Anda di halaman 1dari 14

Kewenangan DPR dalam Memberhentikan Hakim Mahkamah

Konstitusi

Kelompok 6
Fakultas Hukum
Ni Kadek Dwi Apriliani (2104742010112)
I Dewa Gde Bayu Yudha Pratama (2104742010113)
Ketut Dian Ratriani (2104742010117
Yanuarius Yakobus Opa (2104742010124)

Universitas Mahasaraswati
Denpasar
2022
Abstract
The purpose of this study was to examine the authority of the DPR in dismissing
judges of the Constitutional Court in Indonesia. The method used in this research
is normative juridical. The Constitutional Court is one of the holders of judicial
power which is given the authority to examine laws against the basic constitution.
Judges of the Constitutional Court can be proposed by the House of
Representatives, the Supreme Court, and the President. As the spirit of
democratic values, a judge is required to be accountable in the realm of judicial
and non-judicial to every citizen. Therefore, the DPR cannot dismiss a judge of
the Constitutional Court suddenly or for inappropriate reasons.

Keywords: authority, law, Constitutional Court

Abstrak
Tujuan penelitian ini dilakukan yaitu untuk mengkaji tentang kewenangan dari
DPR dalam memberhentikan hakim Mahkamah Konstitusi di Indonesia. Metode
yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normative. Mahkamah
Konstitusi merupakan salah satu pemegang kekuasaan kehakiman yang diberikan
kewenangan untuk menguji undang-undang terhadap undang-undang dasar.
Hakim Mahkamah Konstitusi dapat diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat,
Mahkamah Agung, dan Presiden. Sebagai ruh dari nilai-nilai demokrasi, seorang
hakim dituntut akuntabel dalam ranah yustisi maupun non yustisi kepada setiap
warga negara. Maka, DPR tidak bisa memberhentikan hakim MAHKAMAH
KONSTITUSI dengan mendadak ataupun dengan alasan yang tidak tepat.
Kata kunci: kewenangan, hukum, Mahkamah Konstitusi
Pendahuluan
Perjalanan panjang bangsa Indonesia untuk mencapai cita-cita dan tujuan
nasional yang dirumuskan oleh para pemimpin bangsa pada zaman dahulu. Tentu,
mewujudkan cita-cita dan cita-cita bangsa tidaklah mudah. Banyak rintangan
menghalangi waktu. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 dirumuskan dan disusun dengan sebaik-baiknya oleh para pemimpin negara
sebagai dasar konstitusi negara Indonesia, namun dalam perjalanannya banyak
perubahan yang dilakukan.
Sebagai landasan konstitusional negara Indonesia, UUD NRI 1945
menyatakan bahwa bangsa Indonesia merupakan negara. Hal ini berarati bahwa,
negara Indonesia menjamin adanya suatu supremasi hukum untuk sebuah
kebenaran dan keadilan yang dijunjung tinggi dan tidak ada kekuasaan yang tidak
dapat dipertanggungjawabkan.1
Sistem pengangkatan hakim (judicial recruitment process), merupakan
instrumen yang dibutuhkan untuk melahirkan sosok hakim yang berintegritas dan
kapabilitas. Sementara itu pada tataran sistem pemberhentian hakim (judicial
disimissal process), merupakan instrumen pertanggungjawaban politik seorang
hakim terhadap warga negara. Artinya sebagai ruh dari nilai-nilai demokrasi,
seorang hakim dituntut akuntabel dalam ranah yustisi maupun non yustisi kepada
setiap warga negara. DPR merupakan salah satu Lembaga legislative negara yang
memiliki berbagai macam hak, kewajiban dan kewenangan. Pengaturan mengenai
permberhentian hakim mahkamah konstitusi diatur dalam Undang-Undang No. 7
tahun 2020 tentang Mahkamah Konstitusi dan lebih rinci diatur dalam. 2
Mahkamah Konsitusi merupakan salah satu dari pemegang kekuasaan
kehakiman yang memiliki kewenangan untuk menguji undang-undang terhadap
undang-undang dasar. Jika merujuk pada peraturan yang disebutkan diatas maka,
DPR tidak bisa memberhentikan hakim Mahkamah Konstitusi dengan mendadak
ataupun dengan alasan yang tidak tepat. Tindakan DPR yang tidak didasarkan
kepada dasar hukum apa pun,adalah suatu perbuatan inkonstitusional. Langkah
DPR terhadap Mahkamah Konstitusi ini semakin memperlihatkan sikap
otoritarianisme dan pembangkangan hukum.

1
Lihat Pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945
2
Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 4 Tahun 2012 tentang Tata Cara Pemberhentian
Hakim Konstitusi (“PMK No. 4/2012”)
Untuk memberikan kepastian hukum serta untuk menjaga marwah Hakim
Konstitusi, Mahkamah Konstitusi mengeluarkan Peraturan Mahkamah Konstitusi
Nomor 2 Tahun 2014 tentang Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi. Akan
tetapi substansi yang dirubah dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2
Tahun 2014 tidak ada yang bertentangan dengan Peraturan Mahkamah Konstitusi
Nomor 1 Tahun 2013, hanya saja peraturan yang baru lebih menguatkan peran
dan kedudukan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi.3
Sebagai organ kekuasaan kehakiman yang menjalankan fungsi kehakiman,
Mahkamah Konstitusi bersifat independen, baik secara struktural maupun
fungsional. Perlunya pembaharuan sistem pengangkatan dan pemberhentian
hakim di Indonesia menjadi kajian penting dalam menggagas penyempurnaan
kekuasaan yudikatif di Indonesia. Pembaharuan dibutuhkan mengingat
perkembangan masyarakat Indonesia yang semakin demokratis. Sembilan hakim
konstitusi yang diangkat oleh Presiden yang masing-masing tiga orang berasal
dari DPR, MA, dan Presiden perlu kembali disempurnakan. Aspek pemberhentian
hakim menjadi isu yang patut dibedah kembali pasca amandemen.
Para pejuang keadilan yang semakin menuntut adanya sistem
pengangkatan dan pemberhentian hakim yang efektif, efisien, profesional,
transparan, akuntabel dan terpercaya. Hal ini tentu menjadi topik yang menarik
untuk diteliti lebih mendalam. Dalam kajian ini penulis akan membahas mengenai
kewenangan DPR dalam memberhentikan hakim Mahkamah Konstitusi dan perlu
direspon dalam ruang lingkup akademik. Kemudian dipandang layak untuk
melakukan penelitian lebih lanjut.

Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dirumuskan permasalahan yang
akan dikaji yaitu apakah DPR memiliki kewenangan untuk memberhentikan
hakim Mahkamah Konstitusi

3
Sutan Sorik, Eksistensi Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (Studi Keputusan
Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi Nomor 01/MKMK/X/2013), (Jakarta; Jurnal
Konstitusi volume 15, 2018), h., 668
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji mengenai dasar hukum atas
kewenangan yang dimiliki DPR untuk memberhentikan hakim Mahkamah
Konstitusi.

Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
penelitian kualitatif. Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif yang
merupakan penelitian pustaka tentang kajian hukum positif bersifat preskriptif.
Pendekatan yang dipakai antara lain pendekatan peraturan perundang-undangan,
pendekatan historis, dan pendekatan konseptual. Data yang dipakai adalah data
sekunder.

Hasil Penelitian dan Pembahasan


Salah satu poin penting yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman
adalah perlunya sistem pengawasan terhadap Hakim. Prinsip pengawasan
merupakan prinsip dimana kekuasaan yang satu dengan yang lain mengimbangi
dan mengawasi agar tidak melampaui batas kekuasaan yang seharusnya.4
Sebagai salah satu Lembaga tinggi negara yang termasuk dalam Lembaga
baru di wilayah kekuasaaan kehakiman, adapun beberapa tugas Mahkamah
Konstitusi yaitu berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final, menguji undang-undang terhadap undang-undang dasar,
memutus sengketa kewenangan Lembaga negara yang kewenangannya diberikan
oleh undang-undang dasar, memutus pembubaran partai politik dan memutus
perselisihan hasil pemilu.
Upaya mengecilkan nilai independensi dan praktik intervensi politik di
Mahkamah Konstitusi jelas ditunjukkan oleh lembaga legislatif. Langkah DPR ke
Mahkamah Konstitusi semakin menunjukkan sikap otoriter dan pembangkangan
terhadap hukum. Menurut Indonesia Corruption Watch (ICW), DPR telah
mengidentifikasi setidaknya enam kesalahan dalam pengangkatan barunya ke
Mahkamah Konstitusi.5
4
Lihat Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945
Indonesia Corruption Watch, “Menyoal Pemberhentian Hakim Konstitusi Oleh DPR:
5

Tindakan Serampangan, Otoritarianisme, Dan Upaya Sistematis Menundukkan


Mahkamah.
Pertama, lembaga legislatif salah menafsirkan surat Ketua Mahkamah
Konstitusi. Penting ditegaskan bahwa surat Mahkamah Konstitusi kepada Ketua
DPR RI pada dasarnya hanya sebatas menegaskan atau sekadar memberitahukan
berlakunya Putusan Nomor 96/PUU-XIII/2020.
Kedua, DPR melanggar ketentuan Pasal 24(1) UUD 1945 yang menjamin
peradilan yang merdeka. Makna kemerdekaan harus dimaknai sebagai bebas dari
kepentingan politik semua cabang kekuasaan, baik eksekutif maupun legislatif.
Akibat praktik sewenang-wenang DPR, jelas UUD 1945 tidak lagi dijadikan
patokan dalam berperilaku.
Ketiga, kesimpulan Mahkamah Konstitusi tentang pemberhentian hakim
menunjukkan bahwa DPR adalah artefak hukum yang unik dan ahistoris.
Pasalnya, mekanisme aneh tersebut jelas bertentangan dengan Pasal 23 Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 2020 (UU Mahkamah Konstitusi) tentang Mahkamah
Konstitusi.
Keempat, keputusan DPR memiliki implikasi politik yang kuat bagi
peradilan. Perlu ditegaskan bahwa Pasal 3 (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun
2009 tentang Kekuasaan Kehakiman sudah sangat tegas mengatakan bahwa hakim
konstitusi wajib menjaga kemandirian peradilan. Oleh karena itu, berdasarkan
Peraturan tersebut, hakim Mahkamah Konstitusi tidak wajib mengikuti atau
membenarkan semua pencapaian legislatif, baik yang diprakarsai oleh pemerintah
maupun DPR.
Kelima, justifikasi legislatif untuk memberhentikan hakim Mahkamah
Konstitusi mengandung benturan kepentingan dan terkesan melumpuhkan
pengadilan.
Keenam, praktik pembangkangan ketentuan peraturan perundang-
undangan sebagaimana tampak dilakukan oleh DPR dapat menjadi preseden
buruk terhadap masa depan Mahkamah Konstitusi. Langkah lembaga legislatif ini
bukan tidak mungkin ditiru oleh cabang kekuasaan lainnya yang menjadi
pengusul hakim konstitusi, seperti Presiden atau Mahkamah Agung. Kalau sudah
seperti ini, Mahkamah Konstitusi hanya akan menjadi lembaga yang memenuhi
kepentingan politik penguasa. Akibat terburuknya, legislasi-legislasi bermasalah
yang kerap
diinisiasi oleh pemerintah maupun DPR akan mendapatkan cap legitimasi oleh
Mahkamah Konstitusi.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai
dasar dan pedoman pokok penyelenggaraan pemerintahan, maka beginilah:
Dibandingkan dengan rel, itu hal biasa, dan jika kereta api tidak berjalan sesuai
dengan ketentuan. rel, itu akan menyebabkan kebingungan. Seperti halnya
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia yang ada, Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah sumber dari segala sumber
hukum. pedoman dan harus dipatuhi.
Ketentuan konstitusi tentang Dewan Perwakilan Rakyat atau DPR tertuang
dalam Bab VII Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Dalam mengusulkan undang-undang baik lembaga Eksekutif atau Presiden dan
lembaga Legislatif atau DPR sama-sama berhak untuk mengajukan rancangan
Undang-Undang. Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaaan membentuk
Undang-Undang, hal ini bermakna bahwa secara konstitusional dalam
pembentukan Undang-Undang yang ada di Indonesia DPR juga berperan dalam
hal tersebut, hal ini secara dengan tugas dan fungsi DPR sebagai lembaga
legislatif yang sejalan dengan Pasal 20A ayat (1) yaitu Dewan Perwakilan Rakyat
memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan. 6
Peraturan terkait dengan Mahkamah Konsitusi diatur dalam Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi dan Undang-
Undang Tersebut Mengalami tiga kali perubahan dan yang terakhir adalah
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Dalam Pasal 23
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi mengatur terkait
dengan alasan-alasan diberhentikannya Hakim konstitusi baik secara terhormat
ataupun tidak terhormat.
Pencopotan Hakim Mahkamah Konstitusi oleh DPR RI telah menodai
hukum yang ada, melecehkan independensi yang dimiliki oleh Mahkamah
Konstitusi, dan telah melangkahi prinsip kemandirian, kebebasan, dan kekuasaan

6
Lihat Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
kehakiman serta menciderai konsep ketatanegaraan yang ada. DPR RI telah
bertindak melebihi kewenangannya dengan melakukan hal tersebut.
Pemberhentian Hakim Konstitusi oleh DPR RI merupakan suatu pelanggaran
hukum. 
Sebagaimana disebutkan diatas bahwa, mengenai alasan-alasan
diberhentikannya hakim konstitusi yaitu, pemberhentian secara hormat bisa
dilakukan apabila meninggal dunia, mengundurkan diri atas permintaan sendiri
yang diajukan kepada Ketua Mahkamah Konstitusi, telah berusia 70 tahun, sakit
jasmani atau rohani secara terus menerus selama 3 bulan sehingga tidak dapat
menjalankan tugasnya yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter. 7
Selanjutnya adalah mengenai pemberhentian hakim konstitusi dengan
tidak hormat apabila dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang
dinacam dengan pidana penjara, melakukan perbuatan tercela, tidak menghadiri
persidangan yang menjadi tugas dan kewajibannya selama 5 kali berturut-turut
tanpa alasan yang sah, dan melanggar sumpah janji atau jabatan.
Jika dilihat secara seksama, pemberhentian hakim Mahkamah Konstitusi
ini selain melanggar hukum, erat kaitannya juga dengan politik dan keputusan
subjektif kelembagaan atau merupakan kesewenang-wenangan. Pada dasarnya
bahwa Hakim Mahkamah Konstitusi tidak boleh tunduk kepada siapapun dan
apapun itu kecuali kepada Undang-Undang, Konstitusi, dan Hak Asasi Manusia
seta prinsip-prinsip kebenaran dan keadilan. Tindakan yang dilakukan oleh DPR
RI ini telah merusak dan melangkahi konsep ketatanegaraan yang telah dibuat dan
dirumuskan dan telah melanggar independensi, kemandirian, kebebasan dan
kekuasaan hakim sebagai prinsip universal dan kelembagaan Mahkamah
Konstitusi.
Apabila proses dalam “hulunya” sudah disempurnakan, maka datang
saatnya buat mengusung penyempurnaan dalam proses “hilirnya”. Untuk
menggagas jalur impeachment hakim, pertama; langkah awal yg perlu dimuat
merupakan memberi agunan bahwa nir terdapat satupun hakim yg bebas
berdasarkan supervisi ekstern. Artinya Komisi Yudisial wajib diberikan
wewenang buat menjaga & menegakkan keluhuran prestise dan konduite hakim.

7
Lihat Pasal 23 UU Mahkamah Konstitusi
Subjek hakim mencakup semua hakim pada kekuasaan yudikatif baik itu hakim
karir, hakim agung, maupun hakim konstitusi. Harus diakui fungsi Komisi
Yudisial hadir

7
Lihat Pasal 23 UU Mahkamah Konstitusi
menjadi pintu masuk laporan pengaduan warga terhadap para hakim. Kedua; sang
lantaran impeachment hakim adalah instrumen pertanggungjawaban hakim
terhadap rakyat negara. Maka telah seyogyanya mekanismenya melibatkan forum
perwakilan masyarakat menjadi representasi publik. Dalam hal ini, prosedur
impeachment hakim harus melibatkan DPR atau DPD menjadi forum politik.
Mekanisme misalnya ini nir lain buat mengklaim konsistensi contoh impeachment
hakim. Artinya apabila sistem pengangkatannya melibatkan parlemen maka telah
seharusnya proses pemberhentiannya jua melibatkan parlemen. Ketiga, selesainya
melewati proses pada parlemen, hakim diberhentikan secara administratif
seremonial sang Presiden, selaku ketua negara menggunakan keputusan Presiden.
Misalnya pada hal impeachment hakim karir. Pemberhentian hakim karir pada
masa jabatannya dilakukan apabila terbukti melakukan pelanggaran berat pada
bidang etika ataupun delik yg bisa sebagai karena pemberhentiannya.

Dalam hal ini, saat Komisi Yudisial mendapat laporan pengaduan warga ,
maka Komisi Yudisial melakukan pemeriksaan terhadap hakim yg bersangkutan.
Apabila memiliki relatif bukti yg kuat, maka terlebih dahulu hakim yg
bersangkutan melakukan pembelaan pada depan Majelis Kehormatan Hakim yg
terdiri berdasarkan pihak Komisi Yudisial & Mahkamah Agung. Artinya proses
ajudikasi dihadapan Majelis Kehormatan Hakim. Apabila terbukti melakukan
pelanggaran berat, maka hakim yg bersangkutan diajukan sang Dewan Perwakilan
Rakyat atau Dewan Perwakilan Daerah buat dimintakan persetujuan (right to
confirm), lalu diberhentikan sang surat keputusan Presiden. Menurut Marsilam
Simanjuntak impeachment adalah suatu proses tuntutan hukum (pidana) khusus
terhadap seorang pejabat publik ke depan sebuah quasi-pengadilan politik, karena
ada tuduhan pelanggaran hukum sebagaimana yang ditentukan Undang Undang
Dasar. Hasil akhir dari mekanisme impeachment ini adalah pemberhentian dari
jabatan, dengan tidak menutup kemungkinan melanjutkan proses tuntutan pidana
biasa bagi kesalahannya sesudah turun dari jabatannya. 8
MK dibentuk dengan fungsi untuk menjamin tidak akan ada lagi produk
hukum yang keluar dari koridor konstitusi sehingga hak-hak konstitusional warga
terjaga.9 Pemberhentian hakim konstitusi pada masa jabatannya dilakukan apabila
terbukti melakukan pelanggaran berat pada bidang etika ataupun delik yg bisa
sebagai karena pemberhentiannya. Dalam hal ini, saat Komisi Yudisial mendapat
8
Misranto, Misranto. Mahkamah Konstitusi Dalam Konstruksi Sistem Peradilan
Impeachment. Vol. 19 No. 3 (2014): Edisi September
9
M. Gaffar, Janedjri. 2009. Kedudukan, Fungsi Dan Peran Mahkamah Konstitusi Dalam
Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia.
laporan pengaduan warga, maka Komisi Yudisial melakukan pemeriksaan
terhadap hakim yg bersangkutan. Apabila memiliki relatif bukti yg kuat, maka
erlebih dahulu hakim yg bersangkutan melakukan pembelaan pada depan Majelis
Kehormatan Hakim yg terdiri berdasarkan pihak Komisi Yudisial & Mahkamah
Konstitusi. Artinya proses ajudikasi pada hadapan Majelis Kehormatan Hakim.
Apabila terbukti melakukan pelanggaran berat, maka hakim yg bersangkutan
diajukan ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) buat dimintakan persetujuan (right
to confirm), lalu diberhentikan sang Presiden. Apabila melihat prosedur jalur
impeachment tersebut, baik hakim karir, hakim agung, & hakim konstitusi, masih
ada prosedur perimbangan kekuasaan yg jelas. Perimbangan kekuasaan ini
diharapkan supaya prosedur pemberhentian hakim berbanding lurus menggunakan
proses pengangkatan hakim. Dengan demikian jalur impeachment hakim yg
sebelumnya kabur, menerima tempatnya menjadi wujud akuntabilitas peradilan
terhadap rakyat negara pada ranah non yustisi.

Penutup
Kesimpulan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah
sumber segala informasi hukum. Pedoman harus diikuti. DPR merupakan salah
satu lembaga negara yang termasuk dalam Kongres. Salah satu kekuatan tersebut
dikatakan terlibat dalam proses seleksi pegawai negeri sipil. Keterlibatan tersebut
berbentuk persetujuan dan pilihan, dan pihak berwenang dapat mengintervensi
individu yang memegang posisi yang relevan.
Legislatif salah memahami surat Ketua Mahkamah Konstitusi. Penting
ditegaskan bahwa surat MK kepada Presiden DPRRI pada dasarnya hanya sebatas
mengukuhkan atau sekadar memberitahukan pengesahan Putusan Nomor
96/PUU-XIII/2020.
Mahkamah Konstitusi mengenai pemberhentian hakim memberitahuakn
bahwa DPR merupakan artefak aturan yg unik & ahistoris. Pasalnya, prosedur
aneh ini kentara bertentangan menggunakan Pasal 23 Undang-Undang Nomor 7
Tahun 2020 mengenai Mahkamah Konstitusi. Keputusan DPR mempunyai imbas
politik yg bertenaga dalam peradilan. Pembenaran aturan buat mengeluarkan
hakim menurut Mahkamah Konstitusi melibatkan permasalahan kepentingan &
sepertinya melumpuhkan pengadilan. Berikutnya Pasal 87 alfabet b UU Nomor 7
Tahun 2020 mengenai MK menyatakan hakim konstitusi yg sedang menjabat
dalam waktu undang-undang ini diundangkan, dipercaya memenuhi kondisi dari
UU tersebut, & mengakhiri masa tugasnya nir melebihi 15 tahun, Pemberhentian
hakim MK sang DPR adalah tindakan yg nir sinkron dari pasal 87 alfabet b UU
Nomor 7 Tahun 2020 mengenai MK yg dimana menyatakan hakim konstitusi yg
sedang menjabat dalam waktu undang-undang ini diundangkan, dipercaya
memenuhi kondisi dari UU tersebut, & mengakhiri masa tugasnya nir melebihi 15
tahun atau hingga usia 70 tahun. Disamping itu wewenang DPR memberhentikan
hakim MK ditengah masa jabatannya nir dimuat pada undang-undang MK,
lantaran dari pasal 23 ayat 4 UU MK menyatakan bahwa pemberhentian hakim
MK hanya mampu dilakukan menurut keputusan presiden atas permintaan
menurut Ketua MK & DPR nir berhak mengusulkan pemberhentian hakim MK.
Oleh karenanya bisa disimpulkan bahwa DPR nir mempunyai wewenang pada
pemberhentian hakim MK.
Jadi, menurut sudut pandang DPR, praktik mengabaikan ketentuan
peraturan perundang-undangan bisa sebagai preseden jelek bagi masa depan
Mahkamah Konstitusi.

Saran
Menurut konstitusi, DPR hanya berhak mengangkat hakim MK, sehingga
keputusan DPR untuk memberhentikan hakim MK sebelum waktunya dapat
membahayakan independensi MK. Selain itu, pemberhentian hakim MK oleh
DPR dapat menjadi preseden buruk di arena peradilan, khususnya di Mahkamah
Konstitusi, karena tidak ada undang-undang MK yang mengatur bahwa Demokrat
berhak mencopot hakim MK
Daftar Pustaka

Rishan, Idul. 2016. “Redesain Sistem Pengangkatan dan Pemberhentian


Hakim di Indonesia” dalam Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM NO. 2 VOL. 23
APRIL 2016: 165 – 185 diakses pada tanggal 25 Oktober 2022 pukul 10.30

Dwi Kartika, Shanti. 2017. “Seleksi Untuk Pengangkatan Hakim


Konstitusi” dalam Majalah Info Singkat Hukum Vol. IX, No.
06/II/Puslit/Maret/2017. Diakses pada tanggal 25 Oktober 2022 pukul 10.10
FH, Wahyu. 2022. “IKA FH UNNES adakan Diskusi Akademik dengan
Tema Pemberhentian Hakim Mahkamah Konstitusi Aswanto oleh DPR RI”
https://fh.unnes.ac.id/ika-fh-unnes-adakan-diskusi-akademik-dengan-tema-
pemberhentian-hakim-Mahkamah Konstitusi-aswanto-oleh-dpr-ri/ diakses pada
tanggal 25 Oktober 2022 pukul 11.35
Hoven, Vallen. 2020.”Tugas dan Fungsi Lembaga Tertinggi Negara”
https://www.academia.edu/11563031/Tugas_dan_Fungsi_Lembaga_Tertinggi_Ne
gara?email_work_card=view-paper diakses pada tanggal 27 Oktober 2022 pukul
13.55
Zulmi, Dukatis. 2022. Mekanisme Pemberhentian Hakim Mahkamah
Konstitusi (Analisis Keputusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi
Nomor: 01/Mkmk/X/2013). Skripsi. Jakarta: Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah. diakses pada tanggal 27 Oktober 2022 pukul 15.50
Syahbarani, Hendra. 2009. Kebebasan Lembaga Pengadilan Dalam Sistem
Hukum Indonesia. https://ojs.uma.ac.id/index.php/mercatoria/article/view/681
diakses pada tanggal 27 Oktober 2022 pukul 15.55
Thalib, Dr. Abdul Rasyid. 2008. Wewenang Mahkamah Konstitusi dan
implikasinya dalaam system Ketatanegaraan Republik Indonesia. Bandung. Citra
Aditya Bakti. diakses pada tanggal 27 Oktober 2022 pukul 16.10
Murti, Novianto. 2020. Periode Masa Jabatan Hakim Konstitusi dan
Implikasinya terhadap Kemandirian Kekuasaan Kehakiman.
https://jurnal.dpr.go.id/index.php/hukum/article/download/1705/pdf diakses pada
tanggal 27 Oktober 2022 pukul 16.13
M. Gaffar, Janedjri. 2009. Kedudukan, Fungsi Dan Peran Mahkamah
Konstitusi Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia. Mahkamah
Konstitusi Indonesia. diakses pada tanggal 28 Oktober 2022 pukul 12.10
Misranto, Misranto. Mahkamah Konstitusi Dalam Konstruksi Sistem
Peradilan Impeachment. Vol. 19 No. 3 (2014): Edisi September diakses pada
tanggal 28 Oktober 2022 pukul 16.19

Anda mungkin juga menyukai