Pendidikan adalah taman ilmu yang luas tak bertepi. Menilik ke belakang lebih
dari 2000 tahun yang lalu, seorang filosof Yunani bernama Plato mendirikan
Akademia di pinggiran kota yang dipenuhi berbagai tanaman rindang. Plato
banyak menulis buku berisi dialog yang membahas berbagai tema permasalahan
kehidupan bersama gurunya yaitu Sokrates dan murid lainnya. Model pendidikan
yang diajarkan oleh Sokrates kemudian diteruskan oleh murid-muridnya termasuk
Plato adalah dengan menguji banyak hal yang ada di sekitarnya dan selalu
mengejar pertanyaan. Sikap kritis dengan prinsip dialogis yang terbuka inilah
yang penting dalam pendidikan.
Dunia pendidikan juga tak lepas dari kata “almamater”. Mengharumkan nama
baik almamater dengan prestasi dan pengabdian, selalu digaungkan. Almamater
dalam bahasa Latin berarti Ibu Susuan. Mengapa ibu?. Karena sosok ibu yang
biasanya lebih dekat dengan anaknya dengan sifat kasih sayang, mendidik,
memberi perhatian dan melindungi. Seperti yang dikatakan oleh Ki Hadjar
Dewantara, bahwa pendidikan harus penuh dengan Asih-Asah-Asuh.
1
Tulisan ini sebagai pemantik kegiatan Bincang-Bincang HI, 1 Maret 2019 di FISIP UNTAN.
1
Di India, Rabindranath Tagore (penerima Nobel Kesastraan tahun 1913)
mendirikan lembaga pendidikan dengan nama Shantiniketan yang berarti tempat
yang damai. Begitu banyak contoh-contoh pendidikan yang seutuhnya. Bukan
pendidikan yang parsial, abal-abal, ataupun pseudo (semu). Lembaga pendidikan
idealnya mendidik manusia menjadi manusia yang manusiawi. Sebagai rumah
ilmu semestinya merayakan berbagi ilmu dan aksi nyata untuk masyarakat dan
lingkungan..Tak ada sekat atau jurang pemisah yang menjadikannya sebagai
menara gading. Tak ada lagi kuasa kapital pasar dan kuasa feodal (relasi yang
timpang/asimetris seperti senior-yunior). Tak bisa dibenarkan di dalam dunia
pendidikan ada dalil-dalil kebencian dan kekerasan.
“Kalau ingin melihat masa depan negeri ini, lihatlah bagaimana anak-anak kita
di didik saat ini” (Arif Rahman)
Mari sejenak kita mendedah masalah pendidikan. Selama ini “pendidikan” telah
mengalami penyempitan makna. Pendidikan sering diartikan sekolahan. Ada
pandangan awam bahwa orang yang semakin tinggi sekolahnya dianggap orang
yang berpendidikan. Sebaliknya orang yang sekolah hanya sampai pendidikan
dasar atau bahkan tidak sekolah dianggap orang tidak berpendidikan. Pendidikan
yang dipersempit hanya sekedar urusan sekolah masih lagi diperas dan diciutkan
kembali bahwa pendidikan itu hanya sekedar pengajaran di dalam kotak ruang
kelas. Belum cukup, pendidikan disempitkan lagi hanya urusan pencapaian nilai
ujian maupun mendapatkan ijazah. Ujung-ujungnya, pendidikan hanya dimaknai
sekedar lembaran ijazah, deretan angka, dan tumpukan sertifikat yang kini
semakin dikejar bahkan dikomersialkan.
2
Pendidikan semestinya menjadi tanggung jawab semua elemen masyarakat
termasuk yang utama dan menjadi rumah pertama yaitu keluarga. Semua
melimpahkan ke sekolah untuk tugas mendidik. Sebagian orang tua hanya peduli
soal pendanaan sekolah/kampus. Begitu peduli urusan makanan, pakaian, gadged,
motor, dan uang saku tetapi abai dengan perkembangan proses belajar anaknya
ketika di sekolah. Abai dengan proses pendidikan macam apa yang dimasukan
dalam kepala anaknya.
Kini banyak anak-anak yang kehilangan rumah pertama yaitu keluarga. Waktu
anak-anak habis di sekolah dan tempat les. Sedang di sekolah, pembelajaran
sering hanya sekedar bacaan teks yang dihapal untuk bisa menjawab ujian dan
bersaing untuk dapat nilai terbaik. Namun gagal untuk memahami konteks dan
menghubungkannya dengan realitas sehingga seringkali kita begitu mudah
menangkap isi buku tapi gagap mengahadapi masalah yang nyata dalam
kehidupan sehari-hari. Dengan kata lain, kita begitu begitu mudah membaca buku
tapi gagal membaca kehidupan. Setelah sampai rumah, anak-anak diserahkan dan
dididik oleh televisi maupun permainan di gadged.
Sekolah maupun kampus kini menjelma menjadi lembaga suci yang selalu dinilai
positif serta minim kritik. Kritik masih dianggap sesuatu yang tabu. Sekolah
maupun kampus perlu otokritik maupun membuka kritik dari berbagai arah agar
ada dialektika demi perubahan. Tanpa otokritik dan kritik, yang ada hanyalah
ruang indoktrinasi bukan pencerdasan akal budi, yang ada hanyalah ruang otoriter
bukan ruang demokratis. Pertanyaan perlu ditumbuhkan mulai dari ruang-ruang
kelas, diskusi dan komunitas.
Perlu diakui bahwa selama ini ada relasi yang ganjil antara peserta didik dengan
pendidik, siswa-guru, maupun mahasiswa-dosen. Nampak relasi yang terbangun
selama ini begitu berjarak dan berhirarki. Peserta didik di bawah (inferior,
dianggap tidak tahu, obyek) dan pendidik di atas (superior, serba tahu, subyek).
Bagaimana bisa banyak peserta didik begitu gagu atau bahkan takut untuk
berkirim pesan atau email, bahkan saling lempar pada kawan-kawannya hanya
3
untuk siapa yang mengirimkan pesan. Menulis pesan itupun begitu lama, banyak
pertimbangan dan dibaca berunglang-ulang kali. Bukankah ini sesuatu yang aneh?
Begitu menakutkankah para pendidik sekarang ini?. Ada baiknya bahwa etika
komunikasi itu memang penting. Namun, kita perlu memeriksa lebih dalam,
jangan-jangan ada yang salah dalam relasi sosial yang dibangun dalam lembaga
pendidikan saat ini.
Sebagai Homo Educandum (mahluk yang bisa mendidik dan dididik), semestinya
tidak ada hierarki sosial dalam lembaga pendidikan karena setiap orang yang ada
di dalamnya adalah guru dan sekaligus sebagai murid. Semuanya adalah sama-
sama pembelajar. Murid belajar dari guru dan guru juga belajar dari murid
sehingga pembelajaran menjadi dialogis berbagai arah dengan mengayakan
berbagai ide, bukan sebagai panggung monolog yang searah dari satu sumber.
Lembaga pendidikan semestinya menjunjung kesetaraan (egaliter) dan yang patut
diuji adalah ilmu pengetahuan. Bukan tua-muda atau senior-yunior.
Sekolah didera kritikan tajam bahwa telah gagal untuk menjadi jawaban
pemecahan masalah sosial. Bikhu Parekh (2008:301) dalam buku “Rethinking
Multiculturalism: Keberagaman Budaya dan Teori Politik” menyatakan bahwa
sekolah selama ini cenderung menerapkan sistem monokultur yang memiliki
berbagai kelemahan yaitu:
4
6. Cenderung mengembangkan arogansi, ketidakpekaan, dan rasisme.
Terkekang dalam bingkai kerja kebudayaan sendiri, siswa tidak dapat
menerima keanekaragaman nilai, kepercayaan, jalan hidup dan pandangan
dunia sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari kondisi manusia.
7. Cenderung merasa terancam oleh keanekaragaman tersebut, tidak tahu
bagaimana berhubungan dengan dunia lain dan menyalahkan orang lain
karena keberbedaan.
8. Karena hanya memiliki sedikit pengetahuan tentang masyarakat dan
kebudayaan lain, siswa cenderung memahami masyarakat dan kebudayaan
menurut generalisasi semu, meniru-niru dan memperlakukannya dengan
sangat tidak adil.
Joe Kincheleo (2005) dengan tegas menuliskan bahwa pendidikan tidak hanya
berkutat tentang sekolah, kurikulum, metode pembelajaran, media pembelajaran,
ujian, wisuda, atau selembar ujian. Namun, yang paling penting dalam pendidikan
adalah memperjuangkan dua hal yang sering terlupakan dalam pendidikan yaitu
keadilan sosial dan kesetaraan.
Penting untuk kembali mengingat pesan dari pembelajaran filsafat Yunani yaitu
Gnotis Afton (kenalilah dirimu sendiri), sudahkah pendidikan telah menjadi jalan
untuk menemukan diri sendiri yang otentik? Sudahkah kita tahu untuk apa kita
belajar selama ini? Ibarat diri kita adalah sebuah pohon yang tumbuh disirami
pendidikan selama belasan tahun, sudahkah pohon itu berbuah?.
Teringat pesan salah satu guru saya bahwa ilmu yang bermanfaat itu ibarat pohon
yang berbuah dan memberi manfaat bagi sekitarnya lewat keteduhan, udara segar,
air, dan sebagainya.
5
Mendidik: Simpul Kebersamaan
Ada hal yang sering terlupa dan terabaikan dalam pendidikan kita yaitu
membumikan kasih sayang yang dimulai dari rumah bersama keluarga, sekolah,
dan masyarakat. Keluarga adalah pondasi pertama yang perlu dikuatkan. Sebagus
apapun sekolahnya maupun lingkungannya, kalau di dalam keluarga rapuh maka
pendidikan akan roboh.
Pendidikan perlu menawarkan masa depan yang lebih baik. Termasuk memberi
ruang-ruang kebebasan dan pertanyaan kritis yang bisa menjadi pupuk bagi segala
kemampuan untuk berkembang. Pertanyaan jika dibungkam akan menjadi titik-
titik yang membeku mengumpul menjadi batu dan menyumbat oase ide serta
kreativitas. Hingga tak ada yang mengalir alias stagnan. Tumbuhlah ketakutan
untuk berbeda sehingga lahir penyeragaman fisik, isi kepala dan perilaku. Hans
Magnus Enzensberger menyebut situasi tersebut sebagai jatuhnya lembaga
pendidikan menjadi industri besar pikiran (mind producing machine) yang
terhubung dengan mesin besar keseragaman (great uniform machine). Outputnya
adalah automaton, seperti robot, diri kehilangan sisi manusiawinya. Pembelajar
hanya seperti penghafal rumus-rumus maupun teori demi mengejar angka semu
dan parahnya gagap ketika menghadapi realita.
Tak lupa bahwa pendidikan juga berarah pada mencintai alam serta sesamanya.
Pendidikan tidak seharusnya bicara tentang kompetisi berebut menang-kalah
tetapi yang paling penting adalah bagaimana kita bisa saling bersanding dan
bersama dengan liyan. Pendidikan perlu menjadi problem solving, bukan malah
menjadi bagian dari masalah. Ki Hadjar Dewantara berpesan bahwa, “pendidikan
6
dan pengajaran di dalam Republik Indonesia harus berdasarkan kebudayaan dan
kemasyarakatan bangsa Indonesia, menuju ke arah kebahagiaan batin serta
keselamatan hidup lahir.”
Perlu diperjelas dan diperkuat kembali bahwa pendidikan kritis adalah proses
untuk memanusiakan manusia. Mari kita bersama berefleksi tentang dunia
pendidikan di rumah, sekolah dan lingkungan terdekat kita.
“Reading a word cannot be separated from reading the world and speaking a
word must be related to transforming reality”, Paulo Freire.
Refrensi: