HAKIM ALBANA
Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
konstitusionalisme.1
memuat secara ketat materi-materi yang secara substansial harus ada pada
1
Adnan Buyung Nasution, 2001, Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia, Studi Socio-
Legal atas Konstituante 1956-1959, Pustaka Grafiti, Jakarta, hlm. 119.
2
Moh. Mahfud MD, 1999, Amandemen Konstitusi Menuju Reformasi Tata Negara, UII Press,
Yogyakarta, hlm. 62.
3
Ibid.
Positive Legislature Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi
HAKIM ALBANA 2
Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
sementara. 5
sebanyak empat kali yaitu pada tahun 1999, 2000, 2001 dan 2002.
upaya hukum jika terjadi pelanggaran konstitusi oleh negara melalui produk
4
Khalid, 2002, Amandemen Konstitusi untuk Memenuhi Konstitusionalisme, Tesis, Fakultas
Hukum UGM, Yogyakarta, hlm 96-97.
5
Soekarno secara resmi dua kali menyatakan sifat kesementaraan UUD 1945 itu dalam forum
berbeda, pertama dinyatakan di hadapan BPUPKI tangga 18 Agustus 1945, dan kedua
dinyatakan ketika melantik Konstituante tanggal 10 November 1956, lihat Ibid, hlm. 16.
6
Ikhsan Rosyada Perluhutan Daulay, 2006, Mahkamah Konstitusi : Memahami Keberadaannya
dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, PT. Rineka Cipta, Jakarta, hlm.19.
7
Ibid.
Positive Legislature Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi
HAKIM ALBANA 3
Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
lain). 9
Persoalan di atas akan bertambah besar dan berlarut, apabila tidak ada
dasar, karena bisa saja undang-undang lahir karena dominasi politik atau
review sulit dilakukan tanpa inisiatif dan persetujuan dari pemerintah.11 Oleh
warga negara.
sebagai dasar tertinggi negara dituangkan dalam Pasal 24 ayat (2) dan Pasal
8
Moh. Mahfud MD, 2011, Peranan Mahkamah Konstitusi Dalam Penegakan Hukum di
Indonesia, Makalah, FGD Tentang Penegakan Hukum pada Kementerian Koordinator Bidang
Politik, Hukum dan Keamanan, Jakarta, 12 Oktober 2011, hlm. 4.
9
Moh. Mahfud MD, 2012, Konstitusi dan Hukum dalam Kontroversial Isu, Rajawali Pers,
Jakarta, hlm. 293.
10
Moh. Mahfud MD,Peranan Mahkamah.… Loc.cit.
11
Moh. Mahfud MD, Konstitusi… Loc.cit.
Positive Legislature Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi
HAKIM ALBANA 4
Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
dari dua sisi, yaitu dari sisi politik ketatanegaraan dan dari sisi hukum : 13
dimiliki oleh DPR dan presiden. Hal tersebut diperlukan agar undang-
12
Dari berbagai literatur hukum, ada beberapa istilah dalam hal pengujian undang-undang,
yaitu toetsingrecht, judicial review dan constitutional review. Ketiga istillah tersebut sering
disalahartikan dan dicampuradukkan. Pengertian toetstingrecht diartikan sebagai hak uji atau
kewenangan untuk menguji. Jika hak atau kewenangan itu diberikan kepada lembaga
kehakiman atau hakim maka hal tersebut dinamakan judicial review, akan tetapi jika
kewenangan itu diberikan kepada legislatif maka istilahnya menjadi legislative review, dan
demikian jika kewenangan itu diberikan kepada lembaga eksekutif, maka istilahnya menjadi
executive review. lihat Zainal Arifin Hoesin, 2009, Judicial Review di Mahkamah Agung RI Tiga
Dekade Peraturan Perundang-Undangan, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 38-39.
Menurut Pasal 24C UUD NRI 1945 Mahkamah Konstitusi mempunyai hak pengujian UU
terhadap UUD sedangkan MA menurut Pasal 24A melakukan pengujian peraturan
perundang-undangan di bawah UU terhadap peraturan perundang-undangan. Meskipun
pengujian yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung sebenarnya
sama-sama judicial review dalam arti pengujian yang dilakukan oleh lembaga yudisial. Tapi
secara teknis pengujian undang-undang terhadap undang-undang dasar disebut constitutional
review sedangkan pengujian peraturan perundang-undangan di bawah UU terhadap
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi oleh Mahkamah Agung disebut judicial
review. Lihat Moh. Mahfud MD, Konstitusi…, Op.cit, hlm. 64.
13
Tim Penyusun Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, 2010, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi,
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta, hlm. 7.
Positive Legislature Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi
HAKIM ALBANA 5
Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
hukum.
Undang.
kekuasaan.
konstitusi.
14
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi telah mengalami dua
kali perubahan. Perubahan pertama dilakukan dengan UU Nomor 8 Tahun 2011, sedangkan
Perubahan kedua dengan UU Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan Perpu Nomor 1 tahun
2013 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 24 tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi
Menjadi Undang-Undang. Akan tetapi dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 1-
2/PUU-XII/2014, Mahkamah Konstitusi mencabut UU Nomor 4 Tahun 2014 karena dianggap
bertentangan dengan UUD NRI 1945. Sehingga UU Nomor 23 Tahun 2004 sebagaimana telah
dirubah dengan UU Nomor 8 Tahun 2011 tentang perubahan UU Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi berlaku kembali sebagaimana sebelum diubah oleh Perpu
Nomor 1 Tahun 2013.
15
Jimly Asshiddiqie, 2005, Model-Model Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara Cetakan
ke-2, Konstitusi Press, Jakarta, hlm. 10.
Positive Legislature Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi
HAKIM ALBANA 6
Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
maka Mahkamah Konstitusi harus menyatakan ayat, pasal, suatu bagian dari
putusan yang memuat rumusan norma baru yang bersifat mengatur (positive
sebagaimana telah diatur dalam Pasal 20 UUD NRI 1945. Karena dianggap
16
Lebih lanjut sifat negative legislature ditegaskan lagi ini dalam ketentuan Pasal 57 ayat (2a)
UU Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan UU Nomor 24 Tahun 2003., Akan tetapi
ketentuan Pasal 57 ayat (2a) ini telah dicabut melalui putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
48/PUU-IX/2011, karena dianggap bertentangan dengan UUD NRI 1945. Meskipun telah
dicabut oleh Mahkamah Konstitusi, tetapi ketentuan Pasal 57 ayat (2a) UU Nomor 8 Tahun
2011 tersebut menunjukkan bahwa pembentuk undang-undang menginginkan Mahkamah
Positive Legislature Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi
HAKIM ALBANA 7
Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
penelitian ini penulis hanya akan membatasi pada tiga putusan. Putusan yang
penulis anggap menarik untuk dikaji dan didalami yaitu Putusan Nomor
100/PUU-XIII/2015.
14, Pasal 17, Pasal 21 ayat (1), Pasal 77 huruf a dan Pasal 156 ayat (2) UU
frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup” dan “bukti yang
cukup” dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP,
bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum
yang cukup” dan “bukti yang cukup” adalah minimal dua alat bukti
Konstitusi hanya boleh menyatakan sebuah undang-undang bertentangan atau tidak dengan
UUD NRI 1945 dan tidak boleh memasuki ranah legislatif (dengan ikut mengatur). Lihat Moh.
Mahfud MD, Rambu Pembatas dan Perluasan Kewenangan Mahkamah Konstitusi.
http://www.mahfudmd.com/public/makalah/Makalah_11.pdf diakses pada tanggal 4
November 2015.
Positive Legislature Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi
HAKIM ALBANA 8
Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
terhadap Pasal 43 ayat (1) yang berbunyi “anak yang dilahirkan di luar
(8) dan (9), Pasal 50 ayat (8) dan (9), Pasal 51 ayat (2), Pasal 52 ayat (2) dan
Pasal 54 ayat (4), ayat (5), ayat (6) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015
setidak-tidaknya harus ada dua pasangan calon, dan sama sekali tidak
memberikan jalan keluar seandainya syarat paling kurang dua pasangan calon
bersifat positive legislature, serta sangat menarik untuk dikaji dan diteliti.
hukum yang berbeda yaitu perdata, pidana dan tata negara. Pertimbangan
Mahkamah Konstitusi terhadap tiga bidang hukum yang berbeda itu tentu
17
Terkait Putusan Nomor 46/PUU-VIII/2010, Komnas Perempuan menyambut positif putusan
Mahkamah Konstitusi karena sejalan dengan konstitusi dan Konvensi Penghapusan Segala
Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (UU No 7 Tahun 1984). “Putusan ini meneguhkan
pelaksanaan jaminan hak konstitusional bagi anak”. Sepekan setelah putusan Mahkamah
Konstitusi dibacakan, Komisioner Komnas HAM, Saharuddin Daming, membuat sebuah artikel
yang memuji putusan Mahkamah Konstitusi sebagai ‘terobosan spektakuler’. Menurut
Daming, ketentuan Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1) UUP memerkosa rasa keadilan dan
bertentangan dengan prinsip hak asasi manusia yang dijamin Pasal 28B ayat (1) dan (2) serta
Positive Legislature Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi
HAKIM ALBANA 10
Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
Pasal 28D ayat (1) UUD NRI 1945. Sebulan setelah putusan Mahkamah Konstitusi tersebut,
Majelis Ulama Indonesia juga mengeluarkan Fatwa Nomor 11 Tahun 2012. Fatwa ini dibuat
untuk menjawab pertanyaan masyarakat atas hal-hal yang tidak jelas dalam putusan
Mahkamah Konstitusi. MUI mengingatkan antara lain bahwa anak hasil zina tidak mempunyai
hubungan nasab, wali nikah, waris, dan nafaqah dengan lelaki yang menyebabkan
kelahirannya. Tetapi MUI juga mengingatkan bahwa pemerintah wajib melindungi anak hasil
zina dan mencegah terjadinya penelantaran lihat HukumOnline.com, Pro Kontra Status Anak
Di Luar Kawin, http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4f633ebb2ec36/pro-kontra-
status-anak-luar-kawin. diakses pada tanggal 10 November 2015.
Terkait Putusan Nomor 21/PUU-XII/2014, Putusan Mahkamah Konstitusi pun dipandang
kontroversial oleh Andriyan (Direktur Pusat Kajian Politik Hukum dan Konstitusi) sebab tidak
diaturnya penetapan tersangka sebagai objek praperadilan di dalam pasal 77 huruf a KUHAP
sebenarnya tidak menjadikan ketentuan tersebut inkonstitusional. Apabila penetapan
tersangka dipandang dapat lebih menghormati dan menjaga hak asasi tersangka, maka
gagasan demikian dapat dimasukkan dalam ketentuan undang-undang oleh pembentuk
undang-undang, bukan melalui putusan pengujian oleh Mahkamah Konstitusi. Lihat Andriyan,
Tersangka Objek Praperadilan Angin Segar Bagi Koruptor,
http://www.medanbisnisdaily.com/news/read/2015/05/11/163138/tersangka-objek-
praperadilan-angin-segar-bagi-koruptor/#.VkGvN9LhDIU diakses pada tanggal 10 November
2015.
Terkait Putusan Nomor 100/PUU-XIII/2015, Putusan Mahkamah Konstitusi merestui calon
tunggal tetap bisa melanjutkan pilkada serentak dan mengubah aturan syarat dukungan calon
independen menuai pro kontra. Sebagian pihak menilai, putusan tersebut akan membawa
dampak besar pada perubahan mekanisme pemilihan dan berpotensi pemborosan uang
negara. Hal itu dilontarkan Wakil Ketua Komisi II DPR Ahmad Riza Patria. Sebab menurutnya,
jika banyak masyarakat pada akhirnya memilih ‘tidak’ sehingga pilkada dilanjutkan pada
periode berikutnya (tahun 2017), maka sama saja hal itu sebagai pemborosan anggaran
pilkada. Pakar hukum tata negara Universitas Gadjah Mada Zainal Arifin Mochtar menilai
putusan tersebut tentu menyisakan masalah baru. Menurut Zainal, putusan Mahkamah
Konstitusi yang mengatur bahwa pemilihan calon tunggal dilakukan menggunakan kolom
“setuju” dan “tidak setuju” tersebut menyisakan pekerjaan rumah terkait mekanisme
pelaksanaannya. “Mekanisme, cara, kapan pelaksanaannya. Itu bisa untungkan orang yang
mau memerintah sementara. Bisa saja ditunda lama referendumnya, banyak deh,
banyak problem, karena Mahkamah Konstitusi tidak membangun detail soal referendumnya.
Kalau begitu, itu menutup masalah dan buka masalah baru,” kata Zainal di Kampus
Universitas Indonesia, Jakarta, Selasa (29/8) Globalindo.co, Pro Kontra Putusan Mahkamah
Konstitusi Restui Calon Tunggal Pemborosan Anggaran hingga Picu Masalah Baru,
http://www.globalindo.co/2015/09/29/pro-kontra-putusan-Mahkamah Konstitusi-restui-
calon-tunggal-pemborosan-anggaran-hingga-picu-masalah-baru/ diakses pada tanggal 10
November 2015.
18
Ramlan Surbakti, Mahkamah Konstitusi Pembuat UU?
http://www.unisosdem.org/article_detail.php?aid=11939&coid=3caid=21&gid=2 diakses
pada tanggal 10 November 2015.
Positive Legislature Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi
HAKIM ALBANA 11
Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
Konstitusi juga bersifat final dan langsung berkekuatan hukum tetap sejak
diucapkan dan tidak ada upaya hukum lagi yang dapat ditempuh sebagaimana
diatur dalam Pasal 24C UUD NRI 1945.19 Sedangkan putusan positive
pembuat UU.
di awal tulisan ini, agar adanya garis pemisahan kekuasaan antar lembaga
negara. Dilihat dari sisi ini maka putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat
positive legislature tersebut menarik untuk dikaji dan diteliti, dilihat dari
paham konstitusionalisme.
B. Rumusan Masalah
19
Ditegaskan lagi dalam Pasal 47 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi dan dipertegas lagi dalam penjelasan Pasal 10 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 8
Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi.
Positive Legislature Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi
HAKIM ALBANA 12
Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
C. Tujuan Penelitian
D. Manfaat Penelitian
paham konstitusionalisme.
semangat reformasi.
E. Keaslian Penulisan
Legilature.21
yang ideal atas putusan positive legislature tersebut oleh DPR. Dari
tersebut.
terhadap UU dan DPR serta tindak lanjut yang ideal terhadap putusan
konstitusionalisme.
dengan penulis.
Di Indonesia.23
diajukan oleh Machica Muchtar agar Pasal 2 ayat (2) yang mengatur
23
Erlyanti, 2013, Politik Hukum Kedudukan Anak Luar Kawin Dalam Sistem Hukum Di Indonesia,
Tesis, Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta.
Positive Legislature Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi
HAKIM ALBANA 17
Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
bersengketa waris dan terhalang oleh istilah “anak luar kawin”. Maka
24
M. Zulfauzi Hasly, 2012, Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010
Terhadap Penetapan Asal Usul Anak dan Hak Keperdataan Anak Luar Kawin di Pengadilan
Agama, Tesis, Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta.
Positive Legislature Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi
HAKIM ALBANA 18
Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
VIII/2010 terhadap penetapan asal usul anak luar kawin dan hubungan
terhadap penetapan asal usul anak hasil dari perkawinan yang tidak
anak hasil perkawinan fasid yang tidak disahkan dan anak hasil
pertama fokus pada kedudukan anak luar kawin dalam sistem hukum
Positive Legislature Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi
HAKIM ALBANA 19
Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
Mahkamah Konstitusi tersebut terkait dengan asal usul anak dan hak