Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Suku Bali adalah suku bangsa yang mendiami pulau Bali, menggunakan
bahasa Bali dan mengikuti budaya Bali. Sebagian besar suku Bali beragama Hindu,
kurang lebih 90%. Sedangkan sisanya beragama Buddha, Islam dan Kristen. Asal-
usul suku Bali terbagi ke dalam tiga periode atau gelombang migrasi: gelombang
pertama terjadi sebagai akibat dari persebaran penduduk yang terjadi di Nusantara
selama zaman prasejarah; gelombang kedua terjadi secara perlahan selama masa
perkembangan agama Hindu di Nusantara; gelombang ketiga merupakan
gelombang terakhir yang berasal dari Jawa, ketika Majapahit runtuh pada abad ke15
seiring dengan Islamisasi yang terjadi di Jawa-sejumlah rakyat Majapahit memilih
untuk melestarikan kebudayaannya di Bali, sehingga membentuk sinkretisme
antara kebudayaan Jawa klasik dengan tradisi asli Bali.

Maka Suku Bali memiliki keragaman dan kekhasan hukum adatnya


tersendiri mulai dari sistem kekerabatan, sistem perkawinan, bentuk perkawinan,
hak dan kewajiban menjadi suku Bali, Hukum harta benda kewajiban dan tentang
sistem waris di Bali.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana sistem kekerabatan Suku Bali.
2. Bagaimana sistem perkawinan Suku Bali.
3. Bagaimana bentuk-bentuk perkawinan yang dikenal Suku Bali.
4. Bagaimana hukum waris adat Suku Bali.

1.3 Tujuan
1. Menjelasakan bagaimana sistem kekerabatan Suku Bali.
2. Menjelaskan bagaimana sistem perkawinan Suku Bali.

1
3. Menjelaskan bagaimana bentuk-bentuk perkawinan yang dikenal Suku
Bali.
4. Menjelaskan bagaimana hukum waris adat Suku Bali.

1.4 Manfaat Penulisan


1. Dapat menjelaskan bagaimana sistem kekerabatan Suku Bali.
2. Dapat menjelaskan bagaimana sistem perkawinan Suku Bali.
3. Dapat menjelaskan bagaimana bentuk-bentuk perkawinan yang dikenal
Suku Bali.
4. Dapat menjelaskan bagaimana hukum waris adat Suku Bali.

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Sistem Kekerabatan Suku Bali.

Kasta, dalam Dictionary of American English disebut: Caste is a group


resulting from the division of society based on class differences of wealth, rank,
rights, profession, or job. Uraian lebih luas ditemukan pada Encyclopedia
Americana Volume 5 halaman 775; asal katanya adalah “Casta” bahasa Portugis
yang berarti kelas, ras keturunan, golongan, pemisah, tembok, atau batas. Terdapat
empat tingkatan Kasta dalam suku bangsa bali yaitu: Brahmana, Kesatria, Wesya,
Sudra.

Kasta itu dibuat dan dikemas sesuai dengan garis keturunan Patrinial,
diantaranya:

a. Kasta Brahmana

merupakan kasta yang memiliki kedudukan tertinggi, dalam generasi kasta


brahmana ini biasanya akan selalu ada yang menjalankan kependetaan. Dalam
pelaksanaanya seseorang yang berasal dari kasta brahmana yang telah menjadi
seorang pendeta akan memiliki sisya, dimana sisya-sisya inilah yang akan
memperhatikan kesejahteraan dari pendeta tersebut, dan dalam pelaksanaan
upacara-upacara keagamaan yang dilaksanakan oleh anggota sisya tersebut dan
bersifat upacara besar akan selalu menghadirkan pendeta tersebut untuk muput
upacara tersebut. Dari segi nama seseorang akan diketahui bahwa dia berasal dari
golongan kasta brahmana, biasanya seseorang yang berasal dari keturunan kasta
brahmana ini akan memiliki nama depan “Ida Bagus untuk anak laki-laki, Ida Ayu
untuk anak perempuan, ataupun hanya menggunakan kata Ida untuk anak laki-laki
maupun perempuan”. Dan untuk sebutan tempat tinggalnya disebut dengan
“Griya”.

3
b. Kasta Ksatriya

merupakan kasta yang memiliki posisi yang sangat penting dalam


pemerintahan dan politik tradisional di Bali, karena orang-orang yang berasal dari
kasta ini merupakan keturuna dari Raja-raja di Bali pada zaman kerajaan. Namun
sampai saat ini kekuatan hegemoninya masih cukup kuat, sehingga terkadang
beberapa desa masih merasa abdi dari keturunan Raja tersebut. Dari segi nama yang
berasal dari keturunan kasta ksariya ini akan menggunakan nama “Anak Agung,
Dewa Agung, Tjokorda, dan ada juga yang menggunakan nama Dewa”. Dan untuk
nama tempat tinggalnya disebut dengan “Puri”. Sedangkan Masyarakat yang
berasal dari keturunan abdi-abdi kepercayaan Raja, prajurit utama kerajaan, namun
terkadang ada juga yang merupakan keluarga Puri yang ditempatkan diwilayah lain
dan diposisikan agak rendah dari keturunan asalnya karena melakukan kesalahan
sehingga statusnya diturunkan. Dari segi nama kasta ini menggunakan nama seperti
I Gusti Agung, I Gusti Bagus, I Gusti Ayu, ataupun I Gusti. Dimana untuk
penyebutan tempat tinggalnya disebut dengan “Jero”.

c. Kasta Sudra (Jaba)

merupakan kasta yang mayoritas di Bali, namun memiliki kedudukan sosial


yang paling rendah, dimana masyarakat yang berasal dari kasta ini harus berbicara
dengan Sor Singgih Basa dengan orang yang berasal dari kasta yang lebih tinggi
atau yang disebut dengan Tri Wangsa – Brahmana, Ksatria dan Ksatria (yang
dianggap Waisya). Sampai saat ini masyarakat yang berasal dari kasta ini masih
menjadi parekan dari golongan Tri Wangsa. Dari segi nama warga masyarakat dari
kasta Sudra akan menggunakan nama seperti berikut : Wayan, Made, Nyoman dan
Ketut. Dan dalam penamaan rumah dari kasta ini disebut dengan “umah”.

Sistem kekerabatan yang menggunakan sistem patrilinial-mengikuti garis


ayah- mengharuskan perempuan yang menikah meleburkan wangsanya terhadap
suaminya. Peranan istri dalam perkawinan pun hanya dibatasi dalam ranah
domestik untuk mengurusi rumah tangga dan mendidik anak-anak. Selain itu,

4
peranan istri sebagai pembantu suami dalam menegakkan rumah tangga, dalam
memepertahankan kedudukan suami, meneruskan keturunannya serta memelihara
hubungan kekerabatan antara pihak suami dan pihak istri.

2.2 Sistem Perkawinan Suku Bali

Pernikahan adat bali sangat diwarnai dengan pengagungan kepada Tuhan


sang pencipta, semua tahapan pernikahan dilakukan di rumah mempelai pria,
karenamasyarakat Bali memberlakukan sistem patriarki, sehingga dalam
pelaksanan upacara perkawinan semua biaya yang dikeluarkan untuk hajatan
tersebut menjadi tanggung jawab pihak keluarga laki – laki. hal ini berbeda dengan
adat pernikahan jawa yang semua proses pernikahannya dilakukan di rumah
mempelai wanita. Pengantin wanita akan diantarkan kembali pulang ke rumahnya
untuk meminta izin kepada orang tua agar bisa tinggal bersama suami beberapa hari
setelah upacara pernikahan. Dulu perkawinan di Bali ditentukan oleh kasta. Wanita
dari kasta tinggi tidak boleh kawin dengan laki-laki kasta rendah, tetapi sekarang
hal itu tidak berlaku lagi. Perkawinan yang dianggap pantang adalah perkawinan
saudara perempuan suami dengan saudara laki-laki istri (mak dengan ngad). Hal itu
akan menimbulkan bencana (panes).

Sistim perkawinan hindu, khususnya untuk di bali memiliki beberapa sistem


perkawinan namun sistem ini merupakan penjabaran dari bentuk perkawinan yang
diungkapkan di dalam pustaka MANAWA DHARMASASTRA, terutama pada
teknis pengambilanya antara lain:

2.2.1 Sistim Mepandik

Perkawinan Sistim mepandik adalah suatu perkawinan yang dilandasi oleh


rasa cinta sama cinta dari calon mempelai serta telah mendapat restu dari kedua
pihak orang tua.

5
2.2.2 Sistim Ngerorod

Perkawinan sistim ngerorod adalah suatu perkawinan berdasarkan cinta


sama cinta dari kedua mempelai dengan alasan sebagai berikut:

1. Tidak medapat restu dari salah satu pihak orang tua kedua mempelai
2. Tidak mendapat restu dari kedua pihak orang tua kedua mempelai.
3. Dilaksanakan Sistim perkawinan ini berdasarkan pemikiran efisiensi
pelaksanaan dan pembiayaan.
4. Dilaksanakan Sistim perkawinan ini, berdasarkan pemikiran bahwa
dari kedua belah pihak tidak lagi memiliki sanak keluarga atau salah
satu pihak tidak memiliki sanak keluarga.

2.2.3 Sistim Nyentana

Sistim perkawinan ini, ada yang berdasarkan cinta sama cinta dari kedua
mempelai, ada yang tidak berdasarkan cinta sama cinta. Hanya atas kemauan serta
persetujuan dari kedua pihak keluarga. Karena berdasarkan kebutuhan penerus
pewaris di pihak mempelai wanita. Oleh karena bentuk pewaris untuk di bali adalah
purusa (patrelineal).

2.2.4 Sistim mekaro lemah (medua umah)

Sistim perkawinan ini hampir mirip dengan Sistim perkawinan nyentana,


tetapi masing-masing mempelai diberikan hak sebagai pewaris pada kedua rumah
dari kedua pihak keluarga. Oleh karena itu upacara perkawinan dilaksanakan
dikedua tempat secara bergantian.

2.2.5 Tata cara pelaksanaan perkawinan

Tata cara pelaksanaan perkawinan memadik memiliki tatanan sebagai


berikut:

a. Pandewasan ( mencari hari baik)

Dari pihak keluarga calon pengantin pria mulai memohon hari baik
(Dewasa), biasanya memohon kehadapan seorang Sulinggih atau kepada seseorang

6
yang sudah biasa memberikan dewasa (nibakang padewasaan). Biasanya dewasa
yang diminta berurutan sesuai dengan acara-acara dalam pelaksanaan upacara
perkawinan.

b. Penjemputan calon pengantin wanita

Pada hari penjemputan ke rumah calon pengantin wanita dari pihak keluarga
calon pengantin wanita dari pihak keluarga calon pengantin pria diikuti oleh semua
keluarga beserta unsur-unsur prajuru adat (kelihan adat), prajuru dinas (kelihan
dinas). Demikian juga dari pihak keluarga calon pengantin wanita serta calon serta
calon pengantinnya.

2.2.6 Upacara Perkawinan

Tata pelaksanaan upacara perkawinan memiliki empat tahapan yaitu:

a. Upacara mekalan kalaan

Yang dimaksud dengan upacara mekalan-kalaan dibuat agar identik dengan


kekuatan kala (energi yang timbul) karena kekuatan kala tersebut merupakan
manifestasi dari kekuatan karma, sehingga dari kama bermanifestasi menjadi
bermacam-macam kala (bermacam-macam bentuk energibyang timbul).
Sehubungan dengan pengantin dipersonifikasikan sebagai kekuatan kala dan kali
yang disebut “Kala Nareswari”.

b. Upacara mejaya-jaya

Upacara mejaya-jaya ini merupakan pacara penyucian (samskara) setelah


upacara mekala-kalaan. Upacara mejaya-jaya memiliki tujuan selain penyucian
adalah memohon kemenangan (jaya). Menang yang dimaksudkan adalah dapat
mengatasi cobaan-cobaan dalam menghadapi kehidupan, untuk mencapai tujuan
dharma yaitu “moksartham jagadhita ya ici dharma”.

7
c. Pewarangan/mejauman

Dalam aturan adat Bali, wanita yang sudah menikah akan mengikuti
suaminya. Maka, untuk menghormati leluhur keluarga, diadakan upacara untuk
memohon pamit kepada leluhur mempelai wanita yang disebut upacara mejauman.
Kedatangan mempelai wanita untuk menjalani upacara tersebut didampingi
keluarga mempelai pria yang membawa serta berbagai penganan tradisional
berwarna putih dan merah, kue bantal, apam, sumping, kuskus, wajik, gula, kopi,
buah-buahan, lauk-pauk dan lain sebagainya.

d.Melepeh atau neteg pulu

Melepeh atau neteg pulu adalah merupakan runtutan upacara perkawinan,


namun kenyataan yang berlaku di masyarakat, jarang sekali upacara melepeh ini
dilaksanakan pada waktu upacara perkawinan tetapi kebanyakan upacara melepeh
atau neteg pulu ini mencari hari tersendiri, kadang-kadang setelah umur lanjut baru
dilaksanakan. Hal ini terjadi masyarakat dikarenakan pemahaman tentang
melempeh atau neteg pulu belum tujuannya, sehingga pelaksanaan upacara
perkawinan kelihatan terpenggal-penggal, pada hal upacara melepeh atau neteg
pulu adalah merupakan runtutan dari upacara perkawinan.

2.2.7 Jenis-jenis Perkawinan

1. Perkawinan Ngerorod (merangkat)

Perkawinan ngerorod adalah suatu sistem perkawinan yang berdasarkan


cinta sama cinta namun tidak mendapat persetujuan dari salah satu pihak orang tua
atau kedua pihak yang orang tua calon pengantin, tetapi mereka tetap ingin
melangsungkan perkawinan, dengan jalan melarikan calon pengantin wanita ke
rumah calon pengantin pria. Pada sistem perkawinan ini sedikit berbeda dengan
sistem perkawinan memadik (meminang). Sistem perkawinan ini tetap dianggap
sah, karena telah dari sejak dahulu, dalam aturan adat Hindu di Bali, sehingga
sampai sekarang masih berlaku.

8
2. Perkawinan Nyentana

Yang dimaksudkan dengan perkawinan nyentana adalah perkawinan antara


pria dan wanita, berdasarkan cinta sama cinta, dimana pihak keluarga pria telah
mendapat kesempatan persetujuan dari kedua pihak keluarga. Menurut Hukum adat
di Bali, menganut sistem patrelinial, bahwa laki-laki adalah sebagai hukum
kepurusan.

3 Perkawinan Mekaro Lemah (medua umah)

Perkawinan sistem mekaro lemah ini sangat didasarkan oleh kekerabatan


yang sama, karena waris-pewaris di kemudian hari. Perkawinan ini terjadi karena
dari kedua pihak keluarga sama-sama tidak memiliki keluarga pewaris yang lain
yang berhak serta berkewajiban pada masing-masing keluarga tersebut. Pada
pewarisan nanti diharapkan dari keturunan sang pengantin di berikan hak dan
kewajiban masing-masing. Perkawinan ini juga berdasarkan cinta sama cinta suka
sama suka, dan mendapat persetujuan dari kedua belah pihak keluarga.

2.3 Bentuk-Bentuk Perkawinan Suku Bali.

Bentuk - bentuk perkawinan di Bali sangatlah unik dan bervariasi yang


mana disebutkan dalam bahasa bali :

1. ”Pawiwahan inggih punika patemining purusa pradana, malarapan


patunggalan kayun suka-cita, kadulurin upasaksi sekala - niskala”
2. Kapurusa atau Purusa | Sistem kekeluargaan patrilineal atau
kebapaan yang lebih dikenal luas dalam masyarakat Bali.

Undang-undang perkawinan tidak mengatur mengenai bentuk-bentuk


perkawinan ini, namun demikian persoalan mengenai bentuk-bentuk perkawinan
ini sama sekali tidak dapat diabaikan dalam keseluruhan sistem perkawinan yang
berlaku bagi umat Hindu di Bali.

9
1. Status atau kedudukan hukum seseorang di dalam keluarga sangat
penting artinya dalam hukum adat Bali
2. Karena akan mempengaruhi hak (swadikara) dan kewajiban
(swadharma) orang tersebut dalam keluarga dan masyarakat
(banjar/desa pakraman).

Pada masa lalu, dalam masyarakat adat di Bali dikenal beberapa bentuk
perkawinan. Sebagian dari bentuk-bentuk perkawinan tersebut sudah lama
ditinggalkan oleh masyarakat karena sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan
jaman.

a. Brahma Wiwaha

Mendapatkan seorang gadis (calon istri) yang berdasarkan cinta sama cinta,
terlebih dahulu dihias, setelah itu mengadakan penghormatan berupa pemberian
hadiah kepada seorang yang melaksanakan Weda, serta pada saat menyerahkan
selalu berdasarkan budhi dan bahasa yang baik

b. Daiwa Wiwaha

Mendapatkan seorang gadis berdasarkan cinta sama cinta, sebelum


pelaksanaan upacaranya, dihias oleh seorang pendeta dengan perhiasan serta beliau
langsung sebagai pelaksan (pamuput )

c. Arsa Wiwaha

Seorang ayah mengawinkan anak perempuannya yang berdasarkan cinta


sama cinta, dengan menerima mas kawin dari calon pengantin pria berupa dua
pasang lembu untuk memenuhi peraturan dharma.

d. Prajapati Wiwaha

Mendapatkan seorang gadis berdasarkan cinta sama cinta serta telah


mendapat restu dari orang tua dipihak wanita berupa ucapan mantra yang berisi doa
restu. Setelah itu pengantin wanita memberi penghormatan kepada calon suaminya.

10
e. Asura Wiwaha

Kalau pengantin pria menerima seorang perempuan berdasarkan cinta sama


cinta, setelah pengantin pria memberikan mas kawin kepada pengantin wanita dan
keluarganya berdasarkan kemampuan serta di dorong oleh keinginammya sendiri.

f. Gandarwa Wiwaha

Pertemuan suka sama suka antara seorang wanita dengan seorang pria
sebagai kekasihnya, serta timbul nafsunya dan bertujuan untuk melakukukan
hubungan kelamin.

g. Raksasa Wiwaha

Melarikan seorang gadis secara paksa dari rumahnya, sampai menangis,


berteriak-teriak disertai dengan membunuh keluarga dan merusak/ membakar
rumah gadis tersebut.

h. Paisaca Wiwaha

Kalau laki-laki dengan cara mencuri-curi, memperkosa seorang wanita yang


sedang tidur, sedang mabuk atau bingung.

Larangan atau beberapa perkawinan yang patut dihindari :

1. Gamia-Gamana | hubungan darah atau hubungan kekeluargaan yang


dekat dan karena mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau
peraturan lain yang berlaku dilarang kawin.
2. Mekedeng Ngad.
3. Pasangan yang telah bercerai dua kali.
4. Memadu | perkawinan poligami.

Pasal 9 Undang-undang Perkawinan menyebutkan bahwa "sesorang yang


masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi kecuali hal
tersebut pada Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 Undang-undang ini".

Perkawinan melegandang yang dulu dikenal dan sah dalam hukum adat, kini
tidak boleh dilakukan lagi karena bertentangan dengan undang-undang.

11
Hal lain yang berkaitan dengan bentuk - bentuk perkawinan di Bali
disebutkan :

Harta Benda Perkawinan | Modal yang dapat dipergunakan oleh suami istri
untuk membeayai kehidupan rumah tangganya ataupun dalam kehidupan sosial dan
keagamaannya. Dalam Undang-undang Perkawinan penggolongan harta benda
perkawinan meliputi:

1. Harta bersama, diperoleh suami istri selama pernikahan.


2. Harta Bawaan, yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau
warisan.

Balu | karena suatu hal, seorang istri atau suami ditinggalkan oleh pasangan
hidupnya

1. Laki-laki (duda) disebut : muani balu.


2. Perempuan (janda) disebut : nak luh balu.

2.4 Hukum Waris Adat Suku Bali

Waris berasal dari warih = air kencing = keturunan.

Mewarih = kencing.

Tanpa warih = putung = ceput = camput = tidak memiliki keturunan.

Pewarisan = berbagai hal yang berhubungan dengan warisan.

2.4.1 Unsur-unsur pewarisan.

1. Pewaris = orang yang meninggalkan warisan.


2. Waris = keturunan.
3. Ahli waris = keturunan yang memiliki hak atas warisan.
4. Warisan = swadharma (tanggung jawab) dan swadikara (hak) terhadap
peninggalan pewaris dalam berbagai wujud dan sifatnya.

12
Warisan = swadharma (tanggung jawab) dan swadikara (hak) terhadap peninggalan
pewaris dalam berbagai wujud dan sifatnya.

1. Warisan parhyangan (berhubungan dengan keyakinan sebagai umat Hindu).


2. Warisan pawongan (berhubungan dengan aktivitas sosial sebagai umat
Hindu).
3. Warisan palemahan (berhubungan dengan tata kelola lingkungan alam
sesuai dengan keyakinan Hindu).

2.4.2 Azas-azas dalam pewarisan menurut Hukum Adat Bali

1. Keutuhan.
2. Keutamaan.
3. Ketergantungan.
4. Kebersamaan.
5. Keberlanjutan.
6. Kemanfaatan.

Pewarisan menurut hukum adat Bali tidak identik dengan membagi harta
peninggalan (warisan) orang tua dan leluhur (pewaris) oleh ahli waris, melainkan
mengandung makna pelestarian, pengurusan dan penerusan swadharma (tanggung
jawab) dan swadikara (hak) terhadap peninggalan pewaris dalam berbagai wujud
dan sifatnya.

Dalam pandangan V.E. Korn (1932), ”ciri khas hukum adat waris Bali,
bertujuan agar sebanyak dan sedapat mungkin harta pusaka keluarga tetap utuh dan
dipegang serta diuruskan oleh seorang kepala keluarga, maka dengan sendirinya
pembagian-pembagian jarang dilakukan. Karena itu juga hasrat untuk menetapkan
bagian-bagian tertentu tidak sangat dirasai”.

13
2.4.3 Sistem Pembagian Waris Menurut Hukum Adat Bali

Hukum Pewarisan adalah bagian yang paling sulit dari Hukum Adat Bali.
Antara lain karena perbedaan-perbedaan di beberapa daerah dalam wilayah hukum
Bali (Desa Kala Patra), baik mengenai (banyaknya) barang-barang yang boleh
diwariskan atau mengenai banyaknya bagian masing-masing ahli waris, maupun
mengenai putusan-putusan Pengadilan Adat”.

Di Bali sistem pembagian waris didasarkan pada keturunan laki-laki


(patrilineal) dan hanya mengenal sistem pewarisan mayorat laki-laki. Menurut
hukum adat Bali yang menganut sistem kekeluargaan patrilineal maka yang
menjadi ahli waris adalah anak laki-laki, sedangkan anak perempuan tidak sebagai
ahli waris, sehingga dalam hukum adat di Bali terdapat persyaratan- persyaratan
sebagai ahli waris menurut I Gde Pudja adalah :

1. Ahli waris harus mempunyai hubungan darah, yaitu misalnya anak


pewaris sendiri.
2. Anak itu harus laki-laki.
3. Bila tidak ada anak barulah jatuh kepada anak yang bukan sedarah yang
karena hukum ia berhak menjadi ahli waris misalnya anak angkat.

Bila tidak ada anak dan tidak ada anak angkat, hukum Hindu membuka
kemungkinan adanya penggantian melalui penggantian atas kelompok ahli waris
dengan hak keutamaan kepada kelompok dengan hak penggantian lainnya yang
memenuhi syarat menurut Hukum Hindu. Anak angkat berdasarkan hukum waris
adat di Bali dilakukan bilamana suatu keluarga tidak mempunyai keturunan,
sehingga fungsi anak angkat itu sebagai penerus generasi atau keturunan, agar
mantap sebagai penerus keturunan dan tidak ada keragu-raguan maka pengangkatan
anak ini haruslah diadakan upacara “pemerasan”dan diumumkan di hadapan
masyarakat.

Upacara penggangkatan anak ini dimaksudkan untuk melepaskan anak itu


dari ikatan atau hubungan dengan orang tua kandungnya dan sekaligus
memasukkan anak itu ke dalam keluarga yang mengangkatnya. Dalam sistem

14
hukum adat waris patrilineal, pewaris adalah seorang yang meninggal dunia dengan
meninggalkan sejumlah harta kekayaan, baik harta itu diperoleh selama dalam
perkawinan maupun harta pusaka, karena di dalam hukum adat perkawinan suku
bersistem patrilineal, yang memakai marga itu berlaku keturunan patrilineal maka
orang tua merupakan pewaris bagi anak-anaknya yang laki-laki dan hanya anak
laki-laki yang merupakan ahli waris dari orang tuanya.

Sistem kekeluargaan patrilineal (purusa) yang dianut oleh orang Bali-Hindu


menyebabkan hanya keturunan berstatus kapurusa dan swadharma keluarga.
Konsekuensinya, hanya keturunan yang berstatus kapurusa yang memiliki
swadikara terhadap harta warisan, sementara keturunan yang berstatus pradana
tidak mungkin dapat meneruskan swadharma, sehingga disamakan dengan ninggal
kadaton.

Di Bali, sistem (pembagianya) hukum waris adat yang digunakan adalah,


sistem Mayorat yaitu, harta warisan dialihkan sebagai satu kesatuan yang tidak
terbagi dengan hak penguasaan yang dilimpahkan kepada anak tertentu saja,
misalnya anak laki-laki tertua. Dalam sistem kewarisan mayorat Bali digambarkan
bahwa yang mewarisi adalah satu anak saja yaitu anak tertua laki-laki yang berarti
hak pakai, hak mengelola dan memungut hasilnya dikuasai sepenuhnya oleh anak
tertua dengan hak dan kewajiban mengurus dan memelihara adik-adiknya.

2.4.4 Hak Mewaris Perempuan Menurut Hukum Adat Bali

Kajian hukum adat waris Bali tidak dapat dilepaskan dari hukum keluarga,
khususnya sistem kekerabatan yang dianut secara umum, juga tidak dapat
dilepaskan dari bentuk perkawinan yang ditempuh oleh masyarakat hukum adat di
Bali, karena masalah pewarisan sangat ditentukan oleh sistem kekerabatan yang
berlaku dan bentuk perkawinan yang dilakukan oleh masyarakat Bali. Kedua hal
tersebut berkaitan erat. Masyarakat Bali yang memeluk agama Hindu menganut
sistem kekerabatan patrilineal.

Sistem kekerabatan patrilineal di Bali lazim disebut dengan istilah sistem

15
”kepurusa/purusa” (laki-laki). Dalam sistem ini, hubungan seseorang anak dengan
keluarga (clan) bapaknya menjadi dasar tunggal bagi susunan bapaknya. Keluarga
dari bapaknya, atau keluarga dari pancer laki-laki (kepurusa) adalah yang paling
penting dalam kehidupannya, misalnya pancer laki-lakilah yang mewarisi segala
sesuatunya, kasta si anak mengikuti kasta bapaknya.

Anak dalam kaitan ini adalah anak laki-laki dan perempuan mengikuti
kasta/wangsa bapaknya, akan tetapi hanya anak laki-laki yang dikemudian hari
menjadi pelanjut keturunan ayahnya.

Sistem kepurusa status anak laki-laki bersifat ajeg, sedangkan status anak
perempuan berubah, karena perempuan setelah perkawinan mengikuti suami dan
masuk eanggota suami.

Hukum adat waris Bali ditentukan bahwa ahli waris adalah anak laki-laki
atau sentana rajeg, serta anak angkat. Hal tersebut dengan jelas dan tegas
dirumuskan dalam salah satu pawos (pasal) dalam awig-awig desa pakraman. Anak
perempuan hanya mempunyai hak menikmati harta kekayaan orang tuanya selama
ia belum kawin, apabila ia kawin, maka hak menikmati menjadi gugur. Konstitusi
dan juga beberapa peraturan perundang-undangan dengan jelas menentukan bahwa
setiap warganegara sama kedudukannya dimuka hukum.

Dengan demikian, maka terjadi disharmonisasi dengan hukum negara dan


hukum adat waris Bali. Hal senada juga dikatakan Bapak I Ketut Sudantra, dosen
Hukum Adat pada Fakultas Hukum Universitas Udayana (“Unud”), dalam artikel
berjudul Pembaharuan Hukum Adat Bali Mengenai Pewarisan Angin Segar Bagi
Perempuan, hukum adat Bali yang bersistem kekeluargaan kapurusa (patrilineal)
menempatkan anak laki-laki sebagai ahli waris dalam keluarga, sementara
perempuan hanya mempunyai hak untuk menikmati harta peninggalan orang tua
atau harta peninggalan suami.

Hal di atas juga tercermin dalam putusan Mahkamah Agung No. 200
K/Sip/1958 tanggal 3 Desember 1958, yang antara lain menyatakan:

16
“Menurut hukum Adat Bali yang berhak mewaris hanyalah keturunan pria dan
pihak keluarga pria dan anak angkat lelaki; Maka Men Sardji sebagai saudara
perempuan bukanlah akhli waris dan mendiang Pan Sarning.” Namun, “angin
segar” bagi kaum perempuan Bali dalam hal pewarisan bertiup beberapa tahun lalu,
tepatnya pada 2010. Angin segar tersebut berupa dikeluarkannya Keputusan
Majelis Utama Desa Pakraman Bali (MUDP) Bali No. 01/KEP/PSM-3/MDP
Bali/X/2010, tanggal 15 Oktober 2010, tentang Hasil-hasil Pasamuhan Agung III
MUDP Bali(“Keputusan Pasamuhan Agung III/2010”).

Dalam Keputusan Pasamuhan Agung III/2010 diputuskan mengenai


kedudukan suami-istri dan anak terhadap harta pusaka dan harta gunakaya,
termasuk hak waris anak perempuan (anak kandung maupun anak angkat).

Secara singkat, hak waris anak perempuan menurut Keputusan Pasamuhan Agung
III/2010 adalah sebagaimana dijelaskan oleh pakar hukum adat FH Unud Prof. Dr.
Wayan P. Windia, S.H., M.Si. sebagai berikut:

“Sesudah 2010 wanita Bali berhak atas warisan berdasarkan Keputusan


Pesamuan Agung III MUDP Bali No. 01/Kep/PSM-3MDP Bali/X/2010, 15
Oktober 2010. Di SK ini, wanita Bali menerima setengah dari hak waris purusa
setelah dipotong 1/3 untuk harta pusaka dan kepentingan pelestarian. Hanya jika
kaum wanita Bali yang pindah ke agama lain, mereka tak berhak atas hak waris.
Jika orangtuanya ikhlas, tetap terbuka dengan memberikan jiwa dana atau bekal
sukarela.”

Pasamuan Agung III MUDP Bali tersebut dirumuskan bahwa anak


perempuan diposisikan sebagai ahli waris terbatas, yakni terbatas hanya berhak
terhadap harta warisan guna kaya orang tuanya berdasarkan atas asas ategen asuun.
Artinya, perbandingan hak atas bagian yang diterima anak perempuan setengah dari
hak atas bagian anak laki-laki setelah dikurangi sepertiga untuk due tengah.

Hal tersebut juga sesuai dengan ajaran agama hindu dalam Kitab Suci
manawa Dharmasastra Buku IX Sloka 118. Melihat keputusan Pasamuan Agung
III MUDP Bali tersebut yang ingin memperhitungkan hak kaum perempuan Bali

17
dalam hal mewaris, bahwa sebelum dikeluarkannya keputusan inipun didalam sloka
120 manawa dharmasastra sudah menerangkan bahwa anak perempuan juga
memiliki hak terhadap harta orang tuanya, walaupun tidak sama bagiannya dengan
anak laki-laki, setidaknya dari jaman dahulu hak mewaris perempuan tersebut telah
ada secara tertulis didalam kitab suci agama hindu, tetapi dresta masing-masing
desa pakraman di Bali yang berbeda sehingga desa pakraman yang satu dengan
yang lainnya di Bali berbeda terutama masalah hak mewaris.

Namun berdasarkan Keputusan Pasamuan Agung III Majelis Utama Desa


Pakraman (MUDP) Provinsi Bali tanggal 15 Oktober 2010, anak yang ninggalin
kedaton terbatas, yakni anak perempuan yang kawin keluar dalam perkawinan bisaa
atau anak laki-laki yang kawin nyeburin, berhak atas bagian tertentu atas harta guna
kaya dari orang tuanya, yaitu separuh dari bagian anak laki-laki atau 2:1.

Setelah terlebih dahulu dikurangi sepertiga untuk due tengah harta tersebut
dibawa dalam perkawinan yang disebut harta bawaan yang diperoleh dari mewaris.
Dalam keputusan MUDP Bali no 1/Kep./Psm-3/MDP Bali/X2010 tentang
hasilhasil Pasamuan Agung III MUDP Bali mengenai kedudukn suami istri
terhadap harta pusaka dan harta guna kaya di tentukan sebagai berikut:

1. Suami dan istrinya serta saudara laki-laki suami dan istrinya, mempunyai
kedudukan yang sama dalam usaha untuk menjamin bahwa harta pusaka dapat
diteruskan kepada anak dan cucunya untuk memelihara atau melestarikan warisan
immateriil.

2. Selama dalam perkawinan, suami dan istrinya mempunyai kedudukan yang sama
terhadap harta guna kaya-nya (harta yang diperoleh selama status perkawinan).

3. Anak kandung (laki-laki dan perempuan) serta anak angkat (laki-laki dan
perempuan) yang belum kawin pada dasarnya mempunyai kedudukan yang sama
terhadap harta guna kaya orang tuanya.

4. Anak kandung (laki-laki dan perempuan) serta anak angkat (laki-laki dan
perempuan) berhak atas harta guna kaya orang tuanya, sesudah dikurangi sepertiga

18
sebagai duwe tengah (harta bersama), yang dikuasai (bukan dimiliki) oleh anak
yang nguwubang (melanjutkan swadharma atau tanggung jawab) orsang tuanya.

5. Anak yang berstatus kepurusa berhak atas satu bagian harta warisan, sedangkan
yang berstatus predana/ninggalin kedaton terbatas berhak atas sebagian atau
setengah dari harta warisan yang diterima oleh anak yang berstatus kapurusa.

6. Dalam hal pembagian warisan, anak yang masih dalam kandungan mempunyai
hak yang sama dengan anak yang sudah lahir, sepanjang dia dilahirkan hidup.

7. Anak yang ninggalin kedaton penuh tidak berhak atas warisan, tetapi dapat diberi
bekal (jiwadana) orang tuanya dari harta guna kaya tanpa merugikan ahli waris.

2.4.5 Pertanyaan-Pertanyaan

a. Dimana dapat ditemui aturan tentang pewarisan menurut Hukum Adat Bali?

1. Adat kebiasaan (tidak tertulis) yang hidup dan ditaati oleh masyarakat
hukum adat (desa adat) di Bali.
2. Paswara 1900.
3. Awig-awig desa adat.
4. Keputusan MUDP Bali (2010).

b. Benarkah perempuan Bali tidak memiliki hak atas harta warisan?

Bukan perempuan Bali-Hindu yang tidak memiliki hak (swadikara) atas


warisan, melainkan mereka yang tidak melaksanakan kewajiban (swadharma)
sebagai umat Hindu (laki atau perempuan) sama saja.

19
c. Benarkah wanita Bali tidak berhak atas warisan yang ditinggalkan oleh pewaris
menurut Hukum Adat Bali?

Bukan wanita Bali yang tidak berhak atas warisan, melainkan waris
(keturunan) yang tidak melaksanakan swadharma (tanggung jawab) terhadap
peninggalan pewaris dalam berbagai wujud dan sifatnya.

Keturunan ini disebut ninggal kedaton = ninggal kawitan = ninggal swadharma =


meninggalkan tanggung jawab sebagai waris (keturunan).

Orang yang ninggal kedaton = ninggal kawitan = ninggal swadharma =


meninggalkan tanggung jawab sebagai waris (keturunan), tetap adalah waris
(keturunan) tetapi bukan ahli waris (tidak berhak atas warisan).

1. Keturunan (pria atau wanita) yang tidak lagi beragama Hindu (ninggal kedaton
penuh), hak atas warisan gugur.

2. Keturunan (pria atau wanita) yang “kawin ke luar” tetapi masih beragama Hindu
(ninggal kedaton terbatas) berahak atas warisan setengah dari ahli waris lainnya.

Dapat dibnerikan warisan berupa jiwa dana (bekal hidup), besarnya maksimal 1/3
dari warisan yang memiliki nilai ekonomi (palemahan).

20
BAB III

PENUTUPAN

3.1 Kesimpulan

Sistem kekerabatan yang menggunakan sistem patrilinial-mengikuti garis


ayah- mengharuskan perempuan yang menikah meleburkan wangsanya terhadap
suaminya. Peranan istri dalam perkawinan pun hanya dibatasi dalam ranah
domestik untuk mengurusi rumah tangga dan mendidik anak-anak. Selain itu,
peranan istri sebagai pembantu suami dalam menegakkan rumah tangga, dalam
memepertahankan kedudukan suami, meneruskan keturunannya serta memelihara
hubungan kekerabatan antara pihak suami dan pihak istri.

Sistim perkawinan hindu, khususnya untuk di bali memiliki beberapa sistem


perkawinan namun sistem ini merupakan penjabaran dari bentuk perkawinan yang
diungkapkan di dalam pustaka MANAWA DHARMASASTRA.

Bentuk - bentuk perkawinan di Bali sangatlah unik dan bervariasi yang


mana disebutkan dalam bahasa bali :

1. ”Pawiwahan inggih punika patemining purusa pradana,


malarapan patunggalan kayun suka-cita, kadulurin upasaksi
sekala - niskala”
2. Kapurusa atau Purusa | Sistem kekeluargaan patrilineal atau
kebapaan yang lebih dikenal luas dalam masyarakat Bali.

Di Bali sistem pembagian waris didasarkan pada keturunan laki-laki


(patrilineal) dan hanya mengenal sistem pewarisan mayorat laki-laki. Menurut
hukum adat Bali yang menganut sistem kekeluargaan patrilineal maka yang
menjadi ahli waris adalah anak laki-laki, sedangkan anak perempuan tidak sebagai
ahli waris, sehingga dalam hukum adat di Bali terdapat persyaratan- persyaratan
sebagai ahli waris menurut I Gde Pudja adalah :

21
1. Ahli waris harus mempunyai hubungan darah, yaitu misalnya anak
pewaris sendiri.
2. Anak itu harus laki-laki.
3. Bila tidak ada anak barulah jatuh kepada anak yang bukan sedarah yang
karena hukum ia berhak menjadi ahli waris misalnya anak angkat.

3.2 Saran

Dengan disusunnya makalah ini kami mengharapkan pembaca dapat


mengetahui dan memahami tentang Sistem Kekerabatan, Sistem Perkawinan,
Bentuk Perkawinan dan Hukum Waris Adat Suku Bali serta dapat memberikan
kritik dan sarannya agar makalah ini dapat menjadi lebih baik dari sebelumnya.
Demikian saran yang dapat penulis sampaikan semoga dapat membawa manfaat
bagi semua pembaca.

22
DAFTAR PUSTAKA

Ketut Sudantra. 2011. Tri Semaya Hukum Adat Bali: Potret Perkembangan
Hak Perempuan Bali Dalam Hukum Keluarga. Makalah disampaikan pada seminar
dengan tema: ”Perempuan dalam Budaya, Adat, dan Teologi Hindu”, yang
diselenggarakan oleh Program Studi Magister (S2) Brahma Widya Program
Pascasarjana IHDN Denapsar, di Denpasar, tanggal 21 Desember 2011.

I Ketut Artadi. 2003. Hukum Adat Bali, Dengan Aneka Masalahnya. Cet.
III. Pustaka Bali Post. Denpasar.

Gede Panetja. 1986. Aneka Catatan Tentang Hukum Adat Bali. CV.
Kayumas Agung. Denpasar.

Windia, Wayan P, dkk., 2009. Perkawinan Pada Gelahang di Bali, Udayana


University Press, Denpasar.

23

Anda mungkin juga menyukai