Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH MUHAMMADIYAH SEBAGAI

GERAKANPENDIDIKAN
Disusun dan diajukan sebagai salah satu syarat melengkapi tugas mata kuliah
Kemuhammadiyahan
Dosen Pengampu : Drs. San Susilo, M.M

Disusun oleh:
Nama : Mira Ningrum
Nim : 193223008
Prodi : Pendidikan Matematika

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA


SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN (STKIP)
MUHAMMADIYAH KUNINGAN
Jl. Mutasiah Supomo No.28 Kuningan 45511, Telp (0232) 874085, e-mail: info@upmk.ac.id
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang atas rahmat-Nya maka penulis
dapat menyelesaikan penyusunan makalah yang berjudul “Makalah Muhammadiyah sebagai
gerakan pendidikan”.Tujuan penulisan makalah adalah memenuhi tugas mata kuliah kuliah
Kemuhammadiyahan Program Studi Pendidikan Matematika STKIP Muhammadiyah Kuningan
dan memberikan wawasan kepada penulis maupun pembaca.Dalam penulisan makalah ini
penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada pihak yang membantu dalam
menyelesaikan penulisan makalah ini, khususnya kepada Bapak Drs. San Susilo, M.M. selaku
dosen pengampu mata kuliahKemuhammadiyahan.
Dalam Penulisan makalah ini penulis merasa masih banyak kekurangan-kekurangan baik
pada teknis penulisan maupun materi, mengingat akan kemampuan yang dimiliki penulis. Untuk
itu kritik dan saran dari semua pihak sangat penulis harapkan demi penyempurnaan pembuatan
makalah ini.
Kuningan, 29 Desember 2020
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pendidikan merupakan salah satu kunci pokok sebagai penggerak dan penentu
kemajuan suatu bangsa dan Negara. Proses pendidikan tidak dapat dipisahkan dari proses
pembangunan yang bertujuan untuk mengembangkan sumber daya manusia yang
berkualitas. Manusia yang berkualitas itu sendiri dapat dilihat dari tingkat pendidikannya.
Pendidikan adalah usaha sadar dan bertujuan untuk meningkatkan kualitas
manusia. Pendidikan menurut Notoatmojo adalah semua usaha atau upaya yang sudah
direncanakan untuk mempengaruhi orang lain baik kelompok, individu, maupun
masyarakat sehingga mereka akan melakukan apa yang diharapkan oleh pelaku
pendidikan. Dari pengertian tersebut dapat dipahami bahwa konsep dasar pendidikan
bertujuan untuk membentuk sikap yang baik, sesuai nilai-nilai yang berlaku dan juga
menumbuhkan potensipotensi yang dimiliki untuk dikembangkan secara berlanjut.
Saat kolonial Belanda menjajah bumi nusantara, Pendidikan Islam telah
tersebarluas dalam wujud “pondok pesantren”, dimana islam diajarkan di
musholla/langgar/masjid. Sistem yang digunakan seperti sistem sorogan, bandongan, dan
wetonan.Sorogan adalah sistem pendidikan dimana secara perorangan menghadap kyai
dengan membawa kitab, kyai membacakan dan mengartikan kemudian sang santri
menirukannya. Bandongan atau Wetonan adalah sang kyai membaca, mengartikan dan
menjelaskan maksud teks dari kitab tertentu namun sang santri hanya mendengarkan
penjelasan dari sang kyai.Sistem pendidikan semasa itu hanya berorientasi pada hafalan
teks semata, sehingga tidak merangsang santri untuk berdiskusi. Cabang ilmu agama
yang diajarkan sebatas Hadits dan Mustholah Hadist, Fiqih dan Usul Fiqih, Ilmu Tauhid,
Ilmu Tasawuf, Ilmu Mantiq, Ilmu Bahasa Arab. Ini berlangsung hingga awal abad ke-20.
Sudah barang tentu di sekolah Belanda para murid tidak diperkenalkan pendidikan Islam
sehingga menjadikan cara berfikir dan tingkah laku mereka banyak yang menyimpang
dari ajaran Islam.Melihat kenyataan ini K.H Ahmad Dahlan beserta para tokoh bertekad
untuk memperbaharui pendidikan bagi umat Islam.Pembaharuan yang dimaksud meliputi
dua segi, yaitu segi cita-cita dan segi teknik. Segi cita-cita adalah untuk membentuk
manusia muslim yang berakhlaqul karimah, alim, luas pandangan dan paham terhadap
masalah keduniaan, cakap, serta bersedia berjuang untuk kemajuan agama Islam. Sedang
dari Segi teknik adalah lebih banyak berhubungan dengan cara-cara penyelenggaraan
pendidikan modern terutama system/model pembelajaran yang diterapkan selama
pelaksanaan pendidikan.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang makalah ini, maka penyusun membuat suatu rumusan
masalah, yaitu :
1. Faktor-faktor yang melatarbelakangi pendidikan muhammadiyah?
2. Cita-cita pendidikan muhammadiyah ?
3. Bentuk dan model pendidikan muhammdiyah ?
4. Pemikiran dan praksis pendidikan Muhammadiyah ?
5. Tantangan dan revitalisasi pendidikan Muhammadiyah?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui faktor-faktor yang melatarbelakangi pendidikan muhammadiyah.
2. Untuk mengetahui cita-cita pendidikan muhammadiyah.
3. Untuk mengetahui bentuk dan model pendidikan muhammdiyah.
4. Untuk mengetahui Pemikiran dan praksis pendidikan Muhammadiyah.
5. Untuk mengetahui Tantangan dan revitalisasi pendidikan Muhammadiyah.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Faktor-Faktor Yang Melatarbelakangi Pendidikan Muhammadiyah


Muhammadiyah dikenal sebagai gerakan Islam yang memelopori pendidikan
Islam modern. Salah satu latar belakang berdirinya Muhammadiyah menurut Mukti Ali
ialah ketidak efektifan lembaga pendidikan agama pada waktu penjajahan Belanda,
sehingga Muhammadiyah memelopori pembaruan dengan jalan melakukan reformasi
ajaran dan pendidikan Islam. Saat kolonial Belanda menjajah bumi nusantara, Pendidikan
Islam telah tersebar luas dalam wujud “pondok pesantren”, dimana islam diajarkan di
musholla/langgar/masjid. Sistem yang digunakan seperti sistem sorogan, bandongan, dan
wetonan. Sorogan adalah sistem pendidikan dimana secara perorangan menghadap kyai
dengan membawa kitab, kyai membacakan dan mengartikan kemudian sang santri
menirukannya. Bandongan atau Wetonan adalah sang kyai membaca, mengartikan dan
menjelaskan maksud teks dari kitab tertentu namun sang santri hanya mendengarkan
penjelasan dari sang kyai.Sistem pendidikan semasa itu hanya berorientasi pada hafalan
teks semata, sehingga tidak merangsang santri untuk berdiskusi. Cabang ilmu agama
yang diajarkan sebatas Hadits dan Mustholah Hadist, Fiqih dan Usul Fiqih, Ilmu Tauhid,
Ilmu Tasawuf, Ilmu Mantiq, Ilmu Bahasa Arab. Ini berlangsung hingga awal abad ke-
20.Dalam sekolah Belanda para murid tidak diperkenalkan pendidikan Islam sehingga
menjadikan cara berfikir dan tingkah laku mereka banyak yang menyimpang dari ajaran
Islam.Melihat kenyataan ini K.H Ahmad Dahlan beserta para tokoh bertekad untuk
memperbaharui pendidikan bagi umat Islam.Pembaharuan yang dimaksud meliputi dua
segi, yaitu segi cita-cita dan segi teknik. Segi cita-cita adalah untuk membentuk manusia
muslim yang berakhlaqul karimah, alim, luas pandangan dan paham terhadap masalah
keduniaan, cakap, serta bersedia berjuang untuk kemajuan agama Islam. Sedang dari Segi
teknik adalah lebih banyak berhubungan dengan cara-cara penyelenggaraan pendidikan
modern terutama system/model pembelajaran yang diterapkan selama pelaksanaan
pendidikan.
Kini pendidikan Muhammadiyah telah berkembang pesat dengan segala
kesuksesannya, tetapi masalah dan tantangan pun tidak kalah berat.Pendidikan
Muhammadiyah merupakan bagian yang terintegrasi dengan gerakan Muhammadiyah
dan telah berusia sepanjang umur Muhammadiyah. Jika diukur dari berdirinya Madrasah
Ibtidaiyah Diniyah Islamiyah (1 Desember 1911) Pendidikan Muhammadiyah berumur
lebih tua ketimbang organisasinya (Adaby Darban,2000 : 13). Sekolah tersebut
merupakan rintisan lanjutan dari “sekolah” (kegiatan Kyai dalam menjelaskan ajaran
Islam) yang dikembangkan Kyai Dahlan secara informal dalam pelajaran yang
mengandung ilmu agama Islam dan pengetahuan umum di beranda rumahnya. Lembaga
pendidikan tersebut sejatinya sekolah Muhammadiyah, yakni sekolah agama yang tidak
diselenggarakan di surau seperti pada umumnya kegiatan umat Islam pada waktu itu,
tetapi bertempat tinggal di dalam sebuah gedung milik ayah KH Dahlan, dengan
menggunakan meja dan papan tulis, yang mengajarkan agama dengan cara baru, juga
diajarkan ilmu-ilmu umum (Djarnawi Hadikusuma,t.t : 64).

B. Cita-Cita Pendidikan Muhammadiyah


Cita-cita pendidikan yang digagas Kyai Dahlan adalah lahirnya manusia-manusia
baru yang mampu tampil sebagai “ulama-intelek” atau “intelek-ulama”, yaitu seorang
muslim yang memiliki keteguhan iman dan ilmu yang luas, kuat jasmani dan rohani.
Dalam rangka mengintegrasikan kedua sistem pendidikan tersebut, Kyai Dahlan
melakukan dua tindakan sekaligus; memberi pelajaran agama di sekolah-sekolah Belanda
yang sekuler, dan mendirikan sekolah-sekolah sendiri di mana agama dan pengetahuan
umum bersama-sama diajarkan. Kedua tindakan itu sekarang sudah menjadi fenomena
umum; yang pertama sudah diakomodir negara dan yang kedua sudah banyak dilakukan
oleh yayasan pendidikan Islam lain. Namun, ide Kyai Dahlan tentang model pendidikan
integralistik yang mampu melahirkan muslim ulama-intelek masih terus dalam proses
pencarian. Sistem pendidikan integralistik inilah sebenarnya warisan yang musti kita
eksplorasi terus sesuai dengan konteks ruang dan waktu, masalah teknik pendidikan bisa
berubah sesuai dengan perkembangan ilmu pendidikan atau psikologi
perkembangan.Dalam rangka menjamin kelangsungan sekolahan yang ia dirikan maka
atas saran murid-muridnya Kyai Dahlan akhirnya mendirikan persyarikatan
Muhammadiyah tahun 1912. Metode pembelajaran yang dikembangkan Kyai Dahlan
bercorak kontekstual melalui proses penyadaran. Contoh klasik adalah ketika Kyai
menjelaskan surat al-Ma’un kepada santri-santrinya secara berulang-ulang sampai santri
itu menyadari bahwa surat itu menganjurkan supaya kita memperhatikan dan menolong
fakir miskin, dan harus mengamalkan isinya. Setelah santri-santri itu mengamalkan
perintah itu baru diganti surat berikutnya. Ada semangat yang mesti dikembangkan oleh
pendidikan Muhammadiyah, yaitu bagaimana merumuskan sistem pendidikan ala al-
Ma’un sebagaimana dipraktekkan Kyai Dahlan.Anehnya, yang diwarisi oleh warga
Muhammadiyah adalah teknik pendidikannya bukan cita-cita pendidikan, sehingga tidak
aneh apabila ada yang tidak mau menerima inovasi pendidikan. Inovasi pendidikan
dianggap sebagai bid’ah. Sebenarnya, yang harus kita tangkap dari Kyai Dahlan adalah
semangat untuk melakukan perombakan atau etos pembaruan, bukan bentuk atau hasil
ijtihadnya. Menangkap api tajdid, bukan arangnya.
Dalam konteks pencarian pendidikan integralistik yang mampu memproduksi
ulama-intelek-profesional, gagasan Abdul Mukti Ali menarik disimak. Menurutnya,
sistem pendidikan dan pengajaran agama Islam di Indonesia ini yang paling baik adalah
sistem pendidikan yang mengikuti sistem pondok pesantren karena di dalamnya diresapi
dengan suasana keagamaan, sedangkan sistem pengajaran mengikuti sistem
madrasah/sekolah, jelasnya madrasah/sekolah dalam pondok pesantren adalah bentuk
sistem pengajaran dan pendidikan agama Islam yang terbaik. Dalam semangat yang sama
belakangan ini sekolah-sekolah Islam tengah berpacu menuju peningkatan mutu
pendidikan. Salah satu model pendidikan terbaru adalah full day school, sekolah sampai
sore hari, tidak terkecuali di lingkungan Muhammadiyah.Satu dekade terakhir ini virus
sekolah unggul benar-benar menjangkiti seluruh warga Muhammadiyah.Lembaga
pendidikan Muhammadiyah mulai Taman Kanak-kanak (TK) hingga Perguruan Tinggi
(PT) berpacu dan berlomba-lomba untuk meningkatkan kualitas pendidikan untuk
menuju pada kualifikasi sekolah unggul. Sekarang ini hampir di semua daerah kabupaten
atau kota terdapat sekolah unggul Muhammadiyah, terutama untuk tingkat TK dan
Sekolah Dasar. Sekolah yang dianggap unggul oleh masyarakat sehingga mereka
menyekolahkan anak-anak di situ pada umumnya ada dua tipe; sekolah model
konvensional tetapi memiliki mutu akademik yang tinggi, atau sekolah model baru
dengan menawarkan metode pembelajaran mutakhir yang lebih interaktif sehingga
memiliki daya panggil luas.
Apabila Muhammadiyah benar-benar mau membangun sekolah/universitas
unggul maka harus ada keberanian untuk merumuskan bagaimana landasan filosofis
pendidikannya sehingga dapat meletakkan secara tegas bagaimana posisi lembaga-
lembaga pendidikan Muhammadiyah dihadapan pendidikan nasional, dan kedudukannya
yang strategis sebagai pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta fungsinya
sebagai wahana dakwah Islamiyah. Ketiadaan orientasi filosofis ini jelas sangat
membingungkan; apa harus mengikuti arus pendidikan nasional yang sejauh ini
kebijakannya belum menuju pada garis yang jelas karena setiap ganti menteri musti ganti
kebijakan. Kalau memang memilih pada pengembangan iptek maka harus ada keberanian
memilih arah yang berbeda dengan kebijakan pemerintah.Model pondok gontor bisa
dijadikan alternatif, dengan bahasa dan kebebasan berpikir terbukti mampu mengantarkan
peserta didik menjadi manusia-manusia yang unggul. Filsafat pendidikan
memanifestasikan pandangan ke depan tentang generasi yang akan dimunculkan. Filsafat
yang dianut dan diyakini oleh Muhammadiyah adalah berdasarkan agama Islam, maka
sebagai konsekuensinya logika, Muhammadiyah berusaha dan selanjutnya melandaskan
filsafat pendidikan Muhammadiyah atas prinsip-prinsip filsafat yang diyakini dan
dianutnya.
Sebagai gerakan dakwah Islam amar ma’ruf nahi mungkar, Muhammadiyah
dituntut untuk mengkomunikasikan pesan dakwahnya dengan menanamkan khazanah
pengetahuan melalui jalur pendidikan.Secara umum dapat dipastikan bahwa ciri khas
lembaga pendidikan Muhammadiyah yang tetap dipertahankan sampai saat adalah
dimasukkannya mata pelajaran AIK/lsmuba di semua lembaga pendidikan (formal) milik
Muhammadiyah. Hal tersebut sebagai salah satu upaya Muhammadiyah agar setiap
individu senantiasa menyadari bahwa ia diciptakan oleh Allah semata-mata untuk
berbakti kepada-Nya.Usaha Muhammadiyah mendirikan dan menyelenggarakan sistem
pendidikan modern, karena Muhammadiyah yakin bahwa Islam bisa menjadi rahmatan
lil-‘alamin, menjadi petunjuk dan rahmat bagi hidup dan kehidupan segenap manusia jika
disampaikan dengan cara-cara modern. Dasarnya adalah Allah berfirman: “Wahai
jama’ah jin dan manusia, jika kalian sanggup menembus (melintasi) pejuru langit dan
bumi, maka lintasilah. Kamu sekalian tidak akan sanggup melakukannya melainkan
dengan kekuatan (ilmu pengetahuan)”(QS. Ar-rahman/55:33).
Muhammadiyah konsekwen untuk mencetak elit muslim terdidik lewat jalur
pendidikan. Ada beberapa tipe pendidikan Muhammadiyah:
1. Tipe Muallimin/Mualimat Yogyakarta (pondok pesantren)
2. Tipe madrasah/Depag; Ibtidaiyah, Tsanawiyah dan Aliyah
3. Tipe sekolah/ Diknas; TK, SD, SMP, SMA/ SMK, Universitas/ ST/ Politeknik/ Akademi
4. Madrasah Diniyah, dan lain-lain
Orientasi pembaharuan di bidang pendidikan menjadi prioritas utama yang ingin
dicapai oleh Muhammadiyah, hal ini tergambar dari tujuan pendidikan dalam
Muhammadiyah, untuk mencetak peserta didik/lulusan sekolah Muhammadiyah, sebagai
berikut:
1. Memiliki jiwa Tauhid yang murni
2. Keribadah hanya kepada Allah
3. Berbakti kepada orang tua serta bersikap baik terhadap kerabat
4. Memiliki akhlaq yang mulia
5. Berpengetahuan luas serta memiliki kecakapan, dan
6. Berguna bagi masyarakat, bangsa dan agama

C. Bentuk dan Model pendidikan muhammadiyah


Pendidikan, menurut KH. Ahmad Dahlan, hendaknya diarahkan pada usaha
membentuk manusia muslim yang berbudi pekerti luhur, luas pandangan dan paham
masalah ilmu keduniaan serta bersedia berjuang untuk kemajuan masyarakat. Pandangan
pendidikan yang diinginkan oleh KH. Ahmad Dahlan inilah yang sekarang akan
digunakan sebagai pendidikan karakter.
Sebenarnya, pendidikan karakter sudah ada sejak organisasi Muhammadiyah
berdiri. Mengapa pendidikan Muhammadiyah dapat berkembang dengan pesat ? Sebab,
Muhammadiyah memiliki model yang berbeda dalam kemasannya.Mulai sistem
pembelajaran hingga sistem administatif yang tertata rapi.
Model pendidikan Muhammadiyah yang didasarkan atas nilai-nilai tertentu.
Pertama, pendidikan Muhammadiyah merujuk pada nilai-nilai yang bersumber pada Al-
Qur’an dan Sunnah Nabi sebagai sumber sepanjang masa. Kedua, ikhlas dan inspiratif
dalam ikhtiar menjalankan tujuan pendidikan. Ketiga, menerapakan prinsip musyawarah
dan kerjasama dengan tetap memelihara sikap kritis. Keempat, selalu memelihara dan
menghidupkan prinsip inovatif dalam menjalankan tujuan pendidikan. Kelima, memiliki
kultur atau budaya memihak kepada kaum yang mengalami kesengsaraan dengan
melakukan proses-proses kreatif. Hal tersebut, sesuai dengan tantangan dan
perkembangan yang terjadi pada masyarakat Indonesia.Keenam, memperhatikan dan
menjalankan prinsip keseimbangan dalam mengelolah lembaga pendidikan antara akal
sehat dan kesucian hati.
Dalam penyelenggaraannya pendidikan Muhammadiyah memiliki model yang
tidak selebihnya mengikuti pendidikan yang diselenggarakan pemerintah atau sekolah
umum lainnya. Model pendidikan Muhammadiyah lebih cenderung pada sistem
pendidikan moral atau yang sekarang lebih dikenal dengan pendidikan berbasis
karakter.Sejak awal, pendidikan Muhammadiyah bukan lagi berpatokan dengan
pendidikan berbasis kognitif.Pendidikan Muhammadiyah sudah sejak awal berpatokan
pada sistem pendidikan moral. Moral akan menjadikan sebuah pendewasaan diri setiap
siswa-siswi untuk bisa menghadapi masa depan. Justru dengan adanya sistem pendidikan
moral siswa-siswi akan tertantang untuk maju menghadapi sistem pendidikan akademis
dengan mudah.
Model icon adalah salah satu model yang dimiliki pendidikan
Muhammadiyah.Mulai dari ramah anak, ramah otak, ramah lingkungan, ramah moral
yangakan terus dikembangkan untuk kekhasan pendidikan Muhammadiyah.
D. Pemikiran dan Praktis Pendidikan Muhammadiyah
Sebagai gerakan dakwah Islam amar ma’ruf nahi mungkar, Muhammadiyah
dituntut untuk mengkomunikasikan pesan dakwahnya dengan menanamkan khazanah
pengetahuan melalui jalur pendidikan. Secara umum dapat dipastikan bahwa ciri khas
lembaga pendidikan Muhammadiyah yang tetap dipertahankan sampai saat adalah
dimasukkannya mata pelajaran Al-Islam Kemuhammadiyahan (AIK) di semua lembaga
pendidikan (formal) milik Muhammadiyah. Muhammadiyah dikenal sebagai gerakan
Islam yang memelopori pendidikan Islam modern. Salah satu latar belakang berdirinya
Muhammadiyah menurut Mukti Ali ialah ketidak efektifan lembaga pendidikan agama
pada waktu penjajahan Belanda, sehingga Muhammadiyah memelopori pembaruan
dengan jalan melakukan reformasi ajaran dan pendidikan Islam. Kini pendidikan
Muhammadiyah telah berkembang pesat dengan segala kesuksesannya, tetapi masalah
dan tantangan pun tidak kalah berat. Dalam sejumlah hal bahkan dikritik kalah bersaing
dengan pendidikan lain yang unggul. Pendidikan AIK pun dipandang kurang menyentuh
subtansi yang kaya dan mencerahkan. Kritik apapun harus diterima untuk perbaikan dan
pembaharuan. Pendidikan Muhammadiyah merupakan bagian yang terintegrasi dengan
gerakan Muhammadiyah dan telah berusia sepanjang umur Muhammadiyah.
Secara teoritik, ada tiga alasan mengapa pendidikan AIK perlu diajarkan :
 Mempelajari AIK pada dasarnya agar menjadi bangsa Indonesia yang beragama Islam
dan mempunyai alam fikiran modern/tajdid/dinamis.
 Memperkenalkan alam fikiran tajdid, dan diharapkan peserta didik dapat tersentuh dan
sekaligus mengamalkannya, dan.
 Perlunya etika/akhlak peserta didik yang menempuh pendidikan di lembaga pendidikan
Muhammadiyah

E. Revitalisasi Pendidikan Muhammadiyah


1. Revitalisasi
Kata dasar dari revitalisasi yaitu “vital”, artinya penting. Kata “re” sebelum kata
“vital” bisa diartikan sebagai proses pengulangan, dan atau sikap sadar untuk melakukan
upaya atau usaha. Jadi kata “revitalisasi” itu berarti upaya untuk melakukan perbaikan
(pementingan) dari beberapa kekurangan yang yang ada dan diketahui sebelumnya.
Perbaikan, maksud arti dari kata revitalisasi biasanya lebih sering digunakan untuk hal-
hal yang tidak nampak secara kasat mata. Seperti paradigma, konsep dan yang lain-lain.
Sementara dalam kamus besar Bahasa Indonesia, Revitalisasi berarti proses, cara, dan
perbuatan menghidupkan kembali suatu hal yang sebelumnya kurang terberdaya.

2. Pendidikan
Pendidikan adalah proses yang secara sengaja direncanakan oleh pendidik dan
dialami oleh peserta didik dalam bentuk interaksi antara pendidik dan peserta didik di
lingkungan pendidikan dan menjadikan materi pendidikan sebagai sarana pembelajaran
menuju perbaikan tingkah laku, sikap, pengetahuan, keterampilan dan kemampuan
seperti yang diinginkan pendidik. Sedangkan Ahmad Marimba mendefinisikan
pendidikan sebagai suatu bimbingan atau pembinaan secara sadar oleh pendidik terhadap
perkembangan jasamani dan rohani peserta didik menuju kepribadian yang utama.
Prinsip dari rencana pendidikan itu biasanya dilakukan dengan penuh sadar untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kemampuan dan keterampilan yang
diperlukan dirinya untuk terjun di tengah-tengah masyarakat.
3. Pendidikan Muhammadiyah
Prof. M. Yunan Yusuf, Ketua Majlis Pendidikan Dasar dan Menengah
(Dikdasmen) Muhammadiyah Pusat periode 2000-2005, acapkali melontarkan wacana
“Robohnya Sekolah Muhammadiyah” untuk menggambarkan betapa rendahnya rata-rata
kualitas dan mutu sekolah yang diselenggarakan Muhammadiyah. Kritisi atas pendidikan
Muhammadiyah juga muncul berkenaan dengan belum tercerminnya nilai-nilai Islam
dalam perilaku warga sekolah, belum berhasil menekan ongkos pendidikan sampai ke
batas termurah, belum sanggup menciptakan kultur islami yang representatif, telah
kehilangan identitasnya, dan lebih kooperatif dengan kelompok penekan. Berbagai kritik
tersebut tidak cukup dijawab hanya dengan perombakan kurikulum, peningkatan gaji
guru, pembangunan gedung sekolah ataupun pengucuran dana. Untuk menyahuti dan
menuntaskan problem-problem itu harus ada keberanian untuk membongkar akar
permasalahan yang sesungguhnya, yaitu karena belum tersedianya orientasi filosofi
pendidikan Muhammadiyah dan teori-teori pendidikan modern dan islami. Karena
adakalanya keterbelakangan sektor kependidikan suatu bangsa atau suatu umat
disebabkan tidak terutama oleh keterbelakangan infrastruktur yang mendukungnya tetapi
oleh perangkat konsep yang mendasarinya. Dalam usia Muhammadiyah menjelang satu
abad dengan jumlah lembaga pendidikan mulai dari Taman Kanak-kanak sampai dengan
Perguruan Tinggi ribuan, adalah suatu yang aneh Muhammadiyah belum mempunyai
filsafat pendidikan. Bagaimana mungkin kerja hiruk-pikuk pendidikan tanpa satu
panduan cita-cita yang jelas? Apakah lagi bila dikaitkan dengan upaya mendidik dalam
rangka pembentukan generasi ke depan. Ketiadaan penjabaran filsafat pendidikan ini,
menurut Mahsun Suyuthi, merupakan sumber utama masalah pendidikan di
Muhammadiyah. Bahkan Rusli Karim menengarai bahwa kekosongan orientasi filosofis
ini ikut bertanggung jawab atas penajaman dikotomi antara “ilmu-ilmu keagamaan” dan
“ilmu umum”, yang pada giliran berikutnya akan melahirkan generasi yang
berkepribadian ganda yang tidak menutup kemungkinan justru akan melahirkan “musuh”
dalam selimut. Dengan demikian, sudah tinggi waktunya untuk bergegas mencoba
menjajagi kemungkinan munculnya satu alternatif rumusan pendidikan Muhammadiyah
sebagai ikhtiar meniti jalan baru pendidikan Muhammadiyah. Menyatakan bahwa
pendidikan Muhammadiyah belum memiliki rumusan filosofis bukan berarti tidak ada
sama sekali perbincangan ke arah itu. Laporan seminar nasional filsafat pendidikan
Muhammadiyah Majlis Dikdasmen Muhammadiyah Pusat, telah mulai menyinggung
pembahasan tentang filsafat pendidikan Muhammadiyah, terutama tulisan A. Syafii
Maarif yang berjudul “Pendidikan Muhammadiyah, aspek normatif dan filosofis”. Sesuai
dengan temanya, Maarif hanya menelusuri hasil-hasil keputusan resmi Muhammadiyah
(aspek normatif) dan orientasi filosofis konsep ulul albab. Demikian pula buku suntingan
Yunahar Ilyas dan Muhammad Azhar berjudul Pendidikan dalam Persepektif Al-Qur’an
yang ditulis oleh tokoh-tokoh Muhammadiyah, berusaha mengelaborasi konsep-konsep
pendidikan di dalam Al-Qur’an dan mendialogkan wahyu dengan perkembangan teori-
teori pendidikan mutakhir. Karya terakhir yang patut dipertimbangkan adalah buku
Paradigma Intelektual Muslim: Pengantar Filsafat Pendidikan Islam dan Dakwah karya
Abdul Munir Mulkhan, seorang aktifis Muhammadiyah. Menurutnya, kemacetan
intelektualisme Islam serta kemandegan ilmu pengetahuan dan teknologi di dunia Muslim
akibat berkembangnya semacam “ideologi ilmiah” yang menolak apapun yang bukan
berasal dari Islam.
4. Problem Pendidikan Muhammadiyah
Problem pendidikan Muhammadiyah terletak pada empat hal, yakni :
a) problem ideologi ialah banyak dan berlalu-lalangnya paham-paham keagamaan
lainnya yang tidak sevisi dengan Muhammadiyah. Kehadiran paham-paham tersebut
tentu saja disebabkan karena begitu lemahnya daya kontrol persyarikatan terhadap
amal usaha pendidikan. Karena itu, menjadi wajar apabila para Muhammadiyah
dadakan dapat lebih leluasa dalam membuka palang pintu masuknya paham-paham
keagamaan non Muhammadiyah di lembaga pendidikan yang dipimpinnya.
b) problem paradigmatik. Problem ini sesungguhnya muncul akibat “kegagalan” para
pimpinan amal usaha pendidikan dalam menafsirkan serta memahami maksud dan
tujuan Muhammadiyah. “Kegagalan” yang dimaksud terletak pada satu bentuk
kesalahan dalam memaknai sejarah. Para pimpinan amal usaha pendidikan tidak lagi
melihat sejarah secara kritis, sehingga seringkali terjebak pada romantisme sejarah
itu sendiri. Dalam hal ini, kejayaan sejarah Muhammadiyah, terlebih kesuksesan
amal usaha pendidikan yang dikelolanya, bukan lagi ditempatkan sebagai epos masa
lalu yang mengandung hikmah dan ibrah untuk dijadikan bekal dalam menatap masa
depan. Dengan demikian menjadi wajar apabila banyak ditemukan institusi
pendidikan Muhammadiyah yang cenderung bangga dengan kemapanan, sehingga
hal itu ber-dampak pada keringnya inovasi untuk mengembangkan dirim . Di
samping itu, problem paradigmatik juga dapat dilihat pada hilangnya orientasi para
pimpinan amal usaha pendidikan dalam menafsir ulang maksud dan tujuan
Muhammadiyah secara sinergis dengan visi lembaga yang dipimpinnya. Hal ini yang
kadang kala menjadikan visi di antara keduanya justru berlainan, dan bahkan juga
ada yang saling berseberangan. Dalam menafsirkan istilah modern misalnya, tidak
sedikit para pimpinan amal usaha yang justru terbelenggu dengan pelbagai program-
program masa kini, seperti sukses Ujian Nasional. Banyak para pimpinan amal usaha
yang memiliki anggapan jika sukses ujian nasional adalah prioritas, sementara
ISMUBA di-tempatkan sebagai pelengkap .
c) problem profesionalisme manajemen. Sebagaimana diketahui bahwa amal usaha
pendidikan Muhammadiyah umumnya lahir, tumbuh, dan berkembang dari bawah
(grass root), seperti tokoh-tokoh Muhammadiyah yang didukung oleh masyarakat
sekitar. Tujuannya pun juga jelas, di mana para tokoh tersebut ingin menjadikan
lembaga pendidikan Muhammadiyah sebagai sarana dakwah, upaya sosialisasi dan
penanaman ajaran Islam di tengah-tengah masyarakat. Sokongan masyarakat itu juga
dapat berdampak positif dan negatif. Dari sisi positif, lembaga pendidikan memiliki
kekuatan besar untuk dapat “bertahan hidup”, meskipun jumlah siswanya sedikit.
Semangat yang tiada pernah mengenal kata menyerah untuk melaksanakan dakwah
melalui jalur pendidikan tiada kunjung surut. Namun, pada sisi negatifnya yaitu,
lembaga pendidikan terkadang justru dikelola seadanya, tidak teratur, dan tidak
terencana dengan baik. Hal inilah yang terkadang menjadi salah satu penyebab
“lemahnya” lembaga pendidikan Muhammadiyah saat berkompetisi dengan lembaga
pendidikan lainnya. Oleh sebab itu, diperlukan adanya reformasi manajemen.
Reformasi manajemen yang dimaksud ialah suatu upaya untuk meruntuhkan budaya-
budaya pengelolaan sekolah Muhammadiyah bersifat konvensional dan dialihkan
menjadi manajemen mutu terpadu .
d) problem pengembangan pendidikan. Problem ini sesungguhnya tidak sepenuhnya
menjadi tanggungjawab pengelola lembaga pendidikan, seperti Kepala dan warga
sekolah. Dalam hal ini, problem pengembangan pendidikan Muhammadiyah lebih
ditujukan kepada pihak penyelenggara, yakni persyarikatan dan khususnya Majelis
Pendidikan Dasar dan Menengah (Dikdasmen). Sampai saat ini, Majelis Dikdasmen
belum memiliki blue print yang jelas mengenai pola pengembangan pendidikan
Muhammadiyah . Kerja-kerja praktis (untuk tidak dikatakan pragmatis) administratif
dan birokratis telah menjebak penyelenggara pendidikan Muhammadiyah dalam
menjalankan kegiatan-kegiatan rutinan. Dalam keseharian, pihak penyelenggara
cenderung habis energinya dalam mengurusi beban struktural, dibanding melahirkan
karya intelektual yang berisi konsep ilmiah mengenai pengembangan pendidikan
Muhammadiyah. Belum adanya konsep tersebut acapkali menjadikan pihak
pelaksana pendidikan terseok-seok, dan bahkan gagap dalam menghadapi berbagai
isu-isu pendidikan, seperti deschooling society, sekolah gratis, dan lain-lain.
BAB III
KESIMPULAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan materi mengenai Muhammadiyah dan Pendidikan dapat disimpulkan
bahwa Muhammadiyah sebagai gerakan Islam yang memelopori pendidikan Islam
modern. Sistem yang digunakan dalam pendidikan Muhammadiyah seperti sistem
sorogan, bandongan, dan wetonan. Ciri khas lembaga pendidikan Muhammadiyah
adalah dimasukkannya mata pelajaran AIK/lsmuba di semua lembaga pendidikan
(formal) milik Muhammadiyah.
Model pendidikan Muhammadiyah antara lain:
1. Pendidikan Muhammadiyah bersumber pada Al-Qur’an dan Sunnah.
2. Ikhlas dan inspiratif dalam ikhtiar dalam pendidikan.
3. Menerapakan prinsip musyawarah dan kerjasama.
4. Memelihara dan menghidupkan prinsip inovatif
5. Memiliki budaya memihak kepada kaum yang mengalami kesengsaraan
6. Menjalankan prinsip keseimbangan dalam mengelolah lembaga pendidikan antara
akal sehat dan kesucian hati.
Dalam penyelenggaraannya pendidikan Muhammadiyah memiliki model yang
tidak selebihnya mengikuti pendidikan yang diselenggarakan pemerintah atau
sekolah umum lainnya. Model pendidikan Muhammadiyah yang sekarang lebih
dikenal dengan pendidikan berbasis karakter.
DAFTAR PUSTAKA
 Arifin, MT. 1985.Gagasan Pembaharuan Muhammadiyah. Surakarta: Pustaka
Jaya
 Muhammad Amien Rais dkk, 1985. Pendidikan Muhammadiyah dan Perubahan
Sosial (sarasehan pimpinan pusat ikatan pelajar Muhammadiyah). Yogyakarta :
PLP2M
 Mulkhan, Abdul Munir. 1990. Pemikiran KH. Ahmad Dahlan dan
Muhammadiyah. Jakarta: Bumi Aksara
 Http://perkembanganislamdieramodern.blogspot.com/2010/12/perbedaan-
pendidikan-islam-dengan.html: akses April 2015
 Yusuf, M. Yunan (ed.). 2000. Filsafat Pendidikan Muhammadiyah (naskah awal).
Jakarta: Majelis Dikdasmen PP Muhammadiyah.
 http://riyowansyah.blogspot.com/2015/10/makalah-gerakan-muhammadiyah.html
 http://nindyaanggrainifisika14.blogspot.com/2015/11/faktor-yang-
melatarbelakangi-gerakan.html

Anda mungkin juga menyukai