Anda di halaman 1dari 4

No Bagian Keterangan

1 Permasalahan § Tinjauan Yuridis Terhadap Wewenang Pengawasan Hakim Oleh Komisi Yudisial
§ Pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006 terdapat ketidakjelasan yaitu mengenai
ruang lingkup kewenangan Komisi Yudisial terhadap pengangkatan dan pengawasan Hakim Agung.
Diketahui bahwa berkaitan dengan fungsi pengawasan KY, MK berpendapat bahwa kewenangan tersebut
bukan untuk mengawasi lembaga peradilan, melainkan untuk menjaga dan menegakkan perilaku hakim
sebagai individu. Selain itu, hubungan MA dan KY bukanlah untuk menerapkan prinsip checks and
balances. MA dan KY merupakan lembaga yang berada dalam satu kekuasaan yang sama, dalam hal ini
kekuasaan kehakiman (yudikatif). Dalam melaksanakan fungsi pengawasan terhadap perilaku hakim ini,
KY dan MA harus bekerja sama erat karena KY merupakan organ pendukung. Selain itu, KY tidak dapat
turut mengawasi kewenangan yustisial MA atau putusan hakim itu sendiri. Hal ini disebabkan menurut
MK, sejauh mengenai fungsi pengawasan Hakim dan Hakim Agung, rumusan pasal-pasal yang
mengaturnya tampak berbeda dengan 24B ayat (1) UUD 1945 Amandemen. Selain itu, tidak ada kejelasan
pengaturan subyek, obyek dan prosesnya sehingga dapat menimbulkan implikasi ketidakpastian hukum
(rechtsonzekerheid).
2 Judul “TINJAUAN YURIDIS TERHADAP WEWENANG PENGAWASAN HAKIM OLEH KOMISI YUDISIAL
PASCA KELUARNYA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 005/PUU-IV/2006”
3 Rumusan Masalah Bagaimana kewenangan Komisi Yudisial terhadap pengawasan Hakim setelah dikeluarkannya Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006?

4 Rumusan Latar Belakang Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan bahwa Indonesia adalah negara
hukum. Sejalan dengan ketentuan tersebut maka salah satu prinsip penting negara hukum adalah adanya
Permasalahan
jaminan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka, bebas dari pengaruh kekuasaan lainnya untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Hakim sangat erat kaitannya dengan
hukum atau negara hukum. Karena hukum akan ditegakkan dimana ada pengadilan yang merupakan tempat
untuk mengadili dan tentunya dalam pengadilan ada hakim yang berperan sebagai pemutus sebuah keputusan
yang adil. Untuk itu, perlu adanya kode etik profesi hakim yaitu aturan tertulis yang harus dipedomani oleh
setiap Hakim Indonesia dalam melaksanakan tugas profesi sebagai Hakim1. Adapun maksud dan tujuan adanya
kode etik profesi hakim ini adalah sebagai alat pembinaan dan pembentukan karakter Hakim dan pengawasan
tingkah laku Hakim. Selain itu juga sebagai sarana kontrol sosial, pencegah campur tangan ekstra judicial, dan
pencegah timbulnya kesalah pahaman dan konflik antar sesama anggota dan antara anggota dengan
masyarakat. Tujuan dari kode etik ini adalah memberikan jaminan peningkatan moralitas Hakim dan
kemandirian fungsional bagi Hakim dan menumbuhkan kepercayaan masyarakat pada lembaga peradilan.
Dengan adanya kode etik profesi hakim yang menjadi pedoman bagi Hakim Indonesia, baik dalam
menjalankan tugas profesinya harapannya adalah untuk mewujudkan keadilan dan kebenaran maupun dalam
pergaulan sebagai anggota masyarakat yang harus dapat memberikan contoh dan suri tauladan dalam
1
Ignatius Ridwan Widyadharma, Etika Profesi Hukum, Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 1996, hlm.
18.
kepatuhan dan ketaatan kepada hukum.
Sebagai lembaga yang bebas dari pengaruh kekuasaan, lembaga yudikatif dimungkinkan untuk melaksanakan
proses pengadilan yang jujur, objektif, tidak memihak, dan adil. Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara
lembaga yudikatif merupakan sandaran harapan dan kepercayaan terakhir bagi warga negara untuk
memperoleh keadilan. Keistimewaan yudikatif dibanding dengan legislatif dan eksekutif adalah pada substansi
sifat produk lembaga. Produk legislatif, yang berupa Undang-Undang, dan produk eksekutif, yang berupa
kebijakan atau aturan pemerintah, didasarkan pada “demi kepentingan rakyat” atau “demi kepentingan umum”.
Sementara yudikatif mendasarkan putusannya (putusan hukum) pada “demi keadilan berdasarkan keTuhanan
Yang Maha Esa”.Karena sifatnya yang demikian hakim acapkali diidentikan sebagai “kepanjangan tangan
Tuhan di dunia”. Dengan predikat itu mengandung makna bahwa, penyalahgunaan fungsi dan kewenangan
yang dilakukan hakim adalah pengingkaran atas fungsi dan misi sucinya “perpanjangan Tuhan”. Beranjak dari
kenyataan yang ada bahwa masih banyak hakim yang salah dalam mengambil keputusan, maka dari itu
diperlukan suatu lembaga negara yang dapat mengawasi kinerja hakim, yaitu Komisi Yudisial yang bertujuan
Menjaga dan Menegakkan Kehormatan, Keluhuran Martabat Serta Perilaku Hakim dan Menjaga kualitas dan
konsistensi putusan lembaga peradilan, karena senantiasa diawasi secara intensif oleh lembaga yang benar-
benar independen. Dengan adanya lembaga seperti Komisi Yudisial mewujudkan harapan warga negara serta
kepercayaan terakhir untuk memperoleh keadilan.
Pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006 terdapat ketidakjelasan yaitu mengenai ruang
lingkup kewenangan Komisi Yudisial terhadap pengangkatan dan pengawasan Hakim Agung. Diketahui
bahwa berkaitan dengan fungsi pengawasan KY, MK berpendapat bahwa kewenangan tersebut bukan untuk
mengawasi lembaga peradilan, melainkan untuk menjaga dan menegakkan perilaku hakim sebagai individu.
Selain itu, hubungan MA dan KY bukanlah untuk menerapkan prinsip checks and balances. MA dan KY
merupakan lembaga yang berada dalam satu kekuasaan yang sama, dalam hal ini kekuasaan kehakiman
(yudikatif). Dalam melaksanakan fungsi pengawasan terhadap perilaku hakim ini, KY dan MA harus bekerja
sama erat karena KY merupakan organ pendukung. Selain itu, KY tidak dapat turut mengawasi kewenangan
yustisial MA atau putusan hakim itu sendiri. Hal ini disebabkan menurut MK, sejauh mengenai fungsi
pengawasan Hakim dan Hakim Agung, rumusan pasal-pasal yang mengaturnya tampak berbeda dengan 24B
ayat (1) UUD 1945 Amandemen. Selain itu, tidak ada kejelasan pengaturan subyek, obyek dan prosesnya
sehingga dapat menimbulkan implikasi ketidakpastian hukum (rechtsonzekerheid). Sedangkan terhadap fungsi
pengangkatan, peranan KY tidak berubah sedikit pun karena dari Putusan MK diketahui bahwa MK tidak
menentukan lain terhadap hal tersebut.
Untuk menambah wawasan pengetahuan serta pemahaman penulis dan pembaca terhadap Komisi Yudisial,
terutama yang terkait dengan kewenangan pengawasan Hakim setelah dikeluarkannya Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006. Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat, baik kepada lembaga
negara, khususnya lembaga yudikatif / peradilan di Indonesia yang tentunya berkaitan dengan badan Komisi
Yudisial dan Mahkamah Konstitusi, maupun kepada seluruh anggota masyarakat termasuk mahasiswa yang
ingin mendalami masalah kewenangan KY tersebut.

Anda mungkin juga menyukai