Anda di halaman 1dari 88

DIKTAT HIBAH PROGRAM 3 IN 1

DEPARTEMEN HUKUM TATA NEGARA


FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MATA KULIAH
HUKUM ACARA PERADILAN KONSTITUSI

Penyusun
Dr. Indah Dwi Qurbani, SH, MH
Dr. Muchammad Ali Safaat, SH, MH
Dr. Aan Eko Widiarto, SH, MH
Prischa Listiningrum, SH, L.LM
Dr. Mardian Wibowo, S.H., M.Si.

UNIVERSITAS BRAWIJAYA
November 2021


1
LEMBAR PENGESAHAN

Nama Kegiatan : Diktat Hibah Program 3in1 Departemen Hukum Tata Negara FH UB
Mata Kuliah : Hukum Acara Peradilan Konstitusi
Tanggal : 8 November 2021
Tempat : Fakultas Hukum UB
Biaya total : 5 (lima) Juta Rupiah

Malang, 8 November 2021


Ketua Pelaksana,

Dr. Indah Dwi Qurbani, SH, MH


2
DAFTAR ISI

1. LATAR BELAKANG DAN TUJUAN PEMBENTUKAN


PERADILAN KONSTITUSI 5
2. KARAKTERISTIK HUKUM ACARA MAHKAMAH KONSTITUSI 11
3. PENGUJIAN UNDANG-UNDANG 31
4. SENGKETA KEWENANGAN LEMBAGA NEGARA 58
5. HUKUM ACARA PERSELISIHAN HASIL PEMILIHAN UMUM 67
6. HUKUM ACARA PEMBUBARAN PARTAI POLITIK 76
7. HUKUM ACARA MEMUTUS PENDAPAT DPR MENGENAI
PELANGGARAN HUKUM PRESIDEN DAN/ATAU
WAKIL PRESIDEN 82


3
-1-
LATAR BELAKANG DAN TUJUAN PEMBENTUKAN PERADILAN
KONSTITUSI

a. Sejarah pembentukan peradilan konstitusi


- Perkembangannya kurang lebih 250 tahun;
- Revolusi Perancis dan konsep separation of powers;
- kasus Marbury Vs Madison (Kasus Marbury Madison dipandang sebagai
tonggak awal praktek atau di Mahkamah Agung Amerika Serikat. Presiden
Quincy Adams kalah dalam pemilu melawan Thomas
Jefferson.Tindakan Madison menahan surat-surat pengangkatan pejabat itulah
yang kemudian diperkarakan Marbury ke Mahkamah Agung).
- Sejarah judicial review pertama kali timbul dalam praktik hukum di Amerika
Serikat melalui putusan Supreme Court Amerika Serikat dalam perkara
“Marbury Vs Madison” tahun 1803. Meskipun ketentuan judicial review tidak
tercantum dalam Undang-Undang Dasar Amerika Serikat, Supreme
Court Amerika Serikat membuat sebuah putusan yang ditulis John Marshall dan
didukung 4 Hakim Agung lainnya yang menyatakan bahwa pengadilan
berwenang membatalkan undang-undang yang bertentangan dengan konstitusi.

b. Latar belakang pemikiran pembentukan peradilan konstitusi


- keberadaan Mahkamah Konstitusi (MK) sendiri secara teoritis baru
diperkenalkan oleh pakar hukum kenamaan asal Austria, Hans Kelsen (1881-
1973). Kelsen menyatakan bahwa pelaksanaan aturan konstitusional tentang
legislasi dapat secara efektif dijamin hanya jika suatu organ selain badan
legislatif diberikan tugas untuk menguji apakah suatu produk hukum itu


4
konstitusional atau tidak, dan tidak memberlakukannya jika menurut organ ini
produk badan legislatif tersebut tidak konstitusional.
- Di Austria, Pemikiran Kelsen itu mendorong dibentuknya suatu lembaga yang
diberi nama Verfassungsgerichtshoft atau MK (Constitutional Court) yang
berdiri sendiri di luar Mahkamah Agung, sering disebut The Kelsenian Model.
Gagasan ini diajukan ketika Kelsen diangkat sebagai anggota lembaga
pembaharu Konstitusi Austria (Chancelery) pada tahun 1919–1920 dan diterima
dalam Konstitusi Tahun 1920. Inilah MK pertama di dunia. Model ini
menyangkut hubungan antara prinsip supremasi konstitusi (the principle of the
supremacy of the Constitution) dan prinsip supremasi parlemen (the principle of
the supremacy of the Parliament).

c. Latar belakang pembentukan Mahkamah Konstitusi di Indonesia


- Sebelum reformasi tahun 1998, kehidupan ketatanegaraan dan kehidupan
politik yang monolitik. UUD cenderung disakralkan dan tidak boleh diubah.
- Pasca reformasi : Perubahan Ketiga UUD 1945 Pasal 24C ayat (1) dan ayat (2).
Pasal III Aturan Peralihan UUD 1945 memerintahkan dibentuknya Mahkamah
Konstitusi selambat-lambatnya pada tanggal 17 Agustus 2003. UU MK
disahkan pada tanggal 13 Agustus 2003, 16 Agustus 2003 para hakim MK
dilantik dan mulai bekerja secara efektif pada tanggal 19 Agustus 2003.
- Indonesia adalah negara ke-78 yang mengadopsi sistem MK terpisah dari MA.


5
Materi Power Point :


6

7

8
Bahan Pustaka:
Abdul Mukthie Fadjar. Hukum Konstitusi dan Mahkamah Konstitusi. Jakarta:
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MKRI, 2006.
Ahmad Syahrizal. Peradilan Konstitusi: Suatu Studi Tentang Adjudikasi
Konstitusional Sebagai Mekanisme Penyelesaian Sengketa Normatif. Jakarta: Pradnya
Paramita, 2006.
Fatmawati. Hak Menguji (Toetsingsrecht) yang Dimiliki oleh Hakim Dalam
Pengujian UU. Jakarta: PT RajaGrafindo, 2005.
H.A.S. Natabaya. Sistem Peraturan Perundang-Undangan Indonesia. Jakarta:
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MKRI, 2006.
Hamdan Zoelva. Impeachment Presiden, Alasan Tindak Pidana Pemberhentian
Presiden Menurut UUD 1945. Jakarta: Konstitusi Press, 2005.
Harjono. Konstitusi Sebagai Rumah Bangsa: Pemikiran Hukum Dr. Harjono.
Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MKRI, 2008.
I Dewa Gede Palguna. Mahkamah Konstitusi, Judicial Review, dan Welfare State.
Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MKRI , 2008.
Jimly Asshiddiqie. Perihal Undang-Undang di Indonesia. Jakarta: Sekretariat
Jenderal dan Kepaniteraan MKRI, 2006.
Jimly Asshiddiqie. Hukum Acara Pengujian Undang-Undang. Jakarta: Sekretariat
Jenderal dan Kepaniteraan MKRI, 2005.
Jimly Asshiddiqie. Model-Model Pengujian Konstitusional Di Beberapa Negara.
Jakarta: Konpress, 2005.
Jimly Asshiddiqie. Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca
Reformasi. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MKRI, 2006.
Jimly Asshiddiqie. Sengketa Kewenangan AntarLembaga Negara. Jakarta:
Konspress, 2005.
Maruarar Siahaan. Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.
Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MKRI, 2006.
Soimin. Impeachment Presiden & Wakil Presiden. Yogyakarta: UII Press, 2009.


9
Muchamad Ali Safa’at dkk. Hukum Acara Mahkamah Konstitusi. Jakarta:
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MKRI, 2010.


10
-2-
KARAKTERISTIK HUKUM ACARA MAHKAMAH KONSTITUSI1
A. Peristilahan dan Pengertian Hukum Acara MK
Mengingat keberadaannya sebagai lembaga yang dibentuk untuk mengawal
konstitusi agar dilaksanakan, maka MK adalah lembaga yang menyelenggarakan peradilan
konstitusi sehingga sering disebut sebagai Pengadilan Konstitusi (constitutional court). Hal
itu juga tercermin dari dua hal lain. Pertama, perkara-perkara yang menjadi wewenang MK
adalah perkara-perkara konstitusional, yaitu perkara yang menyangkut konsistensi
pelaksanaan norma-norma konstitusi. Kedua, sebagai konsekuensinya, dasar utama yang
digunakan oleh MK dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara adalah konstitusi
itu sendiri. Walaupun terdapat ketentuan undang-undang yang berlaku dan mengatur
bagaimana MK menjalankan wewenangnya, namun jika undang-undang tersebut
bertentangan dengan konstitusi MK dapat mengesampingkan atau bahkan membatalkannya
jika dimohonkan.2
Hukum Acara MK dimaksudkan sebagai hukum yang mengatur prosedur dan tata
cara pelaksanaan wewenang yang dimiliki oleh MK. Ada juga yang menyebut dengan
istilah lain, seperti Hukum Acara Peradilan Konstitusi, Hukum Acara Peradilan Tata


1
Bagian ini diambil dari Bab II buku Hukum Acara Mahkamah Konstitusi. Jakarta, Sekretariat Jenderal dan
Kepaniteraan MK RI, 2010. ISBN: 978-602-8308-26-7.
2
MK pertama kali mengesampingkan ketentuan UU karena dinilai bertentangan dengan UUD 1945 dalam
Putusannya yang pertama, yaitu putusan atas Perkara Nomor 004/PUU-I/2003. Pada putusan ini MK
mengesampingkan Pasal 50 UU MK yang membatasi wewenang MK menguji UU hanya pada UU yang
disahkan setelah Perubahan Pertama UUD 1945. Ketentuan tersebut dipandang mereduksi kewenangan MK
yang diberikan oleh UUD 1945 yang tidak memuat batasan dimaksud. Dalam Pertimbangan Hukum pada
halaman 11 sampai 12 Putusan itu dinyatakan “Mahkamah Konstitusi bukanlah organ undang-undang
melainkan organ Undang- Undang Dasar. Ia adalah Mahkamah Konstitusi, bukan Mahkamah undang-
undang. Dengan demikian, landasan yang dipakai oleh Mahkamah Konstitusi dalam menjalankan tugas dan
kewenangan konstitusionalnya adalah Undang-Undang Dasar. Kalaupun undang-undang dan peraturan
perundang-undangan lainnya, sesuai dengan asas legalitas wajib ditaati oleh siapapun dan lembaga apapun
sebagai subjek dalam sistem hukum nasional, segala peraturan perundang-undangan yang dimaksud sudah
seharusnya dipahami dalam arti sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945”. Pasal 50 UU MK kemudian dibatalkan oleh MK dengan alasan hukum
yang
sama atas permintaan Pemohon pada Perkara Nomor 066/PUU-II/2004.
11
Negara, dan lain-lain. Penggunaan istilah Hukum Acara Mahkamah Konstitusi untuk
sementara digunakan secara umum karena memang terkait dengan perkara-perkara yang
menjadi wewenang MK.3
Hukum Acara MK adalah hukum formil yang berfungsi untuk menegakkan hukum
materiilnya, yaitu hukum konstitusi. Oleh karena itu keberadaan Hukum Acara MK sejajar
dengan Hukum Acara Pidana, Hukum Acara Perdata, dan Hukum Acara Peradilan Tata
Usaha Negara. Hukum Acara MK memiliki karakteristik khusus, karena hukum materiil
yang hendak ditegakkan tidak merujuk pada undang-undang atau kitab undang-undang
tertentu, melainkan konstitusi sebagai hukum dasar sistem hukum itu sendiri.
Hukum Acara MK dimaksudkan sebagai hukum acara yang berlaku secara umum
dalam perkara-perkara yang menjadi wewenang MK serta hukum acara yang berlaku
secara khusus untuk setiap wewenang dimaksud. Oleh karena itu Hukum Acara MK
meliputi Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, Hukum Acara Perselisihan Hasil
Pemilihan Umum, Hukum Acara Sengketa Kewenangan Lembaga Negara, Hukum Acara
Pembubaran Partai Politik, dan Hukum Acara Memutus Pendapat DPR mengenai
Pelanggaran Hukum Presiden dan/atau Wakil Presiden.

B. Asas-Asas Hukum Acara MK


Asas secara umum diartikan sebagai dasar atau prinsip yang bersifat umum yang
menjadi titik tolak pengertian atau pengaturan. Asas di satu sisi dapat disebut sebagai
landasan atau alasan pembentukan suatu aturan hukum yang memuat nilai, jiwa, atau cita-
cita sosial yang ingin diwujudkan. Asas hukum merupakan jantung yang menghubungkan

3
Saat ini masih terdapat perbedaan penggunaan istilah dan penamaan mata kuliah yang mengajarkan hukum
acara untuk peradilan yang menjadi wewenang MK. Pada pertemuan pengajar Hukum Acara MK yang
diselenggarakan oleh Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK di Jakarta tanggal 3 – 5 November 2009
terjadi perdebatan penggunaan istilah dan penamaan mata kuliah. Beberapa nama yang digunakan antara lain
adalah Hukum Acara MK, Hukum Acara Peradilan Konstitusi, Hukum Acara Konstitusi, Hukum Acara
Peradilan Tata Negara, Hukum Acara Peradilan Ketatanegaraan. Namun demikian istilah-istilah tersebut
merujuk pada substansi yang sama, yaitu hukum acara dalam proses peradilan yang menjadi wewenang MK
yang meliputi Pengujian Undang-Undang, Sengketa Kewenangan Konstitusional Lembaga Negara,
Perselisihan
hasil Pemilu, Pembubaran Partai Politik, dan Pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden.
12
antara aturan hukum dengan cita-cita dan pandangan masyarakat di mana hukum itu
berlaku (asas hukum objektif).4 Di sisi lain, asas hukum dapat dipahami sebagai norma
umum yang dihasilkan dari pengendapan hukum positif (asas hukum subjektif).
Dalam konteks Hukum Acara MK yang dimaksud dengan asas dalam hal ini adalah
prinsip-prinsip dasar dan bersifat umum yang menjadi panduan atau bahkan ruh dalam
penyelenggaraan peradilan konstitusi yang keberadaannya diperlukan untuk mencapai
tujuan penyelenggaraan peradilan itu sendiri, yaitu tegaknya hukum dan keadilan,
khususnya supremasi konstitusi dan perlindungan hak konstitusional warga negara. Asas-
asas tersebut harus dijabarkan dan dimanifestasikan baik di dalam peraturan maupun
praktik hukum acara. Dengan sendirinya asas Hukum Acara MK menjadi pedoman dan
prinsip yang memandu hakim dalam menyelenggarakan peradilan serta harus pula menjadi
pedoman dan prinsip yang dipatuhi oleh pihak-pihak dalam proses peradilan.
Mengingat sifatnya yang umum dan tidak merujuk pada tindakan atau kasus
tertentu, setiap asas memiliki pengecualian. Asas peradilan terbuka untuk umum misalnya
memiliki pengecualian untuk perkara-perkara tertentu dapat ditetapkan bersifat tertutup.
Jika pengecualian itu tidak ada, justru akan terdapat kepentingan yang lebih besar dan
mendasar yang dikorbankan.
Sebagaimana proses peradilan pada umumnya, di dalam peradilan MK terdapat
asas-asas baik yang bersifat umum untuk semua peradilan maupun yang khusus sesuai
dengan karakteristik peradilan MK. Maruarar Siahaan, salah satu hakim konstitusi periode
pertama, mengemukakan 6 (enam) asas dalam peradilan MK yaitu (1) ius curia novit; (2)
Persidangan terbuka untuk umum; (3) Independen dan imparsial; (4) Peradilan
dilaksanakan secara cepat, sederhana, dan murah; (5) Hak untuk didengar secara seimbang
(audi et alteram partem); dan (6) Hakim aktif dan juga pasif dalam persidangan.5 Selain itu


4
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Alumni, 1982), hal. 85 – 86.
5
Untuk asas Hakim aktif dan juga pasif, penggunaan istilah tersebut dipandang kurang tepat karena seolah
saling bertentangan. Dalam buku ini akan digunakan istilah hakim aktif dalam persidangan. Istilah pasif tidak
digunakan karena asas itu dimaksudkan bahwa hakim tidak mencari-cari perkara sehingga masih di luar
persidangan.
Selain itu, pasif dalam arti tidak mencari-cari perkara lebih tepat melekat pada lembaga
13
perlu ditambahkan lagi satu asas yaitu asas (7) Praduga Keabsahan (praesumptio iustae
causa).6
1. Ius curia novit
Asas Ius curia novit adalah asas bahwa pengadilan tidak boleh menolak untuk
memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa
hukum tidak ada atau kurang jelas, sebaliknya hakim harus memeriksa dan mengadilinya.
Asas tersebut juga ditegaskan dalam Pasal 16 UU Kekuasaan Kehakiman.7
Asas ini berlaku dalam peradilan MK yang menjadi wewenang MK sepanjang
masih dalam batas wewenang MK yang telah diberikan secara limitatif oleh UUD 1945,
yaitu pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, sengketa kewenangan
konstitusional lembaga negara, pembubaran partai politik, perselisihan hasil Pemilu, serta
pendapat DPR tentang pelanggaran hukum Presiden dan/atau Wakil Presiden. Sepanjang
suatu perkara diajukan dalam bingkai salah satu wewenang tersebut, MK harus menerima,
memeriksa, mengadili, dan memutus.
Terdapat beberapa perkara yang secara substansi sesungguhnya tidak termasuk ke
dalam salah satu wewenang MK namun diajukan dalam bingkai salah satu wewenang MK
sehingga MK harus memeriksa dan memutusnya. Perkara tersebut antara lain adalah
Perkara Nomor 001/PUU-IV/2006 yang pada hakikatnya mengajukan pengujian Putusan
MA Nomor 01/PK/Pilkada/2005 dengan konstruksi pengujian undang-undang dengan
mendalilkan bahwa Putusan MA yang telah berkekuatan hukum tetap tersebut
kedudukannya sama dengan undang-undang. Dalam perkara ini MK memutuskan


peradilannya, bukan kepada hakim. Perubahan lain yang dilakukan adalah menempatkan asas ius curia novit
pada pembahasan pertama karena bersifat lebih umum walupun urutan tidak menunjukkan prioritas. Lihat,
Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, (Jakarta: Sekretariat Jenderal
dan Kepaniteraan MK RI, 2006), hal. 61 – 81.
6
Dikenal juga dengan istilah het vermoeden van rechtmatigheid. Asas ini berarti bahwa tindakan penguasa
dianggap sah sesuai aturan hukum sampai ada pembatalannya. Asas ini dipandang perlu khususnya terkait
dengan wewenang memutus perkara Pengujian Undang-Undang, Sengketa Kewenangan Lembaga Negara,
dan Perselisihan Hasil Pemilu, di mana obyek sengketanya adalah produk tindakan penguasa.
7
Tentang latar belakang asas ius curia novit, dapat dilihat pada pertimbangan Putusan MK Nomor 061/PUU-
II/2004.

14
permohonan tidak dapat diterima karena Putusan Peninjauan Kembali MA tidak masuk
dalam kategori undang-undang yang menjadi wewenang MK untuk mengujinya.
Selain itu, juga terdapat Perkara Nomor 110-111-112-113/PUU-VII/2009 yang
pada prinsipnya bertujuan untuk menguji Putusan MA Nomor 15 P/HUM/2009 mengenai
perhitungan tahap kedua pada Pemilu 2009. Namun pengujian tersebut dibingkai dengan
perkara pengujian Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu DPR, DPD, dan
DPRD, khususnya terhadap Pasal 205 ayat (4). MK dalam putusan perkara ini
mengabulkan permohonan dengan menyatakan ketentuan yang dimohonkan sebagai
konstitusional bersyarat (conditionally constitutional) sepanjang ditafsirkan seperti yang
dituangkan dalam amar putusan MK. Dalam pertimbangan putusan ini juga dinyatakan
bahwa semua peraturan dan putusan pengadilan yang tidak sesuai dengan putusan MK
menjadi kehilangan dasar pijakannya, dengan kata lain menjadi kehilangan kekuatan
mengikat.
Contoh lain adalah Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009 mengenai Pengujian
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 4 Tahun 2009 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi. Pasal 24C UUD 1945 menyatakan bahwa salah satu wewenang
MK adalah memutus pengujian undang-undang terhadap UUD 1945. Pengertian Undang-
undang menurut Pasal 1 angka 3 UU No. 10 Tahun 2004 adalah Peraturan Perundang-
undangan yang dibentuk oleh DPR dengan persetujuan bersama Presiden. Dengan
demikian pengertian merujuk pada bentuk hukum “Undang-Undang”. Di sisi lain, UU No.
10 Tahun 2004 juga mengatur keberadaan Perppu yang kedudukannya sejajar dengan UU.
Perppu adalah Peraturan Pemerintah yang menggantikan ketentuan dalam suatu Undang-
Undang.
UUD 1945 menyatakan bahwa MK berwenang menguji UU terhadap UUD 1945,
sedangkan MA menguji peraturan perundang-undangan di bawah UU terhadap UU.
Muncul permasalahan atau kekosongan hukum, siapa yang dapat menguji Perppu. MA
tidak

memiliki wewenang karena kedudukan Perppu sejajar dengan UU. Sebaliknya, MK
15
juga tidak memiliki wewenang jika dipahami dari pengertian UU sebagai bentuk hukum
menurut UU No. 10 Tahun 2004.
Terhadap permohonan pengujian Perppu dalam Putusan Nomor 138/PUU-VII/2009
MK dinyatakan bahwa MK berwenang menguji Perppu walaupun tidak ada ketentuan yang
secara tegas tentang hal tersebut. Pertimbangan putusan bahwa MK berwenang menguji
Perppu antara lain adalah; pertama, bahwa Perppu dimaksudkan untuk mengganti
ketentuan suatu UU sehingga materi muatan Perppu merupakan materi muatan UU; Kedua,
Perppu dibuat dan berlaku tanpa menunggu persetujuan DPR sehingga norma yang diatur
di dalam Perppu yang seharusnya menjadi materi muatan UU berlaku sebagai norma
hukum yang mengikat seperti halnya norma dalam suatu UU; dan ketiga, dalam
keberlakuan norma itu dapat melanggar hak konstitusional warga negara dan bertentangan
dengan UUD 1945.

2. Persidangan terbuka untuk umum


Asas bahwa persidangan pengadilan dilakukan secara terbuka untuk umum
merupakan asas yang berlaku untuk semua jenis pengadilan, kecuali dalam hal tertentu
yang ditentukan lain oleh undang-undang. Hal ini tertuang di dalam Pasal 13 UU Nomor
48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, serta juga ditegaskan dalam Pasal 40 ayat
(1) UU MK, bahwa sidang MK terbuka untuk umum, kecuali rapat permusyawaratan
hakim.
Persidangan terbuka untuk umum dimaksudkan agar proses persidangan dapat
diikuti oleh publik sehingga hakim dalam memutus perkara akan obyektif berdasarkan alat
bukti dan argumentasi yang dikemukakan di dalam persidangan. Melalui persidangan yang
terbuka untuk umum, publik juga dapat menilai dan pada akhirnya menerima putusan
hakim.
Namun demikian, dalam hal tertentu dapat diputuskan oleh hakim konstitusi bahwa
persidangan dilakukan secara tertutup. Hal itu misalnya terjadi pada saat sidang
pemeriksaan

alat bukti dalam perkara pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1992
16
tentang Perfilman, khususnya tentang sensor film. Dalam pemeriksaan perkara Nomor
29/PUU-V/2007 pernah dilakukan pemeriksaan persidangan secara tertutup untuk melihat
alat bukti berupa potongan-potongan adegan film yang disensor. Sidang dilakukan secara
tertutup karena alasan kesusilaan.
Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) dilakukan secara tertutup karena dalam
rapat tersebut hakim konstitusi menyampaikan pendapat untuk pengambilan putusan suatu
perkara. Di dalam rapat tersebut terjadi perdebatan antar hakim konstitusi yang dapat
berlangsung dalam tensi yang tinggi. RPH dilakukan secara tertutup untuk menjaga
kerahasiaan putusan hakim sampai diucapkan dalam sidang pleno yang terbuka. Jika RPH
tidak dilakukan secara tertutup akan membuka peluang pihak-pihak tertentu untuk
memperjualbelikan informasi kecenderungan putusan atau putusan itu sendiri karena
terdapat rentang waktu antara pengambilan putusan dan pengucapan putusan. Untuk
menjaga kerahasiaan putusan, RPH hanya diikuti oleh para hakim konstitusi, panitera,
panitera pengganti, dan beberapa petugas persidangan yang telah disumpah untuk tidak
membocorkan apapun yang terjadi dan diputuskan dalam RPH.

3. Independen dan imparsial


Untuk dapat memeriksa dan mengadili suatu perkara secara obyektif serta memutus
dengan adil, hakim dan lembaga peradilan harus independen dalam arti tidak dapat
diintervensi oleh lembaga dan kepentingan apapun, serta tidak memihak kepada salah satu
pihak yang berperkara atau imparsial. Hal ini berlaku untuk semua peradilan yang
dirumuskan dalam Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 sebagai kekuasaan yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan, yang ditegaskan
dalam Pasal 2 UU MK. Sedangkan dalam Pasal 3 UU Kekuasaan Kehakiman ditegaskan
bahwa dalam menjalankan tugas dan fungsinya, hakim wajib menjaga kemandirian
peradilan.
Independensi dan imparsialitas tersebut memiliki tiga dimensi, yaitu dimensi
fungsional,

struktural atau kelembagaan, dan personal. Dimensi fungsional mengandung
17
pengertian larangan terhadap lembaga negara lain dan semua pihak untuk mempengaruhi
atau melakukan intervensi dalam proses memeriksa, mengadili, dan memutus suatu
perkara. Dimensi fungsional itu harus didukung dengan independensi dan imparsialitas dari
dimensi struktural dan personal hakim.
Dari sisi struktural, kelembagaan peradilan juga harus bersifat independen dan
imparsial sepanjang diperlukan agar dalam menjalankan peradilan tidak dapat dipengaruhi
atau diintervensi serta tidak memihak. Sedangkan dari sisi personal, hakim memiliki
kebebasan atas dasar kemampuan yang dimiliki (expertise), pertanggunjawaban, dan
ketaatan kepada kode etik dan pedoma perilaku. Untuk mendukung independensi dan
imparsialitas hakim konstitusi dan MK, telah ditetapkan PMK Nomor 09/PMK/2006
tentang Pemberlakuan Deklarasi Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi. Terkait dengan
independesi hakim konstitusi, pada bagian pertama Deklarasi ditegaskan8
“Independensi Hakim merupakan prasyarat pokok bagi terwujudnya cita negara
hukum, dan merupakan jaminan bagi tegaknya hukum dan keadilan. Prinsip ini
melekat sangat dalam dan harus tercermin dalam proses pemeriksaan dan
pengambilan keputusan atas setiap perkara, dan terkait erat dengan independensi
pengadilan sebagai institusi peradilan yang berwibawa, bermartabat, dan
terpercaya. Independensi hakim dan pengadilan terwujud dalam kemandirian dan
kemerdekaan hakim, baik sendiri-sendiri maupun sebagai institusi dari berbagai
pengaruh, yang berasal dari luar diri hakim berupa intervensi yang bersifat
mempengaruhi secara langsung atau tidak langsung berupa bujuk rayu, tekanan,
paksaan, ancaman, atau tindakan balasan karena kepentingan politik, atau ekonomi
tertentu dari pemerintah atau kekuatan politik yang berkuasa, kelompok atau
golongan tertentu, dengan imbalan atau janji berupa keuntungan jabatan,
keuntungan ekonomi, atau bentuk lainnya.”

Penerapan dari prinsip independensi tersebut adalah sebagai berikut.


1. Hakim harus menjalankan fungsi judisialnya secara independen atas dasar
penilaian terhadap fakta-fakta, menolak pengaruh dari luar berupa bujukan,
iming-iming, tekanan, ancaman atau campur tangan, baik langsung maupun


8
Bagian Pertama Deklarasi Hakim Konstitusi Republik Indonesia tentang Kode Etik dan Perilaku Hakim
Konstitusi
Republik Indonesia (Sapta Karsa Hutama).
18
tidak langsung, dari siapapun atau dengan alasan apapun, sesuai dengan
penguasaannya yang seksama atas hukum.
2. Hakim harus bersikap independen dari tekanan masyarakat, media massa, dan
para pihak dalam suatu sengketa yang harus diadilinya.
3. Hakim harus menjaga independensi dari pengaruh lembaga-lembaga eksekutif,
legislatif, dan lembaga-lembaga negara lainnya.
4. Dalam melaksanakan tugas peradilan, hakim harus independen dari pengaruh
rekan sejawat dalam pengambilan keputusan.
5. Hakim harus mendorong, menegakkan, dan meningkatkan jaminan independensi
dalam pelaksanaan tugas peradilan baik secara perorangan maupun
kelembagaan.
6. Hakim harus menjaga dan menunjukkan citra independen serta memajukan
standar perilaku yang tinggi guna memperkuat kepercayaan masyarakat terhadap
peradilan.

Sedangkan prinsip imparsial diuraikan pada bagian kedua Deklarasi sebagai


berikut.9
“Ketakberpihakan merupakan prinsip yang melekat dalam hakikat fungsi hakim
sebagai pihak yang diharapkan memberikan pemecahan terhadap setiap perkara
yang diajukan kepadanya. Ketakberpihakan mencakup sikap netral, disertai
penghayatan yang mendalam akan pentingnya keseimbangan antar kepentingan
yang terkait dengan perkara. Prinsip ini melekat dan harus tercermin dalam tahapan
proses pemeriksaan perkara sampai kepada tahap pengambilan keputusan, sehingga
putusan pengadilan dapat benar-benar diterima sebagai solusi hukum yang adil bagi
semua pihak yang berperkara dan oleh masyarakat luas pada umumnya.”

Pelaksanaan prinsip ketidakberpihakan atau imparsial tersebut adalah sebagai


berikut.


9
Bagian Kedua Deklarasi Hakim Konstitusi Republik Indonesia tentang Kode Etik dan Perilaku Hakim
Konstitusi
Republik Indonesia (Sapta Karsa Hutama).
19
1. Hakim harus melaksanakan tugas peradilan tanpa prasangka (prejudice),
melenceng (bias), dan tidak condong pada salah satu pihak.
2. Hakim harus menampilkan perilaku, baik di dalam maupun di luar pengadilan,
untuk tetap menjaga dan meningkatkan kepercayaan masyarakat, profesi hukum,
dan para pihak yang berperkara terhadap ketakberpihakan hakim dan peradilan.
3. Hakim harus berusaha untuk meminimalisasi hal-hal yang dapat mengakibatkan
hakim tidak memenuhi syarat untuk memeriksa perkara dan mengambil
keputusan atas suatu perkara.
4. Hakim dilarang memberikan komentar terbuka atas perkara yang akan, sedang
diperiksa, atau sudah diputus, baik oleh hakim yang bersangkutan atau hakim
lain, kecuali dalam hal-hal tertentu dan hanya dimaksudkan untuk memperjelas
putusan.
5. Hakim – kecuali mengakibatkan tidak terpenuhinya korum – harus
mengundurkan diri dari pemeriksaan suatu perkara apabila hakim tersebut tidak
dapat atau dianggap tidak dapat bersikap tak berpihak karena alasan-alasan di
bawah ini:
a. Hakim tersebut nyata-nyata mempunyai prasangka terhadap salah satu pihak;
dan/atau
b. Hakim tersebut atau anggota keluarganya mempunyai kepentingan langsung
terhadap putusan;

4. Peradilan dilaksanakan secara cepat, sederhana, dan biaya ringan


Prinsip peradilan cepat, sederhana, dan murah dimaksudkan agar proses peradilan
dan keadilan itu sendiri dapat diakses oleh seluruh lapisan masyarakat. Prinsip ini sangat
terkait dengan upaya mewujudkan salah satu unsur negara hukum, yaitu equality before the
law. Jika pengadilan berjalan dengan rumit dan kompleks, berbelit-belit, serta
membutuhkan biaya yang mahal, maka hanya sekelompok orang tertentu yang memiliki


20
kemampuan berperkara di pengadilan, dan hanya orang-orang inilah yang pada akhirnya
dapat menikmati keadilan.
Prinsip peradilan yang cepat, sederhana dan murah atau biaya ringan ditegaskan
dalam Pasal 2 ayat (4) UU Kekuasaan Kehakiman. Dalam UU MK sendiri sama sekali
tidak disebutkan mengenai biaya perkara. Hal ini berbeda dengan beberapa perkara
peradilan di bawah MA.
Pasal 81A ayat (3) UU Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung menyatakan bahwa
untuk penyelesaian perkara perdata dan tata usaha negara, biaya kepaniteraan dan biaya
proses penyelesaian perkara dibebankan kepada pihak atau para pihak yang berperkara.
Pasal 89 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 menyatakan
bahwa biaya perkara dalam bidang perkawinan dibebankan penggugat atau pemohon. Pasal
59 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara
sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 menyatakan bahwa
untuk mengajukan gugatan, penggugat membayar uang muka biaya perkara yang besarnya
ditaksir oleh panitera pengadilan.
Dalam proses pembahasan UU MK, pada awalnya terdapat ketentuan tentang biaya
perkara. Namun dalam perkembangannya ketentuan tersebut dihilangkan. Hal ini memang
dapat dimaknai bahwa maksud dari pembuat undang-undang adalah memang
menghapuskan biaya perkara dalam proses peradilan MK. Hal inilah yang menjadi salah
satu dasar keputusan hakim konstitusi untuk menghilangkan biaya perkara dalam peradilan
MK. Dengan demikian salah satu prinsip peradilan MK yang lebih tepat adalah Cepat,
Sederhana dan Bebas Biaya.10
Dengan tidak adanya biaya perkara tersebut, pembiayaan penanganan perkara di
MK sepenuhnya dibebankan kepada anggaran negara. Pembebanan ini rasional karena

10
Jimly Asshiddiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan
Kepaniteraan
MK RI, 2005), hal. 403.
21
perkara-perkara di MK menyangkut masalah konstitusional yang di dalamnya lebih banyak
kepentingan umum lebih mewarnai dibanding dengan kepentingan individual.
Salah satu contoh penerapan prinsip peradilan yang cepat, sederhana dan berbiaya
ringan adalah penggabungan perkara yang memiliki substansi yang sama, khususnya untuk
perkara pengujian UU. Dalam Pasal 11 ayat (6) PMK No. 6 Tahun 2005 tentang Pedoman
Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang dinyatakan bahwa penggabungan
perkara dapat dilakukan berdasarkan usulan panel hakim terhadap perkara yang (a)
memiliki kesamaan pokok permohonan; (b) memiliki keterkaitan materi permohonan; atau
(c) pertimbangan atas permintaan pemohon.
Dengan adanya penggabungan perkara maka sidang pemeriksaan terhadap perkara-
perkara yang digabungkan dilakukan sekaligus dalam suatu persidangan serta diputus
dalam satu putusan. Hal ini akan mempercepat dan menyederhanakan proses persidangan,
serta dapat mencegah adanya putusan yang bertentangan tentang materi permohonan yang
sama.

5. Hak untuk didengar secara seimbang (audi et alteram partem)


Pada pengadilan biasa, para pihak memiliki hak untuk didengar secara seimbang.
Para pihak dalam hal ini adalah pihak-pihak yang saling berhadap-hadapan, baik sebagai
tergugat-penggugat, pemohon-termohon, maupun penuntut-terdakwa. Dalam peradilan MK
tidak selalu terdapat pihak-pihak yang saling berhadapan (adversarial). Untuk perkara
pengujian undang-undang misalnya, hanya terdapat pemohon. Pembentuk undang-undang,
pemerintah dan DPR tidak berkedudukan sebagai termohon.
Dalam peradilan MK, hak untuk didengar secara seimbang, berlaku tidak hanya
untuk pihak-pihak yang saling berhadapan, misalnya partai politik peserta Pemilu dan KPU
dalam perkara perselisihan hasil Pemilu, melainkan juga berlaku untuk semua pihak yang
terkait dan memiliki kepentingan dengan perkara yang sedang disidangkan. Untuk perkara
pengujian undang-undang, selain pemohon pihak terkait DPR dan pemerintah sebagai
pembentuk

undang-undang juga memiliki hak untuk didengar keterangannya. Bahkan,
22
pihak terkait lain yang berkepentingan terhadap undang-undang yang sedang diuji juga
akan diberi kesempatan menyampaikan keterangannya. Misalnya, pada saat pengujian
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu, KPU akan
diberikan hak menyampaikan keterangan. Demikian pula pada saat UU Nomor 18 Tahun
2003 tentang Advokat diuji, maka organisasi advokat dapat memberikan keterangan.
Demikian pula halnya dalam perkara konstitusi yang di dalamnya terhadap pihak
yang saling berhadapan, misalnya PHPU, hak memberikan keterangan tidak hanya
diberikan kepada pemohon (peserta Pemilu) dan termohon (KPU), tetapi juga kepada pihak
terkait yang berkepentingan, yaitu peserta Pemilu lain yang walaupun tidak ikut berperkara
tetapi berkepentingan dengan putusan atas perkara dimaksud. Untuk menjadi pihak terkait
dan menyampaikan keterangan dalam persidangan konstitusi, dapat dilakukan dengan
mengajukan diri sebagai pihak terkait, atau atas undangan MK.

6. Hakim aktif dalam persidangan


Maruarar Siahaan menyebut asas ini “Hakim pasif dan juga aktif dalam proses
persidangan”.11 Hakim pasif dalam arti tidak mencari-cari perkara. Hakim tidak akan
memeriksa, mengadili, dan memutus sesuatu sebelum disampaikan oleh pemohon ke
pengadilan. Hal ini merupakan prinsip universal lembaga peradilan.
Pada saat suatu perkara sudah masuk ke pengadilan, hakim dapat bertindak pasif
atau aktif bergantung dari jenis kepentingan yang diperkarakan. Dalam perkara-perkara
yang menyangkut kepentingan individual, hakim cenderung pasif. Sebaliknya, dalam
perkara yang banyak menyangkut kepentingan umum, hakim cenderung aktif.
Hakim dapat bertindak aktif dalam persidangan karena hakim dipandang
mengetahui hukum dari suatu perkara. Hal ini juga sesuai dengan asas ius curia novit, yang
juga dapat diterjemahkan bahwa hakim mengetahui hukum dari suatu perkara. Oleh karena


11
Maruarar Siahaan, op. cit., hal. 76.
23
itu pengadilan tidak boleh menolak suatu perkara dengan alasan tidak ada hukumnya, dan
hakim di pengadilan itu dapat aktif dalam persidangan.
Sesuai dengan sifat perkara konstitusi yang selalu lebih banyak menyangkut
kepentingan umum dan tegaknya konstitusi, maka hakim konstitusi dalam persidangan
selalu aktif menggali keterangan dan data baik dari alat bukti, saksi, ahli, maupun pihak
terkait (pemeriksaan inquisitorial).12 Hakim tidak hanya berpaku kepada alat bukti dan
keterangan yang disampaikan oleh pemohon dan pihak terkait maupun dari keterangan
saksi dan ahli yang diajukan oleh pihak-pihak tersebut. Hakim konstitusi untuk keperluan
memeriksa suatu perkara dapat memanggil saksi dan/atau ahli sendiri bahkan
memerintahkan suatu alat bukti diajukan ke MK.13 Hakim konstitusi juga dapat
mengundang para pakar yang didengar keterangannya dalam forum diskusi tertutup.14

7. Asas Praduga Keabsahan (praesumtio iustae causa).


Asas praduga keabsahan adalah bahwa tindakan penguasa dianggap sah sesuai
aturan hukum sampai ada pembatalannya. Berdasarkan asas ini, semua tindakan penguasa
baik berupa produk hukum maupun tindakan konkret harus dianggap sah sampai ada
pembatalan. Sah dalam hal ini berarti sesuai dengan asas dan ketentuan hukum baik dari
sisi materi maupun prosedur yang harus ditempuh. Untuk melakukan pembatalan tindakan
tersebut dapat dilakukan oleh lembaga yang melakukan tindakan itu sendiri maupun oleh
lembaga lain yang diberi kewenangan berdasarkan aturan hukum.
Sebagai konsekuensi dari asas ini, apabila ada upaya hukum untuk melakukan
pembatalan tindakan dimaksud, maka tindakan itu tetap berlaku walaupun sedang dalam

12
Pasal 41 ayat (2) UU MK menyatakan “Untuk kepentingan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), hakim konstitusi wajib memanggil para pihak yang berperkara untuk memberi keterangan yang
dibutuhkan dan/atau meminta keterangan secara tertulis kepada lembaga negara yang terkait dengan
permohonan.”
13
Misalnya pada saat MK memerintahkan KPK membawa bukti percakapan Anggodo dengan beberapa
pihak dan memperdengarkan di dalam sidang MK terkait dengan pengujian Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Perkara Nomor 133/PUU-VII/2009.
14
Forum semacam ini misalnya pernah dilakukan pada saat akan memutus pengujian Undang-Undang APBN
Tahun
2006.
24
proses pembatalan. Dengan kata lain, proses pembatalan tidak menghalangi pelaksanaan
tindakan itu.
Perwujudan dari asas ini dalam wewenang MK dapat dilihat pada kekuatan
mengikat putusan MK adalah sejak setelah dibacakan dalam sidang pengucapan putusan.
Sebelum adanya putusan MK, maka tindakan penguasa yang dimohonkan tetap berlaku
dan dapat dilaksanakan. Hal ini secara khusus dapat dilihat dari wewenang MK memutus
pengujian UU, sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara, dan perselisihan hasil
Pemilu. Suatu ketentuan UU yang sedang diuji oleh MK tetap berlaku dan harus dianggap
sah (tidak bertentangan dengan UUD 1945) sebelum ada putusan MK yang membatalkan
ketentuan UU dimaksud. Dalam perkara Sengketa Kewenangan Konstitusional juga
demikian, tindakan termohon harus dianggap sah dan tidak bertentangan dengan UUD
1945 sebelum ada putusan MK yang menyatakan sebaliknya. Pada perkara perselisihan
hasil Pemilu, keputusan KPU tentang penetapan hasil Pemilu yang dimohonkan keberatan
oleh peserta Pemilu harus dianggap sah dan dapat dijalankan sebelum ada keputusan MK
yang membatalkan putusan KPU itu.

C. Sumber Hukum Acara Mahkamah Konstitusi


Kata sumber hukum menurut Zevenbergen sering digunakan dalam beberapa arti,
yaitu:15
a. sebagai asas hukum, sebagai sesuatu yang merupakan permulaan hukum, misanya
kehendak Tuhan, akal manusia, jiwa bangsa dan sebagainya.
b. Menunjukkan hukum terdahulu yang memberi bahan-bahan kepada hukum yang
sekarang berlaku: hukum Perancis, hukum Romawi.
c. Sebagai sumber berlakunya, yang memberi kekuatan berlaku secara formal kepada
peraturan hukum (penguasa, masyarakat).


15
Zevenbergen, Formele encyclopaedie der rechtswetenschap. Gebr. Belinfante, s’Gravenhage 1925, dalam
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), (Yogyakarta: Liberty 1991), hal. 63

25
d. Sebagai sumber dari mana kita dapat mengenal hukum, misalnya dokumen, undang-
undang, lontar, batu bertulis, dan sebagainya.
e. Sebagai sumber terjadinya hukum: sumber yang menimbulkan hukum.

Para ahli hukum pada umumnya membagi sumber hukum dalam dua jenis, yaitu
sumber hukum materiil dan sumber hukum formil. Sumber hukum materiil adalah tempat
dari mana hukum itu diambil. Untuk dapat melihat sumber hukum materiil dari sebuah
aturan harus terlebih dahulu dilihat isi dari aturan tersebut, kemudian melacak faktor-faktor
yang mempengaruhi pembentukan hukum sehingga menghasilkan karakter isi hukum yang
demikian. Faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan hukum tersebut dapat berupa
pandangan hidup, hubungan sosial dan politik, situasi ekonomi, corak peradaban (agama
dan kebudayaan) dan letak geografis, serta konfigurasi internasional. Sehingga bisa
ditentukan sumber-sumber hukum materiil yang ikut mempengaruhi pembentukan isi
hukum. Menurut Zevenbergen sumber hukum materiil meliputi pengertian-pengertian
tentang asas hukum, hukum terdahulu yang memberi bahan-bahan pada hukum yang
berlaku saat ini, dan sebagai sumber terjadinya hukum.
Sumber hukum formil adalah tempat atau sumber dari mana suatu aturan
memperoleh kekuatan hukum. Hal ini berkaitan dengan bentuk atau cara yang meyebabkan
peraturan itu menjadi secara formal berlaku. Dalam pengantar ilmu hukum telah dipelajari
bahwa norma atau kaidah terdiri dari berbagai macam dengan cirinya masing-masing.
Norma hukum memiliki ciri mempunyai kekuatan mengikat yang dapat dipaksakan dan
memiliki sanksi eksternal. Suatu norma untuk dapat menjadi norma hukum harus melalui
cara tertentu dan memiliki bentuk tertentu. Dari bentuk inilah dapat diketahui bahwa suatu
aturan adalah hukum dan bukan norma susila, agama, atau norma yang lain. Karena bentuk
itulah aturan tersebut menjadi berlaku dan mengikat semua pihak.
Untuk mengetahui sumber hukum acara MK tentu juga dapat didekati dari aspek
materiil dan formil. Dari aspek materiil, untuk mengetahui sumber hukum acara MK harus
dilihat

dari mana materi ketentuan hukum acara dimaksud diambil atau hal apa saja yang
26
mempengaruhi materi hukum acara MK. Dalam konteks hukum nasional, hukum acara
MK tentu bersumber pada nilai-nilai yang diyakini kebenarannya oleh bangsa Indonesia,
yaitu Pancasila. Selain itu yang menentukan materi hukum acara MK adalah asas-asas
hukum terkait dengan penyelenggaraan peradilan yang disesuaikan dengan karakteristik
hukum acara MK dan dijadikan sebagai asas hukum acara MK. Asas-asas dan materi
hukum acara MK tersebut dalam pembuatannya dipengaruhi oleh teori atau ajaran hukum,
terutama teori konstitusi dan ilmu hukum tata negara.
Sedangkan sumber hukum formil hukum acara MK adalah ketentuan hukum positif
yang mengatur hukum acara MK atau paling tidak terkait dengan hukum acara MK.
Ketentuan Pasal 24C ayat (6) UUD 1945 menyatakan bahwa Hukum Acara merupakan
salah satu hal terkait dengan keberadaan MK yang akan diatur dengan undang-undang.
Hukum Acara MK diatur di dalam UU MK, yaitu pada Bab V mulai dari Pasal 28 hingga
Pasal 85.
Selain UU MK, tentu terdapat berbagai ketentuan perundang-undangan lain yang
terkait dengan wewenang MK. Beberapa UU lain yang juga menjadi sumber hukum dalam
proses peradilan MK antara lain
1. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
2. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan;
3. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Beserta
Perubahannya);
4. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan
Umum;
5. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik;
6. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota
DPR, DPD, dan DPRD;
7. Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan


Wakil Presiden;
27
8. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD.

Untuk melengkapi ketentuan hukum acara dalam UU MK, Pasal 86 UU MK


menyatakan bahwa MK dapat mengatur lebih lanjut hal-hal yang diperlukan bagi
kelancaran pelaksanaan tugas dan wewenangnya. Penjelasan pasal ini menyatakan bahwa
ketentuan tersebut dimaksudkan untuk mengisi kemungkinan adanya kekurangan atau
kekosongan dalam hukum acara.. Ketentuan inilah yang menjadi dasar bagi MK untuk
membuat Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) yang mengatur berbagai hal guna
kelancaran pelaksanaan tugas dan wewenang, termasuk yang mengatur hukum acara MK.
PMK yang mengatur hukum acara MK meliputi:
1. PMK Nomor 006/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Pengujian
Undang-Undang.
2. PMK Nomor 008/PMK/2006 tentang Pedoman Beracara Dalam Sengketa
Kewenangan Konstitusional Lembaga Negara.
3. PMK Nomor 12/PMK/2008 tentang Prosedur Beracara Dalam Pembubaran Partai
Politik.
4. PMK Nomor 15/PMK/2008 tentang Pedoman Beracara Dalam Perselisihan Hasil
Pemilihan Umum Kepala Daerah.
5. PMK Nomor 16/PMK/2009 tentang Pedoman Beracara Dalam Perselisihan Hasil
Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah,
dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
6. PMK Nomor 17/PMK/2009 tentang Pedoman Beracara Dalam Perselisihan Hasil
Pemilihan Umum Presiden Dan Wakil Presiden.
7. PMK Nomor 18/PMK/2009 tentang Pedoman Pengajuan Permohonan Elektronik
(Electronic Filing) Dan Pemeriksaan Persidangan Jarak Jauh (Video Conference).
8. PMK Nomor 19/PMK/2009 tentang Tata Tertib Persidangan.


28
9. PMK Nomor 21/PMK/2009 tentang Pedoman Beracara Dalam memutus pendapat
Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau
Wakil Presiden.

Selain UU MK dan PMK, Hukum Acara MK juga berkembang seiring dengan


perkembangan perkara dan putusan MK. Oleh karena itu putusan-putusan MK juga
menjadi dasar untuk mempelajari Hukum Acara MK melengkapi atau bahkan mengubah
ketentuan yang ada dalam undang-undang dan PMK.

D. Kekhususan Hukum Acara MK


Sesuai dengan sifat perkara yang termasuk dalam wewenang peradilan MK,
terdapat karakteristik khusus peradilan MK yang berbeda dengan peradilan yang lain.
Karakteristik utama yaitu dasar hukum utama yang digunakan dalam proses peradilan baik
terkait dengan substansi perkara maupun hukum acara adalah konstitusi itu sendiri, yaitu
UUD 1945. Walaupun terdapat berbagai ketentuan undang-undang dan PMK sebagai dasar
memeriksa, mengadili, dan memutus perkara, namun ketentuan tersebut digunakan
sepanjang dinilai tidak bertentangan dengan UUD 1945. Hal ini tidak terlepas dari sifat
wewenang MK yang pada hakikatnya adalah perkara-perkara konstitusional atau perkara
yang didalamnya terdapat isu-isu konstitusional.
Kewenangan MK memutus pengujian undang-undang, adalah menguji
konstitusionalitas suatu undang-undang. Wewenang memutus sengketa kewenangan
lembaga negara pada hakikatnya adalah memutus kewenangan suatu lembaga negara yang
dipersengketakan konstitusionalitasnya. Wewenang memutus pembubaran partai politik
adalah wewenang memutus konstitusionalitas suatu partai politik. Demikian pula halnya
dengan wewenang memutus pendapat DPR dalam proses pemakzulan Presiden dan/atau
Wakil Presiden.
Pada awalnya terdapat satu wewenang MK yang tidak terkait dengan pertanyaan
atau

isu konstitusi, yaitu memutus perselisihan hasil Pemilu. UU MK menentukan bahwa
29
wewenang MK tersebut adalah memutus perselisihan atau perbedaan penghitungan hasil
Pemilu yang terjadi antara peserta Pemilu dengan penyelenggara Pemilu. Namun dalam
perkembangan penanganan perselisihan hasil Pemilu, MK menegaskan bahwa wewenang
tersebut juga meliputi wewenang menguji konstitusionalitas pelaksanaan Pemilu.
Dalam Pertimbangan Hukum Putusan Nomor 062/PHPU-B-II/2004 mengenai
Perselisihan Hasil Pemilu yang diajukan oleh pasangan calon Presiden dan calon Wakil
Presiden Wiranto dan Salahuddin Wahid, MK menyatakan bahwa MK berkewajiban
menjaga agar secara kualitatif Pemilu berlangsung sesuai dengan prinsip langsung, umum,
bebas, rahasia, jujur, dan adil, sebagai berikut.16
Menimbang bahwa Mahkamah sebagai pengawal konstitusi berkewajiban menjaga agar
secara kualitatif Pemilu berlangsung sesuai dengan prinsip-prinsip yang telah
digariskan oleh Pasal 22E ayat (1) dan (5) UUD 1945 yang intinya menentukan bahwa
Pemilu dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil, serta
diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan
mandiri.

Pergeseran tersebut dikuatkan dengan Putusan MK Nomor 41/PHPU.D-VI/2008


mengenai Perselisihan Hasil Pemilukada Provinsi Jawa Timur. Dalam putusan tersebut
MK menegaskan bahwa wewenang memutus PHPU tidak terbatas pada menilai dan
mengadili perselisihan penghitungan hasil, tetapi juga pelanggaran yang menyebabkan
terjadinya perbedaan penghitungan hasil, demi menjaga dan menegakkan keadilan dan
demokrasi yang diatur dalam UUD 1945. Paragraf 3.28 Putusan MK Nomor 41/PHPU.D-
VI/2008 menyatakan:
Menimbang bahwa dalam memutus perselisihan hasil Pemilukada, Mahkamah tidak
hanya menghitung kembali hasil penghitungan suara yang sebenarnya dari pemungutan
suara tetapi juga harus menggali keadilan dengan menilai dan mengadili hasil
penghitungan yang diperselisihkan, sebab kalau hanya menghitung dalam arti teknis-
matematis sebenarnya bisa dilakukan penghitungan kembali oleh KPUD sendiri di
bawah pengawasan Panwaslu dan/atau aparat kepolisian, atau cukup oleh pengadilan
biasa. Oleh sebab itu, Mahkamah memahami bahwa meskipun menurut undang-
undang, yang dapat diadili oleh Mahkamah adalah hasil penghitungan suara, namun

16
Pertimbangan Hukum Putusan Nomor 062/PHPU-B-II/2004, hal. 38.
30
pelanggaran-pelanggaran yang menyebabkan terjadinya hasil penghitungan suara yang
kemudian dipersengketakan itu harus pula dinilai untuk menegakkan keadilan. Hal ini
sesuai dengan ketentuan Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi,” Kekuasaan
kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan
guna menegakkan hukum dan keadilan” dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang
berbunyi, "Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian
hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.” Kemudian kedua
ketentuan UUD 1945 tersebut dituangkan lagi ke dalam Pasal 45 ayat (1) UU MK yang
berbunyi, “Mahkamah Konstitusi memutus perkara berdasarkan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sesuai dengan alat bukti dan
keyakinan hakim”;

Selanjutnya, dalam Paragraf 3.29 juga ditegaskan sebagai berikut.


Menimbang bahwa pada hakikatnya fungsi dan peran Mahkamah dimaksudkan, antara
lain, untuk mengawal tegaknya konstitusi dengan segala asas yang melekat padanya.
Demokrasi adalah salah satu asas yang paling fundamental di dalam UUD 1945
sebagaimana tertuang di dalam Pasal 1 ayat (2) bahwa kedaulatan berada di tangan
rakyat dan dilaksanakan menurut undang-undang dasar. Oleh sebab itu, Mahkamah
berwenang juga untuk mengawal tegaknya demokrasi seperti yang diatur di dalam
konstitusi yang dalam rangka mengawal tegaknya demokrasi itu harus juga menilai dan
memberi keadilan bagi pelanggaran-pelanggaran yang terjadi di dalam pelaksanaan
demokrasi, termasuk penyelenggaraan Pemilukada (vide Penjelasan Umum UU MK);


31
-3-

PENGUJIAN UNDANG-UNDANG

Perubahan UUD NRI 1945 telah menghasilkan pembentukan sebuah lembaga


baru yang berfungsi mengawal dan menafsir konstitusi yaitu Mahkamah Konstitusi (MK).
MK adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud Dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). MK diatur
dalam Pasal 7B, Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 24C UUD NRI 1945 dan diatur
lebih lanjut dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang
Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi. Salah satu kewenangan yang dimiliki oleh MK adalah melakukan pengujian
undang-undang terhadap konstitusi sebagaimana diatur dalam Pasal 24C ayat (1) UUD
NRI 1945 yang berbunyi:

“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir


yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-
Undang Dasar...”

Selanjutnya, Pasal 10 ayat (1) huruf a UU MK menyatakan:

“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final untuk:

menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia


Tahun 1945, ….”


32
Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 5076), selanjutnya disebut “UU KK” menyatakan:

“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final untuk:

a. menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik


Indonesia Tahun 1945”

Pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945 yang selanjutnya disebut PUU adalah
perkara konstitusi yang menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi sebagaimana
dimaksud dalam UUD 1945 dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor
7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK), termasuk pengujian Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang (Perppu) sebagaimana dimaksud dalam Putusan Mahkamah
Konstitusi.

Pengaturan tata beracara dalam perkara Pengujian Undang-Undang (PUU) diatur


lebih lanjut dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata
Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang (PMK 2/2021). PMK 2/2021 lahir
dalam rangka mengakomodasi perkembangan praktik beracara dan sekaligus untuk
memenuhi kebutuhan hukum bagi masyarakat pencari keadilan dalam mengajukan
permohonan pengujian undang-undang/peraturan pemerintah pengganti undang-undang di
Mahkamah Konstitusi. PMK 2/2021 juga merupakan penyempurnaan kembali terhadap
Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 9 Tahun 2020 tentang Tata Beracara Dalam
Perkara Pengujian Undang-Undang.

Dalam PMK 2/2021 diatur hukum acara pengujian undang-undang dalam suatu tata
beracara dalam perkara pengujian undang-undang. PMK 2/2021 dibentuk dalam

33
mengakomodasi perkembangan praktik beracara dan sekaligus untuk memenuhi
kebutuhan hukum bagi masyarakat pencari keadilan dalam mengajukan permohonan
pengujian undang-undang/ peraturan pemerintah pengganti undang-undang di Mahkamah
Konstitusi. PMK 2/2021 merupakan penyempurnaan Peraturan Mahkamah Konstitusi
Nomor 9 Tahun 2020 tentang Tata Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang.

A. Objek Permohonan

Permohonan adalah surat permintaan yang diajukan oleh Pemohon kepada MK


mengenai perkara PUU. Objek Permohonan PUU adalah undang-undang dan Perppu.
Permohonan dapat berupa Permohonan pengujian formil dan/atau pengujian materiil.
Pengujian formil adalah pengujian terhadap proses pembentukan undang-undang atau
Perppu yang tidak memenuhi ketentuan pembentukan undang-undang atau Perppu
sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945. Sedangkan Pengujian materiil adalah pengujian
yang berkenaan dengan materi muatan dalam ayat, pasal, dan/ atau bagian dari undang-
undang atau Perppu yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945.

B. Para Pihak

Para pihak dalam perkara PUU meliputi Pemohon, Pemberi Keterangan, dan Pihak
Terkait. Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/ atau kewenangan
konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang atau Perppu, yaitu:

a. perorangan warga negara Indonesia atau kelompok orang yang mempunyai kepentingan
sama;
b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesaruan Republik Indonesia yang diarur
dalam undang-undang;
c. badan hukum publik atau badan hukum privat; atau
d. lembaga negara .


34
Hak dan/ atau kewenangan konstitusional Pemohon dianggap dirugikan oleh
berlakunya undang-undang atau Perppu apabila:

a. ada hak dan/ atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945.
b. hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon dirugikan oleh berlakunya undang-
undang atau Perppu yang dimohonkan pengujian;
c. kerugian konstitusional dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidak
tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
d. ada hubungan sebab-akibat antara kerugian konstitusional dan berlakunya undang-
undang atau Perppu yang dimohonkan pengujian; dan
e. ada kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya Permohonan, kerugian konstitusional
seperti yang didalilkan tidak lagi atau tidak akan terjadi.
Pemberi Keterangan adalah MPR, DPR, DPD, dan/atau Presiden. Dalam keadaan
tertentu, Mahkamah dapat meminta keterangan pihak lain yang diposisikan sebagai Pihak
Terkait. Pihak Terkait adalah pihak yang berkepentmgan langsung dan/atau pihak yang
berkepentingan tidak langsung dengan pokok Permohonan, yaitu:

a. perorangan atau kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama;


b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
diatur dalam undang-undang;
c. badan hukum publik atau badan hukum privat; atau
d. lembaga negara.
Pemohon, Pemberi Keterangan, dan/ atau Pihak Terkait dapat diwakili oleh kuasa
hukum berdasarkan surat kuasa khusus dan/atau didampingi oleh pendamping berdasarkan
surat keterangan. Surat kuasa khusus dibubuhi meterai sesuai dengan peraturan
perundang-undangan dan ditandatangani oleh pemberi kuasa dan penerima kuasa. Surat
keterangan pendamping dibubuhi meterai sesuai dengan peraturan perundang-undangan
dan ditandatangani oleh Pemohon, Pemberi Keterangan, dan/ atau Pihak Terkait serta

35
pendamping masing-masing. Penerima kuasa, dalam keadaan tertentu dapat memberi kuasa
substitusi hanya untuk 1 (satu) kali keperluan agenda persidangan.

C. Tahapan Penanganan Perkara

Tahapan penanganan perkara PUU terdiri atas:

a. Pengajuan Permohonan;
b. Pencatatan Permohonan dalam Buku Pengajuan Permohonan Pemohon
Elektronik (e-BP3);
c. Pemeriksaan kelengkapan Permohonan;
d. Pemberitahuan APKBP (Akta Pemberitahuan Kekuranglengkapan Berkas
Permohonan) disertai DHPKP2 (Daftar Hasil Pemeriksaan Kelengkapan
Permohonan Pemohon);
e. Pemenuhan kelengkapan dan perbaikan Permohonan;
f. Penyampaian laporan Permohonan dalam RPH (Rapat Permusyawaratan
Hakim);
g. Pencatatan Permohonan dalam e-BRPK (Buku Registrasi Perkara
Konstitusi Elektronik);
h. Penyampaian salinan Permohonan;
i. Pengajuan permohonan sebagai Pihak Terkait;
j. Pemberitahuan sidang kepada para pihak;
k. Pemeriksaan Pendahuluan;
l. Pemeriksaan Persidangan;
m. Pelaksanaan RPH pembahasan perkara;
n. Pengucapan Putusan Mahkamah; dan
o. Penyerahan/penyampaian salinan Putusan Mahkamah.
Panitera mengunggah Permohonan yang telah dicatat dalam e-BP3 dan Permohonan yang
telah dicatat dalam e-BRPK, serta salinan Putusan Mahkamah pada Laman MK.

36
1. Permohonan Pemohon

Pemohon dapat mengajukan Permohonan kepada MK secara luring (offline)


atau secara daring (online) atau melalui media elektronik lainnya. Permohonan
pengujian formil diajukan dalam jangka waktu paling lama 45 (empat puluh lima)
hari sejak undang-undang atau Perppu diundangkan dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia. Pengajuan Permohonan sekurang-kurangnya terdiri atas:

a. Permohonan;
b. fotokopi identitas Pemohon;
c. fotokopi identitas kuasa hukum dan surat kuasa; dan /atau
d. anggaran dasar atau anggaran rumah tangga (AD/ART).
Permohonan yang diajukan oleh Pemohon dan/atau kuasa hukum tersebut
sekurang-kurangnya memuat:

a. nama Pemohon dan/ atau kuasa hukum, pekerjaan, kewarganegaraan, alamat


rumah/ kantor, dan alamat surat elektronik;
b. uraian yang jelas mengenai:
i. kewenangan Mahkamah, yang memuat penjelasan mengenai kewenangan
Mahkamah dalam mengadili perkara PUU sebagaimana diatur dalam
peraturan perundang-undangan serta objek permohonan;
ii. kedudukan hukum Pemohon, yang memuat penjelasan mengenai hak
dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang dianggap dirugikan
dengan berlakunya undang-undang atau Perppu yang dimohonkan
pengujian; dan
iii. alasan permohonan, yang memuat penjelasan mengenai pembentukan
undang-undang atau Perppu yang tidak memenuhi ketentuan pembentukan
undang-undang atau Perppu berdasarkan UUD 1945 dan/atau bahwa materi
muatan ayat, pasal, dan/ atau bagian dari undang-undang atau Perppu

37
bertentangan dengan UUD 1945.
c. petitum, yang memuat hal-hal yang diminta untuk diputus dalam permohonan
pengujian formil, yaitu:
i. mengabulkan permohonan Pemohon;
ii. menyatakan bahwa pembentukan undang-undang atau Perppu yang
dimohonkan pengujian tidak memenuhi ketentuan pembentukan undang-
undang atau Perppu berdasarkan UUD 1945 dan undang-undang atau
Perppu a quo tidak mempunyai kckuatan hukum mengikat;
iii. memerintahkan pemuatan Putusan dalam Berita Negara Republik Indonesia;
atau dalam hal Mahkamah berpendapat lain, mohon Putusan yang seadil-
adilnya (ex aequo et bono).
d. petitum, yang memuat hal-hal yang dimohonkan untuk diputus dalam
permohonan pengujian materiil, yaitu:
i. mengabulkan permohonan Pemohon;
ii. menyatakan bahwa materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian undang-
undang atau Perppu yang dimohonkan pengujian bertentangan dengan UUD
1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
iii. memerintahkan pemuatan Putusan dalam Berita Negara Republik Indonesia.


38
atau dalam hal MK berpendapat lain, mohon Putusan yang seadil-adilnya (ex
aequo et bono).

Permohonan yang diajukan oleh Pemohon tanpa kuasa hukum dapat


diajukan secara luring (offline) atau daring (online). Dalam hal Permohonan
diajukan secara luring (offline), Pemohon mengajukan Permohonan secara
tertulis dalam bahasa Indonesia sebanyak I (satu) eksemplar asli yang
ditandatangani oleh Pemohon disertai dengan daftar alat bukti, alat bukti yang
mendukung Permohonan, dan/atau dokumen lainnya sebanyak 1 (satu)
eksemplar.

Dalam hal Permohonan diajukan secara daring (online) atau melalui


media elektronik lainnya, Pemohon mengajukan Permohonan secara tertulis
dalam bahasa Indonesia yang ditandatangani oleh Pemohon. Permohonan
disertai dengan daftar alat bukti beserta alat bukti yang mendukung Permohonan.
Dalam hal alat bukti berupa surat atau tulisan, disampaikan 1 (satu) eksemplar
asli yang telah dibubuhi meterai sebagaimana ditentukan dalam peraturan
perundang-undangan. Alat bukti tersebut terdiri atas sekurang-kurangnya:

a. salinan undang-undang atau Perppu, setidak-tidaknya bagian atau bab yang


dimohonkan pengujian termasuk halaman depan dan halaman yang memuat
tanggal pengundangan dari salinan undang-undang atau Perppu;
b. salinan UUD 1945.
Alat bukti disampaikan dalam bentuk dokumen cetak (hard copy) dan/
atau dokumen digital (soft copy). Dalam memudahkan proses pemeriksaan
Permohonan, setiap alat bukti diberi tanda bukti tertulis dalam label yang
ditempelkan pada alat bukti sesuai dengan urutan yang tertuang dalam daftar alat
bukti.


Dalam hal pengajuan Permohonan dikuasakan kepada kuasa hukum,
Permohonan wajib diajukan secara daring (online). Dalam hal Permohonan
diajukan secara daring (online), Pemohon mengajukan Permohonan secara
tertulis dalam bahasa Indonesia yang ditandatangani oleh Pemohon atau kuasa
hukum. Permohonan tersebut disertai dengan daftar alat bukti beserta alat bukti
yang mendukung Permohonan. Dalam hal alat bukti berupa surat atau tulisan,
disampaikan sebanyak 1 (satu) eksemplar asli yang telah dibubuhi meterai
sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundang-undangan. Alat bukti terdiri
atas sekurang-kurangnya :

a. salinan undang-undang atau Perppu, setidak-tidaknya bagian atau bab yang


dimohonkan pengujian termasuk halaman depan dan halaman yang memuat
tanggal pengundangan dari salinan undang-undang atau Perppu;
b. salinan UUD 1945.
Alat bukti disampaikan dalam bentuk dokumen cetak (hard copy) dan/
atau dokumen digital (soft copy). Guna memudahkan proses pemeriksaan
Permohonan, setiap alat bukti diberi tanda bukti sesuai dengan urutan yang
tertuang dalam daftar alat bukti. Penyerahan Permohonan dan daftar alat bukti
yang diajukan secara daring (online) atau luring (offline) disertai dengan
salinan dalam bentuk dokumen digital (soft copy) dengan aplikasi word (.doc)
dan pdf yang disimpan dalam 1 (satu) unit penyimpan data berupa flash disk atau
berupa file yang dikirim secara daring (online) atau melalui media elektronik
lainnya. Permohonan dan daftar alat buku dalam bentuk pdf tersebut telah
ditandatangani oleh Pemohon atau kuasa hukum. Dalam hal cerdapat perbedaan
antara Permohonan tertulis Pemohon dengan salinan digitalnya, MK
menggunakan Permohonan tertulis Pemohon.

Permohonan yang diajukan secara daring (online) namun tidak


memenuhi persyaratan, Panitera melakukan konfirmasi kepada Pemohon

mengenai kesungguhan umuk mcngajukan Permohonan tcrmasuk untuk
melengkapi Permohonan. Dalam hal hasil konfirmasi menunjukkan Pemohon
bersungguh-sungguh untuk mcngajukan Permohonan, Panitera memproses
dan mencatat Permohonan dalam e-BP3. Panitera mencatat Permohonan
yang diajukan oleh Pemohon kepada MK dalam e-BP3. Terhadap Permohonan
yang telah dicatat dalam e-BP3, Panitera menerbitkan AP3.

Panitera menyerahkan AP3 kepada Pemohon atau kuasa hukum setelah


Permohonan dicatat dalam e-BP3, bagi Permohonan yang diajukan secara luring
(offline). Panitera mengirimkan AP3 kepada Pemohon atau kuasa hukum paling
lama 2 (dua) bari kerja setelah Permohonan dicatat dalam e-BP3, bagi
Permohonan yang diajukan secara danng (online). Panitera mengunggah
Permohonan dimaksud pada Laman MK. Dalam hal Permohonan telah dicatat
dalam e-BP3, Panitera melakukan pemeriksaan kelengkapan berkas
Permohonan.

Dalam hal Permohonan dinyatakan belum lengkap setelah dilakukan


pemeriksaan kelengkapan berkas Permohonan, Panitera menerbitkan dan
menyampaikan APKBP kepada Pemohon atau kuasa hukum paling lama 2 (dua)
hari kerja setelah diterbitkannya AP3. Panitera mengirimkan APKBP kepada
Pemohon atau kuasa hukum secara daring (online) atau melalui media elektronik
lamnya. Dalam hal Permohonan dinyatakan lengkap setelah dilakukan
pemeriksaan kelengkapan berkas Permohonan. Panitera mencatat Permohonan
dalam e-BRPK paling lama 2 (dua) hari kerja sejak diterbitkannya AP3.
Pemohon dapat memperbaiki dan/atau melengkapi Permohonan paling lama 7
(tujuh) hari kerja sejak dikirimnya APKBP kepada Pemohon. Dalam hal
Permohonan diajukan secara daring (online), asli Permohonan diserahkan
kepada MK disertai dengan daftar alat bukti, alat bukti yang mendukung
Permohonan, dan/atau dokumen lainnya sebanyak 1 (satu) eksempler dalam

tenggang waktu paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak dikirimnya APKBP
kepada Pemohon. Terhadap Permohonan yang telah diperbaiki dan/atau
dilengkapi, Panitera menerbitkan dan menyampaikan bukti penerimaan baik
secara daring (online) atau melalui media elektronik lainnya atau secara luring
(offline) kepada Pemohon atau kuasa hukum. Dalam hal Permohonan dinyatakan
belum lengkap, Panitera mencatat Permohonan dalam e-BRPK paling lama 9
(sembilan) hari kerja sejak diterbitkannya AP3. Panitera mengunggah
Permohonan yang telah diperbaiki dan/atau dilengkapi pada Laman MK.

Penyerahan Permohonan dan daftar alat bukti yang tclah diperbaiki


dan/ atau dilengkapi disertai dengan salinan dalam bentuk dokumen digital
(soft copy) dengan aplikasi word (.doc) dan pdf yang disimpan dalam 1 (satu)
unit penyimpan data berupa flash disk atau berupa file yang dikirim secara
daring (online) atau melalui media elektronik lainnya. Permohonan dan daftar
alat bukti yang telah diperbaiki dan/ atau dilengkapi dalam bentuk pdf telah
ditandatangani oleh Pemohon atau kuasa hukum. Dalam hal terdapat
perbedaan antara Permohonan terrulis Pemohon dengan salinan digitalnya, MK
menggunakan Permohonan tertulis Pemohon.

Pemohon dapat mengajukan penarikan kembali Permohonan paling


lama sebelum sidang terakhir atau sebelum perkara dipurus oleh Mahkamah.
Penarikan kembali Permohonan dapat dilakukan secara tertulis atau secara
lisan dalam persidangan. Terhadap Permohonan yang ditarik oleh Pemohon,
Permohonan yang sama tidak dapat diajukan kembali. Dalam hal Pemohon
menarik kembali Permohonan, MK menerbitkan putusan berupa ketetapan
mengenai penarikan kembali Permohonan disertai dengan pengembalian salinan
berkas Permohonan. Ketetapan tersebut diucapkan dalam Sidang Pleno terbuka
untuk umum.


2. Keterangan Pemberi Keterangan

Pemberi Keterangan dapat menyampaikan keterangan kepada MK


secara langsung di persidangan, luring (offline), atau daring (online) atau
melalui media elektronik lainnya. Pemberi Keterangan menyampaikan
keterangan secara tertulis dalam bahasa Indonesia sebanyak 1 (satu) eksemplar
asli yang ditandatangani oleh Pemberi Keterangan atau kuasa hukum disertai
dengan daftar alat bukti, alat bukti yang mendukung keterangan, dan/ atau
dokumen lainnya. Keterangan yang disampaikan oleh Pemberi Keterangan
sekurang-kurangnya memuat:

a. nama lembaga Pemberi Keterangan dan/atau kuasa hukum dan alamat


kantor;
b. uraian yang jelas mengenai fakta yang terjadi pada saat proses pembahasan
dan/ atau risalah rapat dari undang-undang atau Perppu yang dimohonkan
pengujian oleh Pemohon termasuk hal-hal lain yang dianggap perlu oleh
Pemberi Keterangan atau hal-hal lain yang diminta MK.
Penyampaian keterangan disertai dengan alat bukti yang mendukung
keterangan termasuk risalah rapat yang berkenaan dengan Permohonan yang
ruajukan pengujian oleh Pemohon.

Dalam hal alat bukti berupa surat atau tulisan, Pemberi Keterangan atau
kuasa hukum menyampaikan alat bukti 1 (satu) eksemplar asli yang telah
dibubuhi meterai sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundang-
undangan.

Untuk memudahkan proses pemeriksaan, setiap alat bukti diberi tanda


bukti tertulis dalam label yang ditempelkan pada alat bukti sesuai dengan urutan
yang tertuang dalam daftar alat bukti. Penyampaian keterangan dan daftar alat
bukti disertai dengan salinan dalam bentuk digital (soft copy) dengan aplikasi

word (.doc) dan pdf yang disimpan dalam 1 (satu) unit penyimpan data berupa
flash disk atau berupa file yang dikirim secara daring (online) atau melalui
media elektronik lainnya. Keterangan dan daftar alat bukti dalam bentuk pdf
tersebut harus telah ditandatangani oleh Pemberi Keterangan atau kuasa hukum.
Dalam hal terdapat perbedaan antara keterangan tertulis dengan salinan
digitalnya, MK menggunakan keterangan tertulis. Dalam hal keterangan telah
disampaikan kepada MK, Panitera mencatat keterangan Dalam e-BRPK.
Terhadap keterangan yang celah dicatat dalam e-BRPK, Panitera menerbitkan
dan menyampaikan bukti penerimaan kepada Pemberi Keterangan atau kuasa
hukum. Panitera menyampaikan bukti penerimaan kepada Pemberi Keterangan
atau kuasa hukum secara daring (online) acau melalui media elektronik lainnya
atau secara luring (online).

3. Permohonan dan Keterangan Pihak Terkait

Pihak Terkait terdiri atas Pihak Terkait yang berkepentingan langsung


dan Pihak Terkait yang berkepentingan tidak langsung. Pihak Terkait yang
berkepentingan langsung adalah pihak yang hak dan/ atau kewenangannya
secara langsung terpengaruh kepentingannya oleh pokok Permohonan. Pihak
Terkait yang berkepentingan tidak langsung adalah pihak yang hak,
kewenangan, dan/ atau kepentingannya Lidak secara langsung terpengaruh oleh
pokok Permohonan tetapi karena kepeduliannya terhadap Permohonan
dimaksud, dapat mengajukan keterangannya sebagai ad informandum.

Permohonan sebagai Pihak Terkait dapat diajukan setelah Permohonan


diregistrasi dalam e-BRPK atau paling lambat sebelum Pemeriksaan Persidangan
untuk mendengar keterangan ahli dan/atau saksi. Permohonan sebagai Pihak
Terkait dapat diajukan kepada MK secara luring (offline) atau secara daring
(online) atau melalui media elektronik lainnya.

Permohonan sebagai Pihak Terkait diajukan secara tertulis dalam bahasa
Indonesia sebanyak 1 (satu) eksemplar asli yang ditandatangani oleh calon Pihak
Terkait atau kuasa hukum disertai dengan daftar alat bukti, alat bukti yang
mendukung permohonan, dan/ atau dokumen lainnya. Permohonan sebagai
Pihak Terkait sekurang-kurangnya memuat:

a. nama Pihak Terkait dan/ atau kuasa hukum, pekerjaan, kewarganegaraan,


alamat rumah / kantor, dan alamat surat elektronik yang digunakan selama
proses berperkara;
b. uraian yang jelas mengenai kepentingan Pihak Terkait terhadap Permohonan
PUU yang diajukan oleh Pemohon.
Dalam hal alat bukti berupa surat atau tulisan, calon Pihak Terkait atau
kuasa hukum menyampaikan alat bukti 1 (satu) eksemplar asli yang telah
dibubuhi meterai sebagaimana ditenlukan dalam peraturan perundang-
undangan. Dalam hal permohonan sebagai Pihak Terkait disetujui oleh RPH,
MK menerbitkan Ketetapan Pihak Terkait yang salinannya disampaikan kepada
yang bersangkutan paling lama 3 (tiga) hari kerja sejak diterbitkannya
Ketetapan Pihak Terkait.

Dalam hal Permohonan sebagai Pihak Terkait tidak disetujui oleh RPH,
MK menerbitkan ketetapan yang salinannya disampaikan kepada yang
bersangkutan paling lama 3 (tiga) hari kerja sejak diterbitkannya ketetapan.

D. PERSIDANGAN

Jadwal penyelenggaraan persidangan dimuat pada Laman MK. Persidangan perkara


PUU dilaksanakan melalui:

a. Pemeriksaan Pendahuluan ;
b. Pemeriksaan Persidangan; dan
c. Pengucapan Putusan.

Persidangan perkara PUU dapat dilakukan secara luring (o!fline), secara daring
(online), melalui video conference, dan/atau melalui media elektronik lainnya. MK
menetapkan hari sidang pertama dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari
kerja sejak Permohonan dicatat dalam e-BRPK.

MK menyampaikan surat panggilan sidang pertama kepada Pemohon yang harus


telah diterima oleh Pemohon dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) hari kerja sebelum
sidang pertama dilaksanakan. MK menyampaikan surat panggilan sidang kepada para
pihak, ahli, dan/ atau saksi yang harus telah diterima oleh para pihak dalam jangka waktu
paling lama 3 (tiga) hari kerja sebelum sidang Pemeriksaan Persidangan dilaksanakan.

Para pihak, ahli, dan saksi wajib memenuhi panggilan MK untuk menghadiri
persidangan. Guna kepentingan pemeriksaan, MK dapat mempertimbangkan
penggabungan pemeriksaan beberapa perkara secara bersamaan. Penyelenggaraan
persidangan MK dapat dilakukan melalui persidangan jarak jauh dengan
menggunakan fasilitas video conference (vicon) atau melalui media elektronik lainnya .

1. Pemeriksaan Pendahuluan

Pemeriksaan Pendahuluan dilakukan dalam sidang terbuka untuk umum.


Pemeriksaan Pendahuluan dapat dilakukan dalam Sidang Panel yang dihadiri oleh
paling kurang 3 (tiga) orang Hakim. Sebelum Pemeriksaan Persidangan, MK
melakukan Pemeriksaan Pendahuluan dalam 2 (dua) tahap sidang yaitu:

a. Pemeriksaan Pendahuluan dengan agenda untuk mendengar pokok-pokok


Permohonan, memeriksa kelengkapan dan kejelasan materi Permohonan;
b. Pemeriksaan Pendahuluan dengan agenda untuk memeriksa perbaikan
Permohonan serta pengesahan alat bukti Pemohon. Dalam Pemeriksaan
Pendahuluan, MK memeriksa kelengkapan dan kejelasan materi Permohonan
yang meliputi:
i. identitas Pemohon;

ii. kewenangan MK;
iii. kedudukan hukum Pemohon;
iv. alasan permohonan (posita); dan
v. hal-hal yang diminta uncuk diputus (petitum).
Dalam Pemeriksaan Pendahuluan untuk memeriksa kelengkapan dan
kejelasan materi Permohonan, MK memberi kesempatan kepada Pemohon untuk
menyampaikan pokok-pokok Permohonan. Dalam pemeriksaan kelengkapan dan
kejelasan materi permohonan, MK wajib mcmberi nasihat kepada Pemohon untuk
melengkapi dan/atau memperbaiki Permohonan.

Setelah Sidang Panel Pemeriksaan Pendahuluan dilaksanakan, Panel Hakim


yang memeriksa perkara tersebut melaporkan hasilnya dalam RPH untuk
memutuskan tindak lanjut perkara.

2. Pemerikaaan Persidangan

Pemeriksaan Persidangan dilakukan dalam Sidang Pleno terbuka untuk umum


yang dihadiri oleh 9 (sembilan) orang Hakim atau pahng kurang 7 (tujuh) orang
Hakim. Dalam keadaan tertentu, MK dapat menetapkan Sidang Pleno bersifat
tertutup. Dalam keadaan tertentu antara lain berkaitan dengan rahasia negara,
kesusilaan, dan perlindungan anak. Pemeriksaan Persidangan meliputi:

i. mendengar keterangan Pemberi Keterangan;


ii. mendengar keterangan Pihak Terkait;
iii. mendengar keterangan ahli;
iv. mendengar keterangan saksi;
v. memeriksa dan/ arau mengesahkan alat bukti tertulis;
vi. memeriksa rangkaian data, keterangan, perbuatan, keadaan, dan/atau
peristiwa yang bersesuaian dengan alat-alat bukti lain yang dapat dijadikan
petunjuk;

vii. memeriksa alat-alat bukli lain yang berupa informasi yang diucapkan,
dikirimkan, diterima , atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau
yang serupa dengan itu.
Dalam Pemeriksaan Persidangan, MK memeriksa dan/ atau mengesahkan
alat bukti. Pemeriksaan Persidangan dapat diikuti dengan pemeriksaan setempat
yang dilakukan oleh Hakim yang ditunjuk dengan didampingi oleh Panitera
dan/atau Panitera Pengganti serta dapat pula dihadiri oleh Pemohon, Pemberi
Keterangan, dan/atau Pihak Terkait yang hasilnya disampaikan dalam persidangan.

Keterangan tertulis dan risalah rapat disampaikan oleh DPR sebagai


Pemberi Keterangan melalui Pimpinan DPR dalam Pemeriksaan Persidangan.
Pimpinan DPR dapat memberi kuasa kepada pimpinan dan/ atau anggota alat
kelengkapan DPR. Pembacaan Keterangan DPR dilakukan oleh pimpinan atau
anggota alat kelengkapan DPR. Guna kejelasan pemeriksaan perkara, Hakim
dapat memerintahkan kepada DPR menyampaikan keterangan tambahan yang
diperlukan dalam persidangan.

Keterangan tertulis dan/ atau risalah rapat juga disampaikan oleh Presiden
sebagai Pemberi Keterangan dalam Pemeriksaan Persidangan. Presiden dapat
memberi kuasa kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang hukum, menteri, dan/ atau pejabat setingkat menteri dengan hak substitusi.

Keterangan tertulis dan risalah rapat yang berasal dari DPD disampaikan oleh
DPD sebagai Pemberi Keterangan melalui Pimpinan DPD dalam Pemeriksaan
Persidangan. Pimpinan DPD dapat memberi kuasa kepada pimpinan dan/atau
anggota alat kelengkapan DPD. Pembacaan Keterangan DPD dilakukan oleh
pimpinan atau anggota alat kelengkapan DPD. Guna kejelasan pemeriksaan
perkara, Hakim dapat memerintahkan kepada DPD menyampaikan keterangan
tambahan yang diperlukan dalam persidangan.

3. Pembuktian dan Alat Bukti

Pemohon membuktikan dalil Permohonan dalam persidangan. Pemberi


Keterangan dan/ atau Pihak Terkait dapat membuktikan keterangannya. Hakim
dapat memerintahkan kepada Pemohon, Pemberi Keterangan dan/ atau Pihak
Terkait menyerahkan tambahan alat buku yang diperlukan dalam persidangan untuk
kejelasan pemeriksaan perkara. Keterangan ahli dan/ atau saksi didengar
keteranngannya dalam persidangan setelah MK mendengar keterangan Pemberi
Keterangan, kecuali MK menentukan lain. Alat bukti dalam perkara PUU berupa:

a. surat atau tulisan;


b. keterangan para pihak;
c. keterangan ahli;
d. keterangan saksi;
e. keterangan pihak lain;
f. alat bukti lain; dan/atau
g. petunjuk.
Keterangan para pihak merupakan semua Keterangan baik lisan maupun
tertulis yang berkaitan dengan Permohonan yang merupakan satu kesatuan dengan
dalil yang disampaikan para pihak. Alal bukti surat atau tulisan dapat berupa:

a. kutipan, salinan, atau fotokopi peraturan perundang-undangan, keputusan


pejabat tata usaha negara, dan/atau putusan pengadilan, yang isinya sesuai
dengan naskah aslinya; dan/atau
b. dokumen tertulis lainnya.
Alat bukti surat atau tulisan adalah alat bukti surat yang terkait dengan
kewenangan MK, kedudukan hukum, objek Permohonan, dan/atau alasan
Permohonan. Alat bukti surat atau tulisan keabsahan perolehannya harus dapat
dipertanggungjawabkan secara hukum. Ahli dapat diajukan oleh Pemohon,

Pemberi Keterangan, Pihak Terkait, dan/atau atas permintaan MK untuk
didengar keterangannya dalam persidangan MK. Pengajuan ahli disertai dengan
daftar ahli, daftar riwayat hidup, salinan kartu identitas ahli, dan keterangan
tertulis terkait dengan Permohonan.

Saksi dapat diajukan oleh Pemohon, Pemberi Keterangan, dan/atau Pihak


Terkait, dan/ atau atas permintaan MK untuk didengar keterangannya dalam
persidangan MK. Pengajuan saksi disertai dengan daftar saksi, daftar riwayat hidup,
salinan kartu identitas saksi, dan pernyataan singkat tentang hal-hal yang akan
diterangkan terkait dengan Permohonan. Para pihak menyampaikan daftar saksi,
daftar riwayat hidup, salinan kartu identitas diri, dan pernyataan singkat paling
lama 2 (dua) hari kerja sebelum Sidang Pleno untuk mendengar keterangan saksi
dilaksanakan. Dalam hal ahli dan/atau saksi yang diajukan oleh para pihak tidak
dapat berbahasa Indonesia, ahli dan/ atau saksi wajib didampingi oleh penerjemah.
Penerjemah diajukan oleh Para Pihak atau difasilitasi oleh dan berdasarkan
pertimbangan MK. Penerjemah mengucapkan sumpah atau janji menurut agama
atau kepercayaannya. Dalam Pemeriksaan Persidangan, para pihak dapat
mengajukan pertanyaan dan/atau tanggapan mengenai pokok Permohonan kepada
ahli dan/atau saksi melalui ketua sidang.

Para pihak dapat mengajukan pertanyaan dan/ atau tanggapan mengenai


pokok Permohonan kepada ahli dan/ atau saksi yang diajukannya sendiri atau ahli
dan/ atau saksi yang diajukan oleh pihak lain. Dalam hal Pemeriksaan Persidangan
dalam Sidang Pleno dinyatakan cukup oleh MK, para pihak diberi kesempatan
untuk menyampaikan kesimpulan secara tertulis. Kesimpulan disampaikan kepada
MK paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak Pemeriksaan Persidangan dinyatakan
selesai oleh MK, kecuali ditentukan lain oleh MK.

4. Rapat Permusyawaratan Hakim



MK memurus perkara berdasarkan UUD 1945 sesuai dengan alat bukti dan
keyakinan Hakim. Pengambilan Putusan MK dilakukan dalam RPH secara tertutup
setelah selesai Pemeriksaan Pendahuluan atau Pemeriksaan Persidangan. RPH
dihadiri oleh 9 (sembilan) orang Hakim atau paling kurang oleh 7 (tujuh) orang
Hakim yang dipimpin oleh Ketua MK. Dalam hal Ketua MK berhalangan, RPH
dipimpin oleh Wakil Ketua Mahkarnah. Dalam hal Ketua MK dan Wakil Ketua
MK berhalangan dalam waktu bersamaan, RPH dipimpin oleh Hakim yang
bertindak sebagai ketua RPH yang dipilih dari dan oleh Hakim yang hadir.

Pengambilan Putusan MK dilakukan dengan musyawarah untuk mufakat.


Dalam rangka pengambilan Putusan MK, setiap Hakim menyampaikan pendapat
hukum terhadap Permohonan. Pendapat adalah untuk menjawab seluruh dalil yang
dimohonkan oleh Pemohon. Dalam hal mufakat tidak tercapai, rapat dapat ditunda
sampai RPH berikumya. Dalam hal RPH berikutnya meskipun telah diusahakan
dengan sungguh-sungguh temyata tidak juga dicapai mufakat, Putusan MK diambil
dengan suara terbanyak. Dalam hal RPH tidak dapat mengambil Putusan MK
dengan suara terbanyak, suara terakhir ketua RPH menentukan. RPH pengambilan
putusan antara lain berupa:

a. penyampaian laporan Panel Hakim mengenai hasil Pemeriksaan Pendahuluan


atau Pemeriksaan Persidangan;
b. penyampaian pendapat hukum Hakim mengenai kewenangan MK, kedudukan
hukum Pemohon, dan pokok Permohonan;
c. penyusunan hasil RPH;
d. pembahasan rancangan Putusan MK;
e. pembahasan rencana pengucapan Putusan Mahkamah.
E. Putusan Mahkamah


Putusan Mahkamah dapat berupa Putusan, Pulusan Sela, atau Ketetapan. Putusan
memuat:


a. kepala putusan yang berbunyi: DEMI KEADILAN BERDASARKAN
KETUHANAN YANG MAHA ESA;
b. nama lembaga: MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA;
c. identitas pihak;
d. permohonan dan/ atau keterangan para pihak;
e. pertimbangan terhadap fakta yang terungkap dalam persidangan;
f. pertimbangan hukum yang menjadi dasar putusan;
g. konklusi;
h. amar putusan;
i. alasan berbeda (jika ada);
j. pendapat berbeda (jika ada);
k. hari dan tanggal pengambilan putusan, hari dan tanggal pengucapan putusan, nama dan
tanda tangan Hakim, serta nama dan tanda tangan Panitera Pengganti.
Pertimbangan terhadap fakta yang terungkap dalam persidangan di atas
meliputi:
a. pendirian Pemohon terhadap permohonannya dan keterangan tambahan yang
disampaikan di persidangan;
b. keterangan Pemberi Keterangan;
c. keterangan Pihak Terkait;
d. keterangan ahli dan/ atau saksi; dan/atau
e. hasil pemeriksaan alat-alat bukti.
Pertimbangan hukum yang menjadi dasar putusan meliputi: permasalahan
utama Permohonan, kewenangan Mahkamah, kedudukan hukum Pemohon, alasan
permohonan, pendapat MK.

Ketetapan memuat:


a. kepala ketetapan yang berbunyi: "DEMI KEADILAN BERDASARKAN
KETUHANAN YANG MAHA ESA";
b. nama lembaga: MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA.
c. konsideran menimbang:
i. identitas pihak;
ii. pokok perkara;
iii. pertimbangan hukum dan/atau pendapat MK yang menjadi dasar putusan, serta
simpulan .
d. konsideran mengingat :
i. UUD 1945;
ii. UU MK; dan/ atau
iii. undang-undang ya ng terkait.
e. amar ketctapan;
f. hari dan tanggal pengambilan ketetapan , hari dan tanggal pengucapan ketetapan, nama
dan tanda tangan Hakim, serta nama dan tanda tangan Panitera Pengganti.
Amar Putusan untuk pengujian formil:

a. Dalam hal Permohonan tidak memenuhi ketentuan syarat formil pengajuan


Permohonan, amar Putusan: "Menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima;
b. Dalam hal pokok Permohonan tidak beralasan menurut hukum, amar putusan
menyatakan, "Menolak permohonan Pemohon";
c. Dalam hal pokok Permohonan beralasan menurut hukum, amar Putusan berbunyi:
i. Mengabulkan permohonan Pemohon;
ii. Menyatakan pembentukan undang-undang atau Perppu dimaksud tidak memenuhi
ketentuan pembentukan undang- undang menurut UUD 1945, dan undang-undang
atau Perppu a quo tidak mempunyai kekuatan hukum mengikal;
iii. Memerintahkan pemuatan Putusan dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Dalam hal dipandang perlu, MK dapat menambahkan amar selain yang ditentukan
tersebut.


Amar Putusan untuk pengujian materiil:

a. Dalam hal Permohonan tidak memenuhi ketentuan syarat formil pengajuan Permohonan,
amar putusan, "Menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima”;
b. Dalam hal pokok Permohonan tidak beralasan menurut hukum, amar putusan
menyatakan, "Menolak permohonan Pemohon";
c. Dalam hal pokok Permohonan beralasan menurut hukum, amar putusan:
i. Mengabulkan Permohonan Pemohon sebagian/seluruhnya;
ii. Menyatakan materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang atau Perppu
bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
iii. Memerintahkan pemuatan Putusan dalam Serita Negara Republik Indonesia.
Dalam hal MK berpendapat bahwa permohonan pengujian materiil
inkonstitusional bersyarat, amar putusan berbunyi:
a. mengabulkan permohonan Pemohon;
b. menyatakan materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari undang-undang atau
Perppu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat sepanjang tidak dimaknai ...;
c. memerintahkan pemuatan Putusan dalam Serita Negara Republik Indonesia.
Dalam hal dipandang perlu, MK dapat menambahkan amar selain yang
ditentukan tersebut. MK dapat menyatakan Permohonan tidak jelas atau kabur
antara lain karena:
a. adanya ketidaksesuaian antara dalil Permohonan dalam posita dengan petitum;
b. dalil tidak terdapat dalam posita tecapi ada dalam petitum atau sebaliknya;
c. adanya permintaan Pemohon dalam pctitum yang saling bertentangan antara satu
dengan yang lainnya dan tidak memberikan pilihan altematif.
Terkait Ketetapan, MK menerbitkan Putusan berupa Ketetapan dalam hal:

a. Permohonan bukan merupakan kewenangan MK;


b. Pemohon menarik kembali permohonannya;
c. Pemohon tidak hadir pada sidang pertama Pemeriksaan Pendahuluan.


Amar Ketetapan apabila MK tidak berwenang berbunyi: "Menyatakan Mahkamah
tidak berwenang mengadili permohonan Pemohon". Amar Ketetapan apabila terdapat
penarikan kembali berbunyi:

a. "Mengabulkan permohonan Pemohon untuk menarik kembali


permohonannya";
b. "Menyatakan permohonan Pemohon ditarik kembali";
c. "Menyatakan permohonan yang telah ditarik tidak dapat diajukan kembali";
d. "Memerintahkan kepada Panitera untuk mencatat perihal penarikan kembali
permohonan Pemohon dalam e-BRPK".
Amar Ketetapan apabila Pemohon tidak hadir pada sidang pertama Pemeriksaan
Pendahuluan berbunyi: "Menyatakan permohonan Pemohon gugur”. Dalam hal dipandang
perlu, MK dapat menambahkan amar selain yang ditentukan tersebut.

Undang-undang atau Perppu yang diuji oleh MK tetap berlaku sebelum ada Putusan
yang menyatakan bahwa undang-undang atau Perppu tersebut bertentangan dengan UUD
1945. Putusan MK memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam
Sidang Pleno terbuka untuk umum. Terhadap materi muatan, ayat, pasal, dan/ atau bagian
dalam undang- undang atau Perppu yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian
kembali, kecuali jika materi muatan dalam UUD 1945 yang dijadikan dasar pengujian
berbeda atau terdapat alasan permohonan yang berbeda.

Putusan MK diucapkan dalam Sidang Pleno Pengucapan Putusan MK yang dihadiri


oleh 9 (sembilan) orang Hakim atau paling kurang 7 (tujuh) orang Hakim yang dipimpin
oleh Ketua MK. Dalam hal Ketua MK berhalangan, Sidang Pleno dipimpin oleh Wakil
Ketua MK.

Dalam hal Ketua MK dan Wakil Ketua MK berhalangan dalam waktu bersamaan,
Sidang Pleno dipimpin oleh Hakim yang bertindak sebagai kerua Sidang Pleno yang dipilih
dari dan oleh Hakim yang hadir.


Salinan Putusan MK disampaikan kepada Pemohon, Pemberi Keterangan, MK
Agung, Pihak Terkait, dan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
hukum segera setelah berakhirnya Sidang Pleno pengucapan Putusan MK.

Dalam hal Pemohon, Pemberi Keterangan, Pihak Terkait, dan menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerimahan di bidang hukum tidak hadir dalam Sidang Pleno
pengucapan Putusan MK, salinan Putusan Mahkamah dikirimkan secara daring (online)
atau melalui media elektronik lainnya kepada yang bersangkutan dalam jangka waktu
paling lama 3 (tiga) hari kerja sejak Putusan MK selesai diucapkan. Penyerahan atau
penyampaian salinan Putusan MK dilaksanakan oleh Panitera. Putusan MK yang
mengabulkan Permohonan wajib dimuat dalam Berila Negara Republik Indonesia dalam
jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak Putusan MK selesai diucapkan
dalam Sidang Pleno terbuka untuk umum.


-4-

Sengketa Kewenangan Lembaga Negara

Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut MK) merupakan salah satu lembaga


negara yang diamanatkan kedudukannya oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI 1945), yang mana secara formil dan
materiil di atur dalam ketentuan Bab IX tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 24C UUD
NRI 1945. Selayaknya lembaga negara dalam konsep hukum tata negara positif (positieve
staatsrecht), MK secara keorganisasian memiliki kewenangan yang melekat pada dirinya,
di mana kewenangan-kewenangan tersebut diatur pula dalam ketentuan konstitusi (Safa’at
et al, 2011). Secara normatif-konstitusional penyebutan MK dan kewenangannya diatur
dalam konstruksi Pasal 24C ayat (1) UUD NRI 1945 :

“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat petama dan terakhir


yang putusannya bersifat final untuk menguji undang- undang terhadap Undang-
Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya
diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan
memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.”

Dalam diskursus ketetanegaraan terkait kewenangan MK, ketentuan Pasal 24C ayat
(2) UUD NRI 1945 dikategorikan juga sebagai bagian dari kewenangan MK, namun
dituliskan dalam klausa pasal yang berbeda dengan kewenangan-kewenangan lainnya
karena ketentuan Pasal a quo merupakan satu kesatuan rangkaian proses impeachment yang
tidak terlepas dari proses politik di DPR RI atas dugaan pelanggaran terhadap UUD NRI
1945 oleh Presiden dan/ atau Wakil Presiden (Siahaan, 2012). Akan tetapi, pada bagian ini
yang akan menjadi fokus pembahasan adalah terkait salah satu kewenangan MK dalam hal
memutus sengketa kewenangan lembaga negara (selanjutnya disebut SKLN).

Secara historis keseluruhan pengaturan tentang MK dalam tubuh hukum dasar


negara mulai sah berlaku secara formil pasca Perubahan Ketiga UUD 1945 yang terjadi
pada tahun 2001, tepatnya ditetapkan pada 9 November 2001. Sedangkan secara struktur


kelembagaan MK berdiri sejak disahkannya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut UU MK) pada 13 Agustus 2003 dan
aktif secara operasional pada tanggal 16 Agustus 2003 setelah pengangkatan sumpah 9
(sembilan) hakim konstitusi (Siahaan, 2012). Proses tersebut telah sesuai dengan amanat
konstitusi agar MK telah terbentuk selambat-lambatnya pada 17 Agustus 2003 (vide Pasal
III Aturan Peralihan UUD NRI 1945).

Apabila kewenangan MK dalam penyelesaian SKLN dibedah secara tekstual, maka


terdapat 2 (dua) unsur pokok yang menjadi dasar utama sebuah peristiwa hukum dapat
dikategorikan sebagai SKLN, yakni “sengketa kewenangan lembaga negara….” dan
“…..yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar”, oleh karena itu
substansi persengketaan yang dapat diajukan kepada MK hanya terbatas pada hal-hal yang
berkaitan dengan kewenangan dan subjek hukum yang dapat mengajukan permohonan
adalah lembaga negara yang secara atributif memiliki kewenangan dari UUD NRI 1945
(Isra, 2020). Sebelum membahas lebih lanjut perihal SKLN, terlebih terkait hukum
acaranya, perlu diuraikan terlebih dahulu bahasan mengenai lembaga negara itu sendiri
yang secara teori dan praktikal dapat terbentuk karena adanya amanat dari suatu produk
hukum.

Secara khusus terkait lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD
NRI 1945, menurut Abdul Mukhtie Fajar terbuka kesempatan bagi para sarjana untuk
melakukan penafsiran, karena secara tekstual dalam ketentuan konstitusi dan undang-
undang terkait MK tidak menjelaskan secara detail apa yang dimaksud dengan lembaga
negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD NRI 1945, sehingga perlu adanya doktrin
dari para sarjana agar terbentuk konteks dari frasa tersebut (Eddyono, 2010). Terdapat 3
(tiga) penafsiran atas frasa lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh konstitusi
menurut Abdul Mukhtie Fajar, pertama, penafsiran secara luas yang memasukkan sebanyak
12 (dua belas) lembaga negara sebagai subjectum litis dari SKLN, sekalipun salah satu dari
lembaga negara tersebut kewenangannya lebih lanjut diatur melalui undang-undang, yakni
bank sentral. Namun, berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2002 bank


sentral diakui sebagai subjek yang dapat berperkara dalam SKLN. Kedua, penafisran
moderat yang hanya memasukkan MPR, Presiden, DPR, DPD, BPK, dan MA sebagai
subjectum litis karena keenamnya diatur secara terperinci kewenangannya oleh konstitusi,
dan ketiga, penafisiran secara sempit berdasarkan ketentuan Pasal 67 UU MK hanya DPR,
DPD, dan Presiden yang memiliki kedudukan hukum (legal standing) dalam SKLN (Fajar,
2006).

Menurut Jimly Asshiddiqie sebagaimana dikutip oleh Ali Safa’at, terdapat 34 (tiga
puluh empat) lembaga negara, baik yang dibentuk, disebut dan/ atau diberikan
kewenangannya oleh UUD NRI 1945, lembaga-lembaga negara tersebut adalah sebagai
berikut (Safa’at et al, 2011) :

1. MPR diatur dalam Bab II;


2. Presiden diatur dalam Bab III;
3. Wakil Presiden diatur dalam ketentuan Pasal 4 ayat (2);
4. Menteri dan Kementerian Negara diatur dalam Bab V;
5. Menteri Luar Negeri sebagai bagian dari triumvirat bersama-sama dengan Menteri
Dalam Negeri dan Menteri Pertahanan, diatur dalam ketentuan Pasal 8 ayat (3);
6. Menteri Dalam Negeri sebagai bagian dari triumvirat bersama-sama dengan
Menteri Luar Negeri dan Menteri Pertahanan, diatur dalam ketentuan Pasal 8 ayat
(3);
7. Menteri Pertahanan sebagai bagian dari triumvirat bersama-sama dengan Menteri
Dalam Negeri dan Menteri Luar Negeri, diatur dalam ketentuan Pasal 8 ayat (3);
8. Dewan Pertimbangan Presiden diatur dalam ketentuan Pasal 16;
9. Duta diatur dalam ketentuan Pasal 13 ayat (1) dan (2);
10. Konsul diatur dalam ketentuan Pasal 13 ayat (1);
11. Pemerintahan Daerah Provinsi yang diatur dalam ketentuan Pasal 18 ayat (2), (3),
(5), (6), dan ayat (7);
12. Gubernur diatur dalam ketentuan Pasal 18 ayat (4);
13. DPRD Provinsi diatur dalam ketentuan Pasal 18 ayat (3);


14. Pemerintah Daerah Kabupaten diatur dalam ketentuan Pasal 18 ayat (2), (3), (5),
(6), dan ayat (7);
15. Bupati diatur dalam ketentuan Pasal 18 ayat (4);
16. DPRD Kabupaten diatur dalam ketentuan Pasal 18 ayat (3);
17. Pemerintah Daerah Kota diatur dalam ketentuan Pasal 18 ayat (2), (3), (5), (6), dan
ayat (7);
18. Walikota diatur dalam ketentuan Pasal 18 ayat (4);
19. DPRD Kota diatur dalam ketentuan Pasal 18 ayat (3);
20. Satuan Pemerintahan Daerah yang bersifat khusus atau istimewa diatur dalam
ketentuan Pasal 18B ayat (1);
21. DPR diatur dalam ketentuan Bab VII;
22. DPD diatur dalam ketentuan Bab VII A;
23. KPU diatur dalam ketentuan Pasal 22E ayat (5);
24. Bank sentral disebut secara eksplisit dalam ketentuan Pasal 23D;
25. BPK diatur dalam ketentuan Bab VIII A;
26. MA diatur dalam ketentuan Pasal 24 dan Pasal 24A;
27. MK diatur dalam ketentuan Pasal 24 dan Pasal 24C;
28. KY diatur dalam ketentuan Pasal 24 (sebagai auxiliary organ bagi Mahkamah
Agung) dan Pasal 24B;
29. TNI diatur dalam ketentuan Bab XII;
30. Angkatan Darat diatur dalam ketentuan Pasal 10;
31. Angkatan Laut diatur dalam ketentuan Pasal 10;
32. Angkatan Udara diatur dalam ketentuan Pasal 10;
33. POLRI diatur dalam ketentuan Bab XII;
34. Badan-badan lain yang secara fungsional berkaitan dengan kekuasaan kehakiman
seperti Kejaksaan yang diatur dalam ketentuan Pasal 23 ayat (3).
Berdasarkan aturan normatif yang tertuang dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi
(PMK) Nomor 08/PMK/2006 tentang Pedoman Beracara dalam Sengketa Kewenangan
Konstitusional Lembaga Negara, diatur lembaga negara yang dapat menjadi pemohon dan


termohon (subjectum litis) dalam SKLN adalah a) DPR, b) DPD, c) MPR, d) Presiden, e)
BPK, f) Pemda, dan g) lembaga negara lain yang kewenangannya diberikan oleh UUD
1945 (vide Pasal 2 PMK 08/PMK/2006). Sebagaimana uraian sebelumnya yang
menyatakan bahwa lembaga-lembaga negara seperti MA dan MK juga merupakan lembaga
negara dengan kewenangan konstitusional yang langsung diberikan oleh konstitusi, namun
kenyataannya kedua lembaga tersebut tidak termaktub dalam lembaga-lembaga negara
yang dapat menjadi subjek perkara menurut PMK 08/PMK/2006. Seiring berjalannya
waktu dan berkembangnya diskursus kelimuan dalam ranah hukum tata negara, khususnya
yang berkaitan dengan SKLN, melalui Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang
Perubahan Pertama UU MK ketentuan yang menyatakan bahwa MA tidak dapat menjadi
subjek perkara dalam SKLN dihapuskan (vide Pasal 65 UU 24/2003 dan Pasal 65 UU
8/2011), sehingga MA dapat menjadi subjectum litis dalam SKLN.

Lalu, bagaimana dengan MK? Pada dasarnya ketentuan PMK 08/PMK/2006 telah
sejalan dengan asas hukum Nemo Judex Idoneus In Propria Causa yang berarti hakim tidak
dapat menjadi hakim atau menangani perkaranya sendiri. Oleh karena itu, Feri Amsari
berpandangan bahwa telah benar adanya jika MK tidak dapat menjadi subjectum litis dalam
SKLN (Amsari, 2019). Namun, muncul permasalahan ketika asas a quo dipertentangkan
dengan asas Ius Curia Novit yang menhendaki hakim untuk menangani seluruh perkara
yang dihadapkan padanya. Atas permasalah tersebut, setidaknya terdapat Putusan MK
Nomor 05/PUU-IV/2006 yang dapat menjadi salah satu rujukan, bahwa dalam perkara a
quo kedudukan hakim konstitusi yang diperkarakan, sehingga perkara tersebut berkaitan
dengan diri MK, yakni para hakim. Sekalipun terdapat pertentangan antara kedua asas yang
sebelumnya disebutkan, MK dalam putusan a quo mengesampingkan asas Nemo Judex
Idoneus In Propria Causa dan menyatakan bahwa MK berhak untuk menerima dan
menangani perkara tersebut, hanya saja yang perlu menjadi catatan adalah pengesampingan
asas ini dilakukan oleh MK atas dasar kewenangan MK untuk menangani perkara-perkara
konstitusional yang hanya dapat dilakukan oleh MK, sehingga dalam pelaksanaan peradilan
hukum lainnya secara umum pengesampingan yang demikian tidak dapat dilakukan


(Maladi, 2010). Akan tetapi, dikarenakan pertimbangan hukum MK tersebut terjadi dalam
perkara judicial review dan bukan SKLN, maka dalam hal penyelesaian SKLN yang
melibatkan MK hingga saat ini masih mengacu pada PMK 08/PMK/2006.

Berkaitan dengan objectum litis atau objek perkara yang secara tekstual merupakan
kewenangan konstitusional, berdasarkan Putusan MK Nomor 004/SKLN-IV/2006
ditegaskan bahwa menafsirkan frasa kewenangan yang diberikan oleh Undang-Undang
Dasar tidak dapat hanya secara gramatikal, melainkan perlu juga untuk melihat
kemungkinan adanya pemaknaan secara implisit yang lahir dari kewenangan pokoknya.
Begitu juga melalui Putusan MK Nomor 3/SKLN-X/2021 yang menyatakan bahwa
objectum litis dalam SKLN tidak hanya terbatas pada kewenangan yang eksplisit (expressis
verbis) dalam konstitusi, akan tetapi juga termasuk kewenangan delegasi karena adanya
atribusi yang disebutkan oleh UUD NRI 1945 (Isra, 2020). Melalui Putusan MK Nomor
004/SKLN-IV/2006 juga MK memperjelas tata cara penyelesaian SKLN di MK dalam hal
penentuan objek dan subjek perkara, di mana MK perlu terlebih dahulu menentukan apakah
memang ada objectum litis dari permohonan yang diajukan, baru kemudian dilihat kepada
lembaga negara apa kewenangan tersebut diserahkan (subjectum litis).

Sebelumnya telah dijelaskan terkait SKLN secara formil dan materiil yang
penyelesaiannya menjadi kewenangan konstitusional dari MK, selain itu perlu juga untuk
diuraikan perihal penyebab dari terjadinya sengketa antarlembaga negara, menurut
Ni’matul Huda alasan-alasan terjadinya SKLN adalah sebagai berikut (Huda, 2017) :

1. Terdapat overlapping (tumpang tindih) kewenangan antar satu lembaga negara dan
lembaga negara lainnya yang diatur dalam hukum dasar negara;
2. Terdapat pengabaian oleh lembaga negara lain terhadap kewenangan dari lembaga
negara tertentu yang diberikan oleh konstitusi; dan
3. Terdapat kewenangan lembaga negara tertentu yang telah diberikan oleh
konstitusi, namun dijalankan oleh lembaga negara lainnya.


Akan tetapi, apabila dibandingkan secara kuantitatif penyelesaian SKLN di MK merupakan
pelaksanaan kewenangan MK yang jumlahnya paling sedikit sejak MK pertama kali berdiri
pada tahun 2003, yakni hanya berjumlah 27 perkara atau sebesar 1% dari keseluruhan
perkara yang diselesaikan oleh MK. Pembagian ke-27 perkara tersebut adalah sebagai
berikut (MKRI, 2021) :

1. Dikabulkan : 1 perkara
2. Ditarik Kembali : 6 perkara
3. Ditolak : 3 perkara
4. Tidak Berwenang : 1 perkara
5. Tidak Dapat Diterima : 16 perkara
Sebagai penutup dan penambah informasi perlu disampaikan tentang praktik-praktik
penyelesaian SKLN di MK negara-negara lain, sebagai contoh penyelesaian SKLN
(competence dispute between state institutions) di Rusia yang tidak hanya terbatas pada
lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh konstitusi, akan tetapi juga dapat
menyelesaikan SKLN yang mana lembaga negara tersebut merupakan sesama lembaga
pemerintahan federasi, antara lembaga pemerintahan federasi dan lembaga pemerintahan
negara bagian, atau antara sesama lembaga pemerintahan negara bagian. Jika dibandingkan
dengan Thailand, maka SKLN yang dapat diselesaikan berkaitan dengan kewenangan DPR,
Senat, Majelis Nasional, Dewan Menteri, dan lembaga independen lain (Faiz & Chakim,
2020). MK Korea Selatan juga merupakan salah satu leading example dalam hal peradilan
konstitusi di Asia, dalam hal SKLN MK Korea Selatan pernah melakukan perubahan
paradigma pemikiran yang menjadi landasan dari pertimbangan hukumnya dalam
menyelesaikan suatu perkara.

Sebagai contoh ketika tahun 1995 MK Korea Selatan memutuskan dalam perkara
antara anggota oposisi Majelis Nasional terhadap Ketua Majelis Nasional bahwa anggota
oposisi Majelis Nasional tidak memenuhi syarat formil sebagai pemohon (salah satu
subjectum litis) karena MK Korea Selatan menafsirkan secara sempit ketentuan Pasal 62
ayat (1) UU MK Korea Selatan terkait subjectum litis, di mana secara tekstual yang dapat


menjadi pemohon dan termohon dalam SKLN hanya Majelis Nasional secara kelembagaan,
bukan masing-masing anggota. Namun, dalam perkara lain pada tahun 1997 MK Korea
Selatan melakukan pergeseran pemikiran melalui penafsiran ekstensif atas ketentuan Pasal
62 ayat (1) UU MK Korea Selatan dengan memberikan legal standing kepada anggota
Majelis Nasional sebagai pemohon atau termohon dalam SKLN. Dengan demikian, apabila
pergeseran paradigma penafsiran yang demikian juga terjadi dalam praktek penyelesaian
SKLN oleh MK RI, maka boleh jadi di kemudian hari perkara-perkara terkait SKLN dapat
meningkat secara kuantitas (Faiz & Chakim, 2020).

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Faiz, Pan Mohamad & Lutfi Chakim. 2020. Peradilan Konstitusi Perbandingan
Kelembagaan dan Kewenangan Konstitusional di Asia. Depok : PT RajaGrafindo
Persada.

Fajar, Abdul Mukhtie. 2006. Hukum Konstitusi dan Mahkamah Konstitusi. Jakarta :
Konstitusi Press.

Isra, Saldi. 2020. Lembaga Negara Konsep, Sejarah, Wewenang, dan Dinamika
Konstitusional. Depok : PT RajaGrafindo Persada.

Safa’at, Muchammad Ali, et al. 2011. Hukum Acara Mahkamah Konstitusi. Jakarta :
Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi RI.

Siahaan, Maruarar. 2012. Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Edisi
2. Jakarta : Penerbit Sinar Grafika.

Jurnal

Eddyono, Luthfi Widagdo, “Penyelesaian Sengketa Kewenangan Lembaga Negara


oleh Mahkamah Konstitusi”, Jurnal Konstitusi, No. 3 (2010), 1-47.


Maladi, Yanis, “Benturan Asas Nemo Judex Idoneus In Propia Causa dan Asas Ius Curia
Novit”, Jurnal Konstitusi, No. 2 (2010), 1-17.

Huda, Ni’matul, “Potensi Sengketa Kewenangan Lembaga Negara dan Penyelesaiannya


di Mahkamah Konstitusi”, JH Ius Quia Iustum, No. 2 (2017), 193-212.

Laman Daring

Feri Amsari. Hukum Online. Bisakan MK Memutus Sengketa Lembaga Negara yang
Terkait dengan Dirinya?. Diakses melalui Bisakah MK Memutus Sengketa Lembaga
Negara yang Terkait dengan Dirinya? - Klinik Hukumonline. Diakses pada 10
Novembr 2021, pukul 02.35 WIB.

MKRI. Putusan Mahkamah Konstitusi. Grafik SKLN. Diakses melalui Putusan |


Mahkamah Konstitusi RI (mkri.id). Diakses pada 10 November 2021, pukul 03.55
WIB.


-5-
Hukum Acara
Perselisihan Hasil Pemilihan Umum

a. Jenis Pemilu
Salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah menyelesaikan perkara
perselisihan hasil pemlihan umum, atau menyelesaikan sengketa mengenai hasil
pemilihan umum. Pemilihan umum tersebut merujuk pada semua jenis pemilihan
umum yang dikenal dalam sistem hukum ketatanegaraan di Indonesia.
Berikut ini jenis-jenis pemilihan umum di Indonesia serta pihak yang dapat
menjadi peserta/kontestan dalam Pemilu dimaksud.

Jenis Pemilu Peserta/Kontestan


Presiden-Wakil Presiden Pasangan Calon yang diajukan oleh partai
politik atau gabungan partai politik
Dewan Perwakilan Rakyat Calon Anggota DPR yang diajukan oleh
partai politik
Dewan Perwakilan Daerah Calon Anggota DPD perseorangan (non-
parpol)
DPRD Prov/Kabupaten/Kota Calon Anggota DPRD yang diajukan oleh
partai politik
Kepala Daerah Pasangan Calon yang diajukan oleh partai
politik atau gabungan partai politik; atau
Pasangan Calon Independen (non-parpol)

b. Penyelenggara Pemilu
Penyelenggara pemilu di Indonesia terdiri dari tiga lembaga negara, yaitu Komisi
Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), dan Dewan Kehormatan
Penyelenggara Pemilu (DKPP).


KPU bertugas melaksanakan seluruh tahapan/proses pemungutan suara sejak
penyusunan daftar pemilih hingga penetapan hasil pemilu. Bawaslu bertugas
mengawasi pelaksanaan pemilu, termasuk mengawasi ada atau tidaknya pelanggaran
administratif maupun pelanggaran pidana pemilu. Adapun DKPP bertugas mengawasi
etika komisioner KPU/KPUD maupun Bawaslu.

c. Tahapan Pemilu
Pelaksanaan Pemilu Presiden-Wakil Presiden, Pemilu DPR, Pemilu DPD, dan
Pemilu DPRD meliputi tahap-tahap yang pada pokoknya sebagai berikut:
1) Penyusunan Daftar Pemilih
2) Pendaftaran dan Penetapan Peserta Pemilu
3) Masa Kampanye
4) Masa Tenang
5) Pemungutan dan Penghitungan Suara
6) Penetapan Hasil Pemilu
7) Pengucapan Sumpah/Janji Pasangan Calon atau Calon Terpilih

Pelaksanaan Pemilu Kepala Daerah (Gubernur, Bupati, dan Walikota) meliputi


tahap-tahap yang pada pokoknya sebagai berikut:
1) Penyusunan Daftar Pemilih
2) Pendaftaran dan Penetapan Pasangan Calon Kepala Daerah
3) Masa Kampanye
4) Masa Tenang
5) Pemungutan dan Penghitungan Suara
6) Penetapan Pasangan Calon Terpilih
7) Pengusulan Pengesahan Pengangkatan Calon Terpilih
8) Pelantikan Calon Kepala Daerah Terpilih

d. Jenis Sengketa Pemilu


Sengketa yang terjadi dalam pemilihan umum dapat dibedakan menjadi dua
jenis, yaitu:
1) Sengketa Proses, yaitu sengketa yang terjadi ketika pemilu masih dalam tahap
pelaksanaan. Sengketa yang terjadi/timbul ketika pemilu sedang berproses
biasanya dipicu oleh adanya: a) pelanggaran pidana; b) pelanggaran administratif;
dan c) pelanggaran etika.
Pelanggaran pidana akan ditangani/diproses hukum oleh Sentra Penegakan Hukum
Terpadu (Sentra Gakkumdu) yang merupakan unit kerja gabungan antara Bawaslu,
Kepolisian, dan Kejaksaan. Selanjutnya pelanggaran pidana akan diadili oleh
peradilan umum yang berada di bawah Mahkamah Agung.
Pelanggaran administrasi pemilu, yaitu pelanggaran oleh KPU/KPUD dapat
ditangani/diselesaikan secara internal oleh KPU/KPUD atau ditangani/diselesaikan
oleh Bawaslu. Selanjutnya pelanggaran administratif akan diadili oleh Peradilan
Tata Usaha Negara.
Pelanggaran etika ditangani oleh semacam peradilan etika khusus bagi
penyelenggara pemilu. Peradilan etika ini dinamai sebagai DKPP.
2) Sengketa hasil, yaitu sengketa ketika proses pemilu sudah menghasilkan
rekapitulasi yang berisi peringkat pemerolehan suara.
Sengketa hasil pemilu akan ditangani/diadili oleh peradilan konstitusionalitas yang
bernama Mahkamah Konstitusi.

e. Sengketa Hasil Pemilu


Sengketa hasil pemilihan umum/pemilihan kepala daerah pada dasarnya adalah
perselisihan antara peserta pemilu dengan KPU/KPUD (selaku penyelenggara)
mengenai hasil rekapitulasi perolehan suara. Sengketa ini secara populer disebut
sebagai sengketa pemilu atau PHP (perselisihan hasil pemilihan).
Konsep awal sengketa PHP adalah sekadar sengketa penghitungan suara saja,
yang sangat teknis-matematis karena MK diposisikan hanya mengadili/mengoreksi
kesalahan penjumlahan atau pengurangan suara. Kemudian MK melalui berbagai


putusannya mengubah/memperluas konsep PHP dengan mengadili pula pelanggaran
pemilu/pilkada. Sehingga dalam perkara PHPU, MK tidak lagi hanya menghitung hasil
perolehan suara.

f. Obyek Perkara
Hal yang menjadi muasal perselisihan hasil pemilu adalah hasil resmi
rekapitulasi perolehan suara masing-masing peserta pemilu. Dengan demikian obyek
perkara PHPU adalah surat keputusan KPU/KPUD yang berisi penetapan hasil
rekapitulasi perolehan suara para peserta pemilu/pemilukada, beserta lampiran dan
berita acara terkait rekapitulasi hasil penghitungan suara dimaksud.
Terkait dengan obyek perkara tersebut, maka judul permohonan adalah
“Permohonan Pembatalan Surat Keputusan KPU/KPUD Nomor …. Tahun …. tentang
Penetapan KPU/KPUD Mengenai Hasil Rekapitulasi Penghitungan Suara Pemilu ….
Tahun ….”. Sehingga dapat dikatakan bahwa permohonan PHPU pada dasarnya adalah
permohonan pembatalan ketetapan KPU/KPUD mengenai hasil rekapitulasi
penghitungan suara dalam Pemilu.

g. Para Pihak dalam Perkara PHPU


Di dalam persidangan PHPU terdapat empat pihak berperkara. Keempatnya
adalah:
1) Pemohon
Pemohon adalah Pasangan Calon Peserta Pemilu (baik Pemilu Presiden, DPR,
DPD, DPRD, maupun Pilkada) yang merasa dirugikan oleh KPU/KPUD.
Khusus dalam perkara Pemilu Kepala Daerah, ketika Pilkada diikuti oleh pasangan
calon tunggal dan kemudian dimenangkan oleh pasangan calon tunggal tersebut,
maka Pemantau Pemilu dapat mengajukan diri sebagai Pemohon.
2) Termohon
KPU adalah Termohon dalam perkara PHPU Pres-Wapres, PHPU DPR, PHPU
DPD, dan PHPU DPRD Prov/Kab/Kota.


KPUD in casu KPU Provinsi adalah Termohon dalam perkara PHPU Gubernur-
Wakil Gubernur.
KPUD in casu KPU Kabupaten/Kota adalah Termohon dalam perkara PHPU
Bupati-Wakil Bupati dan PHPU Walikota-Wakil Walikota.
3) Pihak Terkait
Pihak Terkait dalam perkara PHPU Presiden-Wakil Presiden dan PHPU Kepala
Daerah adalah pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak atau menempati
peringkat pertama dalam hal perolehan suara.
Pihak Terkait dalam perkara PHPU Anggota DPR, DPD, dan DPRD adalah calon
anggota DPR, DPD, dan DPRD yang merasa dirugikan oleh permohonan
Pemohon.
4) Pemberi Keterangan (Bawaslu dan pihak lain)
Pemberi keterangan dalam perkara PHPU adalah Bawaslu dalam kedudukannya
sebagai pengawas pemilu, atau lembaga lain yang menurut Mahkamah mengetahui
permasalahan mengenai pemilu yang dimohonkan Pemohon.
Pemberi keterangan selain Bawaslu, antara lain, adalah Kepolisian RI dan
Kementerian Dalam Negeri sebagai lembaga yang ikut terlibat dalam pelaksanaan
pemilu.

h. Legal Standing Pemohon dan Termohon


Pemohon akan dinilai mempunyai kedudukan hukum (legal standing) dalam
perkara PHPU jika memenuhi syarat;
a) merupakan peserta/kontestan Pemilu, dan
b) Pemohon dalam perkara PHPU Presiden-Wakil Presiden adalah pasangan calon,
yaitu calon Presiden dan calon Wakil Presiden secara bersama-sama.
c) Pemohon dalam perkara PHPU Presiden-Wakil Presiden dan PHPU Kepala
Daerah adalah pasangan calon, yaitu calon kepala daerah dan calon wakil kepala
daerah secara bersama-sama.


d) Pemohon dalam perkara PHPU DPR dan DPRD harus memperoleh persetujuan
partai politik yang mengusungnya.
e) Pemantau Pemilu yang menjadi Pemohon dalam perkara PHPU Kepala Daerah
harus sudah terdaftar di KPU dan secara aktif menjalankan kegiatan pemantauan
pada daerah di mana Pemantau Pemilu menjadi Pemohon.

i. Alur Perkara dan Tahapan Persidangan


Alur penanganan perkara PHPU di Mahkamah Konstitusi meliputi tahap-tahap
sebagai berikut:
1) Pengajuan Permohonan
Pada tahap ini Pemohon mengajukan permohonan kepada Mahkamah Konstitusi
melalui Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi.
Dokumen yang diserahkan pada tahap ini adalah:
1. Surat Permohonan;
2. Surat Kuasa;
3. Fotokopi SK KPU/KPUD mengenai Penetapan Rekapitulasi;
4. Fotokopi identitas Pemohon dan Kuasa Hukum;
5. Alat Bukti;
2) Pemeriksaan Kelengkapan Permohonan
Kepaniteraan akan memeriksa syarat dan kelengkapan permohonan.
Pemohon diberi waktu untuk memperbaiki/melengkapi permohonan.
Permohonan yang telah lengkap akan diregistrasi oleh Kepaniteraan.
3) Registrasi Permohonan
Tahap registrasi adalah tahap ketika permohonan diberi nomor perkara dan
kemudian siap untuk diperiksa dalam persidangan.
4) Sidang Pendahuluan
Sidang pertama disebut sebagai Sidang Pendahuluan.
Agenda utama Sidang Pendahuluan adalah memeriksa permohonan Pemohon.


Termohon (KPU/KPUD) dan Bawaslu hadir dalam kapasitas sebagai
penyelenggara pemilu/pemilukada untuk mendengarkan permohonan Pemohon.
Calon Pihak Terkait hadir (namun statusnya belum dinyatakan sebagai Pihak
Terkait).
Perbaikan permohonan juga dapat dilakukan dalam Sidang Pertama tetapi hanya
perbaikan minor saja yang meliputi kesalahan ketik, perbaikan nama, dan beberapa
hal lain yang tidak berpengaruh pada substansi permohonan.
Dalam perkara PHPU Anggota DPR, DPD, dan DPRD, serta PHPU Kepala
Daerah, Sidang Pendahuluan dilaksanakan oleh Majelis Panel yang terdiri dari 3
orang hakim.
Dalam perkara PHPU Presiden-Wakil Presiden, Sidang Pendahuluan dilaksanakan
oleh Majelis Pleno yang terdiri dari sekurang-kurangnya 7 orang hakim.
5) Sidang Pemeriksaan
Sidang Pemeriksaan dapat dilaksanakan sekali, dua kali, atau lebih, tergantung
kebutuhan Mahkamah.
Agenda Sidang Pemeriksaan adalah memeriksa Jawaban Termohon, Keterangan
Bawaslu (RI/daerah), Keterangan Pihak Terkait, pengesahan alat bukti masing-
masing pihak, serta pembuktian.
Dalam perkara PHPU Anggota DPR, DPD, dan DPRD, serta PHPU Kepala
Daerah, Sidang Pemeriksaan dilaksanakan oleh Majelis Panel yang terdiri dari 3
orang hakim.
Dalam perkara PHPU Presiden-Wakil Presiden, Sidang Pemeriksaan dilaksanakan
oleh Majelis Pleno yang terdiri dari sekurang-kurangnya 7 orang hakim.
6) Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH)
RPH adalah forum musyawarah hakim untuk mengambil keputusan atas suatu
perkara.
Semua perkara PHPU dibahas dalam RPH yang diikuti oleh sekurang-kurangnya 7
orang hakim.
7) Sidang Pengucapan Putusan


Sidang ini merupakan sidang pleno terbuka untuk umum, yang dilaksanakan oleh
sekurang-kurangnya 7 orang hakim dengan agenda mengucapkan/membacakan
putusan Mahkamah Konstitusi.

j. Alat Bukti Perkara PHPU


Terdapat enam jenis atau kategori alat bukti yang dapat diajukan dalam perkara
PHPU. Jenis alat bukti tersebut adalah:
1) Surat/tulisan
2) Keterangan saksi
3) Keterangan ahli
4) Keterangan para pihak berperkara
5) Petunjuk
6) Alat bukti elektronik

k. Putusan
Mahkamah Konstitusi dalam perkara PHPU mempunyai dua jenis putusan, yaitu
Putusan Sela dan Putuan Akhir. Secara ringkas, berikut ini perbedaan antara kedua
jenis putusan tersebut.
1) Putusan sela
Putusan sela berisi perintah agar KPU/KPUD melakukan sesuatu atau tidak
melakukan sesuatu terkait dengan Pemilu yang sedang berjalan. Setelah
KPU/KPUD melaksanakan perintah Putusan Sela lalu Mahkamah Konstitusi akan
melanjutkan pemeriksaan perkara PHPU.
2) Putusan akhir
Putusan akhir merupakan putusan yang mengakhiri perkara PHPU. Setelah tahap
Putusan Akhir maka tidak ada lagi pemeriksaan atas perkara tersebut. Adapun
jenis amar Putusan akhir adalah:
a) Permohonan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard).
b) Permohonan dikabulkan.


c) Permohonan ditolak.

***


-6-
Hukum Acara
Pembubaran Partai Politik

Salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah memutus permohonan


pembubaran partai politik. Partai politik yang dimaksud di sini meliputi partai politik
nasional maupun partai politik lokal.

l. Jenis Partai Politik


Berdasarkan wilayah hukum atau yurisdiksi-nya, partai politik di Indonesia
seperti telah disebutkan di atas dibagi menjadi dua jenis/kategori, yaitu partai politik
nasional dan partai politik lokal.
Partai politik nasional merupakan partai politik yang keberadaannya bersifat
nasional atau berada di seluruh wilayah negara Republik Indonesia. Partai politik
nasional diatur selama ini diatur secara khusus dalam Undang-Undang Partai Politik.
Adapun partai politik lokal adalah partai politik yang keberadaannya bersifat
lokal atau hanya beraktivitas secara terbatas dalam wilayah provinsi tertentu. Partai
politik lokal tidak diatur dalam suatu undang-undang khusus, melainkan pengaturannya
tersebar dalam beberapa peraturan perundang-undangan.
UUD 1945 mengamanatkan kepada MK suatu kewenangan untuk
memutus/mengadili permohonan pembubaran partai politik. Kewenangan ini dalam
konteks Hukum Acara Mahkamah Konstitusi biasanya disebut sebagai kewenangan
mengadili perkara pembubaran partai politik.


m. Obyek Perkara
Hal yang menjadi obyek dari perkara pembubaran partai politik adalah
keberadaan atau legalitas suatu partai politik, khususnya terkait dengan ideologi, asas,
tujuan, program, serta kegiatan dan akibat kegiatan suatu partai politik.

n. Para Pihak dalam Perkara Pembubaran Partai Politik


Dalam Perkara Pembubaran Partai Politik terdapat dua pihak yang berhadap-
hadapan, yaitu:
1) Pemohon
Bertindak sebagai Pemohon dalam perkara ini adalah Pemerintah/Presiden yang
dapat diwakili oleh Jaksa Agung dan/atau Menteri yang ditugasi oleh Presiden.
2) Termohon
Adapun Termohon adalah Partai Politik (baik parpol nasional maupun parpol
lokal) yang dimohonkan untuk dibubarkan. Termohon diwakili oleh pimpinan
partai politik tersebut, yang selanjutnya dapat diwakilkan kepada kuasa hukum.

o. Permohonan Pembubaran Parpol


Surat/dokumen permohonan pembubaran parpol yang diajukan oleh Pemerintah
sekurang-kurangnya memuat tiga hal sebagai berikut:
1) Identitas lengkap Pemohon dan kuasanya (jika ada kuasa hukum). Dalam hal
Pemohon menggunakan jasa kuasa hukum maka surat permohonan harus
dilengkapi dengan surat kuasa khusus;
2) Uraian jelas tentang ideologi, asas, tujuan, program dan kegiatan partai politik
yang dimohonkan pembubaran, disertai penjelasan mengapa dianggap
bertentangan dengan UUD 1945; dan
3) Alat-alat bukti yang mendukung permohonan.

p. Alur Perkara dan Tahapan Persidangan


Alur penanganan perkara pembubaran partai politik meliputi tahap-tahap sebagai
berikut:


1) Pengajuan Permohonan
Pada tahap ini Pemerintah selaku Pemohon mengajukan permohonan pembubaran
partai politik kepada Mahkamah Konstitusi melalui Kepaniteraan Mahkamah
Konstitusi.
2) Pemeriksaan Kelengkapan Permohonan
Kepaniteraan akan memeriksa syarat dan kelengkapan permohonan.
Pemohon diberi waktu 7 hari kerja untuk memperbaiki/melengkapi permohonan.
Permohonan yang telah lengkap akan diregistrasi oleh Kepaniteraan.
3) Registrasi Permohonan
Tahap registrasi adalah tahap ketika permohonan diberi nomor perkara dan
kemudian siap untuk diperiksa dalam persidangan.
4) Sidang Pendahuluan
Sidang Pendahuluan adalah sidang yang pertama.
Agenda utama Sidang Pendahuluan adalah memeriksa materi dan kelengkapan
permohonan Pemohon.
Pemohon diberi kesempatan 7 hari untuk memperbaiki dan/atau melengkapi
permohonan.
Sidang Pendahuluan dilaksanakan secara terbuka untuk umum dengan dihadiri
oleh sekurang-kurangnya 7 orang hakim.
5) Sidang Pemeriksaan
Sidang Pemeriksaan dapat dilaksanakan sekali, dua kali, atau lebih, tergantung
kebutuhan Mahkamah.
Agenda Sidang Pemeriksaan adalah memeriksa Jawaban Termohon in casu partai
politik yang dimohonkan untuk dibubarkan, pengesahan alat bukti yang diajukan
para pihak, serta pembuktian.
Sidang Pemeriksaan dilaksanakan terbuka untuk umum dengan dihadiri oleh
sekurang-kurangnya 7 orang hakim.
6) Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH)


RPH adalah forum musyawarah hakim untuk mengambil keputusan atas suatu
perkara.
Perkara pembubaran partai politik dibahas dalam forum RPH yang diikuti oleh
sekurang-kurangnya 7 orang hakim.
7) Sidang Pengucapan Putusan
Sidang ini merupakan sidang pleno terbuka untuk umum, yang dilaksanakan oleh
sekurang-kurangnya 7 orang hakim dengan agenda mengucapkan/membacakan
putusan Mahkamah Konstitusi.
Perkara pembubaran partai politik harus sudah diputus oleh Mahkamah Konstitusi
dalam jangka waktu 60 (enam puluh) hari kerja setelah permohonan diregistrasi
(dicatat dalam buku registrasi).

q. Alat Bukti Perkara Pembubaran Partai Politik


Alat bukti dalam perkara Pembubaran Partai Politik terdiri dari:
1) Surat/tulisan;
2) Keterangan saksi;
3) Keterangan ahli;
4) Keterangan para pihak berperkara;
5) Petunjuk; dan/atau
6) Alat bukti lainnya.

r. Putusan
Jenis amar Putusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara pembubaran partai
politik adalah:
1) Permohonan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard).
Amar ini dipergunakan MK apabila permohonan tidak memenuhi syarat pengajuan
permohonan.
2) Permohonan dikabulkan.


Amar ini dipergunakan apabila permohonan Pemohon beralasan atau terbukti
menurut hukum.
3) Permohonan ditolak.
Amar ini dipilih Mahkamah Konstitusi ketika permohonan Pemohon, setelah
diperiksa, ternyata tidak beralasan atau tidak terbukti menurut hukum.

Lebih lanjut, dalam hal suatu permohonan dikabulkan maka amar putusan
selengkapnya menyatakan hal-hal berikut:
1) mengabulkan permohonan pemohon;
2) menyatakan membubarkan dan membatalkan status badan hukum partai politik
yang dimohonkan pembubaran;
3) memerintahkan kepada Pemerintah untuk:
a. menghapuskan partai politik yang dibubarkan dari daftar pada Pemerintah
paling lambat dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja sejak putusan
Mahkamah diterima;
b. mengumumkan putusan Mahkamah dalam Berita Negara Republik Indonesia
paling lambat 14 (empat belas) hari sejak putusan diterima.

s. Konsekuensi Putusan MK bagi Parpol


Putusan Mahkamah Konstitusi yang membubarkan partai politik tertentu
membawa konsekuensi ikutan bagi partai politik tersebut. Artinya, selain partai politik
tersebut dibatalkan status badan hukumnya (dengan cara menghapus nama partai
politik tersebut dari daftar Pemerintah) sebagaimana perintah amar putusan, secara
serta-merta diikuti beberapa akibat hukum meskipun tidak disebutkan dalam amar
putusan. Akibat hukum ikutan tersebut adalah:
1) partai politik dimaksud dilarang hidup dan menggunakan simbol-simbol partai di
seluruh Indonesia;
2) pemberhentian seluruh anggota DPR dan DPRD yang berasal dari partai politik
yang dibubarkan;


3) mantan pengurus partai politik yang dibubarkan dilarang melakukan kegiatan
politik; dan
4) negara mengambil alih kekayaan partai politik yang dibubarkan.

***


-7-
Hukum Acara
Memutus Pendapat DPR Mengenai
Pelanggaran Hukum Presiden dan/atau Wakil Presiden

Kewenangan kelima yang diamanatkan UUD 1945 kepada MK adalah kewenangan


memutus pendapat DPR mengenai pelanggaran hukum presiden dan/atau wakil presiden.
Kewenangan ini biasanya disebut secara ringkas sebagai kewenangan meng-impeachment
(memakzulkan) Presiden. Penyebutan demikian, meskipun populer, namun tidak tepat
karena sebenarnya MK tidak benar-benar memberhentikan Presiden dan/atau Wapres. MK
sebagai peradilan konstitusional “hanya” diberi tugas untuk mengadili dalam arti menilai
terbukti atau tidaknya pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wapres diduga melanggar
hukum terutama melanggar UUD 1945.
Mahkamah Konstitusi dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 21 Tahun 2009
tentang Pedoman Beracara Dalam Memutus Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat Mengenai
Dugaan Pelanggaran Oleh Presiden Dan/Atau Wakil Presiden (PMK 21/2009) menyebut
kewenangan ini sebagai kewenangan “memutus Pendapat DPR”.
Terkait hasil pemeriksaan persidangan, seandainya Mahkamah Konstitusi dalam
putusannya menyatakan bahwa pendapat DPR terbukti benar, hal demikian tidak langsung
diikuti dengan amar putusan memberhentikan Presiden dan/atau Wapres, melainkan
Putusan MK akan diajukan oleh DPR kepada MPR sebagai bagian dari usulan/permintaan
pemberhentian Presiden dan/atau Wapres. Hal inilah yang menjadi salah satu karakteristik
pembeda kewenangan memutus perkara “impeachment” dibandingkan kewenangan lain
Mahkamah Konstitusi.

t. Obyek Perkara


Obyek perkara atau obyek hukum yang akan diperiksa dan diadili Mahkamah
Konstitusi adalah pendapat DPR, yang berisi dugaan pelanggaran oleh Presiden
dan/atau Wakil Presiden menurut UUD 1945.

u. Para Pihak dalam Perkara Impeachment


Di dalam persidangan perkara “impeachment” terdapat dua pihak berperkara,
yaitu:
1) Pemohon
Pemohon adalam perkara ini, atau pihak yang mengajukan pendapat (dugaan),
adalah DPR yang diwakili oleh pimpinan DPR. Pimpinan DPR boleh menunjuk
kuasa hukum untuk mendampingi dan/atau mewakili Pemohon.
2) Termohon/Terduga
Pihak yang menjadi Termohon/Terduga dalam perkara ini adalah Presiden
dan/atau Wakil Presiden. Termohon/Terduga dapat didampingi dan/atau diwakili
oleh kuasa hukumnya.

v. Legal Standing Pemohon dan Termohon/Terduga


Meskipun identitas DPR sebagai Pemohon, dan Presiden dan/atau Wapres
sebagai Termohon sudah sangat jelas dan kecil kemungkinan terjadi kesalahan
identifikasi oleh Mahkamah Konstitusi, namun para pihak tetap harus menjelaskan
identitas serta kedudukan hukumnya.
Pemohon in casu DPR tentu saja harus menjelaskan kedudukan hukumnya
sebagai lembaga perwakilan rakyat. Sementara orang yang hadir sebagai
Termohon/Terduga harus menjelaskan bahwa dirinya adalah Presiden dan/atau Wapres
yang sah dan sedang menjabat.

w. Alur Perkara dan Tahapan Persidangan


Alur penanganan perkara “impeachment” di Mahkamah Konstitusi meliputi
tahap-tahap sebagai berikut:
1) Pengajuan Permohonan


Pada tahap ini Pemohon (DPR) mengajukan permohonan kepada Mahkamah
Konstitusi melalui Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi.
Dalam permohonannya DPR wajib menguraikan dengan jelas mengenai dugaan:
a) Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa
pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat
lainnya, atau perbuatan tercela;
b) Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai
Presiden dan/atau Wakil Presiden berdasarkan UUD 1945;
Selanjutnya permohonan tersebut diajukan kepada Mahkamah Konstitusi dengan
disertai beberapa kelengkapan berikut ini.
a) risalah dan/atau berita acara proses pengambilan keputusan DPR bahwa
Pendapat DPR didukung oleh sekurang-kurangnya 2/3 (dua per tiga) dari
jumlah anggota DPR yang hadir dalam Sidang Paripurna yang dihadiri oleh
sekurang-kurangnya 2/3 (dua per tiga) dari jumlah anggota DPR;
b) dokumen hasil pelaksanaan fungsi pengawasan oleh DPR yang berkaitan
langsung dengan materi permohonan;
c) risalah dan/atau berita acara rapat DPR;
d) alat-alat bukti mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil
Presiden yang menjadi dasar Pendapat DPR.
2) Pemeriksaan Kelengkapan Permohonan
Kepaniteraan akan memeriksa syarat dan kelengkapan permohonan.
Pemohon diberi waktu untuk memperbaiki/melengkapi permohonan dalam waktu
3 hari kerja.
Permohonan yang telah lengkap akan diregistrasi oleh Kepaniteraan.
3) Registrasi Permohonan
Tahap registrasi adalah tahap ketika permohonan diberi nomor perkara dan
kemudian siap untuk diperiksa dalam persidangan.


Ketika permohonan sudah diregistrasi, Panitera Mahkamah Konstitusi
mengirimkan salinan permohonan kepada Presiden dan/atau Wapres bersangkutan
disertai permintaan tanggapan tertulis yang sudah harus diterima Mahkamah
Konstitusi sehari sebelum sidang pertama.
4) Persidangan
Sidang perkara impeachment selalu dilakukan secara pleno, yaitu dilakukan oleh
sekurang-kurangnya 7 orang hakim.
Sidang bersifat terbuka untuk umum.
Persidangan perkara ini ditentukan oleh Mahkamah Konstitusi sebanyak 6 tahap
persidangan, yaitu:
a. Sidang Pemeriksaan Pendahuluan
Dalam Sidang Tahap I (Sidang Pemeriksaan Pendahuluan), Mahkamah
Konstitusi memeriksa kejelasan materi dan kelengkapan permohonan.
Terkait dengan hal demikian Pemohon dan/atau kuasa hukumnya wajib hadir
dalam sidang pertama ini.
Jika terdapat ketidakjelasan materi atau kekuranglengkapan, Pemohon diberi
kesempatan untuk memperbaiki dan/atau melengkapi saat itu juga di dalam
persidangan.
Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagai Termohon/Terduga mempunyai
hak untuk hadir dalam sidang pemeriksaan pendahuluan ini dan berhak
mengajukan pertanyaan untuk memperoleh kejelasan terkait materi
permohonan.
b. Tanggapan oleh Presiden dan/atau Wapres
Dalam Sidang Tahap II, Mahkamah Konstitusi memberikan kesempatan
kepada Presiden dan/atau Wapres untuk menyampaikan tanggapan secara
tertulis dan lisan atas permohonan yang diajukan DPR. Tanggapan tersebut
dapat berupa tanggapan mengenai: a) sah atau tidaknya proses pengambilan
keputusan Pendapat DPR; b) materi/isi Pendapat DPR; serta c) perolehan
alat-alat bukti tulis yang diajukan DPR kepada Mahkamah Konstitusi.


Presiden dan/atau Wapres sebagai Termohon/Terduga dapat diwakili oleh
kuasa hukumnya.
c. Pembuktian oleh DPR
Sidang Tahap III merupakan sidang dengan agenda pembuktian oleh
Pemohon in casu DPR. Pemohon diwajibkan membuktikan kebenaran dalil-
dalil atau isi permohonannya.
Termohon/Terduga mempunyai hak untuk mengajukan pertanyaan dan
meneliti alat-alat bukti yang diajukan Pemohon.
Sidang Tahap III dengan agenda pembuktian ini dapat dilaksanakan lebih
dari satu kali sidang.
d. Pembuktian oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden
Setelah pembuktian oleh Pemohon, selanjutnya Sidang Tahap IV merupakan
sidang pembuktian bantahan Termohon/Terduga.
Agenda utama sidang ini adalah memberikan kesempatan kepada Termohon
untuk membuktikan kesalahan permohonan, atau membuktikan kebenaran
bantahan Termohon atas permohonan.
Pemohon mempunyai hak untuk mengajukan pertanyaan, meminta
penjelasan, dan meneliti alat bukti yang diajukan Pemohon.
e. Kesimpulan
Sidang Tahap V merupakan sidang penyerahan atau penyampaian
kesimpulan. Artinya, kesimpulan para pihak harus diserahkan/disampaikan
dalam persidangan baik secara tertulis maupun lisan.
Kedua pihak berperkara, baik DPR maupun Presiden dan/atau Wakil
Presiden, diberi hak yang sama untuk menyusun kesimpulan terkait perkara
yang telah selesai diperiksa.
Kesimpulan masing-masing pihak harus disampaikan kepada Mahkamah
Konstitusi dalam jangka waktu paling lama 14 hari setelah berakhirnya
Sidang Tahap IV.


Setelah pemeriksaan perkara dianggap cukup/selesai, Mahkamah Konstitusi
menyelenggarakan sidang tertutup berupa Rapat Permusyawaratan Hakim
untuk mengambil putusan atas perkara dimaksud.
f. Pengucapan Putusan
Agenda satu-satunya Sidang Tahap VI adalah pengucapan Putusan
Mahkamah Konstitusi. Putusan atas perkara ini harus sudah diambil dalam
jangka waktu paling lambat 90 hari sejak permohonan diregistrasi.
Sidang pengucapan putusan sebagaimana sidang pada semua tahapan adalah
sidang pleno (oleh sekurang-kurangnya 7 hakim) yang terbuka untuk umum.
Meskipun dinyatakan terdapat 6 tahap persidangan namun bukan berarti
sidang hanya dilakukan sebanyak 6 kali sidang. Sidang pada masing-masing tahap,
terutama tahap pembuktian, dapat dilakukan lebih dari satu kali sidang. Hal
demikian tergantung pada kebutuhan Mahkamah Konstitusi ketika mendalami
materi perkara.

x. Alat Bukti
Alat bukti yang dapat diajukan dalam perkara “impeachment” terdiri dari:
1) Surat/tulisan;
2) Keterangan saksi;
3) Keterangan ahli;
4) Petunjuk; dan/atau
5) Alat bukti lain.

y. Penghentian Proses Persidangan


Proses persidangan perkara dihentikan oleh Mahkamah Konstitusi apabila
Termohon in casu Presiden dan/atau Wakil Presiden mengundurkan diri dari
jabatannya. Setelah pemeriksaan dihentikan selanjutnya Mahkamah Konstitusi melalui
putusannya akan menyatakan permohonan gugur.

z. Putusan


Amar putusan perkara “impeachment” sedikit berbeda karakteristiknya dengan
amar putusan pada kewenangan Mahkamah Konstitusi yang lain. Hal demikian karena
dalam perkara impeachment tugas Mahkamah Konstitusi adalah memeriksa kebenaran
dari suatu dugaan DPR. Berikut ini tiga jenis amar putusan perkara “impeachment”,
yaitu:
d) Permohonan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard).
Amar ini diterapkan oleh Mahkamah Konstitusi manakala permohonan yang
diajukan DPR tidak memenuhi syarat pengajuan permohonan yang diatur dalam
UU MK maupun Peraturan Mahkamah Konstitusi.
e) Membenarkan Pendapat DPR.
Amar “membenarkan pendapat DPR” diterapkan oleh Mahkamah Konstitusi
manakala Mahkamah menilai bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti
melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi,
penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau terbukti
tidak memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.
f) Permohonan ditolak.
Mahkamah Konstitusi menyatakan permohonan ditolak ketika permohonan DPR
telah diperiksa dan ternyata tidak terbukti kebenarannya.

Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai Pendapat DPR wajib disampaikan


kepada DPR dan Presiden dan/atau Wakil Presiden. Putusan tersebut bersifat final dan
mengikat bagi DPR selaku pihak yang mengajukan permohonan.

***

Anda mungkin juga menyukai