MATA KULIAH
HUKUM ACARA PERADILAN KONSTITUSI
Penyusun
Dr. Indah Dwi Qurbani, SH, MH
Dr. Muchammad Ali Safaat, SH, MH
Dr. Aan Eko Widiarto, SH, MH
Prischa Listiningrum, SH, L.LM
Dr. Mardian Wibowo, S.H., M.Si.
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
November 2021
1
LEMBAR PENGESAHAN
Nama Kegiatan : Diktat Hibah Program 3in1 Departemen Hukum Tata Negara FH UB
Mata Kuliah : Hukum Acara Peradilan Konstitusi
Tanggal : 8 November 2021
Tempat : Fakultas Hukum UB
Biaya total : 5 (lima) Juta Rupiah
2
DAFTAR ISI
3
-1-
LATAR BELAKANG DAN TUJUAN PEMBENTUKAN PERADILAN
KONSTITUSI
4
konstitusional atau tidak, dan tidak memberlakukannya jika menurut organ ini
produk badan legislatif tersebut tidak konstitusional.
- Di Austria, Pemikiran Kelsen itu mendorong dibentuknya suatu lembaga yang
diberi nama Verfassungsgerichtshoft atau MK (Constitutional Court) yang
berdiri sendiri di luar Mahkamah Agung, sering disebut The Kelsenian Model.
Gagasan ini diajukan ketika Kelsen diangkat sebagai anggota lembaga
pembaharu Konstitusi Austria (Chancelery) pada tahun 1919–1920 dan diterima
dalam Konstitusi Tahun 1920. Inilah MK pertama di dunia. Model ini
menyangkut hubungan antara prinsip supremasi konstitusi (the principle of the
supremacy of the Constitution) dan prinsip supremasi parlemen (the principle of
the supremacy of the Parliament).
5
Materi Power Point :
6
7
8
Bahan Pustaka:
Abdul Mukthie Fadjar. Hukum Konstitusi dan Mahkamah Konstitusi. Jakarta:
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MKRI, 2006.
Ahmad Syahrizal. Peradilan Konstitusi: Suatu Studi Tentang Adjudikasi
Konstitusional Sebagai Mekanisme Penyelesaian Sengketa Normatif. Jakarta: Pradnya
Paramita, 2006.
Fatmawati. Hak Menguji (Toetsingsrecht) yang Dimiliki oleh Hakim Dalam
Pengujian UU. Jakarta: PT RajaGrafindo, 2005.
H.A.S. Natabaya. Sistem Peraturan Perundang-Undangan Indonesia. Jakarta:
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MKRI, 2006.
Hamdan Zoelva. Impeachment Presiden, Alasan Tindak Pidana Pemberhentian
Presiden Menurut UUD 1945. Jakarta: Konstitusi Press, 2005.
Harjono. Konstitusi Sebagai Rumah Bangsa: Pemikiran Hukum Dr. Harjono.
Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MKRI, 2008.
I Dewa Gede Palguna. Mahkamah Konstitusi, Judicial Review, dan Welfare State.
Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MKRI , 2008.
Jimly Asshiddiqie. Perihal Undang-Undang di Indonesia. Jakarta: Sekretariat
Jenderal dan Kepaniteraan MKRI, 2006.
Jimly Asshiddiqie. Hukum Acara Pengujian Undang-Undang. Jakarta: Sekretariat
Jenderal dan Kepaniteraan MKRI, 2005.
Jimly Asshiddiqie. Model-Model Pengujian Konstitusional Di Beberapa Negara.
Jakarta: Konpress, 2005.
Jimly Asshiddiqie. Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca
Reformasi. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MKRI, 2006.
Jimly Asshiddiqie. Sengketa Kewenangan AntarLembaga Negara. Jakarta:
Konspress, 2005.
Maruarar Siahaan. Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.
Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MKRI, 2006.
Soimin. Impeachment Presiden & Wakil Presiden. Yogyakarta: UII Press, 2009.
9
Muchamad Ali Safa’at dkk. Hukum Acara Mahkamah Konstitusi. Jakarta:
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MKRI, 2010.
10
-2-
KARAKTERISTIK HUKUM ACARA MAHKAMAH KONSTITUSI1
A. Peristilahan dan Pengertian Hukum Acara MK
Mengingat keberadaannya sebagai lembaga yang dibentuk untuk mengawal
konstitusi agar dilaksanakan, maka MK adalah lembaga yang menyelenggarakan peradilan
konstitusi sehingga sering disebut sebagai Pengadilan Konstitusi (constitutional court). Hal
itu juga tercermin dari dua hal lain. Pertama, perkara-perkara yang menjadi wewenang MK
adalah perkara-perkara konstitusional, yaitu perkara yang menyangkut konsistensi
pelaksanaan norma-norma konstitusi. Kedua, sebagai konsekuensinya, dasar utama yang
digunakan oleh MK dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara adalah konstitusi
itu sendiri. Walaupun terdapat ketentuan undang-undang yang berlaku dan mengatur
bagaimana MK menjalankan wewenangnya, namun jika undang-undang tersebut
bertentangan dengan konstitusi MK dapat mengesampingkan atau bahkan membatalkannya
jika dimohonkan.2
Hukum Acara MK dimaksudkan sebagai hukum yang mengatur prosedur dan tata
cara pelaksanaan wewenang yang dimiliki oleh MK. Ada juga yang menyebut dengan
istilah lain, seperti Hukum Acara Peradilan Konstitusi, Hukum Acara Peradilan Tata
1
Bagian ini diambil dari Bab II buku Hukum Acara Mahkamah Konstitusi. Jakarta, Sekretariat Jenderal dan
Kepaniteraan MK RI, 2010. ISBN: 978-602-8308-26-7.
2
MK pertama kali mengesampingkan ketentuan UU karena dinilai bertentangan dengan UUD 1945 dalam
Putusannya yang pertama, yaitu putusan atas Perkara Nomor 004/PUU-I/2003. Pada putusan ini MK
mengesampingkan Pasal 50 UU MK yang membatasi wewenang MK menguji UU hanya pada UU yang
disahkan setelah Perubahan Pertama UUD 1945. Ketentuan tersebut dipandang mereduksi kewenangan MK
yang diberikan oleh UUD 1945 yang tidak memuat batasan dimaksud. Dalam Pertimbangan Hukum pada
halaman 11 sampai 12 Putusan itu dinyatakan “Mahkamah Konstitusi bukanlah organ undang-undang
melainkan organ Undang- Undang Dasar. Ia adalah Mahkamah Konstitusi, bukan Mahkamah undang-
undang. Dengan demikian, landasan yang dipakai oleh Mahkamah Konstitusi dalam menjalankan tugas dan
kewenangan konstitusionalnya adalah Undang-Undang Dasar. Kalaupun undang-undang dan peraturan
perundang-undangan lainnya, sesuai dengan asas legalitas wajib ditaati oleh siapapun dan lembaga apapun
sebagai subjek dalam sistem hukum nasional, segala peraturan perundang-undangan yang dimaksud sudah
seharusnya dipahami dalam arti sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945”. Pasal 50 UU MK kemudian dibatalkan oleh MK dengan alasan hukum
yang
sama atas permintaan Pemohon pada Perkara Nomor 066/PUU-II/2004.
11
Negara, dan lain-lain. Penggunaan istilah Hukum Acara Mahkamah Konstitusi untuk
sementara digunakan secara umum karena memang terkait dengan perkara-perkara yang
menjadi wewenang MK.3
Hukum Acara MK adalah hukum formil yang berfungsi untuk menegakkan hukum
materiilnya, yaitu hukum konstitusi. Oleh karena itu keberadaan Hukum Acara MK sejajar
dengan Hukum Acara Pidana, Hukum Acara Perdata, dan Hukum Acara Peradilan Tata
Usaha Negara. Hukum Acara MK memiliki karakteristik khusus, karena hukum materiil
yang hendak ditegakkan tidak merujuk pada undang-undang atau kitab undang-undang
tertentu, melainkan konstitusi sebagai hukum dasar sistem hukum itu sendiri.
Hukum Acara MK dimaksudkan sebagai hukum acara yang berlaku secara umum
dalam perkara-perkara yang menjadi wewenang MK serta hukum acara yang berlaku
secara khusus untuk setiap wewenang dimaksud. Oleh karena itu Hukum Acara MK
meliputi Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, Hukum Acara Perselisihan Hasil
Pemilihan Umum, Hukum Acara Sengketa Kewenangan Lembaga Negara, Hukum Acara
Pembubaran Partai Politik, dan Hukum Acara Memutus Pendapat DPR mengenai
Pelanggaran Hukum Presiden dan/atau Wakil Presiden.
4
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Alumni, 1982), hal. 85 – 86.
5
Untuk asas Hakim aktif dan juga pasif, penggunaan istilah tersebut dipandang kurang tepat karena seolah
saling bertentangan. Dalam buku ini akan digunakan istilah hakim aktif dalam persidangan. Istilah pasif tidak
digunakan karena asas itu dimaksudkan bahwa hakim tidak mencari-cari perkara sehingga masih di luar
persidangan.
Selain itu, pasif dalam arti tidak mencari-cari perkara lebih tepat melekat pada lembaga
13
perlu ditambahkan lagi satu asas yaitu asas (7) Praduga Keabsahan (praesumptio iustae
causa).6
1. Ius curia novit
Asas Ius curia novit adalah asas bahwa pengadilan tidak boleh menolak untuk
memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa
hukum tidak ada atau kurang jelas, sebaliknya hakim harus memeriksa dan mengadilinya.
Asas tersebut juga ditegaskan dalam Pasal 16 UU Kekuasaan Kehakiman.7
Asas ini berlaku dalam peradilan MK yang menjadi wewenang MK sepanjang
masih dalam batas wewenang MK yang telah diberikan secara limitatif oleh UUD 1945,
yaitu pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, sengketa kewenangan
konstitusional lembaga negara, pembubaran partai politik, perselisihan hasil Pemilu, serta
pendapat DPR tentang pelanggaran hukum Presiden dan/atau Wakil Presiden. Sepanjang
suatu perkara diajukan dalam bingkai salah satu wewenang tersebut, MK harus menerima,
memeriksa, mengadili, dan memutus.
Terdapat beberapa perkara yang secara substansi sesungguhnya tidak termasuk ke
dalam salah satu wewenang MK namun diajukan dalam bingkai salah satu wewenang MK
sehingga MK harus memeriksa dan memutusnya. Perkara tersebut antara lain adalah
Perkara Nomor 001/PUU-IV/2006 yang pada hakikatnya mengajukan pengujian Putusan
MA Nomor 01/PK/Pilkada/2005 dengan konstruksi pengujian undang-undang dengan
mendalilkan bahwa Putusan MA yang telah berkekuatan hukum tetap tersebut
kedudukannya sama dengan undang-undang. Dalam perkara ini MK memutuskan
peradilannya, bukan kepada hakim. Perubahan lain yang dilakukan adalah menempatkan asas ius curia novit
pada pembahasan pertama karena bersifat lebih umum walupun urutan tidak menunjukkan prioritas. Lihat,
Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, (Jakarta: Sekretariat Jenderal
dan Kepaniteraan MK RI, 2006), hal. 61 – 81.
6
Dikenal juga dengan istilah het vermoeden van rechtmatigheid. Asas ini berarti bahwa tindakan penguasa
dianggap sah sesuai aturan hukum sampai ada pembatalannya. Asas ini dipandang perlu khususnya terkait
dengan wewenang memutus perkara Pengujian Undang-Undang, Sengketa Kewenangan Lembaga Negara,
dan Perselisihan Hasil Pemilu, di mana obyek sengketanya adalah produk tindakan penguasa.
7
Tentang latar belakang asas ius curia novit, dapat dilihat pada pertimbangan Putusan MK Nomor 061/PUU-
II/2004.
14
permohonan tidak dapat diterima karena Putusan Peninjauan Kembali MA tidak masuk
dalam kategori undang-undang yang menjadi wewenang MK untuk mengujinya.
Selain itu, juga terdapat Perkara Nomor 110-111-112-113/PUU-VII/2009 yang
pada prinsipnya bertujuan untuk menguji Putusan MA Nomor 15 P/HUM/2009 mengenai
perhitungan tahap kedua pada Pemilu 2009. Namun pengujian tersebut dibingkai dengan
perkara pengujian Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu DPR, DPD, dan
DPRD, khususnya terhadap Pasal 205 ayat (4). MK dalam putusan perkara ini
mengabulkan permohonan dengan menyatakan ketentuan yang dimohonkan sebagai
konstitusional bersyarat (conditionally constitutional) sepanjang ditafsirkan seperti yang
dituangkan dalam amar putusan MK. Dalam pertimbangan putusan ini juga dinyatakan
bahwa semua peraturan dan putusan pengadilan yang tidak sesuai dengan putusan MK
menjadi kehilangan dasar pijakannya, dengan kata lain menjadi kehilangan kekuatan
mengikat.
Contoh lain adalah Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009 mengenai Pengujian
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 4 Tahun 2009 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi. Pasal 24C UUD 1945 menyatakan bahwa salah satu wewenang
MK adalah memutus pengujian undang-undang terhadap UUD 1945. Pengertian Undang-
undang menurut Pasal 1 angka 3 UU No. 10 Tahun 2004 adalah Peraturan Perundang-
undangan yang dibentuk oleh DPR dengan persetujuan bersama Presiden. Dengan
demikian pengertian merujuk pada bentuk hukum “Undang-Undang”. Di sisi lain, UU No.
10 Tahun 2004 juga mengatur keberadaan Perppu yang kedudukannya sejajar dengan UU.
Perppu adalah Peraturan Pemerintah yang menggantikan ketentuan dalam suatu Undang-
Undang.
UUD 1945 menyatakan bahwa MK berwenang menguji UU terhadap UUD 1945,
sedangkan MA menguji peraturan perundang-undangan di bawah UU terhadap UU.
Muncul permasalahan atau kekosongan hukum, siapa yang dapat menguji Perppu. MA
tidak
memiliki wewenang karena kedudukan Perppu sejajar dengan UU. Sebaliknya, MK
15
juga tidak memiliki wewenang jika dipahami dari pengertian UU sebagai bentuk hukum
menurut UU No. 10 Tahun 2004.
Terhadap permohonan pengujian Perppu dalam Putusan Nomor 138/PUU-VII/2009
MK dinyatakan bahwa MK berwenang menguji Perppu walaupun tidak ada ketentuan yang
secara tegas tentang hal tersebut. Pertimbangan putusan bahwa MK berwenang menguji
Perppu antara lain adalah; pertama, bahwa Perppu dimaksudkan untuk mengganti
ketentuan suatu UU sehingga materi muatan Perppu merupakan materi muatan UU; Kedua,
Perppu dibuat dan berlaku tanpa menunggu persetujuan DPR sehingga norma yang diatur
di dalam Perppu yang seharusnya menjadi materi muatan UU berlaku sebagai norma
hukum yang mengikat seperti halnya norma dalam suatu UU; dan ketiga, dalam
keberlakuan norma itu dapat melanggar hak konstitusional warga negara dan bertentangan
dengan UUD 1945.
8
Bagian Pertama Deklarasi Hakim Konstitusi Republik Indonesia tentang Kode Etik dan Perilaku Hakim
Konstitusi
Republik Indonesia (Sapta Karsa Hutama).
18
tidak langsung, dari siapapun atau dengan alasan apapun, sesuai dengan
penguasaannya yang seksama atas hukum.
2. Hakim harus bersikap independen dari tekanan masyarakat, media massa, dan
para pihak dalam suatu sengketa yang harus diadilinya.
3. Hakim harus menjaga independensi dari pengaruh lembaga-lembaga eksekutif,
legislatif, dan lembaga-lembaga negara lainnya.
4. Dalam melaksanakan tugas peradilan, hakim harus independen dari pengaruh
rekan sejawat dalam pengambilan keputusan.
5. Hakim harus mendorong, menegakkan, dan meningkatkan jaminan independensi
dalam pelaksanaan tugas peradilan baik secara perorangan maupun
kelembagaan.
6. Hakim harus menjaga dan menunjukkan citra independen serta memajukan
standar perilaku yang tinggi guna memperkuat kepercayaan masyarakat terhadap
peradilan.
9
Bagian Kedua Deklarasi Hakim Konstitusi Republik Indonesia tentang Kode Etik dan Perilaku Hakim
Konstitusi
Republik Indonesia (Sapta Karsa Hutama).
19
1. Hakim harus melaksanakan tugas peradilan tanpa prasangka (prejudice),
melenceng (bias), dan tidak condong pada salah satu pihak.
2. Hakim harus menampilkan perilaku, baik di dalam maupun di luar pengadilan,
untuk tetap menjaga dan meningkatkan kepercayaan masyarakat, profesi hukum,
dan para pihak yang berperkara terhadap ketakberpihakan hakim dan peradilan.
3. Hakim harus berusaha untuk meminimalisasi hal-hal yang dapat mengakibatkan
hakim tidak memenuhi syarat untuk memeriksa perkara dan mengambil
keputusan atas suatu perkara.
4. Hakim dilarang memberikan komentar terbuka atas perkara yang akan, sedang
diperiksa, atau sudah diputus, baik oleh hakim yang bersangkutan atau hakim
lain, kecuali dalam hal-hal tertentu dan hanya dimaksudkan untuk memperjelas
putusan.
5. Hakim – kecuali mengakibatkan tidak terpenuhinya korum – harus
mengundurkan diri dari pemeriksaan suatu perkara apabila hakim tersebut tidak
dapat atau dianggap tidak dapat bersikap tak berpihak karena alasan-alasan di
bawah ini:
a. Hakim tersebut nyata-nyata mempunyai prasangka terhadap salah satu pihak;
dan/atau
b. Hakim tersebut atau anggota keluarganya mempunyai kepentingan langsung
terhadap putusan;
20
kemampuan berperkara di pengadilan, dan hanya orang-orang inilah yang pada akhirnya
dapat menikmati keadilan.
Prinsip peradilan yang cepat, sederhana dan murah atau biaya ringan ditegaskan
dalam Pasal 2 ayat (4) UU Kekuasaan Kehakiman. Dalam UU MK sendiri sama sekali
tidak disebutkan mengenai biaya perkara. Hal ini berbeda dengan beberapa perkara
peradilan di bawah MA.
Pasal 81A ayat (3) UU Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung menyatakan bahwa
untuk penyelesaian perkara perdata dan tata usaha negara, biaya kepaniteraan dan biaya
proses penyelesaian perkara dibebankan kepada pihak atau para pihak yang berperkara.
Pasal 89 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 menyatakan
bahwa biaya perkara dalam bidang perkawinan dibebankan penggugat atau pemohon. Pasal
59 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara
sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 menyatakan bahwa
untuk mengajukan gugatan, penggugat membayar uang muka biaya perkara yang besarnya
ditaksir oleh panitera pengadilan.
Dalam proses pembahasan UU MK, pada awalnya terdapat ketentuan tentang biaya
perkara. Namun dalam perkembangannya ketentuan tersebut dihilangkan. Hal ini memang
dapat dimaknai bahwa maksud dari pembuat undang-undang adalah memang
menghapuskan biaya perkara dalam proses peradilan MK. Hal inilah yang menjadi salah
satu dasar keputusan hakim konstitusi untuk menghilangkan biaya perkara dalam peradilan
MK. Dengan demikian salah satu prinsip peradilan MK yang lebih tepat adalah Cepat,
Sederhana dan Bebas Biaya.10
Dengan tidak adanya biaya perkara tersebut, pembiayaan penanganan perkara di
MK sepenuhnya dibebankan kepada anggaran negara. Pembebanan ini rasional karena
10
Jimly Asshiddiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan
Kepaniteraan
MK RI, 2005), hal. 403.
21
perkara-perkara di MK menyangkut masalah konstitusional yang di dalamnya lebih banyak
kepentingan umum lebih mewarnai dibanding dengan kepentingan individual.
Salah satu contoh penerapan prinsip peradilan yang cepat, sederhana dan berbiaya
ringan adalah penggabungan perkara yang memiliki substansi yang sama, khususnya untuk
perkara pengujian UU. Dalam Pasal 11 ayat (6) PMK No. 6 Tahun 2005 tentang Pedoman
Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang dinyatakan bahwa penggabungan
perkara dapat dilakukan berdasarkan usulan panel hakim terhadap perkara yang (a)
memiliki kesamaan pokok permohonan; (b) memiliki keterkaitan materi permohonan; atau
(c) pertimbangan atas permintaan pemohon.
Dengan adanya penggabungan perkara maka sidang pemeriksaan terhadap perkara-
perkara yang digabungkan dilakukan sekaligus dalam suatu persidangan serta diputus
dalam satu putusan. Hal ini akan mempercepat dan menyederhanakan proses persidangan,
serta dapat mencegah adanya putusan yang bertentangan tentang materi permohonan yang
sama.
11
Maruarar Siahaan, op. cit., hal. 76.
23
itu pengadilan tidak boleh menolak suatu perkara dengan alasan tidak ada hukumnya, dan
hakim di pengadilan itu dapat aktif dalam persidangan.
Sesuai dengan sifat perkara konstitusi yang selalu lebih banyak menyangkut
kepentingan umum dan tegaknya konstitusi, maka hakim konstitusi dalam persidangan
selalu aktif menggali keterangan dan data baik dari alat bukti, saksi, ahli, maupun pihak
terkait (pemeriksaan inquisitorial).12 Hakim tidak hanya berpaku kepada alat bukti dan
keterangan yang disampaikan oleh pemohon dan pihak terkait maupun dari keterangan
saksi dan ahli yang diajukan oleh pihak-pihak tersebut. Hakim konstitusi untuk keperluan
memeriksa suatu perkara dapat memanggil saksi dan/atau ahli sendiri bahkan
memerintahkan suatu alat bukti diajukan ke MK.13 Hakim konstitusi juga dapat
mengundang para pakar yang didengar keterangannya dalam forum diskusi tertutup.14
15
Zevenbergen, Formele encyclopaedie der rechtswetenschap. Gebr. Belinfante, s’Gravenhage 1925, dalam
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), (Yogyakarta: Liberty 1991), hal. 63
25
d. Sebagai sumber dari mana kita dapat mengenal hukum, misalnya dokumen, undang-
undang, lontar, batu bertulis, dan sebagainya.
e. Sebagai sumber terjadinya hukum: sumber yang menimbulkan hukum.
Para ahli hukum pada umumnya membagi sumber hukum dalam dua jenis, yaitu
sumber hukum materiil dan sumber hukum formil. Sumber hukum materiil adalah tempat
dari mana hukum itu diambil. Untuk dapat melihat sumber hukum materiil dari sebuah
aturan harus terlebih dahulu dilihat isi dari aturan tersebut, kemudian melacak faktor-faktor
yang mempengaruhi pembentukan hukum sehingga menghasilkan karakter isi hukum yang
demikian. Faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan hukum tersebut dapat berupa
pandangan hidup, hubungan sosial dan politik, situasi ekonomi, corak peradaban (agama
dan kebudayaan) dan letak geografis, serta konfigurasi internasional. Sehingga bisa
ditentukan sumber-sumber hukum materiil yang ikut mempengaruhi pembentukan isi
hukum. Menurut Zevenbergen sumber hukum materiil meliputi pengertian-pengertian
tentang asas hukum, hukum terdahulu yang memberi bahan-bahan pada hukum yang
berlaku saat ini, dan sebagai sumber terjadinya hukum.
Sumber hukum formil adalah tempat atau sumber dari mana suatu aturan
memperoleh kekuatan hukum. Hal ini berkaitan dengan bentuk atau cara yang meyebabkan
peraturan itu menjadi secara formal berlaku. Dalam pengantar ilmu hukum telah dipelajari
bahwa norma atau kaidah terdiri dari berbagai macam dengan cirinya masing-masing.
Norma hukum memiliki ciri mempunyai kekuatan mengikat yang dapat dipaksakan dan
memiliki sanksi eksternal. Suatu norma untuk dapat menjadi norma hukum harus melalui
cara tertentu dan memiliki bentuk tertentu. Dari bentuk inilah dapat diketahui bahwa suatu
aturan adalah hukum dan bukan norma susila, agama, atau norma yang lain. Karena bentuk
itulah aturan tersebut menjadi berlaku dan mengikat semua pihak.
Untuk mengetahui sumber hukum acara MK tentu juga dapat didekati dari aspek
materiil dan formil. Dari aspek materiil, untuk mengetahui sumber hukum acara MK harus
dilihat
dari mana materi ketentuan hukum acara dimaksud diambil atau hal apa saja yang
26
mempengaruhi materi hukum acara MK. Dalam konteks hukum nasional, hukum acara
MK tentu bersumber pada nilai-nilai yang diyakini kebenarannya oleh bangsa Indonesia,
yaitu Pancasila. Selain itu yang menentukan materi hukum acara MK adalah asas-asas
hukum terkait dengan penyelenggaraan peradilan yang disesuaikan dengan karakteristik
hukum acara MK dan dijadikan sebagai asas hukum acara MK. Asas-asas dan materi
hukum acara MK tersebut dalam pembuatannya dipengaruhi oleh teori atau ajaran hukum,
terutama teori konstitusi dan ilmu hukum tata negara.
Sedangkan sumber hukum formil hukum acara MK adalah ketentuan hukum positif
yang mengatur hukum acara MK atau paling tidak terkait dengan hukum acara MK.
Ketentuan Pasal 24C ayat (6) UUD 1945 menyatakan bahwa Hukum Acara merupakan
salah satu hal terkait dengan keberadaan MK yang akan diatur dengan undang-undang.
Hukum Acara MK diatur di dalam UU MK, yaitu pada Bab V mulai dari Pasal 28 hingga
Pasal 85.
Selain UU MK, tentu terdapat berbagai ketentuan perundang-undangan lain yang
terkait dengan wewenang MK. Beberapa UU lain yang juga menjadi sumber hukum dalam
proses peradilan MK antara lain
1. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
2. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan;
3. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Beserta
Perubahannya);
4. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan
Umum;
5. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik;
6. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota
DPR, DPD, dan DPRD;
7. Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan
Wakil Presiden;
27
8. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD.
28
9. PMK Nomor 21/PMK/2009 tentang Pedoman Beracara Dalam memutus pendapat
Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau
Wakil Presiden.
31
-3-
PENGUJIAN UNDANG-UNDANG
“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final untuk:
32
Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 5076), selanjutnya disebut “UU KK” menyatakan:
“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final untuk:
Pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945 yang selanjutnya disebut PUU adalah
perkara konstitusi yang menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi sebagaimana
dimaksud dalam UUD 1945 dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor
7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK), termasuk pengujian Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang (Perppu) sebagaimana dimaksud dalam Putusan Mahkamah
Konstitusi.
Dalam PMK 2/2021 diatur hukum acara pengujian undang-undang dalam suatu tata
beracara dalam perkara pengujian undang-undang. PMK 2/2021 dibentuk dalam
33
mengakomodasi perkembangan praktik beracara dan sekaligus untuk memenuhi
kebutuhan hukum bagi masyarakat pencari keadilan dalam mengajukan permohonan
pengujian undang-undang/ peraturan pemerintah pengganti undang-undang di Mahkamah
Konstitusi. PMK 2/2021 merupakan penyempurnaan Peraturan Mahkamah Konstitusi
Nomor 9 Tahun 2020 tentang Tata Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang.
A. Objek Permohonan
B. Para Pihak
Para pihak dalam perkara PUU meliputi Pemohon, Pemberi Keterangan, dan Pihak
Terkait. Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/ atau kewenangan
konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang atau Perppu, yaitu:
a. perorangan warga negara Indonesia atau kelompok orang yang mempunyai kepentingan
sama;
b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesaruan Republik Indonesia yang diarur
dalam undang-undang;
c. badan hukum publik atau badan hukum privat; atau
d. lembaga negara .
34
Hak dan/ atau kewenangan konstitusional Pemohon dianggap dirugikan oleh
berlakunya undang-undang atau Perppu apabila:
a. ada hak dan/ atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945.
b. hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon dirugikan oleh berlakunya undang-
undang atau Perppu yang dimohonkan pengujian;
c. kerugian konstitusional dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidak
tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
d. ada hubungan sebab-akibat antara kerugian konstitusional dan berlakunya undang-
undang atau Perppu yang dimohonkan pengujian; dan
e. ada kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya Permohonan, kerugian konstitusional
seperti yang didalilkan tidak lagi atau tidak akan terjadi.
Pemberi Keterangan adalah MPR, DPR, DPD, dan/atau Presiden. Dalam keadaan
tertentu, Mahkamah dapat meminta keterangan pihak lain yang diposisikan sebagai Pihak
Terkait. Pihak Terkait adalah pihak yang berkepentmgan langsung dan/atau pihak yang
berkepentingan tidak langsung dengan pokok Permohonan, yaitu:
a. Pengajuan Permohonan;
b. Pencatatan Permohonan dalam Buku Pengajuan Permohonan Pemohon
Elektronik (e-BP3);
c. Pemeriksaan kelengkapan Permohonan;
d. Pemberitahuan APKBP (Akta Pemberitahuan Kekuranglengkapan Berkas
Permohonan) disertai DHPKP2 (Daftar Hasil Pemeriksaan Kelengkapan
Permohonan Pemohon);
e. Pemenuhan kelengkapan dan perbaikan Permohonan;
f. Penyampaian laporan Permohonan dalam RPH (Rapat Permusyawaratan
Hakim);
g. Pencatatan Permohonan dalam e-BRPK (Buku Registrasi Perkara
Konstitusi Elektronik);
h. Penyampaian salinan Permohonan;
i. Pengajuan permohonan sebagai Pihak Terkait;
j. Pemberitahuan sidang kepada para pihak;
k. Pemeriksaan Pendahuluan;
l. Pemeriksaan Persidangan;
m. Pelaksanaan RPH pembahasan perkara;
n. Pengucapan Putusan Mahkamah; dan
o. Penyerahan/penyampaian salinan Putusan Mahkamah.
Panitera mengunggah Permohonan yang telah dicatat dalam e-BP3 dan Permohonan yang
telah dicatat dalam e-BRPK, serta salinan Putusan Mahkamah pada Laman MK.
36
1. Permohonan Pemohon
a. Permohonan;
b. fotokopi identitas Pemohon;
c. fotokopi identitas kuasa hukum dan surat kuasa; dan /atau
d. anggaran dasar atau anggaran rumah tangga (AD/ART).
Permohonan yang diajukan oleh Pemohon dan/atau kuasa hukum tersebut
sekurang-kurangnya memuat:
38
atau dalam hal MK berpendapat lain, mohon Putusan yang seadil-adilnya (ex
aequo et bono).
Dalam hal pengajuan Permohonan dikuasakan kepada kuasa hukum,
Permohonan wajib diajukan secara daring (online). Dalam hal Permohonan
diajukan secara daring (online), Pemohon mengajukan Permohonan secara
tertulis dalam bahasa Indonesia yang ditandatangani oleh Pemohon atau kuasa
hukum. Permohonan tersebut disertai dengan daftar alat bukti beserta alat bukti
yang mendukung Permohonan. Dalam hal alat bukti berupa surat atau tulisan,
disampaikan sebanyak 1 (satu) eksemplar asli yang telah dibubuhi meterai
sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundang-undangan. Alat bukti terdiri
atas sekurang-kurangnya :
2. Keterangan Pemberi Keterangan
Dalam hal alat bukti berupa surat atau tulisan, Pemberi Keterangan atau
kuasa hukum menyampaikan alat bukti 1 (satu) eksemplar asli yang telah
dibubuhi meterai sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundang-
undangan.
Dalam hal Permohonan sebagai Pihak Terkait tidak disetujui oleh RPH,
MK menerbitkan ketetapan yang salinannya disampaikan kepada yang
bersangkutan paling lama 3 (tiga) hari kerja sejak diterbitkannya ketetapan.
D. PERSIDANGAN
a. Pemeriksaan Pendahuluan ;
b. Pemeriksaan Persidangan; dan
c. Pengucapan Putusan.
Persidangan perkara PUU dapat dilakukan secara luring (o!fline), secara daring
(online), melalui video conference, dan/atau melalui media elektronik lainnya. MK
menetapkan hari sidang pertama dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari
kerja sejak Permohonan dicatat dalam e-BRPK.
Para pihak, ahli, dan saksi wajib memenuhi panggilan MK untuk menghadiri
persidangan. Guna kepentingan pemeriksaan, MK dapat mempertimbangkan
penggabungan pemeriksaan beberapa perkara secara bersamaan. Penyelenggaraan
persidangan MK dapat dilakukan melalui persidangan jarak jauh dengan
menggunakan fasilitas video conference (vicon) atau melalui media elektronik lainnya .
1. Pemeriksaan Pendahuluan
2. Pemerikaaan Persidangan
Keterangan tertulis dan/ atau risalah rapat juga disampaikan oleh Presiden
sebagai Pemberi Keterangan dalam Pemeriksaan Persidangan. Presiden dapat
memberi kuasa kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang hukum, menteri, dan/ atau pejabat setingkat menteri dengan hak substitusi.
Keterangan tertulis dan risalah rapat yang berasal dari DPD disampaikan oleh
DPD sebagai Pemberi Keterangan melalui Pimpinan DPD dalam Pemeriksaan
Persidangan. Pimpinan DPD dapat memberi kuasa kepada pimpinan dan/atau
anggota alat kelengkapan DPD. Pembacaan Keterangan DPD dilakukan oleh
pimpinan atau anggota alat kelengkapan DPD. Guna kejelasan pemeriksaan
perkara, Hakim dapat memerintahkan kepada DPD menyampaikan keterangan
tambahan yang diperlukan dalam persidangan.
3. Pembuktian dan Alat Bukti
Putusan Mahkamah dapat berupa Putusan, Pulusan Sela, atau Ketetapan. Putusan
memuat:
a. kepala putusan yang berbunyi: DEMI KEADILAN BERDASARKAN
KETUHANAN YANG MAHA ESA;
b. nama lembaga: MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA;
c. identitas pihak;
d. permohonan dan/ atau keterangan para pihak;
e. pertimbangan terhadap fakta yang terungkap dalam persidangan;
f. pertimbangan hukum yang menjadi dasar putusan;
g. konklusi;
h. amar putusan;
i. alasan berbeda (jika ada);
j. pendapat berbeda (jika ada);
k. hari dan tanggal pengambilan putusan, hari dan tanggal pengucapan putusan, nama dan
tanda tangan Hakim, serta nama dan tanda tangan Panitera Pengganti.
Pertimbangan terhadap fakta yang terungkap dalam persidangan di atas
meliputi:
a. pendirian Pemohon terhadap permohonannya dan keterangan tambahan yang
disampaikan di persidangan;
b. keterangan Pemberi Keterangan;
c. keterangan Pihak Terkait;
d. keterangan ahli dan/ atau saksi; dan/atau
e. hasil pemeriksaan alat-alat bukti.
Pertimbangan hukum yang menjadi dasar putusan meliputi: permasalahan
utama Permohonan, kewenangan Mahkamah, kedudukan hukum Pemohon, alasan
permohonan, pendapat MK.
Ketetapan memuat:
a. kepala ketetapan yang berbunyi: "DEMI KEADILAN BERDASARKAN
KETUHANAN YANG MAHA ESA";
b. nama lembaga: MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA.
c. konsideran menimbang:
i. identitas pihak;
ii. pokok perkara;
iii. pertimbangan hukum dan/atau pendapat MK yang menjadi dasar putusan, serta
simpulan .
d. konsideran mengingat :
i. UUD 1945;
ii. UU MK; dan/ atau
iii. undang-undang ya ng terkait.
e. amar ketctapan;
f. hari dan tanggal pengambilan ketetapan , hari dan tanggal pengucapan ketetapan, nama
dan tanda tangan Hakim, serta nama dan tanda tangan Panitera Pengganti.
Amar Putusan untuk pengujian formil:
Amar Putusan untuk pengujian materiil:
a. Dalam hal Permohonan tidak memenuhi ketentuan syarat formil pengajuan Permohonan,
amar putusan, "Menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima”;
b. Dalam hal pokok Permohonan tidak beralasan menurut hukum, amar putusan
menyatakan, "Menolak permohonan Pemohon";
c. Dalam hal pokok Permohonan beralasan menurut hukum, amar putusan:
i. Mengabulkan Permohonan Pemohon sebagian/seluruhnya;
ii. Menyatakan materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang atau Perppu
bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
iii. Memerintahkan pemuatan Putusan dalam Serita Negara Republik Indonesia.
Dalam hal MK berpendapat bahwa permohonan pengujian materiil
inkonstitusional bersyarat, amar putusan berbunyi:
a. mengabulkan permohonan Pemohon;
b. menyatakan materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari undang-undang atau
Perppu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat sepanjang tidak dimaknai ...;
c. memerintahkan pemuatan Putusan dalam Serita Negara Republik Indonesia.
Dalam hal dipandang perlu, MK dapat menambahkan amar selain yang
ditentukan tersebut. MK dapat menyatakan Permohonan tidak jelas atau kabur
antara lain karena:
a. adanya ketidaksesuaian antara dalil Permohonan dalam posita dengan petitum;
b. dalil tidak terdapat dalam posita tecapi ada dalam petitum atau sebaliknya;
c. adanya permintaan Pemohon dalam pctitum yang saling bertentangan antara satu
dengan yang lainnya dan tidak memberikan pilihan altematif.
Terkait Ketetapan, MK menerbitkan Putusan berupa Ketetapan dalam hal:
Amar Ketetapan apabila MK tidak berwenang berbunyi: "Menyatakan Mahkamah
tidak berwenang mengadili permohonan Pemohon". Amar Ketetapan apabila terdapat
penarikan kembali berbunyi:
Undang-undang atau Perppu yang diuji oleh MK tetap berlaku sebelum ada Putusan
yang menyatakan bahwa undang-undang atau Perppu tersebut bertentangan dengan UUD
1945. Putusan MK memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam
Sidang Pleno terbuka untuk umum. Terhadap materi muatan, ayat, pasal, dan/ atau bagian
dalam undang- undang atau Perppu yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian
kembali, kecuali jika materi muatan dalam UUD 1945 yang dijadikan dasar pengujian
berbeda atau terdapat alasan permohonan yang berbeda.
Dalam hal Ketua MK dan Wakil Ketua MK berhalangan dalam waktu bersamaan,
Sidang Pleno dipimpin oleh Hakim yang bertindak sebagai kerua Sidang Pleno yang dipilih
dari dan oleh Hakim yang hadir.
Salinan Putusan MK disampaikan kepada Pemohon, Pemberi Keterangan, MK
Agung, Pihak Terkait, dan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
hukum segera setelah berakhirnya Sidang Pleno pengucapan Putusan MK.
Dalam hal Pemohon, Pemberi Keterangan, Pihak Terkait, dan menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerimahan di bidang hukum tidak hadir dalam Sidang Pleno
pengucapan Putusan MK, salinan Putusan Mahkamah dikirimkan secara daring (online)
atau melalui media elektronik lainnya kepada yang bersangkutan dalam jangka waktu
paling lama 3 (tiga) hari kerja sejak Putusan MK selesai diucapkan. Penyerahan atau
penyampaian salinan Putusan MK dilaksanakan oleh Panitera. Putusan MK yang
mengabulkan Permohonan wajib dimuat dalam Berila Negara Republik Indonesia dalam
jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak Putusan MK selesai diucapkan
dalam Sidang Pleno terbuka untuk umum.
-4-
Dalam diskursus ketetanegaraan terkait kewenangan MK, ketentuan Pasal 24C ayat
(2) UUD NRI 1945 dikategorikan juga sebagai bagian dari kewenangan MK, namun
dituliskan dalam klausa pasal yang berbeda dengan kewenangan-kewenangan lainnya
karena ketentuan Pasal a quo merupakan satu kesatuan rangkaian proses impeachment yang
tidak terlepas dari proses politik di DPR RI atas dugaan pelanggaran terhadap UUD NRI
1945 oleh Presiden dan/ atau Wakil Presiden (Siahaan, 2012). Akan tetapi, pada bagian ini
yang akan menjadi fokus pembahasan adalah terkait salah satu kewenangan MK dalam hal
memutus sengketa kewenangan lembaga negara (selanjutnya disebut SKLN).
kelembagaan MK berdiri sejak disahkannya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut UU MK) pada 13 Agustus 2003 dan
aktif secara operasional pada tanggal 16 Agustus 2003 setelah pengangkatan sumpah 9
(sembilan) hakim konstitusi (Siahaan, 2012). Proses tersebut telah sesuai dengan amanat
konstitusi agar MK telah terbentuk selambat-lambatnya pada 17 Agustus 2003 (vide Pasal
III Aturan Peralihan UUD NRI 1945).
Secara khusus terkait lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD
NRI 1945, menurut Abdul Mukhtie Fajar terbuka kesempatan bagi para sarjana untuk
melakukan penafsiran, karena secara tekstual dalam ketentuan konstitusi dan undang-
undang terkait MK tidak menjelaskan secara detail apa yang dimaksud dengan lembaga
negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD NRI 1945, sehingga perlu adanya doktrin
dari para sarjana agar terbentuk konteks dari frasa tersebut (Eddyono, 2010). Terdapat 3
(tiga) penafsiran atas frasa lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh konstitusi
menurut Abdul Mukhtie Fajar, pertama, penafsiran secara luas yang memasukkan sebanyak
12 (dua belas) lembaga negara sebagai subjectum litis dari SKLN, sekalipun salah satu dari
lembaga negara tersebut kewenangannya lebih lanjut diatur melalui undang-undang, yakni
bank sentral. Namun, berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2002 bank
sentral diakui sebagai subjek yang dapat berperkara dalam SKLN. Kedua, penafisran
moderat yang hanya memasukkan MPR, Presiden, DPR, DPD, BPK, dan MA sebagai
subjectum litis karena keenamnya diatur secara terperinci kewenangannya oleh konstitusi,
dan ketiga, penafisiran secara sempit berdasarkan ketentuan Pasal 67 UU MK hanya DPR,
DPD, dan Presiden yang memiliki kedudukan hukum (legal standing) dalam SKLN (Fajar,
2006).
Menurut Jimly Asshiddiqie sebagaimana dikutip oleh Ali Safa’at, terdapat 34 (tiga
puluh empat) lembaga negara, baik yang dibentuk, disebut dan/ atau diberikan
kewenangannya oleh UUD NRI 1945, lembaga-lembaga negara tersebut adalah sebagai
berikut (Safa’at et al, 2011) :
14. Pemerintah Daerah Kabupaten diatur dalam ketentuan Pasal 18 ayat (2), (3), (5),
(6), dan ayat (7);
15. Bupati diatur dalam ketentuan Pasal 18 ayat (4);
16. DPRD Kabupaten diatur dalam ketentuan Pasal 18 ayat (3);
17. Pemerintah Daerah Kota diatur dalam ketentuan Pasal 18 ayat (2), (3), (5), (6), dan
ayat (7);
18. Walikota diatur dalam ketentuan Pasal 18 ayat (4);
19. DPRD Kota diatur dalam ketentuan Pasal 18 ayat (3);
20. Satuan Pemerintahan Daerah yang bersifat khusus atau istimewa diatur dalam
ketentuan Pasal 18B ayat (1);
21. DPR diatur dalam ketentuan Bab VII;
22. DPD diatur dalam ketentuan Bab VII A;
23. KPU diatur dalam ketentuan Pasal 22E ayat (5);
24. Bank sentral disebut secara eksplisit dalam ketentuan Pasal 23D;
25. BPK diatur dalam ketentuan Bab VIII A;
26. MA diatur dalam ketentuan Pasal 24 dan Pasal 24A;
27. MK diatur dalam ketentuan Pasal 24 dan Pasal 24C;
28. KY diatur dalam ketentuan Pasal 24 (sebagai auxiliary organ bagi Mahkamah
Agung) dan Pasal 24B;
29. TNI diatur dalam ketentuan Bab XII;
30. Angkatan Darat diatur dalam ketentuan Pasal 10;
31. Angkatan Laut diatur dalam ketentuan Pasal 10;
32. Angkatan Udara diatur dalam ketentuan Pasal 10;
33. POLRI diatur dalam ketentuan Bab XII;
34. Badan-badan lain yang secara fungsional berkaitan dengan kekuasaan kehakiman
seperti Kejaksaan yang diatur dalam ketentuan Pasal 23 ayat (3).
Berdasarkan aturan normatif yang tertuang dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi
(PMK) Nomor 08/PMK/2006 tentang Pedoman Beracara dalam Sengketa Kewenangan
Konstitusional Lembaga Negara, diatur lembaga negara yang dapat menjadi pemohon dan
termohon (subjectum litis) dalam SKLN adalah a) DPR, b) DPD, c) MPR, d) Presiden, e)
BPK, f) Pemda, dan g) lembaga negara lain yang kewenangannya diberikan oleh UUD
1945 (vide Pasal 2 PMK 08/PMK/2006). Sebagaimana uraian sebelumnya yang
menyatakan bahwa lembaga-lembaga negara seperti MA dan MK juga merupakan lembaga
negara dengan kewenangan konstitusional yang langsung diberikan oleh konstitusi, namun
kenyataannya kedua lembaga tersebut tidak termaktub dalam lembaga-lembaga negara
yang dapat menjadi subjek perkara menurut PMK 08/PMK/2006. Seiring berjalannya
waktu dan berkembangnya diskursus kelimuan dalam ranah hukum tata negara, khususnya
yang berkaitan dengan SKLN, melalui Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang
Perubahan Pertama UU MK ketentuan yang menyatakan bahwa MA tidak dapat menjadi
subjek perkara dalam SKLN dihapuskan (vide Pasal 65 UU 24/2003 dan Pasal 65 UU
8/2011), sehingga MA dapat menjadi subjectum litis dalam SKLN.
Lalu, bagaimana dengan MK? Pada dasarnya ketentuan PMK 08/PMK/2006 telah
sejalan dengan asas hukum Nemo Judex Idoneus In Propria Causa yang berarti hakim tidak
dapat menjadi hakim atau menangani perkaranya sendiri. Oleh karena itu, Feri Amsari
berpandangan bahwa telah benar adanya jika MK tidak dapat menjadi subjectum litis dalam
SKLN (Amsari, 2019). Namun, muncul permasalahan ketika asas a quo dipertentangkan
dengan asas Ius Curia Novit yang menhendaki hakim untuk menangani seluruh perkara
yang dihadapkan padanya. Atas permasalah tersebut, setidaknya terdapat Putusan MK
Nomor 05/PUU-IV/2006 yang dapat menjadi salah satu rujukan, bahwa dalam perkara a
quo kedudukan hakim konstitusi yang diperkarakan, sehingga perkara tersebut berkaitan
dengan diri MK, yakni para hakim. Sekalipun terdapat pertentangan antara kedua asas yang
sebelumnya disebutkan, MK dalam putusan a quo mengesampingkan asas Nemo Judex
Idoneus In Propria Causa dan menyatakan bahwa MK berhak untuk menerima dan
menangani perkara tersebut, hanya saja yang perlu menjadi catatan adalah pengesampingan
asas ini dilakukan oleh MK atas dasar kewenangan MK untuk menangani perkara-perkara
konstitusional yang hanya dapat dilakukan oleh MK, sehingga dalam pelaksanaan peradilan
hukum lainnya secara umum pengesampingan yang demikian tidak dapat dilakukan
(Maladi, 2010). Akan tetapi, dikarenakan pertimbangan hukum MK tersebut terjadi dalam
perkara judicial review dan bukan SKLN, maka dalam hal penyelesaian SKLN yang
melibatkan MK hingga saat ini masih mengacu pada PMK 08/PMK/2006.
Berkaitan dengan objectum litis atau objek perkara yang secara tekstual merupakan
kewenangan konstitusional, berdasarkan Putusan MK Nomor 004/SKLN-IV/2006
ditegaskan bahwa menafsirkan frasa kewenangan yang diberikan oleh Undang-Undang
Dasar tidak dapat hanya secara gramatikal, melainkan perlu juga untuk melihat
kemungkinan adanya pemaknaan secara implisit yang lahir dari kewenangan pokoknya.
Begitu juga melalui Putusan MK Nomor 3/SKLN-X/2021 yang menyatakan bahwa
objectum litis dalam SKLN tidak hanya terbatas pada kewenangan yang eksplisit (expressis
verbis) dalam konstitusi, akan tetapi juga termasuk kewenangan delegasi karena adanya
atribusi yang disebutkan oleh UUD NRI 1945 (Isra, 2020). Melalui Putusan MK Nomor
004/SKLN-IV/2006 juga MK memperjelas tata cara penyelesaian SKLN di MK dalam hal
penentuan objek dan subjek perkara, di mana MK perlu terlebih dahulu menentukan apakah
memang ada objectum litis dari permohonan yang diajukan, baru kemudian dilihat kepada
lembaga negara apa kewenangan tersebut diserahkan (subjectum litis).
Sebelumnya telah dijelaskan terkait SKLN secara formil dan materiil yang
penyelesaiannya menjadi kewenangan konstitusional dari MK, selain itu perlu juga untuk
diuraikan perihal penyebab dari terjadinya sengketa antarlembaga negara, menurut
Ni’matul Huda alasan-alasan terjadinya SKLN adalah sebagai berikut (Huda, 2017) :
1. Terdapat overlapping (tumpang tindih) kewenangan antar satu lembaga negara dan
lembaga negara lainnya yang diatur dalam hukum dasar negara;
2. Terdapat pengabaian oleh lembaga negara lain terhadap kewenangan dari lembaga
negara tertentu yang diberikan oleh konstitusi; dan
3. Terdapat kewenangan lembaga negara tertentu yang telah diberikan oleh
konstitusi, namun dijalankan oleh lembaga negara lainnya.
Akan tetapi, apabila dibandingkan secara kuantitatif penyelesaian SKLN di MK merupakan
pelaksanaan kewenangan MK yang jumlahnya paling sedikit sejak MK pertama kali berdiri
pada tahun 2003, yakni hanya berjumlah 27 perkara atau sebesar 1% dari keseluruhan
perkara yang diselesaikan oleh MK. Pembagian ke-27 perkara tersebut adalah sebagai
berikut (MKRI, 2021) :
1. Dikabulkan : 1 perkara
2. Ditarik Kembali : 6 perkara
3. Ditolak : 3 perkara
4. Tidak Berwenang : 1 perkara
5. Tidak Dapat Diterima : 16 perkara
Sebagai penutup dan penambah informasi perlu disampaikan tentang praktik-praktik
penyelesaian SKLN di MK negara-negara lain, sebagai contoh penyelesaian SKLN
(competence dispute between state institutions) di Rusia yang tidak hanya terbatas pada
lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh konstitusi, akan tetapi juga dapat
menyelesaikan SKLN yang mana lembaga negara tersebut merupakan sesama lembaga
pemerintahan federasi, antara lembaga pemerintahan federasi dan lembaga pemerintahan
negara bagian, atau antara sesama lembaga pemerintahan negara bagian. Jika dibandingkan
dengan Thailand, maka SKLN yang dapat diselesaikan berkaitan dengan kewenangan DPR,
Senat, Majelis Nasional, Dewan Menteri, dan lembaga independen lain (Faiz & Chakim,
2020). MK Korea Selatan juga merupakan salah satu leading example dalam hal peradilan
konstitusi di Asia, dalam hal SKLN MK Korea Selatan pernah melakukan perubahan
paradigma pemikiran yang menjadi landasan dari pertimbangan hukumnya dalam
menyelesaikan suatu perkara.
Sebagai contoh ketika tahun 1995 MK Korea Selatan memutuskan dalam perkara
antara anggota oposisi Majelis Nasional terhadap Ketua Majelis Nasional bahwa anggota
oposisi Majelis Nasional tidak memenuhi syarat formil sebagai pemohon (salah satu
subjectum litis) karena MK Korea Selatan menafsirkan secara sempit ketentuan Pasal 62
ayat (1) UU MK Korea Selatan terkait subjectum litis, di mana secara tekstual yang dapat
menjadi pemohon dan termohon dalam SKLN hanya Majelis Nasional secara kelembagaan,
bukan masing-masing anggota. Namun, dalam perkara lain pada tahun 1997 MK Korea
Selatan melakukan pergeseran pemikiran melalui penafsiran ekstensif atas ketentuan Pasal
62 ayat (1) UU MK Korea Selatan dengan memberikan legal standing kepada anggota
Majelis Nasional sebagai pemohon atau termohon dalam SKLN. Dengan demikian, apabila
pergeseran paradigma penafsiran yang demikian juga terjadi dalam praktek penyelesaian
SKLN oleh MK RI, maka boleh jadi di kemudian hari perkara-perkara terkait SKLN dapat
meningkat secara kuantitas (Faiz & Chakim, 2020).
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Faiz, Pan Mohamad & Lutfi Chakim. 2020. Peradilan Konstitusi Perbandingan
Kelembagaan dan Kewenangan Konstitusional di Asia. Depok : PT RajaGrafindo
Persada.
Fajar, Abdul Mukhtie. 2006. Hukum Konstitusi dan Mahkamah Konstitusi. Jakarta :
Konstitusi Press.
Isra, Saldi. 2020. Lembaga Negara Konsep, Sejarah, Wewenang, dan Dinamika
Konstitusional. Depok : PT RajaGrafindo Persada.
Safa’at, Muchammad Ali, et al. 2011. Hukum Acara Mahkamah Konstitusi. Jakarta :
Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi RI.
Siahaan, Maruarar. 2012. Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Edisi
2. Jakarta : Penerbit Sinar Grafika.
Jurnal
Maladi, Yanis, “Benturan Asas Nemo Judex Idoneus In Propia Causa dan Asas Ius Curia
Novit”, Jurnal Konstitusi, No. 2 (2010), 1-17.
Laman Daring
Feri Amsari. Hukum Online. Bisakan MK Memutus Sengketa Lembaga Negara yang
Terkait dengan Dirinya?. Diakses melalui Bisakah MK Memutus Sengketa Lembaga
Negara yang Terkait dengan Dirinya? - Klinik Hukumonline. Diakses pada 10
Novembr 2021, pukul 02.35 WIB.
-5-
Hukum Acara
Perselisihan Hasil Pemilihan Umum
a. Jenis Pemilu
Salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah menyelesaikan perkara
perselisihan hasil pemlihan umum, atau menyelesaikan sengketa mengenai hasil
pemilihan umum. Pemilihan umum tersebut merujuk pada semua jenis pemilihan
umum yang dikenal dalam sistem hukum ketatanegaraan di Indonesia.
Berikut ini jenis-jenis pemilihan umum di Indonesia serta pihak yang dapat
menjadi peserta/kontestan dalam Pemilu dimaksud.
b. Penyelenggara Pemilu
Penyelenggara pemilu di Indonesia terdiri dari tiga lembaga negara, yaitu Komisi
Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), dan Dewan Kehormatan
Penyelenggara Pemilu (DKPP).
KPU bertugas melaksanakan seluruh tahapan/proses pemungutan suara sejak
penyusunan daftar pemilih hingga penetapan hasil pemilu. Bawaslu bertugas
mengawasi pelaksanaan pemilu, termasuk mengawasi ada atau tidaknya pelanggaran
administratif maupun pelanggaran pidana pemilu. Adapun DKPP bertugas mengawasi
etika komisioner KPU/KPUD maupun Bawaslu.
c. Tahapan Pemilu
Pelaksanaan Pemilu Presiden-Wakil Presiden, Pemilu DPR, Pemilu DPD, dan
Pemilu DPRD meliputi tahap-tahap yang pada pokoknya sebagai berikut:
1) Penyusunan Daftar Pemilih
2) Pendaftaran dan Penetapan Peserta Pemilu
3) Masa Kampanye
4) Masa Tenang
5) Pemungutan dan Penghitungan Suara
6) Penetapan Hasil Pemilu
7) Pengucapan Sumpah/Janji Pasangan Calon atau Calon Terpilih
Sengketa yang terjadi dalam pemilihan umum dapat dibedakan menjadi dua
jenis, yaitu:
1) Sengketa Proses, yaitu sengketa yang terjadi ketika pemilu masih dalam tahap
pelaksanaan. Sengketa yang terjadi/timbul ketika pemilu sedang berproses
biasanya dipicu oleh adanya: a) pelanggaran pidana; b) pelanggaran administratif;
dan c) pelanggaran etika.
Pelanggaran pidana akan ditangani/diproses hukum oleh Sentra Penegakan Hukum
Terpadu (Sentra Gakkumdu) yang merupakan unit kerja gabungan antara Bawaslu,
Kepolisian, dan Kejaksaan. Selanjutnya pelanggaran pidana akan diadili oleh
peradilan umum yang berada di bawah Mahkamah Agung.
Pelanggaran administrasi pemilu, yaitu pelanggaran oleh KPU/KPUD dapat
ditangani/diselesaikan secara internal oleh KPU/KPUD atau ditangani/diselesaikan
oleh Bawaslu. Selanjutnya pelanggaran administratif akan diadili oleh Peradilan
Tata Usaha Negara.
Pelanggaran etika ditangani oleh semacam peradilan etika khusus bagi
penyelenggara pemilu. Peradilan etika ini dinamai sebagai DKPP.
2) Sengketa hasil, yaitu sengketa ketika proses pemilu sudah menghasilkan
rekapitulasi yang berisi peringkat pemerolehan suara.
Sengketa hasil pemilu akan ditangani/diadili oleh peradilan konstitusionalitas yang
bernama Mahkamah Konstitusi.
putusannya mengubah/memperluas konsep PHP dengan mengadili pula pelanggaran
pemilu/pilkada. Sehingga dalam perkara PHPU, MK tidak lagi hanya menghitung hasil
perolehan suara.
f. Obyek Perkara
Hal yang menjadi muasal perselisihan hasil pemilu adalah hasil resmi
rekapitulasi perolehan suara masing-masing peserta pemilu. Dengan demikian obyek
perkara PHPU adalah surat keputusan KPU/KPUD yang berisi penetapan hasil
rekapitulasi perolehan suara para peserta pemilu/pemilukada, beserta lampiran dan
berita acara terkait rekapitulasi hasil penghitungan suara dimaksud.
Terkait dengan obyek perkara tersebut, maka judul permohonan adalah
“Permohonan Pembatalan Surat Keputusan KPU/KPUD Nomor …. Tahun …. tentang
Penetapan KPU/KPUD Mengenai Hasil Rekapitulasi Penghitungan Suara Pemilu ….
Tahun ….”. Sehingga dapat dikatakan bahwa permohonan PHPU pada dasarnya adalah
permohonan pembatalan ketetapan KPU/KPUD mengenai hasil rekapitulasi
penghitungan suara dalam Pemilu.
KPUD in casu KPU Provinsi adalah Termohon dalam perkara PHPU Gubernur-
Wakil Gubernur.
KPUD in casu KPU Kabupaten/Kota adalah Termohon dalam perkara PHPU
Bupati-Wakil Bupati dan PHPU Walikota-Wakil Walikota.
3) Pihak Terkait
Pihak Terkait dalam perkara PHPU Presiden-Wakil Presiden dan PHPU Kepala
Daerah adalah pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak atau menempati
peringkat pertama dalam hal perolehan suara.
Pihak Terkait dalam perkara PHPU Anggota DPR, DPD, dan DPRD adalah calon
anggota DPR, DPD, dan DPRD yang merasa dirugikan oleh permohonan
Pemohon.
4) Pemberi Keterangan (Bawaslu dan pihak lain)
Pemberi keterangan dalam perkara PHPU adalah Bawaslu dalam kedudukannya
sebagai pengawas pemilu, atau lembaga lain yang menurut Mahkamah mengetahui
permasalahan mengenai pemilu yang dimohonkan Pemohon.
Pemberi keterangan selain Bawaslu, antara lain, adalah Kepolisian RI dan
Kementerian Dalam Negeri sebagai lembaga yang ikut terlibat dalam pelaksanaan
pemilu.
d) Pemohon dalam perkara PHPU DPR dan DPRD harus memperoleh persetujuan
partai politik yang mengusungnya.
e) Pemantau Pemilu yang menjadi Pemohon dalam perkara PHPU Kepala Daerah
harus sudah terdaftar di KPU dan secara aktif menjalankan kegiatan pemantauan
pada daerah di mana Pemantau Pemilu menjadi Pemohon.
Termohon (KPU/KPUD) dan Bawaslu hadir dalam kapasitas sebagai
penyelenggara pemilu/pemilukada untuk mendengarkan permohonan Pemohon.
Calon Pihak Terkait hadir (namun statusnya belum dinyatakan sebagai Pihak
Terkait).
Perbaikan permohonan juga dapat dilakukan dalam Sidang Pertama tetapi hanya
perbaikan minor saja yang meliputi kesalahan ketik, perbaikan nama, dan beberapa
hal lain yang tidak berpengaruh pada substansi permohonan.
Dalam perkara PHPU Anggota DPR, DPD, dan DPRD, serta PHPU Kepala
Daerah, Sidang Pendahuluan dilaksanakan oleh Majelis Panel yang terdiri dari 3
orang hakim.
Dalam perkara PHPU Presiden-Wakil Presiden, Sidang Pendahuluan dilaksanakan
oleh Majelis Pleno yang terdiri dari sekurang-kurangnya 7 orang hakim.
5) Sidang Pemeriksaan
Sidang Pemeriksaan dapat dilaksanakan sekali, dua kali, atau lebih, tergantung
kebutuhan Mahkamah.
Agenda Sidang Pemeriksaan adalah memeriksa Jawaban Termohon, Keterangan
Bawaslu (RI/daerah), Keterangan Pihak Terkait, pengesahan alat bukti masing-
masing pihak, serta pembuktian.
Dalam perkara PHPU Anggota DPR, DPD, dan DPRD, serta PHPU Kepala
Daerah, Sidang Pemeriksaan dilaksanakan oleh Majelis Panel yang terdiri dari 3
orang hakim.
Dalam perkara PHPU Presiden-Wakil Presiden, Sidang Pemeriksaan dilaksanakan
oleh Majelis Pleno yang terdiri dari sekurang-kurangnya 7 orang hakim.
6) Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH)
RPH adalah forum musyawarah hakim untuk mengambil keputusan atas suatu
perkara.
Semua perkara PHPU dibahas dalam RPH yang diikuti oleh sekurang-kurangnya 7
orang hakim.
7) Sidang Pengucapan Putusan
Sidang ini merupakan sidang pleno terbuka untuk umum, yang dilaksanakan oleh
sekurang-kurangnya 7 orang hakim dengan agenda mengucapkan/membacakan
putusan Mahkamah Konstitusi.
k. Putusan
Mahkamah Konstitusi dalam perkara PHPU mempunyai dua jenis putusan, yaitu
Putusan Sela dan Putuan Akhir. Secara ringkas, berikut ini perbedaan antara kedua
jenis putusan tersebut.
1) Putusan sela
Putusan sela berisi perintah agar KPU/KPUD melakukan sesuatu atau tidak
melakukan sesuatu terkait dengan Pemilu yang sedang berjalan. Setelah
KPU/KPUD melaksanakan perintah Putusan Sela lalu Mahkamah Konstitusi akan
melanjutkan pemeriksaan perkara PHPU.
2) Putusan akhir
Putusan akhir merupakan putusan yang mengakhiri perkara PHPU. Setelah tahap
Putusan Akhir maka tidak ada lagi pemeriksaan atas perkara tersebut. Adapun
jenis amar Putusan akhir adalah:
a) Permohonan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard).
b) Permohonan dikabulkan.
c) Permohonan ditolak.
***
-6-
Hukum Acara
Pembubaran Partai Politik
m. Obyek Perkara
Hal yang menjadi obyek dari perkara pembubaran partai politik adalah
keberadaan atau legalitas suatu partai politik, khususnya terkait dengan ideologi, asas,
tujuan, program, serta kegiatan dan akibat kegiatan suatu partai politik.
1) Pengajuan Permohonan
Pada tahap ini Pemerintah selaku Pemohon mengajukan permohonan pembubaran
partai politik kepada Mahkamah Konstitusi melalui Kepaniteraan Mahkamah
Konstitusi.
2) Pemeriksaan Kelengkapan Permohonan
Kepaniteraan akan memeriksa syarat dan kelengkapan permohonan.
Pemohon diberi waktu 7 hari kerja untuk memperbaiki/melengkapi permohonan.
Permohonan yang telah lengkap akan diregistrasi oleh Kepaniteraan.
3) Registrasi Permohonan
Tahap registrasi adalah tahap ketika permohonan diberi nomor perkara dan
kemudian siap untuk diperiksa dalam persidangan.
4) Sidang Pendahuluan
Sidang Pendahuluan adalah sidang yang pertama.
Agenda utama Sidang Pendahuluan adalah memeriksa materi dan kelengkapan
permohonan Pemohon.
Pemohon diberi kesempatan 7 hari untuk memperbaiki dan/atau melengkapi
permohonan.
Sidang Pendahuluan dilaksanakan secara terbuka untuk umum dengan dihadiri
oleh sekurang-kurangnya 7 orang hakim.
5) Sidang Pemeriksaan
Sidang Pemeriksaan dapat dilaksanakan sekali, dua kali, atau lebih, tergantung
kebutuhan Mahkamah.
Agenda Sidang Pemeriksaan adalah memeriksa Jawaban Termohon in casu partai
politik yang dimohonkan untuk dibubarkan, pengesahan alat bukti yang diajukan
para pihak, serta pembuktian.
Sidang Pemeriksaan dilaksanakan terbuka untuk umum dengan dihadiri oleh
sekurang-kurangnya 7 orang hakim.
6) Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH)
RPH adalah forum musyawarah hakim untuk mengambil keputusan atas suatu
perkara.
Perkara pembubaran partai politik dibahas dalam forum RPH yang diikuti oleh
sekurang-kurangnya 7 orang hakim.
7) Sidang Pengucapan Putusan
Sidang ini merupakan sidang pleno terbuka untuk umum, yang dilaksanakan oleh
sekurang-kurangnya 7 orang hakim dengan agenda mengucapkan/membacakan
putusan Mahkamah Konstitusi.
Perkara pembubaran partai politik harus sudah diputus oleh Mahkamah Konstitusi
dalam jangka waktu 60 (enam puluh) hari kerja setelah permohonan diregistrasi
(dicatat dalam buku registrasi).
r. Putusan
Jenis amar Putusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara pembubaran partai
politik adalah:
1) Permohonan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard).
Amar ini dipergunakan MK apabila permohonan tidak memenuhi syarat pengajuan
permohonan.
2) Permohonan dikabulkan.
Amar ini dipergunakan apabila permohonan Pemohon beralasan atau terbukti
menurut hukum.
3) Permohonan ditolak.
Amar ini dipilih Mahkamah Konstitusi ketika permohonan Pemohon, setelah
diperiksa, ternyata tidak beralasan atau tidak terbukti menurut hukum.
Lebih lanjut, dalam hal suatu permohonan dikabulkan maka amar putusan
selengkapnya menyatakan hal-hal berikut:
1) mengabulkan permohonan pemohon;
2) menyatakan membubarkan dan membatalkan status badan hukum partai politik
yang dimohonkan pembubaran;
3) memerintahkan kepada Pemerintah untuk:
a. menghapuskan partai politik yang dibubarkan dari daftar pada Pemerintah
paling lambat dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja sejak putusan
Mahkamah diterima;
b. mengumumkan putusan Mahkamah dalam Berita Negara Republik Indonesia
paling lambat 14 (empat belas) hari sejak putusan diterima.
3) mantan pengurus partai politik yang dibubarkan dilarang melakukan kegiatan
politik; dan
4) negara mengambil alih kekayaan partai politik yang dibubarkan.
***
-7-
Hukum Acara
Memutus Pendapat DPR Mengenai
Pelanggaran Hukum Presiden dan/atau Wakil Presiden
t. Obyek Perkara
Obyek perkara atau obyek hukum yang akan diperiksa dan diadili Mahkamah
Konstitusi adalah pendapat DPR, yang berisi dugaan pelanggaran oleh Presiden
dan/atau Wakil Presiden menurut UUD 1945.
Pada tahap ini Pemohon (DPR) mengajukan permohonan kepada Mahkamah
Konstitusi melalui Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi.
Dalam permohonannya DPR wajib menguraikan dengan jelas mengenai dugaan:
a) Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa
pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat
lainnya, atau perbuatan tercela;
b) Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai
Presiden dan/atau Wakil Presiden berdasarkan UUD 1945;
Selanjutnya permohonan tersebut diajukan kepada Mahkamah Konstitusi dengan
disertai beberapa kelengkapan berikut ini.
a) risalah dan/atau berita acara proses pengambilan keputusan DPR bahwa
Pendapat DPR didukung oleh sekurang-kurangnya 2/3 (dua per tiga) dari
jumlah anggota DPR yang hadir dalam Sidang Paripurna yang dihadiri oleh
sekurang-kurangnya 2/3 (dua per tiga) dari jumlah anggota DPR;
b) dokumen hasil pelaksanaan fungsi pengawasan oleh DPR yang berkaitan
langsung dengan materi permohonan;
c) risalah dan/atau berita acara rapat DPR;
d) alat-alat bukti mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil
Presiden yang menjadi dasar Pendapat DPR.
2) Pemeriksaan Kelengkapan Permohonan
Kepaniteraan akan memeriksa syarat dan kelengkapan permohonan.
Pemohon diberi waktu untuk memperbaiki/melengkapi permohonan dalam waktu
3 hari kerja.
Permohonan yang telah lengkap akan diregistrasi oleh Kepaniteraan.
3) Registrasi Permohonan
Tahap registrasi adalah tahap ketika permohonan diberi nomor perkara dan
kemudian siap untuk diperiksa dalam persidangan.
Ketika permohonan sudah diregistrasi, Panitera Mahkamah Konstitusi
mengirimkan salinan permohonan kepada Presiden dan/atau Wapres bersangkutan
disertai permintaan tanggapan tertulis yang sudah harus diterima Mahkamah
Konstitusi sehari sebelum sidang pertama.
4) Persidangan
Sidang perkara impeachment selalu dilakukan secara pleno, yaitu dilakukan oleh
sekurang-kurangnya 7 orang hakim.
Sidang bersifat terbuka untuk umum.
Persidangan perkara ini ditentukan oleh Mahkamah Konstitusi sebanyak 6 tahap
persidangan, yaitu:
a. Sidang Pemeriksaan Pendahuluan
Dalam Sidang Tahap I (Sidang Pemeriksaan Pendahuluan), Mahkamah
Konstitusi memeriksa kejelasan materi dan kelengkapan permohonan.
Terkait dengan hal demikian Pemohon dan/atau kuasa hukumnya wajib hadir
dalam sidang pertama ini.
Jika terdapat ketidakjelasan materi atau kekuranglengkapan, Pemohon diberi
kesempatan untuk memperbaiki dan/atau melengkapi saat itu juga di dalam
persidangan.
Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagai Termohon/Terduga mempunyai
hak untuk hadir dalam sidang pemeriksaan pendahuluan ini dan berhak
mengajukan pertanyaan untuk memperoleh kejelasan terkait materi
permohonan.
b. Tanggapan oleh Presiden dan/atau Wapres
Dalam Sidang Tahap II, Mahkamah Konstitusi memberikan kesempatan
kepada Presiden dan/atau Wapres untuk menyampaikan tanggapan secara
tertulis dan lisan atas permohonan yang diajukan DPR. Tanggapan tersebut
dapat berupa tanggapan mengenai: a) sah atau tidaknya proses pengambilan
keputusan Pendapat DPR; b) materi/isi Pendapat DPR; serta c) perolehan
alat-alat bukti tulis yang diajukan DPR kepada Mahkamah Konstitusi.
Presiden dan/atau Wapres sebagai Termohon/Terduga dapat diwakili oleh
kuasa hukumnya.
c. Pembuktian oleh DPR
Sidang Tahap III merupakan sidang dengan agenda pembuktian oleh
Pemohon in casu DPR. Pemohon diwajibkan membuktikan kebenaran dalil-
dalil atau isi permohonannya.
Termohon/Terduga mempunyai hak untuk mengajukan pertanyaan dan
meneliti alat-alat bukti yang diajukan Pemohon.
Sidang Tahap III dengan agenda pembuktian ini dapat dilaksanakan lebih
dari satu kali sidang.
d. Pembuktian oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden
Setelah pembuktian oleh Pemohon, selanjutnya Sidang Tahap IV merupakan
sidang pembuktian bantahan Termohon/Terduga.
Agenda utama sidang ini adalah memberikan kesempatan kepada Termohon
untuk membuktikan kesalahan permohonan, atau membuktikan kebenaran
bantahan Termohon atas permohonan.
Pemohon mempunyai hak untuk mengajukan pertanyaan, meminta
penjelasan, dan meneliti alat bukti yang diajukan Pemohon.
e. Kesimpulan
Sidang Tahap V merupakan sidang penyerahan atau penyampaian
kesimpulan. Artinya, kesimpulan para pihak harus diserahkan/disampaikan
dalam persidangan baik secara tertulis maupun lisan.
Kedua pihak berperkara, baik DPR maupun Presiden dan/atau Wakil
Presiden, diberi hak yang sama untuk menyusun kesimpulan terkait perkara
yang telah selesai diperiksa.
Kesimpulan masing-masing pihak harus disampaikan kepada Mahkamah
Konstitusi dalam jangka waktu paling lama 14 hari setelah berakhirnya
Sidang Tahap IV.
Setelah pemeriksaan perkara dianggap cukup/selesai, Mahkamah Konstitusi
menyelenggarakan sidang tertutup berupa Rapat Permusyawaratan Hakim
untuk mengambil putusan atas perkara dimaksud.
f. Pengucapan Putusan
Agenda satu-satunya Sidang Tahap VI adalah pengucapan Putusan
Mahkamah Konstitusi. Putusan atas perkara ini harus sudah diambil dalam
jangka waktu paling lambat 90 hari sejak permohonan diregistrasi.
Sidang pengucapan putusan sebagaimana sidang pada semua tahapan adalah
sidang pleno (oleh sekurang-kurangnya 7 hakim) yang terbuka untuk umum.
Meskipun dinyatakan terdapat 6 tahap persidangan namun bukan berarti
sidang hanya dilakukan sebanyak 6 kali sidang. Sidang pada masing-masing tahap,
terutama tahap pembuktian, dapat dilakukan lebih dari satu kali sidang. Hal
demikian tergantung pada kebutuhan Mahkamah Konstitusi ketika mendalami
materi perkara.
x. Alat Bukti
Alat bukti yang dapat diajukan dalam perkara “impeachment” terdiri dari:
1) Surat/tulisan;
2) Keterangan saksi;
3) Keterangan ahli;
4) Petunjuk; dan/atau
5) Alat bukti lain.
z. Putusan
Amar putusan perkara “impeachment” sedikit berbeda karakteristiknya dengan
amar putusan pada kewenangan Mahkamah Konstitusi yang lain. Hal demikian karena
dalam perkara impeachment tugas Mahkamah Konstitusi adalah memeriksa kebenaran
dari suatu dugaan DPR. Berikut ini tiga jenis amar putusan perkara “impeachment”,
yaitu:
d) Permohonan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard).
Amar ini diterapkan oleh Mahkamah Konstitusi manakala permohonan yang
diajukan DPR tidak memenuhi syarat pengajuan permohonan yang diatur dalam
UU MK maupun Peraturan Mahkamah Konstitusi.
e) Membenarkan Pendapat DPR.
Amar “membenarkan pendapat DPR” diterapkan oleh Mahkamah Konstitusi
manakala Mahkamah menilai bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti
melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi,
penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau terbukti
tidak memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.
f) Permohonan ditolak.
Mahkamah Konstitusi menyatakan permohonan ditolak ketika permohonan DPR
telah diperiksa dan ternyata tidak terbukti kebenarannya.
***