Anda di halaman 1dari 28

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk


menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan
Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia. Pernyataan
tersebut merupakan pengertian kekuasaan kehakiman yang tercantum pula dalam
Pasal 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Sebagai konsekuensi dari sistem pembagian kekuasaan yang diterapkan di
negara ini, fungsi kekuasaan kehakiman atau yudikatif dipegang oleh lembaga-
lembaga yang telah ditentukan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Bab IX UUD 1945 menyebutkan tiga
lembaga negara yang termasuk dalam lingkup kekuasaan kehakiman, yaitu
Mahkamah Agung (MA), Mahkamah Konstitusi (MK), dan Komisi Yudisial
(KY). Namun, menurut Pasal 24 ayat (2), hanya MA (dan badan peradilan di
bawahnya) dan MK yang merupakan penyelenggara kekuasaan kehakiman,
sedangkan KY tidak memiliki kewenangan tersebut sehingga badan ini sering
disebut sebagai lembaga ekstra-yudisial.
Pengadilan, sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman, adalah salah satu
unsur penting dalam sebuah negara yang berdasarkan hukum (rechtsstaat). Hanya
pengadilan yang memenuhi kriteria mandiri (independen), netral (tidak berpihak),
dan kompeten yang dapat menjamin pemenuhan hak asasi manusia. Oleh karena
itu, posisi hakim sebagai aktor utama lembaga peradilan menjadi amat vital,
terlebih lagi mengingat segala kewenangan yang dimilikinya. Melalui putusannya,
hakim dapat mengubah, mengalihkan, atau bahkan mencabut hak dan kebebasan
warga negara, dan semua itu dilakukan dalam rangka menegakkan hukum dan
keadilan. Besarnya kewenangan dan tingginya tanggung jawab hakim ditunjukkan
melalui putusan pengadilan yang selalu diucapkan dengan irah-irah "Demi
Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa". Hal ini menegaskan bahwa
kewajiban menegakkan keadilan tidak hanya dipertanggungjawabkan kepada
sesama manusia, tetapi juga kepada Tuhan Yang Maha Esa.

1
Setiap profesi di berbagai bidang memiliki nilai-nilai yang dijunjung untuk
dijadikan pedoman dalam kehidupan profesi yang bersangkutan. Demikian halnya
dengan profesi hakim di Indonesia, di mana terdapat suatu kode etik yang
didasarkan pada nilai-nilai yang berlaku di Indonesia serta nilai-nilai yang bersifat
universal bagi hakim sebagai pelaksana fungsi yudikatif. Kode etik penting bagi
hakim untuk mengatur tata tertib dan perilaku hakim dalam menjalankan
profesinya.
Kode Etik Profesi Hakim Indonesia pertama kali disusun oleh Ikatan
Hakim Indonesia (IKAHI) pada Kongres III IKAHI tanggal 5-7 April 1965.
Seiring berjalannya waktu, perkembangan berbagai hal seputar IKAHI sebagai
wadah profesi hakim dan Kode Etik Profesi Hakim Indonesia terus berlangsung.
Dan yang paling terkini adalah ketika MA menerbitkan Pedoman Perilaku Hakim
bersamaan dengan disosialisasikannya Pedoman Etika Perilaku Hakim yang
disusun KY, sehingga peristiwa ini menjadi bagian dari ketidaksepahaman antara
MA dan KY.1
Berkaitan dengan fenomena yang tengah berkembang di masyarakat
seputar konflik antara MA dan KY, Hakim Agung Ad Hoc Tindak Pidana
Korupsi (Tipikor) Sophian Marthabaya berpendapat bahwa suatu kode etik
berlaku bagi suatu profesi tertentu sehingga sebuah kode etik harus disusun oleh
profesi yang bersangkutan yang akan menjalankan kode etik tersebut. Alangkah
janggalnya apabila kode etik disusun oleh suatu institusi di luar profesi yang akan
menjadikan kode etik itu sebagai pedomannya. Idealnya, sebuah pedoman untuk
melakukan pekerjaan dibuat sendiri oleh pihak yang akan menjalankan pekerjaan
tersebut. Bagaimanapun, kode etik dibuat untuk mengatur perilaku dan sepak
terjang individu profesional dalam menjalankan profesinya.
Penegakan supremasi hukum sebagai bagian dari agenda reformasi telah
menjadi komitmen pemerintah sejak masa keruntuhan rezim Orde Baru hingga
saat ini. Namun demikian, harapan pencari keadilan terhadap lembaga peradilan
sebagai benteng terakhir untuk memperoleh keadilan belum sepenuhnya dapat
memuaskan seluruh pihak. Masyarakat mengkritik bahwa lembaga peradilan
belum seperti yang diharapkan. Lambat menangani perkara, biaya yang mahal,
1
Kamil, Iskandar. "Kode Etik Profesi Hakim" dalam Pedoman Perilaku Hakim (Code of
Conduct), Kode Etik Hakim dan Makalah Berkaitan. Jakarta: Mahkamah Agung RI, 2006.

2
administrasi yang berbelit-belit, perbuatan dan tingkah laku pejabat peradilan
yang dianggap tercela, hingga dugaan adanya mafia peradilan (judicial corruption)
menjadi alasan tidak percayanya sebagian besar masyarakat terhadap lembaga
peradilan.
Seiring berjalannya pemerintahan sejak awal reformasi hingga saat ini,
publik sadar bahwa praktik penyalahgunaan wewenang di badan peradilan
cenderung menguat dan merusak seluruh sendi peradilan. Hal ini mengakibatkan
menurunnya kewibawaan dan kepercayaan badan peradilan terhadap masyarakat
dan dunia internasional. Keadaan badan peradilan yang demikian mendesak
pihak- pihak yang berwenang dalam menjalankan negara ini untuk melakukan
upaya- upaya luar biasa yang berorientasi kepada terciptanya badan peradilan dan
hakim yang dapat menjamin masyarakat memperoleh keadilan, dan diperlakukan
secara adil dalam proses pengadilan sesuai peraturan perundang-undangan.
Terjadinya praktik penyalahgunaan wewenang di lembaga peradilan
disebabkan oleh banyak faktor, antara lain adalah tidak efektifnya pengawasan
internal yang diterapkan di badan peradilan selama ini. Dengan kata lain,
tingginya urgensi pembentukan Komisi Yudisial sebagai lembaga pengawas
eksternal didasarkan pada lemahnya pengawasan internal tersebut. Menurut Mas
Achmad Santosa, lemahnya pengawasan internal tersebut disebabkan oleh
beberapa faktor, antara lain:
1. Kualitas dan integritas pengawas yang tidak memadai;
2. proses pemeriksaan disiplin yang tidak transparan;
3. belum adanya kemudahan bagi masyarakat yang dirugikan untuk
menyampaikan pengaduan, memantau proses serta hasilnya (ketiadaan akses);
4. semangat membela sesama korps (esprit de corps) yang mengakibatkan
penjatuhan hukuman tidak seimbang dengan perbuatan. Setiap upaya untuk
memperbaiki suatu kondisi yang buruk pasti akan mendapat reaksi dari pihak
yang selama ini mendapatkan keuntungan dari kondisi yang buruk itu; dan
5. tidak terdapat kehendak yang kuat dari pimpinan lembaga penegak hukum
untuk menindaklanjuti hasil pengawasan.
Hal-hal yang diuraikan di atas menunjukkan bahwa tidak efektifnya fungsi
pengawasan internal badan peradilan pada dasarnya disebabkan oleh dua faktor

3
utama, yaitu adanya semangat membela sesama korps (esprit de corps) dan tidak
adanya kehendak yang sungguh-sungguh dari pimpinan badan peradilan untuk
menindaklanjuti hasil pengawasan internal terhadap hakim. Akibatnya, peluang
bagi hakim yang terbukti melakukan pelanggaran hukum dan kode etik untuk
mendapat "pengampunan" dari pimpinan badan peradilan yang bersangkutan akan
semakin terbuka. Oleh karena itu, kehadiran suatu lembaga khusus yang
menjalankan fungsi pengawasan eksternal terhadap hakim dirasakan sangat
mendesak.

B. Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam penulisan ini adalah :


1. Bagaimanakah Profesi Hakim dan Karakteristiknya?
2. Bagaimanakah tangung jawab profesi Hakim?
3. Bagaimanakah tanggung jawab moral Hakim?

C. Tujuan Penulisan

Kami melakukan penulisan makalah ini adalah dengan tujuan:

1. Untuk memperoleh jawaban apakah profesi hakim itu dan apa saja yang
menjadi karakteristiknya.
2. Untuk memperoleh jawaban apakah tanggung jawab dari profesi seorang
Hakim.
3. Untuk memperoleh jawaban apakah yang menjadi tanggung jawab moral
seorang Hakim.

D. Kegunaan Penulisan

 Dengan adanya makalah ini diharapkan dapat berguna bagi penulis, dan dapat
berguna untuk menambah khazanah keilmuan terutama di bidang hukum.
 Mendapat pengalaman meneliti mengenai suatu kebijakan yang dikeluarkan
oleh kepala daerah yang berstatus terdakwa.
 Mengembangkan ilmu pengetahuan
Hasil penelitian ini dapat memberi sumbangan yang sangat berharga pada
perkembangan ilmu pendidikan di bidang Hukum.

4
E. Kerangka Pemikiran

1. Kerangka Teoritis

Pengertian Hakim adalah aparat penegak hukum atau pejabat peradilan


negara yang diberi wewenang oleh undang undang untuk mengadili atau
memutuskan suatu perkara. Di dalam Pasal 1 ayat (5) Undang-Undang Nomor 48
Tahun 2009, tentang Kekuasaan Kehakiman, Hakim adalah hakim pada
Mahkamah Agung dan hakim pada badan peradilan yang berada di bawahnya
dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan
peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan hakim pada
pengadilan khusus yang berada dalam lingkungan peradilan tersebut.

2. Kerangka Pemikiran

Hakim adalah pejabat peradilan negara yang diberi wewenang oleh


undang-undang untuk mengadili (Pasal 1 butir 8 KUHAP). Sedangkan istilah
hakim artinya orang yang mengadili perkara dalam pengadilan atau Mahkamah;
Hakim juga berarti pengadilan, jika orang berkata “perkaranya telah diserahkan
kepada Hakim”. Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka
untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan
berdasarkanPancasila, demi terselengaranya negara hukum Republik Indonesia
(Pasal 24 UUD 1945 dan Pasal 1 UU No.48/2009). Berhakim berarti minta diadili
perkaranya; menghakimi artinya berlaku sebagai hakim terhadap seseorang;
kehakiman artinya urusan hukum dan pengadilan, adakalanya istilah hakim
dipakai terhadap seseorang budiman, ahli, dan orang yang bijaksana.
Etika adalah cabang dari filsafat yang menyelidiki penilaian normatif
tentang apakah perilaku ini benar atau apa yang seharusnya dilakukan. Kebutuhan
akan etika muncul dari keinginan untuk menghindari permasalahan –
permasalahan di dunia nyata.
Profesi adalah kegiatan yang dijalankan berdasarkan keahlian tertentu dan
sekaligus dituntut daripadanya pelaksanaan norma-norma sosial dengan baik.
Etika Profesi adalah sikap etis sebagai bagian integral dari sikap hidup
dalam menjalankan kehidupan sebagai pengemban profesi.

5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1. Pengertian Etika

Istilah Etika berasal dari bahasa Yunani kuno. Bentuk tunggal kata ‘etika’
yaitu ethos sedangkan bentuk jamaknya yaitu ta etha. Ethos mempunyai banyak
arti yaitu : tempat tinggal yang biasa, padang rumput, kandang, kebiasaan/adat,
akhlak,watak, perasaan, sikap, cara berpikir. Sedangkan arti ta etha yaitu adat
kebiasaan.
Menurut Brooks (2007), etika adalah cabang dari filsafat yang menyelidiki
penilaian normatif tentang apakah perilaku ini benar atau apa yang seharusnya
dilakukan. Kebutuhan akan etika muncul dari keinginan untuk menghindari
permasalahan – permasalahan di dunia nyata.
Kata ‘etika’ dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yang baru (Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, 1988 – mengutip dari Bertens 2000), mempunyai
arti :
1. Ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan
kewajiban moral (akhlak);
2. Kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak;
3. Nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau
masyarakat.
Etika mencakup analisis dan penerapan konsep seperti benar,salah, baik, buruk,
dan tanggung jawab.

2. Pengertian Profesi

Profesi sendiri berasal dari bahasa latin “Proffesio” yang mempunyai dua
pengertian yaitu janji/ikrar dan pekerjaan. Bila artinya dibuat dalam pengertian
yang lebih luas menjadi kegiatan “apa saja” dan “siapa saja” untuk memperoleh
nafkah yang dilakukan dengan suatu keahlian tertentu.
Sedangkan dalam arti sempit profesi berarti kegiatan yang dijalankan
berdasarkan keahlian tertentu dan sekaligus dituntut daripadanya pelaksanaan

6
norma-norma sosial dengan baik. Profesi merupakan kelompok lapangan kerja
yang khusus melaksanakan kegiatan yang memerlukan ketrampilan dan keahlian
tinggi guna memenuhi kebutuhan yang rumit dari manusia, di dalamnya
pemakaian dengan cara yang benar akan ketrampilan dan keahlian tinggi, hanya
dapat dicapai dengan dimilikinya penguasaan pengetahuan dengan ruang lingkup
yang luas, mencakup sifat manusia, kecenderungan sejarah dan lingkungan
hidupnya serta adanya disiplin etika yang dikembangkan dan diterapkan oleh
kelompok anggota yang menyandang profesi tersebut.

3. Pengertian Etika Profesi

Etika profesi adalah sebagai sikap hidup untuk memenuhi kebutuhan


pelayanan profesional dari klien dengan keterlibatan dan keahlian sebagai
pelayanan dalam rangka kewajiban masyarakat sebagai keseluruhan terhadap para
anggota masyarakat yang membutuhkannya dengan disertai refleksi yang
seksama, (Anang Usman, SH., MSi.)
Etika Profesi merupakan konsep etika yang ditetapkan atau disepakati
pada tatanan profesi atau lingkup kerja tertentu, contoh : pers dan jurnalistik,
engineering (rekayasa), science, medis/dokter, dan sebagainya.
Etika profesi berkaitan dengan bidang pekerjaan yang telah dilakukan
seseorang sehingga sangatlah perlu untuk menjaga profesi dikalangan masyarakat
atau terhadap konsumen (klien atau objek).
Prinsip dasar di dalam etika profesi :
1) Tanggung jawab
 Terhadap pelaksanaan pekerjaan itu dan terhadap hasilnya.
 Terhadap dampak dari profesi itu untuk kehidupan orang lain atau
masyarakat pada umumnya.
2) Keadilan.
3) Prinsip ini menuntut kita untuk memberikan kepada siapa saja apa yang
menjadi haknya.
4) Prinsip Kompetensi, melaksanakan pekerjaan sesuai jasa profesionalnya,
kompetensi dan ketekunan
5) Prinsip Prilaku Profesional, berprilaku konsisten dengan reputasi profesi.

7
6) Prinsip Kerahasiaan, menghormati kerahasiaan informasi.

4. Pengertian Hakim

Pengertian Hakim adalah aparat penegak hukum atau pejabat peradilan


negara yang diberi wewenang oleh undang undang untuk mengadili atau
memutuskan suatu perkara. Di dalam Pasal 1 ayat (5) Undang-Undang Nomor 48
Tahun 2009, tentang Kekuasaan Kehakiman, Hakim adalah hakim pada
Mahkamah Agung dan hakim pada badan peradilan yang berada di bawahnya
dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan
peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan hakim pada
pengadilan khusus yang berada dalam lingkungan peradilan tersebut. Adapun
hakim konstitusi adalah hakim pada Mahkamah Konstitusi. Hakim ad hoc adalah
hakim yang bersifat sementara yang memiliki keahlian dan pengalaman di bidang
tertentu untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang
pengangkatannya diatur dalam undang-undang.
Tugas Hakim secara fungsional di pengadilan melaksanakan dan menggali
keadilan serta berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat
tercapainya peradilan yang dikehendaki undang-undang, oleh karena itu harus
menjunjung tinggi etika profesi. Profesi hakim memiliki sistem etika yang
mampu menciptakan disiplin tata kerja dan menyediakan garis batas tata nilai
yang dapat dijadikan pedoman bagi hakim untuk menyelesaikan tugasnya dalam
menjalankan fungsi dan mengemban profesinya, serta dijadikan pedoman perilaku
keutamaan moral bagi hakim, baik dalam menjalankan fungsi profesinya maupun
dalam hubungan kemasyarakatan di luar kedinasan.

8
BAB III
BAHAN DAN METODE PENULISAN

Bahan hukum yang dikaji, antara lain:


1. Bahan Hukum Primer
Sebagai landasan utama yang dipakai dalam rangka penulisan makalah ini
diantaranya adalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan
Kehakiman, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
2. Bahan Hukum Sekunder
Bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti
rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, hasil-hasil
penelitian, hasil karya dari kalangan hukum dan seterusnya.
3. Bahan Hukum Tersier
Bahan yang memberikan petunjuk maupun memberikan penjelasan terhadap
bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus besar bahasa Indonesia,
ensiklopedia, serta indeks komulatif.

Metode Penulisan

a. Jenis Penulisan

Penulisan Ilmiah adalah karya tulis yang disusun oleh seorang penulis
berdasarkan hasil-hasil penelitian ilmiah yang telah dilakukannya. Dari definisi
yang lain dikatakan bahwa karya ilmiah (scientific paper) adalah laporan tertulis
dan dipublikasi yang memaparkan hasil penelitian atau pengkajian yang telah
dilakukan oleh seseorang atau sebuah tim dengan memenuhi kaidah dan etika
keilmuan yang dikukuhkan dan ditaati oleh masyarakat keilmuan.
Dari pengertian tersebut secara awal kita dapat mengenal salah satu ciri
khas karya ilmiah adalah lewat bentuknya yakni tertulis, baik di buku, jurnal,
majalah, surat kabar, maupun yang tersebar di internet, di samping ciri lain yang
mesti dipenuhi dalam sebuah karya ilmiah.
Penulisan hukum pada dasarnya, merupakan suatu kegiatan ilmiah yang
didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk

9
mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan
menganalisanya, juga diadakan pemeriksaan mendalam terhadap fakta hukum
tersebut untuk kemudian ditimbulkan di dalam gejala yang bersangkutan.
Sementara menurut Peter Mahmud Marzuki, penulisan hukum adalah
suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun
doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi. Hal ini sesuai
dengan prespektif ilmu hukum.
Dilihat dari sifatnya, penelitian ini bersifat deskriptif analif, yaitu
menggambarkan semua gejala dan fakta serta menganalisa permasalahan yang ada
sekarang. Sedangkan dilihat dari pendekatannya, maka penelulisan ini bertitik
tolak dari permasalahan dengan melihat kenyataan yang terjadi dan
mengkaitkannya dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Penulisan ini menggunakan pendekatan yuridis normatif, yaitu pendekatan
dengan melakukan pengkajian dan analisa terhadap masalah Kebijakan yang
dikeluarkan oleh terdakwa yang ditinjau dari Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang
Kekuasaan Kehakiman dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana serta
peraturan-peraturan yang lain.

b. Sumber Data

Sumber data dalam penelitian ini yaitu;

Data Sekunder
Untuk menghimpun data sekunder, maka dibutuhkan bahan pustaka yang
merupakan data dasar yang digolongkan sebagai data sekunder, yang terdiri dari
bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier.

c. Teknik Pengumpulan Data

Untuk memperoleh data yang relevan atau sesuai dengan permasalahan


yang diteliti, dilaksanakan 2 (dua) tahap penulisan antara lain:
1. Penulisan Kasus

10
Dilakukannya penulisan dengan cara melakukan pengumpulan data-data yang
merupakan bahan utama penelitian ini.
2. Penelitian Kepustakaan
Penelitian kepustakaan dilakukan untuk memperoleh data sekunder baik yang
berupa bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Setelah
diinventarisir dilakukan penelaahan untuk membuat intisari dari setiap
peraturan yang bersangkutan.

d. Anlisa Data

Data penelitian diolah dan dianalisis secara kualitatif yaitu menganalisa


data berdasarkan kualitasnya lalu dideskripsikan dengan menggunakan kata-kata
sehingga diperoleh bahasa dan atau paparan dalam bentuk kalimat yang sistematis
dan dapat dimengerti, kemudianditarik kesimpulan.

11
BAB IV
PEMBAHASAN

A. Profesi Hakim dan Karakteristiknya

Sebagai sebuah profesi yang berkaitan dengan proses di pengadilan,


definisi hakim tercantum dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana atau yang biasa disebut Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana (KUHAP). Pasal 1 angka 8 KUHAP menyebutkan, hakim adalah
pejabat peradilan negara yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk
mengadili. Sedangkan mengadili diartikan sebagai serangkaian tindakan hakim
untuk menerima, memeriksa, dan memutus perkara berdasarkan asas bebas, jujur,
dan tidak memihak di sidang pengadilan dalam hal dan menurut tata cara yang
diatur dalam undang-undang.
Hakim memiliki kedudukan dan peranan yang penting demi tegaknya
negara hukum. Oleh karena itu, terdapat beberapa nilai yang dianut dan wajib
dihormati oleh penyandang profesi hakim dalam menjalankan tugasnya. Nilai di
sini diartikan sebagai sifat atau kualitas dari sesuatu yang bermanfaat bagi
kehidupan manusia, baik lahir maupun batin. Bagi manusia, nilai dijadikan
landasan, alasan, atau motivasi dalam bersikap dan bertingkah laku, baik disadari
maupun tidak. Nilai-nilai itu adalah sebagai berikut.
1. Profesi hakim adalah profesi yang merdeka guna menegakkan hukum dan
keadilan berdasarkan Pancasila demi terselenggaranya negara hukum Republik
Indonesia. Di sini terkandung nilai kemerdekaan dan keadilan.
2. Selanjutnya, nilai keadilan juga tercermin dari kewajiban hakim untuk
menyelenggarakan peradilan secara sederhana, cepat, dan biaya ringan, agar
keadilan tersebut dapat dijangkau semua orang. Dalam mengadili, hakim juga
tidak boleh membeda-bedakan orang dan wajib menghormati asas praduga tak
bersalah. Kewajiban menegakkan keadilan ini tidak hanya dipertanggung
jawabkan secara horizontal kepada sesama manusia, tetapi juga secara vertikal
kepada Tuhan Yang Maha Esa.
3. Hakim tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara
yang diajukan dengan dalih bahwa hukumnya tidak ada atau kurang jelas.

12
Apabila hakim melihat adanya kekosongan hukum karena tidak ada atau
kurang jelasnya hukum yang mengatur suatu hal, maka ia wajib menggali nilai-
nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Nilai ini dinamakan sebagai nilai
keterbukaan.
4. Hakim wajib menjunjung tinggi kerja sama dan kewibawaan korps. Nilai kerja
sama ini tampak dari persidangan yang berbentuk majelis, dengan sekurang-
kurangnya terdiri dari tiga orang hakim. Sebelum menjatuhkan putusannya,
para hakim ini melakukan musyawarah secara tertutup.
5. Hakim harus senantiasa mempertanggungjawabkan segala sikap dan
tindakannya. Secara vertikal berarti ia bertanggung jawab kepada Tuhan Yang
Maha Esa. Sedangkan pertanggungjawaban secara horizontal berarti ditujukan
terhadap sesama manusia, baik kepada lembaga peradilan yang lebih tinggi
maupun kepada masyarakat luas. Berkaitan dengan pertanggungjawaban
horizontal, Pasal 25 ayat (1) Undang- Undang tentang Kekuasaan Kehakiman
menyebutkan bahwa:
"Segala putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan
tersebut, memuat pula pasal tertentu dari perundang-undangan yang
bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk
mengadili."
6. Hakim wajib menjunjung tinggi nilai obyektivitas. Hal ini tercermin dalam
Pasal 29 ayat (3) yang menyatakan bahwa hakim wajib mengundurkan diri
dalam pemeriksaan suatu perkara apabila ia mempunyai hubungan darah
dengan pihak-pihak yang terlibat dalam proses pemeriksaan perkara tersebut,
baik dengan terdakwa, jaksa, penasihat hukum, panitera, maupun sesama
majelis hakim.

Profesi hakim sebagai salah satu bentuk profesi hukum sering


digambarkan sebagai pemberi keadilan. Oleh karena itu, hakim juga digolongkan
sebagai profesi luhur (officium nobile), yaitu profesi yang pada hakikatnya
merupakan pelayanan pada manusia dan masyarakat. Setiap profesi memiliki etika
yang pada prinsipnya terdiri dari kaidah-kaidah pokok sebagai berikut.2

2
Kansil, C.S.T. dan Christine S.T. Kansil. Pokok-Pokok Etika Profesi Hukum. Jakarta: Pradnya
Pramita, 1996.

13
1. Profesi harus dipandang sebagai pelayanan, oleh karenanya, sifat "tanpa
pamrih" menjadi ciri khas dalam mengembangkan profesi.
2. Pelayanan profesional dalam mendahulukan kepentingan pencari keadilan
mengacu pada nilai-nilai luhur.
3. Pengembanan profesi harus selalu berorientasi pada masyarakat sebagai
keseluruhan.
4. Persaingan dalam pelayanan berlangsung secara sehat sehingga dapat
menjamin mutu dan peningkatan mutu pengemban profesi.

Sebagai suatu profesi di bidang hukum yang secara fungsional merupakan


pelaku utama dalam penyelenggaraan kekuasaan kehakiman, hakim dituntut untuk
memiliki suatu keahlian khusus sekaligus memahami secara mendalam mengenai
ruang lingkup tugas dan kewajibannya. Salah satu unsur yang membedakan
profesi hakim dengan profesi lainnya adalah adanya proses rekrutmen serta
pendidikan bersifat khusus yang diterapkan bagi setiap orang yang akan
mengemban profesi ini.
Adapun persyaratan menjadi hakim berdasarkan Pasal 14 angka 1
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum, seseorang hanya dapat diangkat
menjadi hakim jika telah memenuhi persyaratan sebagai berikut.3
a. Warga Negara Indonesia.
b. Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
c. Setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
d. Bukan bekas anggota organisasi terlarang Partai Komunis Indonesia termasuk
organisasi massanya atau bukan seorang yang terlibat langsung ataupun tak
langsung dalam Gerakan Kontra Revolusi G30S/PKI atau organisasi terlarang
lainnya.
e. Pegawai Negeri.
f. Sarjana hukum.
g. Berumur serendah-rendahnya 25 (dua puluh lima) tahun.
h. Berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan baik.

3
Mahendra, Yusril Ihza. Mewujudkan Supremasi Hukum di Indonesia. Jakarta: Tim Pakar Hukum
Departemen Kehakiman dan Hak Asasai Manusia RI bersama Sekretariat Jenderal Departemen
Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI, 2002.

14
Dan proses pendidikan dan pelatihan (diklat) bagi calon hakim
dilaksanakan pada awal masa pra-jabatan dan sangat erat kaitannya dengan proses
rekrutmen hakim. Selain digunakan sebagai program orientasi bagi para calon
hakim, diklat juga ditujukan untuk menjadi sarana seleksi hakim. Program diklat
dimulai dari kewajiban para peserta untuk memenuhi masa magang selama kurang
lebih satu tahun sebagai Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) di pengadilan-
pengadilan negeri di wilayah Indonesia. Program pembinaan yang terarah belum
terlihat pada tahap yang disebut Diklat Praktik I ini. Para peserta diklat masih
sebatas dikaryakan sebagai staf administrasi pengadilan, hingga saatnya mereka
mengikuti ujian pra-jabatan, yang merupakan fase seleksi kepegawaian secara
umum.
Setelah melalui proses pengangkatan dan memperoleh status Pegawai
Negeri Sipil (PNS), para peserta diikutsertakan dalam Diklat Klasikal yang
diadakan secara terpusat oleh Pusat Pendidikan dan Latihan (Pusdiklat)
Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia (Dephukham). Pada tahap ini, para
peserta akan menerima berbagai materi keahlian di bidang hukum, dan mulai
dipersiapkan secara teoritis untuk mengemban jabatan sebagai hakim. Apabila
dinyatakan lulus, para peserta diharuskan memenuhi masa magang kembali
dengan status sebagai calon hakim di berbagai pengadilan negeri selama minimal
satu tahun. Pada tahapan yang disebut Diklat Praktik II ini diterapkan suatu pola
pembinaan yang sudah lebih mengarah pada pelaksanaan tugas hakim.
Selanjutnya, Ketua Pengadilan Negeri di mana calon hakim tersebut ditempatkan
akan mengusulkan para peserta yang dianggap layak untuk diangkat penuh
sebagai hakim. Pengangkatannya sendiri akan dilakukan oleh Presiden melalui
Menhukham.
Bagaimana mekanisme perekrutan seorang individu untuk menjadi hakim
akan menentukan kualitas putusan pengadilan ke depannya. Individu yang sejak
awal memang memiliki kapabilitas dan wawasan hukum yang mendalam sudah
selayaknya terjaring dalam rekrutmen hakim sehingga mereka yang nantinya
duduk di muka ruang pengadilan sebagai pemimpin sidang adalah hakim-hakim
yang berkualitas terbaik. Faktanya, berbagai putusan pengadilan yang
kontroversial terus bermunculan sehingga berbagai pihak menilai hakim-hakim di

15
negeri ini belum memahami rasa keadilan masyarakat. Banyaknya kelemahan
ataupun cacat hukum pada putusan yang dikeluarkan oleh para hakim bisa jadi
merupakan gambaran dari tidak efektifnya pola rekrutmen hakim yang selama ini
diterapkan di Indonesia.
Rifqi S. Assegaf mencontohkan, putusan Mahkamah Agung pada kasus
Buloggate yang membebaskan terdakwa Akbar Tandjung mengandung sangat
banyak kelemahan dari segi hukum dan amat mencederai perasaan hukum dan
keadilan sebagian masyarakat. Dari kelima hakim dalam majelis yang memutus
perkara tersebut, dua orang bukan merupakan hakim karir melainkan berasal dari
partai politik, sedangkan sisanya adalah hakim karir. Salah seorang hakim non-
karir, yakni Abdul Rahman Saleh mengajukan dissenting opinion dalam putusan
perkara korupsi dana non-budgeter Bulog tersebut. Berkaca pada pendapat Rifqi
mengenai kualitas putusan kasus ini, barangkali perbedaan pendapat antarhakim
tersebut menggambarkan adanya disparitas kualitas antara hakim karir dan hakim
non- karir.
Dalam buku "The Civil Law Tradition", Merryman, seorang ahli
perbandingan hukum, menyatakan bahwa hakim karir (yang lahir dari sistem Civil
LaW) cenderung memiliki mentalitas birokrat, kurang memiliki kepercayaan diri
dan pemikiran yang mandiri. Hal ini mengakibatkan mereka cenderung ragu atau
takut untuk membuat keputusan yang kontroversial dan memiliki dampak politik
yang besar. Hal ini berbeda dengan hakim di negara penganut sistem Common
Law yang sebelum menjadi hakim biasanya berprofesi sebagai pengacara, pejabat
publik, atau akademisi.
Menurut Reza Indragiri Amriel, ahli psikologi forensik lulusan The
University of Melbourne, pembenahan aset terpenting institusi peradilan, yaitu
individu hakim, harus menjadi fokus agar sumber daya manusia (SDM) dapat
berkontribusi dalam meningkatkan kualitas produk peradilan (putusan
pengadilan). Dalam artikelnya, "Pengembangan Integritas Profesi Hakim", Reza
memaparkan kondisi yang ada dalam dunia peradilan berkaitan dengan kualitas
profesi hakim seperti di bawah ini.

1. Kesulitan mencari hakim, termasuk Hakim Agung (dan para pemangku otoritas
hukum pada umumnya) nyatanya tidak hanya terjadi di Indonesia. Amerika

16
Serikat pun mengalami keterbatasan jumlah hakim sejak usainya Perang Sipil
di negara itu. Dalam konteks Indonesia, kesulitan ini terutama bersumber dari
tidak adanya model kompetensi yang menjadi acuan mengenai karakter ideal
yang sepatutnya dipunyai oleh setiap individu hakim.
2. Dalam survei yang dilakukan oleh United Nations Office on Drugs and Crime
(UNODC) tahun 2006, saat ditanyakan kepada para hakim, banyak hakim yang
menyebutkan bahwa penambahan jumlah hakim dan staf pendukung sebagai
prasyarat efektif kedua—dari tujuh faktor— terpenting dalam rangka
peningkatan kualitas peradilan. Di sisi lain, banyak peneliti justru
menyimpulkan bahwa kualitas personel lembaga kehakiman tidak dipengaruhi
oleh jumlah aparat peradilan. Mutu putusan para hakim berbanding lurus
dengan peningkatan profesionalisme mereka.
Selanjutnya, Reza menguraikan dua hal yang dapat menjadi alternatif
solusi untuk mengembangkan integritas hakim sebagai berikut.
1. Sebagai sumber daya manusia, para hakim juga idealnya dikenakan perlakuan
SDM (HR/human resources treatment) secara terintegrasi, komprehensif, dan
berkesinambungan. Ini artinya, penilaian ketat tidak hanya diterapkan pada
para kandidat hakim. Setelah menjabat, para kandidat terpilih harus diberikan
penilaian secara berkala pula. Prinsipnya, semakin sentral peran SDM terhadap
kinerja suatu organisasi, semakin ketat pula idealnya manajemen SDM
diberlakukan pada organisasi tersebut.
2. Ke depan perlu dirumuskan acuan kinerja (performance standards atau distinct
job manual) dan perangkat aturan organisasi lainnya sebagai pedoman
pengembangan karir para hakim.

B. Tanggung Jawab Profesi Hakim

Pada dasarnya, terdapat setidaknya tiga unsur pokok yang harus ada dalam
pelaksanaan suatu fungsi dalam profesi dan bidang apapun. Unsur-unsur tersebut
adalah sebagai berikut.4

4
Konsorsium Reformasi Hukum Nasional dan Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi
Peradilan. Menuju Independensi Kekuasaan Kehakiman. Jakarta: Indonesian Center for
Environmental Law (ICEL) dan Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan
(LeIP), 1999.

17
1. Tugas, yaitu kewajiban dan kewenangan atau kekuasaan yang harus
dilaksanakan untuk kemudian diperinci lebih lanjut tentang cara
melaksanakannya.
2. Aparat, yaitu pelaksana tugas tersebut yang terdiri atas komponen pelaksana,
pendukung, dan penunjang.
3. Lembaga, yaitu wadah (struktur dan organisasi) beserta sarana dan prasarana
tempat para aparat melaksanakan tugasnya.

Bagi seorang aparat, mendapat suatu tugas berarti memperoleh sebuah


tanggung jawab yang terkait tiga hal, yaitu:
1. mendapat kepercayaan untuk dapat mengemban tugas;
2. merupakan suatu kehormatan sebagai pengemban tugas; dan
3. merupakan suatu amanat yang harus dijaga dan dijalankan.

Tanggung jawab dapat dibedakan atas tiga jenis, yaitu tanggung jawab
moral, tanggung jawab hukum, dan tanggung jawab teknis profesi. Tanggung
jawab moral adalah tanggung jawab sesuai dengan nilai-nilai dan norma-norma
yang berlaku dalam lingkungan kehidupan profesi yang bersangkutan, baik
bersifat pribadi maupun bersifat kelembagaan bagi suatu lembaga yang
merupakan wadah para aparat bersangkutan. Sementara tanggung jawab hukum
diartikan sebagai tanggung jawab yang menjadi beban aparat untuk dapat
melaksanakan tugasnya dengan tidak melanggar rambu-rambu hukum. Sedangkan
tanggung jawab teknis profesi merupakan tuntutan bagi aparat untuk
melaksanakan tugasnya secara profesional sesuai dengan kriteria teknis yang
berlaku dalam bidang profesi yang bersangkutan, baik bersifat umum maupun
ketentuan khusus dalam lembaganya.

C. Tanggung Jawab Moral Hakim

Secara filosofis, tujuan akhir profesi hakim adalah ditegakkannya


keadilan. Cita hukum keadilan yang terapat dalam das sollen (kenyataan normatif)
harus dapat diwujudkan dalam das sein (kenyataan alamiah) melalui nilai-nilai
yang terdapat dalam etika profesi. Salah satu etika profesi yang telah lama
menjadi pedoman profesi ini sejak masa awal perkembangan hukum dalam

18
peradaban manusia adalah The Four Commandments for Judges dari Socrates.
Kode etik hakim tersebut terdiri dari empat butir di bawah ini.

1. To hear corteously (mendengar dengan sopan dan beradab).


2. To answer wisely (menjawab dengan arif dan bijaksana).
3. To consider soberly (mempertimbangkan tanpa terpengaruh apapun).
4. To decide impartially (memutus tidak berat sebelah).

Peradaban Islam pun memiliki literatur sejarah di bidang peradilan, salah


satu yang masih tercatat ialah risalah Khalfah Umar bin Khatab kepada Musa Al-
Asy'ari, seorang hakim di Kufah, yang selain mengungkapkan tentang pentingnya
peradilan, cara pemeriksaan, dan pembuktian, juga menjelaskan tentang etika
profesi. Dalam risalah dituliskan kode etik hakim antara lain di bawah ini.5

1. Mempersamakan kedudukan para pihak dalam majelis, pandangan, dan


putusan sehingga pihak yang merasa lebih mulia tidak mengharapkan
kecurangan hakim, sementara pihak yang lemah tidak berputus asa dalam
usaha memperoleh keadilan hakim.
2. Perdamaian hendaklah selalu diusahakan di antara para pihak yang bersengketa
kecuali perdamaian yang menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang
halal.
Dalam bertingkah laku, sikap dan sifat hakim tercermin dalam lambang
kehakiman dikenal sebagai Panca Dharma Hakim, yaitu:
 Kartika, melambangkan Ketuhanan Yang Maha Esa;
 Cakra, berarti seorang hakim dituntut untuk bersikap adil;
 Candra, berarti hakim harus bersikap bijaksana atau berwibawa;
 Sari, berarti hakim haruslah berbudi luhur atau tidak tercela; dan
 Tirta, berarti seorang hakim harus jujur.
Sebagai perwujudan dari sikap dan sifat di atas, maka sebagai pejabat
hukum, hakim harus memiliki etika kepribadian, yakni:6

5
Suyuthi, Wildan. "Etika Profesi, Kode Etik, dan Hakim dalam Pandangan Agama" dalam
Pedoman Perilaku Hakim (Code of Conduct), Kode Etik Hakim dan Makalah Berkaitan. Jakarta:
Mahkamah Agung RI, 2006.
6
Tasrif, S. "Kemandirian Kekuasaan Kehakiman" dalam Kemandirian Kekuasaan Kehakiman.
Editor Paul S. Baut dan Luhut M.P. Pangaribuan. Jakarta: Yayasan Lembaga Bantuan Hukum
Indonesia, 1989.

19
a. percaya dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
b. menjunjung tinggi citra, wibawa, dan martabat hakim;
c. berkelakuan baik dan tidak tercela;
d. menjadi teladan bagi masyarakat;
e. menjauhkan diri dari perbuatan asusila dan kelakuan yang dicela oleh
masyarakat;
f. tidak melakukan perbuatan yang merendahkan martabat hakim;
g. bersikap jujur, adil, penuh rasa tanggung jawab;
h. berkepribadian, sabar, bijaksana, berilmu;
i. bersemangat ingin maju (meningkatkan nilai peradilan);
j. dapat dipercaya; dan
k. berpandangan luas.

Sikap, sifat, dan etika kepribadian yang harus dimiliki oleh hakim seperti
telah diuraikan di atas selanjutnya diimplementasikan di persidangan pada saat
hakim menjalankan tugasnya. Edy Risdianto, hakim pada Pengadilan Negeri
Jakarta Selatan mencontohkan salah satu bentuk tanggung jawab moral hakim
yang ia terapkan dalam menjalankan tugasnya adalah tidak mengikutsertakan istri
ke ruang sidang di pengadilan ketika sedang memimpin persidangan. Secara
umum, yang harus dilakukan hakim terhadap pihak ketiga yang menjadi pencari
keadilan dalam persidangan adalah:
1. Bersikap dan bertindak menurut garis-garis yang ditentukan dalam hukum
acara yang berlaku
2. Tidak dibenarkan bersikap yang menunjukkan memihak atau bersimpati atau
antipati terhadap pihak-piha yang berperkara;
3. Harus bersikap sopan, tegas, dan bijaksana dalam memimpin sidang, baik
dalam ucapan maupun perbuatan;
4. Harus menjaga kewibawaan dan kekhidmatan persidangan; dan
5. Bersungguh-sungguh mencari kebenaran dan keadilan. Sementara itu, terhadap
profesinya sendiri, seorang hakim juga harus menjaga perilakunya, baik kepada
atasan, sesama rekan, maupun bawahan. Terhadap atasan, seorang hakim harus
bersikap:
a. taat kepada pimpinan;

20
b. menjalankan tugas-tugas yang telah digariskan dengan jujur dan ikhlas;
c. berusaha memberi saran-saran yang membangun;
d. mempunyai kesanggupan untuk mengeluarkan serta mengemukakan
pendapat tanpa meningalkan norma-norma kedinasan; dan
e. tidak dibenarkan mengadakan resolusi terhadap atasan dalam bentuk
apapun.
Sedangkan terhadap sesama rekan, hakim haruslah:
1. memelihara dan memupuk hubungan kerja sama yang baik antarsesama rekan;
2. memiliki rasa setia kawan, tenggang rasa, dan saling menghargai antarsesama
rekan;
3. memiliki kesadaran, kesetiaan, penghargaan terhadap korps hakim; dan
4. menjaga nama baik dan martabat rekan-rekan, baik di dalam maupun di luar
kedinasan.
Begitu pula terhadap bawahan/pegawai, setiap hakim selayaknya bersikap:
1. harus mempunyai sifat kepemimpinan;
2. membimbing bawahan untuk mempertinggi kecakapan;
3. harus mempunyai sikap sebagai seorang bapak/ibu yang baik;
4. memelihara sikap kekeluargaan antara bawahan dengan hakim; dan
5. memberi contoh kedisiplinan.
Di samping itu, di luar kedinasannya berprofesi di pengadilan, hakim juga
harus senantiasa menjaga sikap dan perilakunya. Terhadap diri pribadi, seorang
hakim harus:
1. memiliki kesehatan jasmani dan rohani;
2. berkelakuan baik dan tidak tercela;
3. tidak menyalahgunakan wewenang untuk kepentingan pribadi maupun
golongan;
4. menjauhkan diri dari perbuatan-perbuatan asusila dan kelakuan yang dicela
oleh masyarakat; dan
5. tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang merendahkan martabat hakim.

Sementara dalam kehidupan rumah tangga, hakim harus bersikap:


1. menjaga keluarga dari perbuatan-perbuatan tercela, baik menurut norma
hukum maupun norma kesusilaan;

21
2. menjaga ketentraman dan keutuhan keluarga dan rumah tangga;
3. menyesuaikan kehidupan rumah tangga dengan keadaan dan pandangan
masyarakat; dan
4. tidak dibenarkan hidup berlebih-lebihan dan mencolok.

Sedangkan dalah kehidupan bermasyarakat, hakim harus selalu:


1. selaku anggota masyarakat tidak boleh mengisolasi diri dari pergaulan
masyarakat;
2. dalam hidup bermasyarakat harus mempunyai rasa gotong-royong; dan
3. harus menjaga nama baik dan martabat hakim.

Beberapa peraturan perundang-undangan yang memiliki kaitan dengan


hakim dan peradilan mencantumkan dan mengatur pula hal-hal seputar tanggung
jawab hukum profesi hakim.
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman
mencantumkan beberapa tanggung jawab profesi yang harus ditaati oleh hakim,
yaitu:
a. bahwa hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan
rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat (Pasal 28 ayat (1));
b. bahwa dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana, hakim wajib
memperhatikan pula sifat yang baik dan jahat dari terdakwa (Pasal 28 ayat (2));
dan
c. bahwa hakim wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila terikat
hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan
suami isteri meskipun telah bercerai, dengan ketua, salah seorang Hakim
Anggota, Jaksa, Advokat, atau Panitera (Pasal 29 ayat (3)).

Selain peraturan perundang-undangan yang menguraikan tanggung jawab


profesi hakim sebagai penyelenggara kekuasaan kehakiman secara umum,
terdapat pula ketentuan yang mengatur secara khusus mengenai tanggung jawab
profesi Hakim Agung, yaitu Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang
Mahkamah Agung. Undang-undang ini mengatur ketentuan-ketentuan yang harus
ditaati dan menjadi tanggung jawab Hakim Agung, di antaranya sebagai berikut.

22
Pasal 10 ayat (1) menyatakan bahwa Hakim Agung tidak boleh merangkap
menjadi:
a. pelaksana putusan Mahkamah Agung;
b. wali, pengampu, dan pejabat yang berkaitan dengan suatu perkara yang akan
atau sedang diperiksa olehnya;
c. penasehat hukum; dan
d. pengusaha.

Pasal 12 ayat (1) menyatakan bahwa Hakim Anggota Mahkamah Agung


dapat diberhentikan tidak dengan hormat dengan alasan:
a. dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan karena melakukan
tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;
b. melakukan perbuatan tercela;
c. terus menerus melalaikan kewajiban dalam menjalankan tugas pekerjaannya;
d. melanggar sumpah atau janji jabatan; dan
e. melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10.

Pasal 41 ayat (1) menyatakan bahwa hakim wajib mengundurkan diri dari
suatu persidangan apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai
derajat ketiga, atau hubungan suami atau isteri meskipun telah bercerai dengan
salah seorang Hakim Anggota atau Panitera pada majelis hakim.
Pasal 41 ayat (4) menyatakan jika seorang hakim yang memutus perkara
dalam tingkat pertama atau tingkat banding, kemudian telah menjadi Hakim
Agung, maka Hakim Agung tersebut dilarang memeriksa perkara yang sama.
Pasal 42 ayat (1) menyatakan bahwa seorang hakim tidak diperkenankan
mengadili suatu perkara yang ia sendiri berkepentingan, baik langsung maupun
tidak langsung. Di samping kedua undang-undang di atas, peraturan berbentuk
undang- undang lainnya yang mencantumkan ketentuan mengenai tanggung
jawab profesi hakim adalah:
1. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama;
2. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial;

23
3. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum;
4. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara;
5. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi;
6. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak; dan
7. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer.

Jenis tanggung jawab yang terakhir adalah tanggung jawab teknis profesi.
Pada jenis tanggung jawab ini, penilaian terhadap sesuai atau tidaknya tindakan
yang dilakukan oleh hakim dengan ketentuan yang berlaku menjadi hal yang
paling diutamakan. Selain itu, penilaian terhadap kinerja dan profesionalisme
hakim dalam menjalankan tugasnya juga menjadi perhatian. Setiap hakim dituntut
mampu mempertanggungjawabkan tindakannya sebagai profesional di bidang
hukum, baik di dalam maupun di luar kedinasan, secara materi dan formil. Oleh
karena itu, adalah suatu hal yang mutlak bagi para hakim untuk memahami secara
mendalam aturan-aturan mengenai hukum acara di persidangan. Ketidak
mampuan hakim dalam mempertanggungjawabkan tindakannya secara teknis atau
dikenal dengan istilah unprofessional conduct dianggap sebagai pelanggaran yang
harus dijatuhi sanksi.

24
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Profesi hakim adalah profesi yang merdeka guna menegakkan hukum dan
keadilan berdasarkan Pancasila demi terselenggaranya negara hukum
Republik Indonesia. Di sini terkandung nilai kemerdekaan dan keadilan,
adapun persyaratan menjadi hakim berdasarkan Pasal 14 angka 1 Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum, seseorang hanya dapat
diangkat menjadi hakim jika telah memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. Warga Negara Indonesia.
b. Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
c. Setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
d. Bukan bekas anggota organisasi terlarang Partai Komunis Indonesia
termasuk organisasi massanya atau bukan seorang yang terlibat
langsung ataupun tak langsung dalam Gerakan Kontra Revolusi
G30S/PKI atau organisasi terlarang lainnya.
e. Pegawai Negeri.
f. Sarjana hukum.
g. Berumur serendah-rendahnya 25 (dua puluh lima) tahun.
h. Berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan baik.

2. Pada dasarnya tanggung jawab profesi hakim, terdapat setidaknya tiga unsur
pokok yang harus ada dalam pelaksanaan suatu fungsi dalam profesi dan
bidang apapun. Unsur-unsur tersebut adalah sebagai berikut.
a. Tugas, yaitu kewajiban dan kewenangan atau kekuasaan yang harus
dilaksanakan untuk kemudian diperinci lebih lanjut tentang cara
melaksanakannya.
b. Aparat, yaitu pelaksana tugas tersebut yang terdiri atas komponen
pelaksana, pendukung, dan penunjang.

25
c. Lembaga, yaitu wadah (struktur dan organisasi) beserta sarana dan
prasarana tempat para aparat melaksanakan tugasnya.
Bagi seorang aparat, mendapat suatu tugas berarti memperoleh sebuah
tanggung jawab yang terkait tiga hal, yaitu:
a. mendapat kepercayaan untuk dapat mengemban tugas;
b. merupakan suatu kehormatan sebagai pengemban tugas; dan
c. merupakan suatu amanat yang harus dijaga dan dijalankan.

Tanggung Jawab Profesi Hakim adalah tunutan bagi hakim untuk


melaksanakan tugasnya secara profesional sesuai dengan kriteria teknis
yang berlaku dalam bidang profesi yang bersangkutan, baik bersifat umum
maupun ketentuan khusus dalam lembaganya.

3. Tanggung Jawab Moral hakim adalah tanggung jawab sesuai dengan nilai-
nilai dan norma-norma yang berlaku dalam lingkungan kehidupan profesi
yang bersangkutan, baik bersifat pribadi maupun bersifat kelembagaan bagi
suatu lembaga yang merupakan wadah para aparat bersangkutan. Sementara
tanggung jawab hukum diartikan sebagai tanggung jawab yang menjadi
beban aparat untuk dapat melaksanakan tugasnya dengan tidak melanggar
rambu-rambu hukum.

B. Saran

Saran dari penulis kepada orang yang berprofesi menjadi hakim adalah
profesional di bidang hukum, baik di dalam maupun di luar kedinasan, secara
materi dan formil. Oleh karena itu, adalah suatu hal yang mutlak bagi para hakim
untuk memahami secara mendalam aturan-aturan mengenai hukum acara di
persidangan. Ketidak mampuan hakim dalam mempertanggungjawabkan
tindakannya secara teknis atau dikenal dengan istilah unprofessional conduct
dianggap sebagai pelanggaran yang harus dijatuhi sanksi.

26
DAFTAR PUSTAKA

Kamil, Iskandar. "Kode Etik Profesi Hakim" dalam Pedoman Perilaku Hakim
(Code of Conduct), Kode Etik Hakim dan Makalah Berkaitan. Jakarta:
Mahkamah Agung RI, 2006.
Kansil, C.S.T. dan Christine S.T. Kansil. Pokok-Pokok Etika Profesi Hukum.
Jakarta: Pradnya Pramita, 1996.
Konsorsium Reformasi Hukum Nasional dan Lembaga Kajian dan Advokasi
untuk Independensi Peradilan. Menuju Independensi Kekuasaan
Kehakiman. Jakarta: Indonesian Center for Environmental Law
(ICEL) dan Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi
Peradilan (LeIP), 1999.
Mahendra, Yusril Ihza. Mewujudkan Supremasi Hukum di Indonesia. Jakarta:
Tim Pakar Hukum Departemen Kehakiman dan Hak Asasai Manusia
RI bersama Sekretariat Jenderal Departemen Kehakiman dan Hak
Asasi Manusia RI, 2002.
Mahkamah Agung RI. Pedoman Perilaku Hakim. Jakarta: Mahkamah Agung RI,
2006. Makalah Berkaitan. Jakarta: Mahkamah Agung RI, 2005.
Muhammad, Abdulkadir. Etika Profesi Hukum. Cet. ke-2.Bandung:
Citra Aditya Bakti, 2001.
Suyuthi, Wildan. "Etika Profesi, Kode Etik, dan Hakim dalam Pandangan
Agama" dalam Pedoman Perilaku Hakim (Code of Conduct), Kode
Etik Hakim dan Makalah Berkaitan. Jakarta: Mahkamah Agung RI,
2006.
Tasrif, S. "Kemandirian Kekuasaan Kehakiman" dalam Kemandirian Kekuasaan
Kehakiman. Editor Paul S. Baut dan Luhut M.P. Pangaribuan. Jakarta:
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, 1989.
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian
PerselisihanHubungan Industrial. Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Undang-Undang Nomor 3 Tahun
2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989

27
tentang Peradilan Agama. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004
tentang Kekuasaan Kehakiman. Usman, Suparman, Etika Dan
Tanggung Jawab Profesi Hukum Di Indonesia, Jakarta,Gaya Media
Pratam, 2008.
Widyadharma, Ignatius Ridwan. Hukum Profesi tentang Profesi Hukum.
Semarang: CV Ananta, 1994.
Zakiah, Waingatu. Menyingkap Tabir Mafia Peradilan. Jakarta: Indonesian
Corruption Watch, 2002.

28

Anda mungkin juga menyukai