Anda di halaman 1dari 6

Souvereignty : Jurnal Demokrasi dan Ketahanan Nasional | Volume 1, Nomor 2, Year 2022 373

RESEARCH ARTICLE

ASAS-ASAS HUKUM ACARA MAHKAMAH


KONSTITUSI
Almaura Mutiara Sahara1, Purwono Sungkono Raharjo 2
1,2 Universitas Sebelas Maret, Surakarta, Jawa Tengah, Indonesia.

 almaura278@student.uns.ac.id

ABSTRACT
Asas merupakan prinsip dasar dan terpenting bagi suatu hukum yang dapat menjadi
pedoman bagi hakim atupun lembaga peradilan dalam menangani suatu kasus. Seperti
halnya dengan hukum-hukum pada bidang lain, hukum acara mahkamah konstitusi juga
memiliki beberapa asas yang berlaku dan menjadi dasar dari ketentuan-ketentuan hukum
acara mahkamah konstitusi itu sendiri. Beberapa asas dalam hukum acara konstitusi adalah
asas ius curia novit, asas persidangan terbuka untuk umum, asas independent dan imparsial,
asas peradilan dilaksanakan secara cepat, sederhana, dan biaya ringan, asas hak untuk
didengar secara seimbang, asas hakim aktif, dan asas praduga keabsahan. Tujuan dari
kepenulisan ini adalah untuk memberi pemahaman dan mengetahui apa saja asas-asas yang
diterapkan dalam hukum acara mahkamah konstitusi. Metode penelitian yang digunakan
adalah metode kualitatif.
Kata Kunci: Hukum, Asas, Mahkamah Konstitusi.

INTRODUCTION
Asas secara umum diartikan sebagai dasar atau prinsip yang bersifat umum yang
menjadi titik tolak pengertian atau pengaturan. Asas di satu sisi dapat disebut sebagai
landasan atau alasan pembentukan suatu aturan hukum yang memuat nilai, jiwa, atau cita-
cita sosial yang ingin diwujudkan. Asas hukum merupakan jantung yang menghubungkan
antara aturan hukum dengan cita-cita dan pandangan masyarakat di mana hukum itu berlaku
(asas hukum objektif). Di sisi lain, asas hukum dapat dipahami sebagai norma umum yang
dihasilkan dari pengendapan hukum positif (asas hukum subjektif)1. Karena mengingat asas
yang sifatnya umum dan tidak merujuk pada kasus tertentu, maka setiap asas pasti memiliki
pengecualian. Contohnya asas peradilan terbuka untuk umum yang memiliki pengecualian
untuk perkara-perkara tertentu dapat ditetapkan bersifat tertutup.

1
Tim Penyususn Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, HUKUM ACARA MAHKAMAH
KONSTITUSI, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2010), hal.14.

© Author(s). This work is licensed under a Creative Commons Attribution 4.0 International License .
Published by Pusat Studi Demokrasi dan Ketahanan Nasional, Universitas Sebelas Maret, Indonesia
374 Souvereignty : Jurnal Demokrasi dan Ketahanan Nasional | Volume 1, Nomor 2, Year 2022

Pada dasarnya asas hukum dibedakan menjadi dua jenis, yaitu asas hukum umum dan
asas hukum khusus. Asas hukum umum merupakan asas hukum yang berhubungan dengan
seluruh bidang hukum, sedangkan asas hukum khusus merupakan asas hukum yang berlaku
dalam bidang hukum yang lebih sempit, seperti bidang hukum pidana, perdata dan
sebagainya.
Dikarenakan hukum acara Mahkamah Konstitusi adalah aturan hukum yang ingin
menegakkan dan mempertahankan berlakunya hukum materil Mahkamah Konstitusi yang
bersifat publik, maka pada hakikatnya hukum acara Mahkamah Konstitusi juga tunduk pada
asas-asas hukum publik di samping asas-asas umum lainnya yang berlaku dalam peradilan.
Asas diperlukan untuk mencapai tujuan penyelenggaraan peradilan itu sendiri,
yaitu tegaknya hukum dan keadilan, khususnya supremasi konstitusi dan perlindungan
hak konstitusional warga negara. Asas-asas tersebut harus dijabarkan dan
dimanifestasikan baik di dalam peraturan maupun praktik hukum acara. Dengan sendirinya
asas Hukum Acara MK menjadi pedoman dan prinsip yang memandu hakim dalam
menyelenggarakan peradilan serta harus pula menjadi pedoman dan prinsip yang dipatuhi
oleh pihak-pihak dalam proses peradilan.

METHOD
Pembuatan artikel ini menggunakan metode kualitatif. Dimana dalam kepenulisan
artikel ini didasarkan oleh data-data dan fakta yang sebenarnya. Proses pengambilan datanya
tidak terjun langsung ke lapangan tetapi mengambil dari berbagai referensi yang mendukung
tema pembahasan artikel ini, seperti artikel ilmiah, jurnal, dan juga buku.

RESULTS & DISCUSSION


Dalam konteks Hukum Acara MK yang dimaksud dengan asas dalam hal ini adalah
prinsip-prinsip dasar yang bersifat umum sebagai panduan atau bahkan ruh dalam
penyelenggaraan peradilan konstitusi. Asas diperlukan untuk mencapai tujuan
penyelenggaraan peradilan itu sendiri, yaitu tegaknya hukum dan keadilan, khususnya
supremasi konstitusi dan perlindungan hak konstitusional warga negara. Asas-asas tersebut
harus dijabarkan dan dimanifestasikan baik di dalam peraturan maupun praktik hukum
acara. Dengan sendirinya asas Hukum Acara MK menjadi pedoman dan prinsip yang
memandu hakim dalam menyelenggarakan peradilan serta harus pula menjadi pedoman dan
prinsip yang dipatuhi oleh pihak-pihak dalam proses peradilan2.
Beberapa asas dalam peradilan mahkamah konstitusi yaitu :
1. Ius Curia Novit
Asas ini sebagaimana yang ditegaskan dalam Pasal 10 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang berbunyi
bahwa “pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili dan memutus

2
Ibid, hal.15.

© Author(s). This work is licensed under a Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International License.
Published by Pusat Studi Demokrasi dan Ketahanan Nasional, Universitas Sebelas Maret, Indonesia
Souvereignty : Jurnal Demokrasi dan Ketahanan Nasional | Volume 1, Nomor 2, Year 2022 375

suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang
jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.”
Asas ini berlaku dalam peradilan MK sepanjang masih dalam batas
wewenang MK yang telah diberikan secara limitatif oleh UUD 1945, yaitu
pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, sengketa
kewenangan konstitusional lembaga negara, pembubaran partai politik,
perselisihan tentang hasil Pemilu, serta pendapat DPR tentang dengan
pelanggaran hukum oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden. Sepanjang suatu
perkara diajukan dalam bingkai salah satu wewenang tersebut, MK harus
menerima, memeriksa, mengadili, dan memutus3.
2. Persidangan Terbuka untuk Umum
Asas ini ditegaskan dalam Pasal 13 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman. Asas ini merupakan asas yang berlaku untuk
semua jenis pengadilan, kecuali dalam hal tertentu yang ditentukan lain oleh
undang-undang.
Selanjutnya ditegaskan kembali dalam Pasal 40 ayat (1) UU MK, bahwa
sidang MK terbuka untuk umum, kecuali Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH).
Dalam buku Hukum Acara Mahkamah Konstitusi yang di terbitkan oleh
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteran MKRI, mengatakan bahwa persidangan
terbuka untuk umum dimaksudkan agar proses persidangan dapat diikuti oleh
publik sehingga hakim dalam memutus perkara akan objektif berdasarkan alat
bukti dan argumentasi yang dikemukakan di dalam persidangan. Melalui
persidangan yang terbuka untuk umum, publik juga dapat menilai dan pada
akhirnya menerima putusan hakim.
Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) dilakukan secara tertutup karena
dalam rapat tersebut hakim konstitusi menyampaikan pendapat untuk
pengambilan putusan suatu perkara. Di dalam rapat tersebut terjadi perdebatan
antar hakim konstitusi yang dapat berlangsung dalam tensi tinggi. RPH dilakukan
secara tertutup untuk menjaga kerahasiaan putusan hakim sampai diucapkan
dalam sidang pleno yang terbuka. Jika RPH tidak dilakukan secara tertutup akan
membuka peluang pihak-pihak tertentu untuk memperjualbelikan informasi
kecenderungan putusan atau putusan itu sendiri karena terdapat rentang waktu
antara pengambilan putusan dan pengucapan putusan. Untuk menjaga
kerahasiaan putusan, RPH hanya diikuti oleh para hakim konstitusi, panitera,
panitera pengganti, dan beberapa petugas persidangan yang telah disumpah untuk
tidak membocorkan apapun yang terjadi dan diputuskan dalam RPH 4.
3. Independen dan Imparsial
Asas Independen sebagaimana tercantum dalam Pasal 2 UU No. 24 Tahun
2003 Tentang Mahkamah Konstitusi, yang berbunyi “Mahkamah Konstitusi
merupakan salah satu lembaga negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yang
merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan
keadilan”. Independen berarti hakim dalam menjalankan tugasnya harus mandiri

3
Ibid, hal.16.
4
Ibid, hal. 18.

© Author(s). This work is licensed under a Creative Commons Attribution 4.0 International License .
Published by Pusat Studi Demokrasi dan Ketahanan Nasional, Universitas Sebelas Maret, Indonesia
376 Souvereignty : Jurnal Demokrasi dan Ketahanan Nasional | Volume 1, Nomor 2, Year 2022

tidak boleh ada intervensi dari pihak lain. Sedangkan imparasial berarti hakim
tidak boleh memihak siapa pun agar terciptanya pengadilan yang adil.
Independensi dan imparsialitas tersebut memiliki tiga dimensi, yaitu dimensi
fungsional, struktural atau kelembagaan, dan personal. Dimensi fungsional
mengandung pengertian larangan terhadap lembaga negara lain dan semua pihak
untuk mempengaruhi atau melakukan intervensi dalam proses memeriksa,
mengadili, dan memutus suatu perkara. Dimensi fungsional itu harus didukung
dengan independensi dan imparsialitas dari dimensi struktural dan personal
hakim5.
Selanjutnya dari dimensi struktural, kelembagaan peradilan juga harus
bersifat independen dan imparsial sepanjang diperlukan agar dalam menjalankan
peradilan tidak dapat dipengaruhi atau diintervensi serta tidak memihak.
Dari dimensi personal, hakim memiliki kebebasan atas dasar kemampuan
yang dimiliki (expertise), pertanggungjawaban, dan ketaatan kepada kode etik dan
pedoman perilaku.
4. Peradilan Dilaksanakan Secara Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan
Prinsip peradilan cepat, sederhana, dan biaya ringan dimaksudkan agar
proses peradilan dan keadilan itu sendiri dapat diakses oleh seluruh lapisan
masyarakat. Prinsip ini sangat terkait dengan upaya mewujudkan salah satu unsur
negara hukum, yaitu equality before the law. Jika pengadilan berjalan dengan
rumit dan kompleks, berbelit-belit, serta membutuhkan biaya yang mahal, maka
hanya sekelompok orang tertentu yang memiliki kemampuan berperkara di
pengadilan, dan hanya orang-orang inilah yang pada akhirnya dapat menikmati
keadilan6.
Sebagaimana yang ditegaskan dalam Pasal 2 ayat (4) Undang-Undang
Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi, “Peradilan
dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan”. Namun menurut Maruarar
Siahaan, salah satu hakim konstitusi periode pertama, biaya perkara yang
dibebankan pada pemohon atau termohon tidak dikenal dalam acara Mahkamah
Konstitusi. Dalam UU MK sendiri sama sekali tidak disebutkan mengenai biaya
perkara. Semua biaya yang menyangkut pesidangan di Mahkamah Konstitusi
dibebankan pada biaya negara. Dengan demikian prinsip peradilan MK yang lebih
tepat adalah Cepat, Sederhana dan Bebas Biaya.
5. Hak untuk Didengar Secara Seimbang (audi et alteram partem)
Dalam peradilan MK, hak untuk didengar secara seimbang, berlaku tidak
hanya untuk pihak-pihak yang saling berhadapan, melainkan juga berlaku untuk
semua pihak yang terkait dan memiliki kepentingan dengan perkara yang sedang
disidangkan. Misalnya dalam perkara pengujian undamng-undang selain
pemohon pihak terkait langsung yaitu DPR dan Pemerintah sebagai pembentuk
undang-undang juga memiliki hak untuk didengar keterangannya. Bahkan, pihak
terkait lain yang berkepentingan secara tidak langsung terhadap undang-undang
yang sedang diuji juga akan diberi kesempatan menyampaikan keterangannya 7.

5
Ibid, hal.19.
6
Ibid, hal.21.
7
Ibid.

© Author(s). This work is licensed under a Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International License.
Published by Pusat Studi Demokrasi dan Ketahanan Nasional, Universitas Sebelas Maret, Indonesia
Souvereignty : Jurnal Demokrasi dan Ketahanan Nasional | Volume 1, Nomor 2, Year 2022 377

6. Hakim Aktif dan Pasif dalam Persidangan


Asas Hakim pasif memiliki arti tidak mencari-cari perkara. Hakim tidak akan
memeriksa, mengadili, dan memutus sesuatu sebelum disampaikan oleh
pemohon ke pengadilan. Pada saat suatu perkara sudah masuk ke pengadilan,
hakim dapat bertindak pasif atau aktif bergantung dari jenis kepentingan yang
diperkarakan. Dalam perkara-perkara yang menyangkut kepentingan individual,
hakim cenderung pasif. Sebaliknya, dalam perkara yang banyak menyangkut
kepentingan umum, hakim cenderung aktif.
Sesuai dengan sifat perkara konstitusi yang selalu lebih banyak menyangkut
kepentingan umum dan tegaknya konstitusi, maka hakim konstitusi dalam
persidangan selalu aktif menggali keterangan dan data baik dari alat bukti, saksi,
ahli, maupun pihak terkait (pemeriksaan inquisitorial). Hakim tidak hanya
berpaku kepada alat bukti dan keterangan yang disampaikan oleh pemohon dan
pihak terkait maupun dari keterangan saksi dan ahli yang diajukan oleh pihak-
pihak tersebut. Hakim konstitusi untuk keperluan memeriksa suatu perkara dapat
memanggil saksi dan/atau ahli sendiri bahkan memerintahkan suatu alat bukti
diajukan ke MK. Hakim konstitusi juga dapat mengundang para pakar yang
didengar keterangannya dalam forum diskusi tertutup8.
7. Asas Praduga Keabsahan (praesumtio iustae causa)
Asas praduga keabsahan adalah bahwa tindakan penguasa dianggap sah
sesuai aturan hukum sampai dinyatakan sebaliknya. Berdasarkan asas ini, semua
tindakan penguasa baik berupa produk hukum maupun tindakan konkret harus
dianggap sah sampai ada pembatalan. Sah dalam hal ini berarti sesuai dengan asas
dan ketentuan hukum baik dari sisi materi maupun prosedur yang harus
ditempuh. Untuk menyatakan tidak sah tindakan tersebut dapat dilakukan oleh
lembaga yang melakukan tindakan itu sendiri maupun oleh lembaga lain yang
diberi kewenangan berdasarkan aturan hukum. Sebagai konsekuensi dari asas ini,
apabila ada upaya hukum untuk melakukan pengujian terhadap tindakan
dimaksud, maka tindakan itu tetap berlaku walaupun sedang dalam proses
pengujian.
Perwujudan dari asas ini dalam wewenang MK dapat dilihat pada kekuatan
mengikat putusan MK adalah sejak selesai dibacakan dalam sidang pleno
pengucapan putusan terbuka untuk umum. Sebelum adanya putusan MK, maka
tindakan penguasa yang dimohonkan tetap berlaku dan dapat dilaksanakan. Hal
ini secara khusus dapat dilihat dari wewenang MK memutus pengujian UU,
sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara, dan perselisihan tentang
hasil Pemilu. Suatu ketentuan UU yang sedang diuji oleh MK tetap berlaku dan
harus dianggap sah sebelum ada putusan MK yang menyatakan ketentuan UU
dimaksud bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan
hukum mengikat9.

8
Ibid, hal.24.
9
Ibid, hal.24.

© Author(s). This work is licensed under a Creative Commons Attribution 4.0 International License .
Published by Pusat Studi Demokrasi dan Ketahanan Nasional, Universitas Sebelas Maret, Indonesia
378 Souvereignty : Jurnal Demokrasi dan Ketahanan Nasional | Volume 1, Nomor 2, Year 2022

CONCLUSION
Asas merupakan ketentuan yang paling mendasar dan terpenting dari suatu hukum,
termasuk hukum acara mahkamah konstitusi. Sebab jika asas-asas ini diterapkan dalam
pengadilan dengan baik maka akan memberikan kenyamanan bagi masyarakat dalam
mencari keadilan. Dalam konteks Hukum Acara Mahkamah Konstitusi yang dimaksud
dengan asas dalam hal ini adalah prinsip-prinsip dasar yang bersifat umum sebagai panduan
atau bahkan ruh dalam penyelenggaraan peradilan konstitusi. Asas diperlukan untuk
mencapai tujuan penyelenggaraan peradilan itu sendiri, yaitu tegaknya hukum dan keadilan,
khususnya supremasi konstitusi dan perlindungan hak konstitusional warga negara.
Beberapa asas dalam Hukum Acara Mahkamah Konstitusi adalah asas ius curia novit, asas
persidangan terbuka untuk umum, asas independent dan imparsial, asas peradilan
dilaksanakan secara cepat, sederhana, dan biaya ringan, asas hak untuk didengar secara
seimbang, asas hakim aktif, dan asas praduga keabsahan.

REFERENCES
Buku
Tim Penyusun Hukum Acara Mahkamah Konstitusi. 2010. HUKUM ACARA
MAHKAMAH KONSTITUSI. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan
Mahkamah Konstitusi.

Jurnal
Tatawu, Guasman. 2017. Hakekat Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi terhadap
Sengketa Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). HOLREV, 1(2), 144-165.

Peraturan Perundang-undangan
1. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.
2. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi

© Author(s). This work is licensed under a Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International License.
Published by Pusat Studi Demokrasi dan Ketahanan Nasional, Universitas Sebelas Maret, Indonesia

Anda mungkin juga menyukai