Anda di halaman 1dari 6

REFORMULASI TRANSPARANSI REKRUTMEN CALON

HAKIM AGUNG OLEH KOMISI YUDISIAL DALAM

MENCIPTAKAN HAKIM AGUNG YANG BERINTEGRITAS

A. Latar Belakang

Reformasi telah membawa perubahan besar dalam berbagai sendi kehidupan

bangsa. Salah satu sendi perubahan itu adalah perbaikan di bidang hukum guna

memperbaiki sistem yang telah dinilai tidak imparsial. Dalam hal itu Peradilan

merupakan institusi di mana hukum tampil untuk ditegakkan dalam suasana yang

bebas dari KKN, lebih demokratis, serta menghargai harkat dan martabat

manusia.1 Berdasarkan hal tersebut lahirlah gagasan untuk membentuk sebuah

lembaga yang disebut dengan Komisi Yudisial (Judicial Commission). Setelah

melalui proses riset pada akhirnya rumusan pembentukan Komisi Yudisial (KY)

menjadi materi dalam perubahan ketiga UUD NRI 1945.2

Sejatinya gagasan pembentukan lembaga serupa KY telah ada sejak

pembahasan RUU Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman di tahun

1968. Saat itu terdapat usulan pembentukan Majelis Pertimbangan Penelitian

Hakim (MPPH). Majelis ini diharapkan berfungsi memberikan pertimbangan dan

mengambil keputusan terakhir terkait pengangkatan, promosi, kepindahan,

pemberhentian, dan hukuman jabatan untuk para Hakim yang diajukan oleh

Mahkamah Agung (MA) maupun oleh Menteri Kehakiman. Sayangnya gagasan

1
Sirajuddin dan Zulkarnain, 2006, Komisi Yudisial dan Eksaminasi Publik
Menuju Peradilan yang Bersih dan Berwibawa, PT Citra Aditya Bakti, Bandung,
hlm. 69.
2
Komisi Yudisial, 2012, Mengenal Lebih Dekat Komisi Yudisial, Pusat data
dan Layanan Informasi Komisi Yudisial, Jakarta, hlm. 3.
1
tersebut tidak terakomodir dalam UU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-

Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.3

Hadirnya KY merupakan suatu konsekuensi logis dari negara hukum yang

sangat dekat hubungannya dengan kekuasaan kehakiman dan peradilan. Karena

salah satu prinsip negara hukum adalah adanya kekuasaan kehakiman yang

independen dan imparsial. Dua hal tersebut diperlukan semata karena fungsinya

dalam menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan 4. Hal

tersebut sebagaimana yang diuraikan oleh Autheman dan Elena yang

menyatakan:5

In order to build an independent and accountable judiciary, many


countries have chosen to create new institutions, such as Judicial Councils.
While Judicial Councils can play an important role in strengthening judicial
independence and in creating accountability mechanisms for the judiciary,
they are only one of the components of a broad judicial reform strategy,
which should cover a wide range of issues, including access to justice, the
enforcement of judgments and anticorruption.
Kekhawatiran atas independensi peradilan menjadi dasar yang melatarbelakangi

pembentukan lembaga yang menyerupai KY di negara-negara Eropa, Amerika

Latin, Afrika dan Asia. Gagasan dalam pembentukan lembaga tersebut tumbuh

dengan pesat, terutama di paruh kedua abad XX.6

Pasal 24B UUD NRI 1945 menjadi dasar yuridis dalam pembentukan KY.

Kemudian pengaturan lebih komprehensif mengenai lembaga ini diakomodir

3
Komisi Yudisial, Sejarah Pembentukan,
https://komisiyudisial.go.id/frontend/static_content/history/about_ky, dikunjungi
pada tanggal 17 Oktober 2022.
4
Achmad Edi Subiyanto, 2012, “Mendesain Kewenangan Kekuasaan
Kehakiman Setelah Perubahan UUD 1945", Jurnal Konstitusi, Vol. 9, No. 4,
Desember 2012, hlm. 662.
5
Violaine Autheman and Sandra Elena, IFES Rule of Law White Paper
Series , Global Best Practices: Judicial Councils, Lessons Learned from Europe and
Latin America, April (2004). hlm. 1.
6
Ibid, hlm. 1-2.
2
melalui UU No. 22 Tahun 2004 tentang KY sebagaimana telah diubah dengan UU

No. 18 Tahun 2011. Dalam UU a quo kewenangan yang dimiliki KY dintaranya:

1. Mengusulkan pengangkatan Hakim Agung dan Hakim ad hoc di MA

kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk mendapatkan

persetujuan;

2. Menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta

perilaku hakim;

3. Menetapkan Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim bersama-sama

dengan MA;

4. Menjaga dan menegakkan pelaksanaan Kode Etik dan/atau Pedoman

Perilaku Hakim.

Dalam menjalankan kewenangannya tersebut KY harus bersifat mandiri dan bebas

dari campur tangan serta pengaruh cabang kekuasaan lainnya.

Pasal 24 ayat (2) UUD NRI 1945 menegaskan bahwa KY bukan merupakan

pelaksana dari kekuasan kehakiman. Eksistensi KY adalah sebagai supporting

element atau state auxiliary organ dalam rangka mendukung kekuasaan

kehakiman yang merdeka, bersih dan berwibawa.7 Hal tersebut juga ditegaskan

dalam Putusan MK No. 005/PUU-IV/2006, yang menyatakan keberadaan KY

sebagai auxiliary state organs atau auxiliary agencies. Lahirnya banyak lembaga

auxiliary pasca reformasi seperti KY sejatinya merupakan upaya penolakan atas

tidak relevannya model pemisahan kekuasaan trias politica yang dikemukakan

oleh Montesquieue dewasa ini.8

7
Trias Palupi Kurnianingrum, 2015, Proses Seleksi Hakim Oleh Komisi
Yudisial, Info Singkat, Vol. 7, No. 15, Agustus 2015, hlm. 1.
8
Bruce Ackerman dalam Zainal Arifin Mochtar, 2016, Lembaga Negara
Independen, PT RajaGrafindo, Jakarta, hlm. 33.
3
Salah satu kewenangan KY yang cukup krusial adalah mengenai

pengangkatan Hakim Agung. Secara umum terdapat dua cara pemilihan hakim

berdasarkan sistem hukum yang ditetapkan disebuah negara. Dalam sistem hukum

common law menggunakan sistem rekrutmen terbuka. Para Hakim dipilih dari

berbagai profesi hukum, misalnya advokat, akademisi, pejabat pemerintahan

ataupun profesi hukum lainnya. Sebaliknya dalam sistem hukum civil law, seperti

Indonesia menggunakan sistem tertutup. Dalam sistem ini pada umumnya hakim

direkrut dari mereka yang baru saja menyelesaikan jenjang pendidikan tinggi di

bidang hukum atau sekurangnya telah menyandang gelar sarjana hukum. Namun

untuk pemilihan Hakim Agung, selain menggunakan beberapa sistem diatas,

beberapa negara juga menggunakan mekanisme lain, seperti model pemilihan

populer dalam bentuk pemilihan umum, melalui persetujuan parlemen,

penunjukan langsung oleh Presiden (kepala negara), atau dengan komisi

independen dan multi-voters system.9

Kewenangan dalam pengangkatan hakim agung dalam bentuk rekrutmen oleh

KY menuntut adanya transparansi sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 2

Peraturan KY No. 2 Tahun 2016 tentang Seleksi Calon Hakim Agung (CHA).

Pasal tersebut menyatakan bahwa seleksi CHA haruslah dilaksanakan secara

transparan, partisipatif, obyektif, dan akuntabel. Sayangnya KY hanya

memandang transparansi sebatas publikasi nama-nama CHA yang lulus pada tiap

rangkaian seleksi tanpa memperlihatkan komponen-komponen penilaian yang

sifatnya inklusif dalam suatu proses seleksi. Sehingga masyarakat luas tidak dapat

mengetahui apa penyebab CHA A dapat diluluskan sedangkan CHA B tidak.

9
Feri Amsari, Pengisian Jabatan Hakim Agung dan Hakim Konstitusi,
(Jakarta: PT RajaGrafindo, 2016), hlm. 27.
4
Pola transparansi rekrutmen hakim agung oleh KY yang masih terkesan

kepalang tanggung tersebut, rentan memberi ruang untuk masuknya hakim-hakim

korup kedalam institusi Mahkamah Agung (MA). Buntutnya KY turut mendapat

kritik atas kasus OTT Hakim Agung yang telah mencoreng MA beberapa waktu

yang lalu. Dikarenakan KY adalah institusi yang pertama kali terlibat dengan si

Hakim sebelum ia duduk sebagai seorang Hakim Agung. Hal tersebut tentu

menjadi ironi meninggat MA adalah benteng terakhir bagi justitiabellen dalam

mencari keadilan sehingga skeptisme masyarakat atas peradilan dan hukum itu

sendiri semakin runcing di tengah masyarakat. Maka sudah seyogianya perlu

pembenahan dalam proses rekrutmen Hakim Agung oleh KY sebagai posko

pertama bagi hakim sebelum dapat berkarier pada tingkat wahid tersebut.

1. Rumusan

Maka berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas dapat

ditarik rumusan masalah sebagai berikut:

a. Bagaimana proses rekrutmen Calon Hakim Agung di Indonesia dan

negara lain?

b. Bagaimana pola ideal transparansi rekrutmen Calon Hakim Agung

oleh KY?

5
6

Anda mungkin juga menyukai