PENDAHULUAN
1.3 Tujuan
1. Menjelasakan bagaimana sistem kekerabatan Suku Bali.
2. Menjelaskan bagaimana sistem perkawinan Suku Bali.
1
3. Menjelaskan bagaimana bentuk-bentuk perkawinan yang dikenal Suku
Bali.
4. Menjelaskan bagaimana hukum waris adat Suku Bali.
2
BAB II
PEMBAHASAN
Kasta itu dibuat dan dikemas sesuai dengan garis keturunan Patrinial,
diantaranya:
a. Kasta Brahmana
3
b. Kasta Ksatriya
4
peranan istri sebagai pembantu suami dalam menegakkan rumah tangga, dalam
memepertahankan kedudukan suami, meneruskan keturunannya serta memelihara
hubungan kekerabatan antara pihak suami dan pihak istri.
5
2.2.2 Sistim Ngerorod
1. Tidak medapat restu dari salah satu pihak orang tua kedua mempelai
2. Tidak mendapat restu dari kedua pihak orang tua kedua mempelai.
3. Dilaksanakan Sistim perkawinan ini berdasarkan pemikiran efisiensi
pelaksanaan dan pembiayaan.
4. Dilaksanakan Sistim perkawinan ini, berdasarkan pemikiran bahwa
dari kedua belah pihak tidak lagi memiliki sanak keluarga atau salah
satu pihak tidak memiliki sanak keluarga.
Sistim perkawinan ini, ada yang berdasarkan cinta sama cinta dari kedua
mempelai, ada yang tidak berdasarkan cinta sama cinta. Hanya atas kemauan serta
persetujuan dari kedua pihak keluarga. Karena berdasarkan kebutuhan penerus
pewaris di pihak mempelai wanita. Oleh karena bentuk pewaris untuk di bali adalah
purusa (patrelineal).
Dari pihak keluarga calon pengantin pria mulai memohon hari baik
(Dewasa), biasanya memohon kehadapan seorang Sulinggih atau kepada seseorang
6
yang sudah biasa memberikan dewasa (nibakang padewasaan). Biasanya dewasa
yang diminta berurutan sesuai dengan acara-acara dalam pelaksanaan upacara
perkawinan.
Pada hari penjemputan ke rumah calon pengantin wanita dari pihak keluarga
calon pengantin wanita dari pihak keluarga calon pengantin pria diikuti oleh semua
keluarga beserta unsur-unsur prajuru adat (kelihan adat), prajuru dinas (kelihan
dinas). Demikian juga dari pihak keluarga calon pengantin wanita serta calon serta
calon pengantinnya.
b. Upacara mejaya-jaya
7
c. Pewarangan/mejauman
Dalam aturan adat Bali, wanita yang sudah menikah akan mengikuti
suaminya. Maka, untuk menghormati leluhur keluarga, diadakan upacara untuk
memohon pamit kepada leluhur mempelai wanita yang disebut upacara mejauman.
Kedatangan mempelai wanita untuk menjalani upacara tersebut didampingi
keluarga mempelai pria yang membawa serta berbagai penganan tradisional
berwarna putih dan merah, kue bantal, apam, sumping, kuskus, wajik, gula, kopi,
buah-buahan, lauk-pauk dan lain sebagainya.
8
2. Perkawinan Nyentana
9
1. Status atau kedudukan hukum seseorang di dalam keluarga sangat
penting artinya dalam hukum adat Bali
2. Karena akan mempengaruhi hak (swadikara) dan kewajiban
(swadharma) orang tersebut dalam keluarga dan masyarakat
(banjar/desa pakraman).
Pada masa lalu, dalam masyarakat adat di Bali dikenal beberapa bentuk
perkawinan. Sebagian dari bentuk-bentuk perkawinan tersebut sudah lama
ditinggalkan oleh masyarakat karena sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan
jaman.
a. Brahma Wiwaha
Mendapatkan seorang gadis (calon istri) yang berdasarkan cinta sama cinta,
terlebih dahulu dihias, setelah itu mengadakan penghormatan berupa pemberian
hadiah kepada seorang yang melaksanakan Weda, serta pada saat menyerahkan
selalu berdasarkan budhi dan bahasa yang baik
b. Daiwa Wiwaha
c. Arsa Wiwaha
d. Prajapati Wiwaha
10
e. Asura Wiwaha
f. Gandarwa Wiwaha
Pertemuan suka sama suka antara seorang wanita dengan seorang pria
sebagai kekasihnya, serta timbul nafsunya dan bertujuan untuk melakukukan
hubungan kelamin.
g. Raksasa Wiwaha
h. Paisaca Wiwaha
Perkawinan melegandang yang dulu dikenal dan sah dalam hukum adat, kini
tidak boleh dilakukan lagi karena bertentangan dengan undang-undang.
11
Hal lain yang berkaitan dengan bentuk - bentuk perkawinan di Bali
disebutkan :
Harta Benda Perkawinan | Modal yang dapat dipergunakan oleh suami istri
untuk membeayai kehidupan rumah tangganya ataupun dalam kehidupan sosial dan
keagamaannya. Dalam Undang-undang Perkawinan penggolongan harta benda
perkawinan meliputi:
Balu | karena suatu hal, seorang istri atau suami ditinggalkan oleh pasangan
hidupnya
Mewarih = kencing.
12
Warisan = swadharma (tanggung jawab) dan swadikara (hak) terhadap peninggalan
pewaris dalam berbagai wujud dan sifatnya.
1. Keutuhan.
2. Keutamaan.
3. Ketergantungan.
4. Kebersamaan.
5. Keberlanjutan.
6. Kemanfaatan.
Pewarisan menurut hukum adat Bali tidak identik dengan membagi harta
peninggalan (warisan) orang tua dan leluhur (pewaris) oleh ahli waris, melainkan
mengandung makna pelestarian, pengurusan dan penerusan swadharma (tanggung
jawab) dan swadikara (hak) terhadap peninggalan pewaris dalam berbagai wujud
dan sifatnya.
Dalam pandangan V.E. Korn (1932), ”ciri khas hukum adat waris Bali,
bertujuan agar sebanyak dan sedapat mungkin harta pusaka keluarga tetap utuh dan
dipegang serta diuruskan oleh seorang kepala keluarga, maka dengan sendirinya
pembagian-pembagian jarang dilakukan. Karena itu juga hasrat untuk menetapkan
bagian-bagian tertentu tidak sangat dirasai”.
13
2.4.3 Sistem Pembagian Waris Menurut Hukum Adat Bali
Hukum Pewarisan adalah bagian yang paling sulit dari Hukum Adat Bali.
Antara lain karena perbedaan-perbedaan di beberapa daerah dalam wilayah hukum
Bali (Desa Kala Patra), baik mengenai (banyaknya) barang-barang yang boleh
diwariskan atau mengenai banyaknya bagian masing-masing ahli waris, maupun
mengenai putusan-putusan Pengadilan Adat”.
Bila tidak ada anak dan tidak ada anak angkat, hukum Hindu membuka
kemungkinan adanya penggantian melalui penggantian atas kelompok ahli waris
dengan hak keutamaan kepada kelompok dengan hak penggantian lainnya yang
memenuhi syarat menurut Hukum Hindu. Anak angkat berdasarkan hukum waris
adat di Bali dilakukan bilamana suatu keluarga tidak mempunyai keturunan,
sehingga fungsi anak angkat itu sebagai penerus generasi atau keturunan, agar
mantap sebagai penerus keturunan dan tidak ada keragu-raguan maka pengangkatan
anak ini haruslah diadakan upacara “pemerasan”dan diumumkan di hadapan
masyarakat.
14
hukum adat waris patrilineal, pewaris adalah seorang yang meninggal dunia dengan
meninggalkan sejumlah harta kekayaan, baik harta itu diperoleh selama dalam
perkawinan maupun harta pusaka, karena di dalam hukum adat perkawinan suku
bersistem patrilineal, yang memakai marga itu berlaku keturunan patrilineal maka
orang tua merupakan pewaris bagi anak-anaknya yang laki-laki dan hanya anak
laki-laki yang merupakan ahli waris dari orang tuanya.
Kajian hukum adat waris Bali tidak dapat dilepaskan dari hukum keluarga,
khususnya sistem kekerabatan yang dianut secara umum, juga tidak dapat
dilepaskan dari bentuk perkawinan yang ditempuh oleh masyarakat hukum adat di
Bali, karena masalah pewarisan sangat ditentukan oleh sistem kekerabatan yang
berlaku dan bentuk perkawinan yang dilakukan oleh masyarakat Bali. Kedua hal
tersebut berkaitan erat. Masyarakat Bali yang memeluk agama Hindu menganut
sistem kekerabatan patrilineal.
15
”kepurusa/purusa” (laki-laki). Dalam sistem ini, hubungan seseorang anak dengan
keluarga (clan) bapaknya menjadi dasar tunggal bagi susunan bapaknya. Keluarga
dari bapaknya, atau keluarga dari pancer laki-laki (kepurusa) adalah yang paling
penting dalam kehidupannya, misalnya pancer laki-lakilah yang mewarisi segala
sesuatunya, kasta si anak mengikuti kasta bapaknya.
Anak dalam kaitan ini adalah anak laki-laki dan perempuan mengikuti
kasta/wangsa bapaknya, akan tetapi hanya anak laki-laki yang dikemudian hari
menjadi pelanjut keturunan ayahnya.
Sistem kepurusa status anak laki-laki bersifat ajeg, sedangkan status anak
perempuan berubah, karena perempuan setelah perkawinan mengikuti suami dan
masuk eanggota suami.
Hukum adat waris Bali ditentukan bahwa ahli waris adalah anak laki-laki
atau sentana rajeg, serta anak angkat. Hal tersebut dengan jelas dan tegas
dirumuskan dalam salah satu pawos (pasal) dalam awig-awig desa pakraman. Anak
perempuan hanya mempunyai hak menikmati harta kekayaan orang tuanya selama
ia belum kawin, apabila ia kawin, maka hak menikmati menjadi gugur. Konstitusi
dan juga beberapa peraturan perundang-undangan dengan jelas menentukan bahwa
setiap warganegara sama kedudukannya dimuka hukum.
Hal di atas juga tercermin dalam putusan Mahkamah Agung No. 200
K/Sip/1958 tanggal 3 Desember 1958, yang antara lain menyatakan:
16
“Menurut hukum Adat Bali yang berhak mewaris hanyalah keturunan pria dan
pihak keluarga pria dan anak angkat lelaki; Maka Men Sardji sebagai saudara
perempuan bukanlah akhli waris dan mendiang Pan Sarning.” Namun, “angin
segar” bagi kaum perempuan Bali dalam hal pewarisan bertiup beberapa tahun lalu,
tepatnya pada 2010. Angin segar tersebut berupa dikeluarkannya Keputusan
Majelis Utama Desa Pakraman Bali (MUDP) Bali No. 01/KEP/PSM-3/MDP
Bali/X/2010, tanggal 15 Oktober 2010, tentang Hasil-hasil Pasamuhan Agung III
MUDP Bali(“Keputusan Pasamuhan Agung III/2010”).
Secara singkat, hak waris anak perempuan menurut Keputusan Pasamuhan Agung
III/2010 adalah sebagaimana dijelaskan oleh pakar hukum adat FH Unud Prof. Dr.
Wayan P. Windia, S.H., M.Si. sebagai berikut:
Hal tersebut juga sesuai dengan ajaran agama hindu dalam Kitab Suci
manawa Dharmasastra Buku IX Sloka 118. Melihat keputusan Pasamuan Agung
III MUDP Bali tersebut yang ingin memperhitungkan hak kaum perempuan Bali
17
dalam hal mewaris, bahwa sebelum dikeluarkannya keputusan inipun didalam sloka
120 manawa dharmasastra sudah menerangkan bahwa anak perempuan juga
memiliki hak terhadap harta orang tuanya, walaupun tidak sama bagiannya dengan
anak laki-laki, setidaknya dari jaman dahulu hak mewaris perempuan tersebut telah
ada secara tertulis didalam kitab suci agama hindu, tetapi dresta masing-masing
desa pakraman di Bali yang berbeda sehingga desa pakraman yang satu dengan
yang lainnya di Bali berbeda terutama masalah hak mewaris.
Setelah terlebih dahulu dikurangi sepertiga untuk due tengah harta tersebut
dibawa dalam perkawinan yang disebut harta bawaan yang diperoleh dari mewaris.
Dalam keputusan MUDP Bali no 1/Kep./Psm-3/MDP Bali/X2010 tentang
hasilhasil Pasamuan Agung III MUDP Bali mengenai kedudukn suami istri
terhadap harta pusaka dan harta guna kaya di tentukan sebagai berikut:
1. Suami dan istrinya serta saudara laki-laki suami dan istrinya, mempunyai
kedudukan yang sama dalam usaha untuk menjamin bahwa harta pusaka dapat
diteruskan kepada anak dan cucunya untuk memelihara atau melestarikan warisan
immateriil.
2. Selama dalam perkawinan, suami dan istrinya mempunyai kedudukan yang sama
terhadap harta guna kaya-nya (harta yang diperoleh selama status perkawinan).
3. Anak kandung (laki-laki dan perempuan) serta anak angkat (laki-laki dan
perempuan) yang belum kawin pada dasarnya mempunyai kedudukan yang sama
terhadap harta guna kaya orang tuanya.
4. Anak kandung (laki-laki dan perempuan) serta anak angkat (laki-laki dan
perempuan) berhak atas harta guna kaya orang tuanya, sesudah dikurangi sepertiga
18
sebagai duwe tengah (harta bersama), yang dikuasai (bukan dimiliki) oleh anak
yang nguwubang (melanjutkan swadharma atau tanggung jawab) orsang tuanya.
5. Anak yang berstatus kepurusa berhak atas satu bagian harta warisan, sedangkan
yang berstatus predana/ninggalin kedaton terbatas berhak atas sebagian atau
setengah dari harta warisan yang diterima oleh anak yang berstatus kapurusa.
6. Dalam hal pembagian warisan, anak yang masih dalam kandungan mempunyai
hak yang sama dengan anak yang sudah lahir, sepanjang dia dilahirkan hidup.
7. Anak yang ninggalin kedaton penuh tidak berhak atas warisan, tetapi dapat diberi
bekal (jiwadana) orang tuanya dari harta guna kaya tanpa merugikan ahli waris.
2.4.5 Pertanyaan-Pertanyaan
a. Dimana dapat ditemui aturan tentang pewarisan menurut Hukum Adat Bali?
1. Adat kebiasaan (tidak tertulis) yang hidup dan ditaati oleh masyarakat
hukum adat (desa adat) di Bali.
2. Paswara 1900.
3. Awig-awig desa adat.
4. Keputusan MUDP Bali (2010).
19
c. Benarkah wanita Bali tidak berhak atas warisan yang ditinggalkan oleh pewaris
menurut Hukum Adat Bali?
Bukan wanita Bali yang tidak berhak atas warisan, melainkan waris
(keturunan) yang tidak melaksanakan swadharma (tanggung jawab) terhadap
peninggalan pewaris dalam berbagai wujud dan sifatnya.
1. Keturunan (pria atau wanita) yang tidak lagi beragama Hindu (ninggal kedaton
penuh), hak atas warisan gugur.
2. Keturunan (pria atau wanita) yang “kawin ke luar” tetapi masih beragama Hindu
(ninggal kedaton terbatas) berahak atas warisan setengah dari ahli waris lainnya.
Dapat dibnerikan warisan berupa jiwa dana (bekal hidup), besarnya maksimal 1/3
dari warisan yang memiliki nilai ekonomi (palemahan).
20
BAB III
PENUTUPAN
3.1 Kesimpulan
21
1. Ahli waris harus mempunyai hubungan darah, yaitu misalnya anak
pewaris sendiri.
2. Anak itu harus laki-laki.
3. Bila tidak ada anak barulah jatuh kepada anak yang bukan sedarah yang
karena hukum ia berhak menjadi ahli waris misalnya anak angkat.
3.2 Saran
22
DAFTAR PUSTAKA
Ketut Sudantra. 2011. Tri Semaya Hukum Adat Bali: Potret Perkembangan
Hak Perempuan Bali Dalam Hukum Keluarga. Makalah disampaikan pada seminar
dengan tema: ”Perempuan dalam Budaya, Adat, dan Teologi Hindu”, yang
diselenggarakan oleh Program Studi Magister (S2) Brahma Widya Program
Pascasarjana IHDN Denapsar, di Denpasar, tanggal 21 Desember 2011.
I Ketut Artadi. 2003. Hukum Adat Bali, Dengan Aneka Masalahnya. Cet.
III. Pustaka Bali Post. Denpasar.
Gede Panetja. 1986. Aneka Catatan Tentang Hukum Adat Bali. CV.
Kayumas Agung. Denpasar.
23