Anda di halaman 1dari 19

TUGAS MATA KULIAH

ETIKA PROFESI HUKUM


Dosen : Charles Simabura, SH, MH

MEKANISME PENEGAKAN KODE ETIK HAKIM, NOTARIS, dan ADVOKAD

Oleh :
Randa Andika
(1310111257)

FAKULTAS HUKUM
UNIVERITAS ANDALAS
2017
A. Mekanisme Penegakan Kode Etik Hakim

Salah satu persyaratan mutlak atau conditio sine qua non dalam sebuah negara yang
berdasarkan hukum adalah adanya kekuasaan kehakiman yang mandiri, netral (tidak berpihak),
kompeten dan berwibawa sehingga mampu menegakkan wibawa hukum, kepastian hukum dan
keadilan. Kebutuhan akan perlunya kekuasaan kehakiman yang independen merupakan dambaan
masyarakat ditengah menurunnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan
selama ini. Kekuasaan kehakiman yang merdeka sering diartikan sebagai pelaksanaan peradilan
yang bebas, tidak memihak dan tidak diintervensi oleh kepentingan apapun. Sementara Bagir
Manan mengartikan imparsialitas kekuasaan kehakiman (judicial power) sekedar berkaitan
dengan tidak adanya bias atau kecurigaan tertentu terhadap seorang hakim, melainkan juga
berlaku bagi hal-hal yang berkaitan dengan pertimbangan-pertimbangan lain seperti pandangan
politik dan agama yang dianut seorang hakim.

Kekusaan kehakiman yang merdeka merupakan elemen mutlak yang harus ada didalam
sebuah negara yang menyandang predikat sebagai negara hukum. Dalam pandangan Yuzri Ihza
Mahendra, kekuasaan kehakiman yang bebas dan tidak memihak ini mempunyai sedikitnya lima
segi, yaitu pengangkatan terhadap pejabat lembaga peradilan yang tidak bersifat politik, masa
jabatan dan gaji yang terjamin, tidak ada intenvensi dari kekuasaan eksekutif dan legislatif
terhadap proses peradilan dan pengadilan, dan adanya otonomi secara administratif, dan
anggaran belanja. Kelima hal tersebut menurut Yuzril menjadi tonggak yang dapat dijadikan
parameter kemerdekaan kekuasaan kehakiman.

Berkaitan dengan urgensi independensi lembaga peradilan, Montesquie berpandangan


bahwa independensi kekuasan kehakiman merupakan hal penting, karena adanya idependensi
inilah lembaga peradilan mampu menjamin kebebasan individu dan hak asasi manusia disamping
prinsip persamaan di muka hukum, kesemuanya itu merupakan elemen yang penting dalam
konsep rule of law. Bahkan Montesquie menyatkan lebih jauh bahwa independensi kekuasaan
kehakiman tidak pernah ada selama kekuasaan kehakiman belum dipisahkan campur tangan
kekusaan eksekutif.

Independensi dan kemandirian kekuasaan kehakiman tidak saja mandiri secara


kelembagaan, tetapi juga kemandirian dalam proses peradilan yang diindikasikan dari proses
pemeriksaan perkara, pembuktian, hingga pada vonis yang dijatuhkan. Parameter mandiri atau
tidaknya proses peradilan ditandai oleh ada atau tidaknya intervensi dari pihak-pihak lain di luar
kekuasaan kehakiman. Berangkat dari persoalan diatas, maka sebagai bentuk upaya untuk
mewujudkan kamandirian kekuasaan kehakiman adalah dibentuknya state auxiliary
institutionyang disebut dengan Komisi Yudisial. Keberadaan lembaga ini diharapkan dapat
menjadi ruang artikulasi dan akomodasi kepentingan masyarakat sipil dalam proses supremacy
of law di Indonesia.

Jika dibandingkan dengan keberadaan komisi yudisial di beberapa negara lain,


pembentukan Komisi Yudisial di Indonesia setidaknya memiliki latar belakang sejarah yang
sama. Menurut Ahsin Thohari, beberapa alasan munculnya gagasan pembentukan Komisi
Yudisial di berbagai negara adalah Pertama, lemahnya monitoring yang intensif terhadap
kekuasaan kehakiman, karena monitoring dilakukan secara internal saja. Kedua, tidak adanya
lembaga yang menjadi penghubung antara kekuasaan kehakiman dan kekuasaan
pemerintahan. Ketiga,kekuasaan kehakiman dianggap tidak mempunyai efisiensi dan efektifitas
yang memadai dalam menjalankan tugasnya apabila masih dibebani dengan persoalan-persoalan
teknis non-hukum. Keempat, rendahnya kualitas dan tidak adanya konsistensi putusan
pengadilan, karena tidak diawasi oleh lembaga yang benar-benar independen; dan Kelima, pola
rekrutmen hakim yang terlalu sarat dengan nuansa politis karena lembaga yang mengusulkan dan
merekrutnya adalah lembaga-lembaga politik yaitu presiden dan parlemen.

Keberadaan Komisi Yudisial menjadi penting dalam upaya pembaruan penradilan,


termasuk di dalamnya menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku
hakim. Hal tersebut sesuai dengan amanah pasal 24B perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar
1945 yang mengamanatkan bahwa Komisi Yudisial berwenang mengusulkan pengangkatan
hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan
kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Adanya aturan normatif tersebut dapat
disimpulkan bahwa selama ini ada dua persoalan mendasar yang mengakibatkan kekuasaan
kehakiman yang merdeka di Indonesia tidak terealisasikan dengan baik, pertama adalah
buruknya pola dan mekanisme perekrutan hakim agung, kedua kurang atau tidak efektifnya
lembaga yang mempunyai tugas menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat,
serta perilaku hakim itu sendiri dalam hal ini Mahkamah Agung.

Perilaku Hakim Sebagai Objek Pengawasan Komisi Yudisial

Merujuk pada pasal 13 (a) UU No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial ditegaskan
bahwa Komisi Yudisial bertugas untuk menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta
menjaga perilaku Hakim. Kemudian pasca disahkannya UU No. 18 Tahun 2011 tentang
Perubahan Atas UU No. 22 Tahun 2004, bunyi redaksi pasal 13 memberikan ketegasan terhadap
wewenang Komisi Yudisial. Diantara wewenang tersebut meliputi : (a) mengusulkan
pengangkatan hakim agung dan hakim ad hoc di Mahkamah Agung kepada DPR untuk
mendapatkan persetujuan; (b) menjaga dan menegakan kehormatan, keluhuran martabat, serta
perilaku hakim; (c) menetapkan kode etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim bersama-sama
dengan Mahkamah Agung ; dan (d) menjaga dan menegakkan pelaksanaan Kode Etik dan/atau
Pedoman Perilaku Hakim.

Salah satu diantara beberapa kemajuan pasca perubahan UU No. 22 Tahun 2004 juga
berkaitan dengan tugas Komisi Yudisial untuk dapat menguapayakan peningkatan kapasitas dan
kesejahteraan hakim. Selain itu , meskipun ada sebagain kewenangan Komisi Yudisial yang
dipangkas, penjabaran terhadap tugas Komisi Yudisial berkenaan pengawasan terhadap perilaku
hakim dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku
Hakim telah dipertegas di dalam undang-undang yang baru. Beberapa tugas Komisi Yudisial
diantaranya meliputi :
a. melakukan pemantauan dan pengawasan terhadap perilaku Hakim;

b. menerima laporan dari masyarakat berkaitan dengan pelanggaran Kode Etik dan/atau
Pedoman Perilaku Hakim;

c. melakukan verifikasi, klarifikasi, dan investigasi terhadap laporan dugaan pelanggaran Kode
Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim secara tertutup;

d. memutuskan benar tidaknya laporan dugaan pelanggaran Kode Etik dan/atau Pedoman
Perilaku Hakim; dan

e. mengambil langkah hukum dan/atau langkah lain terhadap orang perseorangan, kelompok
orang, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan dan keluhuran martabat Hakim.

Berkaitan dengan fungsi pengawasan yang dijalankan Komisi Yudisial terhadap perilaku
hakim, Komisi Yudisial juga dapat meminta bantuan kepada aparat penegak hukum untuk
melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan dalam hal adanya dugaan pelanggaran Kode
Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim oleh hakim. Namun demikian lembaga ini tetap dituntut
untuk bekerja sesuai dengan koridor ketentuan yang ada. Beberapa kewajiban yang harus
dilakukan Komisi Yudisial dalam menjalankan tugasnya diantaranya wajib : (a) menaati
peraturan perundang-undangan; (b) menegakkan Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim;
(c) menjaga kerahasiaan keterangan atau informasi yang diperoleh yang karena sifatnya
merupakan rahasia Komisi Yudisial yang diperoleh berdasarkan kedudukannya sebagai anggota;
dan (d) menjaga kemandirian dan kebebasan Hakim dalam memeriksa, mengadili, dan memutus
perkara.

Melihat beberapa tugas dan kewenangan sebagaimana tersebut di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa yang menjadi objek pengawasan Komisi Yudisial adalah perilaku hakim
yang diduga melanggar Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim. Apapapun yang menjadi
bagian dari tugas hakim, hakim dituntut untuk memperhatikan kode etik profesinya. Bernard Arif
Sidharta mengartikan etika profesi sebagai sikap etis yang menjadi bagian integral dari sikap
hidup dalam menjalani kehidupan sebagai profesi. Hanya pengemban profesi sendiri yang dapat
atau paling mengetahui tentang apakah perilakunya dalam mengemban profesi memenuhi
tuntutan etika profesinya atau tidak. Sejalan dengan pengertian ini, maka profesi hukum dapat
dipahami sebagai profesi yang melalui penguasaan dan penerapan disiplin ilmu hukumnya
dituntut untuk dapat menyelenggarakan dan menegakkan ketertiban yang berkeadilan di dalam
masyarakat.

Keberadaan kode etik ini cukup penting mengingat bahwa norma hukum pada
kenyataannya bukanlah institusi sosial (social institution) segala-galanya, karena di samping
norma hukum ternyata masih diperlukan keberadaan norma yang lain, yaitu baik norma etika-
moral, bahkan norma agama. Kesemuanya itu dibutuhkan dalam rangka mengatur,
mengendalikan, dan mendorong dinamika kehidupan bersama umat manusia. Demikian juga
dengan profesi hakim, keberadaan code of conduct yang mempunyai kekuatan mengikat bagi
para anggotanya sangatlah dibutuhkan. Kode etik dianggap penting bagi profesi hukum, karena
profesi hukum merupakan suatu masyarakat moral (moral community) yang memiliki cita-cita
dan nilai-nilai bersama. Oleha kerana itu isi dari kode etik itu sendiri merupakan kompilasi atau
kumpulan asas, nilai moral atau norma yang diterima oleh komunitas hakim sebagai landasan
tingkah laku. Kode etik menjadi sebuah kompas yang menunjuk arah moral bagi profesional
hukum dan sekaligus menjamin mutu moral profesi hakim di mata masyarakat. Dengan demikian
kode etik profesi hakim merupakan pengaturan diri (self regulation) bagi para hakim dengan
tujuan untuk mencegah terjadinya perilaku tidak etis dan amoral. Pentingnya kode etik bagi
profesi hakim adalah agar nilai-nilai yang terdapat di dalam peraturan perundang-undangan
dapat terinternalisasi pada diri seorang hakim. Nilai-nilai tersebut mencakup beberapa hal
sebagai berikut:

Hakim dalam menjalankan tugasnya harus bebas, tetapi harus menjunjung tinggi keadilan.

Hakim harus menjunjung tinggi nilai-nilai keterbukaan dan menemukan hukum melalui metode
interpretasi.

Hakim harus selalu mempertanggungjawabkan sikap dan tindakannya baik secara vertikal
(kepada Tuhan Yang Maha Esa) maupun secara horisontal (masyarakat).

Hakim harus bersedia menerima keberatan yang diajukan oleh pihak yang diadili apabila
meragukan objektivitas hakim tersebut.

Kode etik tersebut harus benar-benar ditegakkan, mengingat arti penting dari penegakan
kode etik adalah kontrol terhadap pelaksanaan nilai-nilai yang dimuat di dalam kode etik itu
sendiri, sekaligus sebagai upaya menindak terhadap segala bentuk perilaku yang bertentangan
dengan nilai-nilai tersebut. Tujuan dari penegakan ini adalah untuk membuat nilai-nilai luhur
yang telah dipandang tepat bagi profesi tersebut, benar-benar dipatuhi dan diterapkan. Menurut
Soemaryono penegakan kode etik profesi ini merupakan salah satu cara untuk melestarikan nilai-
nilai luhur profesi hukum, sehingga profesi mulia ini dalam pelaksanaannya tidak akan
mengalami degradasi moral dan bahkan apabila diperlukan memperoleh peningkatan kualitas
kemuliaan dari profesi tersebut. Hal inilah yang menyebabkan kode etik profesi ini senantiasa
harus dievaluasi dan terus diadakan perubahan perubahan dari waktu ke waktu.

Di dalam pembukaan Pedoman Perilaku Hakim juga ditegaskan bahwa keadilan


merupakan kebutuhan pokok rohaniah setiap orang dan merupakan perekat hubungan sosial
dalam bernegara. Pengadilan merupakan tiang utama dalam penegakan hukum dan keadilan serta
dalam proses pembangunan peradaban bangsa. Tegaknya hukum dan keadilan serta
penghormatan terhadap keluhuran nilai kemanusiaan menjadi prasyarat tegaknya martabat dan
integritas Negara. Hakim sebagai figur sentral dalam proses peradilan senantiasa dituntut untuk
mengasah kepekaan nurani, memelihara kecerdasan moral dan meningkatkan profesionalisme
dalam menegakkan hukum dan keadilan bagi masyarakat banyak. Putusan Pengadilan yang adil
menjadi puncak kearifan bagi penyelesaian pemasalahan hukum yang terjadi dalam kehidupan
bernegara. Putusan Pengadilan yang diucapkan dengan irah-irah Demi Keadilan Berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa menunjukkan bahwa kewajiban menegakkan keadilan disamping
dipertanggungjawabkan secara horizontal kepada sesama manusia juga secara vertikal kepada
Tuhan Yang Maha Esa.
Pedoman Perilaku Hakim ini merupakan panduan keutamaan moral bagi hakim, baik
dalam menjalankan tugas profesinya maupun dalam melakukan hubungan kemasyarakatan di
luar kedinasan. Hakim sebagai insan yang memiliki kewajiban moral untuk berinteraksi dengan
komunitas sosialnya terikat dengan norma-norma etika dan adaptasi kebiasaan yang berlaku
dalam tata pergaulan masyarakat. Berdasarkan Pedoman Perilaku Hakim, hakim dituntut untuk
berpedoman pada kode etik sebagai berikut : berperilaku adil, berperilaku jujur, berperilaku arif
dan bijaksana, bersikap mandiri, berintegritas tinggi, bertanggung jawab, menjunjung tinggi
harga diri, berdisiplin tinggi, berperilaku rendah hati, dan bersikap profesional.

Sebagaimana penulis kemukakan di atas bahwa kehadiran Komisi Yudisial kini telah
menjadi ruang artikulasi dan akomodasi kepentingan masyarakat sipil untuk dapat menyalurkan
aspirasi dan memberikan informasi penting seputar isu penegakan hukum di Indonesia. Oleh
karena itu sebagai lembaga yang menjadi bagian dari fungsi kontrol terhadap proses penegakan
hukum, peran dan partispasi masyarakat juga menjadi hal penting dalam rangka membantu tugas
Komisi Yudisial. Di dalam pasal 22 ayat (1) ditegaskan bahwa Komisi Yudisial dapat menerima
laporan dari masyarakat atau informasi tentang dugaan adanya pelanggaran kode etik maupun
pedoman perilaku hakim. Peran serta masyarakat ini dapat dilakukan dengan membantu
melakukan pengawasan terhadap cara dan hasil kinerja hakim dalam menjalankan tugasnya. Jika
didapatkan laporan dari masyarakat tentang adanya dugaan pelanggaran, maka Komisi Yudisial
dapat meminta keterangan atau data kepada Badan Peradilan dan/atau Hakim, dan atas dasar
permintaan tersebut, maka pimpinan Badan Peradilan dan/atau Hakim wajib memberikan
keterangan atau data yang diminta oleh Komisi Yudisial dalam jangka waktu 14 (empat belas)
hari terhitung sejak tanggal permintaan Komisi Yudisial diterima.

Ada dua bentuk pengawasan yang dilakukan Komisi Yudisial diantaranya : bentuk
pengawasan yang bersifat preventif dan bentuk pengawasan yang bersifat represif. Pengawasan
yang bersifat preventif diantaranya : (a) melakukan kegiatan pemantauan persidangan, advokasi
dan sosialisasi baik yang dilakukan secara langsung oleh Komisi Yudisial maupun melalui
jejaring dan/atau koordinasi pemantau peradilan; (b) menganalisis putusan pengadilan yang telah
memperolah kekuatan hukum tetap sebagai dasar rekomendasi untuk melakukan mutasi hakim;
(c) meminta laporan secara berkala dari badan peradilan berkaitan dengan perilaku hakim; (d)
melakukan kegiatan lain yang diperlukan.

Sementara bentuk pengawasan Komisi Yudisial terhadap hakim yang bersifat represif
diantaranya :

Menerima dan menindaklanjuti laporan, informasi dan/atau temuan tentang dugaan pelanggaran
kode etik;

Meminta keterangan atau data kepada badan peradilan, pelapor, terlapor, dan/atau pihak lain
terkait dengan laporan, informasi, dan/atau temuan;

Meminta klarifikasi tertulis kepada terlapor, saksi ahli, dan/atau pihak lain terkait dengan
laporan, informasi, dan/atau temuan;
Memanggil dan meminta keterangan dari pelapor, terlapor, saksi, ahli, dan/atau pihak lain terkait
dengan laporan, informasi, dan/atau temuan untuk kepentingan pemeriksaan;

Melakukan investigasi terkait laporan, informasi, dan/atau temuan;

Menerima audiensi terkait laporan, informasi, dan/atau temuan;

Memeriksa dan memutus dugaan pelanggaran atas Kode Etik;

Menetapkan keputusan berdasarkan hasil pemeriksaan sebagaimana yang dimaksud huruf g;

Menjatuhkan sanksi terhadap hakim yang terbukti melanggar Kode Etik;

Memberitahukan sanksi sebagaimana dimaksud pada huruf i kepada Mahkamah Agung;

Melakukan kegiatan lain yang diperlukan.

Dalam rangka melaksanakan kegiatan tersebut diatas, maka Komisi Yudisial : (a)
memberikan pelayanan kepada masyarakat terkait dengan laporannya; (b) melakukan koordinasi
dengan Mahkamah Agung selaku pengawas internal atas tingkah laku hakim, dan (c)
melaksanakan sidang Majelis Kehormatan Hakim bersama-sama dengan Mahkamah Agung.

Prosedur Pengaduan dan Pengambilan Putusan

Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang ada maka dapat disimpulkan bahwa


sistem pengawasan terhadap hakim terdiri dari dua jalur, yaitu melalui Mahkamah Agung dan
Komisi Yudisial. Meskipun kedua lembaga tersebut sama-sama melakukan tugasnya dalam hal
melakukan pengawasan terhadap hakim, namun keduanya memiliki fokus pengawasan yang
berbeda. Kewenangan Mahkamah Agung lebih cenderung bersifat pengawasan internal dan
teknis baik menyangkut administrasi, finansial, maupun teknis yuridis, sedangkan Komisi
Yudisial memiliki kewenangan mengawasi perilaku hakim. Objek pengawasan yang dilakukan
oleh Komisi Yudisial adalah perilaku hakim yang diduga melanggar kode etik, jadi bukan
putusan yang diakibatkan oleh adanya penyimpangan perilaku tersebut. Hal tersebut didasarkan
pada bahwa putusan hakim bukan merupakan perilaku hakim melainkan berkaitan dengan
kapasitas kemampuan hukum dari seorang hakim dalam memutuskan perkara.Terhadap putusan
hakim tersebut, undang-undang dalam hal ini KUHAP, telah menentukan bahwa terhadap
putusan pengadilan dapat diajukan upaya hukum baik banding, kasasi maupun peninjauan
kembali (PK). Namun demikian jika suatu putusan yang diputuskan disebabkan atau dipengaruhi
oleh adanya perilaku amoral hakim, maka Komisi Yudisial dapat memanggil hakim, baik
berdasarkan laporan masyarakat maupun bukti-bukti yang dimiliki Komisi Yudisial.

Dalam rentang waktu enam tahun (2005-2011) pengaduan masyarakat yang masuk ke Komisi
Yudisial sebanyak 13 ribu lebih laporan, namun karena alasan banyak yang tidak memenuhi
syarat, Komisi Yudisial hanya meregistrasi sebanyak 3.179 laporan. Dari 3.179 laporan yang
diregistrasi, hanya 273 laporan yang ditindaklanjuti oleh KY dan sebanyak 477 hakim dipanggil
untuk dimintai klarifikasi. Hasilnya, sebanyak 134 hakim direkomendasikan untuk mendapat
sanksi karena melanggar kode etik dan pedoman perilaku hakim, dan 18 hakim di antaranya
direkomendasikan untuk diberhentikan tetap atau dipecat karena terbukti melanggar kode etik
dan perilaku hakim, serta pelanggaran yang tergolong berat, sedangkan sisanya
direkomendasikan untuk mendapatkan teguran tertulis. Meningkatnya jumlah laporan dari
masyarakat tentang dugaan atas pelanggaran perilaku hakim menjadi buktik akan adanya
dukungan secara sosiologis terhadap eksistensi Komisi Yudisial. Di tengah carut marutnya
proses penegakan hukum Indonesia dengan beragam modus mafia hukumnya, ternyata
masyarakat masih memiliki harapan untuk mendukung proses pembaharuan peradilan di
Indonesia. Beberapa tahap dan tata cara pengaduan tentang adanya dugaan pelanggaran
kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim diantaranya sebagai berikut :

a. Tahap Pembuatan Laporan Pengaduan

Laporan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia oleh pelapor atau kuasanya dalam
rangkap (8) delapan, yang memuat : Identitas pelapor yang lengkap (fotokopi KTP); Identitas
terlapor ; Uraian mengenai hal yang menjadi dasar laporan; Alasan laporan yang diuraikan
secara jelas dan rinci beserta alat bukti; Hal-hal yang dimohonkan untuk diperiksa dalam laporan
tersebut; Laporan ditandatangani oleh pelapor atau kuasanya.

Selain dalam bentuk tertulis dapat juga diajukan dalam format digital seperti disket, CD
(compact disc) atau yang serupa dengan itu;

Laporan dapat disampaikan secara langsung maupun melalui pos dan email kepada Sekretariat
Jenderal Komisi Yudisial dengan disertai data-data pendukung lainnya. Adapun alamat yang
dituju adalah Komisi Yudisial Republik Indonesia, Jln. Kramat Raya No. 57 Jakarta Pusat, Telp.
(021) 3905876, Fax (021) 3906215 ; PO BOX 2685, Email :kyri@komisiyudisial.go.id

Setelah laporan tersebut masuk ke Sekretariat Jenderal Komisi Yudisial, maka akan dilakukan
proses selanjutnya berupa pemeriksaan terhadap kelengkapan berkas laporan pengaduan :

b. Tahap Registrasi Laporan Pengaduan

Sekretariat Jenderal akan memeriksa seluruh kelengkapan yang mendukung laporan;

Sekretariat Jenderal menerbitkan surat registrasi laporan masyarakat dan meneruskan laporan
tersebut kepada anggota Komisi Yudisial untuk menetapkan dapat atau tidaknya laporan itu
ditindaklanjuti;

Setiap temuan fakta-fakta dimusyawarahkan dalam rapat pleno untuk diambil putusan;

Apabila rapat pleno memutuskan bahwa temuan tersebut tidak memiliki dasar hukum maka
temuan tidak ditindaklanjuti, sedangkan jika memiliki dasar hukum, maka berkas temuan akan
diserahkan kepada Sekretariat Jenderal untuk dibuatkan surat registrasi laporan dan dicatat dalam
buku registrasi laporan masyarakat. untuk mendapatkan nomor registrasi.

Apabila laporan yang telah dicatat dalam buku registrasi laporan masyarakat ditarik kembali oleh
pelapor, maka Sekretaris Jenderal menerbitkan surat pembatalan registrasi laporan yang telah
diajukan pelapor dan diberitahukan kepada pelapor disertai dengan pengembalian berkas
laporan;
c. Tahap Panggilan Pemeriksaan dan Pelaksanaan Pemeriksaan

Sekretaris Jenderal segera menyampaikan berkas laporan dan/atau temuan yang dapat
ditindaklanjuti kepada pimpinan, kemudian pimpinan menetapkan susunan pemeriksanya;

Pemeriksa menetapkan hari pemeriksaan setelah laporan dan/atau temuan dicatat dalam buku
registrasi pengaduan masyarakat;

Penetapan hari pemeriksaan diberitahukan kepada pelapor dan terlapor serta diumumkan kepada
masyarakat dengan menempelkan pada papan pengumuman yang khusus dibuat untuk itu, dalam
situs Komisi Yudisial, serta disampaikan kepada media massa;

Pemberitahuan tersebut harus sudah diterima oleh pelapor atau kuasanya dan/atau terlapor atau
kuasanya, paling lambat tiga hari sebelum pemeriksaan dilakukan

Pemeriksaan dilakukan secara tertutup untuk umum oleh pemeriksa. Adapun pemeriksaan yang
dilakukan berupa:

Pemeriksaan laporan dan/atau temuan tentang dugaan pelanggaran kehormatan, keluhuran


martabat serta perilaku hakim

Pemeriksaan alat-alat bukti tertulis

Mendengarkan keterangan pelapor dan terlapor

Mendengarkan keterangan saksi

Mendengarkan keterangan ahli

Pemeriksaan rangkaian data, perbuatan, keadaan dan/atau peritiwa yang bersesuaian dengan alat-
alat bukti lain yang dapat dijadikan petunjuk

Pemeriksaan alat-alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima
atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau serupa dengan itu

Hasil pemeriksaan dituangkan dalam Berita Acara Pemeriksaan (bersifat rahasia) yang
ditandatangani oleh pemeriksa dan yang diperiksa pada saat itu juga dan dilaporkan dalam rapat
pleno

Tindasan (surat tembusan) Berita Acara Pemeriksaan diserahkan kepada yang diperiksa dan
Berita Acara Pemeriksaan tersebut bersifat rahasia;

d. Tahap Pengambilam Putusan

Pengambilan Putusan dilakukan melalui rapat pleno secara tertutup dan bersifat rahasia yang
dipimpin oleh Ketua Komisi Yudisial. Adapun kuorum rapat pleno untuk mengambil putusan
sekurang-kurangnya dihadiri oleh 5 (lima) orang anggota Komisi Yudisial

Pengambilan putusan dilakukan secara musyawarah mufakat dan bila tidak tercapai pengambilan
putusan maka dilakukan dengan suara terbanyak
Apabila hasil putusan memutuskan laporan ditindaklanjuti, maka putusan disampaikan kepada
pimpinan Mahkamah Agung dalam bentuk Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) yang isinya
berupa rekomendasi mengenai jenis dan kualitas pelanggaran dan sanksi yang dikenakan, dengan
tembusannya kepada Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat, demikian sebaliknya jika tidak
ditindak lanjuti maka Sekretaris Jenderal memberitahukan kepada pelapor.

Apabila putusan rapat pleno menyatakan terlapor tidak bersalah melanggar kehormatan,
keluhuran martabat serta perilaku hakim, maka Komisi Yudisial wajib memulihkan nama
baiknya melalui media massa

Akan tetapi jika putusan rapat pleno menyatakan terlapor terbukti bersalah maka Komisi
Yudisial dapat memberikan usulan/rekomendasi sanksi kepada ketua Mahkamah Agung dan
ketua Mahkamah Konstitusi, berupa :

Teguran tertulis;

Pemberhentian sementara;

Pemberhentian.

Penjatuhan sanksi terhadap hakim yang melakukan pelanggaran kode etik dan/atau Pedoman
Perilaku Hakim sebagaimana diusulkan Komisi Yudisial dalam waktu paling lama 60 hari
terhitung sejak tanggal usulan diterima.

Apabila rekomendasi Komisi Yudisial berupa pemberhentian sementara atau pemberhentian,


maka hakim yang diduga melakukan pelanggaran tersebut dapat melakukan pembelaan di muka
majelis kehormatan hakim (Majelis Kehormatan Hakim terdiri dari 3 (tiga) orang Hakim Agung;
dan 4 (empat) orang anggota Komisi Yudisial)

Mahkamah Agung wajib melaksanakan keputusan Majelis Kehormatan Hakim dalam waktu
paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal diucapkan keputusan Majelis
Kehormatan Hakim.
B. Mekanisme Penegakan Kode Etik Notaris

sesuai Pasal 67 ayat (1) UU No.30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (UUJN), pihak
yang berwenang untuk mengawasi tugas Notaris adalah Menteri, yakni Menteri Hukum dan
HAM. Untuk melaksanakan lebih lanjut pengawasan Notaris, Menteri membentuk Majelis
Pengawas yang terdiri dari unsur pemerintah, organisasi notaris, dan ahli/akademisi (Pasal 67
ayat (2) dan (3) UUJN).

Sesuai Pasal 68 UUJN Majelis Pengawas Notaris terdiri dari Majelis Pengawas Daerah, Majelis
Pengawas Wilayah, dan Majelis Pengawas Pusat. Majelis Pengawas Daerah merupakan
pengawas Notaris pada tingkat pemeriksaan pertama, sehingga pihak yang dirugikan oleh
Notaris melapor kepada Majelis Pengawas Daerah yang berkedudukan di Kabupaten atau Kota
(Pasal 69 ayat [1] UUJN).

Kewenangan Majelis Pengawas Daerah disebutkan dalam Pasal 70 UUJN antara lain adalah:

- menyelenggarakan sidang untuk memeriksa adanya dugaan pelanggaran Kode Etik


Notaris atau pelanggaran pelaksanaan jabatan Notaris; serta

- menerima laporan dari masyarakat mengenai adanya dugaan pelanggaran Kode Etik
Notaris atau pelanggaran ketentuan dalam Undang-Undang.

Menurut Winanto Wiryomartani, S.H., M.H., notaris senior yang juga anggota Majelis
Pengawas Pusat Notaris, notaris adalah pejabat umum untuk melayani masyarakat. Jadi, dalam
rangka pembuatan akta otentik oleh notaris, masyarakat wajib dilindungi. Untuk itulah makanya
diciptakan majelis pengawas yang fungsinya melindungi masyarakat jika terjadi "malpraktek"
oleh notaris. Pengawasan ini tujuannya adalah pencegahan terhadap terjadinya pelanggaran yang
merugikan masyarakat (sebagaimana dikutip dari artikel berjudul "Sudah Pindah, Tapi Masih
Pasang Papan Nama" (sumber: Media Notaris, 21 Mei 2012).

Jika seorang notaris yang diawasi terus-menerus melakukan pelanggaran maka dilakukan
penindakan. Untuk ini notaris yang bersangkutan dikenakan sanksi sesuai peraturan yang berlaku
dengan melihat pelanggaran yang dilakukannya. UUJN menyebutkan bahwa sanksi yang paling
ringan adalah teguran lisan. Sanksi kedua adalah teguran tertulis, dan yang ketiga, sanksinya
adalah pemberhentian sementara maksimal 6 bulan. Sanksi yang terakhir adalah pemecatan
terhadap jabatannya baik dengan hormat atau tidak hormat (Pasal 85 UUJN).

Selain itu, para notaris di Indonesia juga berhimpun dalam satu wadah organisasi profesi, yakni
Ikatan Notaris Indonesia (INI) yang juga memiliki kode etik, yaitu Kode Etik Notaris. Sehingga,
selain tunduk pada UUJN, para notaris juga tunduk pada Kode Etik Notaris yang dikeluarkan
oleh INI.

Dalam penegakan kode etik notaris, ada dewan kehormatan yang antara lain tugasnya adalah:

- melakukan pengawasan dalam menjunjung tinggi kode etik;


- memeriksa dan mengambil keputusan atas dugaan pelanggaran ketentuan kode etik yang
bersifat internal atau yang tidak mempunyai kaitan dengan kepentingan masyarakat secara
langsung; serta

- memberikan saran dan pendapat kepada Majelis Pengawas atas dugaan pelanggaran Kode
Etik dan Jabatan Notaris.

Masih dari situs media notaris disebutkan contoh pelanggaran-pelanggaran kode etik
yang ditangani Dewan Kehormatan antara lain adalah jika oknum notaris mengiklankan diri atau
menggunakan birojasa untuk menjaring klien-kliennya. Termasuk juga menjelek-jelekkan teman
seprofesi tentang pekerjaan notaris lain. Antara Dewan Kehormatan dan Majelis Pengawas
masing-masing berhak melakukan pemeriksaan sendiri-sendiri jika ada oknum notaris yang
melakukan pelanggaran.

Ketentuan lebih jauh mengenai pemeriksaan dan penjatuhan sanksi pada tingkat pertama
oleh Dewan Kehormatan bisa dilihat pada Pasal 9 Kode Etik Notaris:

1. Apabila ada anggota yang diduga melakukan pelanggaran terhadap Kode Etik, baik dugaan
tersebut berasal dari pengetahuan Dewan Kehormatan Daerah sendiri maupun karena laporan
dari Pengurus Daerah ataupun pihak lain kepada Dewan Kehormatan Daerah, maka selambat-
lambatnya dalam waktu 7 hari kerja Dewan Kehormatan Daerah wajib segera mengambil
tindakan dengan mengadakan sidang Dewan kehormatan Daerah untuk membicarakan dugaan
terhadap pelanggaran tersebut.

2. Apabila menurut hasil sidang Dewan Kehormatan Daerah sebagaimana yang tercantum
dalam ayat (1), ternyata ada dugaan kuat terhadap pelanggaran Kode Etik, maka dalam waktu 7
hari kerja setelah tanggal sidang tersebut, Dewan Kehormatan Daerah berkewajiban memanggil
anggota yang diduga melanggar tersebut dengan surat tercatat atau dengan ekspedisi, untuk
didengar keterangannya dan diberi kesempatan untuk membela diri.

3. Dewan Kehormatan Daerah baru akan menentukan putusannya mengenai terbukti atau
tidaknya pelanggaran kode etik serta penjatuhan sanksi terhadap pelanggarnya (apabila terbukti),
setelah mendengar keterangan dan pembelaan diri dari anggota yang bersangkutandalam sidang
Dewan Kehormatan Daerah yang diadakan untuk keperluan itu, dengan perkecualian
sebagaimana yang diatur dalam ayat (6) dan ayat (7) pasal ini.

4. Penentuan putusan tersebut dalam ayat (3) diatas dapat dilakukan oleh Dewan Kehormatan
Daerah, baik dalam sidang itu mapan dalam sidang lainnya, sepanjang penentuan keputusan
melanggar atau tidak melanggar tersebut, dilakukan selambat-lambatnya dalam waktu 15
harikerja, setelah tanggal sidang Dewan Kehormatan Daerah dimana Notaris tersebut telah
didengar keterangan dan/atau pembelaannya.

5. Bila dalam putusan sidang Dewan Kehormatan Daerah dinyatakan terbukti ada
pelanggaran terhadap Kode Etik, maka sidang sekaligus menentukan sanksi terhadap
pelanggarnya.
6. Dalam hal anggota yang dipanggil tidak datang atau tidak memberi kabar apapun dalam
waktu 7 hari kerja setelah dipanggil, maka Dewan Kehormatan Daerah akan mengulangi
panggilannya sebanyak 2 kali dengan jarak waktu 7 hari kerja, untuk setiap panggilan.

7. Dalam waktu 7 hari kerja, setelah panggilan ke tiga ternyata masih juga tidak datang atau
tidak memberi kabar dengan alasan apapun, maka Dewan Kehormatan Daerah akan tetap
bersidang untuk membicarakan pelanggaran yang diduga dilakukan oleh anggota yang dipanggil
itu dan menentukan putusannya, selanjutnya secara mutatis mutandis berlaku ketentuan dalam
ayat (5) dan ayat (6) diatas serta ayat (9).

8. Terhadap sanksi pemberhentian sementara (schorsing) atau pemecatan (onzetting) dari


keanggotaan Perkumpulan diputuskan, Dewan Kehormatan Daerah wajib berkonsultasi terlebih
dahulu dengan Pengurus Daerahnya.

9. Putusan sidang Dewan Kehormatan Daerah wajib dikirim oleh Dewan Kehormatan Daerah
kepada anggota yang melanggar dengan surat tercatat atau dengan ekspedisi dan tembusannya
kepada Pengurus Cabang, Pengurus Daerah, Pengurus Pusat dan Dewan Kehormatan Pusat,
semuanya itu dalam waktu 7 hari kerja, setelah dijatuhkan putusan oleh sidang Dewan
Kehormatan Daerah.

10. Apabila pada tingkat kepengurusan Daerah belum dibentuk Dewan Kehormatan Daerah,
maka Dewan Kehormatan Wilayah berkewajiban dan mempunyai wewenang untuk menjalankan
kewajiban serta kewenangan Dewan Kehormatan Daerah dalam rangka penegakan Kode Etik
atau melimpahkan tugas kewajiban dan kewenangan Dewan Kehormatan Daerah kepada
kewenangan Dewan Kehormatan Daerah terdekat dan tempat kedudukan atau tempat tinggal
anggota yang melanggar Kode Etik tersebut. Hal tersebut berlaku pula apabila Dewan
Kehormatan Daerah tidak sanggup menyelesaikan atau memutuskan permasalahan yang
dihadapinya.

Berdasarkan Pasal 6 Kode Etik Notaris, sanksi yang dapat dijatuhkan terhadap Notaris
yang melakukan pelanggaran Kode Etik dapat berupa: teguran, peringatan, schorsing (pemecatan
sementara) dari keanggotan Perkumpulan, onzetting (pemecatan) dari keanggotaan Perkumpulan,
pemberhentian dengan tidak hormat dari keanggotaan Perkumpulan.

Jadi, pada intinya apabila ada pihak yang dirugikan oleh notaris, pihak tersebut cukup
melaporkan kepada Majelis Pengawas Daerah atau Dewan Kehormatan Daerah jika kerugian itu
timbul karena adanya pelanggaran dalam jabatan notaris atau pelanggaran kode etik. Atau,
dilaporkan ke polisi jika perbuatan notaris tersebut sudah di luar jabatannya seperti diuraikan
sebelumnya.
C. Mekanisme Penegakan Kode Etik Advokad

Sebagai bagian dari implementasi penegakan kode etik bagi Advokat, PERADI sebagai
organisasi profesi advokat Indonesia yang memeriksa dan mengadili pelanggaran kode etik
advokat, mengatur pedoman yang digunakan dalam mengadili seorang advokat, selain dari hal-
hal yang telah diatur dalam Kode Etik Advokat Indonesia, sebagaimana dinyatakan dalam Surat
Keputusan Dewan Kehormatan Pusat PERADI Nomor 2 tahun 2007 tentang Tata Cara
Memeriksa dan Mengadili Pelanggaran Kode Etik Advokat Indonesia maupun Surat Keputusan
Dewan Kehormatan Pusat PERADI Nomor 3 tahun 2007 tentang Petunjuk Pelaksanaan
Penanganan Perkara Pengaduan Dewan Kehormatan Pusat dan Daerah, yang keduanya
ditetapkan pada tanggal 5 Desember 2007. Beberapa bagian penting dari Keputusan tersebut
diringkas di bawah ini.

Legal standing Pengadu. Kode Etik Advokat Indonesia (KEAI) menetapkan pada Pasal 11
ayat (1) bahwa pengaduan dapat diajukan oleh pihak-pihak yang berkepentingan dan merasa
dirugikan. Pasal ini dijabarkan lebih rinci oleh Pasal 2 ayat (1) Keputusan Dewan Kehormatan
Pusat PERADI No. 2 tahun 2007 bahwa yang dapat mengajukan pengaduan adalah: a) Klien;

Teman sejawat; c) Pejabat Pemerintah; d) Anggota Masyarakat; e) Komisi Pengawas; f) Dewan


Pimpinan Nasional PERADI; g) Dewan Pimpinan Daerah PERADI di lingkungan mana berada
Dewan Pimpinan Cabang dimana Teradu terdaftar sebagai anggota; h) Dewan Pimpinan Cabang
PERADI dimana Teradu terdaftar sebagai anggota (vide, Pasal 2 ayat 1).

Dalam hal yang menyangkut kepentingan hukum dan kepentingan umum serta hal lain yang
dipersamakan untuk itu, Dewan Pimpinan Nasional /Daerah/Cabang PERADI dapat juga
bertindak sebagai Pengadu. (vide, Pasal 2 ayat (2))

Kalau melihat cakupannya yang begitu luas dengan memasukkan Anggota Masyarakat sebagai
pihak yang berhak mengadu, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa pada prinsipnya setiap orang
yang berkepentingan dan merasa dirugikan atas pelanggaran kode etik oleh seorang advokat
boleh mengajukan pengaduan kepada PERADI.

Susunan Majelis Kehormatan Daerah. Majelis Kehormatan Daerah yang akan memeriksa
perkara terdiri dari 5 (lima) orang anggota, diantaranya 3 (tiga) orang berasal dari unsur advokat
yang menjadi anggota Dewan Kehormatan Daerah, 2 (dua) orang lagi dari unsur non-advokat,
yang terdiri dari 1 (satu) orang ahli di bidang hukum dan 1 (satu) orang tokoh masyarakat. Yang
menjadi Ketua Majelis harus dari unsur advokat
Tahap Pengaduan. Pengaduan harus disampaikan secara tertulis dan jelas mengenai identitas
para pihak, hal yang diadukan dan alasannya, tuntutan yang dimohonkan serta bukti-bukti yang
dianggap perlu.

Pengaduan ditujukan kepada:

a) Dewan Kehormatan Daerah yang wilayahnya mencakup Dewan Pimpinan Daerah/Cabang;


dan/atau
b) Dewan Pimpinan Daerah/Cabang dimana Teradu terdaftar sebagai anggota; dan/atau
c) Dewan Pimpinan Nasional.

Selanjutnya, berkas pengaduan dibuat dalam 7 (tujuh) rangkap dan didaftarkan pada bagian
registrasi dan membayar biaya pengaduan. Dalam waktu 7 (tujuh) hari setelah menerima
pengaduan, Dewan Kehormatan Daerah sudah harus selesai memeriksa dan menyatakan lengkap
atau tidak lengkapnya berkas pengaduan. Dalam hal berkas dinyatakan lengkap, maka dalam 7
(tujuh) hari kerja Dewan Kehormatan Daerah harus membentuk Majelis Kehormatan Daerah
yang akan memeriksa dan memutus pengaduan tersebut. Majelis ini dapat mengadakan
pemeriksaan pendahuluan atas berkas pengaduan dan apabila dianggap perlu maka Pengadu akan
diberi kesempatan untuk memperbaiki surat pengaduannya.

Selanjutnya, Majelis Kehormatan Daerah menyampaikan surat pemberitahuan kepada Teradu


dengan melampirkan 1 (satu) rangkap berkas pengaduan paling lambat 14 (empat belas) hari
kerja sejak surat pengaduan dinyatakan lengkap. Setelah menerima surat pemberitahuan, dalam
waktu 21 (dua puluh satu) hari kerja Teradu harus memberikan jawabannya secara tertulis
kepada Majelis Kehormatan Daerah. Apabila jangka waktu tersebut sudah lewat dan Teradu
tidak memberikan jawaban, maka dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja Majelis Kehormatan
Daerah sudah harus mengirim surat pemberitahuan kedua dengan peringatan bahwa apabila
dalam waktu 14 (empat belas) hari kerja sejak surat pemberitahuan kedua tersebut diterima
Teradu tetap tidak memberikan jawaban secara tertulis, maka ia dianggap telah melepaskan hak
jawabnya. Dengan demikian, Majelis Kehormatan Daerah dapat segera memeriksa pengaduan
dan menjatuhkan putusan tanpa kehadiran.
Tahap Persidangan. Dalam hal Teradu telah memberikan jawaban atas pengaduan tersebut, maka
dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari kerja sejak jawaban diterima, Majelis sudah harus
menetapkan hari sidang pertama dan menyampaikan panggilan kepada Pengadu dan Teradu.
Panggilan ini harus diterima oleh Pengadu dan Teradu paling lambat 3 (tiga) hari kerja sebelum
hari sidang.

Di sisi lain, Pengadu sendiri dapat mencabut pengaduannya sebelum sidang pertama dimulai.
Namun demikian, apabila sidang pertama sudah berjalan, pencabutan hanya dapat dilakukan
dengan persetujuan dari Teradu.

Pengadu dan Teradu sendiri harus hadir secara pribadi di persidangan. Apabila Pengadu
berhalangan hadir karena suatu alasan yang sah, ia dapat diwakili oleh keluarganya bila
pengaduannya berkaitan dengan kepentingan pribadi/keluarga, atau oleh pengurus/pemimpin bila
terkait dengan kepentingan badan hukum. Pengadu dan Teradu dapat didampingi Penasihat dan
masing-masing pihak berhak mengajukan saksi-saksi dan bukti-bukti.

Apabila Pengadu tidak hadir tanpa alasan yang sah pada sidang pertama walaupun sudah
dipanggil secara patut, maka Majelis Kehormatan Daerah akan memanggil Pengadu untuk kedua
kali dan apabila Pengadu tetap tidak hadir maka pengaduannya dinyatakan gugur.

Pada sidang kedua, dilakukan pemeriksaan bukti-bukti, saksi atau ahli. Pada tahap ini, Majelis
Kehormatan Daerah berwenang menetapkan keabsahan alat bukti yang diajukan selama
persidangan tersebut. Selanjutnya, pada sidang ketiga, Majelis Kehormatan Daerah akan
memberikan kesempatan kepada masing-masing pihak untuk mengajukan Kesimpulan. Pada
sidang yang ketiga ini, Pengadu maupun Teradu tidak perlu hadir secara pribadi.

Baik sidang pertama, kedua maupun ketiga sebagaimana diuraikan di atas diadakan secara
tertutup. Namun demikan, sidang terakhir dengan agenda pembacaan putusan bersifat terbuka
dimana pembacaan putusan Majelis Kehormatan Daerah tersebut dapat dilakukan tanpa
kehadiran para pihak yang bersangkutan setelah sebelumnya diberitahu tentang hari, tanggal dan
waktu persidangan tersebut.

Berdasarkan Pasal II Butir 4.7 Surat Keputusan Dewan Kehormatan Pusat PERADI Nomor 3
tahun 2007 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penanganan Perkara Pengaduan Dewan Kehormatan
Pusat dan Daerah, Majelis Kehormatan Daerah menyelesaikan pemeriksaan perkara selambat-
lambatnya dalam jangka waktu 120 (seratus dua puluh) hari kerja sejak dibentuknya Majelis
Kehormatan, kecuali dalam kondisi tertentu diperlukan waktu lebih lama dari 120 (seratus dua
puluh) hari kerja, maka harus dibuatkan laporan untuk dimintakan persetujuan Ketua Dewan
Kehormatan Daerah.
Putusan Tingkat Pertama. Putusan Majelis Majelis Kehormatan Daerah diambil secara mufakat
namun apabila tidak tercapai mufakat maka Putusan diambil berdasarkan suara terbanyak.
Anggota Majelis yang kalah dalam pemungutan suara dapat membuat dissenting opinion yang
dimuat di dalam Putusan.

a) Majelis Majelis Kehormatan Daerah dapat mengambil Putusan berupa:


b) Menyatakan pengaduan dari Pengadu tidak dapat diterima;
c) Menolak pengaduan dari Pengadu;
d) Menerima pengaduan dari Pengadu dan mengadili serta menjatuhkan sanksi kepada Teradu.
Sementara itu, sanksi yang diberikan dalam Putusan Majelis Kehormatan Daerah dapat
berupa:
1. Teguran lisan sebagai peringatan biasa;
2. Teguran tertulis sebagai peringatan keras;
3. Pemberhentian sementara dari profesi selama 3 (tiga) sampai 12 (dua belas) bulan;
4. Pemberhentian tetap dari profesinya dan pemecatan dari keanggotaan organisasi profesi.

Putusan Dewan Kehormatan Daerah akan disampaikan kepada Dewan Kehormatan Nasional
PERADI untuk dieksekusi, kecuali Pengadu dan/atau Teradu mengajukan banding.

Pemeriksaan Tingkat Banding. Pengadu dan/atau Teradu yang keberatan dengan Putusan tingkat
pertama dapat mengajukan banding dalam waktu 21 (dua puluh satu) hari kerja sejak tanggal
menerima salinan Putusan. Upaya banding dilakukan dengan menyampaikan Permohonan
Banding disertai Memori Banding melalui Dewan Kehormatan Daerah yang akan meneruskan
berkas tersebut kepada Dewan Kehormatan Pusat dalam waktu 14 (empat belas) hari kerja.

Selanjutnya, Dewan Kehormatan Daerah harus mengirimkan salinan Memori Banding kepada
Terbanding paling lambat 14 (empat belas) hari kerja sejak menerima Memori Banding. Atas
Memori Banding tersebut, Terbanding dapat mengajukan Kontra Memori Banding dalam 21
(dua puluh satu) hari kerja sejak ia menerima Memori Banding. Bila ia tidak menyampaikan
Kontra Memori Banding dalam jangka waktu tersebut, maka ia dianggap telah melepaskan
haknya untuk itu.

Dewan Kehormatan Pusat kemudian harus membentuk Majelis Kehormatan Pusat dalam waktu
7 (tujuh) hari kerja setelah menerima berkas permohonan Banding. Majelis terdiri dari 5 (lima)
orang anggota, 3 (tiga) orang dari unsur Dewan Kehormatan, 2 (dua) orang dari unsur non-
advokat. Dalam hal tertentu Majelis Kehormatan Pusat dapat terdiri lebih dari 5 (lima) orang.

Berdasarkan Pasal IV Butir 4 Surat Keputusan Dewan Kehormatan Pusat PERADI Nomor 3
tahun 2007 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penanganan Perkara Pengaduan Dewan Kehormatan
Pusat dan Daerah, Majelis Kehormatan Pusat menyelesaikan pemeriksaan banding selambat-
lambatnya dalam jangka waktu 45 (empat puluh lima) hari, sejak dibentuknya Majelis
Kehormatan Pusat, kecuali dalam kondisi tertentu diperlukan waktu lebih lama, termasuk karena
penambahan bahan dan pemanggilan para pihak, maka untuk hal tersebut harus dibuatkan
laporan untuk dimintakan persetujuan Ketua Dewan Kehormatan Pusat.
Putusan Tingkat Banding. Majelis Kehormatan Pusat sendiri dapat mengeluarkan Putusan
Tingkat Banding berupa:

1) Menguatkan putusan Dewan Kehormatan Daerah;


2) Mengubah atau memperbaiki putusan Dewan Kehormatan Daerah; atau
3) Membatalkan putusan Dewan Kehormatan Daerah denga mengadili sendiri.

Putusan Majelis Kehormatan Pusat mempunyai kekuatan hukum tetap sejak diucapkan
dalamsidang terbuka dengan atau tanpa dihadiri para pihak. Putusan Majelis Kehormatan Pusat
tersebut bersifat final dan mengikat yang tidak dapat diganggu gugat dalam forum manapun,
termasuk dalam Musyawarah Nasional PERADI.

Pada akhirnya, Dewan Pimpinan Nasional wajib melaksanakan eksekusi putusan Dewan
Kehormatan Pusat yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap serta mengumumkannya

Anda mungkin juga menyukai