Anda di halaman 1dari 14

ANALISIS PELAKSANAAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR:

30/PUU-XVI/2018 BERDASARKAN SIFAT FINAL DAN MENGIKAT DALAM


PENGUJIAN UNDANG-UNDANG

Disusun oleh :

1. 22410009 Mochammad Revano Multi Utomo


2. 22410093 Baihaqi Ahmad Zaki
3. 22410418 Muhmmad Rhafly Hendrianto Putra
4. 22410080 Fabian Pasha B
5. 22410394 Andhika Hellmy A
6. 22410548 Mohamad Afandi
7. 22410464 Farifky Wahyu Cahyadi
Abstrak

Setiap orang mempunyai hak atas kesetaraan penuh dan agar suaranya didengarkan terlebih
dahulu. Keputusan yang penuh dan tidak memihak oleh pengadilan yang independen dan
tidak memihak mengenai hak dan kewajibannya serta atas setiap tuntutan pidana yang
diajukan terhadapnya. Sebagai lembaga peradilan konstitusi, Mahkamah Konstitusi
mempunyai beberapa ciri yang berbeda dengan peradilan biasa. Keunikan tersebut terletak
pada sifat putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final, mengikat dan diterapkan
menurut asas yang berlaku umum. Pasal 60 UU Mahkamah Konstitusi mengatur bahwa
muatan hukum yang telah diuji tidak dapat diuji lagi. Hal ini berkaitan dengan hakikat
kekuasaan universal yang telah disebutkan sebelumnya. Kekuasaan eksekutif Mahkamah
Konstitusi sebagai pembentuk undang-undang yang pasif berarti hanya mengatur apakah
muatan substantif suatu ayat atau pasal undang-undang tertentu bertentangan dengan
Konstitusi. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 30/PUU-XVI/2018 dianggap berlaku surut.
Mahkamah Agung membatalkan Putusan PKPU Nomor 26 Tahun 2018 karena Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 30/PUU-XVI/2018 mempunyai kekuatan surut. Namun
Putusan Mahkamah Konstitusi 30/PUU-XVI/2018 harus tetap dilaksanakan sehingga
menimbulkan ketidakpastian hukum. Mahkamah Agung dinilai mengabaikan putusan
Mahkamah Konstitusi. Dalam melaksanakan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 30/PUU-
XVI/2018, maka penafsiran Mahkamah Konstitusi harus dijadikan pedoman dan
dilaksanakan. Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung sebagai lembaga pengkajian
peraturan nasional diharapkan dapat bersinergi untuk menciptakan rasa keadilan dan
kepastian hukum bagi masyarakat.
Kata Kunci : Konstitusi, Undang-Undang, Putusan, Mahkamah, Agung

A. Pendahuluan
Amandemen UUD 1945 diawali dengan dimulainya gerakan reformasi pada
tahun 1998. Gerakan reformasi ini berupaya mewujudkan pemerintahan yang
demokratis berdasarkan hukum dan kekuasaan yang terdesentralisasi. Alat utama yang
digunakan Soeharto untuk mempertahankan kekuasaan adalah Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang awalnya sakral dan kontroversial.
Desakralisasi Konstitusi tidak dapat dihentikan. Semangat amandemen UUD 1945
adalah untuk mendorong berkembangnya struktur ketatanegaraan yang lebih
demokratis. Slamet Effendi Yusuf dan Umar Basalim mengemukakan berbagai alasan
mengapa UUD NRI 1945 perlu direvisi dari segi filosofis, historis, sosiologis, hukum,
ketatanegaraan, dan substantif. Pada saat yang sama, DPD-RI mengatakan: “Tentu
saja alasan utama mengapa konstitusi harus direvisi adalah karena konstitusi tersebut
pada saat itu dianggap sudah ditinggalkan dan tidak lagi memenuhi kebutuhan
masyarakat saat ini” (kompas .com). Perlu juga dicatat bahwa hampir semua negara
dalam transisi demokrasi menganggap reformasi konstitusi sebagai bagian integral
dari inovasi politik mereka. Pentingnya reformasi konstitusi begitu besar sehingga
pelaksanaannya dianggap perlu. Tidak jelas kapan negara-negara dalam transisi akan
mulai menerapkan reformasi konstitusi.
Kekuasaan kehakiman yang dijalankan oleh Mahkamah Agung dan badan
peradilan yang terkait dengannya mencakup kekuasaan meninjau, mengadili, dan
mengadili perkara-perkara yang diajukan, dan didasarkan pada peraturan perundang-
undangan untuk menjaga hukum dan keadilan. Subyek yurisdiksi peradilan harus
dapat melaksanakan tugasnya dengan baik, memberikan penilaian yang obyektif dan
adil, serta selalu menjunjung tinggi hukum dan keadilan. Oleh karena itu, lembaga ini
harus independen terhadap kekuasaan lain atau kekuasaan negara. Kekuasaan
kehakiman yang mandiri atau mandiri diatur dalam Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan: “Kekuasaan
kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna
menegakkan hukum dan keadilan.” Sistem Peradilan Indonesia dan doktrin Mendes
Jiu tentang tujuan dan perlunya “pemisahan kekuasaan” mempunyai keterkaitan yang
erat, yaitu untuk menjamin keberadaan dan pelaksanaan kebebasan politik bagi
anggota masyarakat negara. Montesquieu menguraikan tentang makna kebebasan
politik, yang ditandai dengan rasa damai karena setiap orang merasa aman dan
terlindungi. Untuk mencapai kebebasan politik, organ-organ pemerintahan harus
diatur sedemikian rupa sehingga masyarakat tidak takut terhadap mereka, seperti
halnya setiap orang tidak takut terhadap orang lain di sekitarnya.
Montesquieu berpendapat bahwa penataan negara atau lembaga-lembaga
negara yang menjamin kebebasan dicapai dengan membagi lembaga-lembaga negara
menjadi tiga cabang kekuasaan. Tanpa pemisahan ini, tidak akan ada kebebasan.
“Semangat Hukum” yang diwakili oleh Montesquieu membela pemisahan kekuasaan,
yaitu: ketika kekuasaan kehakiman dan kekuasaan legislatif digabungkan menjadi
satu, kehidupan dan kebebasan manusia berada di bawah kendali sewenang-wenang.
Di sisi lain, ketika lembaga yudikatif dan eksekutif bersatu, hakim selalu bisa
bertindak sewenang-wenang dan represif. Oleh karena itu, jika dilihat dari asas
pemisahan kekuasaan, kekuasaan kehakiman yang independen merupakan bagian dari
upaya menjamin kebebasan dan mencegah kesewenang-wenangan (Asshiddiqie,
2007: 520-521). Dapat dikatakan bahwa kekuasaan kehakiman yang independen
tercermin dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dan Kovenan Internasional
tentang Hak Sipil dan Politik, yang menetapkan “kekuasaan kehakiman yang
independen dan tidak memihak”. Setiap orang mempunyai hak atas kesetaraan penuh
dan agar suaranya didengarkan terlebih dahulu. penetapan yang umum dan adil oleh
pengadilan yang independen dan tidak memihak mengenai hak dan kewajibannya
serta tuntutan pidana apa pun yang diajukan terhadapnya.
Sebagai lembaga peradilan konstitusi, Mahkamah Konstitusi mempunyai
beberapa ciri yang berbeda dengan peradilan biasa. Kekhasan tersebut terletak pada
sifat putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final, mengikat dan diterapkan
menurut asas berlaku umum (Soeroso, 2013: 234-235). Sifat putusan Mahkamah
Konstitusi yang bersifat final dan mengikat menimbulkan sejumlah akibat hukum
yang harus ditaati layaknya undang-undang. Putusan Mahkamah Konstitusi dianggap
mempunyai kedudukan yang sama dengan undang-undang, karena putusan
Mahkamah Konstitusi yang menyatakan suatu pasal tertentu tidak mengikat harus
diumumkan dalam Berita Negara dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari
kerja sejak putusan tersebut diumumkan (UU Nomor 24 Tahun 2003). Putusan
Mahkamah Konstitusi mempunyai kekuatan hukum tetap setelah diumumkan dalam
sidang pleno publik. Hal ini merupakan konsekuensi dari sifat putusan Mahkamah
Konstitusi yang telah ditetapkan final berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945. Oleh karena itu Mahkamah Konstitusi merupakan
pengadilan pertama dan terakhir yang putusannya tidak dapat diambil melalui
perbuatan hukum.
Putusan Mahkamah Konstitusi yang seharusnya bersifat mengikat jika
dibacakan dalam rapat umum, namun dalam praktiknya tidak jarang putusan
Mahkamah Konstitusi diabaikan oleh Mahkamah Agung. Contohnya adalah Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-XI/2013 yang memutuskan Pasal 263 ayat (3)
KUHAP tidak mengikat pengujian perkara pidana dan tidak dapat dibatasi hanya pada
peninjauan perkara pidana saja 1 (satu) kali. Dalam proses pelaksanaannya,
Mahkamah Agung tetap berpedoman pada pedoman bahwa peninjauan kembali hanya
dapat dilakukan satu kali (1) dan menerbitkan SEMA Nomor 7 Tahun 2014. Pada
artikel kali ini kita akan membahas tentang Hakikat Putusan Mahkamah Konstitusi
Dalam Sistem Hukum Indonesia, Bagaimana Implementasi Peradilan Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 30 Dalam Sistem Hukum Indonesia. Nomor 30/PUU-
XVI/2018. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis implementasi Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 30/PUU-XVI/2018 dalam konteks sistem hukum
Indonesia. Beberapa artikel dalam penelitian terdahulu menunjukkan bahwa
pelaksanaan putusan Mahkamah Konstitusi terkadang menuai banyak kritik dan
penolakan, namun pelaksanaan putusan tidak bisa dihindari (Prang, 2011). Dalam
pasal lain disebutkan bahwa pihak-pihak yang terlibat dalam putusan Mahkamah
Konstitusi menjalankan fungsinya sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi,
meskipun undang-undang yang permohonannya disetujui Mahkamah Konstitusi
belum berubah (Widayati, 2017). Hal ini juga diperkuat dengan artikel penelitian
lainnya yang menyebutkan bahwa judicial review merupakan kewenangan luar biasa
Mahkamah Konstitusi untuk menyatakan suatu peraturan atau tindakan administratif
inkonstitusional dan tidak mengikat..
B. Pembahasan
Penafsiran Pasal 10 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8
Tahun 2011 menyatakan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final yang
berarti tidak dapat dilakukan upaya hukum lebih lanjut. Keputusan tersebut bersifat
final, artinya juga mengikat. Menurut Pasal 47 Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2003 tentang Mahkamah Konstitusi, putusan Mahkamah Konstitusi mulai berlaku
sejak tanggal dibacakan dalam rapat umum. Menurut Maruarar Siahaan, suatu putusan
Mahkamah Konstitusi mempunyai tiga (tiga) kekuatan sejak diucapkan, yaitu
kekuatan mengikat, kekuatan pembuktian, dan kekuatan penegakan hukum (Siahaan,
2012). Kekuatan mengikat: Putusan Mahkamah Konstitusi tidak hanya mengikat para
pihak yang bersengketa (dalam hal ini pemohon dan tergugat), namun juga
menerapkan prinsip-prinsip yang berlaku umum. Prinsip penerapan universal artinya
berlaku pada setiap orang atau setiap individu dan lembaga (Siahaan, 2009). Kekuatan
pengikatan putusan Mahkamah Konstitusi sangat berbeda dengan putusan peradilan
umum yang hanya mengikat para pihak yang berperkara. Mahkamah Konstitusi
dikenal sebagai pembentuk undang-undang yang pasif, yaitu putusan Mahkamah
Konstitusi hanya menguji apakah undang-undang bertentangan dengan Undang-
Undang Dasar dan tidak merumuskan norma baru untuk menggantikan norma yang
telah dihapuskan.
Kekuatan pembuktian suatu putusan Mahkamah Konstitusi dapat dijadikan
alat bukti karena putusan hakim dianggap benar dan mempunyai kekuatan pasti
(gezag van gevijsde). Pasal 60 UU Mahkamah Konstitusi mengatur bahwa isi suatu
undang-undang yang telah diuji tidak dapat diuji lagi. Hal ini berkaitan dengan
hakikat kekuasaan universal yang telah disebutkan sebelumnya. Kekuasaan eksekutif
Mahkamah Konstitusi sebagai negative legislator berarti hanya mengatur apakah
muatan substantif suatu ayat atau pasal undang-undang bertentangan dengan UUD.
Putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan permohonan dianggap mempunyai
kekuatan hukum apabila diumumkan dalam Berita Negara dalam waktu paling lambat
30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal pengumuman putusan. Putusan
Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan permohonan pemohon wajib diumumkan
dalam Berita Negara. Putusan Mahkamah Konstitusi yang dimuat dalam Berita
Negara harus menganut asas fiksi hukum, yang berarti setiap orang dianggap
mengetahui dan berlaku bagi masyarakat sama seperti hukum (asas penerapan erga
omnes). Namun dalam praktiknya, putusan Mahkamah Konstitusi seringkali bersifat
mengambang (floating penegakan) hanya jika diperlukan tindak lanjut oleh lembaga
lain (Maulidi, 2017). Dalam pertimbangan hukum putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 49/PUU-IX/2011, tentang pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011
(tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003), juga disebutkan
bahwa putusan tersebut Mahkamah bersifat final, mengikat masyarakat dan dapat
segera dilaksanakan (self-executing) oleh Negara, seluruh warga negara dan
pemangku kepentingan.
Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi mempunyai kewenangan yang
berbeda, khususnya dalam hal ini, dalam menguji undang-undang. Pasal 24C Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengatur bahwa Mahkamah
Konstitusi berwenang mengambil keputusan sementara dan final terhadap undang-
undang yang melanggar UUD dan putusannya bersifat final. Sementara itu, Pasal 24A
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengatur bahwa
Mahkamah Agung berwenang menguji peraturan yang melanggar hukum sesuai
dengan undang-undang. Dalam pelaksanaan tugas dan wewenangnya ternyata
terdapat benturan kekuasaan sebagaimana disebutkan di atas, sehingga dapat
menimbulkan ketidakpastian hukum. Seperti kasus Oesman Sapta, hingga saat ini
belum ada kepastian hukum mengenai statusnya sebagai calon anggota DPD.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menerbitkan Peraturan Panitia
Pemilihan Umum Nomor 26 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan
Panitia Pemilihan Umum Nomor 14 Tahun 2018 tentang Pengusulan Calon
Perorangan Anggota Dewan Perwakilan Daerah Umum. peserta pemilu, sebagai
Tindak Lanjut Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 30/PUU-XVI/2018. Pasal 60A
PKPU Nomor 26 Tahun 2018 mengatur, memenuhi syarat pribadi calon anggota
DPD, termasuk tidak menjabat sebagai pengurus partai politik pusat atau daerah.
Kemudian disebutkan juga bahwa calon anggota dewan DPD harus mengundurkan
diri dari jabatan pengurus partainya sebelum masa pendaftaran calon anggota dewan
DPD dan paling lambat satu (satu) hari sebelum finalisasi daftar calon tetap anggota
dewan DPD.
Calon Anggota DPD Oesman Sapta yang tidak puas dengan keluarnya PKPU,
mengajukan permohonan uji materi terhadap Dokumen PKPU Nomor 26 Tahun 2018
tentang Perubahan Kedua Nomor 14 Tahun 2018 tentang Pengusulan Perorangan
Peserta Pemilu kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah anggota mengajukan
gugatan terhadap keputusan KPU ke Mahkamah Agung dan PTUN. Permohonan
tersebut disetujui oleh Mahkamah Agung dan Hakim PTUN yang membatalkan
putusan PKPU Nomor 26 Tahun 2018 dan KPU Nomor 1130/PL.01.4 –
Kpt/06/KPU/IX/2018. Hakim Mahkamah Agung dan Hakim PTUN tampaknya
mengabaikan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 30/PUU-XVI/2018 sehingga
menimbulkan ketidakpastian hukum atas status Oesman Sapta saat ini. Di satu sisi,
KPU melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi, namun ditentang oleh Mahkamah
Agung dan PTUN. Dualitas hak untuk meninjau peraturan dapat menimbulkan
permasalahan dalam implementasi keputusan. Mahkamah Agung dan Mahkamah
Konstitusi mempunyai status kelembagaan yang sama dengan lembaga negara.
Namun demikian, putusan uji konstitusional yang dilakukan oleh Mahkamah
Konstitusi berdampak pada proses uji materiil yang dilakukan oleh Mahkamah
Agung. Mahkamah Konstitusi nampaknya mempunyai kedudukan yang lebih tinggi
dibandingkan Mahkamah Agung dalam hal pengujian hukum. Pembagian wewenang
untuk meninjau peraturan dapat menimbulkan konflik keputusan (Asshidiqie, 2004).
Dalam sistem hukum Indonesia, berbagai bentuk peraturan merupakan produk hukum
turunan dari konstitusi, sehingga pengujian peraturan ketatanegaraan mempunyai
hubungan derivasi yang linier dengan pengujian peraturan di bawah undang-undang.
Ditinjau dari pelaksanaan putusannya, putusan Mahkamah Konstitusi terhadap
judicial review dapat dibedakan menjadi dua kategori, yaitu putusan yang dapat
segera dilaksanakan dan putusan yang perlu ditindaklanjuti oleh pembentuk undang-
undang (Hakiki, 2019). Keputusan yang dapat dilaksanakan segera adalah keputusan
yang mengabulkan permintaan pemohon, namun membatalkan beberapa klausul,
paragraf atau isi, sehingga tidak mengikat. Sementara itu, putusan-putusan yang perlu
ditindaklanjuti adalah putusan-putusan yang dalam putusannya memerlukan
perubahan undang-undang atau ditetapkannya undang-undang yang baru.Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 30/PUU-XVI/2018 hendaknya dimasukkan dalam
putusan yang mempunyai kekuatan hukum segera, karena putusan tersebut hanya
memperluas makna frasa dalam pasal tersebut atau inkonstitusional bersyarat. Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 30/PUU-XVI/2018 mempunyai implikasi hukum
terhadap aturan pencalonan anggota Partai Demokrat pada pemilu tahun 2019. Lalu,
yang memprihatinkan sekaligus kontroversial adalah keputusan Mahkamah Konstitusi
yang mengumumkan penutupan calon usai proses pendaftaran calon anggota Partai
Demokrat. Namun, keputusan tersebut mengikat secara langsung calon anggota
parlemen dari Partai Demokrat yang menjabat sebagai pengurus partai yang
dinyatakan terverifikasi sebelum Mahkamah Konstitusi memperluas istilah “pekerjaan
lain”. Mahkamah Konstitusi juga mewajibkan calon anggota Partai Demokrat yang
menjabat sebagai pengurus partai untuk mengajukan pengunduran diri secara tertulis
dari jabatannya sebagai pengurus partai.
Permasalahan yang muncul dalam pelaksanaan Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 30/PUU-XVI/2018 adalah diundangkannya putusan tersebut. Mahkamah
Agung mengabulkan sebagian permohonan uji materiil Dokumen PKPU Nomor 26
Tahun 2018 dengan pertimbangan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi tidak boleh
berlaku surut terhadap calon calon anggota parlemen dari Partai Demokrat yang telah
lolos tahap verifikasi. Konflik kekuasaan antara Mahkamah Agung dan Mahkamah
Konstitusi dapat menimbulkan ketidakpastian hukum (Isra, 2015). Namun jika
melihat sifat putusan MK yang bersifat final dan mengikat, maka Putusan MK Nomor
30/PUU-XVI/2018 harus segera dilaksanakan sebagaimana undang-undang. Artinya
putusan tersebut harus dilaksanakan segera setelah diumumkan di pengadilan umum
dan berlaku asas erga omnes setelah diumumkan dalam Berita Negara. Sementara itu,
kebijakan bagi pengurus partai adalah mengajukan pengunduran diri secara tertulis
karena proses pendaftaran calon anggota DPD sudah berjalan.
Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga yang mempunyai kekuasaan untuk
menegakkan dan menafsirkan UUD (pengawal dan penafsir UUD). Dalam konteks
ini, jika terjadi perbedaan pendapat mengenai penafsiran undang-undang, maka
penafsiran Mahkamah Konstitusi harus menjadi pedoman. Menurut hakim Mahkamah
Konstitusi K.C., penafsiran merupakan cara untuk melakukan amandemen konstitusi
secara informal. Pernyataan tersebut mempunyai arti bahwa putusan Mahkamah
Konstitusi tentang pengujian undang-undang merupakan konstitusi baru yang
mempunyai kekuatan hukum mengikat (Suharyanto, 2016). Selain itu, dapat
dikatakan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi merupakan preseden yang kaya
muatan hukum dan dapat menjadi acuan bagi hakim lain dalam mengadili suatu
perkara (Pramana, 2014). Oleh karena itu, dalam melaksanakan putusan Mahkamah
Konstitusi, Pasal Putusan Nomor 1 30/PUU-XVI/2018 harus berpedoman dan
melaksanakan penafsiran Mahkamah Konstitusi. Untuk menghindari permasalahan
dalam pengujian peraturan perundang-undangan, maka kewenangan tersebut sedapat
mungkin menjadi kewenangan eksklusif Mahkamah Konstitusi. Mo. Mahfud MD
berpendapat bahwa pertentangan antar undang-undang yang memerlukan pengujian
undang-undang harus diadili secara eksklusif oleh Mahkamah Konstitusi sebagai
badan peradilan tata usaha negara (Mahfud MD, 2009). Pada hakikatnya peraturan
dalam undang-undang ini tentu saja berkaitan secara linier dengan undang-undang
yang lebih tinggi, sehingga apabila peninjauan dilakukan oleh lembaga nasional,
diharapkan keputusan peninjauan kembali dapat dilaksanakan dengan baik sehingga
tercapai kesatuan peraturan. .
Putusan Mahkamah Konstitusi tidak hanya mengikat para pihak yang
mengajukan perkara ke Mahkamah Konstitusi (inter partes), tetapi juga seluruh warga
negara, sebagaimana undang-undang pada umumnya mengikat semua warga negara
(Laksono Soeroso, 2013: 235). Oleh karena putusan Mahkamah Konstitusi bersifat
erga omnes, artinya putusan Mahkamah Konstitusi berlaku bagi semua orang, tidak
hanya berlaku bagi para pihak yang bersengketa. Menurut Bagir Manan, yang
dimaksud dengan “berlaku umum” adalah suatu putusan yang akibat-akibatnya
berlaku terhadap semua kemungkinan perkara yang akan datang yang mengandung
persamaan, sehingga apabila suatu undang-undang dinyatakan tidak sah karena
bertentangan dengan UUD, maka tidak sah bagi semua orang (Suprantio, 2014: 40 ).
Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat umum dan dapat dianggap telah memasuki
fungsi legislasi, dan hakim tidak lagi sekedar membuat undang-undang untuk
peristiwa tertentu, tetapi membuat undang-undang untuk peristiwa yang akan datang
(abstrak), yang mengandung unsur pembentukan undang-undang. . Pembentukan
hukum untuk hal-hal yang bersifat abstrak merupakan fungsi dari peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Artinya, sifat putusan Mahkamah Konstitusi berlaku umum dan dapat
dimaknai berlaku sama dengan undang-undang karena undang-undang merupakan
produk hukum dan mengikat siapa pun di Indonesia. Sifat umum dan abstraksi
undang-undang juga tercermin dalam putusan Mahkamah Konstitusi. Putusan
Mahkamah Konstitusi juga mengatur ketentuan-ketentuan umum sesuai dengan
sifatnya yang berlaku umum. Walaupun putusan Mahkamah Konstitusi berlaku seperti
undang-undang, yaitu sesuai dengan asas berlaku umum, namun putusan Mahkamah
Konstitusi tidak dapat diuji seperti undang-undang. Sebab, putusan Mahkamah
Konstitusi bersifat final dan putusan tersebut diambil sesuai dengan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Artinya, putusan Mahkamah
Konstitusi didasarkan pada penafsiran UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Negara Kesatuan Republik Indonesia, tidak boleh terus menerus bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Perumusan norma hukum tidak terlepas dari faktor administratif. Sebab
apabila penerapan norma hukum menimbulkan permasalahan dalam bidang
administratif, maka norma hukum tidak akan pernah efektif. Seperti implementasi
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-XI/2013 Mahkamah Agung.
Keputusan yang dapat ditinjau ulang berkali-kali tentu akan menimbulkan
permasalahan serius dalam penyelenggaraan pemerintahan, karena keputusan yang
sudah diputuskan kemungkinan besar akan diajukan untuk ditinjau kembali. Pada saat
yang sama, Mahkamah Agung menangani sejumlah besar perkara peninjauan kembali
setiap tahunnya. Berikut status perkara Peninjauan Kembali Mahkamah Agung dalam
tiga tahun (2014, 2015, dan 2016). Tumpukan perkara peninjauan kembali tidak dapat
menjadi alasan untuk membatasi peninjauan kembali karena Pasal 268(1) KUHAP
dengan jelas menyatakan bahwa permohonan peninjauan kembali terhadap suatu
putusan tidak menunda atau menghentikan pelaksanaan putusan. keputusan.
Kemudian, Konstitusi menetapkan bahwa Mahkamah Agung merupakan
lembaga peradilan tertinggi untuk menegakkan hukum dan keadilan sesuai dengan
Pasal 24 Ayat 1 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
karena pemenuhan keadilan merupakan hak konstitusional setiap orang yang paling
mendasar. warga negara. Mahkamah Agung tidak boleh menggagalkan upaya setiap
warga negara untuk mendapatkan keadilan atas kebebasan dan hak hidup mereka.
Selain mengesampingkan suatu putusan, peninjauan kembali merupakan bagian dari
upaya hukum khusus untuk menyikapi suatu putusan pengadilan yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap. Disebut upaya hukum luar biasa karena
peninjauan kembali hanya dapat dilakukan terhadap seluruh upaya hukum biasa yaitu
banding dan kasasi. Oleh karena itu, meminta peninjauan kembali pada hakikatnya
merupakan sarana bagi pelaku kejahatan atau ahli warisnya untuk mencari keadilan
dan melindungi kepentingan pelaku kejahatan. Pentingnya upaya hukum peninjauan
kembali yang luar biasa tidak terlepas dari hakikat proses peradilan pidana, dimana
alat bukti mengacu pada fakta material dan meyakinkan hakim.
Hal ini terlihat dari alasan yang sah untuk mengajukan permohonan
peninjauan kembali yang diatur dalam Pasal 263 ayat (2) KUHAP, yaitu memuat
alasan yang murni faktual, yaitu adanya fakta baru atau fakta baru, pertentangan
putusan atau adanya fakta Ya, juri memang salah dalam tatanan idealnya. Peninjauan
kembali tidak boleh ada karena penyidik dianggap melakukan penyidikan tanpa
meninggalkan fakta yang tidak terjawab, dan hakim menganggap keputusan yang
diambil tidak salah. Namun dalam praktiknya, praktik peradilan yang menyesatkan
masih terjadi dari waktu ke waktu, dan pelanggaran pada tahap penyidikan dan
peninjauan kembali menjadi jalan bagi pelaku kejahatan atau pihak untuk mencari
keadilan. Mengingat pentingnya uji materi bagi pencari keadilan, maka Mahkamah
Konstitusi melalui Putusan Nomor 34/PUU-XI/2013 menegaskan, jumlah
permohonan uji materi tidak boleh dibatasi.
Mahkamah Konstitusi melalui putusannya menegaskan, permohonan
peninjauan kembali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 268 ayat 3 KUHP hanya
dapat diajukan satu kali dan tidak mengikat. Mahkamah Konstitusi menegaskan,
judicial review merupakan alat untuk mencari keadilan melalui penemuan kebenaran
baru, yaitu kebenaran yang tidak diragukan lagi.Mahkamah Konstitusi berpandangan
bahwa keadilan tidak dapat dibatasi oleh waktu atau peraturan formil dan membatasi
upaya hukum luar biasa pada pengujian undang-undang untuk diajukan hanya satu
kali saja, karena tidak menutup kemungkinan ditemukannya keadaan baru yang
substansial (novum) pasca peninjauan kembali. Tinjauan diputuskan. Maka dalam
asas hukum pidana, keadilan harus diutamakan daripada kepastian hukum. Mahkamah
Agung sebagai lembaga peradilan tertinggi harus bisa mengedepankan keadilan
dibandingkan kepastian hukum karena keadilan hukum merupakan bagian dari hak
asasi manusia. Pembatasan judicial review hanya menimbulkan kesan bahwa
Mahkamah Agung sebagai lembaga peradilan tertinggi “malas” dalam mencari
keadilan bagi kehidupan dan kebebasan setiap umat manusia, padahal bukti-bukti
membuktikan sebaliknya dan membuktikan bahwa pelaku tidak bersalah.
C. Kesimpulan
Mahkamah Konstitusi berwenang menguji undang-undang yang melanggar
konstitusi, mengadili perselisihan lembaga negara, mengadili pembubaran partai
politik, dan mengadili perselisihan hasil pemilu tahap awal dan akhir. Keputusan
Mahkamah Konstitusi bersifat final yang artinya juga mengikat. Putusan Mahkamah
Konstitusi bersifat mengikat, dapat dibuktikan, dan dapat dilaksanakan. Ada kendala
dalam pemberlakuan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 30/PUU-XVI/2018 yang
dinilai mempunyai kekuatan surut. Mahkamah Agung membatalkan Putusan PKPU
Nomor 26 Tahun 2018 karena Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
30/PUU-XVI/2018 mempunyai kekuatan surut. Namun Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 30/PUU-XVI/2018 harus tetap dilaksanakan sehingga
menimbulkan ketidakpastian hukum. Mahkamah Agung dinilai mengabaikan putusan
Mahkamah Konstitusi. Dalam melaksanakan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
30/PUU-XVI/2018, maka penafsiran Mahkamah Konstitusi harus dijadikan pedoman
dan dilaksanakan. Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung sebagai lembaga
nasional yang mengkaji peraturan diharapkan dapat bersinergi untuk menciptakan rasa
keadilan dan kepastian hukum di masyarakat. Pertanyaan yang selalu relevan dengan
sulitnya menegakkan suatu putusan Mahkamah Konstitusi adalah finalitas, yakni sifat
mengikat putusan tersebut. Oleh karena putusan Mahkamah Konstitusi bersifat
mengikat masyarakat, maka pihak yang melaksanakan ketentuan hukum yang telah
diputuskan wajib melaksanakan putusan tersebut. Namun mengingat norma hukum
merupakan suatu kesatuan sistem, maka beberapa keputusan harus melalui tahapan
tertentu, tergantung pada substansi keputusannya. Dalam hal ini, beberapa keputusan
dapat segera dilaksanakan tanpa memerlukan peraturan baru atau perubahan,
sementara keputusan lainnya memerlukan pengaturan lebih lanjut.

Daftar Pustaka

Asshiddiqie, J. (2007). Pokok-pokok hukum tata negara Indonesia. Jakarta: PT Bhuana Ilmu
Populer. Soeroso, F. L. (2013, Desember). Pembangkangan terhadap Putusan
Mahkamah Konstitusi. Jurnal Yudisial, 6(3), 227-249.

Imelda, Y., & Wijaya, S. (1). Analisis Kewenangan dan Putusan Mahkamah Konstitusi dalam
Amandemen Ketiga Undang-undang Dasar 1945 dalam Perspektif Siyasah. Medina-
Te : Jurnal Studi Islam, 17(1)

Maulidi, Mohammad A. (2017). Problematika HukumImplementasi Putusan Final dan


Mengikat Mahkamah Konstitusi Perspektif Negara Hukum. Jurnal Hukum Ius Quia
Iustum, Vol. 24, (No.4)

Prang, Amrizal J. (2011). Implikasi Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi. Kanun Jurnal
Ilmu Hukum, Nomor 53 Tahun XIII, pp. 77-94.

Prang, Amrizal J. (2011). Implikasi Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi. Kanun Jurnal
Ilmu Hukum, Nomor 53 Tahun XIII, pp. 77-94.

Siahaan, M. (2009, Juli). Peran Mahkamah Konstitusi dalam penegakan hukum konstitusi.
Jurnal Hukum, 16(3), 357-378
Siahaan, P. (2012). Politik Hukum Pembentukan Perundang-undangan Pasca Amandemen
UUD 1945. Jakarta: Konpress.

Widayati. (2017). Problem Ketidakpatuhan Terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Tentang


Pengujian Undang-Undang. Jurnal Pembaharuan Hukum, Vo.IV, (No. 1 Januari –
April 2017), pp.1-14.

Anda mungkin juga menyukai