Anda di halaman 1dari 28

Resume Hukum Acara Pidana tentang Penyelidikan, Penyidikan, Penangkapan,

Penahanan, Penggeledahan, dan Penyitaan.

1. Penyelidikan

1.1 Pengertian Penyelidikan

Berdasarkan Pasal 1 butir 5 KUHAP menegaskan ‘penyelidikan adalah


serangkaian tindakan/ penyelidikan untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa
yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan
penyelidikan menurut cara yang diatur dalam Undang-undang.”

Mengenai penyelidikan, M. Yahya Harahap, S.H., dalam bukunya yang


berjudul Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Penyidikan dan
Penuntutan (hal. 101), menjelaskan bahwa dari pengertian dalam KUHAP,
“penyelidikan” merupakan tindakan tahap pertama permulaan “penyidikan”. Akan
tetapi harus diingat, penyelidikan bukan tindakan yang berdiri sendiri terpisah dari
fungsi “penyidikan”. Penyelidikan merupakan bagian yang tak terpisah dari fungsi
penyidikan. Kalau dipinjam kata-kata yang dipergunakan buku petunjuk Pedoman
Pelaksanaan KUHAP, penyelidikan merupakan salah satu cara atau metode atau
sub daripada fungsi penyidikan yang mendahului tindakan lain, yaitu penindakan
berupa penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, pemeriksaan surat,
pemanggilan, tindakan pemeriksaan, dan penyerahan berkas kepada penuntut
umum.

Penyelidikan dilakukan sebelum penyidikan. Dengan pengertian yang


ditegaskan dalam KUHAP, penyelidikan sesungguhnya penyelidik yang berupaya
atau berinsiatif sendiri untuk menemukan peristiwa yang diduga sebagai tindak
pidana. Walaupun dalam pelaksaanan tugas penyelidikan terkadang juga menerima
laporan atau pengaduan dari pihak yang dirugikan (vide: Pasal 108 KUHAP).

Lebih lanjut, Yahya Harahap menyatakan bahwa jadi sebelum dilakukan


tindakan penyidikan, dilakukan dulu penyelidikan oleh pejabat penyelidik, dengan
maksud dan tujuan mengumpulkan “bukti permulaan” atau “bukti yang cukup” agar
dapat dilakukan tindak lanjut penyidikan. Mungkin penyelidikan dapat disamakan

1
dengan pengertian “tindak pengusutan” sebagai usaha mencari dan menemukan
jejak berupa keterangan dan bukti-bukti suatu peristiwa yang diduga merupakan
tindak pidana.

Motivasi dan tujuan penyelidikan, merupakan tuntutan tanggung jawab


kepada aparat penyidik, untuk tidak melakukan tindakan penegakan hukum yang
merendahkan harkat martabat manusia. Sebelum melangkah melakukan
pemeriksaan penyidikan seperti penangkapan atau penahanan, harus lebih dulu
berusaha mengumpulkan fakta dan bukti, sebagai landasan tindak lanjut
penyidikan.

1.2 Penyelidik

Penyelidikan dilakukan oleh Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia yang


diberi wewenang oleh Undang-undang (Pasal 1 butir 4). Penyelidik adalah Setiap
pejabat polisi negara Republik Indonesia (Pasal 4 KUHAP).

1.3 Wewenang Penyelidik (Pasal 5 KUHAP)

Wewenangnya:

1. menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak


pidana;
2. mencari keterangan dan barang bukti;
3. menyuruh berhenti seorang yang dicurigai dan menanyakan serta
memeriksa tanda pengenal diri;
4. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.

Selain itu, atas perintah penyidik, penyelidik dapat melakukan tindakan


berupa :

1. penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahan dan


penahanan;
2. pemeriksaan dan penyitaan surat;
3. mengambil sidik jari dan memotret seorang;
4. membawa dan menghadapkan seorang pada penyidik.

2
Status penyelidikan akan berubah menjadi penyidikan ketika hasil
penyelidikan yang dilakukan polisi ditemukan bukti/petunjuk yang kuat telah
terjadi perbuatan pidana/tindak pidana.

2. Penyidikan

2.1 Pengertian Penyidikan

Penyidikan dalam Pasal 1 angka 2 KUHAP adalah serangkaian tindakan


penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk
mencari serta mengumpulkan bukti yang terjadi dan guna menemukan
tersangkanya. Tindakan penyidikan merupakan cara untuk mengumpulkan bukti-
bukti awal untuk mencari tersangka yang diduga melakukan tindak pidana dan
saksi-saksi yang mengetahui tentang tindak pidana tersebut.

Menurut Lilik Mulyadi, dari batasan pengertian (begrips bepaling) sesuai


tersebut dengan konteks Pasal 1 angka 2 KUHAP, dengan kongkret dan factual
dimensi penyidikan tersebut dimulai ketika terjadinya tindak pidana sehingga
melalui proses penyidikan hendaknya diperoleh keterangan tentang aspek-aspek
sebagai berikut:

1. Tindak pidana yang telah dilakukan.


2. Tempat tindak pidana dilakukan (locus delicti).
3. Cara tindak pidana dilakukan.
4. Dengan alat apa tindak pidana dilakukan.
5. Latar belakang sampai tindak pidana tersebut dilakukan.
6. Siapa pelakunya.

2.2 Siapa Penyidik

Menurut KUHAP pasal I butir (1) penyidik adalah Pejabat Polisi Negara
Republik Indonesia atau pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang
khususnya Undang-undang untuk melakukan penyidikan.

3
Penyidik adalah : (Pasal 6 KUHAP)

a. Pejabat polisi negara Republik Indonesia


b. Pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh
undang-undang.

2.2.1 Penyidik Kepolisian

Berdasarkan Pasal 14 ayat (1) huruf g Undang-Undang Nomor 2 Tahun


2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (“UU Polri”), kepolisian
bertugas menyelidik dan menyidik semua tindak pidana sesuai hukum acara pidana
dan peraturan perundang-undangan lainnya. Ini artinya, Polri berwenang untuk
bertindak sebagai penyidik dalam tindak pidana atau kejahatan perbankan juga.

2.2.2 Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (“KPK”)

Namun, jika memang perkara pindana itu terjadi dalam ranah perbankan
dan melibatkan juga tindak pidana korupsi di dalamnya, maka penyidik yang
berwenang melakukan penyidikan tidak hanya penyidik kepolisian, tapi juga
penyidik KPK yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang.

KPK diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan


penyidikan dalam tindak pidana korupsi. Hal ini terdapat dalam Pasal 6 huruf c
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi
(“UU KPK”) yang mengatakan bahwa KPK mempunyai tugas melakukan
penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi.

2.2.3 Penyidik Otoritas Jasa Keuangan (OJK)

Lembaga lain yang ditunjuk khusus oleh UU untuk menjadi penyidik dalam
kasus kejahatan perbankan yaitu OJK. Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang-
Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (“UU OJK”),
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) adalah lembaga yang independen dan bebas dari
campur tangan pihak lain, yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang
pengaturan, pengawasan,pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang ini.

4
Penyidikan merupakan salah satu tugas penngawasan OJK seperti yang
disebut dalam Pasal 9 huruf c UU OJK yang berbunyi:

“Untuk melaksanakan tugas pengawasan sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 6, OJK mempunyai wewenang melakukan pengawasan, pemeriksaan,
penyidikan, perlindungan Konsumen, dan tindakan lain terhadap Lembaga Jasa
Keuangan, pelaku, dan/atau penunjang kegiatan jasa keuangan sebagaimana
dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan.”

Wewenang OJK dalam melakukan penyidikan ini juga dipertegas dalam


Pasal 49 ayat (1) UU OJK:

“Selain Pejabat Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia, Pejabat


Pegawai Negeri Sipil tertentu yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya yang
meliputi pengawasan sektor jasa keuangan di lingkungan OJK, diberi wewenang
khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana.”

2.2.4 Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK)

Lembaga lain yang memiliki wewenang dalam pemberantasan tindak


pidana pada sektor perbankan, khususnya tindak pidana pencucian uang adalah
PPATK. Berdasarkan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010
tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (“UU
8/2010”), PPATK adalah lembaga independen yang dibentuk dalam rangka
mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang.

PPATK memang tidak diberikan wewenang secara khusus untuk menjadi


penyidik. Akan tetapi, PPATK berwenang meminta informasi perkembangan
penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan oleh penyidik tindak pidana asal dan
tindak pidana pencucian uang dan meneruskan hasil analisis atau pemeriksaan
kepada penyidik.

2.3 Wewenang Penyidik

Kewenangan penyidikan ditegaskan dalam Pasal 7 ayat 1 KUHAP sebagai berikut:

5
a. Menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak
pidana.
b. Melakukan tindakan pertama pada saat ditempat kejadian.
c. Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal
diri tersangka.
d. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan.
e. Melakukan pemeriksan surat dan penyitaan surat.
f. Mengambil sidik jari dan memotret seseoarang.
g. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau
saksi.
h. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan
pemeriksaan perkara.
i. Mengadakan penghentian penyidikan.
j. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.

2.4 Tahap Penyidikan

Dalam hal penyidik telah mulai melakukan penyidikan sesuatu peristiwa


yang merupakan tindak pidana, penyidik memberitahukan hal itu kepada Penuntut
Umum melalui SPDP (Surat Pemberitahun Dimulainya Penyidikan, vide: Pasal 109
ayat 1 KUHAP).

Setelah selesai dilakukan penyidikan, maka berkas diserahkan kepada


Penuntut Umum (Pasal 8 ayat 2 KUHAP). Penyerahan ini dilakukan melalui dua
tahap, yakni:

a. Tahap pertama, penyidik hanya menyerahkan berkas perkara.


b. Dalam hal penyidikan dianggap selesai, penyidik menyerahkan
tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti kepada penuntut
umum.

Jika pada penyerahan tahap pertama, penutut umum berpendapat bahwa


berkas perkara kurang lengkap maka ia dapat:

6
a. Mengembalikan berkas perkara kepada penyidik untuk dilengkapi
disertai petunjuk. Penuntut umum menerbitkan P-18 dan P-19.
b. Melengkapi sendiri, dengan melakukan pemeriksaan tambahan (Pasal
30 ayat 1 huruf e Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang
Kejaksaan).

Berdasarkan Pasal 110 ayat 4 KUHAP, jika dalam waktu 14 hari penuntut
umum tidak mengembalikan berkas (hasil penyidikan) maka penyidikan dianggap
telah selesai.

3. Penangkapan

3.1 Pengertian Penangkapan

Penangkapan adalah suatu tindakan penyidik berupa pengekangan


sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti
guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan dalam hal serta
menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.Demikian yang disebut dalam
Pasal 1 angka 20 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”). Dari
sini kita bisa ketahui bahwa tindakan penangkapan dilakukan oleh penyidik pada
proses penyidikan.

M. Yahya Harahap dalam bukunya Pembahasan Permasalahan dan


Penerapan KUHAP : Penyidikan dan Penuntutan (hal. 158) mengatakan bahwa
alasan penangkapan atau syarat penangkapan tersirat dalam Pasal 17 KUHAP:

1. Seorang yang diduga keras melakukan tindak pidana;

2. Dugaan yang kuat itu didasarkan pada bukti permulaan yang cukup.

Penjelasan Pasal 17 KUHAP mengatakan bahwa pasal ini menentukan


bahwa perintah penangkapan tidak dapat dilakukan dengan sewenang-wenang,
tetapi ditujukan kepada mereka yang betul-betul melakukan tindak pidana.

7
Berkaitan dengan fungsi penangkapan itu sendiri, dari definisi penangkapan
di atas dapat kita tarik kesimpulan bahwa penangkapan dilakukan guna kepentingan
penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan.

M. Yahya mengatakan bahwa penangkapan harus dilakukan menurut cara-


cara yang telah ditentukan dalam KUHAP (hal. 157). Selain itu, penting diingat
bahwa alasan untuk kepentingan penyelidikan dan kepentingan penyidikan jangan
diselewengkan untuk maksud selain di luar kepentingan penyelidikan dan
penyidikan (hal. 159).

Masih berkaitan dengan fungsi penangkapan, menurut M. Yahya (hal. 157)


wewenang yang diberikan kepada penyidik sedemikian rupa luasnya. Bersumber
atas wewenang tersebut, penyidik berhak mengurangi kebebasan dan hak asasi
seseorang asal masih berpijak pada landasan hukum. Salah satu bentuk
pengurangan kebebasan dan hak asasi itu adalah dengan dilakukannya
penangkapan. Akan tetapi harus diingat bahwa semua tindakan penyidik mengenai
penangkapan itu adalah tindakan yang benar-benar diletakkan pada proporsi demi
untuk kepentingan pemeriksaan dan benar-benar sangat diperlukan sekali.

3.1 Alasan dan Syarat Penangkapan

Karakter utama dari penangkapan adalah pengekangan sementara waktu,


guna kepentingan penyidikan atau penuntutan, hal ini membedakan penangkapan
dengan pemidanaan meskipun keduanya memiliki sifat yang sama yaitu adanya
pengekangan kebebasan seseorang.

Tujuan dilakukannya penangkapan antara lain guna mendapatkan waktu


yang cukup untuk mendapatkan informasi yang akurat. Seseorang ditangkap
apabila diduga keras melakukan tindak pidana dan ada dugaan kuat yang didasarkan
pada permulaan bukti yang cukup.

Hal ini menunjukkan perintah penangkapan tidak tidak dapat dilakukan


dengan sewenang-wenang. Ketentuan mengenai penangkapan dalam KUHAP amat

8
berbeda dengan ketentuan dalam HIR, dahulu penangkapan dilakukan tanpa adanya
bukti sehingga tidak terdapat kepastian hukum.

Syarat lain untuk melakukan penangkapan harus didasarkan pada


kepentingan penyelidikan atau penyidikan sebagaimana diatur dalam Pasal 16
KUHAP. Dalam hal kepentingan penyelidikan tetap harus ada dugaan keras
terhadap tersangka sebagai pelaku tindak pidananya yang berdasarkan bukti
permulaan yang cukup.

Mengenai bukti permulaan yang cukup, KUHAP tidak mengaturnya,


melainkan diserahkan kepada penyidik untuk menentukannya. Menurut Kapolri
dalam SKEP/04/1/1982 tanggal 18 Februari 1982, bukti permulaan yang cukup
merupakan keterangan dan data yang terkandung dalam laporan polisi :

1. berkas acara pemeriksaan di tempat kejadian perkara (TKP);


2. laporan hasil penyelidikan;
3. keterangan saksi/ahli dan barang bukti.

Sedangkan menurut Yahya Harahap pengertian "bukti permulaan yang


cukup" hampir serupa dengan apa yang dirumuskan dalam Pasal 183 KUHAP,
yakni berdasarkan prinsip batas minimal pembuktian yang minimal terdiri dari dua
alat bukti. Sedangkan menurut Rapat Kerja Makehjapol tanggal 21 Maret 1984
menyimpulkan bukti permulaan yang cukup minimal laporan polisi ditambah salah
satu alat bukti lainnya.

3.2 Cara Penangkapan

Penangkapan merupakan bentuk pelanggaran hak bebas seseorang yang


belum terbukti bersalah, berdasarkan ketentuan Pasal 19 ayat (1) KUHAP waktu
penangkapan dapat dilakukan paling lama satu hari. Mengenai cara pelaksanaan
penangkapan, terdapat dua pembahasan yakni petugas yang berwenang melakukan
penangkapan serta syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam melakukan
penangkapan.

9
Petugas yang berwenang melakukan penangkapan adalah Polisi Republik
Indonesia (Polri) sebagaimana diatur dalam Pasal 18 KUHAP. Jaksa penuntut
umum tidak berwenang melakukan penangkapan kecuali dalam kedudukannya
sebagai penyidik. Petugas keamanan seperti satpam atau hansip juga tidak
berwenang melakukan penangkapan, kecuali dalam hal tertangkap tangan, sebab
dalam kasus tertangkap tangan setiap orang berhak melakukan penangkapan.

Pelaksanaan penangkapan menurut Drs.DPM Sitompul, SH dapat dilakukan


dengan dua cara, yaitu:

1. Penangkapan Tanpa Surat Perintah

Pada dasarnya setiap orang dapat melakukan penangkapan dengan syarat


dalam keadaan tertangkap tangan. Tertangkap tangan menurut Pasal 1 butir 19
KUHAP adalah tertangkapnya seseorang saat sedang melakukan tindak pidana;
dengan segera setelah dilakukannya tindak pidana; sesaat setelah masyarakat
meneriaki pelaku tindak pidana; dan setelah ditemukan benda yang diduga keras
digunakan untuk melakukan tindak pidana, dimana benda tersebut menunjukkan
bahwa ia adalah pelakunya atau turut melakukan atau melakukan tindak pidana
tersebut. Setelah dilakukan penangkapan tanpa surat perintah, polisi harus
memperhatikan hal-hal ketentuan dalam Pasal 111, Pasal 18 ayat (2), Pasal 5 ayat
(2) KUHAP.

2. Penangkapan Dengan Surat Perintah

Syarat penangkapan dengan surat perintah adalah sebagaimana syarat


penangkapan pada umumnya yang dinilai sah apabila memenuhi syarat yang telah
ditentukan peraturan perundang-undangan sebagai berikut:

a. Petugas yang diperintahkan melakukan penangkapan harus


membawa surat perintah penangkapan. Surat perintah penangkapan
merupakan syarat formal yang bersifat imperatif. Hal ini demi
kepastian hukum dan menghindari penyalahgunaan jabatan serta
menjaga ketertiban masyarakat.

10
c. Surat perintah penangkapan harus diperlihatkan kepada orang yang
disangka melakukan tindak pidana. Surat tersebut berisi:
1) Identitas tersangka, seperti nama, umur, dan tempat
tinggal. Apabila identitas dalam surat tersebut tidak sesuai,
maka yang bersangkutan berhak menolak sebab surat
perintah tersebut dinilai tidak berlaku.
2) Alasan penangkapan, misalnya untuk pemeriksaan atas
kasus pencurian dan lain sebagainya.
3) Uraian singkat perkara kejahatan yang disangkakan
terhadap tersangka, misalnya disangka melakukan
kejahatan pencurian sebagaimana diatur dalam Pasal 362
KUHP.
4) Tempat pemeriksaan dilakukan.

Salinan surat perintah penangkapan harus diberikan kepada keluarga


tersangka segera setelah penangkapan dilakukan, pemberitahuan tidak dapat
diberikan secara lisan. Apabila salinan surat perintah penangkapan tidak diberikan
kepada pihak keluarga, mereka dapat mengajukan pemeriksaan Praperadilan
tentang ketidakabsahan penangkapan sekaligus dapat menuntut ganti kerugian.

Selain surat perintah penangkapan, aparat yang bersangkutan harus


dilengkapi dengan surat perintah tugas yang ditandatangani oleh kepala polisi atau
pejabat yang ditunjuk selaku penyidik. Isi surat perintah tugas antara lain :

1) pertimbangan dan dasar penangkapan;


2) nama, pangkat, nrp, jabatan dan kesatuan tugas;
3) tugas yang harus dilakukan;
4) batas waktu berlakunya perintah tugas serta
5) keharusan untuk membuat laporan hasil penangkapan bagi aparat yang
diberi surat perintah tugas.

Penangkapan hanya dapat dilakukan terhadap seorang yang diduga keras


melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup sebagaimana

11
yang diatur dalam Pasal 17 KUHAP. Mengenai bukti permulaan yang cukup,
KUHAP tidak mengaturnya, melainkan diserahkan kepada penyidik untuk
menentukannya. Menurut Kapolri dalam SKEP/04/1/1982 tanggal 18 Februari
1982, bukti permulaan yang cukup merupakan keterangan dan data yang
terkandung dalam laporan polisi; berkas acara permeriksaan di tempat kejadian
perkara (TKP); laporan hasil penyelidikan; keterangan saksi/ahli dan barang
Sedangkan menurut Rapat Kerja Makehjapol tanggal 21 Maret 1984 19 bukti.
menyimpulkan bukti permulaan yang cukup minimal laporan polisi ditambah salah
satu alat bukti lainnya.

3.3 Batas Waktu Penangkapan

Batas waktu penangkapan ditentukan dalam Pasal 19 ayat (1) KUHAP,


yaitu dilakukan untuk maksimum satu hari. Berdasarkan ketentuan ini seseorang
hanya dapat dikenakan penangkapan tidak boleh lebih dari satu hari. Lebih dari satu
hari, berarti sudah terjadi pelanggaran hukum dan dengan sendirinya penangkapan
dianggap tidak sah. konsekuensinya tersangka harus dibebaskan demi hukum. Jika
batas waktu itu dilanggar, tersangka, penasehat hukumnya atau keluarganya dapat
meminta pemeriksaan pada praperadilan tentang sah atau tidaknya penangkapan
dan sekaligus dapat menuntut ganti rugi.

Batasan lamanya penangkapan yang sangat singkat itu akan menjadi


masalah bagi pihak penyelidik, terutama di tempat-tempat atau daerah yang
transportasinya sangat sulit, apalagi jika daerah masih tertutup dari sarana
komunikasi. Keadaan yang demikian tidak memungkinkan dalam waktu satu hari
dapat menyelesaikan urusan penangkapan dan menghadapkan tersangka kepada
penyidik.

Untuk mengatasi hambatan-hambatan tersebut, Pedoman Pelaksana


KUHAP memberikan jalan sebagai berikut:

a. Penangkapan dilakukan atau dipimpin oleh penyidik agar segera


dapat dilakukan pemerikasaan di tempat yang terdekat;

12
b. Jika penangkapan dilakukan oleh penyelidik, pejabat penyidik
mengeluarkan surat perintah kepada penyelidik untuk membawa
dan menghadapkan orang yang ditangkap kepada penyidik.

Namun, beberapa jalan tersebut tetap mengalami kesulitan, terutama terkait


kewajiban penyidik untuk menyampaikan salinan surat perintah penangkapan
kepada keluarga tersangka.

Penangkapan hanya diberikan kepada pelaku kejahatan sementara terhadap


pelaku pelanggaran tidak dapat dilakukan penangkapan, kecuali dalam hal ia telah
dipanggil secara sah dua kali berturut-turut tidak memenuhi panggilan itu tanpa
alasan yang sah.

4. Penahanan

4.1 Pengertian Penahanan

Menurut Pasal 1 angka 21 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana


(“KUHAP”), penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat
tertentu oleh penyidik, atau penuntut umum atau hakim dengan penetapannya,
dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.

Dalam praktiknya, seringkali status tahanan menjadi berkepanjangan karena


proses pemeriksaan di pihak kepolisian masih berjalan. Menurut Pasal 7 ayat (1)
huruf d KUHAP, penyidik (dalam hal ini kepolisian) karena kewajibannya memiliki
wewenang melakukan penahanan.

Penahanan itu sendiri dibagi-bagi berdasarkan kepentingannya. Pasal 20


KUHAP membagi penahanan itu menjadi 3 (tiga) yaitu:

a. Untuk kepentingan penyidikan, penyidik atau penyidik pembantu atas


perintah penyidik berwenang melakukan penahanan.
b. Untuk kepentingan penuntutan, penuntut umum berwenang melakukan
penahanan atau penahanan lanjutan.

13
c. Untuk kepentingan pemeriksaan hakim di sidang pengadilan dengan
penetapannya berwenang melakukan penahanan.

4.2 Alasan Penahanan

Secara langsung tidak ada ketentuan yang dapat menjelaskan tujuan


penahanan. Akan tetapi, jika kita melihat isi dari Pasal 20 KUHAP dapat
memberikan petunjuk bahwa tujuan penahanan untuk kepentingan penyidikan,
penuntutan dan pemeriksaan.

Penahanan merupakan suatu tindakan darurat yang dilakukan dalam


keadaan sangat diperlukan. Penahanan berkaitan langsung dengan hak asasi
manusia, yaitu kebebasan bergerak seseorang maka perlu pembatasan terhadap
kewenangan penahanan oleh pejabat yang berwenang.

Mr.W.A.F.FL. Winckel membagi syarat penahanan menjadi berdasarkan


undang-undang (gronden van rechtsmatigheid) dan pertimbangan keadaan atau
kepentingan (gronden van noodzakelijkeheid).

Sedangkan Prof Moeljatno membaginya menjadi syarat obyektif dan


subyektif Alasan penahanan menurut Pasal 21 KUHAP antara lain untuk
kepentingan penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan sidang pengadilan.

Adapun menurut Pasal 21 ayat (1) dan (4) alasan penahanan adalah sebagai
berikut:

a. Perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap


seorang tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak
pidana kejahatan berdasarkan bukti yang cukup, dalam keadaan yang
menimbulkan kekhawatiran tersangka atau terdakwa akan melarikan
diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan/atau mengulangi
tindak pidana;
b. Penahanan tersebut hanya dapat dikenakan terhadap tersangka atau
terdakwa yang melakukan tindak pidana dan/atau percobaan maupun
pemberian bantuan dalam

14
1) Tindak pidana yang ancaman pidananya lima tahun atau lebih
Penahanan hanya dapat dilakukan terhadap tindak pidana yang memiliki
ancaman pidana minimal lima tahun. Apabila ancaman pidana yang
tercantum dalam pasal yang dilanggar di bawah lima tahun, maka
terhadap tersangka/terdakwa tidak dapat dikenakan penahanan.
2) Tindak pidana khusus yang ancaman pidananya kurang dari lima
tahun
Selain tindak pidana yang diancam pidana lima tahun, penahanan juga
dapat dikenakan terhadap tersangka/terdakwa tindak pidana khusus
yang didasarkan pada pertimbangan ketertiban masyarakat pada
umumnya dan ancaman keselamatan badan terhadap orang pada
khususnya. Tindak pidana khusus yang dimaksu adalah tindak pidana
yang terdapat dalam KUHAP Pasal 282 ayat (3); Pasal 296; Pasal335
ayat (1); Pasal 353 ayat (1); Pasal 378; Pasal 379a; Pasal 453; Pasal 454:
Pasal 455; Pasal 459; Pasal 480 dan Pasal 506, serta tindak pidana lain
yang diatur secara khusus dalam undang-undang.

Apabila alasan penahanan menurut KUHAP dikomparasikan dengan


pendapat Prof.Moeljatno menjadi:

a. Alasan Obyektif

Alasan ini disebut juga alasan yuridis sebab ditentukan secara


terbatas oleh undang-undang mengenai kejahatan-kejahatan dimana
terhadap pelakunya dapat dilakukan penahanan sebagaimana ketentuan
dalam Pasal 21 ayat (1) dan (4) KUHAP.

b. Alasan Subyektif

Alasan ini menitikberatkan pada keadaan atau keperluan penahanan


berdasarkan subyektivitas atau kekhawatiran terhadap tersangka atau
terdakwa. Unsur keadaan atau keperluan penahanan untuk kepentingan
penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan sidang serta adanya keadaan yang
menimbulkan kekhawatiran tersangka/terdakwa akan melarikan diri;

15
merusak atau menghilangkan barang bukti atau khawatir
tersangka/terdakwa akan mengulangi tindak pidana, sebagaimana
ditentukan dalam Pasal 20 dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP.

Berbeda dengan syarat penangkapan yang didasarkan pada bukti permulaan


yang cukup, penahanan didasarkan pada bukti yang cukup. Dalam penjelasannya,
KUHAP tidak memberikan definisi atau apa yang dimaksud dengan bukti yang
cukup dan menyerahkan penafsirannya terhadap penegak hukum. Dalam HIR,
syarat melakukan penahanan didasarkan pada bukti yang cukup untuk
membuktikan bahwa tersangka/terdakwa bersalah dan bersalah tidaknya
tersangka/terdakwa menurut HIR maupun KUHAP harus didasarkan pada bukti
yang cukup.

Pada teknis peradilan dan penegakan hukum, yang berwenang menentukan


cukup atau tidaknya bukti serta bersalah atau tidaknya seseorang adalah hakim
dalam sidang peradilan. Penentuan cukup tidaknya bukti ditentukan oleh hakim,
dimana bukti yang cukup tersebut tidak sama dengan bukti yang cukup yang
digunakan hakim untuk menghukum tersangka/terdakwa.

Pengertian bukti yang cukup harus diproporsionalkan dengan tahap


pemeriksaan, pada tahap penyidikan "bukti yang cukup dapat diartikan apabila
telah terdapat batas minimum pembuktian yang dapat diajukan ke muka sidang
pengadilan sebagaimana ketentuan Pasal 184 KUHAP. Penahanan dilakukan untuk
mencegah tersangka/terdakwa melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang
bukti dan atau mengulangi perbuatan pidana.

Dalam pelaksanaan penahanan, perlu diadakan syarat-syarat mengenai


kapan seseorang itu dapat diadakan penahanan sebab penahanan merupakan salah
satu bentuk perampasan kemerdekaan bergerak seseorang.

4.3 Cara Penahanan

Cara penahanan atau penahanan lanjutan, baik yang dilakukan penyidik


maupun penuntut umum serta hakim, merujuk pada ketentuan pasal 21 ayat (2) dan
(3) KUHAP, yaitu :

16
a. Dengan Surat Perintah Penahanan atau Surat Penetapan

Penahanan yang dilakukan oleh penyidik atau penuntut umum dilakukan


dengan mengeluarkan atau memberikan surat perintah penahanan, sedangkan
penahanan oleh hakim menggunakan surat penetapan penahanan. Surat perintah
atau penetapan penahanan harus memuat hal-hal sebagai berikut:

1) Identitas tersangka/terdakwa, terdiri dari nama, umur, pekerjaan, jenis


kelamin dan tempat tinggal;
2) Alasan penahanan, misalnya untuk kepentingan penyidikan atau
pemeriksaan sidang pengadilan:
3) Uraian singkat kejahatan yang disangkakan atau yang didakwakan agar
yang bersangkutan mempersiapkan pembelaan dan demi kepastian
hukum;
4) Tempat ditahannya tersangka/terdakwa guna memberikan kepastian
hukum bagi yang ditahan dan keluarganya.

b. Tembusan Harus diberikan Kepada Keluarga

Pemberian tebusan surat perintah penahanan atau penahanan lanjutan


maupun surat penetapan penahanan oleh hakim harus disampaikan kepada keluarga
sebagai upaya pengawasan dari pihak keluarga untuk menilai apakah penahanan
sah atau tidak.

4.4 Batas Waktu Penahanan

Instansi yang berwenang melakukan penahanan antara lain tiga (3) pejabat
atau instansi yang berwenang melakukan penahanan, yaitu penyidik atau penyidik
pembantu, penuntut umum dan hakim yang menurut tingkatan pemeriksaan terdiri
atas hakim pengadilan negeri, pengadilan tinggi dan Mahkamah Agung.

Dalam KUHAP terdapat pembatasan penahanan dan masa


perpanjangannya, adapun beberapa prinsip yang menjadi landasan yaitu jangka
waktu masa penahanan dan perpanjangannya yang diberikan kepada masing-
masing instansi yang berwenang ditentukan secara limitatif dan apabila telah lewat

17
jangka waktu masa penahanan dilakukan pelepasan atau pengeluaran demi hukum
terhadap tersangka/terdakwa.

Adapun mengenai jangka waktu penahanan, KUHAP menganut sistem


pembatasan dengan rincian sebagai berikut, penahanan oleh penyidik maksimal 20
hari dan dapat diperpanjang oleh penuntut umum selama 60 hari guna kepentingan
pemeriksaan yang belum selesai. Untuk kepentingan penuntutan, penuntut umum
dapat mengeluarkan surat perintah penahanan selama 20 hari dan dapat
diperpanjang selama 50 hari oleh Ketua Pengadilan Negeri.

Sedangkan hakim dapat mengeluarkan surat perintah penahanan dengan


jangka waktu maksimal 30 hari dan dapat diperpanjang oleh Ketua Pengadilan
Negeri bila perlu.

Selanjutnya apabila terhadap perkara tersebut diajukan upaya hukum, maka


proses penahanannya untuk pemeriksaan banding, hakim pengadilan tinggi
berwenang mengeluarkan surat perintah penahanan maksimal 30 hari dan dapat
diperpanjang 60 hari oleh Ketua Pengadilan Tinggi bila perlu. Pada tingkat kasasi,
Hakim Mahkamah Agung berwenang mengeluarkan surat penahanan paling lama
50 hari dan dapat diperpanjang oleh Ketua Mahkamah Agung hingga 60 hari.

Setiap perpanjangan hanya dapat diberikan oleh pejabat berwenang atas


dasar alasan dan resume hasil pemeriksaan yang diajukan tersebut. Namun, terdapat
pengecualian mengenai jangka waktu penahanan tersebut, yaitu ketentuan Pasal 29
ayat (1) KUHAP. Perpanjangan jangka waktu penahanan dilakukan untuk
kepentingan pemeriksaan, namun terdapat pengecualian berdasarkan ketentuan
Pasal 29 KUHAP yaitu dalam hal:

a. Tersangka atau terdakwa menderita gangguan fisik atau mental yang


berat dibuktikan dengan keterangan dokter; atau
b. Perkara yang sedang diperiksa diberikan untuk jangka waktu paling
lama 30 hari dan apabila penahanan masih diperlukan dapat
diperpanjang lagi selama 30 hari.

18
Penahanan merupakan tindakan menghentikan kemerdekaan seseorang,
sedangkan kemerdekaan itu adalah hak asasi manusia. KUHAP merupakan undang-
undang yang sangat menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia, oleh karena
itu terdapat pembatasan jangka waktu penahanan.

5. Penggeledahan

5.1 Pengertian Penggeledahan

Dalam Kitab Hukum Acara Pidana (KUHAP) pengertian penggeledahan


dibagi atas dua, yaitu penggeledahan rumah dan penggeledahan barang. Apa itu
penggeledahan rumah ?

Berdasarkan Pasal 1 ayat (17) KUHAP menjelaskan bahwa:

“Penggeledahan rumah adalah tindakan penyidik untuk memasuki rumah tempat


tinggal dan tempat tertutup lainnya untuk melakukan tindakan pemeriksaan dan
atau penyitaan dan atau penangkapan dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam
undang-undang ini”

Sedangkan berdasarkan Pasal 1 ayat (18) KUHAP menyatakan bahwa:

“Penggeledahan badan adalah tindakan penyidik untuk mengadakan pemeriksaan


badan dan atau pakaian tersangka untuk mencari benda yang diduga keras ada pada
badannya atau dibawanya serta, untuk disita”

Berdasarkan hal-hal yang termuat di atas, maka penggeledahan rumah dan


badan mempunyai pengertian umum yang sama yaitu rangkain tindakan yang hanya
bisa dilakukan oleh penyidik atau penyidik pembantu guna mencari atau
menemukan benda atau barang yang diduga seseorang untuk melakukan suatu
kejahatan guna disita.

Dalam bukunya, M. Yahya Harahap yang berjudul “Pembahasan


Permasalahan Dan Penerapan KUHP : Penyidikan dan Penuntutan” menyatakan
bahwa penggeledahan merupakan pelanggaran hak asasi manusia, dalam hal

19
mencampuri urusan pribadi dan kediaman seseorang. Oleh karena itu, demi
penegakan hukum dan melalui Undang-Undang diperbolehkanlah penggeledahan
tersebut.

5.2 Pejabat yang berwenang Menggeledah

Wewenang penggeladahan semata-mata hanya diberikan kepada pihak


penyidik,baik penyidik Polri maupun penyidik pegawai negri sipil (PNS). Penuntut
umum tidak memiliki wewenang untuk menggeledah,demikian juga hakim pada
semua tingkat peradilan, tidak mempunyai wewenang untuk itu.

Pengeledahan benar-benar ditempatkan pada pemeriksaan penyelidikan dan


penyidikan tidak terdapat pada tingkatan pemeriksaan selanjutnya baik dalam taraf
tuntutan dan pemeriksaan peradilan.

Pemberian fungsi itu sesuai dan sejalan dengan tujuan dan pengertian
penggeledahan, yang bertujuan untuk mencari dan mengumpulkan fakta dan bukti
serta dimasukan untuk mendapatkan orang yang diduga keras sebagai tersangka
pelaku tindak pidana.

Akan tetapi dalam melaksanakan wewenang penggeledahan, penyidik tidak


seratus persen berdiri sendiri, penyidik diawasi dan dikaitkan dengan Ketua
Pengadilan Negri dalam melakukan setiap penggeledahan. Pada setiap tindakan
penggeledahan, penyidik wajib memerlukan bantuan dan pengawasan ketua
Pengadilan Negri,bantuan itu berupa keharusan:

1. Kalau keadaan penggeledahan secara biasa atau dalam keadaan normal


penggeledahan baru dapat dilakukan penyidik ,setelah lebih dulu
mendapat izin dari ketua Pengadilan Negri.
2. Dalam keadaan luar biasa dan mendesak ,penyidik dapat melakukan
penggeledahan tanpa lebih dulu mendapatkan izin dari ketuan
Pengadilan Negri ,namun segera sesudah penggeledahan ,penyidik
wajib meminta persetujuan ketua Pengadilan Negri setempat.

20
5.3 Syarat-Syarat Penggeledahan

Berdasarkan penjelasan di atas, maka KUHAP secara jelas mengatur


bagaimana mekanisme atau syarat aparat penegak hukum untuk melakukan
penggeledahan. Dalam Pasal 33 KUHAP menyatakan bahwa:

1. Dengan surat izin ketua pengadilan negeri setempat penyidik dalam


melakukan penyidikan dapat mengadakan penggeledahan yang diperlukan;
2. Dalam hal yang diperlukan atas perintah tertulis dari penyidik, petugas
kepolisian negara Republik Indonesia dapat memasuki rumah;
3. Setiap kali memasuki rumah harus disaksikan oleh dua orang saksi dalam
hal tersangka atau penghuni menyetujuinya;
4. Setiap kali memasuki rumah harus disaksikan oleh kepala desa atau ketua
lingkungan dengan dua orang saksi, dalam hal tersangka atau penghuni
menolak atau tidak hadir;
5. Dalam waktu dua hari setelah memasuki dan atau -menggeledah rumah,
harus dibuat suatu berita acara dan turunannya disampaikan kepada pemilik
atau penghuni rumah yang bersangkutan.

Dari apa yang tertulis dalam Pasal 33 KUHAP jelas bagaimana KUHAP
seakan menjamin agar hak asasi seseorang yang digeledah tidak dilanggar, sehingga
penyidik dalam tugasnya untuk menegakan hukum wajib untuk tunduk akan ke-
lima syarat penggeledahan tersebut. Namun, jika kita melihat dalam Pasal 34 ayat
(1), maka hal-hal di atas dapat dikesampingkan jika dalam keadaan yang sangat
perlu dan mendesak bilamana penyidik harus segera bertindak dan tidak mungkin
untuk mendapat surat izin terlebih dahulu, maka penyidik dapat melakukan
penggeledahan pada:

1. Pada halaman rumah tersangka bertempat tinggal, berdiam atau ada dan
yang ada di atasnya;
2. Pada setiap tempat lain tersangka bertempat tinggal, berdiam atau ada;
3. Di tempat tindak pidana dilakukan atau terdapat berkasnya;

21
4. Di tempat penginapan dan tempat umum lainnya.

Tetapi setelah melakukan penggeledahan penyidik dalam waktu dua hari harus
tetap dibuatkan berita acara penggeledahan dan disampaikan kepada pemilik atau
penghuni rumah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (5). Selain itu,
berdasarkan Pasal 34 ayat (2) “penyidik tidak diperkenankan memeriksa atau
menyita surat, buku dan tulisan lain yang tidak merupakan benda yang berhubungan
dengan tindak pidana yang bersangkutan atau yang diduga telah dipergunakan
untuk melakukan tindak pidana tersebut dan untuk itu wajib segera melaporkan
kepada ketua pengadilan negeri setempat guna memperoleh persetujuannya.”

Bagaimanapun dalam hal penggeledahan perlu adanya izin oleh ketua


pengadilan setempat merupakan bentuk perlindungan yang nyata agar kepolisian
tidak melakukan tindakan sewenang-wenang.

Lebih lanjut, selain mengacu pada KUHAP penggeledahan juga di atur dalam
Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2012
Tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana yang mana dalam Pasal 59 ayat (1)
menyatakan:

1. Penggeledahan terhadap badan/pakaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal


55 ayat (1), penyidik/penyidik pembantu wajib:

a. memberitahukan kepentingan tindakan penggeledahan secara jelas dan


dilakukan dengan sopan;
b. meminta kesediaan orang untuk digeledah dan meminta maaf atas terganggu
hak privasinya;
c. menunjukkan surat perintah tugas dan surat perintah penggeledahan;
d. melakukan penggeledahan secara cermat dan teliti untuk mencari/
e. mendapatkan bukti-bukti yang berkaitan dengan tindak pidana;
f. memperhatikan dan menghargai hak-hak orang yang digeledah;
g. melaksanakan penggeledahan terhadap perempuan oleh petugas
perempuan;
h. melaksanakan penggeledahan dalam waktu yang secukupnya;

22
i. menyampaikan terima kasih atas terlaksananya penggeledahan; dan
j. setelah melakukan penggeledahan, penyidik segera membuat berita acara
penggeledahan.

2. Penggeledahan terhadap rumah/tempat lainnya sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 55 ayat (1), penyidik/penyidik pembantu wajib:

a. melengkapi administrasi penggeledahan;


b. memberitahukan ketua lingkungan setempat tentang kepentingan
penggeledahan;
c. memberitahukan penghuni tentang kepentingan penggeledahan;
d. menunjukkan surat perintah tugas dan surat perintah penggeledahan;
e. melakukan penggeledahan untuk mendapatkan barang atau orang dengan
cara yang teliti, sopan, etis dan simpatik dan harus didampingi oleh
penghuni/saksi;
f. melakukan penggeledahan sesuai dengan teknik dan taktik penggeledahan;
g. dalam hal petugas mendapatkan benda/barang atau orang yang dicari,
tindakan untuk mengamankan barang bukti wajib disaksikan oleh pihak
yang digeledah atau saksi dari warga setempat/ketua lingkungan;
h. setelah melaksanakan penggeledahan penyidik/penyidik pembantu
menyampaikan ucapan terima kasih dan mohon maaf; dan
i. dalam waktu paling lama 2 (dua) hari setelah memasuki dan/atau
menggeledah, harus dibuat berita acara dan turunannya disampaikan kepada
pemilik atau penghuni rumah/tempat lainnya yang bersangkutan.

Berdasarkan Peraturan Kapolri di atas, maka perlu diketahui beberapa hal yaitu
bahwa penggeledahan tidak boleh dilakukan atas kesewenang-wenangan oleh
mereka aparat penegak hukum melainkan harus melalui prosedur yang jelas karena
pada dasarnya negara pun tidak bisa mencampuri urusan privasi kita. Sehingga
harus adanya mekanisme yang tidak membuat warga negaranya merasa ditindas
atau diintimidasi oleh negara. Selain itu, kepolisian dalam hal ini bertindak demi
penegakan hukum pun diatur melalui Undang-Undang dan olehnya harus Undang-
Undang itu harus dihormati dan dituruti.

23
6. Penyitaan

6.1 Pengertian Penyitaan

Penyitaan adalah tindakan hukum dalam proses penyidikan yang dilakukan


oleh penyidik untuk menguasai secara hukum atas suatu barang, baik barang
bergerak maupun barang tidak bergerak yang diduga terkait erat dengan tindak
pidana yang sedang terjadi. (Hartono, 2010:182).

Pengertian penyitaan, dirumuskan dalam Pasal 1 butir ke-16 KUHAP, yang


berbunyi : “penyitaan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih
dan atau menyimpan di bawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak,
berwujud atau tidak berwujud, untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan,
penuntutan, dan peradilan (KUHAP, Pasal 1 butir 16).

6.2 Tujuan Penyitaan

Tujuan penyitaan agak berbeda dengan penggeledahan. Seperti yang sudah


dijelaskan, tujuan penggeledahan dimaksudkan untuk kepentingan penyelidikan
atau kepentingan pemeriksaan penyidikan. Lain halnya dengan penyitaan.

Tujuan penyitaan, untuk kepentingan “pembuktian”, terutama ditujukan


sebagai barang bukti di muka sidang peradilan. Kemungkinan besar tanpa barang
bukti, perkara tidak dapat di ajukan ke sidang pengadilan. Oleh karena itu, agar
perkara tadi lengkap dengan barang bukti, penyidik melakukan penyitaan untuk
dipergunakan sebagai bukti dalam penyidikan, dalam penuntutan dan pemeriksaan
persidangan pengadilan (M.Yahya Harahap, 2007:265).

6.3 Bentuk dan tata cara penyitaan

Tata cara aparatur penegak hukum melaksanakan tugas dalam masyarakat


baik itu merupakan tindakan pencegahan (preventif) maupun tindakan
pemberantasan (represif), adalah merupakan ranah Hukum Acara Pidana yang
mempunyai tujuan yaitu untuk mencari dan mendekatkan kebenaran materiil, yakni
kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan

24
menetapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat (Ratna Nurul
Afiah, 1988:13).

Dengan melihat ketentuan yang mengatur tentang penyitaan, di dalam


undang-undang dibedakan beberapa bentuk dan tata cara penyitaan. Antara lain
sebagai berikut :

a. Penyitaan biasa

Penyitaan dengan bentuk biasa dan prosedur biasa merupakan aturan umum
penyitaan. Selama masih mungkin dan tidak ada hal-hal yang luar biasa atau
keadaan yang memerlukan penyimpangan, aturan bentuk dan prosedur biasa
ditempuh dan diterapkan penyidik.

Penyimpangan dari aturan bentuk dan tata cara biasa, hanya dapat dilakukan
apabila terdapat keadaan-keadaan yang mengharuskan untuk mempergunakan
aturan bentuk dan prosedur lain, sesuai dengan keadaan yang mengikuti peristiwa
itu dalam kenyataan (M.Yahya Harahap, 2007:266).

Adapun tata cara pelaksanaan penyitaan bentuk biasa atau umum adalah
Pertama, harus ada surat izin penyitaan dari ketua pengadilan. Kedua,
memperlihatkan dan menunjukkan tanda pengenal. Ketiga, memperlihatkan benda
yang akan disita. Keempat, dalam melakukan penyitaan harus disaksikan oleh
kepala desa atau ketua lingkungan dengan dua orang saksi. Kelima, menyampaikan
turunan berita acara penyitaan dan. Keenam, membungkus benda sitaan (M.Yahya
Harahap, 2007:266-268).

b. Penyitaan dalam keadaan perlu dan mendesak

Menurut M. Yahya Harahap, yang dimaksud dengan keadaan perlu dan


mendesak ialah bilamana di suatu tempat diduga keras terdapat benda atau barang
bukti yang perlu segera dilakukan penyitaan, atas alasan patut di khawatirkan
bahwa benda atau barang bukti itu akan segera dilarikan atau dimusnahkan ataupun
dipindahkan oleh tersangka. Sebagai pengecualian penyitaan biasa berdasar aturan
umum yang diuraikan terdahulu, Pasal 38 ayat (2) KUHAP memberi kemungkinan

25
melakukan penyitaan tanpa melalui tata cara yang ditentukan Pasal 38 ayat (1)
KUHAP.

Hal ini diperlukan untuk “memberi kelonggaran” kepada penyidik bertindak


cepat sesuai dengan keadaan yang diperlukan. Hal ini dimungkinkan untuk menjaga
dari kemacetan dan hambatan pada kasus tertentu, yang mengharuskan penyidik
segera bertindak dalam keadaan yang “sangat perlu dan mendesak”, dapat
menempuh tata cara peyitaan yang ditentukan Pasal 41 KUHAP. Landasan alasan
penyimpangan ini, didasarkan kepada kriteria “dalam keadaan perlu dan
mendesak”. Adapun tata cara penyitaannya adalah sebagai berikut : Pertama, tanpa
surat izin dari Ketua Pengadilan. Kedua, hanya terbatas atas benda bergerak saja
dan. Ketiga, wajib segera melaporkan kepada Ketua Pengadilan guna mendapatkan
persetujuan dari Ketua Pengadilan (M.Yahya Harahap, 2007:269-270).

c. Penyitaan dalam keadaan tertangkap tangan

Dalam hal tertangkap tangan, penyidik berwenang menyita paket atau surat
atau benda yang pengangkutannya atau pengirimannya dilakukan oleh kantor pos
dan telekomunikasi, jawatan atau perusahaan komunikasi atau pengankutan
sepanjang paket, surat atau benda tersebut diperuntukkan bagi tersangka atau bersal
daripadanya dan untuk itu kepada tersangka dan atau kepada pejabat kantor pos dan
telekomunikasi, jawatan atau perusahaan komunikasi atau pengangkutan yang
bersangkutan, harus diberikan tanda penerimaan (Mohammad Taufik Makarao,
2010 : 55).

Penyitaan benda dalam keadaan tertangkap tangan merupakan


“pengecualian” penyitaan biasa. Dalam keadaan tertangkap tangan, penyidik dapat
“langsung“ menyita suatu benda dan alat yang ternyata digunakan untuk melakukan
tindak pidana atau benda yang “patut diduga” telah dipergunakan untuk melakukan
tindak pidana atau benda lain yang dapat digunakan sebagai barang bukti. Pada
ketentuan Pasal 41 KUHAP, pengertian keadaan tertangkap tangan, bukan terbatas
pada tersangka yang nyata-nyata sedang melakukan tindak pidana, tetapi termasuk
pengertian tertangkap tangan atas paket atau surat dan benda-benda pos lainnya,

26
sehingga terhadap benda-benda tersebut dapat dilakukan penyitaan “langsung” oleh
penyidik (M.Yahya Harahap, 2007:271-272).

d. Penyitaan tidak langsung

Dalam Pasal 42 KUHAP memperkenalkan bentuk penyitaan tidak


langsung. Benda yang hendak di sita tidak langsung di datangi dan diambil sendiri
oleh penyidik dari tangan dan kekuasaan orang yang memegang dan menguasai
benda tersebut, tetapi penyidik mengajak yang bersangkutan untuk menyerahkan
sendiri benda yang hendak disita dengan sukarela.

Atas dasar pengertian di atas yang dimaksud dengan penyitaan tidak


langsung adalah tangan dan upaya paksa penyidik dalam melakukan penyitaan,
tidak secara langsung dan nyata dalam pengambilan benda sitaan, tetapi diserahkan
sendiri oleh orang yang bersangkutan (M.Yahya Harahap, 2007:272).

e. Penyitaan surat atau tulisan lain

Yang dimaksud dengan surat atau tulisan lain pada Pasal 43 KUHAP adalah
surat atau tulisan yang “disimpan” atau “dikuasai” oleh orang tertentu yang
menyimpan atau menguasai surat itu, “diwajibkan merahasiakannya” oleh undang-
undang, misalnya seorang notaris.

Tetapi Pasal 43 KUHAP tidak dapat diberlakukan sepanjang tulisan atau


surat ini menyangkut rahasia Negara. Adapun mengenai syarat dan cara
penyitaannya adalah hanya dapat disita atas persetujuan mereka yang dibebani
kewajiban oleh undang-undang untuk merahasiakan. Misalnya akta notaris atau
sertifikat, hanya dapat disita atas persetujuan notaris atau pejabat agraria yang
bersangkutan. Kemudian harus atas “izin khusus” Ketua Pengadilan Negeri jika
tidak ada persetujuan dari mereka (M.Yahya Harahap, 2007:273).

4. Kewenangan Penyitaan

Tindakan penyitaan hanya dapat dilakukan oleh penyidik dengan izin Ketua
Pengadilan Negeri setempat. Dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak,
bilamana penyidik harus segera bertindak dan tidak mungkin untuk mendapatkan

27
surat izin terlebih dahulu, tanpa mengurangi ketentuan 20 keharusan adanya izin
Ketua Pengadilan, penyidik dapat melakukan penyitaan hanya atas benda bergerak
dan untuk itu wajib segera melaporkan kepada Ketua Pengadilan Negeri setempat
guna memperoleh persetujuan (Bima Priya Santosa, dkk, 2010 : 12).

28

Anda mungkin juga menyukai