PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
1
tingginya tanggung jawab hakim ditunjukkan melalui putusan pengadilan yang selalu
diucapkan dengan irah-irah "Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa".
Hal ini menegaskan bahwa kewajiban menegakkan keadilan tidak hanya
dipertanggungjawabkan kepada sesama manusia, tetapi juga kepada Tuhan Yang Maha
Esa.
Kode Etik Profesi Hakim Indonesia pertama kali disusun oleh Ikatan Hakim
Indonesia (IKAHI) pada Kongres III IKAHI tanggal 5-7 April 1965. Seiring
berjalannya waktu, perkembangan berbagai hal seputar IKAHI sebagai wadah profesi
hakim dan Kode Etik Profesi Hakim Indonesia terus berlangsung. Dan yang paling
terkini adalah ketika MA menerbitkan Pedoman Perilaku Hakim bersamaan dengan
disosialisasikannya Pedoman Etika Perilaku Hakim yang disusun KY, sehingga
peristiwa ini menjadi bagian dari ketidaksepahaman antara MA dan KY.
2
untuk mengatur perilaku dan sepak terjang individu profesional dalam menjalankan
profesinya.
Seiring berjalannya pemerintahan sejak awal reformasi hingga saat ini, publik
sadar bahwa praktik penyalahgunaan wewenang di badan peradilan cenderung
menguat dan merusak seluruh sendi peradilan. Hal ini mengakibatkan menurunnya
kewibawaan dan kepercayaan badan peradilan terhadap masyarakat dan dunia
internasional. Keadaan badan peradilan yang demikian mendesak pihak- pihak yang
berwenang dalam menjalankan negara ini untuk melakukan upaya- upaya luar biasa
yang berorientasi kepada terciptanya badan peradilan dan hakim yang dapat menjamin
masyarakat memperoleh keadilan, dan diperlakukan secara adil dalam proses
pengadilan sesuai peraturan perundang-undangan.
3
1. Kualitas dan integritas pengawas yang tidak memadai;
2. Proses pemeriksaan disiplin yang tidak transparan;
3. Belum adanya kemudahan bagi masyarakat yang dirugikan untuk
menyampaikan pengaduan, memantau proses serta hasilnya (ketiadaan
akses);
4. Semangat membela sesama korps (esprit de corps) yang mengakibatkan
penjatuhan hukuman tidak seimbang dengan perbuatan. Setiap upaya untuk
memperbaiki suatu kondisi yang buruk pasti akan mendapat reaksi dari pihak
yang selama ini mendapatkan keuntungan dari kondisi yang buruk itu; dan
5. Tidak terdapat kehendak yang kuat dari pimpinan lembaga penegak hukum
untuk menindaklanjuti hasil pengawasan.
B. Identifikasi Masalah
4
C. Tujuan Penulisan
Tujuan pembuatan makalah adalah untuk memenuhi salah satu tugas mata
perkuliahan Etika Profesi Hukum dan untuk memberikan pengetahuan bagi pembaca
khususnya untuk pembuat makalah ini dan umumnya untuk para mahasiswa
Universitas Trisakti.
5
BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian Etika
Bertens (1994) menjelaskan, Etika berasa dari bahasa Yunani kuno ethos dalam
bentuk tunggal yang berarti adat kebiasaan, adat istiadat, akhlak yang baik. Bentuk
jamak dari ethos adalah ta etha artinya adat kebiasaa. Dari bentuk jamak ni terbentuklah
istilah etika yang oleh filsuf Yunani Aristoteles (384-322 BC) sudah dipakai untuk
menunjukan filsafat moral. Berdasarkan asal usul kata maka Etika berarti ilmu tentang
apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan.
a. Ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban
moral (akhlak);
b. Kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak;
c. Nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat.
Dengan demikian, menurut Bertens tiga arti etika dapat dirumuskan sebagai berikut
:
1) Etika dalam arti nilai-nilai dan norma-norma moral menjadi pegangan bagi
seseorang atau suatu kelompok mengatur dalam tingkah lakunya arti ini disebut
juga sebagai “system nilai” dalam hidup manusia perseorangan atau hidup
bermasyarakat. Misalnya etika orang jawa, etika orang Budha.
6
2) Etika dipakai dalam arti: kumpulan asas atau nilai moral. Yang dimaksud disini
adalah kode etik, misalnya kode etik Advikat Indonesia, Kode Etik Notaris
Indonesia.
3) Etika dipakai dalam arti: ilmu tentang yang baik atau yang buruk. Arti etika
disini sama dengan filsafat moral.
Pengertian etika juga dikemukakan oleh Sumaryono (1995), menurut beliau etika
berasal dari bahasa Yunani Ethos yang mempunyai arti adat istiadat atau kebiasaan
yang baik. Bertolak dari pengertian ini kemudian etika berkembang menjadi studi
tentang kebiasaan manusia berdasarkan kesepakatan, menurut ruang dan waktu yang
berbeda, yang menggambarkan perangai manusia dalam kehidupan pada umunya.
selain itu, etika juga berkembang menjadi studi tentang kebenaran dan ketidak benaran
berdasarkan kodrat manusia yang diwujudkan melalui kehendak manusia.
2. Pengertian Profesi
Profesi menurut Wikipedia adalah kata serapan dari sebuah kata dalam bahasa
inggris “profess”, yang dalam bahasa yunani artinya adalah “janji” untuk memenuhi
kewajiban melakukan suatu tugas khusus secara tetap/permanen.
3. Pengertian Hakim
7
kepala Negara untuk menjadi hakim dalam menyelesaikan gugatan, perselisihan-
perselisihan dalam bidang hukum perdata oleh karena penguasa sendiri tidak dapat
menyelesaikan tugas peradilan.
1. Profesi Hakim
Sebagai sebuah profesi yang berkaitan dengan proses di pengadilan, definisi hakim
tercantum dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
atau yang biasa disebut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Pasal
1 angka 8 KUHAP menyebutkan, hakim adalah pejabat peradilan negara yang diberi
wewenang oleh undang-undang untuk mengadili. Sedangkan mengadili diartikan
sebagai serangkaian tindakan hakim untuk menerima, memeriksa, dan memutus
perkara berdasarkan asas bebas, jujur, dan tidak memihak di sidang pengadilan dalam
hal dan menurut tata cara yang diatur dalam undang-undang.
Hakim memiliki kedudukan dan peranan yang penting demi tegaknya negara
hukum. Oleh karena itu, terdapat beberapa nilai yang dianut dan wajib dihormati oleh
penyandang profesi hakim dalam menjalankan tugasnya. Nilai di sini diartikan sebagai
sifat atau kualitas dari sesuatu yang bermanfaat bagi kehidupan manusia, baik lahir
maupun batin. Bagi manusia, nilai dijadikan landasan, alasan, atau motivasi dalam
bersikap dan bertingkah laku, baik disadari maupun tidak. Nilai-nilai itu adalah sebagai
berikut.
8
a. Profesi hakim adalah profesi yang merdeka guna menegakkan hukum dan
keadilan berdasarkan Pancasila demi terselenggaranya negara hukum Republik
Indonesia. Di sini terkandung nilai kemerdekaan dan keadilan.
b. Selanjutnya, nilai keadilan juga tercermin dari kewajiban hakim untuk
menyelenggarakan peradilan secara sederhana, cepat, dan biaya ringan, agar
keadilan tersebut dapat dijangkau semua orang. Dalam mengadili, hakim juga
tidak boleh membeda-bedakan orang dan wajib menghormati asas praduga tak
bersalah. Kewajiban menegakkan keadilan ini tidak hanya
dipertanggungjawabkan secara horizontal kepada sesama manusia, tetapi juga
secara vertikal kepada Tuhan Yang Maha Esa.
c. Hakim tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara yang
diajukan dengan dalih bahwa hukumnya tidak ada atau kurang jelas. Apabila
hakim melihat adanya kekosongan hukum karena tidak ada atau kurang
jelasnya hukum yang mengatur suatu hal, maka ia wajib menggali nilai-nilai
hukum yang hidup dalam masyarakat. Nilai ini dinamakan sebagai nilai
keterbukaan.
d. Hakim wajib menjunjung tinggi kerja sama dan kewibawaan korps. Nilai kerja
sama ini tampak dari persidangan yang berbentuk majelis, dengan sekurang-
kurangnya terdiri dari tiga orang hakim. Sebelum menjatuhkan putusannya,
para hakim ini melakukan musyawarah secara tertutup.
e. Hakim harus senantiasa mempertanggungjawabkan segala sikap dan
tindakannya. Secara vertikal berarti ia bertanggung jawab kepada Tuhan Yang
Maha Esa. Sedangkan pertanggungjawaban secara horizontal berarti ditujukan
terhadap sesama manusia, baik kepada lembaga peradilan yang lebih tinggi
maupun kepada masyarakat luas. Berkaitan dengan pertanggungjawaban
horizontal, Pasal 25 ayat (1) Undang- Undang tentang Kekuasaan Kehakiman
menyebutkan bahwa:
"Segala putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar
putusan tersebut, memuat pula pasal tertentu dari perundang-undangan yang
9
bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk
mengadili."
f. Hakim wajib menjunjung tinggi nilai obyektivitas. Hal ini tercermin dalam
Pasal 29 ayat (3) yang menyatakan bahwa hakim wajib mengundurkan diri
dalam pemeriksaan suatu perkara apabila ia mempunyai hubungan darah
dengan pihak-pihak yang terlibat dalam proses pemeriksaan perkara tersebut,
baik dengan terdakwa, jaksa, penasihat hukum, panitera, maupun sesama
majelis hakim.
Profesi hakim sebagai salah satu bentuk profesi hukum sering digambarkan sebagai
pemberi keadilan. Oleh karena itu, hakim juga digolongkan sebagai profesi luhur
(officium nobile), yaitu profesi yang pada hakikatnya merupakan pelayanan pada
manusia dan masyarakat. Setiap profesi memiliki etika yang pada prinsipnya terdiri
dari kaidah-kaidah pokok sebagai berikut.
10
2. Sikap Hakim dalam Kedinasan
Sikap, sifat, dan etika kepribadian yang harus dimiliki oleh hakim seperti telah
diuraikan di atas selanjutnya diimplementasikan di persidangan pada saat hakim
menjalankan tugasnya. Edy Risdianto, hakim pada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan
mencontohkan salah satu bentuk tanggung jawab moral hakim yang ia terapkan dalam
menjalankan tugasnya adalah tidak mengikutsertakan istri ke ruang sidang di
pengadilan ketika sedang memimpin persidangan.
Secara umum, yang harus dilakukan hakim terhadap pihak ketiga yang menjadi
pencari keadilan dalam persidangan adalah:
a. bersikap dan bertindak menurut garis-garis yang ditentukan dalam hukum acara
yang berlaku;
b. tidak dibenarkan bersikap yang menunjukkan memihak atau bersimpati atau
antipati terhadap pihak-piha yang berperkara;
c. harus bersikap sopan, tegas, dan bijaksana dalam memimpin sidang, baik dalam
ucapan maupun perbuatan;
d. harus menjaga kewibawaan dan kekhidmatan persidangan; dan
e. bersungguh-sungguh mencari kebenaran dan keadilan. Sementara itu, terhadap
profesinya sendiri, seorang hakim juga harus menjaga perilakunya, baik kepada
atasan, sesama rekan, maupun bawahan. Terhadap atasan, seorang hakim harus
bersikap:
1) taat kepada pimpinan;
2) menjaankan tugas-tugas yang telah digariskan dengan jujur dan ikhlas;
3) berusaha memberi saran-saran yang membangun;
4) mempunyai kesanggupan untuk mengeluarkan serta mengemukakan
pendapat tanpa meningalkan norma-norma kedinasan; dan
5) tidak dibenarkan mengadakan resolusi terhadap atasan dalam bentuk
apapun.
11
Sedangkan terhadap sesama rekan, hakim haruslah :
a. memelihara dan memupuk hubungan kerja sama yang baik antarsesama rekan;
b. memiliki rasa setia kawan, tenggang rasa, dan saling menghargai antarsesama
rekan;
c. memiliki kesadaran, kesetiaan, penghargaan terhadap korps hakim; dan
d. menjaga nama baik dan martabat rekan-rekan, baik di dalam maupun di luar
kedinasan.
12
a. menjaga keluarga dari perbuatan-perbuatan tercela, baik menurut norma hukum
maupun norma kesusilaan;
b. menjaga ketentraman dan keutuhan keluarga dan rumah tangga;
c. menyesuaikan kehidupan rumah tangga dengan keadaan dan pandangan
masyarakat; dan
d. tidak dibenarkan hidup berlebih-lebihan dan mencolok.
a. selaku anggota masyarakat tidak boleh mengisolasi diri dari pergaulan masyarakat;
b. dalam hidup bermasyarakat harus mempunyai rasa gotong-royong; dan
c. harus menjaga nama baik dan martabat hakim.
13
5. Pendidikan dan Pelatihan Calon Hakim
Proses pendidikan dan pelatihan (diklat) bagi calon hakim dilaksanakan pada
awal masa pra-jabatan dan sangat erat kaitannya dengan proses rekrutmen hakim.
Selain digunakan sebagai program orientasi bagi para calon hakim, diklat juga
ditujukan untuk menjadi sarana seleksi hakim. Program diklat dimulai dari kewajiban
para peserta untuk memenuhi masa magang selama kurang lebih satu tahun sebagai
Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) di pengadilan-pengadilan negeri di wilayah
Indonesia. Program pembinaan yang terarah belum terlihat pada tahap yang disebut
Diklat Praktik I ini. Para peserta diklat masih sebatas dikaryakan sebagai staf
administrasi pengadilan, hingga saatnya mereka mengikuti ujian pra-jabatan, yang
merupakan fase seleksi kepegawaian secara umum.
14
memang memiliki kapabilitas dan wawasan hukum yang mendalam sudah selayaknya
terjaring dalam rekrutmen hakim sehingga mereka yang nantinya duduk di muka ruang
pengadilan sebagai pemimpin sidang adalah hakim-hakim yang berkualitas terbaik.
Faktanya, berbagai putusan pengadilan yang kontroversial terus bermunculan sehingga
berbagai pihak menilai hakim-hakim di negeri ini belum memahami rasa keadilan
masyarakat. Banyaknya kelemahan ataupun cacat hukum pada putusan yang
dikeluarkan oleh para hakim bisa jadi merupakan gambaran dari tidak efektifnya pola
rekrutmen hakim yang selama ini diterapkan di Indonesia.
Dalam buku "The Civil Law Tradition", Merryman, seorang ahli perbandingan
hukum, menyatakan bahwa hakim karir (yang lahir dari sistem Civil LaW) cenderung
memiliki mentalitas birokrat, kurang memiliki kepercayaan diri dan pemikiran yang
mandiri. Hal ini mengakibatkan mereka cenderung ragu atau takut untuk membuat
keputusan yang kontroversial dan memiliki dampak politik yang besar. Hal ini berbeda
dengan hakim di negara penganut sistem Common Law yang sebelum menjadi hakim
biasanya berprofesi sebagai pengacara, pejabat publik, atau akademisi.
Menurut Reza Indragiri Amriel, ahli psikologi forensik lulusan The University
of Melbourne, pembenahan aset terpenting institusi peradilan, yaitu individu hakim,
15
harus menjadi fokus agar sumber daya manusia (SDM) dapat berkontribusi dalam
meningkatkan kualitas produk peradilan (putusan pengadilan).
a. Kesulitan mencari hakim, termasuk Hakim Agung (dan para pemangku otoritas
hukum pada umumnya) nyatanya tidak hanya terjadi di Indonesia. Amerika Serikat
pun mengalami keterbatasan jumlah hakim sejak usainya Perang Sipil di negara itu.
Dalam konteks Indonesia, kesulitan ini terutama bersumber dari tidak adanya
model kompetensi yang menjadi acuan mengenai karakter ideal yang sepatutnya
dipunyai oleh setiap individu hakim.
b. Dalam survei yang dilakukan oleh United Nations Office on Drugs and Crime
(UNODC) tahun 2006, saat ditanyakan kepada para hakim, banyak hakim yang
menyebutkan bahwa penambahan jumlah hakim dan staf pendukung sebagai
prasyarat efektif kedua—dari tujuh faktor— terpenting dalam rangka peningkatan
kualitas peradilan. Di sisi lain, banyak peneliti justru menyimpulkan bahwa kualitas
personel lembaga kehakiman tidak dipengaruhi oleh jumlah aparat peradilan. Mutu
putusan para hakim berbanding lurus dengan peningkatan profesionalisme mereka.
Selanjutnya, Reza menguraikan dua hal yang dapat menjadi alternatif solusi untuk
mengembangkan integritas hakim sebagai berikut.
a. Sebagai sumber daya manusia, para hakim juga idealnya dikenakan perlakuan
SDM (HR/human resources treatment) secara terintegrasi, komprehensif, dan
berkesinambungan. Ini artinya, penilaian ketat tidak hanya diterapkan pada para
kandidat hakim. Setelah menjabat, para kandidat terpilih harus diberikan penilaian
secara berkala pula. Prinsipnya, semakin sentral peran SDM terhadap kinerja suatu
organisasi, semakin ketat pula idealnya manajemen SDM diberlakukan pada
organisasi tersebut.
16
b. Ke depan perlu dirumuskan acuan kinerja (performance standards atau distinct job
manual) dan perangkat aturan organisasi lainnya sebagai pedoman pengembangan
karir para hakim.
Pada dasarnya, terdapat setidaknya tiga unsur pokok yang harus ada dalam
pelaksanaan suatu fungsi dalam profesi dan bidang apapun. Unsur-unsur tersebut
adalah sebagai berikut.
a. Tugas, yaitu kewajiban dan kewenangan atau kekuasaan yang harus dilaksanakan
untuk kemudian diperinci lebih lanjut tentang cara melaksanakannya.
b. Aparat, yaitu pelaksana tugas tersebut yang terdiri atas komponen pelaksana,
pendukung, dan penunjang.
c. Lembaga, yaitu wadah (struktur dan organisasi) beserta sarana dan prasarana
tempat para aparat melaksanakan tugasnya.
Bagi seorang aparat, mendapat suatu tugas berarti memperoleh sebuah tanggung
jawab yang terkait tiga hal, yaitu:
Tanggung jawab dapat dibedakan atas tiga jenis, yaitu tanggung jawab moral,
tanggung jawab hukum, dan tanggung jawab teknis profesi. Tanggung jawab moral
adalah tanggung jawab sesuai dengan nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku dalam
lingkungan kehidupan profesi yang bersangkutan, baik bersifat pribadi maupun bersifat
kelembagaan bagi suatu lembaga yang merupakan wadah para aparat bersangkutan.
Sementara tanggung jawab hukum diartikan sebagai tanggung jawab yang menjadi
beban aparat untuk dapat melaksanakan tugasnya dengan tidak melanggar rambu-
17
rambu hukum. Sedangkan tanggung jawab teknis profesi merupakan tuntutan bagi
aparat untuk melaksanakan tugasnya secara profesional sesuai dengan kriteria teknis
yang berlaku dalam bidang profesi yang bersangkutan, baik bersifat umum maupun
ketentuan khusus dalam lembaganya.
Secara filosofis, tujuan akhir profesi hakim adalah ditegakkannya keadilan. Cita
hukum keadilan yang terapat dalam das sollen (kenyataan normatif) harus dapat
diwujudkan dalam das sein (kenyataan alamiah) melalui nilai-nilai yang terdapat dalam
etika profesi. Salah satu etika profesi yang telah lama menjadi pedoman profesi ini
sejak masa awal perkembangan hukum dalam peradaban manusia adalah The Four
Commandments for Judges dari Socrates. Kode etik hakim tersebut terdiri dari empat
butir di bawah ini.
Peradaban Islam pun memiliki literatur sejarah di bidang peradilan, salah satu yang
masih tercatat ialah risalah Khalfah Umar bin Khatab kepada Musa Al- Asy'ari, seorang
hakim di Kufah, yang selain mengungkapkan tentang pentingnya peradilan, cara
pemeriksaan, dan pembuktian, juga menjelaskan tentang etika profesi. Dalam risalah
dituliskan kode etik hakim antara lain di bawah ini.
18
b. Perdamaian hendaklah selalu diusahakan di antara para pihak yang bersengketa
kecuali perdamaian yang menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang
halal.
Dalam bertingkah laku, sikap dan sifat hakim tercermin dalam lambang kehakiman
dikenal sebagai Panca Dharma Hakim, yaitu:
Sebagai perwujudan dari sikap dan sifat di atas, maka sebagai pejabat hukum,
hakim harus memiliki etika kepribadian, yakni:
19
2. Tanggung Jawab Hukum Hakim
a. bahwa hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan
rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat (Pasal 28 ayat (1));
b. bahwa dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana, hakim wajib
memperhatikan pula sifat yang baik dan jahat dari terdakwa (Pasal 28 ayat (2)); dan
c. bahwa hakim wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila terikat hubungan
keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami isteri
meskipun telah bercerai, dengan ketua, salah seorang Hakim Anggota, Jaksa,
Advokat, atau Panitera (Pasal 29 ayat (3)).
Pasal 10 ayat (1) menyatakan bahwa Hakim Agung tidak boleh merangkap
menjadi:
20
d. pengusaha.
Pasal 12 ayat (1) menyatakan bahwa Hakim Anggota Mahkamah Agung dapat
diberhentikan tidak dengan hormat dengan alasan:
Pasal 41 ayat (1) menyatakan bahwa hakim wajib mengundurkan diri dari suatu
persidangan apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat
ketiga, atau hubungan suami atau isteri meskipun telah bercerai dengan salah seorang
Hakim Anggota atau Panitera pada majelis hakim.
Pasal 41 ayat (4) menyatakan jika seorang hakim yang memutus perkara dalam
tingkat pertama atau tingkat banding, kemudian telah menjadi Hakim Agung, maka
Hakim Agung tersebut dilarang memeriksa perkara yang sama.
Pasal 42 ayat (1) menyatakan bahwa seorang hakim tidak diperkenankan mengadili
suatu perkara yang ia sendiri berkepentingan, baik langsung maupun tidak langsung.
Di samping kedua undang-undang di atas, peraturan berbentuk undang- undang lainnya
yang mencantumkan ketentuan mengenai tanggung jawab profesi hakim adalah:
21
c. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang- Undang
Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum;
d. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang- Undang
Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara;
e. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi;
f. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak; dan
g. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer.
Jenis tanggung jawab yang terakhir adalah tanggung jawab teknis profesi. Pada
jenis tanggung jawab ini, penilaian terhadap sesuai atau tidaknya tindakan yang
dilakukan oleh hakim dengan ketentuan yang berlaku menjadi hal yang paling
diutamakan. Selain itu, penilaian terhadap kinerja dan profesionalisme hakim dalam
menjalankan tugasnya juga menjadi perhatian. Setiap hakim dituntut mampu
mempertanggungjawabkan tindakannya sebagai profesional di bidang hukum, baik di
dalam maupun di luar kedinasan, secara materi dan formil. Oleh karena itu, adalah
suatu hal yang mutlak bagi para hakim untuk memahami secara mendalam aturan-
aturan mengenai hukum acara di persidangan. Ketidak mampuan hakim dalam
mempertanggungjawabkan tindakannya secara teknis atau dikenal dengan istilah
unprofessional conduct dianggap sebagai pelanggaran yang harus dijatuhi sanksi.
22
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kode etik hakim disebut kode kehormatan hakim berbeda dengan notaris dan
advokat, hakim adalah pegawai negeri sipil yang mempunyai jabatan fungsional. Oleh
karena itu, kode kehormatan hakim memuat tiga jenis etika, yaitu etika kedinasan
pegawai Negeri sipil, etika kedinasan hakim sebagai pejebat fungsional penegak
hukum, etika hakim sebagai manusia pribadi anggota masyarakat.
B. Saran
Penulis menyadari bahwa makalah diatas banyak sekali kesalahan dan jauh dari
kesempurnaan. Penulis akan memperbaiki makalah tersebut dengan berpedoman pada
banyak sumber yang dapat dipertanggungjawabkan. Maka dari itu penulis
23
mengharapkan kritik dan saran mengenai pembahasan makalah dalam kesimpulan di
atas.
24
DAFTAR PUSTAKA
Kamil, Iskandar. "Kode Etik Profesi Hakim" dalam Pedoman Perilaku Hakim
(Code of Conduct), Kode Etik Hakim dan Makalah Berkaitan. Jakarta: Mahkamah
Agung RI, 2006.
Kansil, C.S.T. dan Christine S.T. Kansil. Pokok-Pokok Etika Profesi Hukum.
Jakarta: Pradnya Pramita, 1996.
Suyuthi, Wildan. "Etika Profesi, Kode Etik, dan Hakim dalam Pandangan
Agama" dalam Pedoman Perilaku Hakim (Code of Conduct), Kode Etik Hakim dan
Makalah Berkaitan. Jakarta: Mahkamah Agung RI, 2006.
25
Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1989 tentang Peradilan Agama. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman. Usman, Suparman, Etika Dan Tanggung Jawab Profesi
Hukum Di Indonesia, Jakarta,Gaya Media Pratam, 2008.
26