Anda di halaman 1dari 4

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/363844184

Essay Negara Hukum dan Demokrasi

Research · September 2022

CITATIONS READS

0 3,149

2 authors, including:

Gilbert Shetiawan
Universitas Surabaya
1 PUBLICATION   0 CITATIONS   

SEE PROFILE

All content following this page was uploaded by Gilbert Shetiawan on 26 September 2022.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


Essay Negara Hukum dan Demokrasi
Nama : Gilbert Shetiawan
NRP : 120121073
KP : C
Topik : Kualitas lembaga, Proses Peradilan, dan Hakim di Mahkamah Konstitusi
Demokrasi, merupakan bentuk pemerintahan yang menjadi perwujudan dari
kedaulatan rakyat, dimana rakyat memiliki hak dalam kehidupan bernegara. Demokrasi
membuat rakyat dapat berpartisipasi langsung dalam mengambil suatu keputusan. Contoh
dari Demokrasi adalah Pemilu. Dalam negara, peran rakyat menjadi sangat penting.
Apabila negara tidak melibatkan rakyat, maka negara tersebut bukanlah negara
demokrasi. Dalam kehidupan bernegara, suatu negara perlu membagi kekuasaan yang ada
di negaranya, agar tidak terjadi pemusatan kekuasaan pada satu lembaga saja. Dalam
konsep Trias Politica, kekuasaan negara dibagi menjadi 3, yaitu kekuasaan eksekutif,
kekuasaan legislatif, dan kekuasaan yudikatif. Di Indonesia, Kekuasaan Eksekutif
dipegang Presiden, Kekuasaan Legislatif dipegang oleh DPR dan lain-lain, dan terakhir
Kekuasaan Yudikatif, dipegang oleh Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, dan
Komisi Yudisial. Setiap lembaga negara tersebut, memiliki tugas dan kewenangannya
masing-masing, dan saling berkaitan satu sama lain. Salah satunya ialah Mahkamah
Konstitusi, seperti yang diatur di dalam pasal 24C ayat (1) UUD 1945, menjelaskan
bahwa : ‘Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir
yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang
Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan
oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik dan memutus
perselisihan tentang hasil pemilihan umum”.
Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga yang penting di Indonesia. MK
muncul sebagai perwujudan dari Check And Balances, dimana setiap lembaga negara
yang ada, saling berkaitan dan mengawasi satu sama lain. Sebagai lembaga yudisial, atau
kehakiman, Mahkamah Konstitusi menjadi lembaga yang dapat menilai suatu undang-
undang sesuai tidaknya dengan Undang-Undang Dasar, yang juga didasarkan pada nilai-
nilai dasar, dan aturan yang tidak tertulis. Sehingga karena kewenangan yang dimiliki
oleh MK ini, menjadikan MK sebagai penentu terjaminnya keadilan sesuai dengan
Konstitusi negara Indonesia.1 Kualitas dari lembaga ini terlihat pada terlaksananya tugas
dan wewenang dari MK itu sendiri, dimana sebagai lembaga peradilan memutus tingkat
pertama dan terakhir (final) dalam hal sengketa yang tertulis pada pasal 24C ayat (1) UUD
1945. Semakin baik tugas yang dilakukan oleh MK itu sendiri, maka semakin baik pula
dari kualitas dari lembaga tersebut, dimana hal itu dapat meningkatkan rasa percaya

1
N. Sa’adah, “Mahkamah Konstitusi Sebagai Pengawal Demokrasi Dan Konstitusi Khususnya Dalam
Menjalankan Constitutioanl Review,” Administrative Law & Governance Journal Vol 2, No 2 (2019) :
240. https://doi.org/10.14710/alj.v2i2.235-247
rakyat terhadap lembaga negara yang ada. Kemudian dalam hal Kualitas Proses
Peradilan. Ini berkaitan dengan memeriksa, mengadili serta memutus suatu perkara, yang
mana subjek dari pemeriksa, pengadili, dan pemutus perkara tersebut menjadi penting,
yaitu Hakim. Sikap Profesionalitas serta memiliki Moralitas yang tinggi, dimana
kejujuran dari Hakim itu penting adanya. Tanpa adanya sikap profesionalitas dan
moralitas yang tinggi dari hakim, maka akan sulit untuk menciptakakan kualitas yang
baik dari proses peradilan itu sendiri.
Dalam menciptakan kualitas Hakim yang baik serta berkualitas, maka diperlukan
sebuah lembaga yang mengawasi Hakim. Dimana terdapat Dewan Etik Mahkamah
Konstitusi, sebuah lembaga yang mengawasi Hakim Konstitusi. Dewan tersebut dibentuk
melalui peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) No. 2 Tahun 2013 Tentang Dewan Etik
Hakim Konstitusi, yang kemudian dicabut, dan dibaharui melalui PMK No. 2 Tahun 2014
Tentang Majelis Kehormatan Hakim Mahkamah Konstitusi. Tugas dari Dewan tersebut
adalah untuk Mempertahankan kehormatan dan keluhuran serta kode etik dari perilaku
hakim, Memeriksa hakim yang terlapor (Hakim konstitusi yang diduga melakukan
pelanggaran, yang diperoleh dari masyarakat), dan Mengajukan kepada Mahkamah
Konstitusi untuk membentuk sebuah majelis kehormatan dan memberikan kebebasan
sementara terhadap hakim terlapor.2 Dengan tugas tersebut, maka Rakyat memiliki peran
penting dalam pelaporan Hakim Konstitusi aktif yang dicurigai melakukan pelanggaran.
Sehingga dengan adanya pelaporan dari rakyat terhadap hakim tersebut kepada Dewan
Etik, maka hal itu kemudian dapat ditindaklanjuti, berupa pemeriksaan oleh Dewan Etik.
Dengan menjadikan Dewan Etik Mahkamah Konstitusi sebagai pengawas dari Hakim
Konstitusi, diperlukan pula ketegasan, yang mana aturan mengenai Dewan Etik ini
dimasukkan ke dalam UU Mahkamah Konstitusi, sehingga keberadaannya semakin nyata
dan kokoh.
Dilihat pada kenyataannya, Mahkamah Konstitusi ini bukanlah lembaga
sempurna yang terlepas dari masalah internalnya, Hal ini terbukti dari masih adanya
Hakim di Mahkamah Konstitusi, yaitu Patrialis Akbar, yang menjadi ditangkap karena
korupsi oleh KPK, karena telah menerima suap sebesar 20.000 US Dollar, dan 200.000
Singapore Dollar atau sekitar 2,15 Miliar Rupiah yang diperoleh dari Importir daging
sapi. Suap ini terjadi berhubungan dengan Uji materi yang dilakukan terhadap UU No.
41 Tahun 2014 Tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan yang sedang diproses oleh
Mahkamah Konstitusi.3 Maka dengan adanya Hakim Konstitusi ini, dapat membuktikan
bahwa Lembaga Konstitusi ini menjadi lembaga yang benar-benar bersih dari Korupsi.
Dengan adanya tindakan korupsi yang dilakukan oleh hakim Mahkamah Konstitusi ini,
membuat Proses peradilan tidak berjalan seperti seharusnya, dimana tidak adanya putusan

2
Jurdi, Fajlurrahman, Rizqa Ananda Hanapi, and Taufik Hidayat. "OPTIMALISASI FUNGSI
PENGAWASAN DEWAN ETIK MAHKAMAH KONSTITUSI." Jurnal Hukum & Pembangunan 50,
no. 3 (2021): 693-694. http://dx.doi.org/10.21143/jhp.vol50.no3.2763
3
H. Dharmastuti, “Patrialis Akbar Ditangkap: Tersandung Suap dan Wanita Misterius,”detiknews, 2017,
https://news.detik.com/berita/d-3406905/patrialis-akbar-ditangkap-tersandung-suap-dan-wanita-misterius
yang adil ataupun objektif, sebab diterimanya suap tersebut, dapat menunjukan
keberpihakan dari Hakim. Dengan Proses Peradilan yang tidak berjalan dengan baik, serta
kualitas hakim yang tidak professional ini membuat kualitas dari lembaga Mahkamah
Konstitusi ini menjadi Menurun.
Dalam hal meningkatkan kualitas dari Lembaga Mahkamah Konstitusi, maka cara
yang dapat dilakukan adalah, melibatkan AI dalam proses penerimaan pelaporan Hakim
Mahkamah Konstitusi, dimana AI tersebut dapat menerima pelaporan tersebut secara
online dari rakyat, sehingga dapat meminimalisir administrasi yang ada, dengan catatan
penting, bahwa berkas yang diberikan tersebut telah sesuai dengan ketentuan yang dibuat,
sehingga dari AI tidak sembarangan menerima berkas yang belum pasti kebenarannya.
Setelah data tersebut diterima oleh AI, maka kemudian oleh Dewan Etik Mahkamah
Konstitusi dapat memeriksa berkas yang telah dikirimkan tersebut, yang mana berkas
tersebut telah lengkap isinya, ketika dikoreksi oleh AI. Kemudian mengenai data dari
pelapor juga harus menjadi syarat dalam mengajukan berkas tersebut, sehingga jelas siapa
orang telah melaporkan hakim tersebut. Pada data ini pulalah AI menjadi penting, agar
identitas dari pelapor tidak tersebar luas, sehingga dapat menghindarkan pelapor dari
ancaman apapun itu. Sesuai dengan ketentuan pasal 28G ayat (1) UUD 1945, yang
berbunyi : “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan,
martabat, dan harta benda yang dibawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman
dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tida berbuat sesuatu yang
merupakan hak asasi”.4

4
Rahman, Rofi Aulia, Valentino Nathanael Prabowo, Aimee Joy David, and József Hajdú.
"Constructing Responsible Artificial Intelligence Principles as Norms: Efforts to Strengthen
Democratic Norms in Indonesia and European Union." Padjadjaran Jurnal Ilmu Hukum (Journal
of Law)(PJIH) 9, no. 2 (2022): 240. http://jurnal.unpad.ac.id/pjih/article/view/39867

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai