Anda di halaman 1dari 2

CATATAN SM 10/108

PEMBARUAN PENDIDIKAN MUHAMMADIYAH

Berfikir melampaui zamannya dan kemudian lahir sebagai perintis sekaligus pelopor
sekolah modern di Indonesia, itulah yang dilakukan oleh KH Dahlan pendiri
Muhammadiyah. Atas dasar kemajuan itu, di awal ia dicap sebagai “orang asing,” orang yang
tidak pada umumnya, orang yang menerobos batas-batas.
Inilah Islam yang “asing” itu. “Islam muncul dalam keadaan asing dan akan kembali dalam
keadaan asing, maka beruntunglah orang-orang yang asing” (HR Muslim). “Asing” pada
hadits ini dimaknai oleh Prof Munir Mulkhan dengan berfikir dan berbuat melampaui
zamannya. Sangat progresif dan selalu berorientasi ke masa depan. Karena pikiran dan cara
berfikir Kiai Dahlan teramat maju, maka masyarakat saat itu belum mampu menerima jalan
pikiran hebat tersebut. Sekolah yang menggabungkan konsep tradisional dan konsep barat
ini dianggap sesat bahkan dicap kafir saat itu. Tapi lihat, saat ini di Indonesia model
pendidikan ala Kiai Dahlan inilah yang dipakai. Dalam kamus Persyarikatan, apa yang
dilakukan oleh Kiai Dahlan inilah yang disebut dengan tajdid atau pembaruan.
Semangat pembaruan ini yang mestinya ditangkap oleh generasi penerus untuk terus
melahirkan terobosan-terobosan baru yang kreatif, inovatif, dan futuristik. Bukan
sebaliknya hanya pasif menerima warisan Kiai Dahlan tanpa kemudian melibatkan spirit
tajdid. Jika demikian yang terjadi, itu artinya sekolah-sekolah Muhammadiyah mengalami
stagnasi, diam di tempat, seolah sudah mengamalkan konsep pendidikan paling kekinian,
tapi sebenarnya hanya sebatas menjalankan tradisi warisan Kiai Dahlan.
Apakah warisan tersebut sudah using ? Apakah sekolah Muhammadiyah yang di dalamnya
ada ilmu agama dan ilmu pengetahuan umum sudah tidak relevan ? Apakah belajar dengan
duduk di kursi bukan lagi suatu kemajuan ? Problemnya bukan itu. Tapi bagaimana lembaga
pendidikan Muhammadiyah mampu menjawab tantangan zaman dan bahkan berfikir dan
berbuat melampaui zamannya.
Misalnya, karena sekarang eranya digital (era 4.0) maka sudah semestinya digitalisasi sistem
pendidikan sudah dilakukan. Seperti pembelajaran online, aplikasi pendukung siswa belajar
mandiri, sekolah konten kreator, ruang kelas diubah menjadi studio-studio podcast, dan lain
seterusnya. Intinya, sekolah Muhammadiyah didesain sebagai wadah pembinaan generasi
penerus untuk memenangkan masa depan, minimal mampu beradaptasi dengan zaman.
Tantangan dan problem zaman yang semakin kompleks, tentu menuntut Muhammadiyah
untuk lebih banyak memiliki wajah dan ragam karakter lembaga pendidikan. Tidak melulu
tentang tahfizd. Memang masyarakat antusias untuk itu, tapi mestinya juga lahir sekolah-
sekolah Muhammadiyah dengan corak dan spesialisasi yang berbeda dan beragam. Misalnya
Trensains (Pesantren Sains) yang dipelopori oleh Prof Agus Purwanto. Sekolah berasrama ini
memfokuskan peserta didik pada pelajaran sains atau ilmu pengeta-huan alam dan Al-
Qur’an sebagai rujukannya. Siswa Trensains dididik betul untuk menguasai ayat-ayat sains
dan ilmu pengetahuan alam. Bahkan selalu berpartisipasi dalam lomba dan kompetisi sains
di semua level. Hasilnya beberapa kali sekolah ini juara dalam bidang sains. Tidak hanya
dimiliki oleh Muhammadiyah, Trensains juga sudah bekerja sama dengan Ponpes Tebuireng
Jombang Jawa Timur.
Selanjutnya, ada pesantren yang dipadukan dengan kepanduan dan kemiliteran, yaitu SMA
Taruna Muhammadiyah Gunung pring Magelang. Selain akhlak dan pembiasaan ibadah
seperti pesantren pada umumnya, sekolah berasrama ini juga menekankan pada
terbentuknya pribadi-pribadi yang tegap, kuat, cerdas dan penuh kedisiplinan. Dalam
pribahasa Arab dikenal dengan istilah al-Aqlu Salim fi al-Jismi Salim, akal yang sehat terdapat
pada tubuh yang sehat.
Secara umum, lembaga pendidikan itu melakukan tigal hal, yaitu transfer ilmu, penanaman
nilai, dan mengasah keterampilan. Barat dan beberapa negara maju termasuk Jepang lebih
memberatkan peran lembaga pendidikan sebagai tempat penanaman nilai. Karakter dan
sopan santun menjadi ukuran utamanya. Buang sampah pada tempatnya, hormat kepada
orang tua, cinta budaya lokal, nasionalisme tinggi, serta menjunjung tinggi kejujuran dan
integritas.
Sementara di Indonesia, sekolah-sekolah yang ada lebih banyak berperan sebagai wadah
untuk transfer ilmu dan mengasah keterampilan. Termasuk juga sekolah-sekolah
Muhammadiyah. Tentu hal ini tidak salah, hanya saja perlu penyelarasan dengan tujuan
utama dari lembaga pendidikan tersebut. Tujuan utama Muhammadiyah adalah
menciptakan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.
Minimal sekolah Muhammadiyah mengamalkan prinsip dan konsep kemajuan sebagaimana
Risalah Islam Berkemajuan (RIB), yaitu dengan cara berlomba-lomba mewujudkan
pendidikan kelas dunia dengan corak yang beragam dan heterogen, dan menjunjung tinggi
lokal wisdom. Boleh sama-sama nuansanya MBS, tapi praktik pembelajarannya antara di
Jawa dan di Luar Jawa mestinya berbeda. Jawa ada unsur budaya Jawanya, sementara yang
lain ada unsur budaya lain.
Atau memunculkan corak pendidikan lain yang masih minim. Misalnya sekolah atlet di mana
sebagian besar siswanya adalah atlet. Sekolah karakter yang mampu melahirkan anak-anak
yang jujur, disiplin dan bekerja keras.
Sekali lagi, zaman yang semakin kompleks perlu juga disiasati dengan wadah pendidikan
yang beragam, agar Muhammadiyah yang sudah terlanjur dikenal sebagai pelopor
pendidikan di Indonesia ini tidak terkesan monoton. Apalagi kemudian mengalami stagnasi
di mana hal itu sangat bertentangan dengan spirit tajdid sebagai karakter otentik
Muhammadiyah. Memperbanyak corak pendidikan adalah salah satu upaya untuk
melestarikan semangat pembaruan Kiai Dahlan.

Anda mungkin juga menyukai