Anda di halaman 1dari 19

Positive Legislature Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi

HAKIM ALBANA
Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Adnan Buyung dalam disertasinya berpendapat, bahwa pemerintah

yang konstitusional itu bukanlah pemerintah yang sekadar sesuai dengan

bunyi pasal-pasal konstitusi, melainkan pemerintahan yang dijalankan sesuai

dengan bunyi konstitusi yang memang memuat esensi-esensi

konstitusionalisme.1

Selanjutnya Moh. Mahfud MD menyatakan bahwa negara Indonesia

yang berdasarkan konstitusi tertulis UUD 1945, ternyata tidak pernah

melahirkan pemerintahan yang konstitusional, karena UUD 1945 tidak

memuat secara ketat materi-materi yang secara substansial harus ada pada

setiap konstitusi seperti perlindungan HAM dan pembatasan kekuasaan bagi

penyelenggara negara.2 Sehingga apabila UUD 1945 dikaji dengan

pendekatan sosio legal sejarah konstitusionalisme, HAM dan demokrasi

memang tidak memenuhi syarat aturan main politik yang seharusnya

diwadahi oleh konstitusionalisme.3

1
Adnan Buyung Nasution, 2001, Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia, Studi Socio-
Legal atas Konstituante 1956-1959, Pustaka Grafiti, Jakarta, hlm. 119.
2
Moh. Mahfud MD, 1999, Amandemen Konstitusi Menuju Reformasi Tata Negara, UII Press,
Yogyakarta, hlm. 62.
3
Ibid.
Positive Legislature Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi
HAKIM ALBANA 2
Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Senada dengan apa yang dikemukakan oleh Mahfud MD, menurut

Khalid ada tiga alasan UUD 1945 diamandemen, yaitu : 4

1. Adanya sifat kesementaraan UUD 1945 dari sejarah pembentukannya,

yang secara eksplisit dikemukakan oleh Soekarno sebagai “UUD kilat,

revolutie grondwet”, sebagai undang-undang dasar yang bersifat

sementara. 5

2. Adanya tuntutan reformasi agar UUD 1945 tersebut diamandemen.

3. Belum terpenuhinya esensi konstitusionalisme dalam UUD 1945 yaitu

pembatasan kekuasaan pemerintah, adanya perlindungan hak-hak asasi

manusia, dan adanya pemisahan kekuasaan antar lembaga negara.

Sampai saat ini amandemen terhadap UUD 1945 telah dilakukan

sebanyak empat kali yaitu pada tahun 1999, 2000, 2001 dan 2002.

Amandemen UUD 1945 telah menyebabkan terjadinya perubahan mendasar

dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. 6 Salah satunya adalah pembentukan

Mahkamah Konstitusi yang berawal dari wacana mengenai tidak diwadahinya

upaya hukum jika terjadi pelanggaran konstitusi oleh negara melalui produk

hukum berupa undang-undang dalam pembahasan amandemen.7

4
Khalid, 2002, Amandemen Konstitusi untuk Memenuhi Konstitusionalisme, Tesis, Fakultas
Hukum UGM, Yogyakarta, hlm 96-97.
5
Soekarno secara resmi dua kali menyatakan sifat kesementaraan UUD 1945 itu dalam forum
berbeda, pertama dinyatakan di hadapan BPUPKI tangga 18 Agustus 1945, dan kedua
dinyatakan ketika melantik Konstituante tanggal 10 November 1956, lihat Ibid, hlm. 16.
6
Ikhsan Rosyada Perluhutan Daulay, 2006, Mahkamah Konstitusi : Memahami Keberadaannya
dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, PT. Rineka Cipta, Jakarta, hlm.19.
7
Ibid.
Positive Legislature Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi
HAKIM ALBANA 3
Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Moh. Mahfud MD8 berpendapat bahwa hukum dan/atau peraturan

perundang-undangan, terutama undang-undang yang dihasilkan oleh

lembaga-lembaga politik meskipun dibentuk secara demokratis, berpotensi

menyimpan kepentingan yang tidak sejalan dengan ketentuan UUD 1945.

Selain itu, perlunya amandemen karena banyak ketidaksinkronan berbagai

undang-undang baik secara vertikal (bermasalah dengan UUD 1945) maupun

secara horizontal (tumpang tindih, bahkan saling bertentangan dengan UU

lain). 9

Persoalan di atas akan bertambah besar dan berlarut, apabila tidak ada

lembaga yang berwenang menguji undang-undang terhadap undang-undang

dasar, karena bisa saja undang-undang lahir karena dominasi politik atau

kompromi politik yang substansinya inkonstitusional.10 Sedangkan legislative

review sulit dilakukan tanpa inisiatif dan persetujuan dari pemerintah.11 Oleh

karena itu urgensi dari pengujian undang-undang terhadap undang-undang

dasar sangat fundamental untuk menjamin pemenuhan hak konstitusional

warga negara.

Melalui amandemen ketiga UUD 1945 dalam Sidang Tahunan MPR

tanggal 09 November 2001, gagasan untuk memberikan perlindungan

terhadap hak konstitusional warga negara dan semangat penegakan konstitusi

sebagai dasar tertinggi negara dituangkan dalam Pasal 24 ayat (2) dan Pasal

8
Moh. Mahfud MD, 2011, Peranan Mahkamah Konstitusi Dalam Penegakan Hukum di
Indonesia, Makalah, FGD Tentang Penegakan Hukum pada Kementerian Koordinator Bidang
Politik, Hukum dan Keamanan, Jakarta, 12 Oktober 2011, hlm. 4.
9
Moh. Mahfud MD, 2012, Konstitusi dan Hukum dalam Kontroversial Isu, Rajawali Pers,
Jakarta, hlm. 293.
10
Moh. Mahfud MD,Peranan Mahkamah.… Loc.cit.
11
Moh. Mahfud MD, Konstitusi… Loc.cit.
Positive Legislature Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi
HAKIM ALBANA 4
Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

24C Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

(selanjutnya disebut UUD NRI 1945). Di mana kedua pasal tersebut

membentuk Mahkamah Konstitusi, dengan salah satu kewenangnnya menguji

undang-undang terhadap undang-undang dasar (constitutional review).12

Dengan demikian pembentukan Mahkamah Konstitusi dapat dilihat

dari dua sisi, yaitu dari sisi politik ketatanegaraan dan dari sisi hukum : 13

- Sisi politik ketatanegaraan, keberadaan Mahkamah Konstitusi diperlukan

untuk mengimbangi kekuasaan pembentukan undang-undang yang

dimiliki oleh DPR dan presiden. Hal tersebut diperlukan agar undang-

undang tidak menjadi legitimasi tirani mayoritas wakil rakyat di DPR

dan presiden yang dipilih langsung oleh mayoritas rakyat.

- Dari sisi hukum, keberadaan Mahkamah Konstitusi adalah salah satu

konsekuensi perubahan dari supremasi MPR menjadi supremasi

12
Dari berbagai literatur hukum, ada beberapa istilah dalam hal pengujian undang-undang,
yaitu toetsingrecht, judicial review dan constitutional review. Ketiga istillah tersebut sering
disalahartikan dan dicampuradukkan. Pengertian toetstingrecht diartikan sebagai hak uji atau
kewenangan untuk menguji. Jika hak atau kewenangan itu diberikan kepada lembaga
kehakiman atau hakim maka hal tersebut dinamakan judicial review, akan tetapi jika
kewenangan itu diberikan kepada legislatif maka istilahnya menjadi legislative review, dan
demikian jika kewenangan itu diberikan kepada lembaga eksekutif, maka istilahnya menjadi
executive review. lihat Zainal Arifin Hoesin, 2009, Judicial Review di Mahkamah Agung RI Tiga
Dekade Peraturan Perundang-Undangan, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 38-39.
Menurut Pasal 24C UUD NRI 1945 Mahkamah Konstitusi mempunyai hak pengujian UU
terhadap UUD sedangkan MA menurut Pasal 24A melakukan pengujian peraturan
perundang-undangan di bawah UU terhadap peraturan perundang-undangan. Meskipun
pengujian yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung sebenarnya
sama-sama judicial review dalam arti pengujian yang dilakukan oleh lembaga yudisial. Tapi
secara teknis pengujian undang-undang terhadap undang-undang dasar disebut constitutional
review sedangkan pengujian peraturan perundang-undangan di bawah UU terhadap
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi oleh Mahkamah Agung disebut judicial
review. Lihat Moh. Mahfud MD, Konstitusi…, Op.cit, hlm. 64.
13
Tim Penyusun Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, 2010, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi,
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta, hlm. 7.
Positive Legislature Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi
HAKIM ALBANA 5
Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

konstitusi, prinsip negara kesatuan, prinsip demokrasi dan prinsip negara

hukum.

Lebih lanjut kewenangan menguji UU terhadap UUD tersebut diatur

dalam Pasal 10 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 sebagaimana telah

diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah

Konstitusi14 (selanjutnya disebut UU Nomor 23 Tahun 2004). Kemudian

teknis pelaksanaannya diatur dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor

06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-

Undang.

Ada dua tugas pokok yang diemban constitutional review yaitu : 15

a. Menjamin berfungsinya sistem demokrasi dalam hubungan perimbangan

peran (interplay) antara cabang kekuasaan legislatif, eksekutif dan

lembaga peradilan (judiciary). Constitutional review dimaksudkan untuk

mencegah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan oleh suatu cabang

kekuasaan.

b. Melindungi setiap individu warga negara dari penyalahgunaan kekuasaan

negara yang merugikan hak-hak fundamental mereka yang dijamin oleh

konstitusi.
14
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi telah mengalami dua
kali perubahan. Perubahan pertama dilakukan dengan UU Nomor 8 Tahun 2011, sedangkan
Perubahan kedua dengan UU Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan Perpu Nomor 1 tahun
2013 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 24 tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi
Menjadi Undang-Undang. Akan tetapi dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 1-
2/PUU-XII/2014, Mahkamah Konstitusi mencabut UU Nomor 4 Tahun 2014 karena dianggap
bertentangan dengan UUD NRI 1945. Sehingga UU Nomor 23 Tahun 2004 sebagaimana telah
dirubah dengan UU Nomor 8 Tahun 2011 tentang perubahan UU Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi berlaku kembali sebagaimana sebelum diubah oleh Perpu
Nomor 1 Tahun 2013.
15
Jimly Asshiddiqie, 2005, Model-Model Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara Cetakan
ke-2, Konstitusi Press, Jakarta, hlm. 10.
Positive Legislature Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi
HAKIM ALBANA 6
Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam menguji undang-undang

terhadap undang-undang dasar, tidak hanya terbatas pada pengujian materiil

(materiele toetsingrecht) tetapi juga pengujian formil (formele toetsingrecht).

Amar putusan Mahkamah Konstitusi dalam pengujian tersebut diatur dalam

Pasal 56 UU Mahkamah Konstitusi, yaitu ditolak, diterima dan dikabulkan.

Apabila permohonan dikabulkan, maka sesuai dengan ketentuan Pasal 57

maka Mahkamah Konstitusi harus menyatakan ayat, pasal, suatu bagian dari

undang-undang atau suatu undang-undang secara keseluruhan bertentangan

dengan undang-undang dasar, dan tidak mempunyai kekuatan mengikat (null

and void). Sehingga dikatakan putusan Mahkamah Konstitusi tersebut bersifat

negative legislature (membatalkan norma).

Dalam perkembangannya Mahkamah Konstitusi mengeluarkan

putusan yang tidak sekadar membatalkan norma, tetapi juga mengeluarkan

putusan yang memuat rumusan norma baru yang bersifat mengatur (positive

legislature). Padahal membuat norma baru merupakan kewenangan DPR

sebagaimana telah diatur dalam Pasal 20 UUD NRI 1945. Karena dianggap

mengintervensi kewenangan legislatif, maka dalam UU Nomor 8 Tahun 2011

tentang Perubahan UU Nomor 24 Tahun 2003, DPR kembali menegaskan

bahwa kedudukan Mahkamah Konstitusi adalah sebagai lembaga

constitutional review putusannya harus bersifat negative legislature. 16

16
Lebih lanjut sifat negative legislature ditegaskan lagi ini dalam ketentuan Pasal 57 ayat (2a)
UU Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan UU Nomor 24 Tahun 2003., Akan tetapi
ketentuan Pasal 57 ayat (2a) ini telah dicabut melalui putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
48/PUU-IX/2011, karena dianggap bertentangan dengan UUD NRI 1945. Meskipun telah
dicabut oleh Mahkamah Konstitusi, tetapi ketentuan Pasal 57 ayat (2a) UU Nomor 8 Tahun
2011 tersebut menunjukkan bahwa pembentuk undang-undang menginginkan Mahkamah
Positive Legislature Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi
HAKIM ALBANA 7
Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Dalam tulisan ini, putusan Mahkamah Konstitusi yang mengandung

conditionally constitutional dan conditionally unconstitutional yang

dipadankan dengan frasa konstitusional bersyarat dan inkonstitusional

bersyarat juga termasuk dalam putusan positive legislature.

Mengingat banyaknya putusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara

pengujian undang-undang yang bersifat positive legislature, maka dalam

penelitian ini penulis hanya akan membatasi pada tiga putusan. Putusan yang

penulis anggap menarik untuk dikaji dan didalami yaitu Putusan Nomor

21/PUU-XII/2014, Putusan Nomor 46/PUU/-VIII/2010, serta Putusan Nomor

100/PUU-XIII/2015.

Putusan Nomor 21/PUU-XII/2014 tentang Pengujian Pasal 1 angka

14, Pasal 17, Pasal 21 ayat (1), Pasal 77 huruf a dan Pasal 156 ayat (2) UU

Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (selanjutnya disebut

KUHAP). Mahkamah Konstitusi dalam putusannya berpendapat, pengertian

frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup” dan “bukti yang

cukup” dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP,

bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum

mengikat sepanjang dimaknai bahwa “bukti permulaan”, “bukti permulaan

yang cukup” dan “bukti yang cukup” adalah minimal dua alat bukti

sebagaimana disebut dalam Pasal 184 KUHAP. Adapun Pasal 77 huruf a

KUHAP terhadap UUD NRI 1945 tidak mempunyai kekuatan hukum

Konstitusi hanya boleh menyatakan sebuah undang-undang bertentangan atau tidak dengan
UUD NRI 1945 dan tidak boleh memasuki ranah legislatif (dengan ikut mengatur). Lihat Moh.
Mahfud MD, Rambu Pembatas dan Perluasan Kewenangan Mahkamah Konstitusi.
http://www.mahfudmd.com/public/makalah/Makalah_11.pdf diakses pada tanggal 4
November 2015.
Positive Legislature Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi
HAKIM ALBANA 8
Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

mengikat sepanjang tidak dimaknai termasuk penetapan tersangka,

penggeledahan, dan penyitaan.

Putusan Nomor 46/PUU/-VIII/2010 tentang Pengujian Pasal 2 ayat (2)

dan Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan (selanjutnya disebut UU Perkawinan). Di dalam putusannya

mahkamah menolak pengujian terhadap Pasal 2 ayat (2) karena setiap

perkawinan memang harus dicatatkan untuk tertib administrasi sebagai sarana

bagi negara memberikan kepastian dan perlindungan hukum. Sedangkan

terhadap Pasal 43 ayat (1) yang berbunyi “anak yang dilahirkan di luar

perkawinan hanya mempunyai hubungan hukum perdata dengan ibunya”

menurut mahkamah bertentangan dengan UUD NRI 1945 secara bersyarat

(conditionally unconstitutional) yakni inkonstitusional sepanjang ayat

tersebut dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang

dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat

bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya.

Putusan Nomor 100/PUU-XIII/2015 tentang Pengujian Pasal 49 ayat

(8) dan (9), Pasal 50 ayat (8) dan (9), Pasal 51 ayat (2), Pasal 52 ayat (2) dan

Pasal 54 ayat (4), ayat (5), ayat (6) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015

tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang

Penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati

dan Walikota menjadi Undang-Undang (selanjutnya disebut Undang-Undang

Pilkada). Terhadap perkara ini Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa

pemilihan kepala daerah harus tetap dilaksanakan meskipun hanya terdapat


Positive Legislature Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi
HAKIM ALBANA 9
Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

satu pasangan calon kepala daerah. Dengan syarat, sebelumnya telah

diusahakan dengan sungguh-sungguh untuk mendapatkan paling sedikit dua

pasangan calon. Pemilihan kepala daerah kemudian dilakukan dengan

meminta rakyat (pemilih) untuk menentukan pilihannya apakah “setuju” atau

“tidak setuju” dengan pasangan calon tersebut. Padahal ketentuan UU

Pilkada mensyaratkan bahwa dalam kontestasi pemilihan kepala daerah

setidak-tidaknya harus ada dua pasangan calon, dan sama sekali tidak

memberikan jalan keluar seandainya syarat paling kurang dua pasangan calon

tersebut tidak terpenuhi.

Ketiga putusan Mahkamah Konstitusi tersebut menurut penulis

bersifat positive legislature, serta sangat menarik untuk dikaji dan diteliti.

Karena putusan Mahkamah Konstitusi tersebut terkait dengan tiga bidang

hukum yang berbeda yaitu perdata, pidana dan tata negara. Pertimbangan

Mahkamah Konstitusi terhadap tiga bidang hukum yang berbeda itu tentu

akan memperlihatkan pertimbangan hakim yang berbeda pula, dan tentu

ketiganya mempunyai implikasi bila dikaji dari paham konstitusionalisme.

Keberanian Mahkamah Konstitusi menjatuhkan putusan yang bersifat

positive legislature, telah memunculkan tanggapan beragam dari berbagai

masyarakat.17 Ramlan Surbakti berpendapat kecenderungan Mahkamah

17
Terkait Putusan Nomor 46/PUU-VIII/2010, Komnas Perempuan menyambut positif putusan
Mahkamah Konstitusi karena sejalan dengan konstitusi dan Konvensi Penghapusan Segala
Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (UU No 7 Tahun 1984). “Putusan ini meneguhkan
pelaksanaan jaminan hak konstitusional bagi anak”. Sepekan setelah putusan Mahkamah
Konstitusi dibacakan, Komisioner Komnas HAM, Saharuddin Daming, membuat sebuah artikel
yang memuji putusan Mahkamah Konstitusi sebagai ‘terobosan spektakuler’. Menurut
Daming, ketentuan Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1) UUP memerkosa rasa keadilan dan
bertentangan dengan prinsip hak asasi manusia yang dijamin Pasal 28B ayat (1) dan (2) serta
Positive Legislature Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi
HAKIM ALBANA 10
Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Konstitusi membuat putusan bersifat positive legislature sangat berbahaya

karena dua alasan yaitu : 18

1. Mahkamah Konstitusi seharusnya menjadi pengawal konstitusi justru

akan menjadi perusak konstitusi karena mengambil alih tugas DPR.

Pasal 28D ayat (1) UUD NRI 1945. Sebulan setelah putusan Mahkamah Konstitusi tersebut,
Majelis Ulama Indonesia juga mengeluarkan Fatwa Nomor 11 Tahun 2012. Fatwa ini dibuat
untuk menjawab pertanyaan masyarakat atas hal-hal yang tidak jelas dalam putusan
Mahkamah Konstitusi. MUI mengingatkan antara lain bahwa anak hasil zina tidak mempunyai
hubungan nasab, wali nikah, waris, dan nafaqah dengan lelaki yang menyebabkan
kelahirannya. Tetapi MUI juga mengingatkan bahwa pemerintah wajib melindungi anak hasil
zina dan mencegah terjadinya penelantaran lihat HukumOnline.com, Pro Kontra Status Anak
Di Luar Kawin, http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4f633ebb2ec36/pro-kontra-
status-anak-luar-kawin. diakses pada tanggal 10 November 2015.
Terkait Putusan Nomor 21/PUU-XII/2014, Putusan Mahkamah Konstitusi pun dipandang
kontroversial oleh Andriyan (Direktur Pusat Kajian Politik Hukum dan Konstitusi) sebab tidak
diaturnya penetapan tersangka sebagai objek praperadilan di dalam pasal 77 huruf a KUHAP
sebenarnya tidak menjadikan ketentuan tersebut inkonstitusional. Apabila penetapan
tersangka dipandang dapat lebih menghormati dan menjaga hak asasi tersangka, maka
gagasan demikian dapat dimasukkan dalam ketentuan undang-undang oleh pembentuk
undang-undang, bukan melalui putusan pengujian oleh Mahkamah Konstitusi. Lihat Andriyan,
Tersangka Objek Praperadilan Angin Segar Bagi Koruptor,
http://www.medanbisnisdaily.com/news/read/2015/05/11/163138/tersangka-objek-
praperadilan-angin-segar-bagi-koruptor/#.VkGvN9LhDIU diakses pada tanggal 10 November
2015.
Terkait Putusan Nomor 100/PUU-XIII/2015, Putusan Mahkamah Konstitusi merestui calon
tunggal tetap bisa melanjutkan pilkada serentak dan mengubah aturan syarat dukungan calon
independen menuai pro kontra. Sebagian pihak menilai, putusan tersebut akan membawa
dampak besar pada perubahan mekanisme pemilihan dan berpotensi pemborosan uang
negara. Hal itu dilontarkan Wakil Ketua Komisi II DPR Ahmad Riza Patria. Sebab menurutnya,
jika banyak masyarakat pada akhirnya memilih ‘tidak’ sehingga pilkada dilanjutkan pada
periode berikutnya (tahun 2017), maka sama saja hal itu sebagai pemborosan anggaran
pilkada. Pakar hukum tata negara Universitas Gadjah Mada Zainal Arifin Mochtar menilai
putusan tersebut tentu menyisakan masalah baru. Menurut Zainal, putusan Mahkamah
Konstitusi yang mengatur bahwa pemilihan calon tunggal dilakukan menggunakan kolom
“setuju” dan “tidak setuju” tersebut menyisakan pekerjaan rumah terkait mekanisme
pelaksanaannya. “Mekanisme, cara, kapan pelaksanaannya. Itu bisa untungkan orang yang
mau memerintah sementara. Bisa saja ditunda lama referendumnya, banyak deh,
banyak problem, karena Mahkamah Konstitusi tidak membangun detail soal referendumnya.
Kalau begitu, itu menutup masalah dan buka masalah baru,” kata Zainal di Kampus
Universitas Indonesia, Jakarta, Selasa (29/8) Globalindo.co, Pro Kontra Putusan Mahkamah
Konstitusi Restui Calon Tunggal Pemborosan Anggaran hingga Picu Masalah Baru,
http://www.globalindo.co/2015/09/29/pro-kontra-putusan-Mahkamah Konstitusi-restui-
calon-tunggal-pemborosan-anggaran-hingga-picu-masalah-baru/ diakses pada tanggal 10
November 2015.
18
Ramlan Surbakti, Mahkamah Konstitusi Pembuat UU?
http://www.unisosdem.org/article_detail.php?aid=11939&coid=3caid=21&gid=2 diakses
pada tanggal 10 November 2015.
Positive Legislature Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi
HAKIM ALBANA 11
Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

2. Mahkamah Konstitusi akan menjadi saluran kepentingan politik

golongan atau kelompok politik yang gagal memasukkan

kepentingannya dalam membuat undang-undang.

Persoalan ini bertambah karena putusan Mahkamah Konstitusi

berwenang itu pada tingkat pertama dan terakhir. Putusan Mahkamah

Konstitusi juga bersifat final dan langsung berkekuatan hukum tetap sejak

diucapkan dan tidak ada upaya hukum lagi yang dapat ditempuh sebagaimana

diatur dalam Pasal 24C UUD NRI 1945.19 Sedangkan putusan positive

legislature tersebut dianggap menyalahi konstitusi karena mengambil peran

pembuat UU.

Salah satu alasan amandemen UUD 1945 sebagaimana disampaikan

di awal tulisan ini, agar adanya garis pemisahan kekuasaan antar lembaga

negara. Dilihat dari sisi ini maka putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat

positive legislature tersebut menarik untuk dikaji dan diteliti, dilihat dari

paham konstitusionalisme.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka permasalahan yang diteliti

dan dibahas dalam tesis ini adalah :

1. Apa latar belakang pertimbangan Mahkamah Konstitusi membuat putusan

yang bersifat positive legislature?

19
Ditegaskan lagi dalam Pasal 47 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi dan dipertegas lagi dalam penjelasan Pasal 10 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 8
Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi.
Positive Legislature Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi
HAKIM ALBANA 12
Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

2. Apa implikasi yang ditimbulkan putusan yang bersifat positive legislature

tersebut dilihat dari paham konstitusionalisme?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dilaksanakan penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui latar belakang pertimbangan Mahkamah Konstitusi

membuat putusan yang bersifat positive legislature.

2. Untuk mengetahui implikasi putusan Mahkamah Konstitusi tersebut dilihat

dari paham konstitusionalisme.

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah :

1. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pengembangan

ilmu hukum ketatanegaraan, terutama yang ada kaitannya dengan putusan

positive legislature Mahkamah Konstitusi dan implikasinya dilihat dari

paham konstitusionalisme.

2. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan pengetahuan

kedudukan, fungsi, kewenangan dan hal-hal yang berkenaan dengan

Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga baru yang dilahirkan dari

semangat reformasi.

3. Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khasanah kepustakaan serta

memberikan motivasi terhadap para akademisi untuk melanjutkan atau

mengulang penelitian secara mendalam.


Positive Legislature Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi
HAKIM ALBANA 13
Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

E. Keaslian Penulisan

Berdasarkan penelusuran yang penulis lakukan, belum ada tesis

maupun disertasi yang berkaitan dengan positive legislature dalam putusan

Mahkamah Konstitusi dilihat dari paham konstitusionalisme. Akan tetapi

penulis menemukan beberapa penelitian sebelumnya yang relevan dan

cenderung mendekati permasalahan yang penulis teliti ini.

1. Penelitian terkait positive legislature Mahkamah Konstitusi.

a. Putusan Mahkamah Konstitusi yang Bersifat Positive Legislature

(Suatu Kajian Putusan MK No.102/PUU-VII/2009).20

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pertimbangan hukum serta

legalitas dan legitimasi dari putusan Mahkamah Konstitusi yang

bersifat positive legislature, dengan membatasi kajian hanya pada satu

putusan saja yaitu putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

102/PUU/VII/2009. Dari penelitian ini diketahui bahwa pertimbangan

hakim dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 102/PUU-VII/2009

untuk melindungi hak konstitusional warga negara yang berpotensi

kehilangan hak pilihnya dalam pemilihan presiden 2009, untuk

menghindari chaos saat pemilihan presiden 2009, serta untuk mengisi

kekosongan hukum. Legitimasi dari putusan Mahkamah Konstitusi

Nomor 102 /PUU-VII/2009 dapat dilihat dari sambutan masyarakat dan

organ pelaksana pemilu yang mengapresiasi putusan tersebut, yang


20
Rizal, 2015, Putusan Mahkamah Konstitusi yang Bersifat Positive Legislature (Suatu Kajian
Putusan MK No.102/PUU-VII/2009), Skripsi, Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin,
Makasar.
Positive Legislature Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi
HAKIM ALBANA 14
Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

dibuktikan dengan tidak adanya chaos yang terjadi pada pemungutan

suara pemilihan presiden 2009. Sedangkan legalitas putusan tersebut

disebabkan karena adanya jaminan kebebasan bagi hakim dalam

melakukan interpretasi, menegakkan hukum dan keadilan dalam

memutuskan suatu perkara.

b. Mahkamah Konstitusi dari Negative Legislature ke Positive

Legilature.21

Buku ini ditulis oleh Martitah dan merupakan hasil penelitian

disertasinya. Penelitian ini berusaha merumuskan secara menyeluruh

kerangka model fungsionalisai jaringan sosial dalam pelaksanaan

putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat positive legislature, agar

putusan Mahkamah Konstitusi tersebut dapat dijalankan. Lebih lanjut

dalam penelitian ini juga mengemukakan karakteristik pertimbangan

hakim dalam putusan yang bersifat mengatur, serta peran

fungsionalisasi jaringan sosial dalam pelaksanaan putusan Mahkamah

Konstitusi yang bersifat positive legislature dengan membatasi diri

pada tiga buah putusan Mahkamah Konstitusi yaitu Nomor 102/PUU-

VII/2009, Putusan Nomor 4/PUU-VII/2009, serta Putusan Nomor

110,111,112,113/PUU-VII/2009, di mana ketiga putusan tersebut

terkait dengan pelaksanaan pemilihan umum.

c. Implikasi Putusan Positive Legislature Mahkamah Konstitusi Republik

Indonesia Terhadap Pembentukan Hukum Nasional.22


21
Martitah, 2013, Mahkamah Konstitusi Dari Negative Legislature ke Positive Legislature?,
Konstitusi Press, Jakarta.
Positive Legislature Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi
HAKIM ALBANA 15
Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Penelitian ini mengkaji implikasi yuridis putusan positive legislature

Mahkamah Konstitusi terhadap undang-undang yang dibatalkan dan

terhadap DPR selaku lembaga legislatif. Serta bagaimana tindak lanjut

yang ideal atas putusan positive legislature tersebut oleh DPR. Dari

penelitian ini diketahui bahwa terhadap undang-undang yang diuji

materiilkan, secara otomatis akan bertentangan dengan UUD NRI 1945

dan DPR selaku pemegang kekuasaan legislatif harus segera melakukan

perubahan undang-undang secara sektoral. Karena belum ada

mekanisme yang ideal untuk tindak lanjut putusan positive legislature

itu, maka DPR dapat menyerahkan kepada Badan Legislatif (Baleg)

untuk membentuk tim khusus yang akan mengikuti perkembangan

permohonan pengujian undang-undang. Ketika ada putusan, dalam 14

hari Baleg segera melakukan kajian mendalam untuk membuat naskah

akademik dan draf undang-undang dari putusan positive legislature

tersebut.

Meskipun ketiga penelitian di atas juga sama-sama membahas

putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat positive legislature, akan

tetapi Rizal dan Martitah dalam melakukan penelitian membatasi diri

hanya terhadap putusan positive legislature terkait dengan pelaksanaan

pemilihan umum dan pemilihan presiden, sedangkan penulis melakukan

penelitian terhadap tiga putusan positive legislature dengan bidang yang

berbeda yaitu perdata, pidana dan tata negara. Sedangkan dengan


22
Aninditya Eka Bintari, 2015, Implikasi Putusan Positive Legislature Mahkamah Konstitusi
Republik Indonesia Terhadap Pembentukan Hukum Nasional, Tesis, Fakultas Hukum UGM,
Yogyakarta.
Positive Legislature Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi
HAKIM ALBANA 16
Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

penelitian Aninditya, putusan yang diteliti sama-sama beragam, bahkan

ada satu putusan yang sama yaitu Putusan Nomor 46/PUU-VIII/2010,

namun penelitian Aninditya terfokus pada implikasi positive legislature

terhadap UU dan DPR serta tindak lanjut yang ideal terhadap putusan

positive legislature tersebut. Sedangkan penelitian penulis difokuskan

kepada implikasi positive legislature dilihat dari paham

konstitusionalisme.

2. Penelitian yang objek kajiannya putusan Mahkamah Konstitusi yang sama

dengan penulis.

a. Politik Hukum Kedudukan Anak Luar Kawin dalam Sistem Pewarisan

Di Indonesia.23

Penelitian ini diajukan untuk menjawab beberapa pertanyaan berkaitan

dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010

terhadap kedudukan anak luar kawin dalam sistem hukum waris

Indonesia. Penelitian ini mengkaji tentang latar belakang terbitnya

putusan Mahkamah Konstitusi nomor 46/PUU-VII/2010 tersebut,

bagaimana proses terbitnya, bagaimana kedudukan produk hukumnya,

dalam sistem hukum Indonesia, dan bagaimana idealnya penyelesaian

sengketa waris anak luar kawin setelah adanya putusan itu.

Dari penelitian itu disimpulkan, pertama permohonan judicial review

diajukan oleh Machica Muchtar agar Pasal 2 ayat (2) yang mengatur

23
Erlyanti, 2013, Politik Hukum Kedudukan Anak Luar Kawin Dalam Sistem Hukum Di Indonesia,
Tesis, Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta.
Positive Legislature Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi
HAKIM ALBANA 17
Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

masalah pencatatan perkawinan dan Pasal 43 ayat (1) UU Nomor 1

Tahun 1974 tentang Perkawinan dinyatakan tidak mempunyai kekuatan

hukum mengikat dengan segala akibatnya; Kedua, Mahkamah

Konstitusi mengabulkan permohonan untuk sebagian sebagaimana

tertuang dalam amar Putusan Nomor 46/PUU-VIII/2010. Dalam

putusan Mahkamah Konstitusi menyatakan ketentuan Pasal 43 ayat (1)

conditionally unconstitutional atau konstitusional bersyarat; Ketiga,

putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat (final and

binding), Tidak ada ruang untuk menempuh upaya hukum berikutnya

berupa kasasi dan peninjauan kembali; Keempat, putusan Mahkamah

Konstitusi ini tidak memberikan penjelasan ketika ada pihak yang

bersengketa waris dan terhalang oleh istilah “anak luar kawin”. Maka

pengaturannya menurut penelitian ini tetap menggunakan KUHPerdata

bagi penduduk yang tunduk pada KUHPerdata).

b. Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010

Terhadap Penetapan Anak dan Hak Keperdataan Anak Luar Kawin

dengan Ayah Biologisnya di Pengadilan Agama.24

Penelitian ini berusaha menemukan konstruksi yuridis hubungan

keperdataan antara anak luar kawin dengan ayah biologisnya menurut

putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 dan Fatwa

Majelis Ulama Indonesia Nomor 11 Tahun 2012, serta bagaimana

24
M. Zulfauzi Hasly, 2012, Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010
Terhadap Penetapan Asal Usul Anak dan Hak Keperdataan Anak Luar Kawin di Pengadilan
Agama, Tesis, Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta.
Positive Legislature Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi
HAKIM ALBANA 18
Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

implikasi yuridis putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-

VIII/2010 terhadap penetapan asal usul anak luar kawin dan hubungan

keperdataan dengan ayah biologisnya di Pengadilan Agama. Hasil

penelitiannya menunjukkan bahwa terdapat perbedaan fatwa Majelis

Ulama Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 mengenai konstruksi yuridis

hubungan keperdataan anak luar kawin dengan ayah biologisnya.

Perbedaannya adalah berkaitan dengan pengertian anak luar kawin yang

berimplikasi terhadap hak keperdataan anak luar kawin tersebut.

Mengenai implikasi putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-

VIII/2010 terhadap penetapan asal usul anak di Pengadilan Agama juga

terdapat perbedaan. Putusan Mahkamah Konstitusi tidak berimplikasi

terhadap penetapan asal usul anak hasil dari perkawinan yang tidak

dicatatkan dan anak hasil perkawinan fasid yang disahkan, karena

antara anak dan ayah tersebut telah memiliki hubungan keperdataan

yang sempurna. Putusan Mahkamah Konstitusi berimplikasi terhadap

anak hasil perkawinan fasid yang tidak disahkan dan anak hasil

perbuatan zina. Sehingga anak tetap memiliki hubungan perdata yang

terbatas pada hak pemeliharaan dan wasiat wajibah berdasarkan fatwa

MUI Nomor 11 Tahun 2012.

Meskipun Kedua penelitian di atas juga membahas putusan

Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010, akan tetapi fokus

penelitiannya berbeda dengan fokus penelitian penulis. Pada penelitian

pertama fokus pada kedudukan anak luar kawin dalam sistem hukum
Positive Legislature Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi
HAKIM ALBANA 19
Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

waris Indonesia setelah Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut.

Sedangkan pada penelitian kedua fokus pada implikasi putusan

Mahkamah Konstitusi tersebut terkait dengan asal usul anak dan hak

keperdataan anak luar kawin pada Pengadilan Agama ,dikomparasikan

dengan Fatwa MUI Nomor 11 Tahun 2012. Sedangkan penulis dalam

hal ini membahas putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-

VIII/2010 terkait dengan sifat positive legislaturenya.

Penelitian terhadap putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

21/PUU-XII/2014 dan Putusan nomor 100/PUU-XIII/2015 belum ada

penulis temukan waktu memulai penelitian ini, karena kedua putusan

tersebut relatif masih baru.

Anda mungkin juga menyukai