Anda di halaman 1dari 11

Souvereignty : Jurnal Demokrasi dan Ketahanan Nasional | Volume 1, Nomor 3, Year 2022 539

RESEARCH ARTICLE

PERADILAN KONSTITUSI DALAM SEJARAH,


PERKEMBANGAN, DAN URGENSINYA DI
INDONESIA
Desti Fadhilla Zahra1, Maria Madalina 2
1,2 Fakultas Hukum, Universitas Sebelas Maret, Surakarta, Jawa Tengah

 desti_fadhilla@student.uns.ac.id

ABSTRACT
Mahkamah Konstitusi adalah salah satu kekuasaan kehakiman di Indonesia yang
wewenangnya diberikan secara langsung oleh UUD. Mahkamah Konstitusi terbentuk sejak
perubahan amandemen ketiga Unddang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 pada Bab IX tentang kekuasaan kehakiman dengan mengubah ketentuan Pasal 24
serta menambahkan tiga Pasal baru di dalamnya. Ketentuan Mahkamah Konstitusi dalam
UUD 1945 disebutkan dalam Pasal 24 ayat (2) dan Pasal 24C UUD 1945. Visi Mahkamah
Konstitusi “Tegaknya Konstitusi dalam rangka mewujudklan cita-cita negara hukum dan
demokrasi demi kehidupan berbangsa dan kenegaraan yang bermartabat”. Misi dari
Mahkamah Konstitusi yaitu Mewujudkan Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu pelaku
kekuasan kehakiman yang modern dan terpercaya dan membangun konstitusionalitas
Indonesia dan budaya sadar berkonstitusi. Pembentukan Mahkamah Konstitusi menandai
era baru dalam kekuatan sistem peradilan di Indonesia. Beberapa ligkup yang belum
tersentuh (Untouchables) oleh undang-undang, seperti masalah judicial review di
Konstitusi, kini dapat dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi, termasuk kewenangan-
kewenangan lain yang diatur dalam UUD 1945 setelah amandemen. Selain itu, keberadaan
MK juga harus dilengkapi dengan struktur organisasi yang jelas, prosedural yang memadai
hukum, asas-asas hukum dan sumber-sumber hukum yang dimiliki oleh Mahkamah
Konstitusi dijadikan acuan dalam menjalankan tugas dan kewenangan kehakimannya.
Demikian munculnya Mahkamah Konstitusi sebagai otoritas kehakiman utama diharapkan
menjadi titik masuk yang mendorong berdirinya sistem kekuasaan kehakiman modern di
Indonesia.
Kata Kunci: Mahkamah Konstitusi, Judicial Review, Amandemen keempat UUD 1945,
Wewenang MK.

© Author(s). This work is licensed under a Creative Commons Attribution 4.0 International License .
Published by Pusat Studi Demokrasi dan Ketahanan Nasional, Universitas Sebelas Maret, Indonesia
540 Souvereignty : Jurnal Demokrasi dan Ketahanan Nasional | Volume 1, Nomor 3, Year 2022

INTRODUCTION
A. Awal Mula dan Perintisan Peradilan Konstitusi

1) Sejarah Peradilan Konstitusi di Dunia


Dapat dikatakan bahwa negara pertama di dunia yang membentuk lembaga
Mahkamah Konstitusi adalah Austria, yaitu pada tahun 1920. Sesudah itu, baru lah ide
pembentukan Mahkamah Konstitusi itu ditiru dan diikuti oleh negara-negara lain. Pada saat
Indonesia membentuk Mahkamah Konstitusi pada tahun 2003, di dunia sudah tercatat ada
78 negara yang memiliki lembaga Mahkamah Konstitusi itu yang berada di luar struktur
Mahkamah Agung. Ide pembentukan lembaga ini bermula dari usulan Prof. Hans Kelsen,
seorang ahli hukum tatanegara terkenal, yaitu ketika ia diangkat menjadi penasihat ahli
dalam rangka ide perancangan konstitusi baru Austria pada tahun 1919. Dialah yang
mengusulkan dibentuknya lembaga ini yang kemudian dinamakan “verfassungsgerichtshof”
atau Mahkamah Konstitusi yang secara resmi dibentuk dengan undang-undang pada tahun
1920. Namun demikian, jauh sebelum gagasan pembentukan lembaga Mahkamah
Konstitusi itu dikembangkan, sebenarnya ide “constitutional review‟ (pengujian
konstitusional) atau “judicial review‟ (pengujian oleh hakim) itu sendiri sudah dipraktikkan
oleh pengadilan Amerika Serikat sejak awal abad ke-19. Tepatnya, kasus pertama yang
melahirkan ide besar dalam sejarah hukum dan peradilan di dunia yang kemudian kita kenal
dengan mekanisme peradilan konstitusi itu justru terjadi di Amerika Serikat, yaitu dalam
perkara Marbury versus Madison yang diputus oleh Mahkamah Agung Amerika Serikat
pada tahun 1803. Sejak itulah ide “constitutional review‟ dan “judicial review‟ mengundang
perdebatan kontroversial di dunia dan pada akhirnya diterima sebagai keniscayaan dalam
praktik di seluruh negara demokrasi modern di dunia sampai sekarang.1
Momentum Judicial Review yaitu kasus Marbury melawan Madison di Amerika
Serikat pada tahun 1803, kasus ini diketuai oleh John Marshall selaku ketua Mahkamah
Agung Amerika Serikat. John Marshall dalam putusannya tidak berdasar pada apa yang
dimohonkan untuk diputus. Namun, menggunakan kewenangan berdasar pada apa yang
ditafsirkannya di dalam konstitusi. Pengunggat atau William Marbury dari kasus tersebut
meminta agar pemerintah mengeluarkan write of mandamus. Tetapi Mahkamah Agung
tidak membenarkan sebagaimana ketentuan section 13 dari Judiciary act 1789 yang
bertentangan dengan article III section 2 Konstitusi Amerika. Dalil yang digunakan
Mahkamah Agung dalam memeriksa perkara bukanlah melalui Judiciary Act 1789
melainkan melalui kewenangan yang ditafsirkannya dari konstitusi Amerika dengan
membatalkan Judiciary act 1789 yang bukan dari kewenangannya dan tidak diatur di
konstitusi Amerika. Hakim agung telah bersumpah untuk menjunjung tinggi dan menjaga
konstitusi sebagai kewajiban konstitusional.2 Praktik judicial review menjadi terobosan
mengingat persoalan konsisten dan kesesuaian perundang-undangan sudah lama menjadi
masalah dalam kajian hukum para hakim, dimana banyak undang-undang federal maupun
undang-undang negara bagian dinyatakan bertentangan dengan konstitusi oleh Mahkmah
1
Jimly Asshiddiqie, S.H. “Sejarah Constitutional Review dan Gagasan Pembentukan Mahkamah
Konstitusi”, 2012
< http://www.jimly.com/makalah/namafile/111/CONSTITUTIONAL_REVIEW__america.pdf>
2
Jimly Asshddiqie, Model-Model Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara,...., h. 25

© Author(s). This work is licensed under a Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International License.
Published by Pusat Studi Demokrasi dan Ketahanan Nasional, Universitas Sebelas Maret, Indonesia
Souvereignty : Jurnal Demokrasi dan Ketahanan Nasional | Volume 1, Nomor 3, Year 2022 541

Agung. Perkembangan hukum di Amerika merupakan bagian dari check and balances yang
telah ditetapkan dalam constitution convention, dimana pemerintah tidak boleh berkuasa
penuh atas kewenangannya harus ada batasan dalam kekuasaan yang dimilikinya, baik
terhadap dtrundang-undang yang menjadi hak kepemilikannya.3
Perkembangan pemikiran mengenai pengujian konstitusi terus berlanjut untuk
menjamin pembentukan hukum dan tegaknya pelaksanaan berbasis nilai konstitusi dengan
diadopsikannya sebagai sistem di suatu negara dengan berbagai cara penerapannya sesuai
dengan keinginan negara dan rakyatnya. Pada abad ke-20, gagasan untuk membentuk
peradilan tersendiri di luar Mahkamah Agung dalam menangani judicial review pertama kali
dikemukakan oleh Hans Kelsen, seorang pakar hukum dan guru besar hukum publik dan
administrasi di University of Vienna. Hans Kelsen diminta untuk menyusun konstitusi di
negara Republik Austria pada tahun 19194. Hans kelsen dalam penyusunannya percaya
bahwa konstitusi merupakan seperangkat norma hukum yang lebih tinggi dan harus
ditegakkan serta tidak percaya kepada badan peradilan biasa dalam melaksanakan tugasnya
untuk menegakkan konstitusi, sehingga hans kelsen mendirikan Mahkamah Konstitusi yang
terpisah dari badan peradilan biasa untuk mengawasi undang-undang dan membatalkan jika
melanggar konstitusi. Rancangan Hans Kelsen diwujudkan di negara Austria pada bulan
Oktober 1920 dengan membentuk Mahkamah Konstitusi untuk menangani perkara-
perkara konstitusional. Negara-negara yang mengikuti jejak untuk mengadopsi lembaga
Mahkamah konstitusi pada saat itu, yaitu negara Cekoslovakia, Mesir, Spanyol, irlandia.

2) Sejarah Peradilan Konstitusi di Indonesia


Sejarah Undang-Undang Dasar yang pernah berlaku di negara Indonesia sendiri
menganut “undang-undang tidak dapat diganggu gugat”. Berdasarkan ketentuan Undang-
Undang Dasar RIS 1949, Mahkamah Agung tidak berwenang menguji secara materiil
undang-undang Federal, namun hanya berwenang menguji undang-undang daerah-daerah
bagian. Begitu pula dengan ketentuan Undang-Undang Dasar Sementara 1950, tidak
mengenal hak menguji konstitusionalitas undang-undang. Keberadaan undang-undang
tidak dapat diganggu gugat. Produk undang-undang dipandang sebagai produk lembaga
pelaksana kedaulatan rakyat dalam struktur ketatanegaraan. Hal itu merupakan pengaruh
dari hukum tata negara Belanda dalam penyusunan konstitusi kita.
Pada saat pembahasan Undang-Undang Dasar dalam sidang-sidang Dewan
Konstituante yang dipilih melalui pemilihan umum 1955, banyak bermunculan gagasan agar
pengujian undang-undang diberikan kepada Mahkamah Agung. Gagasan tersebut sempat
menguat. Namun, sebelum Konstituante berhasil menetapkan Undang-Undang Dasar,
melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959 Dewan tersebut dibubarkan dan UUD 1945
diberlakukan kembali.5
Pembentukan Mahkamah Konstitusi diawali dengan ide untuk mengadopsi
Constitutional court dalam perubahan Undang Undang Dasar yang dilakukan oleh Majelis

3
Leonardo, W, Levy (ed), Judicial Review: Sejarah Kelahiran, Wewenang dan Fungsinya dalam Negara
Demokrasi, Judul asli Judicial Review and the Supreme Court, Penerjemah Eni Purwaningsih, (Jakarta: Penerbit
Nuansa, 2005) h.3
4
Jimly Asshddiqie, Model-Model Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara,...., h. 28
5
Website Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia “Perintisan dan Pembentukan Mahkamah
Konstitusi” < https://www.mkri.id/index.php?page=web.Berita&id=11769>

© Author(s). This work is licensed under a Creative Commons Attribution 4.0 International License .
Published by Pusat Studi Demokrasi dan Ketahanan Nasional, Universitas Sebelas Maret, Indonesia
542 Souvereignty : Jurnal Demokrasi dan Ketahanan Nasional | Volume 1, Nomor 3, Year 2022

Permusyawaratan Rakyat pada tahun 2001.6 Mahkamah konstitusi merupakan perwujudan


dari negara hukum yang menempatkan konstitusi sebagai hukum tertinggi 7. Sebagaimana
hasil amandemen ketiga pada tanggal 9 November 2001 disahkannya pasal 24 ayat (2), pasal
24C dan pasal 7B Undang-Undang Dasar 19458.
Gagasan judicial review sebenarnya telah ada pada tahun 1945 yang pembahasannya
dilakukan oleh BPUPKI, Prof. Muhammad Yamin merupakan anggota dari BPUPKI
mengemukakan pendapatnya bahwa “Balai Agung” atau Mahkamah Agung harus
mempunyai kewenangan membandingkan Undang-Undang terhadap Undang-Undang
Dasar. Namun, Prof. Soepomo menolak pendapat tersebut karena memandang Undang
Undang Dasar yang sedang disusun tidak menganut paham trias politika dan sarjana hukum
saat itu masih sedikit dan tidak memiliki pengalaman melakukan judicial review.
Perdebatan mengenai pengujian konstitusional muncul kembali pada bulan juni 1992
ketika ketua Mahkamah Agung Ali Said menganggap pemberian hak uji kepada Mahkamah
Agung adalah hal yang proporsional dimana Mahkamah Agung merupakan salah satu pilar
demokrasi, Jika Presiden dan DPR berwenang membuat dan menetapkan undangundang
maka Mahkamah Agung berwenang untuk menguji undang-undang yang disahkan sehingga
menimbulkan prinsip checks and balances dalam ketatanegaraan Indonesia.
Kewenangan untuk melakukan pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang
Dasar memiliki tiga altenatif lembaga yang akan diberikan kewenangan untuk melaksanakan
pengujian tersebut yaitu lembaga Majelis permusyawaratan Rakyat, Mahkamah Agung dan
Mahkamah Konstitusi. Gagasan memberikan wewenang kepada lembaga MPR
dikesampingkan alasannya Lembaga lembaga MPR bukanlah lembaga tertinggi negara
melainkan sudah menjadi lembaga tinggi negara dan setara dengan lainnya dan anggota dari
MPR bukanlah seorang ahli hukum melainkan perwakilan dari organisasi dan kelompok
kepentingan politik. Selanjutnya gagasan memberikan wewenang pengujian undang-undang
kepada lembaga Mahkamah Agung juga tidak dapat diterima karena Mahkamah Agung
sendiri sudah banyak tugas dan kewenangan yang dimilikinya dalam mengurus perakara
yang menjadi kompetensinya, sehingga pengujian undnag-undang terhadap undang-undang
dasar diberikan kepada lembaga Mahkamah Konstitusi sebagai pelaku kekuasaan
kehakiman.
Pembentukan Mahkamah Konstitusi di Indonesia dapat dilihat dari dua sisi, yaitu dari
sisi politik dan sisi hukum9. Dari sisi politik, adanya lembaga Mahkamah Konstitusi sebagai
keseimbangan dalam lembaga lainnya seperti Presiden dan DPR, agar tidak menimbulkan
kesewenang- wenangan dan penyalahgunaan kekuasaan kepada lembaga tersebut dan
menempatkan lembaga MPR sebagai lembaga yang sejajar dan bukan sebagai lembaga
tertingggi negara. hal ini memungkinkan dalam prakteknya muncul sengketa antar lembaga
negara yang memerlukan forum hukum untuk menyelesaikan permasalahan hal tersebut
maka lembaga yang sesuai yaitu Mahkamah Konstitusi.
Dari sisi hukum, keberadaan Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu
konsekuensi perubahan baik dari supremasi MPR menjadi supremasi konstitusi, prinsip

6
Morisson, Hukum Tata Negara (Jakarta: Ramdina Prakarsa, 2005) h. 165
7
Lailam, T, Pro Kontra Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam Menguji Undang-Undang yang
Mengatur Eksistensinya, Jurnal Konstitusi (Volume ke 12 No 4, 2016) h.796
8
Ni’matul Huda, Politik Ketatanegaraan Indonesia (Jakarta: UII Press) h.218
9
Mahkamah Konstitusi, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi (Jakarta : Sekertariat Jendaral Mahkamah
Konstitusi, 2010) h.3

© Author(s). This work is licensed under a Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International License.
Published by Pusat Studi Demokrasi dan Ketahanan Nasional, Universitas Sebelas Maret, Indonesia
Souvereignty : Jurnal Demokrasi dan Ketahanan Nasional | Volume 1, Nomor 3, Year 2022 543

negara kesatuan, prinsip demokrasi dan prinsip negara hukum. Dalam prinsip negara
kesatuan menghendaki adanya satu sistem hukum nasional yaitu kesatuan dasar
pembentukan dan peberlakuan hukum UUD 1945. Negara Indonesia berbentuk republik
sebagai penyelenggara untuk kepentingan rakyat melalui sistem demokrasi dimana
pemerintahan dari, oleh dan untuk rakyat. Penyelenggaraan negara harus atas kehendak
seluruh rakyat yang diwujudkan dalam konstitusi yang dikenal dengan prinsip supremasi
konstitusi.
Pemikiran hukum dalam tatanan modern muncul pada abad ke 20 dimana judicial
review dan pembentukan lembaga untuk melakukan kewenangan pengujian tersebut
menjadi terobosan pemikiran hukum. Berdasarkan waktu, negara indonesia tercatat sebagai
negara ke 78 yang membentuk Mahkamah Konstitusi sebagai organ konstitusional yang
sederajat kedudukannya dengan Mahkamah Agung. Lahirnya Mahkamah Konstitusi
ditandai dengan diundangkannya Undang-Undang No.24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi.10
Undang-Undang Mahkamah Konstitusi yaitu UU No.24 Tahun 2003 yang disahkan
pada tanggal 13 Agustus 2003. Pembentukan Mahkamah konstitusi segera dilaksanakan
melalui rekrutmen Hakim Konstitusi oleh tiga lembaga negara, yaitu DPR, Presiden dan
Mahkamah Agung masing-masing tiga calon hakim Mahkamah Konstitusi yang selanjutnya
ditetapkan oleh Presiden sebagai Hakim Konstitusi pertama dietapkan pada 15 Agustus
2003 dengan Keppres Nomor 147/M Tahun 2003. Sumpah jabatan kesembilan hakim
konstitusi dilaksanakan di Istana Negara pada 16 Agustus 2003. Selanjutnya pelimpahan
perkara dari Mahkamah Agung ke Mahkamah Konstitusi pada tanggal 15 Oktober 2003
resmi beroperasi sebagai salah satu cabang kekuasaan kehakiman menurut ketentuan UUD
1945.11

B. Urgensi dan Fungsi Peradilan Konstitusi

Mahkamah Konstitusi menjadi salah satu lembaga negara yang diberikan oleh
konstitusi sebagai konsekuensi dari prinsip supremasi dan pemisahan atau pembagian
kekuasaan tanpa mempertimbangkan adanya kualifikasi sebagai lembaga negara tertinggi.
Mahkamah Konstitusi diberikan kedudukan sejajar dengan lembaga negara lainnya baik
dengan Mahkamah Agung sendiri sebagai pelaku kekuasaan kehakiman.
Menurut ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
pasca Perubahan Keempat (Tahun 2002), dalam struktur kelembagaan Republik Indonesia
terdapat 9 (sembilan) organ negara yang secara langsung menerima kewenangan langsung
dari UndangUndang Dasar. Kesembilan organ tersebut, yaitu:
1. Dewan Perwakilan Rakyat
2. Dewan Perwakilan Daerah
3. Majelis Permusyawaratan Rakyat
4. Badan Pemeriksa Keuangan
5. Presiden
6. Wakil Presiden
10
Mutiara Hikmah, Peran Mahkamah Konstitusi Dalam Menjamin Hak Konstitusional Warga Negara
Pada Proses Demokratisasi Di Indonesia, Jurnal (Volume 39 No.4 Oktober-Desember 2009) h.2
11
Bambang Soetiyono, Pembentukan Mahkamah Konstitusi Sebagai Pelaku Kekuasaan Kehakiman di
Indonesia, Jurnal (Volume 7 No. 6 Desember 2010 ) h. 28

© Author(s). This work is licensed under a Creative Commons Attribution 4.0 International License .
Published by Pusat Studi Demokrasi dan Ketahanan Nasional, Universitas Sebelas Maret, Indonesia
544 Souvereignty : Jurnal Demokrasi dan Ketahanan Nasional | Volume 1, Nomor 3, Year 2022

7. Mahkamah Agung
8. Mahkamah Konstitusi
9. Komisi Yudisial
Keberadaan Mahkamah Konstitusi di Indonesia sebagai pengawal dan penafsir agar
konstitusi ditaati dan dilaksanakan secara konsisten. Sebagaimana amanat UUD 1945 bahwa
Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum. Artinya, segala penyelenggaraan
negara harus tunduk pada hukum, bukan pada kekuasaan untuk menjalankan tugas
kenegaraan yang berdasarkan hukum, hukum membutuhkan sendi-sendi konstitusi.12
Fungsi utama Mahkamah Konstitusi adalah menegakan supremasi konstitusi, keadilan
dan hukum yang ditegakkan dalam peradilan itu sendiri untuk menjamin tidak ada lagi
produk hukum yang keluar dari koridor konstitusi sehingga prinsip negara hukum,
perlindungan hak asasi manusia dan perlindungan hak konstitusionalitas warga negara
terjaga dan konstitusi itu sendiri terkawal konstitusionalitasnya.13
Mahkamah Konstitusi menjadi koreksi terhadap pengalaman ketatanegaraan yang
ditimbulkan oleh tafsir ganda atas konstitusi yang dibuat dan dilaksanakan secara
bertanggung jawab sesuai dengan kehendak rakyat dan citacita demokrasi sehingga fungsi
yang dijalankan melalui wewenang yang dimiliki, yaitu memeriksa, mengadili, dan memutus
perkara tertentu berdasarkan pertimbangan konstitusional. Berdasarkan hal tersebut
terdapat 5 (lima) fungsi yang melekat pada keberadaan Mahkamah Konstitusi dan
dilaksanakan melalui wewenangnya, yaitu:
1. Sebagai pengawal konstitusi.
2. Penafsir final konstitusi.
3. Pelindung hak asasi manusia.
4. Pelindung hak konstitutional warga negara.
5. Pelindung demokrasi.14
Wewenang Mahkamah Konstitusi:
a) Pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945
b) Memutus Sengketa Kewenangan Lembaga Negara yang Kewenangannya
diberikan oleh Undang-Undang Dasar
c) Pembubaran partai politik
d) Perselisihan Hasil Pemilihan Umum
e) Kewajiban Mahkamah Konstitusi memutus pendapat DPR dalam proses
pemberhentian Presiden dan /Wakil presiden dalam masa jabatannya

C. Kondisi Mahkamah Konstitusi di Indonesia Saat Ini

Pada tahun 2019, MK melaksanakan kewenangan memutus perselisihan hasil pemilu


serentak tahun 2019. Ini merupakan pertama kalinya dalam sejarah politik dan demokrasi
Indonesia. Pada 17 April 2019, pemungutan suara dalam pemilu serentak akan
dilaksanakan. Untuk menghadapi perhelatan tersebut, MK sudah melakukan sejumlah
persiapan, terutama dalam enam aspek, yaitu aspek regulasi, sumber daya manusia, sarana

12
Gaffar J M, Kedudukan, Fungsi dan Peran Mahkamah Konstitusi dalam Sistem Ketatanegaraan
Republik Indonesia, Jurnal Mahkamah Konstitusi (Jakarta, 2009) h.1
13
Jenendjri M. Gaffar, Kedudukan Peran Dan Fungsi Mahkamah Konstitusi Dalam Sistem
Ketatanegaraan Republik Indonesia, Makalah Hukum (Surakarta: 17 Oktober 2010) h. 11
14
Mahkamah Konstitusi Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, ..., h. 1

© Author(s). This work is licensed under a Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International License.
Published by Pusat Studi Demokrasi dan Ketahanan Nasional, Universitas Sebelas Maret, Indonesia
Souvereignty : Jurnal Demokrasi dan Ketahanan Nasional | Volume 1, Nomor 3, Year 2022 545

dan prasarana, sistem informasi berbasis ICT, bimbingan teknis beracara kepada para
pemangku kepentingan, dan penerpaan dan penguatan budaya integritas seluruh
komponen MK.
Pada Pemilu Serentak tahun 2019, MK menerima sebanyak 1 (satu) perkara
perselisihan hasil Pemilihan Presiden/Wakil Presiden yang diajukan oleh Pasangan Calon
Presiden/Wakil Presiden H. Prabowo Subianto dan H. Sandiaga Salahuddin Uno dan
sebanyak 260 (dua ratus enam puluh) perkara perselisihan hasil Pemilihan Umum Anggota
Lembaga Perwakilan. MK berhasil menyelesaikan seluruh perkara sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan. Perkara perselisihan hasil Pemilihan Presiden/Wakil
Presiden diputus dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari kerja sejak diregistrasi. Sidang
pengucapan putusan perkara dimaksud digelar pada Kamis, 27 Juni 2019. MK menyatakan
menolak permohonan Pemohon untuk keseluruhan. Menurut MK, dalil permohonan
Pemohon dinyatakan tidak terbukti. Sementara, perkara perselisihan hasil Pemilihan Umum
Anggota Lembaga Perwakilan dituntaskan dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kerja
sejak diregistrasi. Dari sebanyak 260 perkara, terdapat 553 dapil yang dipersoalkan di MK.
Sidang pengucapan putusan perkara dimaksud digelar pada 6-9 Agustus 2019. Dari putusan
dimaksud, sebanyak 104 perkara dinyatakan Tidak Dapat Diterima, 101 dinyatakan Ditolak,
43 perkara dinyatakan Gugur atau Ditarik Kembali, dan 12 perkara dinyatakan Dikabulkan.
MK menyelesaikan perselisihan hasil pemilihan umum tahun 2019 secara adil, damai, dan
bermartabat.
Dalam proses pelaksanaan kewenangan memutus perselisihan hasil Pemilu serentak
tahun 2019, MK menerapkan prinsip keterbukaan. Seluruh proses peradilan menggunakan
dan memanfaatkan teknologi berbasis IT, terukur, dan berkepastian. Bagi MK, keterbukaan
atau transparansi merupakan ikhtiar yang secara penuh untuk menghapus stigma adanya
lorong gelap di lembaga peradilan akibat proses yang cenderung tertutup. MK tegas
menolak ketertutupan. Transparansi merupakan modal dasar bagi MK untuk mewujudkan
peradilan yang bersih, modern, dan transparan. Seluruh persidangan di MK berlangsung
terbuka, dalam arti dapat diakses oleh publik baik secara langsung maupun melalui media.
Persidangan dapat disaksikan secara realtime oleh hampir seluruh stasiun televisi domestik
dan sejumlah televisi luar negeri. Tidak kurang dari 130 media massa, baik dalam maupun
luar negeri meliput serta memberitakan persidangan MK. Bahkan, persidangan dapat
disaksikan secara live streaming melalui laman MK dan YouTube MK.
Dalam proses persidangan perkara perselisihan hasil Pemilu, Museum Rekor Dunia
Indonesia (MURI) memberikan penghargaan karena telah mencatatkan rekor dunia untuk
3 (tiga) aspek, yaitu (1) Sidang Peradilan Non-stop Terlama; (2) Berkas Peradilan Paling
Banyak; dan (3) Proses Peradilan Paling Transparan. Rekor dunia untuk kategori Sidang
Peradilan Non-stop Terlama diberikan untuk sidang pleno Mahkamah Konstitusi pada 19-
20 Juni 2019 dengan agenda mendengarkan keterangan ahli dan saksi dalam perkara
perselisihan hasil pilpres tahun 2019. Dalam catatan MURI, sidang yang berlangsung selama
19 jam 52 menit non-stop tersebut merupakan sidang dengan durasi paling lama dalam
sejarah persidangan lembaga peradilan. Selanjutnya, untuk aspek Berkas Perkara Paling
Banyak, MURI mencatat sebagai rekor dunia karena didukung oleh keberadaan 11.360 box
berkas perkara pada proses penanganan perselisihan hasil pemilu tahun 2019. Untuk
kategori Proses Peradilan Paling Transparan, penghargaan diberikan karena persidangan
Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum, mudah diakses publik, diliput oleh ratusan

© Author(s). This work is licensed under a Creative Commons Attribution 4.0 International License .
Published by Pusat Studi Demokrasi dan Ketahanan Nasional, Universitas Sebelas Maret, Indonesia
546 Souvereignty : Jurnal Demokrasi dan Ketahanan Nasional | Volume 1, Nomor 3, Year 2022

media massa dalam dan luar negeri, dan disiarkan secara live antara lain melalui live
streaming di laman MK, televisi, maupun media sosial.
MK menutup kiprah di tahun 2019 dengan capaian-capaian gemilang. Di tahun 2019,
MK menjalankan tiga kewenangan konstitusionalnya, yaitu (i) memeriksa, mengadili, dan
memutus perkara pengujian undang-undang terhadap UUD 1945, (ii) memutus perkara
perselisihan hasil pemilu serentak, dan (iii) memutus perkara sengketa Kewenangan
Lembaga Negara.
Awal tahun 2020, dua Hakim Konstitusi berakhir masa jabatannya. Yang pertama,
Hakim Konstitusi Dr. Suhartoyo, S.H., M.H. dan Dr. I Dewa Palguna, S.H., M.Hum.
Keduanya berakhir masa jabatannya pada tanggal yang sama, yakni 7Januari 2020.
Suhartoyo merupakan Hakim Konstitusi yang diajukan oleh Mahkamah Agung (MA) untuk
masa jabatan 2015-2020. MA kembali mengajukannya karena dipandang memenuhi kriteria
untuk menjabat kembali sebagai Hakim Konstitusi. Sementara, I Dewa Gede Palguna
merupakan Hakim Konstitusi yang diajukan Presiden untuk masa jabatan 2015-2020.
Berbeda dengan Suhartoyo, I Dewa Gede Palguna sudah menjabat Hakim Konstitusi untuk
masa jabatan yang kedua. Untuk masa jabatan 2003-2008, I Dewa Gede Palguna diajukan
oleh DPR. Sedangkan untuk masa jabatan 2015-2020, I Dewa Gede Palguna diajukan oleh
Presiden. Sesuai dengan ketentuan Pasal 22 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi
ditentukan, “masa jabatan hakim konstitusi selama 5 (lima) tahun dan dapat dipilih kembali
untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya”. Untuk itu, Presiden menggelar serangkaian
mekanisme guna memilih Hakim Konstitusi untuk menggantikan I Dewa Gede Palguna.
Memasuki pertengahan Maret 2020, Corona Virus Disease 2019 atau Covid-19
dinyatakan sebagai pandemi. Lebih dari 212 negara di berbagai belahan dunia terpapar.
Jutaan orang dinyatakan positif terinfeksi virus tersebut, sebagian lagi merenggut korban
jiwa. Termasuk juga di Indonesia. Secara de facto, Covid-19 sudah menimbulkan gangguan
kondisi kesehatan dan peri kehidupan masyarakat. Jumlah kasus kematian karena
Coronavirus sudah meningkat dan meluas antar wilayah dan antar negara serta memiliki
dampak pada kondisi politik, ekonomi, sosial, budaya, hankam dan kesejahteraan
masyarakat Indonesia. Pada 31 Maret 2020, secara de jure, Presiden Jokowi menetapkan
kondisi Darurat Kesehatan Masyarakat karena COVID-19 melalui Keppres 11 tahun 2020
tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Corona Virus Disease 2019
(COVID-19). COVID-19 telah menyebabkan hal yang bersifat luar biasa.
Dalam kondisi pandemi Covid-19, MK sebagai lembaga peradilan harus mengambil
langkah-langkah cepat sebagai upaya sekaligus ambil bagian dalam mengurangi penyebaran
Covid-19. Menyangkut layanan penanganan perkara, tidak ada kegiatan persidangan di MK
mulai 17 Maret 2020 berdasarkan hasil Rapat Permusyawaratan Hakim (RP) pada 16 Maret
2020, kecuali ditentukan lain oleh MK. Setelah itu, evaluasi terus dilakukan dengan
mempertimbangkan perkembangan situasi aktual.
MK menutup Gedung MK sejak 17 Maret 2020 dari aktivitas publik. Mengenai
pengelolaan sistem kerja, secara prinsip, Hakim Konstitusi dan Pegawai MK diinstruksikan
untuk menjalankan tugas pokok dan fungsi kedinasan dengan bekerja dari dan di rumah
masing-masing (Work From Home/WHF) atau melalui sistem bergantian (shift) sesuai
dengan kebutuhan masing-masing unit kerja. Dengan demikian, Pegawai MK tetap bekerja
meskipun di rumah dan tidak keluar/beraktifitas di luar rumah, kecuali untuk kepentingan
yang sangat mendesak. Seiring dengan hal tersebut, layanan langsung kepada masyarakat

© Author(s). This work is licensed under a Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International License.
Published by Pusat Studi Demokrasi dan Ketahanan Nasional, Universitas Sebelas Maret, Indonesia
Souvereignty : Jurnal Demokrasi dan Ketahanan Nasional | Volume 1, Nomor 3, Year 2022 547

yang meniscayakan kontak langsung Pegawai MK dengan masyarakat luas juga ditiadakan,
kecuali ditentukan lain dengan pembatasan-pembatasan tertentu. Sekali lagi, untuk ini,
diharapkan masyarakat memanfaatkan aplikasi layanan berbasis elektronik yang telah
disediakan.
MK juga menunda pelaksanaan seluruh kegiatan yang menghadirkan atau melibatkan
banyak peserta, baik kegiatan yang dilakukan di Gedung MK maupun dilakukan di tempat-
tempat lain. Untuk itu, kegiatan kerja sama MK dengan berbagai elemen masyarakat seperti,
kuliah umum, seminar, FGD, bimbingan teknis, rapat koordinasi, kunjungan ke MK, dan
kegiatan sejenis, untuk sementara ditangguhkan. Dengan demikian, seluruh kegiatan
perjalanan dinas Hakim Konstitusi dan Pegawai MK, baik dalam negeri maupun luar negeri,
untuk sementara ditangguhkan atau dibatalkan.Kebijakan ini diambil MK dengan
mengedepankan kepentingan keselamatan seluruh pihak dan tentu saja, tanpa mengurangi
kewajiban untuk memberikan layanan prima dan optimal kepada masyarakat, khususnya
para pencari keadilan.
Selama masa pandemi Covid-19, MK menerima sejumlah permohonan secara online,
3 (tiga) diantaranya pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2020 (Perppu 1/2020) tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem
Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 19 (Covid-19) dan/atau
dalam rangka menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional
dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan. Berkenaan dengan permohonan uji Perpu tersebut,
MK memutuskan untuk menggelar sidang pendahuluan pada 28 April 2020 pukul 10.00
WIB. Ini sidang pertama MK yang digelar pada masa pandemi Covid-19.
Masih berkaitan dengan situasi dampak pandemi Covid-19, tahapan-tahapan pilkada
tahun 2020 juga mengalami perubahan. KPU memutuskan tiga tahapan yang seharusnya
dilaksanakan dalam rentang Juli-September 2020 tidak dapat dilaksanakan sehingga
mengalami penundaan. Ada tiga tahapan yang mengalami penundaan, yaitu (1) pelantikan
panitia pemungutan suara (PPS), (2) verifikasi bakal calon perseorangan rekrutmen PPDP,
serta (3) pencocokan dan penelitian (coklit) data pemilih.
Implikasinya, pemungutan suara yang semula akan digelar pada September 2020 juga
mengalami penundaan. Untuk itu, pada 4 Mei 2020, Presiden Jokowi menetapkan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2020 tentang Perubahan
Ketiga atas UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Wali kota
menjadi Undang-Undang. Perppu ditetapkan pada 4 Mei 2020. Perppu ini akan menjadi
payung hukum penundaan dan pelaksanaan Pilkada yang bergeser dari bulan September ke
Desember Tahun 2020. Melalui Perppu tersebut, pemungutan suara Pilkada 2020 digeser
ke Desember 2020. Ada klausul di dalam Perppu, apabila pemungutan suara tidak bisa
dilaksanakan pada Desember, pelaksanaan dijadwalkan kembali setelah bencana non-alam
COVID-19 berakhir. Ketentuan ini sebagai jalan keluar antisipatif sekiranya pandemi
Covid-19 sampai dengan Desember 2020 masih membuat kondisi belum memungkinkan
untuk menggelar pemungutan suara.
Bagi MK, persidangan jarak jauh bukan hal baru. Sejak 2009, MK menyelenggarakan
pemeriksaan persidangan jarak jauh dengan menggunakan teknologi video conferencing
yang dilakukan secara online dan realtime. Dengan demikian, antara Majelis Hakim
Konstitusi dengan para Pihak memungkinkan saling melihat dan berbicara sebagaimana

© Author(s). This work is licensed under a Creative Commons Attribution 4.0 International License .
Published by Pusat Studi Demokrasi dan Ketahanan Nasional, Universitas Sebelas Maret, Indonesia
548 Souvereignty : Jurnal Demokrasi dan Ketahanan Nasional | Volume 1, Nomor 3, Year 2022

dalam persidangan yang dilaksanakan secara offline. Persidangan jarak jauh tersebut
didasarkan pada Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 18 Tahun 2009 tentang Pedoman
Pengajuan Permohonan Elektronik (Electronic Filling) dan Pemeriksaan Persidangan Jarak
Jauh (Video Conference).
Dengan demikian, MK setidaknya telah memiliki pengalaman dalam hal
memanfaatkan teknologi informasi untuk persidangan jarak jauh. Oleh karena itu,
menghadapi masa pandemi Covid-19 ini, MK percaya diri untuk menerapkan persidangan
virtual. Bagi MK, persidangan virtual ini merupakan bagian dari penerapan e-Court yang
dicita-citakan dan diikhtiarkan sejak lebih dari satu dasa warsa silam. Persidangan virtual
dengan dukungan teknologi modern ini semakin melengkapi dan mengintegrasikan
berbagai perangkat dukungan peradilan berbasis teknologi modern di MK, seperti adanya
sistem perekaman dan risalah persidangan, tracking perkara, e-Minutasi, dan ketersediaan
perangkat teknologi informasi modern lainnya.15

CONCLUSION
Sejak dibentuknya pada tahun 2003, Mahkamah Konstitusi di Indonesia telah dengan
kokoh dan berwibawa menjalankan kewenangan konstitusionalnya dalam mengawal
demokrasi dan konstitusi sesuai dengan harapan masyarakat dan tuntutan sejarah. Dapat
dikatakan, Mahkamah Konstitusi telah dengan baik menjalankan fungsinya sebagai (i)
pengawal konstitusi (the guardian of the constitution), (ii) pengawal demokrasi (the
guardian of democracy), (iii) pelindungan hak asasi manusia dan hak konstitusional warga
negara (the protector of human rights and the citizens’ constitutional rights), dan (iv)
penafsir final konstitusi negara (the final interpreter of the constitution). Fungsi-fungsi itu
dijalankan oleh Mahkamah Konstitusi dengan 5 (lima) kewenangan konstitusional, yaitu
memeriksa dan memutus permohonan (1) pengujian konstitusionalitas undang-undang
(judicial review of the constitutionality of law), (2) perselisihan hasil pemilihan umum, (3)

REFERENCES
Jimly Asshiddiqie, S.H. “Sejarah Constitutional Review dan Gagasan Pembentukan
Mahkamah Konstitusi”,
<http://www.jimly.com/makalah/namafile/111/CONSTITUTIONAL_REVIEW
__america.pdf>
Jimly Asshddiqie, Model-Model Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara,...., h. 25
Leonardo, W, Levy (ed), Judicial Review: Sejarah Kelahiran, Wewenang dan Fungsinya dalam Negara
Demokrasi, Judul asli Judicial Review and the Supreme Court, Penerjemah Eni Purwaningsih,
Jakarta: Penerbit Nuansa, 2005, h.3
Jimly Asshddiqie, Model-Model Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara,...., h. 28
Website Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia “Perintisan dan Pembentukan
Mahkamah Konstitusi” <

15
Website Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia “Sejarah dan Perkembangan Mahkamah Konstitusi”

© Author(s). This work is licensed under a Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International License.
Published by Pusat Studi Demokrasi dan Ketahanan Nasional, Universitas Sebelas Maret, Indonesia
Souvereignty : Jurnal Demokrasi dan Ketahanan Nasional | Volume 1, Nomor 3, Year 2022 549

https://www.mkri.id/index.php?page=web.Berita&id=11769>
Morisson, Hukum Tata Negara, Jakarta: Ramdina Prakarsa, 2005, h. 165
Lailam, T, “Pro Kontra Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam Menguji Undang-Undang yang
Mengatur Eksistensinya”, Jurnal Konstitusi, Vol. 12, No. 4, 2016, h.796
Ni’matul Huda, “Politik Ketatanegaraan Indonesia”, Jakarta, UII Press, h.218
Mahkamah Konstitusi, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Sekertariat Jendaral
Mahkamah Konstitusi, 2010, h.3
Mutiara Hikmah, “Peran Mahkamah Konstitusi Dalam Menjamin Hak Konstitusional Warga
Negara Pada Proses Demokratisasi Di Indonesia”, Jurnal, Vol. 39, No. 4, Oktober-
Desember 2009, h.2
Bambang Soetiyono, “Pembentukan Mahkamah Konstitusi Sebagai Pelaku Kekuasaan Kehakiman
di Indonesia”, Jurnal, Vol. 7, No. 6, Desember 2010, h. 28
Gaffar J M, “Kedudukan, Fungsi dan Peran Mahkamah Konstitusi dalam Sistem Ketatanegaraan
Republik Indonesia”, Jurnal Mahkamah Konstitusi, Jakarta, 2009, h.1
Jenendjri M. Gaffar, Kedudukan Peran Dan Fungsi Mahkamah Konstitusi Dalam Sistem
Ketatanegaraan Republik Indonesia, Makalah Hukum (Surakarta: 17 Oktober 2010) h. 11
Mahkamah Konstitusi Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, ..., h. 1
Website Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia “Sejarah dan Perkembangan
Mahkamah Konstitusi”

© Author(s). This work is licensed under a Creative Commons Attribution 4.0 International License .
Published by Pusat Studi Demokrasi dan Ketahanan Nasional, Universitas Sebelas Maret, Indonesia

Anda mungkin juga menyukai