Anda di halaman 1dari 5

1

A. LATAR BELAKANG MASALAH


Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk republik yang
merupakan negara hukum1. Negara hukum sesungguhnya telah lama
dikembangkan oleh para filsuf dari zaman yunani kuno. Plato, pada awalnya
dalam the Republic berpendapat bahwa adalah mungkin mewujudkan negara
ideal untuk mencapai kebaikan yang berintikan kebaikan. Namun, dalam
bukunya the Statesman dan the Law, Plato menyatakan bahwa yang dapat
diwujudkan adalah bentuk paling baik kedua, dimana menempatkan penegakan
Supremasi hukum sebagai dasar pembentukan negaranya. Pemerintahan yang
mampu mencegah kemerosotan kekuasaan seseorang adalah pemerintah yang
berlandaskan oleh hukum. Secara historis negara hukum adalah negara yang di
idealkan oleh pendiri bangsa sebagaimana telah dituangkan dalam penjelasan
umum UUD 1945 tentang sistem pemerintahan negara yang menyatakan bahwa
negara Indonesia berdasarkan atas hukum (Rechtsstaat), tidak berdasarkan
kekuasaan belaka (Machtsstaat). Menurut Stahl, konsep negara hukum yang
disebut dengan istilah Rechtsstaat mencakup empat elemen penting,
yaitu2pertama, Perlindungan hak asasi manusia,kedua, pembagian
kekuasaan,ketiga, pemerintah berdasarkan undang – undang, dan keempat,
peradilan tata usaha negara.
Berdasarkan konsep negara hukum yang salah satunya adalah pemerintah
yang berdasarkan undang – undang, UUD 1945 sebagai hukum tertinggi telah
mengalami perubahan – perubahan mendasar sejak dirubah pertama kali pada
tahun 1999 sampai perubahan keempat pada tahun 2002. Beberapa perubahan
yang terjadi pada UUD 1945 salah satunya adalah tata cara pemberhentian
Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatanya. Pada UUD 1945 yang
di amandemen secara jelas telah mengatur secara limitatif tentang
pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden, yaitu

1
Pasal 1 UUD 1945 ayat (3) berbunyi : “ Negara Indonesia ialah negara hukum”
2
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi & Konstitutionalisme Indonesia, Cetakan Pertama,
(Jakarta: Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dan Pusat Studi Hukum Tata Negara
Fakultas Hukum Universitas Indonesia,2004), hal. 122.
2

penghianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lain,


perbuatan tercela, atau tidak lagi memenuhi persyaratan sebagai Presiden
dan/atau Wakil Presiden. Ketentuan tersebut diatur di dalam pasal 7A dan 7B
perubahan ketiga UUD 19453. Dengan diaturnya syarat-syarat pemberhentian
Presiden dan/atau Wakil Presiden ini sebenarnya merupakan konsekuensi logis
dari adanya keinginan untuk mempertegas sistem pemerintahan presidensial
yang merupakan salah satu kesepakatan dasar Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja
MPR4. Penegasan sistem pemerintahan presidensial tersebut mengandaikan
adanya lembaga kepresidenan yang mempunyai legitimasi kuat yang dicirikan
dengan (1) adanya masa jabatan Presiden yang bersifat tetap; (2) Presiden selain
sebagai kepala negara juga kepala pemerintahan; (3) adanya mekanisme saling
mengawasi dan mengimbangi (check and balances); dan (4) adanya mekanisme
impeachment.

UUD 1945 sebelum amandemen tidak mengatur bagaimana


mekanisme impeachment dapat dilakukan dan alasan apa yang dapat
membenarkan impeachment boleh dilakukan. Hal ini dirasakan sekali pada saat
masa kepemimpinan Presiden Soekarno dan Presiden Abdurrahman wahid.
Dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia, sejarah impeachment paling tidak
diawali terhadap Presiden RI pertama yaitu Soekarno. Berkenaan terjadinya
pemberontakan PKI pada tanggal 30 September 1965, dan berbagai

3
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 Tentang
Mahakamah Konstitusi, Sekertariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI,
Jakarta, 2010, hal. 10-15.
4
Selengkapnya kesepakatan dasar yang disusun Panitia Ad Hoc I Badan pekerja MPR
adalah (1) tidak mengubah Pembukaan UUD 1945; (2) tetap mempertahankan Negara Kesatuan
Republik Indonesia; (3) mempertegas sistem pemerintahan presidensial; (4) penjelasan UUD
NRI tahun 1945 yang memnuat hal-hal normatif akan dimasukan kedalam pasal-pasal; dan (5)
melakukanperubahan dengan cara adendum Majelis Permusyawaratan Republik Indonesia.
3

implikasi politiknya, maka melalui ketetapan MPRS mulai ketetapan MPRS


Nomor IX/MPRS/1966 s/d ketetapan MPRS Nomor XXXII/MPRS/1966, 5 pada
akhirnya Presiden Soekarno menyerahkan jabatannya kepada Jenderal TNI
Soeharto. Begitu pula halnya dengan Presiden Abdurrahman wahid. Pada saat
itu tidak lain berkenaan dengan pertanggungjawaban yang tidak terselenggara,
dan berujung pemberhentiaan Presiden Abdurrahman Wahid sebelum masa
jabatannya berakhir. Dengan diguncang oleh skandal Bulog yang dikenal
sebagai Buloggate I, dan kemudian ditindak lanjuti dengan 2 (dua) kali
memorandum DPR, maka MPR akhirnya memutuskan memberhentikan
Presiden Abdurrahman wahid yang baru menjabat 20 bulan. 6 Hal ini
membuktikan bahwa mekanisme Impeachment yang dilakukan pada saat itu
menjadi penyebab terjadinya peristiwa ketatanegaraan, dimana terjadinya
sengketa antara dua lembaga negara yaitu DPR yang di satu sisi berhadap –
hadapan dengan Presiden di sisi lainya. Sistem kekuasaan impeachment dalam
ketatanegaraan di beberapa negara belahan dunia seringkali digunakan untuk
melakukan pemberhentian jabatan yang berada pada kekuasaan eksekutif
(executive of power). Kebiasaan kenegaraan yang sering terjadi dalam
pelaksanaan pemberhentian jabatan dari kekuasaan eksekutif yang disebabkan
oleh sistem impeachment adalah karena melanggar ketentuan peraturan
perundang – undangan yang berlaku, bukanya konflik intern antar lembaga
negara yang sebenarnya dilatarbelakangi kepentingan penguasa yang berakibat
saling menjatuhkan satu sama lain.

Dengan adanya amandemen ketiga UUD 1945 juga memberikan suatu


penegasan terhadap posisi dari Presiden dan/atau Wakil Presiden yang pada
dasarnya di Indonesia menganut sistem pemerintahan Presidensiil. Suatu
penegasan tersebut melahirkan sebuah lembaga yang berfungsi sebagai

5
Hamdan Zoelva, Impeachment Presiden, Konstitusi Press, Jakarta, 2005, hal. 149-154.
6
Ketetapan MPR RI No. II/MPR/2001 tanggal 23 Juli 2001 Tentang
Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia K.H. Abdurrahman Wahid
4

pengawal konstitusi (the guardian of the constitution) dari penyimpangan –


penyimpangan kekuasaan (abuse of power), yaitu Mahkamah Konstitusi yang
mempunyai kedudukan setara dengan Mahkamah Agung, berdiri sendiri, serta
terpisah (duality of jurisdiction) dengan Mahkamah Agung. Dinyatakan dalam
ketentuan Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 amandemen bahwa “kekuasaan
kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang
berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan
agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara,
dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”. Dalam penjelasan Undang – Undang
Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi tersebut dinyatakan bahwa
Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman yang
berfungsi menangani perkara tertentu di bidang ketatanegaraan dalam rangka
menjaga konstitusi agar dilaksanakan secara bertanggung jawab sesuai dengan
kehendak rakyat dan cita – cita demokrasi. Berdasarkan Pasal 24C UUD 1945
juncto Pasal 10 UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi,
Mahkamah Konstitusi mempunyai 4 (empat) kewenangan dan 1 (satu)
kewajiban sebagai berikut7:
1. Menguji undang-undang terhadap UUD (judicial review);
2. Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang
kewenanganya diberikan oleh UUD (disputes regarding state
institution’s authority);
3. Memutus pembubaran partai politik (political party’s dissolution);
dan
4. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum (disputes
regarding General Election’s result); dan

1. Wajib memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden


dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum
berupa penghianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak
pidana lainya, atau perbuatan tercela, dan/atau pendapat bahwa
Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat
sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden (impeachment).

7
Pasal 10 ayat (1) dan (2) UU Mahkamah Konstitusi
5

Keberadaan Mahkamah Konstitusi merupakan langkah nyata untuk dapat saling


mengkoreksi kinerja antar lembaga negara di Indonesia. Pada dasarnya
kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah melaksanakan check and balances
yang menempatkan semua lembaga negara dalam kedudukan setara sehingga
terdapat keseimbangan dalam melakukan penyelenggaraan negara. Sehingga
diharapkan dengan adanya mekanisme check and balances ini kewenangan
setiap lembaga negara dalam melasanakan penyelenggaraannya khususnya
dalam melaksanakaan impeachment didasarkan adanya landasan hukum bukan
semata – mata proses suka atau tidak suka para penyelenggara negara yang
bersangkutan.

Dengan adanya amandemen Undang – Undang Dasar 1945 yang


menjadi dasar terbentuknya Mahkamah Konstitusi maka terjadi pula perubahan
yang mendasar atas prosedur Impeachment Presiden dan/ atau Wakil Presiden di
Indonesia. Sehingga patut diketahui perkembangan impeachment presiden dan/
atau wakil presiden republik Indonesia baik sebelum amandemen maupun
sesudah amandemen UUD 1945.

B. RUMUSAN MASALAH

1. Bagaimanakah Mekanisme Impeachment Presiden dan/atau Wakil

Presiden Sebelum dan Sesudah Amandemen UUD 1945 ?

2. Apakah Terdapat Kendala dalam Pelaksanaan Impeachment Presiden

dan/atau Wakil Presiden Sesudah Amandemen UUD 1945 ?

Anda mungkin juga menyukai