalui pencalonan hakim agung serta pengawasan terhadap hakim yang

transparan dan partisipatif guna menegakkan kehormatan dan keluhuran

martabat, serta perilaku hakim. Pengawasan oleh Komisi Yudisial ini pada

prinsipnya bertujuan agar hakim agung dan hakim dalam menjalankan

wewenang dan tugasnya sungguh-sungguh didasarkan dan sesuai dengan

peraturan perundangan-undangan yang berlaku, kebenaran, dan rasa

keadilan masyarakat serta menjunjung tinggi kode etik profesi hakim.2

Sementara itu, menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku di

Indonesia terkait Komisi Yudisial yaitu Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011

1
Pasal 24B UUD 1945 : “Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan
pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan
menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim”.
2
Nurul Chotidjah. "Eksistensi Komisi Yudisial Dalam Mewujudkan Kekuasaan Kehakiman Yang
Merdeka." Syiar Hukum 12.2 (2010): 166-177.

6
Tentang Komisi Yudisial mengemukaan bahwa Komisi Yudisial merupakan

lembaga negara yang bersifat mandiri dimana dalam pelaksanaan

wewenangnya bebas dari campur tangan atau pengaruh kekuasaan eksekutif,

legislatif dan kekuasaan lainnya.3 Berkedudukan di Ibukota Negara Republik

Indonesia4, yaitu Jakarta. Dalam memutar roda organisasinya digerakkan oleh

pimpinan dan anggota, terdiri atas seorang Ketua dan seorang Wakil Ketua

yang merangkap anggota, jumlahnya tujuh orang anggota yang berstatus

sebagai pejabat negara.5 Keanggotaan Komisi Yudisial terdiri atas mantan

hakim, praktisi hukum, akademisi hukum dan anggota masyarakat.

Komisi Yudisial berperan penting dalam upaya mewujudkan kekuasaan

kehakiman yang merdeka demi terwujudnya kekuasaan kehakiman yang

independen, dapat dipercaya, dan bersih. Komisi Yudisial dibentuk dalam

struktur kekuasaan kehakiman adalah agar warga masyarakat di luar struktur

resmi lembaga parlemen dapat dilibatkan dalam proses pengangkatan,

penilaian kinerja dan pemberhentian hakim. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga

dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim dalam

rangka mewujudkan kebenaran dan keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang

Maha Esa. Dengan kehormatan dan keluhuran martabatnya itu kekuasaan

kehakiman yang merdeka dan bersifat imparsial (independent dan impartial

judiciary) diharapkan dapat diwujudkan, yang sekaligus diimbangi oleh prinsip

akuntabilitas kekuasaan kehakiman, baik dari segi hukum maupun segi etika.

3
Wahyu Wiriadinata. "Komisi Yudisial dan Pengawasan Hakim di Indonesia." Jurnal Hukum &
Pembangunan 43.4 (2013): 530-545.
4
Pasal 3 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 Tentang Komisi Yudisial.
5
Pasal 6 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 Tentang Komisi Yudisial.

7
2. Kedudukan Komisi Yudisial

Komisi Yudisial pada prinsipnya merupakan amanah reformasi,

khususnya reformasi peradilan. Kita tidak dapat menutup mata dalam menatap

realitas peradilan di Indonesia. Sudah menjadi rahasia umum bahwa “praktek

mafia peradilan” telah merambah ke segala lingkungan badan peradilan di

hampir semua lingkungan peradilan di berbagai tingkatannya, dengan

melibatkan hampir semua pihak yang terkait dengan dunia peradilan. 6 Tentu

kita tidak rela menyaksikan hakim yang menyalahgunakan kekuasaannya

karena terlibat dalam praktek “mafia peradilan” justru berlindung dibalik

kekuasaan kehakiman yang merdeka.

Kedudukan komisi ini ditentukan oleh UUD 1945 sebagai lembaga

negara yang tersendiri karena dianggap sangat penting dalam upaya nenjaga

dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat dan peri aku hakim. Jika

hakim dihormati karena integritas dan kualitasnya, maka rule of law dapat

sungguh- sungguh ditegakkan sebagaimana mestinya. Tegaknya rule of law itu

justru merupakan prasyarat bagi tumbuh dan berkembang sehatnya sistem

demokrasi yang hendak dibangun menurut sistem konstitusional UUD 1945.

Demokrasi tidak mungkin tumbuh dan berkembang, jika rule of law tidak tegak

dengan kehormatan, kewibawaan, dan keterpercayaannya.

Karena pentingnya upaya untuk menjaga dan menegakkan kehormatan,

keluhuran martabat, dan perilaku hakim itu, maka diperlukan lembaga yang

tersendiri yang bersifat mandiri agar pengawasan yang dilakukannya dapat

6
Fandi Saputra. Kedudukan Komisi Yudisial Sebagai Lembaga Negara. Diss. Tadulako
University, 2013.

8
efektif. Sistem pengawasan internal saja seperti yang sudah ada selama ini,

yaitu adanya majelis kehormatan hakim, tidak terbukti efektif dalam melakukan

pengawasan. Oleh karena itu, dalam rangka perubahan UUD 1945, diadakan

lembaga tersendiri yang bernama Komisi Yudisial.7

Bahkan, lebih jauh lagi, keberadaan lembaga baru yang akan

mengawasi agar perilaku hakim menjadi baik (good conduct) ini di harapkan

pula dapat menjadi simbol mengenai pentingnya infra struktur sistem etika

perilaku (good conduct) dalam sistem ketata negaraan Republik Indonesia

menurut UUD 1945. Dengan adanya Komisi Yudisial ini sebagai salah satu

lembaga negara yang bersifat penunjang (auxiliary organ) terhadap lembaga

kekuasaan kehakiman,

Komisi Yudisial lahir pada era reformasi saat amandemen ke III Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada tahun 2001

bersamaan dengan Dewan Perwakilan Daerah dan Mahkamah Konstitusi.

Walaupun Komisi Yudisial adalah lembaga baru, namun keberadaannya

memperoleh justifikasi hukum yang sangat kuat karena diatur secara tegas di

dalam konstitusi / Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945 dan kewenangannya diberikan oleh konstitusi.

Kehadiran Komisi Yudisial di dalam sistem kekuasaan kehakiman di

Indonesia bukanlah sebagai “asesoris” demokrasi atau proses penegakan

hukum. Komisi Yudisial lahir sebagai konsekuensi politik yang ditujukan untuk

membangun sistem saling awas dan saling imbang (check and balances) di

dalam struktur kekuasaan termasuk di dalamnya pada sub sistem kekuasaan

7
Jimly Asshiddiqie, Perkembangan & Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Jakarta:
SinarGrafika, 2012, Hlm. 158
8
kehakiman.8 Hakim sebagai pelaku utama fungsi peradilan tidak lagi menjaga

dan menegakan kehormatan dan keluhuran martabat serta perilaku hakim.

Sebagai lembaga Negara yang lahir dari tuntutan “reformasi” dan

bertugas mendorong reformasi peradilan, tentu saja Komisi Yudisial tidak

mungkin membiarkan terus menerus praktek-praktek “hina”, penyalahgunaan

wewenang dibadan peradilan yang disebut “yudicial corruption” itu. Komisi

Yudisial diberikan kewenangan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 24B ayat

(1) UUD 1945 yaitu bahwa Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang

mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain

dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat,serta

perilaku hakim.

Sebagai lembaga negara Komisi Yudisial mempunyai kedudukan sama

dengan lembaga negara lainnya yang telah dikemukakan di atas dalam

lingkungan yudikakatif seperti Mahkamah Agung. Komisi Yudisial mempunyai

kewenangan yang diberikan langsung oleh UUD 1945 yang kemudian

dijabarkan dalam Undang-Undang nomor 22 tahun 2004 sebagaimana telah

diubah menjadi Undang-Undang Nomor 18 tahun 2011 tentang Komisi Yudisial.

3. Wewenang Komisi Yudisial

Secara substansial UndangUndang Nomor 18 Tahun 2011 tersebut

memuat ketentuan-ketentuan mengenai penguatan kelembagaan,

mempertegas wewenang yang telah ada, dan menambah wewenang baru.

Penguatan kelembagaan dinyatakan dalam ketentuan yang memberikan tugas

kepada

8
Mustafa Abdullah, Fungsi Komisi Yudisial Dalam Mewujukan Lembaga Peradilan yang
bermartabat dan Profesional, Buletin Komisi Yudisial Vol. II No 2-Oktober 2007, hlm. 13-17
9
Sekretariat Jenderal untuk memberikan dukungan teknis operasional dan teknis

administratif. Komisi Yudisial juga diberikan wewenang untuk membentuk

Penghubung di daerah sesuai kebutuhan. Penegasan wewenang dinyatakan

dalam ketentuan yang menjabarkan wewenang menjaga dan wewenang

menegakkan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim secara lebih rinci serta

memberikan jalan keluar apabila rekomendasi Komisi Yudisial tidak

ditindaklanjuti oleh Mahkamah Agung. Beberapa wewenang dan tugas baru

Komisi Yudisial dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 adalah sebagai

berikut :

a. Melakukan seleksi pengangkatan hakim ad hoc di Mahkamah Agung;

b. Melakukan upaya peningkatan kapasitas dan kesejahteraan hakim;

c. Melakukan langkah-langkah hukum untuk menjaga kehormatan,

keluhuran martabat, serta perilaku hakim;

d. Melakukan penyadapan bekerjasama dengan aparat penegak hukum;

dan

e. Melakukan pemanggilan paksa terhadap saksi.

4. Tugas dan Fungsi Komisi Yudisial Terhadap Pengawasan Hakim

Undang-Undang mengamanatkan bahwa Komisi Yudisial merupakan

pengawas eksternal perilaku hakim berpedoman pada Kode Etik dan Pedoman

Perilaku Hakim yang disusun bersama oleh Komisi Yudisial dan Mahkamah

Agung. Hakim merupakan konkritisasi hukum dan keadilan yang bersifat

abstrak, dan digambarkan bahwa hakim sebagai wakil Tuhan di bumi untuk

menegakkan

10
hukum dan keadilan.9 Hakim melalui putusannya, dapat mengalihkan hak

kepemilikan seseorang, mencabut kebebasan warga negara, menyatakan tidak

sah tindakan sewenang-wenang pemerintah terhadap masyarakat, sampai

dengan memerintahkan penghilangan hak hidup seseorang. 10 Oleh sebab itu,

semua kewenangan yang dimiliki oleh hakim harus dilaksanakan dalam rangka

menegakkan hukum, kebenaran dan keadilan tanpa pandang bulu dengan tidak

membeda-bedakan orang seperti diatur dalam lafal sumpah seorang hakim, di

mana setiap orang sama kedudukannya di depan hukum dan hakim.

Kewenangan hakim yang sangat besar itu menuntut tanggungjawab yang

tinggi, sehingga putusan pengadilan yang diucapkan dengan irah-irah “Demi

Keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” mengandung arti bahwa

kewajiban menegakkan hukum, kebenaran dan keadilan itu wajib

dipertanggung-jawabkan secara horizontal kepada semua manusia, dan secara

vertikal dipertanggung- jawabkan kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Sebagai lembaga yang memiliki sifat independensi, Komisi Yudisial tidak

cukup untuk dikatakan sebagai lembaga yang dapat mewujudkan keinginan

masyarakat untuk mengawasi sistem peradilan melalui hakim-hakim yang ada.

Namun hal itu dapat terwujud ketika independensi tersebut diikuti dengan

akuntabilitas dan tekad yang kuat dengan demikian dapat memperkuat

kewenangan dan tugas Komisi Yudisial dalam menjalankan perannya. Di

Indonesia kehadiran Komisi Yudisial dalam rumpun kekuasaan kehakiman,

9
Djanggih, H., & Hipan, N. (2018). Pertimbangan Hakim dalam Perkarapencemaran Nama Baik
Melalui Media Sosial (Kajian Putusan Nomor: 324/Pid./2014/PN. SGM). Jurnal Penelitian
Hukum De Jure, 18(1), h.96.
10
Indrayati, R. (2016). Revitalisasai Peran Hakim Sebagai Pelaku Kekuasaan Kehakiman
Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, Kertha Patrika, 38(1), h.118.

11
sebenarnya justru dilatarbelakangi sebagai gejala reaksional. Dikatakan

sebagai gejala reaksional karena pertama; terdapat reaksi kekecewaan yang

cukup akumulatif terhadap independensi peradilan di Indonesia. Sebastian

Pompe misalnya, secara terang-terangan membuka sejarah kelam

independensi peradilan di Indonesia dalam disertasinya yang berjudul The

Indonesian Superme Court; A Study of Institutional Collapse.11

Sejak awal berdiri, Komisi Yudisial telah menetapkan garis Kebijakan

yang menempatkan civil society sebagai mitra strategis. Dalam kerangka ini

Komisi Yudisial menyadari betul bahwa upaya mensosialisasikan Kode Etik dan

Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH) kepada kalangan hakim tak akan bisa

dilakukan tanpa memperkuat sistem di internal. Dalam kaitan itu, Komisi

Yudisial melakukan penataan mekanisme pengaduan. Verifikasi atas

pengaduan masyarakat merupakan langkah yang selalu ditempuh Komisi

Yudisial.12 Perjalanan waktu telah membawa Komisi Yudisial semakin mantap

menghadapi berbagai kendala dalam melaksanakan tugas dan mewujudkan

kewenangan yang dimiliki sesuai amanat undang-undang. Masyarakat menaruh

harapan sangat tinggi kepada Komisi Yudisial untuk memaksimalkan perannya

dalam mengawasi hakim, agar suasana peradilan dapat terjamin dan

mengutamakan keadilan.13 Kewenangan pengawasan hakim yang dimiliki

Komisi Yudisial bertujuan untuk memperkuat akuntabilitas dunia peradilan.

Kewenangan

11
Rishan, I., & Putra, A. (2017), Model dan Kewenangan Komisi Yudisial: Komparasi dengan
Bulgaria, Argentina, Afrika Selatan, dan Mongolia, Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM, 24(3),
h.353.
12
Fedrian, D. Membumikan Kode Etik & Pedoman Perilaku Hakim, Buletin Komisi Yudisial, 7(2),
h. 13.
13
Hormati, D. S. (2017). Kajian Yuridis Tentang Peran Komisi Yudisial Dalam Penegakkan

12
Kode Etik Mengenai Perilaku Hakim. Lex Privatum, 5(8), h.89.

13
tersebut tercantum dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009, tentang

Kekuasaan Kehakiman dan khususnya Undang-Undang Nomor 18 Tahun

2011, pasal 20A ayat (1) poin d yang berbunyi: Dalam melaksanakan tugas,

Komisi Yudisial wajib menjaga kemandirian dan kebebasan hakim dalam

memeriksa, mengadili, dan memutus perkara.14

Faktanya bahwa sebagian besar laporan masyarakat yang disampaikan

kepada Komisi Yudisial menyangkut perilaku hakim dalam mengadili dan/atau

memutus/menetapkan putusan, sehingga tidak bisa terhindarkan dalam

memeriksa laporan masyarakat, Komisi Yudisial harus membaca putusan

sebagai pintu masuk dan/atau bukti terjadi atau tidaknya pelanggaran kode etik

dan pedoman perilaku hakim.15

Reformasi melahirkan Komisi Yudisial sebagai lembaga yang berwenang

untuk menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta

perilaku hakim. Sesuai Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun

2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang

Komisi Yudisial, salah satu tugas yang melekat pada lembaga ini adalah

pengawasan hakim.

Berdasarkan hal tersebut, Komisi Yudisial memiliki tugas: 16

a. Melakukan pemantauan dan pengawasan terhadap perilaku hakim;

b. Menerima laporan dari masyarakat berkaitan dengan pelanggaran Kode

Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim;

14
Komisi Yudisial. (2012). Tegaskan Menjaga Independensi Peradilan, Buletin Komisi Yudisial,
8(2), h.9.
15
Rishan, I. (2013). Komisi Yudisial: Suatu Upaya Mewujudkan Wibawa Peradilan. Genta Press.
H.4.

14
16
Pasal 20 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 Tentang Komisi Yudisial.

15
c. Melakukan verifikasi, klarifikasi, dan investigasi terhadap laporan dugaan

pelanggaran Kode Etik dan/ atau Pedoman Perilaku Hakim secara

tertutup;

d. Memutuskan benar tidaknya laporan dugaan pelanggaran Kode Etik

dan/atau Pedoman Perilaku Hakim; dan

e. Mengambil langkah hukum dan/atau langkah lain terhadap orang

perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan

kehormatan dan keluhuran martabat Hakim.

Sebagai pengawas eksternal, Komisi Yudisial bersama pengawas internal

kehakiman, Badan Pengawasan Mahkamah Agung, menyelaraskan

pelaksanaan fungsi pengawasan tersebut melalui beberapa peraturan bersama.

Salah satunya, keputusan bersama Mahkamah Agung Republik Indonesia dan

Komisi Yudisial Republik Indonesia Nomor: 047/KMA/SKB/IV/2009-

02/SKB/P.KY/IV/2009 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim

(KEPPH). Selain itu, terdapat pula beberapa peraturan bersama, seperti

Peraturan Bersama tentang Panduan Penegakan Kode Etik dan Pedoman

Perilaku Hakim; Peraturan Bersama tentang Tata Cara Pemeriksaan Bersama;

dan Peraturan Bersama tentang Tata Cara Pembentukan, Tata Kerja, dan Tata

Cara Pengambilan Keputusan Majelis Kehormatan Hakim yang disusun tahun

2012.

Dalam hal proses adanya dugaan terhadap hakim melakukan

pelanggaran kode etik, berikut diuraikan tata cara laporan yang diajukan

masyarakat.

a. Laporan ditulis dalam bahasa Indonesia ditujukan kepada Ketua Komisi

Yudisial.

16
b. Mencantumkan identitas Pelapor, meliputi: nama, alamat dan nomor

telepon yang bisa dihubungi.

c. Mencantumkan identitas penerima kuasa (apabila menggunakan kuasa),

meliputi: nama, alamat, pekerjaan dan nomor telepon yang bisa

dihubungi.

d. Mencantumkan identitas terlapor, meliputi: nama, jabatan, instansi dan /

atau nomor perkara jika terkait dengan putusan.

e. Memuat pokok laporan, berisi hal penting / pokok pikiran yang akan

dipelajari, diteliti/ditelaah oleh Komisi Yudisial.

f. Kronologis / Kasus Posisi, ditulis secara jelas dan singkat tentang

persoalan yang terjadi.

g. Hal yang dimohonkan untuk dilakukan oleh Komisi Yudisial.

h. Lampiran laporan (kelengkapan data).

Komisi Yudisial dalam melakukan pemeriksaan laporan masyarakat,

berpedoman pada 10 butir perilaku utama sebagaimana dimaksud dalam Kode

Etik dan Perilaku Hakim. Komisi Yudisial Republik Indonesia adalah Lembaga

Negara yang diorientasikan untuk membangun sistem checks and balances

dalam sistem kekuasaan kehakiman. Melihat kewenangan yang dimiliki, Komisi

Yudisial merupakan organisasi publik yang dituntut bisa menjalankan

aktivitasnya secara fleksibel dan mudah dikembangkan sejalan dengan

perkembangan situasi eksternal.17

17
Hasan, Nur Kautsar, Nasrun Hipan, dan Hardianto Djanggih. "Efektifitas Pengawasan Komisi
Yudisial Dalam Mengawasi Kode Etik Profesi Hakim." Jurnal Kertha Patrika 40.3 (2018): 141-
154.

17
Laporan yang masuk akan diverifikasi kelengkapan persyaratan untuk

dapat diregister. Hanya laporan yang memenuhi syarat administrasi dan

substansi, maka dapat dilakukan registrasi. Setelah diregistrasi, Komisi Yudisial

akan melakukan proses penanganan lanjutan dengan melakukan penanganan

analisis laporan berupa anotasi untuk menelaah dan mengidentifikasi terkait

dugaan pelanggaran KEPPH.

Jika ada laporan yang terindikasi pelanggaran KEPPH, maka akan

dilakukan pemeriksaan terhadap pelapor, saksi, dan/atau ahli. Tujuannya, untuk

memperoleh bukti-bukti yang menguatkan laporan tersebut dapat ditindaklanjuti

atau tidak dapat ditindaklanjuti oleh Komisi Yudisial. Hasil analisis dan/atau

pemeriksaan pelapor dan saksi dituangkan dalam bentuk Laporan Penanganan

Pendahuluan (LPP) yang akan dibawa ke Sidang Panel. Proses ini dilakukan

secara tertutup dan bersifat rahasia. Sidang Panel merupakan forum

pengambilan keputusan oleh tiga Anggota Komisi Yudisial untuk memutuskan

apakah laporan masyarakat itu dapat ditindaklanjuti atau tidak dapat

ditindaklanjuti. Proses ini pun dilakukan secara tertutup dan bersifat rahasia.

Laporan yang putusannya dapat ditindaklanjuti karena terdapat dugaan

pelanggaran KEPPH, maka akan dilakukan pemeriksaan atau permintaan

klarifikasi kepada hakim terlapor. Hasil pemeriksaan atau klarifikasi hakim

terlapor dituangkan dalam bentuk Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP).

Sebaliknya, apabila Sidang Panel memutuskan laporan tersebut tidak dapat

ditindaklanjuti karena tidak terdapat dugaan pelanggaran KEPPH, maka

penanganan laporan masyarakat dianggap berakhir.

18
5. Penjatuhan Sanksi Terhadap Hakim Agung

Untuk kepentingan pelaksanaan kewenangan menegakkan kehormatan

dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim, Komisi Yudisial bertugas

mengajukan usul penjatuhan sanksi terhadap hakim kepada pimpinan

Mahkamah Agung dan/atau Mahkamah Konstitusi. Menurut ketentuan Pasal 23

ayat (1) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004, usul penjatuhan sanksi ini

dapat berupa: (a) teguran tertulis; (b) pemberhentian sementara; atau (c)

pemberhentian. Usul penjatuhan sanksi dari Komisi Yudisial ini bersifat

mengikat dan disampaikan oleh Komisi Yudisial kepada pimpinan Mahkamah

Agung dan/atau Mahkamah Konstitusi. Dengan dua wewenang tersebut, yaitu

(1) mengusulkan pengangkatan hakim agung kepada Dewan Perwakilan

Rakyat (DPR); dan (2) menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta

menjaga perilaku hakim, Komisi Yudisial memiliki andil besar dalam rangka

menunjang tercipatnya independensi kekuasaan kehakiman dengan cara

menjamin kontinuitas hakim-hakim yang bertugas di lapangan untuk tetap

berpegang teguh pada nilai-nilai moralitasnya sebagai seorang hakim yang

harus memiliki integritas dan kepribadian tidak tercela, jujur, adil, serta serta

menjunjung tinggi nilai-nilai profesionalisme.18

Sehingga wewenang pengawasan Komisi Yudisial masih belum cukup

kuat karena produknya besifat rekomendasi yang tidak mengikat. Meskipun

dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 Tentang Komisi Yudisial

terdapat klausul yang menyatakan bahwa rekomendasi terkait usul

penjatuhan sanksi

18
Thohari, A. Ahsin. "Komisi Yudisial dan Independensi Kekuasaan Kehakiman." Lex
Jurnalica 1.2 (2004): 17971.
19
Komisi Yudisial dapat berlaku otomatis, namun tidak ada sanksi bagi Mahkamah

Agung apabila tidak menindaklanjuti rekomendasi tersebut. 19

19
Kariang, Apriyanto. "Wewenang Pengawasan Terhadap Hakim Oleh Komisi Yudisial
Berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan." Lex Administratum 6.1 (2018).

18
DAFTAR PUSTAKA

Asshiddiqie, Jimly. (2012). Perkembangan & Konsolidasi Lembaga Negara

Pasca Reformasi. Jakarta: SinarGrafika.

Chotidjah, N. (2010). Eksistensi Komisi Yudisial Dalam Mewujudkan

Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka. Syiar Hukum, 12(2), 166-177.

Djanggih, H., & Hipan, N. (2018). Pertimbangan Hakim dalam

Perkarapencemaran Nama Baik Melalui Media Sosial (Kajian Putusan

Nomor: 324/Pid./2014/PN. SGM). Jurnal Penelitian Hukum DE JURE,

18(1), 93- 102.

Fedrian, D.F. (2012). Membumikan Kode Etik & Pedoman Perilaku Hakim.

Buletin Komisi Yudisial, 7(2).

Hasan, N. K., Hipan, N., & Djanggih, H. (2018). Efektifitas Pengawasan Komisi

Yudisial Dalam Mengawasi Kode Etik Profesi Hakim. Jurnal Kertha

Patrika, 40(3), 141-154.

Hormati, D. Z. (2017). Kajian Yuridis Tentang Peran Komisi Yudisial Dalam

Penegakkan Kode Etik Mengenai Perilaku Hakim. Jurnal Lex Privatum.

5(8).

Indrayati, R. (2016). Revitalisasai Peran Hakim Sebagai Pelaku Kekuasaan

Kehakiman Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia. KerthaPatrika,

38(1).

19
Kariang, A. (2018). Wewenang Pengawasan Terhadap Hakim Oleh Komisi

Yudisial Berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan. Lex

Administratum, 6(1).

Mustafa Abdullah. (2007). Fungsi Komisi Yudisial Dalam Mewujudkan Lembaga

Peradilan Yang Bermartabat dab Profesional. Buletin Komisi Yudisial

Vol. II No.2.

Rishan, I. &Pangaribuan, A.P.H. (2017). Model dan Kewenangan Komisi

Yudisial: Komparasi dengan Bulgaria, Argentina, Afrika Selatan, dan

Mongolia, Jurnal IusQuiaIustum, 23(3).

Saputra, F. (2013). Kedudukan Komisi Yudisial Sebagai Lembaga

Negara (Doctoral dissertation, Tadulako University).

Thohari, A. A. (2004). Komisi Yudisial dan Independensi Kekuasaan

Kehakiman. Lex Jurnalica, 1(2), 17971.

Wiriadinata, W. (2013). Komisi Yudisial dan Pengawasan Hakim di

Indonesia. Jurnal Hukum & Pembangunan, 43(4), 530-545.

Yudisial, K. (2012). Tegaskan Menjaga Independensi Peradilan, Buletin Komisi

Yudisial, 8(2).

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 Tentang Komisi

Yudisial

20

Anda mungkin juga menyukai