Anda di halaman 1dari 3

Nama : Yordan Christian Siahaan

NIM : E1041191049
Mata Kuliah : Sosiologi Pendidikan (UTS)
Review “Mendidikan Manusia(wi)”
Pembelajaran yang berkualitas tidak harus di dalam kelas. Semua juga bisa berperan
sebagai guru dan sebagai murid. Tidak pandang usia, profesi, maupun jabatan. Siapa saja
adalah guru, siapa saja adalah peserta didik dan dimana saja adalah kelas. Tanggung jawab
mendidik tidak hanya dilakukan oleh seorang guru tetapi bisa orang tua, orang terdekat
ataupun orang sekitar kitar kita. Maka dari itu, kita harus memperhatikan dengan benar,
bagaimana anak itu tumbuh dan bersosialisasi. Keluarga adalah utama, tetapi lingkungan
sekitar juga sangat mempengaruhi karakter anak. Karena anak adalah peniru yang hebat.
Orang tua harus menjadi teladan yang baik untuk anak kita. Begitupun dengan tenaga
pendidik juga harus memberi contoh yang baik untuk anak didiknya. Seperti peribahasa Guru
kencing berdiri, murid kencing berlari. Jadi, apa yang kita lakukan itu merupakan
pembelajaran untuk anak didik. Tidak hanya di rumah dan di sekolah, orang-orang yang ada
di lingkungan sekitar pun bisa menjadi guru bagi anak didik.
Seiring dengan kebijakan pemerintah yang menggalakkan Merdeka Belajar, di mana
peserta didik diberikan kesempatan belajar secara bebas dan nyaman, gembira tanpa stres dan
tekanan dengan memperhatikan bakat alami  dan potensi yang mereka miliki. Maka konsep
‘semua adalah guru’ menjadi sangat relevan. Zaman modern ini terdapat banyak polemik
mengenai pendidikan nasional. Salah satu aspek yang kerap dikambinghitamkan adalah
masalah sistem pendidikan nasional. Namun sebelum jauh-jauh membahas sistem pendidikan
yang canggih atau berbicara tentang kurikulum luar negeri, menurut saya kesadaran akan
peran-peran kita terhadap pendidikan nasional tidak kalah penting. Karena menurut saya,
bangsa yang mendikotomikan peran mendidik generasi penerusnya hanya pada sebuah
lembaga sekolah merupakan bangsa yang sedang menggali kuburannya sendiri. Tapi ternyata,
hampir 100 tahun yang lalu telah ditelurkan sebuah gagasan bahwa aku, kamu, dan kita
memiliki peran yang sangat penting dalam mendidik generasi bangsa. Gagasan tersebut yang
kelak kita kenal dengan Tri Pusat Pendidikan yang dilakonkan pada Taman Siswa beserta
gagasan-gagasan revolusioner lainnya.
Perjuangan Ki Hajar Dewantara di bidang pendidikan berada pada tahun-tahun
kolonialisme oleh Belanda. Pada masa kolonialisme itu, sekolah-sekolah banyak didirikan di
seantero bangsa namun berdasarkan kepentingan Belanda dan politik Etis. Sekolah Belanda
didirikan untuk memuaskan bangsa Indonesia supaya seakan-akan Belanda peduli dengan
nasib pendidikan rakyat Indonesia. Nyatanya, sekolah tersebut bertujuan untuk mencetak
calon-calon buruh pabrik yang berkualitas. Kurikulum dan sistem pendidikan barat
diterapkan di sekolah-sekolah yang tidak sesuai dengan kodrat alam anak-anak Indonesia.
Murid-murid dikekang untuk berekspresi, dihukum bila melanggar peraturan-peraturan yang
ditetapkan oleh Belanda. Dibuat patuh dan tidak banyak bertanya supaya kelak menjadi
pekerja yang baik untuk Belanda. Menurut Ki Hajar, sistem sekolah ini malah jauh dari ruh
pendidikan itu sendiri.
“Pendidikan dalam pandanganku adalah ikhtiar untuk mengajar manusia menjadi pribadi
yang mandiri. Tidak bergantung kepada orang lain, baik secara lahir maupun batin.”
- Ki Hajar Dewantara.
Filosofi pendidikan Ki Hajar Dewantara cukup luas dan merupakan sebuah sistem
integralistik yang diterapkan pada Taman siswa. Tujuan pendidikan menurut Ki Hajar ini
adalah bagaimana pendidikan dapat memerdekakan dan memandirikan rakyat Indonesia
dengan pengajaran dan pendidikan akhlak, budi pekerti, dan pengetahuan yang sesuai dengan
kodratnya sebagai rakyat Indonesia. Selain itu terdapat sebuah filosofi yang cukup terkenal
yaitu Tri Pusat Pendidikan. Tri Pusat Pendidikan ini merupakan sebuah sistem pendidikan
yang melibatkan alam keluarga, alam perguruan, dan alam masyarakat untuk membentuk
manusia-manusia unggul, berbudi, dan cerdas secara lahir dan batin. Dari filosofi Ki Hajar
tersebut, terdapat sebuah penekanan bahwa pendidikan merupakan sebuah sistem yang
membagikan peran yang sama pada semua orang. Bahwa sistem pendidikan nasional
merupakan sebuah usaha gotong royong bagi semua rakyat Indonesia. Hal ini yang masih
kurang pada sistem sekolah saat ini yaitu terdapat seakan-akan satu-satunya peran mendidik
generasi bangsa ada pada institusi pendidikan. Tidak jarang kita temui orangtua menitipkan
anaknya pada sekolah yang tidak ia ketahui apa yang anaknya pelajari di dalamnya. Dan
banyak sistem sekolah yang gagal menitipkan ilmu dan menyediakan kesempatan bagi anak
muridnya untuk belajar dan menerapkan ilmunya pada masyarakat. Yang perlu kita sadari
bahwa agenda pendidikan nasional ini merupakan agenda kita juga. Peran mencerdaskan
kehidupan bangsa ini merupakan peran kita juga. Bahwa anak-anak tak terdidik, kaum buta
aksara, dan rakyat kita yang terjebak dalam lingkaran kebodohan merupakan tanggung jawab
kita bersama. Maka jadi apapun aku, kamu, dan kita jadilah guru, jadilah pendidik, jadilah
orangtua, kakak, dan pengasuh yang mendidik, membagikan, mengajarkan, dan menemani
saudara-saudara kita. Bahwa kewajiban setiap orang terdidik adalah mendidik.
Sekolah telah menjelma menjadi destinasi wajib bagi setiap anak yang berdiri di atas
bumi, meskipun tidak semuanya mendapatkan keberuntungan untuk terus melanjutkannya
hingga ke tingkat tertinggi. Di pundak sekolah, terpikul pelbagai harapan tentang
pengetahuan; masa depan; kebahagiaan; kesuksesan; hingga kesantunan. Dengan pelbagai
beban berat tersebut, mampukah sekolah mewujudkannya? Paling tidak, sudahkah sekolah
memiliki modal awal untuk mewujudkan harapan-harapan tersebut? Meminjam istilah yang
digunakan oleh Ki Hadjar Dewantara bahwa sekolah diibaratkan sebagai sebuah taman, maka
modal awal yang sudah seyogianya dimiliki oleh sekolah adalah suasana yang menyenangkan
dan membuat nyaman seperti taman.  Oleh sebab itu, syarat utama sekolah menurut Ki
Hadjar Dewantara adalah harus menyenangkan, minimal sekolah menjadi satu di antara
tempat yang selalu dirindukan oleh siswanya, bukan menjadi tempat yang membuat siswanya
merasa terpenjara. Satu hal yang perlu ditegaskan dari sebuah kritikan adalah kritik dilakukan
bukan atas dasar kebencian, tetapi atas dasar kepedulian. Kritik bisa terjadi karena masih ada
orang-orang yang peduli. Hanya orang-orang yang peduli yang rela meluangkan waktu,
pikiran, dan tenaganya untuk merenungi sistem pendidikan bangsanya.
Membatasi anak dari dunianya dengan hanya menyuruh mereka untuk membaca
materi, mengerjakan tugas, menghafalkan rumus, dan sejenisnya adalah ‘pembunuhan’ secara
akademis. Bukankah seorang pendidik itu membimbing? Lalu mengapa pendidik merampas
dunia anak didiknya serta menghancurkannya hingga berkeping-keping? Bukankah seorang
pendidik itu menuntun? Lalu mengapa pendidik memaksa anak didiknya mengerjakan
pekerjaan rumah hingga berduyun-duyun? Seorang pendidik sudah sepatutnya mengolah
materi dan tugas untuk anak-anak dengan cara-cara yang kreatif dan inovatif, sehingga anak-
anak tetap tidak kehilangan dunianya meskipun sedang berada di dalam kelas. 

Anda mungkin juga menyukai